• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan culture shock ditinjau dari tipe kepribadian introvert dan ekstrovert pada mahasiswa asing di UIN Sunan Ampel.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbedaan culture shock ditinjau dari tipe kepribadian introvert dan ekstrovert pada mahasiswa asing di UIN Sunan Ampel."

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN CULTURE SHOCK DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN INTROVERT DAN EKSTROVERT PADA MAHASISWA ASING DI UIN

SUNAN AMPEL SURABAYA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1)

Psikologi (S.Psi)

Uswatun Chasannah B37213050

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

xii INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan culture shock yang ditinjau dari tipe kepribadian introvert dan ekstrovert pada mahasiswa asing di UIN Sunan ampel Surabaya. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya perbedaan culture shock ditinjau dari tipe kepribadian introvert dan ekstrovert. Penelitian ini merupakan penelitian populasi sehingga seluruh populasi dijadikan subjek penelitian sejumlah 86 Mahasiswa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Sedangkan alat pengumpul data menggunakan skala culture shock dan tes kepribadian EPI (Eysenck Personality Inventory). Kemudian, analisis datanya menggunakan uji Mann Whitney U-Test dengan bantuan SPSS 16.00 for windows, yang diperoleh nilai p = 0,000 (p < 0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan culture shock ditinjau dari tipe kepribadian introvert dan ekstrovert pada mahasiswa asing di UIN Sunan Ampel Surabaya. Subjek dengan tipe kepribadian introvert memiliki culture shock yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang tipe kepribadian ekstrovert.

(7)

xiii ABSTRACT

This study aims to find out the difference of culture shock in terms of introvert and extrovert personality types in foreign student at UIN Sunan Ampel Surabaya. This hypothesis proposed in this research is the difference culture shock in terms of introvert and extrovert personality types. This research is a population research so that the entire population became the subject of research a total of 86 students. The method used in this research is quantitative method. While the data collection tool using the scale of culture shock and EPI (Eysenck Personality Inventory). Then, the data analysis using mann whitney u-test with SPSS 16.00 for windows, obtained values p = 0,000 (p<0,05). The result of the research showed that there is a difference culture shock in terms of ontrovert and extrovert personality types on foreign students at uin sunan ampel surabaya. The subject with introvert personality types have higher culture shock than those with the subject with extrovert personality types.

(8)

vii DAFTAR ISI

Halaman Sampul

Halaman Judul ... i

Lembar Pengesahan ... ii

Lembar Pernyataan ... iii

Halaman Persetujuan ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Gambar ... x

Daftar Lampiran ... xi

Intisari ... xii

Abstrack ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA A.Culture Shock 1. Definisi Culture Shock ... 14

2. Dimensi Culture Shock ... 19

3. Proses Proses Culture Shock ... 21

4. Faktor Faktor Culture Shock ... 22

5. Aspek Aspek Culture Shock ………...…….. ... 23

6. Gejala Culture Shock………...…….. ... 24

B.Kepribadian 1. Pengertian Kepribadian ... 25

2. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Kepribadian ... 27

3. Aspek Aspek Kepribadian... ... 29

4. Tipe Kepribadian Introvert dan Ekstrovert... ... 30

5. Aspek Aspek Kepribadian Introvert dan Ekstrovert ... 36

C.Perbedaan Culture Shock Ditinjau dari Tipe Kepribadian Introvert dan Ekstrovert ... 36

D.Landasan Teoritis ... 40

E. Hipotesis ... 42

(9)

viii

1. Variabel Penelitian……….. 43

2. Definisi Operasional………... 44

B. Populasi dan Sampel ... 45

1. Populasi ... 45

2. Sampel ... 46

C. Teknik Pengumpulan Data ... 47

D. Validitas dan Reliabilitas ... 51

1. Uji Validitas... ... 51

2. Uji Reliabilitas ... 55

E. Uji Teknik Analisis Data ... 57

1. Uji Normalitas ... 58

2. Uji Linearitas ... 58

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subyek ... 60

a. Pengelompokan Subyek Berdasarkan Usia... 60

b. Pengelompokan Subjek Berdasarkan Tahun Angkatan ... 61

c. Pengelompokan Subyek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 61

d. Pengelompokan Subyek Berdasarkan Asal Negara.... ... 62

B. Deskripsi dan Reliabilitas Data ... 62

1. Deskripsi Data ... 62

2. Reliabilitas Data ... 66

3. Uji Prasyarat ... 66

4. Uji Linieritas ... 68

C. Hasil Penelitian ... 69

D. Pembahasan ... 71

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 79

(10)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pada era globalisasi seperti saat ini, pendidikan menjadi sangat penting sebagai usaha untuk mengembangkan potensi atau untuk mencapai cita-cita dan impian di masa depan. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1 yang menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembankan potensi dirinya, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan tinggi di Indonesia sangat penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar bisa menghadapi persaingan dengan negara lain yang semakin ketat.

(11)

2

Salah satu kota yang menjadi tujuan bagi pelajar yang berasal dari luar negeri yang ingin meneruskan studi ke perguruan tinggi adalah kota Surabaya. Menurut berita yang dimuat AntaraNews jumlah mahasiswa asing terbanyak di Indonesia adalah mahasiswa yang berasal dari Negeri Jiran, Malaysia.

Tak terkecuali di UIN Sunan Ampel Surabaya, menurut keterangan dari ketua himpunan mahasiswa asal Malaysia bernama Yaman yang duduk di semester 8 jurusan BKI (Bimbingan Konseling Islam), saat ini mahasiswa asal Malaysia yang menempuh pendidikan di UIN Sunan Ampel Surabaya berjumlah 74 orang yang tersebar di berbagai jurusan dan semester. Selain mahasiswa yang berasal dari Malaysia, terdapat mahasiswa asing yang berasal dari Thailand. Menurut keterangan Settawut Khlongmodkhan selaku ketua himpunan mahasiswa Thailand, saat ini terdapat 12 orang mahasiswa yang juga tersebar di berbagai jurusan dan semester di UIN Sunan Ampel Surabaya. Dalam tabel berikut adalah rincian jumlah mahasiswa asing yang ada di UINSA.

Tabel 1

Data Rincian Jumlah Mahasiswa Thailand

JURUSAN SEMESTER JUMLAH

KESELURUHAN 2 4 6 8

Bahasa & Sastra Arab - 2 - 2

12 Pendidikan Agama Islam 1 3 - -

Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah

1 2 - - Pendidikan Bahasa Inggris 1 - - -

(12)

Tabel 2

Data Rincian Jumlah Mahasiswa Malaysia

Menetap dan mencari ilmu di negara lain merupakan tantangan tersendiri bagi mahasiswa asing. Mahasiswa yang menjalani studi ke luar negeri (study abroad) bisa diartikan sebagai sojourn. Sojourn didefinisikan sebagai orang baru yang tinggal di tempat yang baru untuk sementara waktu (Ward, Bochner, & Furhanm, 2001). Menurut Argyle (1982) sojourners seringkali mengalami permasalahan lintas budaya, karena kesulitan dalam menyesuaikan diri (adjustment) di kehidupan sosial sehari-hari. Terlebih bagi mereka yang memilih Indonesia sebagai destinasi pendidikannya. Tantangan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar semakin bertambah, mengingat Indonesia merupakan negara multikultural, yang memiliki berbagai macam kebudayaaan serta kaya akan berbagai macam bahasa. Direktur Pembelajaran Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) Kemenristek Dikti, Paristianti Nurwardani dalam okezone.com menyatakan, masalah yang

JURUSAN SEMESTER JUMLAH

KESELURUHAN 2 4 6 8

Bimbingan & Konseling Islam

1 6 17 10

74 Sejarah Kebudayaan Islam 3 1 - 19

Hukum Keluarga Islam 1 - 4 2

Tafsir Hadist 1 - 2 -

Muamalah - 2 1 -

Ilmu Komunikasi - 3 - - Ilmu Al-Quran dan Tafsir 1 - - -

(13)

4

biasanya dihadapi mahasiswa Indonesia di luar negeri adalah pada bahasa dan budaya.

(14)

budaya. Ia mengungkapkan bahwa ia merasa sangat cemas ketika ia hadir dalam acara perpisahan KKN, karena pihak desa menghadirkan hiburan berupa orkes dangdut yang pada umumnya semua penyanyi memakai pakaian yang minim dan ketat. Ia merasa hal ini sangat bertentangan dengan budaya islam yang ia pelajari di negaranya.

