• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN TIM KERJA RUU TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "LAPORAN TIM KERJA RUU TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN TIM KERJA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI

TANGGAL 15 DESEMBER 2011

(Kegiatan Tanggal 29 Oktober s/d 14 Desember 2011)

1.Pendahulun

Atas Rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan menghasilkan karya yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara, maka Tim Kerja Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (DPR bersama Pemerintah), memberikan laporan kedua, tentang pengayaan dan/atau penyempurnaan RUU Dikti versi 27 September 2011. Hal itu dilakukan setelah mendapatkan amanah dari hasil Rapat Panja tanggal 1-2 Oktober 2011 dan setelah mencatat banyak masukan dari RDPU Panja dalam bulan Oktober 2011. Tim Kerja juga melakukan konsultasi dengan Ketua Panja bersama anggota panja, tanggal 3 November 2011, serta menerima masukan dari mantan Mendikbud Dr. Daoed Joesof dan manta Mendiknas Prof. A. Malik Fadjar, MSc, tanggal 14 November 2011.

Berdasarkan hal tersebut maka RUU Dikti versi tanggal 14 November 2011, mengalami pengayaan sehingga dari 99 pasal menjadi 116 pasal. Beberapa substansi dari Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri serta berbagai dokumen yang terpisah-pisah kemudian “dihimpun” menjadi satu kesatuan dalam RUU Dikti ini, yang dapat menunjukkan tentang pentingnya pendidikan tinggi diatur dalam sebuah undang-undang untuk menjamin adanya kepastian hukum. Demikian juga landasan hukum RUU Dikti yang tercantum dalam konsideran yang banyak mendapat sorotan juga mengalami perubahan dengan tetap berpangkalan pada pasal 31 UUD 1945. Hal-hal tersebut dilaporakan di bawah ini.

2.Kosiderans

Dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat amanah pada ayat (5) hasil amandemen keempat, yaitu, “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.

Amanah itu dimasukkan sebagai dasar pertimbangan utama yang ditempatkan dalam menimbang huruf a. Meskipun demikian pada menimbang huruf b, tetap ditulis bahwa pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional memiliki peranan strategis dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa.

Berdasarkan hal tersebut maka pendidikan tinggi menemukan fitrah kehadirannya sebagai pendidikan yang berfungsi ganda atau dwi fungsi yaitu: (1) memberikan kesempatan kepada mahasiswa mengembangkan bakat, minat, dan kemampuannya untuk menjadi intelektual, ilmuwan, filosof dan/atau profesionalis dan ahli (praktisi) yang berbudaya, dan (2) memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan manusia. Fungsi ganda atau dwi fungsi itu tidak dimiliki oleh pendidikan dasar dan menengah.

(2)

2.Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Konsiderans tersebut harus dijabarkan dalam norma RUU Dikti, sehingga dalam tujuan ditambahkan dalam pasal 5 huruf c, “dihasilkannya ilmu pengetahuan dan teknologi, dan/atau seni melalui penelitian agar bermanfaat bagi kemandirian dan kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia”.

a.Otonomi Keilmuan, Rumpun Ilmu Pengetahuan, dan Sivitas Akademika

Sejalan dengan itu maka sangat perlu menambahkan dalam Bab II (Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi) satu bagian khusus yaitu Bagian Kedua tentang Pengmbangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni, yang mencakup atas 3 (tiga) paragraf dengan 8 (delapan) pasal. Ketiga paragraf itu adalah: (1) Kebebasan Akademik dan Otonomi Keilmuan, (2) Rumpun Ilmu Pengetahuan, dan (3) Sivitas Akademika (dosen dan mahasiswa).

Rumpun ilmu pengetahuan merupakan hal yang baru, yang harus juga diatur oleh negara dalam undang-undang untuk mengatasi adanya “pertengkaran” para ilmuwan tentang keunggulan ilmunya. Rumpun ilmu pengetahuan yang kini telah dianut secara internasional terdiri atas: humaniora, ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu formal, dan ilmu-ilmu terapan (Pasal 11). Berdasarkan rumpun ilmu pengetahuan itu Menteri dapat membentuk konsorsium dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan oleh sivitas akademika. Rumpun ilmu pengetahuan selain itu jika muncul dikemudian hari secara internasional akan ditetapkan dalam peraturan menteri.

b.Otonomi Pengelolaan Perguruan Tinggi

Dalam pelaksanaan kebebasan akademik dan otonomi keilmuan, diperlukan otonomi perguruan tinggi sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas pasal 24 ayat (1) dan (2). Pasal 24 UU Sisdiknas itulah yang merupakan sumber hukum bagi pentingnya otonomi pengelolaan pendidikan tinggi, agar kebebasan akademik dan otonomi keilmuan dapat dilkasanakan, guna mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Justuru itu dalam RUU Dikti, diatur tentang status otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi, sesuai dengan kemampuan masing-masing Perguruan Tinggi. Status tersebut mencakup: otonom, semi otonom, dan otonom terbatas yang diatur dalam pasal 73 s/d pasal 81.

Rumusan tersebut direformulasi, dan telah didiskusikan dengan pemerintah, berdasarkan draft telah disiapkan dengan melakukan peringkasan dan kesetaraan antara PTS dengan PTN. Penentuan status otonom dan semi otonom ditetapkan oleh Pemerintah dengan peraturan presiden untuk PTN, dan ditetapkan oleh Badan Penyelenggaran (yayasan atau perkemupulan) untuk PTS.

