• Tidak ada hasil yang ditemukan

11_Model PLK Sosek Rendah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "11_Model PLK Sosek Rendah"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL KURIKULUM

PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS SMP/MTs

YANG MEMILIKI PESERTA DIDIK

DENGAN SOSIAL EKONOMI RENDAH

PUSAT KURIKULUM

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

(2)

Abstraksi

Sesuai dengan amandemen UUD 1945 dan Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pemerintah terus mengupayakan peningkatan biaya pendidikan dapat mencapai 20% dari APBN/APBD secara bertahap. Namun, sampai saat ini belum tercapai sehingga pelayanan pendidikan bagi warga negara belum seluruhnya tersentuh secara merata. Menurut Data Susenas 2006 jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 39,05 juta atau 17,75% dari 220 juta jumlah penduduk Indonesia yang tidak dapat mengenyam pendidikan secara utuh.

Salah satu tugas Pusat Kurikulum adalah mengembangkan dan mengujicobakan model kurikulum yaitu model kurikulum pendidikan layanan khusus bagi peserta didik yang memiliki keterbatasan akses untuk memperoleh layanan pendidikan karena kondisi sosial ekonominya rendah. Model ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan proses pendidikan bagi satuan pendidikan Sekolah Menengah Pertama atau Madrasah Tsanawiyah yang memiliki peserta didik dengan sosial ekonomi rendah.

Ruang lingkup kegiatan terdiri dari penyusunan desain, kajian konsep, kajian kebutuhan lapangan, penyusunan kerangka model, penyusunan model, uji coba model, analisis hasil ujicoba, perbaikan model, presentasi model, penyempurnaan model, dan finalisasi model. Dalam pengembangan model melibatkan Staf Pusat Kurikulum, Narasumber/Ahli, Dinas Pendidikan Kab. Tangerang, Kota Kupang, Kab. Boyolali, Kepala Sekolah, Guru, Komite Sekolah, Tokoh Masyarakat, Orang Tua, Peserta Didik, dan Direktorat/Instansi Terkait.

Untuk mencapai hasil yang diharapkan digunakan berbagai strategi antara lain: mengkaji berbagai informasi tentang sosial ekonomi rendah dan menetapkan kriteria-kriteria yang digunakan untuk mengklasifikasikan perserta didik dalam kelompok ini; melakukan workshop; melakukan kajian kebutuhan lapangan di satu daerah/SMP/MTs; menyusun dan menetapkan kriteria Pedoman Penulisan Model Kurikulum; membentuk tim kerja; dan melakukan seluruh rangkaian kegiatan sesuai perencanaan yang telah disusun.

Kendala umum yang dihadapi sekolah dalam menerapkan Model Kurikulum Layanan Khusus ini adalah kurangnya kompetensi tenaga pengajar (guru), sehingga perlu mendapat pelatihan terlebih dahulu, kurangnya sarana dan prasarana yang ada, serta keterbatasan dana. Motivasi peserta didik dengan sosial ekonomi rendah untuk bersekolah juga rendah, mereka lebih mementingkan melakukan sesuatu yang dapat meningkatkan ekonomi keluarga selain dukungan dari keluarga terutama orang tua terhadap pendidikan juga sangat rendah.

Model ini dikembangkan berdasarkan hasil kajian lapangan dan belum ada sekolah yang menerapkan model ini. Agar model ini dapat diterapkan di SMP/MTs yang memiliki peserta didik dengan sosial ekonomi rendah diperlukan campur tangan pemerintah untuk meningkatkan pelatihan guru-guru keterampilan, memberikan diklat bagi kepala sekolah tentang pengembangan kurikulum yang berbasis layanan khusus bagi siswa dengan sosial ekonomi rendah, memberikan bantuan sarana dan prasarana yang mendukung mata pelajaran Muatan Lokal dan Pengembangan Diri bagi peserta didik dengan sosial ekonomi rendah, dan membuat sekolah rintisan yang dievaluasi untuk kurun waktu tertentu (lima tahun). Sekolah dapat juga mengadopsi atau mengadaptasi model ini disesuaikan dengan kondisi peserta didik dan lingkungan sekitar sekolah secara mandiri.

(3)
(4)

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Landasan 2

C. Tujuan 4

D. Ruang Lingkup 4

E. Manfaat 5

BAB II PENGEMBANGAN KONSEP 6

A. Kerangka Teori 6

1. Pengertian dan Konsep Kurikulum 6

2. Komponen Kurikulum 6

3. Konsep dan Karakteristik Sosial Ekonomi Rendah 9

B. Model Kurikulum Pendidikan Layanan Khusus SMP/MTs yang Memiliki Peserta Didik dengan Sosial Ekonomi Rendah

10

1. Layanan Khusus bagi Peserta Didik dengan Sosial Ekonomi Rendah

10

2. Model Kurikulum Pendidikan Layanan Khusus SMP/MTs

yang Memiliki Peserta Didik dengan Sosial Ekonomi Rendah 12

BAB III METODOLOGI 28

A. Waktu dan Tempat 28

B. Cara Pengumpulan Data 29

C. Teknik Analisis 29

D. Hasil dan Pembahasan 29

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan 32

B. Saran/Rekomendasi 32

LAMPIRAN 34

(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan dalam bidang pendidikan merupakan salah satu prioritas utama pembangunan nasional karena perannya yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa pemerintah wajib mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan kesejahteraan umum. Pendidikan menjadi landasan yang kuat untuk meraih kemajuan bangsa di masa depan dan untuk menghadapi era global yang sarat dengan persaingan antarbangsa. Untuk itu pemerintah berkewajiban memenuhi hak setiap warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan guna meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan UUD 1945.

Secara menyeluruh kualitas manusia Indonesia relatif masih sangat rendah. Berdasarkan Human Development Report 1999-2005 yang dikeluarkan BPS, pada tahun 2005 rata-rata HDI (Human Development Index) Indonesia 69,6%, rata-rata angka harapan hidup penduduk Indonesia 68,1%, rata-rata angka melek huruf dan lama sekolah masing-masing 90,9% dan 7,3 tahun, serta rata-rata pengeluaran riil per kapita yang disesuaikan sebesar USD.619,9. Pada tahun 2005, HDI Daerah Khusus Ibukota (DKI) sebesar 76,1%, merupakan propinsi dengan HDI tertinggi di Indonesia dan Papua dengan HDI sebesar 62,1% merupakan propinsi dengan HDI terendah di Indonesia.

Menurut data Susenas 2006, rata-rata penduduk yang terdaftar di sekolah dengan usia 13 – 15 tahun sebesar 84,08% dan usia 16 – 18 tahun sebesar 53,92%. Di sini terlihat jelas perbedaan yang cukup signifikan. Angka penduduk yang berdasarkan umur seharusnya terdaftar di SMP/MTs (13 – 15 tahun) dan yang terdaftar di SMA/MA/SMK/MAK (16 –18 tahun). Perbedaan ini antara lain disebabkan oleh keinginan untuk langsung bekerja bagi lulusan SMP/MTs. Di sini ada faktor

opportunity cost yang perlu dipertimbangkan mengingat mereka yang telah menamatkan SMP/MTs pada umumnya berusia 15 tahun ke atas sehingga dorongan untuk memasuki lapangan kerja lebih awal cukup tinggi. Terlebih lagi bagi anak-anak yang berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi rendah. Agar dapat membantu meringankan beban ekonomi keluarga, mereka lebih memilih bekerja dibanding melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah. Di samping itu, rendahnya dukungan orang tua kepada anaknya untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi masih menjadi kendala.

Sesuai dengan amandemen UUD 1945 dan Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pemerintah terus mengupayakan peningkatan biaya pendidikan dapat mencapai 20% dari APBN secara bertahap. Begitu juga dengan pemerintah di daerah lewat APBD-nya berupaya untuk mencapai angka 20% untuk bidang pendidikan. Namun, sampai saat ini baru sedikit daerah yang menganggarkan pendidikan mencapai 20% sehingga pelayanan pendidikan bagi warga negara belum seluruhnya tersentuh secara merata. Apalagi dengan kondisi yang digambarkan di atas, masih terdapat penduduk miskin Indonesia sebanyak 39,05 juta atau 17,75% dari 220 juta jumlah penduduk. Dengan demikian masih banyak peserta didik yang berstatus sosial ekonomi rendah tidak dapat mengenyam pendidikan secara utuh.

(6)

khusus bagi peserta didik yang memiliki keterbatasan akses untuk memperoleh layanan pendidikan yang disebabkan karena kondisi sosial ekonominya rendah.