Perbedaan semacam ini juga dirasakan oleh Mahasiswa asal Thailand. Salah satu mahasiswa asal Thailand, Settawut Klhongmodkhan yang memiliki nama Islam Shobirin yang duduk di semester 8 jurusan sastra Arab, merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan oleh mahasiswa asal Malaysia tersebut, karena ketika di negaranya ia memiliki jam istirahat yang sudah teratur, sehingga ia merasa sedih ketika tinggal bersama mahasiswa Indonesia yang mengerjakan tugas hingga larut malam. Selain itu ia juga mengungkap perbedaan tipe makanan Indonesia dengan negara asalnya, meskipun ia tidak sampai mengalami psikosomatis. Namun dalam hal budaya, ia juga merasakan sangat cemas ketika ia melihat pagelaran musik dangdut yang merupakan musik asli Indonesia dengan para penyanyi yang berpakaian minim dan ketat.

(15)

6

kebersihan, pengaturan keuangan, cara berbahasa, penggunaan waktu, relasi interpersonal, sikap terhadap agama, cara berpakaian maupun transportasi umum (Spradly dan Philips dalam Ward, dkk; 2001).

Beberapa penelitian yang pernah mengungkap tentang Culture Shock diantaranya adalah penelitian Indrianie (2012) yang berjudul “Culture Adjustment Untuk Mengatasi Culture Shock Pada Mahasiswa Baru yang Berasal dari Luar Pulau Jawa Barat” memaparkan hasil bahwa

terdapat perubahan derajat Culture Shock sestelah mengikuti Culture adjustment training, dalam hal ini. Derajat Culture shock pada mahasiswa Universitas Kristen Maranatha Bandung (yang berasal dari luar Jawa Barat) mengalami penurunan setelah mengikuti culture adjustment training. Penurunan culture shock terjadi secara bertahap selama proses monitoring yang dilakukan seminggu sekali selama satu bulan.

(16)
(17)

8

selalu berusaha mempertahankan sifat-sifat baik untuk diri sendiri sehingga dengan sendirinya mereka sulit untuk dimengerti. Sedangkan Orang-orang yang termasuk dalam golongan tipe ekstrovert mempunyai sifat-sifat seperti: berhati terbuka, lancar dalam pergaulan, ramah, penggembira, kontak denga lingkungan besar sekali. Mereka mudah mempengaruhi dan mudah dipengaruhi lingkungannya (Suryabrata, 1988).

Terkait dengan Culture Shock yang dialami mahasiswa asing, Tipe kepribadian sangat penting untuk dibahas dalam penilitian ini karena tipe kepribadian merupakan petunjuk bagaimana seorang individu mampu menyesuaikan diri, mengingat individu yang mengalami Culture Shock juga harus bisa menyesuaikan diri secara psikologis guna menghadapi kendala yang terjadi dalam proses akulturasi terhadap budaya baru di lingkungan baru.

Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Perbedaan Culture Shock ditinjau dari Tipe Kepribadian Introvert-Ekstrovert pada Mahasiswa Asing di UIN Sunan Ampel Surabaya.

B. RUMUSAN MASALAH

(18)

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan Culture Shock ditinjau dari tipe kepribadian introvert dan Ekstrovert pada Mahasiswa Asing di UIN Sunan Ampel Surabaya.

D. MANFAAT PENELITIAN

Selain memiliki tujuan-tujuan tertentu, penelitian ini juga memiliki dua manfaat utama yakni manfaat teoritis dan praktis sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Secara umum penelitian ini memberikan pengetahuan baru melalui pengujian dan pengembangan konsep dan teori ilmu pengetahuan psikologi khususnya dalam bidang sosial dan budaya. Penelitian ini juga akan memberikan sumbangan data mengenai gambaran tipe kepribadian introvert dan ekstrovert, terutama dalam melihat fenomena Culture Shock diantara kedua tipe kepribadian tersebut. 2. Manfaat praktis

(19)

10

b. Bagi pihak-pihak terkait, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan identifikasi awal bagi mahasiswa asing yang akan menjalani studi di Indonesia atau bagi mahasiswa Indonesia yang akan menjalani studi ke Luar Negeri sebagai upaya untuk memperkecil tingkat Culture Shock yang dialami.

E. KEASLIAN PENELITIAN

Dalam penelitian ini penulis memaparkan beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan permasalahan yang akan diteliti.

Pada penelitian Niam (2009) yang berjudul “Koping Terhadap

Stres Pada Mahasiswa Luar Jawa yang Mengalami Culture Shock di Universitas Muhammadiyah Surakarta”, menemukan hasil bahwa

Hasilnya ada 13 bentuk koping yang dilakukan mahasiswa luar Jawa untuk mengatasi culture shock yaitu: (a) mencari dukungan sosial, (b) penerimaan terhadap perbedaan, (c) keaktifan diri, (d) kontrol diri, (e) mencari hiburan, (f) tindakan instrumental, (g) religiusitas, (h) negosiasi, (i) pengurangan beban masalah, (j) harapan, (k) penghindaran terhadap masalah, (l) putus asa, (m) koping individual tidak efektif.

Indrianie (2012) dengan penelitiannya yang berjudul “Culture Adjustment Untuk Mengatasi Culture Shock Pada Mahasiswa Baru yang Berasal dari Luar Pulau Jawa Barat” memaparkan hasil bahwa terdapat

(20)

training, dalam hal ini. Derajat Culture shock pada mahasiswa Universitas Kristen Maranatha Bandung (yang berasal dari luar Jawa Barat) mengalami penurunan setelah mengikuti culture adjustment training. Penurunan culture shock terjadi secara bertahap selama proses monitoring yang dilakukan seminggu sekali selama satu bulan.

Hutabarat & Sawitri (2015) melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan Antara Gegar Budaya Dengan Pengungkapan Diri Pada

Mahasiswa Tahun Pertama Bersuku Batak di Universitas Diponegoro.”

Penelitian tersebut memaparkan hasil bahwa semakin tinggi gegar budaya maka semakin rendah pengungkapan diri yang dilakukan oleh mahasiswa tahun pertama bersuku batak di Universitas Diponegoro.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Widiantari dan Herdiyanto (2013) dengan judul “Perbedaan Intensitas Komunikasi Melalui Jejaring Sosial antara Tipe Kepribadian Ekstrovert dan Introivert pada Remaja” memaparkan hasil bahwa perbedaan intensitas komunikasi

(21)

12

dan perempuan, serta terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah jejaring sosial dengan intensitas komunikasi melalui jejaring sosial.

Rosida & Astuti (2015) memiliki penelitian yang berjudul “Perbedaan Penerimaan Teman Sebaya Ditinjau Dari Tipe Kepribadian

Ekstrovert dan Introvert ” yang memiliki hasil bahwa tidak terdapat perbedaan penerimaan diri teman sebaya jika ditinjau dari tipe kepribadian introvert dan ekstrovert.

Dalam penelitian Xia (2009) yang berjudul “Analysis of Impact of

Culture Shock on Individual Psychology” memaparkan hasil berupa lima

solusi dan evaluasi tentang bagaimana menghadapi gejala-gejala yang disebabkan oleh Culture Shock. Yang pertama, Sebelum memasuki budaya baru, sangat penting seseorang untuk membuat persiapan penuh. Yang kedua yaitu memahami proses dari Culture Shock itu sendiri, sehingga ketika sudah menghadapi Culture Shock seseorang akan dengan percaya diri dan optimis untuk menghadapinya. Yang ketiga adalah mencari dukungan sosial. Yang keempat adalah menerima budaya yang baru. Yang kelima adalah mengurangi stress psikologis.

(22)

Penelitian yang dilakukan oleh Burtaverde & Mihaila (2011) yang berjudul “Significant Differences Between Introvert and Extrovert

People’s Simple Reaction Time in Conflict Situations” memaparkan hasil

bahwa terdapat perbedaan reaksi yang signifikan antara subjek yang memiliki kepribadian introvert dan ekstrovert dalam menghadapi situasi konflik. Subjek dengan kepribadian ekstrovert merespon lebih baik terhadap rangsangan eksternal tetapi lebih mungkin untuk membuat kesalahan dibanding dengan subjek berkepribadian introvert.

Sedangkan dalam penelitian Prakas, Singh, & Yadav (2016) dengan judul “Personality (Introvert & Ekstrovert) and Professional

Commitment Effect Among B.Ed Teacher Educator Students” memberikan

hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kepribadian introvert dan ekstrovert dengan komitmen profesional.

(23)

14 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Culture Shock

1. Definisi Culture Shock

Pada awalnya definisi Culture Shock cenderung pada kondisi gangguan mental. Bowlby (dalam Dayakisni, 2008) menggambarkan bahwa kondisi ini sama seperti dengan kesedihan, berduka cita dan kehilangan. Sehingga dapat dikaitkan mirip dengan kondisi seseorang ketika kehilangan orang yang dicintai. Ketika kita masuk dan mengalami kontak dengan budaya lain, dan merasakan ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut, kita telah mengalami gegar/ kejutan budaya/ Culture Shock (Littlejohn, dalam Mulyana, 2006)

(24)

Ward (2001) mendefinisikan Culture Shock adalah suatu proses aktif dalam menghadapi perubahan saat berada di lingkungan yang tidak familiar. Proses aktif tersebut terdiri dari affective, behavior, dan Cognitive, yaitu reaksi individu tersebut merasa, berperilaku, dan berpikir ketika menghadapi pengaruh budaya kedua.