Bagi PTN yang memiliki status otonom mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel, sehingga dana yang diperoleh dari pembayaran mahasiswa dan usaha PTN tidak dihitung sebagai penerimaan negara bukan pajak (pasal 77 ayat 4 dan 5). Demikian juga PTN berhak mengelola dan/atau memiliki memiliki kekayaan yang terpisah (pasal 77 ayat 6).

Selain itu PTN yang berstatus otonom (pasal 82 ayat 4 dan 5) dapat mengangkat ketenagaan (dosen dan tenaga kependidikan) sendiri yang dilakukan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja, dengan memberikan gaji pokok diatas UMR serta tunjangan lain sesuai UU GD.

Hal tersebut merupakan lex specialisyang harus diatur dalam Undang-Undang.

c.Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat

(3)

kebenaran ilmiah (ayat 1). Penelitian itu didanai oleh Pemerintah melalui jalur kompetensi bagi dosen bergelar doktor dan jalur kompetisi bagi dosen muda dan yang akan menempuh pendidikan doktor (ayat3).

Hasil penelitian berfungsi selain untuk pengembangan IPTEKS dan mempekaya khazanah ilmu pengetahuan, juga berfungsi untuk meningkatkan daya saing bangsa dan mutu kehidupan bangsa. Selain itu penelitian juga berfungsi sebagai indikator tingkat kemajuan Perguruan Tinggi, serta kemajuan dan tingkat peradaban bangsa (Pasal 54 ayat 1).

Hasil penelitian dan hasil pengabdian pada masyarakat yang diterbitkan dalam jurnal internasional, memperoleh paten, dan dimanfaatkan oleh industry, teknologi tepat guna, dan/atau buku yang digunakan sebagai sumber belajar, wajib diberikan anugrah oleh Pemerintah dalam bentuk dana (pasal 54 ayat 4). Justru itu dalam Pasal 101 ayat (3) dirumuskan bahwa pendanaan penelitian di Perguruan Tinggi paling sedikit 2 % dari anggaran fungsi pendidikan dalam APBN.

Selain itu dalam pasal 55 diatur bahwa Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mendaya gunakan Perguruan Tinggi sebagai pusat penelitian atau pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni. Demikian juga Perguruan Tinggi dapat mendayagunakan fasilitas penelitian di Kementerian lain dan/atau LPNK. Justru itu Menteri proaktif menggalang kerja sama dan kemitraan antara perguruan tinggi dengan dunia industri dalam bidang penelitian.

d.Internasionalisasi Pendidikan Tinggi dan Kerjasama Internasional

Dengan fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka sangat diharapkan pendidikan tinggi Indonesia mampu berinteraksi dalam forum internasional. Itulah sebabnya dalam RUU Dikti itu (Pasal 57) diatur juga tentang internasionalisasi pendidikan tinggi dan kerjasama internasional dengan tujuan agar akademisi, ilmuwan, dan intelektual Indonesia percaya diri dalam pergaulan internasional. Hal itu sama sekali tidak berarti bahwa Indonesia membuka pintu yang lebar untuk masuknya Perguruan Tinggi Asing di Indonesia. Internasionalisasi pendidikan tinggi dilakukan sebagai proses meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia untuk berperanan dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan keindonesiaan, guna meningkatkan kedaulatan dan martabat bangsa.

Internasionalisasi pendidikan tinggi diselenggarakan dalam mengatualisasikan prinsip bebas dan aktif, solidaritas, dan rasa saling menghormati dengan mempromosikan nilai-nilai keindonesiaan dan kemanusiaan yang memberikan manfaat bagi kesejahteraan, kemuliaan kehidupan dan peradaban. Internasionalisasi dilaksanakan melalui pengembangan pusat kajian Indonesia dan budaya local di perguruan tinggi dalam dan luar negeri serta menyelenggarakan pembelajaran yang bertaraf internasional. Kebijakan internasionalisasi pendidikan tinggi paling sedikit memuat tentang pembentukan masyarakat intelektual atau komunitas ilmiah, memberikan wawasan kepada mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat internasional, serta pemajuan nilai-nilai dan budaya bangsa Indonesia dalam pergaulan internasional (Pasal 57 ayat 3-6).

3.Jenis Pendidikan Tinggi (Pendidikan Akademik, Profesi, dan Vokasi)

Rapat Panja tanggal 1-2 Oktober 2011 memberikan amanah agar RUU Pendidikan Tinggi perlu memaparkan lebih jelas tentang jenis pendidikan tinggi yaitu pendidikan akademik, pendidikan profesi, dan pendidikan vokasi. Hal itu dilakukan dengan cara memisahkan jenis pendidikan tinggi (Bagian Ketiga) dengan program pendidikan tinggi (Bagian Keempat). Jenis pendidikan tinggi ditempatkan pada bagian ketiga yang mencakup paragraf 1 yaitu: Pendidikan akademik, dan vokasi dan Paragraf 2 yaitu Pendidikan Profesi.

(4)

butir (4) tentang pengertian pendidikan vokasi, menjadi norma. Pendidikan akademik dan vokasi diletakkan pada paragraf 1, pasal 16 ayat (1), (2), dan (3). Sedang pendidikan vokasi, diletakkan pada pragraf 2, pasal 17, ayat (1) dan (2). Hal itu dilakukan selain karena substansi itu tidak disebutkan berulang-ulang pada pasal-pasal lainnya, juga diperlukan untuk memudahkan pengertian tentang pendidikan akademik, profesi, dan vokasi.