B. Landasan

Dalam merencanakan dan mengembangkan kurikulum diperlukan landasan agar kurikulum memiliki landasan berpijak yang kuat. Beberapa landasan yang diperlukan dalam pengembangan kurikulum adalah:

1. Landasan Filosofis

Menurut asas filosofis bahwa dalam pengembangan kurikulum hendaknya berdasar pada filsafat/falsafah bangsa yang dianut. Filsafat/falsafat tersebut termasuk falsafah pendididikan yang membimbing kearah tujuan pendidikan. Menurut Nasution (1989), ada empat macam aliran utama dalam filsafat yaitu idealisme, realisme, pragmatisme, dan eksistensialisme. Menurut aliran idealisme, tujuan hidup ini adalah mencari kebenaran metafisik spiritual melalui inquiri yang cermat dengan cara mempelajari berbagai macam buku dari penulis-penulis ulung yang telah menemukan kebenarannya. Menurut aliran realisme, tujuan hidup adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan pemahaman manusia tentang jagad raya melalui penelitian ilmiah karena kebenaran hanya ditemukan melalui percobaan-percobaan untuk menemukan hukum-hukum alam. Aliran pragmatisme mengatakan bahwa tujuan hidup adalah untuk mencari kebenaran sosial yang menguntungkan bagi umat manusia dengan lingkungannya dengan menerapkan prinsip falsafah sosial yang humanistik melalui trial and error. Kebenaran dipandang sesuatu yang memperbaiki hidup umat manusia, kebenarannya menaruh perhatian terhadap masalah-masalah sosial yang kritis yang mengancam kesejahteraan manusia. Sedangkan menurut aliran eksistensialisme, tujuan hidup adalah untuk menyempurnakan diri sesuai norma yang dipilih sendiri secara bebas untuk dapat merealisasikan diri. Menurut aliran pragmatisme, tujuan hidup adalah untuk mencari kebenaran sosial yang menguntungkan bagi umat manusia dengan lingkungannya dengan menerapkan prinsip falsafah sosial yang humanistik melalui trial and error.

Kebenaran dipandang sebagai sesuatu yang memperbaiki hidup manusia. Oleh karena itu, perlu diperhatikan terhadap masalah-masalah sosial ekonomi kritis yang mengancam kesejahteraan manusia. Kondisi sosial ekonomi yang rendah termasuk kemiskinan (ekonomi rendah) terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state yang telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas karena mereka dituntut untuk membantu orang tua mereka mencari nafkah. Kemiskinan juga menyebabkan masyarakat rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup/safety life (James, C. Scott, 1981). Berdasarkan permasalahan tersebut perlu dirancang dan dikembangkan model kurikulum yang mampu memperbaiki kualitas hidup manusia dengan kondisi sosial ekonomi rendah.

2. Landasan Psikologis

(7)

sekolah. Menurut Kelly (1980), jika mereka dapat berkumpul bersama-sama untuk berbicara satu sama lain maka problema yang dihadapi akan dapat dipecahkan. Jean Piaget, seorang psikolog Swiss telah mempelajari pengembangan kognitif anak. Pengembangan kognitif dibagi menjadi empat tahap yaitu tahap motor sensori (0–2 tahun), pra-operasional (2–7 tahun), operasi konkret (7-11 tahun) dan operasi formal ( 11-15 tahun). Piaget, menyatakan bahwa pada usia 11 – 15 tahun (tahap operasi formal/formal operation) dimana pada usia ini anak duduk di bangku sekolah SMP/MTs, dalam tahap ini pikiran anak mencapai tingkat yang tertinggi dalam pengembangannya. Anak mampu menggunakan pemikiran logika tinggi tentang konsep abstraks dan hipotesis maupun yang konkret. Pada tahap ini anak sudah dapat mengemukakan buah pikirannya membentuk ide-ide dan berfikir tentang masa depan yang realistis. Konsep dari Peaget secara luas dapat diterapkan dalam desain pendidikan. Oleh karena itu kurikulum dirancang sesuai dengan kebutuhan anak. Dengan mengetahui tahap berfikir anak akan dapat dirancang pengalaman-pengalaman belajar yang sesuai dengan tahap berfikir tersebut.

Pada model kurikulum ini dikembangkan kemampuan-kemampuan peserta didik yang mengarah kepada keterampilan vokasional tanpa mengesampingkan keterampilan akademik. Pengembangan kurikulum ini juga harus memperhatikan kebutuhan peserta didik dari sosial ekonomi rendah yang biasanya mempunyai masalah dalam berinteraksi dengan lingkungannnya.

3. Landasan Sosial Budaya

Di samping kedua landasan di atas, dalam pengembangan kurikulum diperlukan landasan sosial budaya yang mantap. Landasan sosial budaya yang perlu diperhatikan dalam pengembangan model kurikulum pendidikan layanan khusus SMP/MTs bagi peserta didik dengan sosial ekonomi rendah antara lain:

1. Masyarakat sebagai struktur yang membentuk interaksi sosial. 2. Interaksi sosial akan membentuk berbagai bentuk perilaku.

3. Bentuk perilaku sangat ditentukan oleh sistem nilai yang dimiliki masyarakat. 4. Sistem nilai masyarakat memiliki keunikan pada setiap masyarakat, tergantung

pada lingkungan baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya, misalnya masyarakat pantai memiliki karakteristik nilai yang berbeda dengan masyarakat petani.

5. Sistem nilai juga sangat ditentukan oleh status sosial ekonomi masyarakat.

6. Ada perbedaan sistem nilai pada masyarakat yang berstatus sosial ekonomi tinggi dan berstatus sosial ekonomi rendah.

7. Pada kelompok masyarakat yang berstatus sosial ekonomi rendah memiliki tingkat pendidikan, pendapatan, dan daya beli yang rendah sehingga pendidikan dirasa mahal secara ekonomi.

4. Landasan Yuridis

Landasan pengembangan kurikulum yang keempat adalah landasan yuridis. Beberapa landasan yuridis dalam pengembangan kurikulum anatar lain: 1. Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 31 ayat (1) yang berbunyi:

“Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”

2. Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 31 ayat (2) yang berbunyi:

“Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”

3. Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 5 ayat (1) yang berbunyi:

(8)

4. Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 32 ayat (2) yang berbunyi:

”Pendidikan layanan khusus ialah pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi”

5. Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 49 yang berbunyi:

”Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan”

6. Undang-Undang No.25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas)

7. Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah

8. Deklarasi Hak-Hak Anak tahun 1959 yang menyatakan: ”Anak harus mendapat perlindungan khusus baik berdasarkan hukum maupun perangkat lain, yang memungkinkan perkembangan fisik, mental, moral, spiritual, dan sosial berlangsung dengan sehat dan normal”.

C. Tujuan

Pengembangan model kurikulum ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan proses pendidikan bagi satuan pendidikan Sekolah Menengah Pertama atau Madrasah Tsanawiyah yang memiliki peserta didik dengan sosial ekonomi rendah.

D. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penggunaan model ini adalah sekolah. Secara garis besar karakteristik sekolah berdasarkan kondisi sosial ekonomi peserta didik terbagi menjadi:

1. Sekolah yang memiliki sebagian kecil/sedikit peserta didik dengan kondisi sosial ekonomi rendah.

Sekolah dikatakan memiliki sedikit peserta didik dengan kondisi sosial ekonomi rendah jika jumlah peserta didik dengan kondisi sosial ekonomi rendah yang ada di sekolah tersebut kurang dari 50% dari jumlah peserta didik. Sekolah seperti ini dapat menerapkan layanan khusus kepada peserta didik dengan sosial ekonomi rendah melalui pengembangan diri.

2. Sekolah yang memiliki sebagian besar/banyak peserta didik dengan sosial ekonomi rendah.

Sekolah dikatakan memiliki banyak peserta didik dengan kondisi sosial ekonomi rendah jika jumlah peserta didik dengan kondisi sosial ekonomi rendah yang ada di sekolah tersebut sebesar 50% atau lebih dari jumlah peserta didik. Sekolah seperti ini dapat menerapkan layanan khusus kepada peserta didik dengan sosial ekonomi rendah melalui pengembangkan muatan lokal yang mengarah ke keterampilan vokasional.

(9)

Model kurikulum ini mengarahkan sekolah untuk memiliki unit usaha yang diharapkan dapat mendatangkan penghasilan bagi peserta didik dengan kondisi sosial ekonomi rendah. Unit usaha yang dimiliki sekolah merupakan suatu tempat yang dapat menampung hasil karya peserta didik. Unit usaha tersebut dapat berupa koperasi sekolah atau semacam display room.

E. Manfaat

Model ini dikembangkan untuk menjawab kesulitan yang dialami peserta didik dengan status sosial ekonomi rendah yang terkait dengan pendidikan dan bentuk layanan yang dapat diberikan sekolah (terutama layanan dalam bentuk nonmateri).

Model ini diharapkan dapat berguna bagi:

1. Pengambil keputusan di bidang pendidikan baik di pusat maupun daerah (Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan Propinsi, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota)

2. Orang Tua

Penerapan model ini diharapkan dapat membantu orang tua dengan sosial ekonomi rendah dalam menyekolahkan anaknya sehingga anaknya bisa mengenyam pendidikan seperti peserta didik lainnya.

3. Masyarakat

Model kurikulum ini diharapkan dapat memberikan wawasan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memberi bantuan terhadap program pendidikan, khususnya kepada peserta didik dengan sosial ekonomi rendah.