Edward Hall (dalam Hayqal, 2011) mendeskripsikan Culture Shock adalah gangguan ketika segala hal yang biasa dihadapi ketika di tempat asal menjadi sama sekali berbeda dengan hal-hal yang dihadapi di tempat yang baru dan asing. Sementara Furnham dan Bochner (1970) mengatakan bahwa Culture Shock adalah ketika seseorang tidak mengenal kebiasaan-kebiasaan sosial dari kultur baru atau jika ia mengenalnya maka ia tak dapat atau tidak bersedia menampilkan perilaku yang sesuai dengan aturan-aturan itu. Definisi ini menolak penyebutan Culture Shock sebagai gangguan yang sangat kuat dari rutinitas, ego, dan self-image individu (Dayaksini, 2004).

(25)

16

terjadinya disorientasi pada kognitif seseorang sehingga menyebabkan gangguan pada identitas (Stella, dalam Hayqal, 2011).

Menurut Kim (dalam Abbasian & Sharifi, 2013) menyatakan Culture Shock adalah proses generik yang muncul setiap kali komponen sistem hidup tidak cukup memadai untuk tuntutan lingkungan budaya baru. Selanjutnya Culture Shock adalah tekanan dan kecemasan yang dialami oleh orang-orang ketika mereka bepergian atau pergi ke suatu sosial dan budaya yang baru (Odera, dalam Niam, 2009).

Culture Shock dapat terjadi dalam lingkungan yang berbeda. Hal ini dapat mengenai individu yang mengalami perpindahan dari satu daerah ke daerah lainnya dalam negerinya sendiri sampai individu yang berpindah ke negara lain (Dayaksini, 2004).

(26)

meninggalkan lingkungannya yang nyaman dan masuk dalam suatu lingkungan baru, banyak masalah akan dapat terjadi (Mulyana, 2006).

(27)

18

Culture Shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambang dan simbol yang familiar dalam hubungan sosial, termasuk didalamnya seribu satu cara yang mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya bagaimana untuk memberi perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana kita tidak perlu merespon (Mulyana, 2008).

Lundstedt mengatakan bahwa gegar budaya adalah suatu bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri yang merupakan reaksi terhadap upaya sementara yang gagal untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan orang-orang baru (Mulyana, 2005).

Selanjutnya Culture Shock menurut Ruben & Stewart (dalam Hayqal, 2011) adalah rasa putus asa, ketakutan yang berlebihan, terluka, dan keinginan untuk kembali yang besar terhadap rumah. Hal ini disebabkan adanya rasa keterasingan dan kesendirian yang disebabkan oleh benturan budaya.

Culture Shock bukanlah istilah klinis ataupun kondisi medis. Culture Shock merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan perasaan bingung dan ragu-ragu yang mungkin dialami seseorang setelah ia meninggalkan budaya yang dikenalnya untuk tinggal di budaya yang baru dan berbeda (Kingsley dan Dakhari, 2006).

(28)

kebersihan, pengaturan keuangan, cara berbahasa, penggunaan waktu, relasi interpersonal, sikap terhadap agama, cara berpakaian, maupun transportasi umum.

Dari beberapa definisi yang telah disebutkan di atas, Culture Shock yang dimaksud dalam penelitian ini adalah menurut Oberg (dalam Dayakisni, 2004) yakni istilah yang menyatakan ketiadaan arah, merasa tidak mengetahui harus berbuat apa atau bagaimana mengerjakan segala sesuatu di lingkungan yang baru, dan tidak mengetahui apa yang tidak sesuai atau sesuai.

2. Dimensi Culture Shock

Ward (2001) membagi Culture Shock kedalam beberapa dimensi yang disebut dengan ABCs of Culture Shock, yakni:

a. Affective

(29)

20

b. Behavior

Dimensi ini berhubungan dengan pembelajaran budaya dan pengembangan keterampilan sosial. Individu mengalami kekeliruan aturan, kebiasaan dan asumsi-asumsi yang mengatur interaksi interpersonal mencakup komunikasi verbal dan nonverbal yang bervariasi di seluruh budaya. Mahasiswa asing yang datang dan kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan sosial yang baik di budaya lokal akan mengalami kesulitan dalam memulai dan mempertahankan hubungan harmonis di lingkungan yang tidak familiar. Perilaku individu yang tidak tepat secara budaya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat menyebabkan pelanggaran. Hal ini juga mungkin dapat membuat kehidupan personal dan profesional kurang efektif. Biasanya individu akan mengalami kesulitan tidur, selalu ingin buang air kecil, mengalami sakit fisik, tidak nafsu makan dan lain-lain. Dengan kata lain, individu yang tidak terampil secara budaya akan sulit mencapai tujuan. Misalnya, mahasiswa asing yang lebih sering berinteraksi dengan orang sebangsanya/ senegaranya saja.

c. Cognitive

(30)

dari negara asal, pikiran individu hanya terpaku pada satu ide saja, dan memiliki kesulitan dalam interaksi sosial.

3. Proses Culture Shock

Mahasiswa asing yang datang ke lingkungan yang tidak familiar akan mengalami Culture Shock dengan serangkaian proses. Samovar (dalam Sekeon, 2011) mengungkapkan adanya empat fase untuk Culture Shock, yaitu:

1) Fase Bulan Madu yaitu fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru. Fase ini adalah fase yang paling disukai oleh semua orang. Pada fase ini mahasiswa asing merasakan sesuatu hal yang berbeda dari semula, jadi mahasiswa asing menikmati suasana yang terjadi oleh karena sesuatu yang baru dengan lingkungan yang lain dari sebelumnya. Pada fase ini semuanya merasakan kesenangan, kegembiraan serta kenikmatan. Layaknya seperti pasangan baru yang merasakan bulan madu yang belum ada termasuk kesulitan-kesulitan dalam menjalani hubungan dan budaya yang baru.

(31)

22

seseorang merasa sendiri, terpojok, dan bimbang. Oleh karena itu, perubahan lingkungan yang mereka rasakan, mereka mendapati hal-hal yang mereka tidak inginkan di lingkungan yang baru. Disinilah perasaan hilangnya simbol-simbol, adat kebiasaan yang dulu menjadi identitas dirinya, saat ini harus dihadapkan dengan suatu keadaan yang berlawanan.

3) Fase Adaptasi yaitu fase dimana individu mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada fase ini individu dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan. 4) Fase Penyesuaian Diri yaitu fase dimana individu telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya. Pada fase ini para mahasiswa asing tidak mendapatkan kesulitan lagi karena telah melewati masa adaptasi yang begitu panjang. Kemampuan untuk hidup dalam dua budaya yang berbeda, biasanya disertai dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa hal menyatakan, bahwa untuk dapat hidup dalam dua budaya tersebut, individu akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu, dan memunculkan gagasan.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi terjadinya Culture Shock Parrillo (2008) menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi Culture Shock yaitu :

(32)

trait personal (mandiri atau toleransi), dan akses ke sumber daya. Karakteristik fisik seperti penampilan, umur, kesehatan, kemampuan sosialisasi juga mempengaruhi. Penelitian menunujukkan umur dan jenis kelamin berhubungan dengan Culture Shock . Individu yang lebih muda cenderung mengalami Culture Shock yang lebih tinggi dari pada individu yang lebih tua dan wanita lebih mengalami culture shock daripada pria (Kazantzis dalam Pederson, 1995)

b) Variasi budaya mempengaruhi transisi dari satu budaya ke budaya lain. Culture Shock lebih cepat jika budayatersebut semakin berbeda,hal ini meliputi sosial, perilaku, adat istiadat, agama, pendidikan, norma dalam masyarakat, dan bahasa. Bochner (2003) menyatakan bahwa semakin berbeda kebudayaan antar dua individu yang berinteraksi, semakin sulit kedua induvidu tersebut membangun dan memelihara hubungan yang harmonis. Pederson (1995) menyatakan bahwa semakin beda antar dua budaya, maka interaksi sosial dengan mahasiswa lokal akan semakin rendah.

c) Manifestasi sosial politik juga mempengaruhi Culture Shock . Sikap dari masyarakat setempat dapat menimbulkan prasangka, stereotip, dan intimidasi.

5. Aspek-Aspek Culture Shock

(33)

24

1) Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya. Padahal cues adalah bagian dari kehidupan sehari-hari seperti tanda-tanda, gerakan bagian-bagian tubuh (gesture), ekspresi wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dapat menceritakan kepada seseorang bagaimana sebaiknya bertindak pada situasi tertentu.