Pada pasal 16 ayat ayat (3) dirumuskan hal yang krusial yaitu: “Pendidikan akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pendidikan vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang berada dalam tanggung jawab pembinaan, koordinasi, dan pengawasan Kementerian”. Dengan mudah dapat dipahami tentang posisi pendidikan tinggi yang berada pada semua Kementerian Lain (selain Kemendikbud) dan LPNK (Lembaga Pemerintah Non-Kementerian).

Demikian juga pada pasal 17 ayat (2) dirumuskan hal yang krusial juga yaitu: “Pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan oleh Kemeterian lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi serta dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi”. Dengan demikian maka pendidikan kedinasan dalam RUU Dikti ini, dengan mudah dapat dipahami posisinya dan kemudian diatur, dalam bagian tersendiri (pasal 32).

Isu krusial tersebut diusahankan diatur melalui jenis pendidikan tinggi saja dan berusaha menempatkannya hanya dalam dua ayat, agar perdebatan tentang hal yang krusial itu dapat dilokalisasi. Hal yang krusial itu perlu didiskusiakan, diseminarkan atau dilokaryakan serta perlu dilkaukan lobi yang intensif, karena hal tersebut merupakan dilema antara keinginan untuk melakukan perubahan (reformasi) sesuai Undang- Undang Sisdiknas yang berhadapan dengan keinginan mempertahankan status quo. Justru itu substansi yang krusial itu hanya dapat diselesaikan melalui keputusan politik.

3. Program Pendidikan Tinggi

Sebagai kelanjutan dari jenis pendidikan tinggi tersebut, maka Timja RUU Dikti perlu memperjelas pengaturan program pendidikan yang berada pada masing-masing jenis pendidikan. Hal itu berkaitan juga dengan gelar akademik, gelar profesi, dan gelar vokasi, yang juga merupakan amanah Rapat Panja tanggal 1 dan 2 Oktober 2011 untuk diatur dengan jelas. Justru itu Program Pendidikan Tinggi di bagi atas tiga paragraf, yaitu paragraf 1, berisi tentang program pendidikan sarjana, magister, doktor yang dicakup oleh jenis pendidikan akademik. Sedang paragraf 2, berisi tentang program pendidikan profesi dan spesialis yang dicakup oleh jenis pendidikan profesi. Kemudian paragraf 3, berisi tentang program pendidikan diploma satu sampai empat.

a.Program Sarjana, Magister, dan Doktor

(5)

Subsntasi dan eksistensi tentang proram sarjana, magister, dan doktor perlu diperjelas sebagai pendidikan akademik yang berfungsi menghasilkan intelektual, ilmuan, dan/atau filosof yang berbudaya karena mengutamakan penalaran, dan akhlak mulia, sebagai dasar utama dalam mengembangkan keterampilan.

Program sarjana, magister, dan doktor sebagai pendidikan akademik hanya boleh diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang berada dalam payung Kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan. Dosen pada pendidikan sarjana tentu memiliki kualifikasi akademik tersediri yang berbeda dengan dosen program profesi dan vokasi. Demikian juga gelar yang dipakai oleh lulusan pendidikan akademik, tidak boleh digunakan oleh lulusan program provesi, spesialis, atau lulusan program vokasi.

b.Program Profesi dan Spesialis

Substasi tentang program profesi dan spesialis perlu diperjelas sebagai pendidikan profesi yang berfungsi mempersiapkan mahasiswa bukan untuk menjadi intelektual, ilmuwan, dan/atau filosof, melainkan untuk menjadi profesionalis yang berbudaya yang mengutamakan pencapaian kemampuan minimal atau meningkatkan keahlian khusus yang diperlukan untuk menjalankan profesinya.

Program profesi dan spesialis sebagai pendidikan profesi merupakan tanggung jawab Kementerian Lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi untuk melaksanakannya sesuai keperluannya. Meskipun demikian Kementerian Lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi itu dapat bekerjasama dengan Perguruan Tinggi yang berada dalam payung Kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan, untuk menyelenggarakan pendidikan profesi atau spesialis. Dosen pada pendidikan profesi dan spesialis tentu memiliki kualifikasi tersediri yang berbeda dengan dosen program akademik dan vokasi. Demikian juga gelar lulusan pendidikan profesi, tidak boleh memakai gelar akademik, melainkan harus menggunakan gelar sendiri yang ditetapkan oleh Kementerian Lain, LPNK, dan/atau organisasi profesi.

c.Program Diploma

Substansi dan eksistensi tentang program diploma perlu diperjelas sebagai pendidikan vokasi yang berfungsi mempersiapkan mahasiswa bukan untuk menjadi intelektual, ilmuwan, dan/atau filosof, melainkan untuk menjadi praktisi yang trampil untuk memasuki dunia kerja susia bidang keahliannya.

Program diploma sebagai pendidikan vokasi terdiri atas program diploma satu sampai empat, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program diploma, yang berada dalam payung Kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan. Dosen pada program diploma tentu memiliki kualifikasi tersediri yang berbeda dengan dosen program sarjana, magister dan doktor serta program profesi dan spesialis. Demikian juga gelar lulusan program diploma merupakan gelar tersendiri yang tidak boleh digunakan oleh lulusan program profesi, spesialis, atau lulusan program sarjana, magister, dan doktor.

4. Gelar Akademik, Profesi, dan Vokasi

Panja RUU Dikti tanggal 1-2 Oktober 2011 menyimpulkan agar RUU Pendidikan Tinggi perlu juga mengatur tentang gelar untuk sarjana akademik, sarjana terapan dan ketrampilan (vokasi) serta gelar profesi dan spesialis yang diakui, dan lembaga pendidikan tinggi yang berwewenang memberikan gelar itu. Demikian juga perlu diperjelas lembaga yang memiliki wewenang untuk memberikan sertifikat kompetensi dan sertifikat profesi.