BAB II

PENGEMBANGAN KONSEP MODEL KURIKULUM PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS SMP/MTs YANG MEMILIKI PESERTA DIDIK DENGAN

SOSIAL EKONOMI RENDAH

A. Kerangka Teori

1. Pengertian dan Konsep Kurikulum

Menurut Dakir (2004), pada dasarnya kurikulum berisikan tujuan, metode, media evaluasi, bahan ajar dan pengalaman belajar. Kurikulum terdiri atas berbagai komponen yang saling terkait dan merupakan satu sistem. Hal ini berarti bahwa setiap komponen yang saling terkait tersebut hanya mempunyai satu tujuan, yaitu tujuan pendidikan yang juga menjadi tujuan kurikulum. Kurikulum merupakan suatu program pendidikan yang berisikan berbagai bahan ajar dan pengalaman belajar yang diprogramkan, direncanakan, dan dirancangkan secara sistemik atas dasar norma-norma yang berlaku yang dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran bagi tenaga kependidikan dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.

(10)

pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

2. Komponen Kurikulum

Kurikulum memiliki beberapa komponen. Komponen kurikulum sering juga disebut dengan elemen, yang merupakan bagian dari kurikulum secara keseluruhan. Kurikulum merupakan suatu sistem, maka komponen atau elemen kurikulum merupakan bagian yang fungsional dan tak terpisahkan dari sistem itu. Suatu sistem adalah suatu kesatuan dari berbagai komponen yang saling berkaitan, saling berhubungan dan saling ketergantungan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan terlebih dahulu. Kurikulum memiliki komponen yang lengkap, fungsional, dan merupakan suatu sistem yang baik.

Untuk menjawab pertanyaan komponen apa yang diperlukan dalam pengembangan kurikulum, Ralph Tyler mencoba mengenali empat pertanyaan yang mendasar yang harus dijawab dalam mengembangkan suatu kurikulum dan perencanaan pengajaran, yaitu:

a. Tujuan-tujuan pendidikan apakah yang harus dicapai oleh sekolah?

b. Pengalaman-pengalaman pendidikan apakah yang harus disediakan untuk mencapai tujuan tersebut?

c. Metode belajar-mengajar apa yang digunakan? d. Evaluasi hasil belajar apa yang digunakan?

Keempat komponen tersebut saling berhubungan secara erat satu sama lainnya. Perubahan terhadap satu komponen dapat mempengaruhi komponen yang lainnya. Hubungan yang erat itu dapat digambarkan dalam diagram berikut:

Tujuan

Konten Metode

Penilaian

Komponen-komponen kurikulum

Keempat komponen kurikulum tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Tujuan

Tujuan dibagi menjadi dua, yakni tujuan umum (aims) dan tujuan khusus (objective). Tujuan umum seringkali disebut dengan tujuan pendidikan nasional, yang berupa pernyataan pendidikan yang bersifat filosofis yang luas. Tujuan umum juga merupakan pernyataan tentang hasil kehidupan yang diharapkan, yang didasarkan pada ideologi dan nilai yang ingin diperjuangkannya. Sering pula tujuan umum dinyatakan secara resmi oleh negara dalam bentuk Undang-Undang.

(11)

Konten/materi merupakan komponen kurikulum yang amat penting. Dalam suatu proses pembelajaran, guru mengajarkan sesuatu hal kepada peserta didik. Sesuatu yang disampaikan itu adalah konten atau materi pelajaran. Dalam menentukan konten harus memperhatikan:

1) Konsep tentang konten atau materi kurikulum 2) Kriteria dalam menyeleksi konten/materi kurikulum 3) Pendekatan dalam menyeleksi isi materi kurikulum

c. Metode

Metode merupakan strategi belajar-mengajar. Penting untuk diingat bahwa suatu metode tertentu dapat menjadi efektif untuk pengetahuan/materi tertentu, tetapi kurang cocok untuk materi yang lain. Beberapa peserta didik dapat belajar lebih mudah dengan satu metode tertentu, sedangkan peserta didik lain dapat berhasil dengan metode lainnya. Proses pembelajaran pada satuan pendidikan sebaiknya diselenggarakan dengan metode yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Di bawah ini beberapa contoh dari metode yang banyak digunakan sekarang:

1) Expository Teaching

Expository Teaching merupakan suatu pendekatan di mana guru menyajikan informasi kepada peserta didik. Sumber informasi yang banyak digunakan adalah buku teks dan bahan rujukan lain yang relevan seperti: bahan-bahan audiovisual dan pengalaman pribadi guru. Biasanya guru menyajikan informasi, sedangkan peserta didik diharapkan memroses informasi tersebut dengan cara yang sama seperti yang disajikan guru. Metode yang digunakan dalam pendekatan ini antara lain ceramah dan diskusi.

2) Inquiry Learning

Inquiry Learning merupakan suatu pendekatan di mana guru bertindak. Guru menciptakan dan mengatur kondisi-kondisi yang dapat memberikan rangsangan kepada peserta didik untuk mengajukan pertanyaan tentang topik yang sedang dibahas. Metode ini dirancang untuk melatih peserta didik melakukan proses meneliti.

Menurut pendekatan ini, menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta didik diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru diharapkan selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya. Langkah-langkah Pembelajaran Inquiry:

Melakukan Observasi (Observation)

Mengajukan Pertanyaan (Questioning)

Mengajukan dugaan (Hiphotesis)

Mengumpulkan data (Data gathering)

Menyimpulkan (Conclussion)

3) Problem Based Learning

(12)

dapat dibahas di sekolah. Guru dapat berdiskusi dan bertanya kepada peserta didik mengenai faktor-faktor penyebab permasalahan tersebut dan bagaimana cara memecahkan masalah tersebut. Dengan model seperti ini diharapkan peserta didik dapat memecahkan masalahnya sendiri.

4) Collaborative Learning (CL)

Banyak definisi yang diberikan para ahli terhadap colaborative learning, tetapi pada umumnya Collaborative Learning (CL) ini didefinisikan oleh Roschelle & Belvend (1995) sebagai ”a mutual engagement of participants in a coordinated effort to solve (a) problem together” (kondisi yang menguntungkan antara masing-masing peserta didik dalam mengkoordinasikan usaha untuk memecahkan masalah secara bersama). Mereka lebih jauh mengatakan ”collaborative learning is based on the idea that learning is a naturally social act in which the participants talk among themselves. It is through the talk that learning occurs” (Collaborative Learning adalah ide pembelajaran yang didasarkan pada interaksi sosial secara alamiah antarpeserta didik yang dapat berlangsung selama proses pembelajaran berlangsung). Saling ketergantungan (positive interdependence), akuntabilitas individu, keterampilan interpersonal, interaksi tatap muka, dan

group process merupakan lima elemen dasar yang menggerakkan

Collaborative Learning (CL). Diskusi merupakan salah satu contoh bentuk

Collaborative Learning (CL).

5) Cooperative Learning

Cooperative Learning merupakan model pembelajaran yang dilakukan oleh guru dengan cara membagi peserta didik ke dalam kelompok-kelompok. Pembagian kelompok bisa berdasarkan masalah atau tema atau berdasarkan keterampilan yang harus dikembangkan berkaitan dengan bakat dan minat peserta didik. Tema atau masalah yang dibahas dalam kelompok bisa merupakan tema atau masalah yang sama atau berbeda.

d. Penilaian/Evaluasi

Dua pakar penilaian Cronbach dan Stufflebeam dalam Dadang Sundawa (2003), menganggap penilaian sebagai suatu proses untuk memberikan informasi bagi pengambilan keputusan. Tyler, menganggap penilaian sebagai proses untuk menentukan seberapa jauh tujuan pendidikan itu telah dapat dilaksanakan. Suatu komite gabungan tentang standar penilaian, mendifinisikan penilaian merupakan suatu penyelidikan yang sistematis mengenai nilai atau faedah suatu objek. Penilaian hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan (PP 19/2005 SNP).

3. Konsep dan Karakteristik Sosial Ekonomi Rendah

(13)

BAPPENAS (2004) mendefinisikan status sosial ekonomi rendah (kemiskinan) sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar manusia antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Menurut BAPPENAS (2004), terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun biaya tidak langsung.

Berdasarkan data Susenas 2006, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebanyak 39,05 juta atau 17,75% dari total 222 juta penduduk Indonesia. Penduduk miskin bertambah empat juta orang dibanding yang tercatat Februari 2005, tanpa program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak jumlahnya mencapai 50,8 juta. Menurut Susenas Maret 2006, garis kemiskinan dihitung sebesar Rp.152.847 per kapita per bulan. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan dengan garis kemiskinan per Februari 2005 yang jumlahnya sebesar Rp.129.108 per kapita per bulan. Hal tersebut menyebabkan jutaan anak tidak dapat mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan kerja, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah menyebabkan jutaan penduduk tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar seperti: pangan, sandang, dan papan secara terbatas.