2) Krisis identitas, dengan pergi ke luar daerahnya seseorang akan kembali mengevaluasi gambaran tentang dirinya.

3) Putusnya komunikasi antar pribadi baik pada tingkat yang disadari atau tak disadari yang mengarahkan pada frustasi dan kecemasan. Halangan bahasa adalah penyebab jelas dari gangguan-gangguan ini.

6. Gejala-Gejala Culture Shock

Ada beberapa gejala Culture Shock yang dapat di alami oleh individu yang berada di lingkungan baru (Guanipa, dalam Niam, 2009), diantaranya ialah:

1) Kesedihan, kesepian, dan kelengangan

2) Preokupasi (pikiran terpaku hanya pada sebuah ide saja, yang biasanya berhubungan dengan keadaan yang bernada emosional) dengan kesehatan.

3) Kesulitan untuk tidur, tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit 4) Perubahan perilaku, tekanan atau depresi

(34)

6) Mengidentifikasikan dengan budaya lama atau mengidealkan daerah lama

7) Kehilangan identitas

8) Berusaha terlalu keras untuk menyerap segalanya di budaya baru 9) Tidak mampu memecahkan permasalahan sederhana

10) Tidak percaya diri

11) Merasa kekurangan, kehilangan dan kegelisahan 12) Mengembangkan stereotype tentang kultur yang baru 13) Mengembangkan obsesi seperti over- cleanliness 14) Rindu keluarga

B. KEPRIBADIAN

1. Pengertian Kepribadian

Secara umum kepribadian (personality) suatu pola watak yang relatif permanen, dan sebuah karakter unik yang memberikan konsistensi sekaligus individualis bagi perilaku seseorang (Feist & Feist, 2006).

(35)

26

Kepribadian menurut GW. Allport adalah suatu organisasi yang dinamis dari sistem psikofisis individu yang menentukan tingkah laku dan pemikiran individu secara khas. Kepribadian juga merupakan jumlah total kecenderungan bawaan atau herediter dengan berbagai pengaruh dari lingkungan serta pendidikan, yang membentuk kondisi kejiwaan seseorang dan mempengaruhi sikapnya terhadap kehidupan (Weller, 2005).

Kepribadian menurut Jung adalah keseluruhan pikiran, perasaan dan tingkah laku, kesadaran dan ketidak sadaran yang membimbing orang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Jung juga mengemukakan bahwa kepribadian disusun oleh sejumlah sistem yang beroperasi dalam tiga tingkat kesadaran yaitu ego, kompleks, dan arsetip (Alwisol, 2009).

Menurut Allport kepribadian bersifat fisik sekaligus psikologis, yang mencakup perilaku tampak dan pikiran yang terungkap. Kepribadian bukan hanya sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu. Kepribadian merupakan substansi sekaligus perubahan, produk se kaligus proses, dan struktur sekaligus pertumbuhan (Feist & Feist, 2006).

(36)

seseorang; segala sesuatu mengenai diri seseorang sebagaimana diketahui oleh orang lain.

Sullivan (dalam Alwisol, 2004), mendefinisikan kepribadian sebagai pola yang relatif menetap dari situasi-situasi antar pribadi yang berulang yang menjadi ciri kehidupan manusia.

Berdasarkan beberapa pengertian kepribadian diatas yang dimaksud kepribadian dalam penelitian ini adalah menurut menurut Eysenck (dalam Alwisol, 2004) yaitu keseluruhan pola tingkah laku aktual maupun potensial dari organisme, sebagaimana ditentukan dari keturunan dan lingkungan. Pola tingkah laku itu berasal dan dikembangkan melalui fingsional dari empat sektor utama yang mengorganisir tingkah laku, sektor kognitif, sektor afektif, dan sektor somatik.

(37)

28

Horton et. al., (1977) berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi dua faktor besar, yaitu faktor hereditas (keturunan) dan faktor lingkungan (dalam Mangkunegara, 2005).

Jung (dalam hartati, dkk, 2004) juga membagi dua faktor yang membentuk kepribadian yaitu sebagai berikut:

1. Faktor genetik

Keturunan merujuk pada faktor genetis seorang individu. Tinggi fisik, bentuk wajah, gender, temperamen, komposisi otot dan refrleks, tingkat energi dan irama biologis adalah karakteristik yang pada umumnya dianggap dipengaruhi oleh siapa orang tua dari individu tersebut, yaitu komposisi biologis, psikologis, dan psikologis bawaan dari individu. 2. Faktor lingkungan

(38)

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kepribadian dapat terbentuk dari faktor genetik (keturunan) dan faktor lingkungan sehingga dapat mempengaruhi kecerdasan, cara berfikir, sikap, dll.

3. Aspek-Aspek Kepribadian

M. Ngalim Purwanto (1990) menguraikan beberapa aspek kepribadian yang penting dan berhubungan dengan oendidikan dalam rangka pembentukan pribadi seseorang, yaitu:

a. sifat-sifat kepribadian (traits), yaitu sifat-sifat yang ada pada individu, seperti penakut, pemarah, suka bergaul, peramah serta penyendiri.

b. intelegensi kecerdasan termasuk di dalamnya kewaspadaan, kemampuan belajar, kecakapan berfikir.

c. pernyataan diri dan cara menerima pesan-pesan. d. kesehatan jasmani.

e. bentuk tubuh.

f. sikapnya terhadap orang lain.

g. pengetahuan, kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dimiliki seseorang

h. keterampilan.

i. nilai-nilai yang ada pada seseorang dipengaruhi adat-istiadat, etika, kepercayaan yang dianutnya.

(39)

30

k. peranan adalah kedudukan atau posisi seseorang di dalam masyarakat dimana ia hidup.

l. the self yaitu anggapan dan perasaan tertentu tentang siapa, apa, dan dimana sebenarnya ia berada.

4. Tipe Kepribadian Introvert dan Ekstrovert

Tipe kepribadian adalah suatu klasifikasi mengenai individu dalam satu atau dua ataupun lebih kategori, atas dasar dekatnya pola sifatnya yang cocok dengan kategori tipe tadi (Chaplin, 2008). Tipe kepribadian diakui merupakan sesuatu yang penting dalam mempelajari manusia dengan segala tingkah lakunya, karena dengan mendalami dan memahami manusia berdasarkan tipe kepribadiannya, maka akan diperoleh keterangan yang jelas, langsung, dan lugas mengenai karakteristik kepribadian orang tersebut dan pada gilirannya dapat meramalkan tingkah laku (Catrunada, 2008).

Banyak para ahli yang memberikan penggolongan pada kepribadian manusia antaranya Jung, yang membagi tipe kepribadian manusia berdasarkan sikap pokok individu terhadap dirinya sendiri dan dunia luar yaitu tipe kepribadian Ekstrovert dan tipe kepribadian Introvert .

1. Tipe kepribadian Introvert

Orang yang bertipe Introvert , yaitu orang yang perhatiannya lebih di arahkan pada dirinya, pada “aku”

(40)

mempunyai sifat-sifat: kurang pandai bergaul, pendiam, sukar diselami batinnya, suka menyendiri, bahkan sering takut pada orang (Sobur, 2003). Hal ini hampir sama dengan yang diungkapkan Nuqul (2004) bahwa manusia dalam memandang objek yang ada disekitarnya pertama-tama mementingkan dirinya dahulu. Orang yang termasuk dalam penggolongan tipe ini sukar menyesuaiakan diri terhadap lingkungannya. Bagi dirinya yang primer (utama), objek yang ada di sekitarnya atau masyarakat dianggap sekunder. Orang semacam ini menghendaki lingkungan menyesuaiakan kepada dirinya. Orang ini disebut dengan orang Introvert dengan gejala introversi.

(41)

32

mereka di lingkungan yang menyenangkan. Orang Introvert berada dalam puncaknya dalam keadaan sendiri atau dalam kelompok kecil tidak asing.

Crow dan Crow (dalam Sobur, 2003) juga menguraikan sifat-sifat dari orang Introvert sebagai berikut yaitu lebih lancar menulis daripada berbicara, cenderung atau sering diliputi kekhawatiran, lekas malu dan canggung, cenderung bersifat radikal, suka membaca buku-buku dan majalah, lebih dipengaruhi oleh perasaan-perasaan subyektif, agak tertutup jiwanya, lebih senang bekerja sendiri, sangat menjaga atau berhati-hati terhadap penderitaan dan miliknya, sukar menyesuaikan diri dan kaku dalam pergaulan.

Menurut Eysenck (dalam Niswatin, 2010) introvert adalah salah satu ujung dari dimensi kepribadian introversi-ekstraversi dengan karakteristik watak yang tenang, pendiam, suka menyendiri, suka termenung, dan menghindari resiko.