(6)

penggunaan gelar lulusan perguruan tinggi, hanya diatur dalam Peraturam Menteri dan kemudian dalam Peraturan Pemerintah yang selain tidak menjernihkan, juga perlu diperkuat melalui undang-undang.

Gelar akademik hanya boleh digunakan oleh lulusan pendidikan akademik yang terdiri atas gelar sarjana, magister, dan doktor. Gelar sarjana hanya berhak dipakai oleh lulusan program sarjana. Sedang gelar magister hanya berhak dipakai oleh lulusan program magister. Demikian juga gelar doktor hanya berhak dipakai oleh lulusan program doktor.

Gelar profesi hanya boleh digunakan oleh lulusan pendidikan profesi yang terdiri atas gelar profesi (misalnya: dokter, notaris, psikolog) dan spesialis. Gelar profesi hanya berhak dipakai oleh lulusan program profesi. Sedang gelar spesialis hanya berhak dipakai oleh lulusan program spesialis.

Gelar vokasi hanya boleh digunakan oleh lulusan pendidikan vokasi yang terdiri atas gelar Ahli Pratama, Ahli Muda, Ahli Madya dan Sarjana Sains Terapan. Gelar Ahli Pratama hanya berhak dipakai oleh lulusan program diploma satu. Sedang gelar Ahli Muda hanya berhak dipakai oleh lulusan program diploma dua. Demikian juga gelar Ahli Madya hanya berhak dipakai oleh lulusan program diploma tiga. Kemudian gelar Sarjana Sains Terapan hanya berhak dipakai oleh lulusan program diploma empat.

Selain itu singkatan gelar akademik, profesi, dan vokasi, perlu juga diatur secara garis besar saja, dan penempatannya. Misalnya gelar dokter yang mestinya disingkat dr, tetapi ada juga yang berusaha memberi singkatan Dr. Sedang gelar Dr. (doktor) disingkat DR.

5.Akreditasi

Atas arahan Ketua Panja tentang akreditasi program studi sejak mendapat izin penyelenggaraan, maka perlu ditambahkan satu pragaraf tentang akreditasi, agar substansi dan eksistensi akreditasi dan lembaga yang menyelenggarakannya menjadi jelas. Pelaksana akreditasi sesungguhnya harus berada diluar Kementerian. Hal ini diperlukan agar asesor itu bisa lebih independen, meskipun anggarannya berasal dari APBN.

Program studi hanya memperoleh izin setelah memenuhi persyaratan minimun akreditasi sehingga pada saat program studi didirikan dengan sendirinya sudah terakreditasi. Hal itu penting diatur, sebab jika sebuah program studi belum terakreditasi, dan keburu menghasilkan lulusan, maka ijazah dan gelar lulusannya dinyatakan tidak sah. Justru itu pengaturan tentang akreditasi ditambahkan untuk memperkaya RUU Dikti.

6.Pendidikan Kedinasan

Atas usul rapat panja RUU Dikti DPR, tanggal 14 Desember 2011, maka Timja sepakat mengatur tentang Pendidikan Kedinasan padal pasal 32 dengan melakukan sinkronisasi dengan Undang-Undang Sisdiknas (pasal 29). Pendidikan kedinasan adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh Kemeterian lain atau LPNK dengan melakukan kordinasi dengan Kementerian. Pendidikan kedinasan yang dapat dilakukan melalui jalur formal (bergelar) dan nonformal (nongelar) itu, berfungsi untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu kementerian atau LPNK.

7.Pendidikan Keagamaan

(7)

mahasiswa menjadi anggota masyarakat yang lebih memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi akhli agama dengan kemampuan tinggi.

Pendidikan keagamaan dapat berbentuk pendidikan diniyah, pesantren (Ma’had Aly), pasraman, paphaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis yang dapat diselenggarakan oleh masyarakat atau Kementerian Lain (Agama) dengan bekerjasama dengan Kementerian. Sedang pendidikan akademik yang selama ini diselenggarakan di bawah pembinaan, koordinasi, dan pengawasan Kementerian Agama, sudah tidak ada lagi. Jika substansi itu disepakati, maka akan di atur tentang cara dan masa peralihan.

8.Pendidikan Jarak Jauh

Pendidikan jarak jauh dalam draft tanggal 27 September 2011, dicakup dalam paragraf tentang Program Studi (pasal 14). Hal itu tidak mengatur tentang Universitas Terbuka, yang selama ini melakukan pendidikan jarak jauh. Justru itu pendidikan jarak jauh diatur dalam satu bagian dan satu pasal dalam RUU Dikti (Pasal 34).

Substansi tentang Pendidikan Jarak jauh mencakup penyelenggaraan pendidikan dan pembeljaran oleh Perguruan Tinggi dan oleh program studi tertentu dalam suatu Perguruan Tinggi. Pendidikan jarak jauh merupakan pendidikan yang mahasiswanya terpisah dari dosen, dan pembelajarannya menggunakan sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lainnya (multi media).

9.Bahasa Pengantar

Salah satu masukan yang penting, yang juga harus dimasukkan dalam RUU Dikti adalah substansi tentang pengaturan bahasa pengantar. Bahasa Pengantar dimasukkan dalam paragraf 5 Pasal 42. Substansi tentang bahasa pengantar belum ditemukan dalam draft tanggal 27 September 2011.

Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan tinggi. Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam Perguruan Tinggi dan/atau program studi yang mengkaji dan mengembangkan bahasa asing serta Perguruan Tinggi dan/atau program studi tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing bagi mahasiswa. Hal itu telah sinkron dengan UU Sisdiknas (Pasal, 33).