Berdasarkan deskripsi mengenai sosial ekonomi rendah di atas, maka indikator/ukuran peserta didik dengan sosial ekonomi rendah yang dimaksud dalam model ini adalah:

a. Pekerjaan orang tua buruh kasar b. Pendidikan orang tua rendah

c. Penghasilan orang tua di bawah UMR

d. Tidak mampu/terlambat membayar iuran komite e. Jumlah tanggungan keluarga tinggi

Karakteristik sosial ekonomi rendah tersebut berakibat kepada peserta didik secara psikologis antara lain:

a. Motivasi untuk belajar/sekolah rendah, karena tidak ada dukungan orang tua. b. Mudah tersinggung sebagai kompensasi tidak/kurang dihargai di lingkungan

setempat.

c. Harga diri rendah dan kurang percaya diri (jika mereka bersekolah di lingkungan yang sebagian besar peserta didik nya mampu).

d. Konsentrasi terhadap pelajaran berkurang dan komitmen untuk menyelesaikan tugas-tugas tidak ada.

e. Tidak/kurang optimis menyongsong masa depan (kurang mempunyai cita-cita atau harapan).

(14)

1. Layanan Khusus bagi Peserta Didik dengan Sosial Ekonomi Rendah

Bentuk layanan khusus yang selama ini diberikan bagi peserta didik dengan sosial ekonomi rendah antara lain:

a. Bantuan/layanan yang diberikan oleh pemerintah:

1) Penyediaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) oleh Pemerintah 2) Pemberiaan beasiswa bagi peserta didik yang berprestasi

3) Penetapan Keputusan Mendiknas bahwa masa pakai buku pelajaran selama lima tahun

4) Penyelenggaraan pendidikan kesetaraan Paket A, B, dan C 5) Penyelenggaraan pendidikan SMP Terbuka

6) Pengembangan program bantuan, seperti retrieval untuk peserta didik SMP yang drop out untuk kembali bersekolah dan beasiswa transisi yang diperuntukan bagi peserta didik yang besar kemungkinan akan drop out karena tidak mampu secara ekonomi

7) Penyelenggaraan SD-SMP Satu Atap yang dikembangkan di daerah terpencil, terisolir, termiskin, terpinggirkan, dan terasing dari kehidupan perkotaan

b. Bantuan/layanan yang diberikan oleh masyarakat: 1) Pengadaan program orang tua asuh

2) Pemberian beasiswa dari lembaga-lembaga di masyarakat (perusahaan, LSM, Bazis, dll)

3) Pendirian sekolah oleh swadaya masyarakat dengan biaya gratis dan murah

c. Bantuan/layanan yang diberikan oleh sekolah:

1) Memotivasi orang tua untuk tetap menyekolahkan anaknya

2) Memberikan bimbingan/konseling terhadap anak dengan sosial ekonomi rendah jika mengalami kesulitan/hambatan di sekolah

3) Memberikan bantuan yang terkait dengan pembelajaran 4) Memberikan keringanan biaya pendidikan atau gratis

5) Mensubsidi (subsidi silang) biaya dari peserta didik yang mampu

Beberapa bentuk layanan di atas ada yang kurang efektif, diantaranya masih banyak sekolah yang setiap tahun ganti buku meskipun masa pakai buku seharusnya lima tahun yang memberatkan orang tua peserta didik, dan pemberian beasiswa sebagian besar masih ditujukan bagi peserta didik yang berprestasi.

Bantuan yang diberikan baik oleh pemerintah, masyarakat maupun sekolah di atas lebih banyak berupa materi, sedangkan pelayanan yang berkaitan dengan proses pembelajaran masih relatif kurang. Selain itu, layanan khusus yang dilakukan sekolah masih bersifat sementara dan belum tertuang dalam dokumen kurikulum sekolah (KTSP). Karenanya, perlu dikembangkan model kurikulum pendidikan layanan khusus bagi peserta didik dengan sosial ekonomi rendah di SMP/MTs yang dapat dijadikan acuan oleh sekolah dalam menyusun KTSP agar dapat mengakomodasi kebutuhan peserta didik dengan sosial ekonomi rendah.

Bentuk layanan yang dapat diberikan bagi peserta didik dengan sosial ekonomi rendah sangat tergantung pada karakteristik peserta didik tersebut. Bentuk layanan yang dapat diberikan antara lain:

(15)

b. Mengoptimalkan potensi peserta didik dengan sosial ekonomi rendah yang memiliki kelebihan dibidang tertentu, baik akademik atau non-akademik diberikan perhatian khusus, seperti pemberian beasiswa atau fasilitas khusus c. Mengembangkan sikap, minat, dan prilaku wirausaha melalui proses

pembelajaran

d. Dalam melaksakan pembelajaran guru berusaha menggunakan media pembelajaran yang murah dan mudah didapatkan peserta didik

e. Mengembangkan pendidikan kecakapan hidup yang mengarah pada kecakapan vokasional.

f. Mendirikan unit usaha/produksi yang sesuai dengan kemampuan sekolah dan potensi daerah setempat

g. Memberikan pelayanan individual oleh guru bagi peserta didik dengan sosial ekonomi rendah (konsultasi, pemberian tugas tersendiri)

2. Model Kurikulum Pendidikan Layanan Khusus SMP/MTs yang Memiliki Peserta Didik dengan Sosial Ekonomi Rendah

a. Komponen Kurikulum 1) Tujuan

a) Tujuan Umum

Pendidikan sebagai implementasi dari kurikulum bagi peserta didik dengan sosial ekonomi rendah bertujuan untuk meningkatkan kemampuan akademik maupun kemampuan nonakademik peserta didik. Kemampuan akademik adalah kemampuan meningkatkan prestasi belajar peserta didik, sedangkan kemampuan nonakademik meliputi:

 Meningkatkan jiwa dan perilaku wirausaha peserta didik (percara diri, berani menanggung risiko, orientasi ke depan, mandiri, suka tantangan, ulet, kreatif dan inovatif

 Meningkatkan taraf hidup peserta didik

b) Tujuan Khusus

Secara lebih rinci pengembangan kurikulum ini diharapkan dapat:

 Meningkatkan prestasi belajar peserta didik

 Mengefektifkan pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran tematik

 Mengoptimalkan potensi peserta didik dengan sosial ekonomi rendah

 Mengembangkan sikap, minat, dan prilaku wirausaha

 Mengembangan pendidikan kecakapan hidup yang mengarah pada kecakapan vokasional. Kecakapan vokasional mencakup kecakapan dalam bidang pekerjaan, mengelola pekerjaan, mengembangkan profesionalitas dan produktivitas kerja serta kode etik bersaing dalam melakukan pekerjaan

 Memberikan kesempatan bagi peserta didik dengan sosial ekonomi rendah untuk memperoleh pelayanan individual (konsultasi, pemberian tugas tersendiri)

 Meningkatkan pendapatan sekolah

(16)

Proses pemerolehan pendapatan bagi sekolah dan peserta didik dengan sosial ekonomi rendah dengan model kurikulum ini dapat dilihat dalam bagan alir berikut:

KTSP DENGAN LAYANAN KHUSUS BAGI PESERTA DIDIK DENGAN

SOSIAL EKONOMI RENDAH

Mata pelajaran umum

Mata pelajaran ketrampilan &

Mulok

Berbasis life skill

Unit Usaha/Unit Produksi

Income

Sekolah

(17)

2) Konten

Materi bahan ajar dikembangkan dengan bersumber dari kehidupan sehari-hari yang dihadapi dan dirasakan langsung oleh peserta didik. Bahan ajar lebih ditekankan pada kegiatan-kegiatan baik yang menyangkut pengembangan kognitif maupun keterampilan yang memberi manfaat langsung kepada peserta didik. Bahan ajar dikembangkan berdasarkan potensi daerah dan karakteristik peserta didik.