(42)

daripada harus berbicara dan berinteraksi dengan orang lain.

2. Tipe Kepribadian Ekstrovert

Menurut Suryabrata (1993), orang orang yang Ekstrovert terutama dipengaruhi oleh dunia objektifnya, yaitu dunia luar darinya. Orientasinya terutama tertuju keluar. Pikiran, perasaan serta tindakan-tindakannya terutama ditentukan oleh lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun non-sosial. Dia bersikap positif terhadap masyarakatnya, ini sama artinya dengan hati terbuka, mudah bergaul, hubungan dengan orang lain lancar. Bahaya bagi Ekstrovert ini adalah apabila ikatan terhadap dunia luar terlalu kuat, sehingga tenggelam dalam dunia objektifnya, kehilangan dirinya atau asing terhadap dunia subjektifnya sendiri.

(43)

34

Secara terperinci sifat tipe kepribadian Ekstrovert dilukiskan oleh Jung sebagai berikut (Mustikayati, 2005): 1) Cenderung dan menyukai partisipasi dalam realitas social, dalam dunia objektif dan dalam peristiwa-peristiwa praktis, lancar dalam bergaul. Bersifat realistis, aktif dalam bekerja dan komunikasi sosialnya baik (positif) serta ramah tamah.

2) Gembira dalam hidup, bersikap spontan dan wajar dalam ekspresi serta menguasai perasaan.

3) Bersikap optimis, tidak putus asa menghadapi kegagalan atau dalam menghadapi konflik-konflik-konklik pekerjaan selalu tenang, bersikap suka mengabdi.

4) Tidak begitu banyak pertimbangan, dan kadang-kadang sering tidak terlalu banyak analisa serta kurang self cristism, bersifat kurang mendalam.

5) Relatif bersifat independen dalam mendapat, mempunyai cita-cita bebas.

6) Meskipun ulet dalam berpikir namun mempunyai pandangan yang prakmatis disamping punya sifat keras hati.

(44)

denga lingkungan besar sekali. Mereka mudah mempengaruhi dan mudah dipengaruhi lingkungannya (Suryabrata, 1988).

Sedangkan menurut L. A. Pervin (dalam Nuqul, 2006), bahwa gambaran sifat tipe kepribadian Ekstrovert adalah sebagai orang yang ramah dalam pergaulan, banyak teman, sangat memerlukan kegembiraan, ceroboh, impulsive. Secara lebih rinci dijabarkan mudah marah, gelisah, agresif, mudah menerima rangsang, berubah-ubah, impulsif, aktif, optimis, suka bergaul, banyak bicara, mau mendengar, menggampangkan, lincah, riang, dan kepemimpinan.

Menurut Eysenck (dalam Niswatin, 2010) ekstrovert adalah salah satu ujung dari dimensi kepribadian ekstraversi dan interovertsi dengan karakteristik watak yang peramah, suka bergaul, suka menuruti kata hati, dan suka mengambil resiko.

(45)

36

5. Aspek Aspek Kepribadian Introvert dan Ekstrovert

Kepribadian introvert-ekstrovert menurut Eysenck (dalam Supatmawati, 2003) terbentuk dari beberapa sifat yaitu:

a. Sociability : kemampuan individu untuk menjalin hubungan dengan lingkungan sekitarnya.

b. Impulsiveness : tingkat kemampuan individu dalam menuruti dorongan hati

c. Activity : Jenis aktivitas tertentu yang disukai individu

d. Liveness : pernyataan yang berhubungan dengan segala sesuatu kecenderungan umum untuk memperlihatkan emosi kepada orang lain

e. Exiability : berhubungan dengan individu dalam berfikir

C. Perbedaan Culture Shock ditinjau dari Tipe Kepribadian Introvert dan Ekstrovert

(46)

bahwa kepribadian disusun oleh sejumlah sistem yang beroperasi dalam tiga tingkat kesadaran yaitu ego, kompleks, dan arsetip (Alwisol, 2009).

Tipe kepribadian merupakan suatu kumpulan dimensi-dimensi primer dari kepribadian yang diklasifikasi menurut sifat-sifat yang dapat diselidiki dan diuji kebenarannya mengenai perilaku unik individu. Jung membagi Tipe kepribadian menjadi 2 yaitu, tipe kepribadian Ekstrovert dan tipe kepribadian Introvert .

Terkait dengan fenomena Culture Shock, tipe kepribadian yang muncul akan dapat menentukan mudah atau tidaknya seseorang dapat beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Gejala Culture Shock akan muncul dalam jangka waktu yang lama bagi mereka yang sulit menyesuaian diri (Furham & Bochber, 1986). Adaptasi sosiokultural ini meningkat dengan adanya ektroversi (Dayakisni, 2008). Namun dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Rosida dan Astuti (2015) yang berjudul Perbedaan Penerimaan Teman Sebaya Ditinjau dari tipe Kepribadian Ekstrovert dan Introvert menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara individu berkepribadian introvert dan kepribadian ekstrovert dalam hal penerimaan terhadap teman sebaya.

(47)

38

hal hal yang dapat menimbulkan Culture Shock yaitu perbedaan tipe makanan, perilaku terhadap pria dan wanita, sikap terhadap kebersihan, pengaturan keuangan, cara berbahasa, penggunaan waktu, relasi interpersonal, sikap terhadap agama, cara berpakaian maupun transportasi umum. Dari hasil penelitian tersebut juga menunjukkan hasil bahwa banyak yang mengalami Culture Shock tertinggi adalah anak-anak perempuan jika dibandingkan dengan laki-laki. Dan dari 6 orang subjek yang memiliki nilai Culture Shock tertinggi adalah pendatang yang bertempat tinggal di kos umum, tidak tinggal dengan orang sedaerah diasrama.

(48)

Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Stella Pantelidou dan Tom K. J. Craig (2006) yang berjudul Culture Shock and Social Support memaparkan hasil bahwa dukungan sosial merupakan faktor penting yang terkait dengan tingkat kejutan budaya. Dukungan sosial sangat penting untuk melindungi atau juga mengatasi fenomena Culture Shock ini. Dalam penelitian ini juga dipaparkan hasil yang menyarankan lembaga pendidikan untuk menyediakan konseling bagi para siswa migran dengan mempertimbangkan faktor sosial yang berhubungan dengan kesehatan mental siswa. Hal ini juga terdapat dalam penelitian yang dilakukan oleh Niam (2009) yang berjudul Koping Terhadap Stres Pada Mahasiswa Luar Jawa yang Mengalami Culture Shock di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hasil penelitian tersebut adalah ada 13 bentuk koping stres yang dilakukan Mahasiswa luar Jawa untuk mengatasi Culture Shock yang salah satunya yaitu dukungan sosial.

(49)

40

ekstrovert pada remaja. Tipe kepribadian ekstrovert mempunyai intensitas komunikasi yang tinggi dibandingkan dengan tipe kepribadian ekstrovert.

Jika seseorang sulit menyesuaikan diri, maka gejala Culture Shock akan muncul, bahkan dalam kurun waktu yang lama (Furham & Bochber, 1986). Menurut Nuqul (2004) tipe kepribadian introvert merupakan tipe orang yang sukar menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sedangkan menurut Suryabrata (1993) orang-orang yang ekstrovert selalu bersikap positif terhadap masyarakatnya, terbuka, mudah bergaul, serta hubungn dengan orang lain lancar. Ini sama artinya dengan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Sebagaimana tipe kepribadian Ekstrovert dan intovert jika ditinjau dari ciri-ciri yang ditunjukkan masing-masing tipe maka diasumsikan bahwa semakin tinggi tingkat ektroversi yang ada pada individu, maka semakin rendah tingkat Culture Shock yang dialaminya. Sedangkan jika semakin tinggi tingkat introversi yang ada pada individu, maka akan semakin tinggi tingkat Culture Shock yang dialaminya.

D. LANDASAN TEORITIS

(50)

Culture Shock adalah ketika seseorang tidak mengenal kebiasaan-kebiasaan sosial dari kultur baru atau jika ia mengenalnya maka ia tidak dapat atau tidak bersedia menampilkan perilaku yang sesuai dengan aturan-aturan itu. Definisi ini menolak penyebutan Culture Shock sebagai gangguan yang sangat kuat dari rutinitas, ego dan self image individu.

Terkait dengan fenomena Culture Shock, tipe kepribadian yang muncul akan dapat menentukan mudah atau tidaknya seseorang dapat beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Adaptasi sosiokultural ini meningkat dengan adanya ektroversi (Dayakisni, 2008). Jika seseorang sulit menyesuaikan diri, maka gejala Culture Shock akan muncul, bahkan dalam kurun waktu yang lama (Furham & Bochber, 1986). Sebagaimana tipe kepribadian Ekstrovert dan intovert jika ditinjau dari ciri-ciri yang ditunjukkan masing-masing tipe maka diasumsikan bahwa semakin tinggi tingkat ektroversi yang ada pada individu, maka semakin rendah tingkat Culture Shock yang dialaminya.