10.Sumber Belajar

Untuk meningkatkan mutu pendidikan, maka diperlukan sumber belajar dalam pembelajaran. Justru itu dalam Pasal 49 diatur bahwa perguruan tinggi wajib dimiliki atau disediakan oleh Perguruan Tinggi sesuai dengan program studi yang dikembangkan. Sumber belajar itu dapat berupa: alam semesta, lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, hospital pendidikan, laboratorium, perpustakaan, museum, dll yang dapat digunakan secara bersama oleh beberapa perguruan tinggi.

Sumber belajar itu dapat juga merupakan sarana dan prasarana perguruan tinggi yang wajib disediakan oleh perguruan tinggi. Selain itu Perguruan Tinggi juga wajib menyediakan sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan pendidikan tinggi sesuai pertumbuhan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan sivitas akademika

11.Pemenuhan Hak Mahasiswa

(8)

melalui kegiatan kurikuler, ko-kurikuler, dan ekstakurikuler. Hal ini merupakan bagian penting dari peningkatan mutu lulusan perguruan tinggi.

Dalam pasal 87 ayat (1) dijelaskan bahwa Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau Pergurusn Tinggi wajib memenuhi hak mahasiswa dengan cara memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang berprestasi, dan memberikan bantuan biaya pendidikan kepada mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi, serta menyediakan pinjaman dana kepada mahasiswa. Mahasiswa membayar sesuai kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua dan/atau pihak yang menanggungnya. Bahkan Perguruan Tinggi dapat membebaskan pembayaran kepada mahasiswa sesuai peraturan perundang-undangan. Bahkan PTN wajib mengalokasikan bantuan biaya pendidikan bagi mahasiswa WNI yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20 % dari seluruh jumlah mahasiswa (pasal 110).

Selain itu Perguruan Tinggi wajib mencari dan menjaring calon mahasiswa WNI yang memiliki ptensi akademik, tetapi kurang mampu secara ekonomi, untuk diterima paling sedikit 20% dari seluruh jumlah seluruh mahasiswa baru yang tersebar pada semua program studi. Mahasiswa tersebut dapat memperoleh banytuan biaya pendidikan dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat (pasal 87). Demikian juga perguruan tinggi wajib memberikan dukungan biaya kepada organisasi kemahasiswaan sebagai organisasi intra perguruan tinggi sebagai wadah pengembangan bakat, minat, dan kemampuan mahasiswa (pasal 88).

12.Pembatasan Dana dari Mahasiswa (Baru)

Undang-Undang Perguruan Tinggi juga mengatur bahwa dana yang ditarik dari mahasiswa oleh PTN, tidak boleh lebih dari 1/3 dari biaya studi mahasiswa atau dari seluruh biaya operasional perguruan tinggi (110). Ada dua opsi yang masih harus didiskusikan dan disepakati opsi yang mana yang paling tepat, bagi mahasiswa dan bagi perguruan tinggi, dengan tetap memperhatikan tentang subsidi silang atau keadilan proporsional.

Dengan substansi tersebut, maka PTN tidak akan lagi seenaknya membuka jalur khusus atau jalur mandiri, terutama karena satuan biaya pendidikan mahasiswa harus diputuskan bersama antara Pemerintah dengan DPR (pasal 104). Hal itu berarti jika dana pendidikan tinggi tidak mencukupi, maka Pemerintah dan DPR akan mencari solusi bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

13.Dosen dan Profesor (Lex Specialis)

Dosen yang telah memiliki pengalaman kerja dua tahun dan memiliki jabatan akademik sebagai asisten ahli serta telah membuat buku ajar atau buku teks yang diterbitkan oleh perguruan tinggi sebagai sumber belajar mata kuliah yang diampunya, dapat dinyatakan lulus sertifikasi oleh perguruan tinggi yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan. Dosen yang telah memiliki pengalaman kerja selama sepuluh tahun sebagai dosen tetap, serta telah lulus program doktor atau sederajat, serta memenuhi persyaratan lainnya, dapat diusulkan ke jenjang jabatan akademik tertinggi atau profesor. Sedang pemerintah wajib memberikan tunjangan profesi dan tunjangan kehormatan kepada profesor sampai usia 70 tahun yang mampu menulis buku dan karya ilmiah serta menyerbarkan gagasan untuk mencerahkan masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan (Pasal 83).

Hal-hal tersebut merupakan lex specialis yang harus diatur dengan undang-undang. Hal itu diperlukan karena profesor merupakan jabatan akademik tertinggi yang memiliki wewenang membimbing calon doktor, serta wewenang dalam melaksanakan kebebasan mimbar akademik. Profesor juga berkewajiban mengembangkan ilmu pengetahaun, teknologi dan/atau seni untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia (Pasal 10).

(9)

14.Insentif Pajak dan Pengurangan Pajak (Lex Specialis)

Dalam pasal 102 RUU Dikti dirumuskan bahwa Pemerintah medorong dunia usaha dan dunia industri memberikan bantuan dana pendidikan. Justru itu Pemerintah wajib memberikan insentif kepada dunia usaha, dunia industri atau masyarakat yang memberikan bantuan atau sumbangan untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi (ayat 1 dan 2). Pemerintah juga memberikan keringan dalam bentuk pengurangan pajak dan/atau penghapusan pajak tertentu bagi perguruan tinggi. Pemerintah juga menfasilitasi terbentuknya lembaga pengelolaan keuangan masyarakat untuk menghimpun dana bantuan biaya pendidikan bagi mahasiswa. Demikian juga Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memberikan hak khusus pengelolaan asset negara pada PTN yang berstatus otonom dan memenuhi syarat (ayat 3- 5).