3) Metode Pembelajaran

Berbagai metode pembelajaran yang dapat diterapkan dalam model kurikulum ini antara lain adalah:

a) Pembelajaran Lebih Bersifat Problematik

Model pembelajaran ini bersumber dari masalah-masalah yang dihadapi langsung oleh peserta didik, misalnya masalah kemiskinan. Masalah kemiskinan ini dapat dibahas di sekolah. Guru dapat berdiskusi dan bertanya kepada peserta didik mengenai faktor-faktor penyebab kemiskinan dan bagaimana cara memecahkan masalah kemiskinan tersebut. Dengan model seperti ini diharapkan peserta didik dapat memecahkan masalahnya sendiri.

b) Pembelajaran Kelompok

Dalam model pembelajaran ini, guru membagi peserta didik ke dalam kelompok-kelompok. Pembagian kelompok bisa berdasarkan masalah, tema atau berdasarkan keterampilan yang harus dikembangkan berkaitan dengan bakat dan minat peserta didik. Tema atau masalah yang dibahas dalam kelompok bisa masalah atau tema yang sama atau masalah yang berbeda. Misalnya, dengan tema yang sama tentang kemiskinan, masing-masing kelompok bisa mendiskusikan dan memecahkan kemiskinan dari berbagai aspek. Kemiskinan bisa dilihat dari aspek ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain. Sedangkan masalah atau tema yang berbeda, misalnya tiap-tiap kelompok ada yang membahas ”Hidup yang Malas”, ”Bekerja yang Rajin”, ”Bekerja Keras”, ”Mencari Nafkah”, ”Hidup mandiri”, Hidup dari bantuan orang lain”, dan masalah-masalah lainnya. Pengelompokan keterampilan bisa didasarkan pada minat dan bakat yang dimiliki oleh peserta didik, misalnya ada kelompok peserta didik yang mempraktikkan pertanian, elektronik, kerajinan, dan lain-lain. Keterampilan yang dikembangkan dan dijadikan bahan pembelajaran di kelas hendaknya didasarkan pada minat, bakat, dan potensi daerah tempat peserta didik berada. Misalnya apabila peserta didik tinggal di daerah pertanian, maka kembangkan keterampilan menanam dan bagaimana hasil tanaman tersebut bisa menguntungkan secara ekonomi bagi peserta didik. Dalam pengelompokan yang berdasarkan keterampilan, sekolah harus memiliki media untuk praktik keterampilan.

c) Pembelajaran Tugas

(18)

kognitif maupun keterampilan vokasional harus lebih menekankan pada hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi langsung oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Tugas yang bersifat koginitif misalnya guru menyuruh kepada peserta didik untuk membuat suatu karangan hasil pengamatan mengenai kehidupan sosial ekonomi keluarga atau lingkungan masyarakat sekitarnya. Karangan yang berasal dari hasil pengamatan tersebut kemudian dapat didiskusikan di kelas bersama guru dan peserta didik lainnya. Dengan cara seperti ini diharapkan peserta didik memiliki pemikiran bagaimana cara memecahkan masalah sosial ekonomi yang dihadapinya. Tugas keterampilan vokasional dapat berupa keterampilan baik berdasarkan minat, bakat peserta didik maupun keunggulan lokal yang dimiliki oleh daerahnya, misalnya di sekolah diajarkan keterampilan menjahit, kemudian guru dapat memberikan tugas-tugas yang berkaitan dengan pelajaran menjahit.

d) Pembelajaran Tematik

Tema yang dikembangkan dalam pembelajaran di kelas harus bertitik tolak dari masalah sosial ekonomi yang dihadapi langsung oleh peserta didik. Tema sebagai konsep dapat diambil dari materi pelajaran yang berkenaan dengan kehidupan sosial ekonomi. Berbagai konsep dapat dikembangkan dari mata pelajaran tertentu. Misalnya, dari pelajaran IPS dapat dikembangkan mengenai kehidupan masyarakat di perkotaan dan pedesaan. Dalam kehidupan masyarakat baik di pedesaan maupun di perkotaan terdapat interaksi sosial baik interaksi antarindividu maupun kelompok. Interaksi tersebut akan membentuk kelompok dan stratifikasi sosial. Salah satu kelompok sosial yang ada pada masyarakat adalah kelompok sosial ekonomi rendah atau masyarakat miskin. Berbagai tema yang bisa dikembangkan dalam masyarakat miskin, misalnya etos kerja, kerja keras, budaya malas, pemukiman kumuh, dan lain-lain. Tema-tema tersebut dapat diangkat dan dijadikan bahan diskusi pelajaran di kelas. Dalam pengorganisasian kurikulumnya, materi tersebut diintegrasikan dengan mata pelajaran, misalnya mata pelajaran IPS, jadi bukan mata pelajaran yang berdiri sendiri.

e) Pembelajaran yang Diintegrasikan dengan Kewirausahaan

Model pembelajaran seperti ini pada dasarnya menggabungkan kemampuan kognitif peserta didik dengan keterampilan menerapkan. Keterampilan menerapkan dalam model ini lebih ditekankan pada jiwa kewirausahaan. Materi kewirausahaan dapat diambil dari mata pelajaran ekonomi, misalnya materi tentang jual beli atau pasar. Secara kognitif, di kelas mempelajari tentang teori-teori jual beli dan pasar. Teori-teori tersebut kemudian diterapkan dalam bentuk kegiatan, misalnya di sekolah dibentuk koperasi sekolah, kantin sekolah, unit-unit usaha, dan lain-lain. Dalam kegiatan unit-unit usaha tersebut, peserta didik dilibatkan. Dua hal yang harus ditanamkan guru kepada peserta didik dalam model pembelajaran tersebut adalah jiwa kewirausahaan dan keterampilan praktik. Dengan jiwa kewirausahaan berarti ada pendidikan nilai. Sementara dengan keterampilan praktik, peserta didik memiliki bekal untuk menerapkan atau mendirikan unit-unit usaha atau me-manage kegiatan jual beli setelah peserta didik keluar dari sekolah.

(19)

seseorang yang memiliki jiwa wirausaha (entrepeneur) sebagai orang yang (1) percaya diri, (2) berorientasi tugas dan hasil, (3) berani mengambil risiko, (4) berjiwa kepemimpinan, (5) berorientasi ke depan, dan (6) keorisinilan. Tata kelakuan ciri-ciri wirausaha adalah sebagi berikut:

Ciri-ciri Kewirausahaan Bentuk tata – kelakuan

Percaya diri 1. Bekerja penuh keyakinan 2. Tidak berketergantungan dalam

melakukan pekerjaan

Berorientasi pada tugas dan hasil 1. Memenuhi kebutuhan akan prestasi 2. Orientasi pekerjaan berupa laba,

tekun dan tabah, tekad kerja keras. 3. Berinisiatif

Pengambil risiko 1. Berani dan mampu mengambil risiko kerja

2. Menyukai pekerjaan yang menantang

Kepemimpinan 1. Bertingkah laku sebagai pemimpin yang terbuka thd saran dan kritik. 2. Mudah bergaul dan bekerjasama

dengan orang lain Berfikir ke arah yang asli 1. Kreatif dan Inovatif

2. Luwes dalam melaksanakan pekerjaan

3. Mempunyai banyak sumberdaya 4. Serba bisa dan berpengetahuan luas Keorisinilan

1. Berfikiran menatap ke depan 2. Perspektif

Sumber: Meredith dalam Suprojo Pusposutardjo (1999)

(20)

4) Media Pembelajaran

Media pembelajaran yang digunakan adalah media pembelajaran yang banyak terdapat di lingkungan sekitar peserta didik. Media yang digunakan tergantung pada tema yang dikembangkan dalam pembelajaran dan karakteristik lokal di mana peserta didik tinggal. Misalnya apabila materi yang akan dikembangkan berkaitan dengan pertanian, maka alat-alat dan bahan-bahan yang berkaitan dengan pertanian digunakan menjadi media dalam pembelajaran. Begitu pula apabila di daerah tempat tinggal peserta didik terdapat kelompok masyarakat perajin peralatan rumah tangga, maka alat-alat atau bahan kerajinan tersebut dijadikan sebagi media pembelajaran.

5) Penilaian/Evaluasi

Sistem penilaian yang digunakan dalam model kurikulum ini dapat berupa penilaian proses dan hasil. Penilaian satu kompetensi dasar dilakukan berdasarkan indikator-indikator pencapaian hasil belajar, baik berupa domain kognitif, afektif, maupun psikomotor. Ada tujuh teknik yang dapat digunakan dalam penilaian, yaitu:

a) Penilaian Unjuk Kerja

Penilaian unjuk kerja merupakan penilaian yang dilakukan dengan mengamati kegiatan peserta didik dalam melakukan sesuatu. Penilaian ini cocok digunakan untuk menilai ketercapaian kompetensi yang menuntut peserta didik melakukan tugas tertentu, seperti: praktik di laboratorium, praktik sholat, praktik OR, presentasi, diskusi, bermain peran, memainkan alat musik, bernyanyi, membaca puisi/deklamasi, dan lain-lain. Untuk menilai kemampuan berbicara peserta didik, dapat dilakukan dengan pengamatan atau observasi berbicara yang beragam, seperti: diskusi dalam kelompok kecil, berpidato, bercerita, dan melakukan wawancara.

b) Penilaian Sikap

Sikap bermula dari perasaan (suka atau tidak suka) yang terkait dengan kecenderungan seseorang dalam merespon sesuatu/objek. Sikap juga sebagai ekspresi dari nilai-nilai atau pandangan hidup yang dimiliki oleh seseorang. Sikap dapat dibentuk sehingga terjadi perilaku atau tindakan yang diinginkan. Penilaian sikap dapat dilakukan dengan beberapa cara atau teknik. Teknik-teknik tersebut antara lain: observasi perilaku, pertanyaan langsung, dan laporan pribadi. Penilaian sikap dapat dilakukan dengan membuat Catatan Harian Peserta Didik.