Dari kerangka teori diatas, dapat dibuat bagan yang menunjukkan hubungan antara Tipe Kepribadian Introvert dan Ekstrovert dengan Culture Shock sebagai berikut.

[image:50.595.149.516.269.554.2]
(51)

42

E. HIPOTESIS PENELITIAN

Setelah mengkaji beberapa teori yang ada, maka dibuatlah hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

“Ada perbedaan Culture Shock ditinjau dari tipe kepribadian Introvert dan

(52)

43 BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini membahas mengenai metode penelitian yang dibatasi secara sistematis sebagai berikut: Variabel penelitian, subjek penelitian, metode dan instrumen pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur dan teknik analisis data.

A. Variabel Penenlitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian

Pentingnya identifikasi dan perumusan variabel penelitian adalah untuk mengarahkan, membatasi perhatian penelitian masalah yang hendak diteliti dengan segala hal yang terkait didalamnnya. Batasan-batasan variabel bebas dan variabel tergantung yang harus dipertegas. Hal ini masing- masing didefinisikan secara operasional agar dapat di ukur (Bustomi, 2015).

Berdasarkan landaan teori yang diuraikan diatas, maka variabel yang diteliti adalah:

a. Variabel terikat/ dependent variable (Y) = Culture Shock b. Variabel bebas/ independent variable (X) = Tipe Kepribadian

(53)

44

2. Definisi Operasional

a. Definisi Operasional Culture Shock

Culture Shock Istilah yang menyatakan ketiadaan arah, merasa tidak mengetahui harus berbuat apa atau bagaimana mengerjakan segala sesuatu di lingkungan yang baru, dan tidak mengetahui apa yang tidak sesuai atau sesuai. Teknik pengumpulan datanya yaitu dengan skala Culture Shock untuk mencari tingkat Culture Shock yang dialami oleh mahasiswa asing di UIN Sunan Ampel Surabaya yang diadaptasi dari penelitian Umayyah (2015) yang berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Oberg (dalam Dayakisni, 2004). Aspek-aspek tersebut adalah kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya, putusnya komunikasi antar pribadi dan krisis identitas. Skala ini terdiri dari 45 pernyataan yang harus direspon subjek. Skala ini menggunakan distribusi respon sebagai dasar penentuan nilainya. Metode seperti ini disebut dengan metode rating yang dijumlahkan atau Likert.

b. Definisi Operasional Tipe Kepribadian Introvert dan Ekstrovert Tipe kepribadian adalah suatu klasifikasi mengenai individu dalam satu atau dua ataupun lebih kategori, atas dasar dekatnya pola sifatnya yang cocok. Tipe kepribadian ini didasarkan pada teori Jung yaitu sikap jiwa introvert dan ekstrovert.

(54)

cenderung berhati-hati, pesimis, kritis dan selalu berusaha mempertahankan sifat-sifat baik untuk diri sendiri sehingga dengan sendirinya mereka sulit untuk dimengerti. sifat-sifat dari orang introvert yaitu lekas malu dan canggung, agak tertutup jiwanya, lebih senang bekerja sendiri, sangat menjaga atau berhati-hati terhadap penderitaan dan miliknya, sukar menyesuaikan diri dan kaku dalam pergaulan. Sedangkan individu dengan kepribadian ekstrovert lebih suka bergaul, menyenangi interaksi sosial, beraktifitas dengan orang lain, dan berfokus pada dunia luar.

Untuk mengklasifikasikan tipe kepribadian mahasiswa menggunakan skala kepribadian ekstrovert dan introvert berdasarkan indikator tipe kepribadian diukur menggunakan tes EPI (Eysenck Personality Inventory) berdasarkan teori H. J Eysenck yang memiliki indikator sebagai berikut: sociability, impulsiveness, activity, liveness, exitability (Sapuri, 2009). Tes EPI (Eysenck Personality Inventory) terdiri dari 30 butir pernyataan dengan pilihan jawaban “ya” dan

“tidak”

B. Populasi, sampel dan Teknik Sampling 1. Populasi

(55)

46

[image:55.595.161.510.260.542.2]

UIN Sunan Ampel Surabaya yang berasal dari Malaysia dan Thailand yang termasuk mahasiswa aktif angkatan 2013-2016 dengan jumlah mahasiswa sebanyak 86. Rincian jumlah populasi Mahasiswa asing di UIN Sunan Ampel Surabaya terdapat pada tabel berikut:

Tabel 3

Rincian Jumlah Mahasiswa Asing Semester Mahasiswa asal

Thailand

Mahasiswa asal Malaysia

Jumlah

2 3 7 10

4 7 12 19

6 - 24 24

8 2 31 33

Jumlah Keseluruhan 86

2. Sampel

Arikunto (2008) dalam bukunya tentanag “Penentuan

Pengambilan Sampel” sebagai berikut: Apabila kurang dari 100

lebih baik semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi.

(56)

mengambil total sampling, karena menurut Sugiyono (2007) jumlah populasi yang kurang dari 100, maka seluruh populasi dijadikan sampel penelitian semuanya.

C. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Arikunto (2010), Teknik pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan dugunakan oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan data agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya. Sedangkan menurut Suryabrata (2008), teknik pengumpulan data adalah alat yang digunakan untuk merekam pada umumnya secara kuantitatif keadaan dan aktifitas atribut-atribut psikologis.

(57)

48

masing-masing akan tetapi ditentukan oleh distribusi respon setuju atau tidak setuju dari subyek penelitian yang bertindak sebagai uji coba (Azwar, 2003). Variasi bentuk pilihan menunjukkan tingkat kesesuaian dengan subyek. Dalam skala ini ada 4 pilihan respon yaitu SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai), STS (Sangat Tidak Sesuai). Setiap pilihan tersebut memiliki skor masing-masing tergantung dari jenis aitem, apakah favorabel atau unfavorabel. Penilaian untuk pernyataan favorable disebarkan dengan kesatuan sebagai berikut: Sangat Sesuai (SS) diberi skor 4, Sesuai (S) diberi skor 3, Tidak Sesuai (TS) diberi skor 2, dan Sangat Tidak Sesuai (STS) diberi dengan skor 1. Sedangkan penilaian untuk pernyataan unfavorable diberikan dengan kesatuan sebagai berikut: Sangat Sesuai (SS) diberi skor 1, Sesuai (S) diberi skor 2, Tidak Sesuai (TS) diberi skor 3, dan Sangat Tidak Sesuai (STS) diberi dengan skor 4. Adapun blueprint skala Culture Shock dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4

Blueprint Skala Culture Shock

No. Aspek Indikator Item Jumlah

F Uf 1 Kehilangan

cues atau tanda-tanda yang dikenalnya

Terkejut dengan kebiasaan baru

22 23, 24

3 Merasa asing

dengan kebiasaan di sekitar

1, 6, 18, 19

14 5

Belum memahami maksud kebiasaan lain yang berbeda

(58)

2. Putusnya Komunikasi antar pribadi

Tidak berani bertemu dengan orang lain yang berbeda budaya

37, 38

2

Bingung

komunikasi dengan berbeda bahasa

40, 44

39 3

Kurang percaya

diri dalam

mengeluarkan pendapat

41, 42

43 3

3. Krisis Identitas

Merasa takut ditolak oleh kebudayaan lain 9, 10, 11, 12, 13 5

Merasa bingung di lingkungan yang baru 25, 28, 29, 30 31, 32 6

Merasa kurang

nyaman di

lingkungan baru

17, 34, 35, 36

33 5

Mencoba-coba budaya lain 26, 27 2 Mulai membandingkan budayanya dengan budaya lain

2, 45

2

Mengetahui aturan budayanya tidak berlaku lagi di lingkungan baru

3, 16

2

Jumlah Keseluruhan 45

(59)

50

(EPI) adalah skala yang dirancang oleh Hans Jurgen Eysenck dan Sybil B. G. Eysenck. Pada tahun 1985 tes EPI (Eysenck Personality Inventory) telah dipublikasikan dalam jurnal Personality and Individual differences . Tes ini memiliki 100 pernyataan ya/ tidak dalam versi lengkapnya dan 30 pernyataan ya/ tidak dalam versi singkatnya. Tes ini disusun berdasarkan teori H. J Eysenck yang memiliki indikator sebagai berikut: sociability, impulsiveness, activity, liveness, dan exitability (Sapuri, 2009).

Tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes dalam versi singkat yang memiliki 30 pernyataan dengan pilihan jawaban “Ya” atau

“Tidak”. Dalam tes tersebut terdapat 15 item pernyataan Introvert dan 15

[image:59.595.156.511.262.661.2]

item pernyataan Ekstrovert yang harus direspon subjek. Berikut adalah sebaran item dari skala tipe kepribadian EPI (Eysenck Personality Inventory).

Tabel 5

Blueprint Skala tipe Kepribadian EPI

No. Indikator Nomor Butir Jumlah

Ekstrovert Introvert

1 Sociability 1, 2, 3, 15, 25 3, 5, 16, 27 9 2 Impulsiveness 12, 14, 19, 26 9, 11, 30 7 3 Activity 7, 10, 17 4, 8, 21, 29 7

4 Liveness 18, 23 22, 28 4

5 Exitability 24 13, 20 3

Jumlah 15 15 30

(60)
[image:60.595.162.510.200.544.2]

pernyataan yang berjenis ekstrovert variasi nilainya adalah sebagai berikut:

Tabel 6

norma penilaian butir ekstrovert Nilai Jawaban

1 Ya

0 Tidak

Sedangkan pada butir pernyataan yang berjenis introvert, penilaian bergerak sebaliknya sebagaimana tabel dibawah ini:

Tabel 7

norma penilaian butir introvert Nilai Jawaban

0 Ya

1 Tidak

Skala ini mempunyai 15 pernyataan ekstrovert dan 15 pernyataan introvert, sehingga individu yang memproleh skor >7,5 termasuk ke dalam tipe kepribadian ekstrovert, sedangkan individu yang memperoleh skor ≤7,5 termasuk kedalam tipe kepribadian introvert.

D. Validitas dan Reliabilitas 1. Validitas

(61)

52

fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrument dapat dapat memiliki validitas tinggi, apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan tujuan dilakukannya pengukuran tersebut. Sedangkan pengukuran yang hasilnya tidak relevan dengan tujuan pengukurannya, maka pengukuran ini memiliki validitas yang rendah (Azwar, 2008). Tidak semua pendekatan dan estimasi terhadap validitas tes akan menghasilkan suatu koefisien. Koefisien validitas diperolehhanya dari komputasi statistika secara empirik antara skor tes dengan kriteria yang besarnya disimbolkan oleh rxy.

[image:61.595.163.515.267.587.2]
(62)

valid atau tidak dapat digunakan sebagai instrumen pengumpul data.

[image:62.595.160.547.250.758.2]

Skala Culture Shock merupakan skala yang diadaptasi dari penelitian Umayyah (2015) dengan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Oberg (dalam Dayakisni, 2004). Skala tersebut pernah diuji cobakan sebelumnya dan terdapat 45 aitem yang valid. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Try Out terpakai, yang artinya peneliti hanya melakukan satu kali pengambilan data yang digunakan untuk uji validitas dan reliabilitas dan juga digunakan untuk analisis data. Alasan peneliti menggunakan Try Out terpakai adalah karena jumlah populasi subjek terbatas dan sulitnya menemukan subjek yang setara dengan ciri-ciri yang sama seperti yang dimaksudkan.

Tabel 8

Seberan Aitem Valid dan Gugur Skala Culture Shock

Aitem

Corrected Aitem-Total

Correlation

Keterangan Aitem

Corrected Aitem-Total

Correlation

Keterangan

1 0.612 Valid 26 0.227 Valid

2 0.248 Valid 27 0.213 Valid

3 0.018 Gugur 28 0.610 Valid

4 0.512 Valid 29 0.650 Valid

5 0.604 Valid 30 0.647 Valid

6 0.509 Valid 31 0.115 Gugur

7 0.598 Valid 32 0.113 Gugur

8 0.622 Valid 33 0.360 Valid

9 0.599 Valid 34 0.517 Valid

10 0.744 Valid 35 0.633 Valid

11 0.647 Valid 36 0.656 Valid

12 0.654 Valid 37 0.340 Valid

13 0.574 Valid 38 0.147 Gugur

14 0.264 Valid 39 0.551 Valid

(63)

54

16 0.583 Valid 41 0.331 Valid

17 0.719 Valid 42 0.342 Valid

18 0.305 Valid 43 0.203 Gugur

19 0.512 Valid 44 0.487 Valid

20 21 22 23 24 25 0.625 0.542 0.570 0.261 0.126 0.658 Valid Valid Valid Valid Gugur Valid

45 0.355 Valid

[image:63.595.145.510.246.749.2]

Berdasarkan uji validitas skala Culture Shock dari 45 aitem terdapat 39 Aitem yang memiliki daya diskriminasi aitem lebih dari 0,213 yaitu aitem nomor 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 33, 34, 35, 36, 37, 39, 40, 41, 42, 44, 45.

Tabel 9

Distribusi Aitem Skala Culture Shock setelah uji validitas

No. Aspek Indikator Item

Valid

Jumlah F Uf

1 Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya

Terkejut dengan kebiasaan baru

22 23 2

Merasa asing dengan kebiasaan di sekitar 1, 6, 18, 19, 8

14 6

Belum memahami maksud kebiasaan lain yang berbeda

4, 5, 15. 20. 21, 7 6

2 Krisis Identitas

Merasa takut ditolak oleh kebudayaan lain 9, 10, 11, 12, 13 5

(64)

lingkungan yang baru

28, 29, 30 Merasa kurang

nyaman di

lingkungan baru

17, 34, 35, 36

33 5

Mencoba-coba budaya lain 26, 27 2 Mulai membandingkan budayanya dengan budaya lain

2, 45

2

Mengetahui aturan budayanya tidak berlaku lagi di lingkungan baru

16 1

3. Putusnya Komunikasi antar pribadi

Tidak berani bertemu dengan orang lain yang berbeda budaya

37 1

Bingung

komunikasi dengan berbeda bahasa

40, 44

39 3

Kurang percaya

diri dalam

mengeluarkan pendapat

41, 42

2

Jumlah Keseluruhan 39 Uji validitas instrumen ini dimaksudkan agar memiliki kesetaraan

subjek yang akan peneliti gunakan untuk mengukur variabel-variabel diatas. Untuk skala tipe kepribadian, peneliti tidak melakukan uji validitas karena peneliti menggunakan tes yang sudah terstandart yakni tes EPI (Umayyah, 2015)

2. Reliabilitas

(65)

56

disebut pengukuran yang reliabel. Realibilitas mempunyai berbagaimacam nama lain, seperti keterpercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan, konsistensi, dan lain sebagainya, namun ide pokok yang terkandung dalam konsep reabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2008). Uji reliabilitas alat ukur menggunakan pendekatan konsistensi internal dengan prosedur hanya memerlukan satu kali penggunaan tes kepada sekelompok individu sebagai subjek. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis dan berefisiensi tinggi (Azwar, 2000). Teknik yang digunakan adalah teknik reliabilitas Cronbach’s Alpha. Cronbach’s

Alpha merupakan teknik statistika yang fleksibel sehingga dapat digunakan untuk berbagai jenis data (Azwar, 2000).

Asumsi paralel merupakan metode pembelahan aitem yang dibagi menjadi dua bagian dan pararel satu dengan yang lain. Dalam melakukan pembelahan sama sehingga diharapkan belahan–belahan

seimbang. Selain itu koefisien Cronbach’s Alpha merupakan teknik statistika yang fleksibel sehingga dapat digunakan untuk berbagai jenis data (Azwar, 2000).

Menurut (Azwar,1997) pada umumnya bila koefisien

Cronbach’s Alpha < 0.6 dapat dikatakan tingkat reliabilitasnya kurang

(66)
[image:66.595.152.512.240.621.2]

dengan bantuan komputer Seri Program Statistik atau Statistical Package For The Sciences (SPSS) for Windows versi 16.00.

Tabel 10

Reliabilitas Statistik Skala Culture Shock

Skala Koefisien Reliabilitas Jumlah Aitem

Culture Shock 0.740 45

Dari hasil uji reliabilitas skala Culture Shock yang dilakukan oleh peneliti maka diperoleh hasil nilai koefisien reliabilitas skala Culture Shock sebesar 0,740 dimana harga tersebut dapat dinyatakan baik atau reliabel digunakan sebagai alat ukur. Untuk skala tipe kepribadian, peneliti tidak melakukan uji reliabilitas karena peneliti menggunakan tes yang sudah terstandart yakni tes EPI (Eysenck Personality Inventory).

E. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data tentang perbedaan Culture Shock ditinjau dari tipe kepribadian ekstrovert dan introvert ini menggunakan analisis uji-t dua sampel saling bebas auji-tau Independenuji-t Samples T-Tesuji-t yang merupakan prosedur uji-t untuk sampel saling bebas dengan membandingkan rata-rata dua kelompok kasus, dan kasus yang diuji bersifat acak (Muhid, 2010). Analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS 16.0 for Windows.