Hal-hal tersebut merupakan lex specialis dari peraturan perundangan-undangan yang sudah ada, Dengan demikian RUU Dikti sangat diperlukan, karena tidak bisa diatur dalam Peraturan Pemerintah.

15. Akademi Komunitas (Baru)

Substansi yang baru yang memerlukan undang-undang karena tidak diatur dalam Undang-Undang Sisdiknas, adalah perlunya dibentuk/didirikan akademi komunitas disetiap kabupaten/Kota oleh Pemerintah bersama dengan pemerintah daerah, terutama di daerah-daerah perbatasan dan daerah-daerah tertepncil (Pasal 66 ayat 3 dan 4). Akademi komunitas merupakan pendidikan vokasi yang menyelenggarakan pendidikan berbasis keunggulan lokal dalam sebagian cabang ilmu, terdiri atas program diploma satu dan diploma dua, serta pendidikan tinggi lainnya yang sederajat. Akademi komunitas dipimpin oleh direktur yang dapat dibantu oleh wakil direktur.

Pemerintah bersama pemerintah daerah secara bertahap mengembangkan paling sedikit 1 (satu) akademi komunitas dalam cabang ilmu, teknologi, atau seni sesuai dengan kemampuan potensi dan kebutuhan daerah di setiap kabupaten/kota, terutama di daerah perbatasan. Akademi komunitas tersebut dilaksanakan berbasis pengajaran dan kebutuhan pembangunan daerah (Pasal 99).

Ketentuan lebih lanjut tentang akademi komunitas diatur lebih lanjut dengan dalam Peraturan Menteri.

16.Pusat Unggulan dan Perguruan Tinggi Riset (Baru)

Dalam RUU Dikti diatur juga tentang pentingnya mengembangkan pusat unggulan pada perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh menteri (Pasal 96). Pemerintah juga diberi amanah mengembangkan paling sedikit 1 (satu) perguruan tinggi untuk dikembangkan untuk menjadi perguruan tinggi bertaraf internasional untuk menjalankan visi dan misi sebagai perguruan tinggi riset yang berbasis riset, inovasi dan kebutuhan pembangunan nasional. Perguruan tinggi riset itu, harus memenuhi syarat: (a) menhasilkan doctor paling sedikit 50 (lima puluh) orang setiap tahun, (b) paling sedikit 25 % pembiyaan operasional berasal dari kegiatan riset, kerjasama industry, dan hak kekayaan intelektual, dan (c) telah melampai Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT). Perguruan tinggi riset ditetapkan dengan peraturan menteri (Pasal 97).

Selain itu Pemerintah juga mengembangkan paling sedikit 1 (satu) PTN berbentuk universitas atau institute di setiap provinsi. PTN tersebut berbasis pengajaran, riset, dan kebutuhan pembangunan nasional (pasal 98).

17. Penutup

(10)

merasa masih banyak yang perlu didiskusikan dan diputuskan bersama dalam rapat Panitia Kerja DPR bersama Pemerintah.

Kami serahkan naskah RUU Dikti versi tanggal 14 Desember 2011 untuk dibahas dan diputuskan bersama. Kami yakin bahwa pimpinan dan segenap anggota Panja akan mengambil keputusan dengan cerdas dan bijak setelah membaca, memahami, dan mengkaji dengan kritis mulai dari konsiderans hingga penjelasannya draft RUU Dikti yang kami sajikan ini.

Sekali lagi kami mohon maaf atas segala kekurangan, dan terima kasih atas kepercayaannya Panja RUU Dikti DPR kepada segenap anggota Tinja yang telah berkerja keras secara tulus. Segala kritik dan saran yang disampaikan dengan bijak, kami akan terima dengan lepang dada.

--Wabillahit Taufiq Wal

Jakarta, 15 Desember 2011

Konsultan Ahli/TPA RUU Dikti DPR-RI,

Anwar Arifin

TIM KERJA RUU DIKTI

Tim Kerja Panja Pemerintah Tim Kerja Panja Komisi X DPR

Prof. Dr. Ir. Djoko Santoso, M.Sc * Prof. Dr. Anwar Arifin, DIDS Prof. Dr. Usman Chatib Warsa, Ph.D.,SpMK Prof. Dr. Ir. Rizal Z. Tamin Prof. Ir. Nizam, M.Sc, Ph.D Khalilah, MPd.

Prof. Dr. Sofian Effendi, MPIA Ahmad Daniel, S.Ag. MSi Prof. Dr. Ir. Achmad Ansori Mattjik, M.Sc Rachmad Wahyudi H,SH.MH Dr. Ronny Kusuma Muntoro, MBA * Woro Wulaningrum,SH Prof. Dr. Ir. Abd. Munir, M.Sc

*Beberapa kali hadir

Catatan:

(11)

LAPORAN TIM KERJA

RANCANGAN UNDANG - UNDANG

PENDIDIKAN TINGGI

TANGGAL 19 SEPTEMBER 2011

(Kegiatan Tanggal 8 Juli s/d 19 September 2011)

Dengan rakhmat Allah SWT, dan dengan didorong oleh niat baik untuk menghasilkan suatu karya yang berguna bagi masyarakat, bangsa, dan negara, maka setelah berpikir dan bekerja keras serta berdiskusi secara intensif, dengan ini, kami dari “Tim Kerja” (Timja) Panja (Panitia Kerja) RUU DIKTI (Rancangan Undang - Undang Pendidikan Tinggi), menyampaikan “Laporan Awal” tentang hasil kerja kami sebagai berikut:

1.