c) Penilaian Tertulis

Penilaian secara tertulis dilakukan dengan tes tertulis. Tes Tertulis merupakan tes yang soal dan jawaban yang diberikan kepada peserta didik dalam bentuk tulisan. Dalam menjawab soal peserta didik tidak selalu merespon dalam bentuk menulis jawaban tetapi dapat juga dalam bentuk yang lain seperti memberi tanda, mewarnai, menggambar dan lain sebagainya.

d) Penilaian Proyek

(21)

e) Penilaian Produk

Penilaian produk adalah penilaian terhadap proses pembuatan dan kualitas suatu produk. Penilaian produk meliputi penilaian kemampuan peserta didik untuk membuat produk-produk teknologi dan seni, seperti: makanan, pakaian, hasil karya seni (patung, lukisan, gambar), barang-barang yang terbuat dari kayu, keramik, plastik, dan logam.

f) Penilaian Portofolio

Penilaian portofolio merupakan penilaian berkelanjutan yang didasarkan pada kumpulan informasi yang menunjukkan perkembangan kemampuan peserta didik dalam satu periode tertentu. Informasi tersebut dapat berupa karya peserta didik dari proses pembelajaran yang dianggap terbaik oleh peserta didik, hasil tes (bukan nilai), atau bentuk informasi lain yang terkait dengan kompetensi tertentu dalam satu mata pelajaran.

g) Penilaian Diri

Penilaian diri adalah suatu teknik penilaian di mana peserta didik diminta untuk menilai dirinya sendiri berkaitan dengan status, proses, dan tingkat pencapaian kompetensi yang dipelajarinya. Teknik penilaian diri dapat digunakan untuk mengukur kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotor.

Penilaian hasil dapat pula digunakan hanya sebatas untuk mengukur kemampuan kognitif saja, misalnya mengukur kemampuan peserta didik yang berkaitan dengan pengetahuan-pengetahuan yang dituntut dalam bidang keterampilan vokasional yang diinginkan. Misalnya dalam keterampilan budi daya tanaman, peserta didik secara kognitif dituntut untuk mengenal atau mengetahui jenis dan sifat-sifat tanaman. Untuk menilai pengetahuan tersebut dapat digunakan bentuk-bentuk tes tertulis yang sudah lazim banyak digunakan di sekolah.

b. Bentuk Model Kurikulum Layanan Khusus SMP/MTs yang Memiliki Peserta Didik dengan Sosial Ekonomi Rendah

Usaha mengembangkan manusia berkualitas yang siap menghadapi berbagai tantangan hidup dimulai sedini mungkin melalui pendidikan. Kegiatan pendidikan diberikan antara lain melalui sejumlah mata pelajaran yang dimaksudkan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna dan bervariasi bagi peserta didik. Tidak semua lulusan SMP/MTs melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Sebagian di antara mereka harus memasuki dunia kerja terutama bagi peserta didik dengan sosial ekonomi rendah. Oleh sebab itu, perlu pengintegrasian life skill (kecakapan hidup) dalam setiap mata pelajaran. Kecakapan hidup yang dimaksud di sini antara lain kecakapan hidup/keterampilan personal, sosial, vokasional, dan akademik. Dalam pengintegrasian kecakapan hidup dalam pembelajaran perlu ada penekanan jenis kecakapan hidup yang dipilih dengan mempertimbangkan minat dan bakat peserta didik, potensi lokal, lingkungan budaya, kondisi ekonomi, dan kebutuhan daerah.

(22)

tingkat yang lebih tinggi. Kompetensi adalah suatu pernyataan tentang apa yang sepantasnya dapat dilakukan peserta didik secara terus menerus dalam suatu kajian atau mata pelajaran pada suatu tingkat tertentu. Dengan demikian, kurikulum berbasis kompetensi merupakan pergeseran penekanan dari isi (apa yang tertuang) ke kompetensi (bagaimana harus berfikir, belajar, dan melakukan) dalam kurikulum.

Oleh karena itu, peserta didik dan guru diharapkan harus dapat mengetahui apa yang harus dicapai dan sejauhmana efektifitas belajar telah dicapai. Kurikulum berbasis isi, menetapkan apa yang harus diajarkan, sementara kurikulum berbasis kompetensi menyatakan berperilaku seperti apa.Kurikulum berbasis kompetensi mempunyai dua keuntungan yaitu: menekankan pada belajar esensial dan bersifat lentur. Kompetensi yang ditetapkan dinyatakan secara umum, minimal, dan memadai untuk memberikan peluang/kesempatan dalam mengakomodasikan perbedaan-perbedaan kebutuhan, prioritas, fasilitas dan kemampuan peserta didik. Format ini juga dapat digunakan untuk membandingkan pencapaian hasil belajar peserta didik secara nasional.

Model kurikulum ini pengembangannya juga mengacu pada model kurikulum Rekonstruksi Sosial, yaitu kurikulum yang lebih memusatkan perhatian pada problema-problema yang dihadapi dalam masyarakat. Kurikulum ini bersumber pada aliran pendidikan interaksional yang menyatakan bahwa pendidikan bukan upaya sendiri, melainkan kegiatan bersama, interaksi, dan kerjasama. Kerjasama atau interaksi bukan hanya terjadi antarpeserta didik dengan guru, tetapi juga antarpeserta didik dengan peserta didik, peserta didik dengan orang-orang di lingkungannya, dan dengan sumber belajar lainnya. Melalui interaksi dan kerjasama, peserta didik berusaha memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya dalam menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik. Berikut ini model pengembangan kurikulum yang dapat diterapkan.

(23)

Bagan Kurikulum Pendidikan Layanan Khusus SMP/MTs yang memiliki Peserta Didik dengan Sosial Ekonomi Rendah

c. Pengorganisasian Kurikulum.

Dalam pengorganisasian kurikulum, sekolah dikelompokkan menjadi dua yaitu:

1) Sekolah yang Sebagian Kecil Peserta Didik dengan Sosial Ekonomi Rendah

Dalam rangka membantu peserta didik dengan sosial ekonomi rendah, model kurikulum layanan khusus dapat dilaksanakan melalui:

a) Program Pengembangan Diri

(24)

kelak bermanfaat langsung bagi kehidupan peserta didik. Seluruh aktivitas pembelajaran memberikan bekal kepada peserta didik agar adaptif, kreatif, dan inovatif melalui pengalaman belajar yang menekankan pada aktivitas fisik dan aktivitas mental. Peserta didik melakukan interaksi dengan produk kerajinan dan teknologi yang ada di lingkungannya sehingga mampu menciptakan dan menghasilkan berbagai jenis produk kerajinan atau produk teknologi.

Orientasi pembelajaran kecakapan hidup vokasional ini adalah memfasilitasi pengalaman emosi, intelektual, fisik, persepsi, sosial, estetika, artistik, dan kreativitas peserta didik dengan melakukan aktivitas apresiasi dan kreasi terhadap berbagai produk. Kegiatan ini dimulai dari mengidentifikasi potensi di sekitar peserta didik untuk diubah menjadi produk yang bermanfaat bagi kehidupan manusia dan masyarakat. Pembelajaran dirancang secara sistematis melalui tahapan meniru, memodifikasi, dan mengubah fungsi produk yang ada menuju produk baru yang lebih bermanfaat. Jiwa inovator dan keuletan dapat ditanamkan pada diri peserta didik yang mengikuti program ini.

Alur pikir pelaksanaan program pengembangan diri pada sekolah yang menggunakan model kurikulum layanan khusus bagi peserta didik dengan sosial ekonomi rendah dapat dilihat pada bagan berikut:

 Mengefektifkan pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran tematik (agar peserta didik dapat lebih banyak waktu untuk melakukan kegiatan lain, seperti pengembangan diri, belajar dari lingkungan atau alam)

 Mengembangkan sikap, minat, dan prilaku wirausaha melalui proses pembelajaran

 Mengoptimalkan potensi peserta didik dengan sosial ekonomi rendah yang memiliki kelebihan dibidang tertentu, baik akademik maupun nonakademik dengan diberikan perhatian khusus, seperti pemberian beasiswa atau fasilitas khusus

 Memberikan pelayanan individual oleh guru/sekolah bagi peserta didik dengan sosial ekonomi rendah dalam pemanfaatan teknologi sederhana yang meliputi teknologi rekayasa, teknologi budidaya, dan teknologi pengolahan untuk mengembangkan jiwa kewirausahaan.