(67)

58

Sebelum melakukan analisis data , maka terlebih dahulu dilakukan uji asumsi atau prasyarat yang meliputi uji normalitas, uji linieritas dan uji multikolinearitas, dengan maksud agar kesimpulan yang ditarik tidak menyimpang dari kebenaran yang seharusnya ditarik. (Muhid, 2012).

1. Uji Normalitas

Uji normalitas atau sebaran bertujuan untuk mengetaui kenormalan sebaran skor variabel. Apabila terjadi penyimpangan, seberapa jauh penyimpangan tersebut. Model statistik yang di gunakan untuk uji normalitas biasanya adalah menggunakan persamaan dari Kolmogorov-Smirnof, Shapiro-Wilk dan Lilliefor. Hasil uji normalitas adalah apakah sebaran normal atau tidak. Kaidah di gunakan ialah jika P > 0,05, maka sebaran dapat dikatakan normal dan sebaliknya jika P < 0,05, maka sebaran dapat dikatakan tidak normal. Uji normalitas ini juga bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel terikat, variabel bebas atau keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau penyebaran data statistik pada sumbu diagonal dari grafik distribusi normal. 2. Uji Linieritas

(68)
(69)

60 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Subjek

Subjek dalam penelitian ini adalah keseluruhan populasi dari Mahasiswa Asing di UIN Sunan Ampel Surabaya sejumlah 86 Mahasiswa yang berasal dari Malaysia dan Thailand.

a. Subjek Berdasarkan Usia

[image:69.595.153.514.275.681.2]

Pengelompokan subjek berdasarkan usia, peneliti membaginya berdasarkan usia termuda sampai usia tertua. Pada penelitian ini diketahui subjek dengan usia termuda yaitu 20 tahun, sedangkan subjek dengan usia tertua yaitu 26 tahun. Tabel 11

Distribusi sampel penelitian berdasarkan usia USIA FREKUENSI PROSENTASE

20 4 5%

21 8 9%

22 19 23%

23 27 31%

24 12 14%

25 8 9%

26 8 9%

TOTAL 86 100%

(70)

Sedangkan subjek dengan presentase terendah yaitu 5% adalah mahasiswa dengan usia 20 tahun.

b. Subjek Berdasarkan Tahun Angkatan

[image:70.595.161.515.271.552.2]

Berdasarkan hasil temuan dilapangan, maka diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 12

Distribusi Sampel Penelitian Berdasarkan Tahun Angkatan ANGKATAN FREKUENSI PROSENTASE

2013 33 41%

2014 24 31%

2015 9 13%

2016 10 15%

TOTAL 86 100%

Berdasarkan data diatas diketahui bahwa tahun angkatan dengan frekuensi tertinggi yaitu 33 orang atau 41% terdapat pada angkatan 2013. Sedangkan frekuensi terendah yaitu sebanyak 9 orang dengan presentase 13% trdapat pada angkatan 2015.

c. Subjek berdasarkan Jenis Kelamin

[image:70.595.197.430.663.730.2]

Berdasarkan hasil temuan dilapangan, maka diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 13

Distribusi Sampel Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin GENDER FREKUENSI PROSENTASE

Laki-laki 59 67%

Perempuan 27 33%

(71)

62

d. Subjek Berdasarkan Asal Negara

[image:71.595.134.514.179.534.2]

Berdasarkan hasil temuan dilapangan, didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 14

Distribusi Sampel Penelitian Berdasarkan Asal Negara ASAL

NEGARA

FREKUENSI PROSENTASE

Malaysia 74 86%

Thailand 12 14%

TOTAL 86 100%

Berdasarkan data diatas diketahui bahwa asal negara dengan jumlah frekuensi tertinggi yaitu asal Malaysia sebanyak 74 orang atau 86%. Sedangkan frekuensi terendah yaitu asal Thailand sebanyak 12 orang atau 14%.

B. Deskripsi dan Reliabilitas Data 1. Deskripsi Data

Analisis deskriptif adalah untuk mengetahui deskripsi suatu data seperti rata-rata, standard deviasi, varians, dan lain-lain sebagai berikut:

Tabel 15

Deskripsi Statistik

N Range Minimum Maximum Mean Std.

Deviation

Culture

Shock

86 77 49 126 89.91 16.724

(72)

Pada tabel diatas menunjukkan bahwa jumlah subjek yang diteliti yaitu 86 responden baik dari skala Culture Shock maupun dari skala Tipe Kepribadian. pada skala Culture Shock memiliki rentang skor (Range) sebesar 77, skor terendah yaitu 49 dan skor tertinggi yaitu 126 dengan nilai rata-rata (mean) sebesar 89.91 serta standart deviasi sebesar 16,724. Sedangkan untuk skala tipe kepribadian memiliki rentang skor (range) sebesar 7, skor terendah adalah 12 dan skor tertinggi adalah 19 dengan rata-rata (mean) sebesar 15,28 serta standart deviasi sebesar 1,851.

Selanjutnya deskripsi data berdasarkan data demografinya adalah sebagai berikut :

[image:72.595.164.514.271.679.2]

a. Berdasarkan Usia Responden Tabel 16

Deskripsi Data Berdasarkan Usia Responden

Usia N Mean Std. Deviation Culture Shock 20 4 94.50 27.526

21 8 95.50 14.263 22 19 85.79 17.213 23 27 88.89 17,975 24 12 89.00 15.345 25 8 89.50 14.803 26 8 97.00 12.649

Dari tabel diatas dapat diketahui banyaknya data dari kategori usia yaitu 4 responden berusia 20 tahun, 8 responden berusia 21 tahun, 19 responden berusia 22 tahun, 27 responden Kepribadian

Valid (listwise)

(73)

64

berusia 23 tahun, 12 responden berusia 24 tahun, 8 responden berusia 25 tahun, dan 8 responden berusia 26 tahun. Selanjutnya dapat diketahui nilai rata-rata tertinggi variabel Culture Shock, bahwa nilai rata-rata tertinggi ada pada responden dengan usia 26 tahun dengan nilai mean sebesar 97,00. Sedangkan, nilai rata-rata terendah ada pada responden dengan usia 22 tahun dengan nilai mean sebesar 85,79.

[image:73.595.159.512.264.549.2]

b. Berdasarkan Tahun Angkatan Tabel 16

Deskripsi Data Berdasarkan Tahun Angkatan

Angkatan N Mean Std. Deviation Culture Shock 2013 2014 33 89.42 24 91.46 15.236 17.857

2015 19 86.63 16.807 2016 10 94.00 19.692

(74)

c. Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 17

Deskripsi Data Berdasarkan Jenis Kelamin

Gender N Mean Std. Deviation Culture Shock Perempuan 27 91.63 Laki-Laki 59 89.12 16.097 18.217

Dari tabel diatas dapat diketahui banyaknya data dari kategori jenis kelamin yaitu 59 responden berjenis kelamin laki-laki, dan 27 responden berjenis kelamin perempuan. Selanjutnya dapat diketahui nilai rata-rata tertinggi variabel Culture Shock, bahwa nilai rata-rata tertinggi ada pada responden dengan jenis kelamin perempuan dengan nilai mean sebesar 91,63. Sedangkan, nilai rata-rata terendah ada pada res

Gambar

Tabel 1 Data Rincian Jumlah Mahasiswa Thailand
Tabel 2
Gambar 1. Landasan teoritis tipe kepribadian Introvert  dan Ekstrovert
Tabel 3 Rincian Jumlah Mahasiswa Asing
+7

Referensi

Dokumen terkait

2 tailed 0,136 &gt; 0,5 dengan nilai Z -1,490, dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara tipe kepribadian Ekstrovert dan Introvert kepada siswa yang terkena

Hal ini ditunjukkan dengan signifikansi perbedaan perilaku konsumtif ditinjau dari tipe kepribadian introvert dan ekstrovert sebesar 0,030 dengan p &lt; 0,05

Perbedaan antara Suicide Ideation pada Siswa yang akan Menghadapi Ujian Nasional Ditinjau dari Tipe Kepribadian Introvert dan Extravert ……… 31. Identifikasi Variabel

maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “ Apakah ada perbedaan perilaku prososial yang signifikan pada anggota Jemaat Dewasa Muda GKI Petrus.. Jayapura

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan sabar yang signifikan pada tipe kepribadian ekstrovert dan introvert.. Maka, dapat disimpulkan bahwa

Pada tabel berikut dapat diketahui bahwa variabel Prasangka Sosial dan Culture Shock mempunyai nilai signifikansi sebesar 0,249 &gt; 0,05 dari hasil tersebut maka dapat

autobiografi, dan identifikasi diri. Semuanya mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Calon konselor dapat mengisinya dalam kurun waktu satu semester. Untuk petunjuk

Berdasarkan hasil analisis data pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan communication privacy management di media sosial Twitter pada remaja