Tim Kerja ini mendapat mandat dari Rapat Panja tanggal 23 – 24 Juni 2011 dan Rapat Panja bersama Pemerintah tanggal 30 Juni 2011 bahwa agar pembahasan dapat dilakukan dengan lebih efektif, efisien, dan maksimal maka diusulkan Draf RUU DPR dan Draf RUU Pemerintah diubah menjadi satu draf RUU.

2.

Kami juga mendapatkan sejumlah masukan yang merupakan mandat yang harus diperhatikan dalam penyatuan naskah RUU Pendidikan Tinggi usul DPR dan usul Pemerintah.

3.

Berdasarkan butir 1 dan 2 tersebut, maka hasil kerja Timja, kami laporkan dengan sistematika berdasarkan masukan yang kami terima sebagaimana disajikan dibawah ini.

A.SINKRONISASI

1. RUU Pendidikan Tinggi harus harmonis (sinkron) dengan Undang – Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang – Undang No. 14 Tahun 2005 Guru dan Dosen, serta undang – undang lainnya.

2. RUU Pendidikan Tinggi merupakan turunan dari UU Sisdiknas, maka ketentuan dan pengaturan dalam RUU Pendidikan Tinggi dimungkinkan merumuskan secara lebih spesifik/detail.

Namun rumusannya tidak boleh bertentangan dengan UU Sisdiknas dan UU Guru dan Dosen. Ketentuan dan pengaturan lebih lanjut mengenai hal-hal yang bersifat lebih spesifik atau bersifat tambahan tersebut dilakukan dengan cara penambahan ketentuan baru dalam Pasal dan/atau Ayat.

a. Hal tersebut sudah dilaksanakan terutama dalam Ketentuan Umum (Pasal 1 butir 1 s/d 9, butir 12, 19, 21 s/d 26, dan 31).

b. Butir 22 tentang Kolej Komunitas merupakan perluasan pasal 50 ayat (6) UU Sisdiknas yang berbunyi, “Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal”.Sejalan dengan itu maka dalam RUU Perti dirumuskan, Pasal 1, butir 22, “Kolej kominitas adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan berbasis keunggulan lokal”.

c. Sejalan dengan itu terdapat juga rumusan yang sinkron (harmonis) dengan pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas yang berbunyi, “Pemerintah menyelenggarakan sekurang – kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.

(12)

e. Agar sinkron dengan UU Sisdiknas pasal 24 ayat (2), maka dalam RUU Pendidikan Tinggi dirumuskan pada pasal 59 ayat (1), “Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat”. Sejalan dengan itu maka terdapat tiga macam bentuk pengelolaan perguruan tinggi yang diatur dalam pasal 63 yaitu, “Pengelolaan PTN dilakukan secara: a. otonom; b semi otonom; dan c. otonom terbatas”.

B.PENATAAN MATERI DALAM SISTEMATIKA RUU

1. Ada beberapa materi yang telah diatur dalam draf RUU Pendidikan Tinggi versi DPR RI maupun Pemerintah, yang perlu ditata kembali, antara lain:

a. Perlu diatur secara utuh dalam satu Bab atau Sub-Bab mengenai Tri Dharma Perguruan Tinggi:

1) Dharma Satu; Pendidikan 2) Dharma Dua; Penelitian

3) Dharma Tiga; Pengabdian Kepada Masyarakat Catatan:

- Dalam draf RUU versi DPR hanya mengatur dharma penelitian.

- Dalam draf RUU versi Pemerintah hanya mengatur dharma penelitian, dan dharma pengabdian kepada masyarakat

b. Perlu diatur secara utuh dalam satu Bab atau Sub-Bab mengenai Sivitas Akademika 1) Mahasiswa

2) Dosen Catatan:

Secara sosiologis, pengertian/istilah “Sivitas Akademika” sudah menjadi bagian penting dalam kegiatan pendidikan tinggi di Indonesia. Karena itu perlu dilembagakan dan diperkuat dalam RUU Pendidikan Tinggi. Rumusan dan pengaturannya dapat merujuk pada PP No.60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi atau PP No.17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Amanah tersebut telah diakomodasi dalam RUU Pendidikan Tinggi, pada Bab I Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, Bagian Pertama, “Pendidikan dan Pembelajaran” (Pasal 6 s/d 23). Sedang Bagian kedua, “Penelitian” (Pasal 24 dan 25) dan Bagian Ketiga, “Pengabdian Masyarakat” (Pasal 26).

Sedang Sivitas Akademika telah diakomodasi pada Bagian Keenam (Pasal 27 dan 28). Kami merasa bahwa substansi tentang pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat itu masih perlu disempurnakan, terutama tentang penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Hal itu kami memerlukan masukan dan persetejuan dari Panja RUU Dikti.

2. Mahasiswa merupakan unsur paling penting dalam pendidikan tinggi maka ketentuan dan pengaturan mengenai substansi mahasiswa, ditempatkan pada bagian awal draf RUU. Namun demikian, rumusan dan pengaturannya masih perlu dilengkapi antara lain mengenai hak dan kewajiban (PP 60/1999 tentang Pendidikan Tinggi).

Amanah tersebut telah diakomodasi pada pasal 27 tentang dosen yang sudah diatur dalam UU Guru dan Dosen. Sedang pada pasal 28 tentang mahasiswa telah diatur tentang hak dan kewajiban mahasiswa, serta penerimaan mahasiswa baru (pasal 29), penerimaan mahasiswa dari negara lain (pasal 30), dan organisasi kemahasiswaan (pasal 31).