Income generating

(pendapatan)

Unit usaha sekolah /koperasi sekolah

Pendataan peserta didik dengan sosial ekonomi rendah

Rekruitmen anggota pengembangan diri diutamakan dari peserta didik dengan kondisi

sosial ekonomi rendah

Pelatihan ketrampilan Disesuaikan dengan keunggulan lokal dan kebutuhan masyarakat

(25)

Gambar. Bagan Alur Pelaksanaan Program Pengembangan Diri

2) Sekolah yang Sebagian Besar Peserta Didik Kondisi Sosial Ekonominya Rendah

Dalam rangka membantu peserta didik dengan sosial ekonomi rendah, model kurikulum layanan khusus dapat dilaksanakan melalui:

a) Muatan Lokal

Muatan lokal yang diterapkan pada sekolah harus mengedepankan potensi unggul daerah. Muatan lokal tidak terbatas pada mata pelajaran seni budaya dan keterampilan, namun juga dapat berupa bahasa asing terutama untuk sekolah yang berada di dekat objek wisata. Mata pelajaran muatan lokal yang dikembangkan diharapkan akan menghasilkan produk atau jasa yang akan menambah income bagi peserta didik bersosial ekonomi rendah. Berikut ini alur pembelajaran muatan lokal yang dapat digunakan:Mulok Disesuaikan Dengan

Keunggulan Daerah

Seluruh Peserta Didik

Barang dan Jasa

Unit Usaha Sekolah/Koperasi Sekolah

Pembelajaran yang Terintegrasi Dengan Kewirausahaan

Income Generating

Silabus

(26)

Gambar. Bagan Alur Pelaksanaan Pembelajaran Muatan Lokal

b) Mengefektifkan pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran tematik (agar peserta didik dapat lebih banyak waktu untuk melakukan kegiatan lain, seperti pengembangan diri, belajar dari lingkungan atau alam)

c) Mengembangkan sikap, minat, dan prilaku wirausaha melalui proses pembelajaran

d) Mengusahakan penggunaan media pembelajaran oleh guru yang mudah didapatkan peserta didik

e) Mengoptimalkan potensi peserta didik dengan sosial ekonomi rendah yang memiliki kelebihan dibidang tertentu baik akademik maupun nonakademik dengan diberikan perhatian khusus, seperti pemberian beasiswa atau pemberian fasilitas khusus.

d. Struktur Kurikulum Pendidikan Layanan Khusus

Struktur kurikulum SMP/MTs sesuai dengan struktur kurikulum yang dikembangkan BSNP:

Komponen Kelas dan Alokasi Waktu

VII VIII IX

A. Mata Pelajaran

1. Pendidikan Agama 2 2 2

2. Pendidikan Kewarganegaraan 2 2 2

3. Bahasa Indonesia 4 4 4

4. Bahasa Inggris 4 4 4

5. Matematika 4 4 4

6. Ilmu Pengetahuan Alam 4 4 4

7. Ilmu Pengetahuan Sosial 4 4 4

8. Seni Budaya 2 2 2

9. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan

2 2 2

10. Keterampilan/Teknologi Informasi dan Komunikasi

2 2 2

B. Muatan Lokal 2 2 2

C. Pengembangan Diri 2*) 2*) 2*)

Jumlah 32 32 32

2*)Ekuivalen 2 jam pembelajaran

Struktur kurikulum di atas dapat dimodifikasi sekolah dengan memperhatikan:

(27)

Mata pelajaran beserta alokasi waktu untuk masing-masing tingkat satuan pendidikan berpedoman pada struktur kurikulum yang tercantum dalam Standar Isi (SI).

2) Muatan Lokal

Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak sesuai menjadi bagian dari mata pelajaran lain dan atau terlalu banyak sehingga harus menjadi mata pelajaran tersendiri. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan dan tidak terbatas pada mata pelajaran keterampilan. Apabila muatan lokal merupakan mata pelajaran, maka satuan pendidikan harus mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk setiap jenis muatan lokal yang diselenggarakan. Satuan pendidikan dapat menyelenggarakan satu mata pelajaran muatan lokal setiap semester. Ini berarti bahwa dalam satu tahun satuan pendidikan dapat diselenggarakan dua mata pelajaran muatan lokal.

Untuk muatan lokal bisa diberikan tambahan jam pelajaran jika dirasa perlu. Muatan lokal yang dikembangkan sebaiknya mengarah pada kemampuan vokasional yang hasil akhirnya mampu menghasilkan pendapatan terutama bagi peserta didik dengan sosial ekonomi rendah.

3) Kegiatan Pengembangan Diri

Pengembangan diri adalah kegiatan yang bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik yang disesuaikan dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan/atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan dan dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dapat dilakukan antara lain melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi, kehidupan sosial dan ekonomi, belajar, pengembangan karier peserta didik, serta kegiatan kepramukaan, kepemimpinan, atau kelompok ilmiah remaja.

Pengembangan diri untuk satuan pendidikan yang menerapkan layanan khusus dengan status sosial ekonomi peserta didik yang rendah menekankan pada peningkatan kecakapan hidup, peningkatan jiwa, dan perilaku wirausaha peserta didik. Penilaian kegiatan pengembangan diri dilakukan secara kualitatif, tidak kuantitatif seperti pada mata pelajaran.

4) Pengaturan Beban Belajar

a) Beban belajar dilakukan dengan sistem paket.

(28)

diarahkan pada muatan lokal untuk mengembangan keterampilan vokasional.

c) Alokasi waktu untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur dalam sistem paket untuk SMP/MTs 0% - 50%, dari waktu kegiatan tatap muka mata pelajaran yang bersangkutan. Pemanfaatan alokasi waktu tersebut mempertimbangkan potensi dan kebutuhan peserta didik dalam mencapai kompetensi.

d) Alokasi waktu untuk praktik, dua jam kegiatan praktik di sekolah setara dengan satu jam tatap muka. Empat jam praktik di luar sekolah setara dengan satu jam tatap muka.

5) Ketuntasan Belajar

Ketuntasan belajar setiap indikator yang telah ditetapkan dalam suatu kompetensi dasar berkisar antara 0-100%. Kriteria ideal ketuntasan untuk masing-masing indikator 75%. Satuan pendidikan harus menentukan kriteria ketuntasan minimal dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan rata-rata peserta didik serta kemampuan sumber daya pendukung dalam penyelenggaraan pembelajaran. Satuan pendidikan diharapkan meningkatkan kriteria ketuntasan belajar secara terus menerus untuk mencapai kriteria ketuntasan ideal. Untuk mata pelajaran muatan lokal kriteria ketuntasan minimal harus di atas 75% karena menyangkut kesalamatan kerja dan mutu produk.

6) Kenaikan Kelas dan Kelulusan

Kenaikan kelas dilaksanakan pada setiap akhir tahun ajaran. Satuan Pendidikan menentukan kriteria kenaikan kelas bagi Satuan Pendidikan yang menggunakan sistem paket melalui rapat dewan pendidik.

Sesuai dengan ketentuan PP 19/2005 Pasal 72 Ayat (1), peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah:

a) menyelesaikan seluruh program pembelajaran;

b) memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan;

c) lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan

d) lulus Ujian Nasional.

7) Pendidikan Kecakapan Hidup

a) Kurikulum untuk SMP/MTs dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup, yang mencakup kecakapan pribadi, kecakapan sosial, kecakapan akademik dan/atau kecakapan vokasional.

b) Pendidikan kecakapan hidup dapat merupakan bagian integral dari pendidikan semua mata pelajaran dan/atau berupa paket/modul yang direncanakan secara khusus.

c) Pendidikan kecakapan hidup dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan yang bersangkutan dan/atau dari satuan pendidikan formal lain dan/atau nonformal.

8) Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dan Global

(29)

aspek ekonomi, budaya, bahasa, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain, yang semuanya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik.

b) Kurikulum untuk semua tingkat satuan pendidikan dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global.

c) Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global dapat merupakan bagian dari semua mata pelajaran dan juga dapat menjadi mata pelajaran muatan lokal.

d) Pendidikan berbasis keunggulan lokal dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan formal lain dan/atau nonformal yang sudah memperoleh akreditasi.

Contoh struktur kurikulum SMP/MTs setelah dimodifikasi:

Komponen Kelas dan Alokasi Waktu

VII VIII IX

A. Mata Pelajaran

1. Pendidikan Agama 2 2 2

2. Pendidikan Kewarganegaraan 2 2 2

3. Bahasa Indonesia 4 4 4

4. Bahasa Inggris 4 4 4

5. Matematika 4 4 4

6. Ilmu Pengetahuan Alam 4 4 4

7. Ilmu Pengetahuan Sosial 4 4 4

8. Seni Budaya 2 2 2

9. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan

Kesehatan 2 2 2

10. Keterampilan/Teknologi Informasi dan Komunikasi

2 2 2

B. Muatan Lokal 4 4 4

C. Pengembangan Diri 2*) 2*) 2*)

Jumlah 34 34 34

2*)Ekuivalen 2 jam pembelajaran

e. Kalender Pendidikan

Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat menyusun kalender pendidikan sesuai dengan kebutuhan daerah, karakteristik sekolah, kebutuhan peserta didik, dan masyarakat dengan memperhatikan kalender pendidikan sebagaimana yang dimuat dalam Standar Isi.

f. Indikator Ketercapaian

Indikator ketercapaian penerapan kurikulum layanan khusus bagi peserta didik dengan kondiri sosisal ekonomi rendah:

1) Meningkatnya prestasi belajar peserta didik dengan sosial ekonomi rendah 2) Tumbuhnya jiwa dan perilaku wirausaha

3) Berkembangnya unit usaha

(30)

BAB III METODOLOGI

A. Waktu dan Tempat

Langkah-langkah pengembangan Model Pendidikan Layanan Khusus SMP/MTs yang Memiliki Peserta Didik dengan Sosial Ekonomi Rendah yang dilakukan:

1. Penyusunan Desain, dilakukan di Pusat Kurikulum, Jakarta pada Minggu I Maret 2007 dengan melibatkan koordinator kegiatan di Pusat Kurikulum.

2. Kajian Konsep, dilakukan di Hotel Mars, Cisarua pada Minggu III Maret 2007 dengan melibatkan Tim Pusat Kurikulm, Narasumber/Ahli, Direktorat Pembinaan SMP Mandikdasmen, Guru, dan Penyelenggara Homeschoolling.

3. Kajian Kebutuhan Lapangan, dilakukan di Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang pada Minggu III Juli 2007 sampai dengan Minggu II Agustus 2007 dengan melibatkan Tim Pusat Kurikulum, Narasumber/Ahli, Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang, Kepala SMP, Guru SMP, Komite SMP, Tokoh Masyarakat, Orang Tua, dan Peserta Didik.

4. Penyusunan Kerangka Model, dilakukan di Pusat Kurikulum, Jakarta pada Minggu III September 2007 dengan melibatkan Tim Pusat Kurikulum, Narasumber/Ahli, Direktorat Pembinaan SMP Mandikdasmen, Kepala SMP, Guru SMP.

5. Penyusunan Model, dilakukan di Hotel Griya Astoeti, Cisarua pada Minggu IV September 2007 dengan melibatkan Tim Pusat Kurikulum, Narasumber/Ahli, Guru SMP.

6. Uji Coba, dilakukan di Kota Kupang, NTT dan Kabupaten Boyolali, Jateng pada Minggu V Oktober 2007 sampai dengan Minggu I November 2007 dengan melibatkan Tim Pusat Kurikulum, Narasumber/Ahli, Dinas Pendidikan Kota Kupang, Dinas Pendidikan Kabupaten Boyolali, Kepala SMP, dan Guru SMP.

7. Analisis Hasil Uji Coba, dilakukan di Hotel Cipayung Asri, Cisarua pada Minggu II November 2007 dengan melibatkan Tim Pusat Kurikulum, Narasumber/Ahli, dan Guru SMP.

8. Perbaikan Model, dilakukan di Hotel Griya Astoeti, Cisarua pada Minggu III November 2007 dengan melibatkan Tim Pusat Kurikulum, Narasumber/Ahli, dan Guru SMP.

(31)

10. Penyempurnaan Model, dilakukan di Pusat Kurikulum, Jakarta pada Minggu I Desember 2007 dengan melibatkan Tim Pusat Kurikulum dan Guru SMP.

11. Finalisasi Model, dilakukan di Hotel Griya Astoeti, Cisarua pada Minggu II Desember 2007 yang dilakukan oleh Tim Pusat Kurikulum.

B. Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam pengembangan Model Kurikulum Pendididkan Layanan Khsusus SMP/MTs yang Memiliki Peserta Didik dengan Sosial Ekonomi Rendah diperoleh dari data primer maupun skunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan pengisian kuestioner. Observasi dilakukan sesuai dengan instrumen observasi yang telah disusun.

Kegiatan studi dan pengembangan ini tidak terluput dari keperluan akan penyediaan instrumen pengumpulan data. Data yang diperlukan bagi kegiatan ini adalah data tentang kebutuhan lapangan untuk penyusunan Model Kurikulum untuk Peserta Didik Sosial Ekonomi Rendah di Tingkat Sekolah Menengah Pertama dan data tentang uji coba keterbacaan dan keterlaksanaan Model Kurikulum untuk Peserta Didik Sosial Ekonomi Rendah di Tingkat Sekolah Menengah Pertama. Oleh karena itu, pada kegiatan ini harus disiapkan dua jenis instrumen yang berbeda peruntukannya.

Instrumen yang harus disiapkan untuk kedua jenis data adalah Instrumen Observasi tentang kondisi lapangan, Pedoman wawancara Guru, daftar cek dan pedoman Observasi. Sebelum instrumen dapat dihasilkan, langkah yang dilakukan adalah menyusun kisi-kisi instrumen terlebih dahulu. Selanjutnya berdasarkan kisi-kisi, disusun sejumlah instrumen sesuai dengan jenis pengumpulan data yang akan dilakukan.

C. Teknik Analisis

Data yang diperoleh harus dianalisis agar informasi yang diperlukan dapat digali dari pengumpulan datanya. Analisis dilakukan secara diskrptif kualitatif. Dalam analisis kualitatif deskriptif, perhitungan secara kuantitatif (seperti persentasi) masih dimungkinkan. Data berupa bilangan digunakan untuk menghitung persentasi untuk menetapkan kecenderungan jawaban responden. Data berupa hasil pengamatan dikategorisasikan sebelum ditafsirkan lebih lanjut. Data berupa hasil wawancara juga dikategori-sasikan sebelum akhirnya diotafsirkan dan disusun kesimpulannya.

D. Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan uji coba yang dilakukan di Kota Kupan, NTT dan Kabupaten Boyolali, Jateng diperoleh hasil sebagai berikut:

No Kab. Boyolali, Jateng No Kota Kupang, NTT

1 Keterbacaan

- Dari 25 responden (100%) menyatakan bahwa setelah membaca dokumen kurikulum dan contoh KTSP mengatakan paham tentang model kurikulum pendidikan layanan

1 Keterbacaan

- Dari 25 responden (100%) menyatakan bahwa setelah

membaca dokumen kurikulum dan contoh KTSP mengatakan paham tentang model kurikulum

(32)

No Kab. Boyolali, Jateng No Kota Kupang, NTT

khusus SMP bagi peserta didik dengan social ekomoni rendah.

bagi peserta didik dengan social ekomoni rendah.

2. Keterlaksanaan

- Dari 25 responden, sebagian besar (24 responeden) menyataankan kurikulum pendidikan layanan khusus SMP bagi peserta didik dengan sosial ekomoni rendah dapat

- Dari 25 responden , sebagian besar (22 responeden) menyataankan kurikulum pendidikan layanan khusus SMP bagi peserta didik dengan sosial ekomoni rendah

- Kriteria untuk lulus ujian nasional sama, sehingga apabila

- Motivasi anak dan orang tua kurang

3. Permasalahan

- Jumlah peserta didik digolongkan dalam kategori yang cukup mampu dan sebagian kecil siswa tidak mampu(kondisi

(33)

No Kab. Boyolali, Jateng No Kota Kupang, NTT

ini ke dalam KTSP,

- Jumlah rombongan belajar yang besar,

- Sekolah tidak mempunyai ruang keterampilan,

- Waktu dan

kemampuan dalam penerapannya, - Tempat untuk

menyalurkan hasil-hasil keterampilannya,

- Jumlah rombongan belajar setiap kelas 50 siswa, - Kondisi sekolah yang

belum memadai (lahan, dana, dan alokasi waktu pembelajaran) yang terbatas,

- Belum adanya tempat untuk menyalurkan hasil karya,

4. Kesesuaian Contoh KTSP dengan Model Kurikulum.

- Dari 25 responden (25%) menyataankan bahwa contoh KTSP terlampir dalam dokumen sesuai dengan model kurikulum pendidikan layanan khusus SMP bagi peserta didik dengan social ekomoni rendah

4. Kesesuaian Contoh KTSP dengan Model Kurikulum.

Gambar

Gambar. Bagan Alur Pelaksanaan Program Pengembangan Diri

Referensi

Dokumen terkait

Since this thesis is concerned with teaching writing through reading comprehension passages the writer has borrowed ide as especially books about how to teach

Dengan landasan penilaian tersebut, maka pada tahun 2009 Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional bekerjasama dengan Kementerian Negara Riset dan

Pengembangan yang diberikan atasan saya dengan mengikutsertakan saya dalam pelatihan-pelatihan yang dapat menunjang pekerjaan saya sebagai bidan desa mendorong

Berdasarkan penelitian Syofyetty (2009) yang menguji pengaruh tindakan supervisi terhadap kepuasan kerja auditor pada Inspektorat Provinsi Sumatera Barat, menyatakan

Dari definisi di atas dapat diartikan bahwa hal-hal yang termasuk dalam rasisme adalah sikap yang mendasarkan diri pada karateristik superioritas dan inferioritas,

Modul 1: Mesin Pencari (Search Engine) Pada pencarian video, temukanlah perbedaan kata kunci dari pencarian dengan hasil sebagai berikut. Dan dengan hasil

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (3), Pasal 8 dan Pasal 9 Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian

Jika pada referensi terdapat penulis dengan lebih dari satu artikel pada tahun yang sama, maka pada kutipan gunakan huruf a, b, … setelah tahun.. Jika nama penulis disebutkan pada