(13)

perguruan tinggi. Dalam draf RUU ini masih lebih dominan mengatur tentang mengenai substansi perguruan tinggi.

Amanah tersebut telah dilakukan penambahan tentang substansi pendidikan dan mengurangi substansi tentang perguruan tinggi. Penambahan substansi pendidikan terdapat pada pasal 14 tentang Sistem Kredit Semester. Selain itu pada pasal 21 terdapat juga tambahan tentang Sertifikat Komptensi (ayat 2 dan 3).

Meskipun demikian kami masih merasa perlu tambahan substansi mengenai gelar, terutama tentang jenis gelar (akademik, profesi, dan vokasi) dan sanksi bagi yang memberi dan menggunakan gelar bagi yang tidak berhak. Selain itu substansi tentang: otonomi keilmuan, kebebasan akademik, dan kebebasan mimbar akademik (pasal 3 RUU Perti dan penjelasannya), mungkin perlu ditampilkan juga menjadi “norma”, sebagaimana amanah Pasal 24 ayat (1) UU Sidiknas, “Dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, berlaku kebebasan akademik, dan kebebasan mimbar akademik, serta otonomi keilmuan” . Substansi itu mungkin perlu diatur lebih lanjut, karena hanya pendidikan tinggi yang boleh memilikinya. Hal–hal tersebut, tentu memerlukan masukan dan persetujuan Panja RUU Perti, jika memang perlu ditampilkan dan bukan diatur dalam penjelasan tentang asas pendidikan tinggi.

4. Substansi “fungsi pendidikan tinggi untuk membentuk dan mengembangkan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik“ tidak tepat diatur dalam RUU Pendidikan Tinggi. Dalam ilmu psikologi, pengembangan mengenai ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik lebih dikenal pada pendidikan anak usia dini dan jenjang pendidikan dasar. Pada jenjang pendidikan tinggi, pengembangan mahasiswa diarahkan kepada aspek akademik, keahlian, keterampilan, dll.

Amanah tersebut telah diakomodasi dengan melakukan reformulasi sebagaimana dirumuskan pada pasal 5 ayat (1) huruf b. Pasal 5 ayat (1) diambil atau disinkronkan dengan pasal 3 UU Sisdiknas.

5. Substansi “PTN Khusus” dihapus (Konsinyering intern Panja 23 s/d 24 Juni 2011) dan diganti menjadi PTN Keagamaan, namun substansi ini masih perlu didiskusikan lebih lanjut.

Catatan:

UU Sisdiknas Pasal 30 dan PP 50/2007 mencantumkan definisi “Pendidikan Keagamaan” adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.

Pokok-pokok pikiran:

Substansi pendidikan akademik, profesi, dan vokasi.

Substansi disiplin ilmu, ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan agama, dan ilmu agama.

Substansi “PTN Khusus” yang telah disepakati untuk dihapus. Pendidikan Keagamaan dibawah pengelolaan Kementerian Agama

Mekanisme/kriteria pengukuran 50% prodi agama dan prodi umum (Hal ini kemudian menjadi 100 % prodi agama).

(14)

memberikan, mengubah, atau mencabut izin penyelenggaraan perguruan tinggi, kecuali perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan tinggi keagamaan”. “Penyelenggaraan pendidikan keagamaan yang dimaksud ayat (1) berbentuk Institut, Sekolah Tinggi, dan/atau akademi (pasal 51 ayat 2). Izin perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan diberikan oleh Menteri lain”. (Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang agama).

Hal tersebut merupakan perluasan pasal 30 ayat (1) yaitu, “Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai peraturan perundang – undangan. Pendidikan kegamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai – nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama”. Perluasannya dapat seperti yang dirumuskan dalam PP 50/2007 tentang Penyelenggaraan Pendidikan.

C.KESEPAKATAN DAN REKAPITULASI USULAN BARU

1. RUU Pendidikan Tinggi perlu menjamin peningkatan daya tampung perguruan tinggi yang bermutu:

a. Peran Pemerintah harus jelas bagaimana memfasilitasi peningkatan dan pengawasan mutu pendidikan; Kopertis dibubarkan; LPMPT perlu diadakan di setiap propinsi, untuk mampu memfasilitasi dan mengawasi perguruan tinggi secara regular; terdapat kemungkinan LPMPT melaksanakan fungsi tambahan seperti ijin pembukaan program studi.

b. Sistem reward dan punishment bagi perguruan tinggi perlu diterapkan.

c. BAN PT perlu mengakreditasi Lembaga Sertifikasi Independen; agar sertifikasi berlangsung.

Amanah tersebut telah ada sejak naskah awal yaitu Bab III tentang Penjaminan Mutu. Tim Kerja hanya berusaha menyempurnakan dan mempertajam sesuai dengan masukan yang disajikan di muka. Justru itu pada Bagian Kesatu Sistem Penjaminan Mutu Pasal 48 ayat (1) ditambahkan suatu rumusan tentang pengertian pendidikan tinggi bermutu, yaitu, “Pendidikan tinggi bermutu, merupakan pendidikan tinggi yang menghasilkan lulusan yang mampu secara aktif mengembangkan potensi diri, yang berguna bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”. Berdasarkan hal tersebut, maka terdapat beberapa lembaga penjaminan mutu yang mengawasi perguruan tinggi secara regular didirikan disetiap wilayah (Kopertis). Pasal 53 ayat (1) berbunyi, “Menteri dapat membentuk unit penjaminan mutu pendidikan tinggi di setiap wilayah untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berkelanjutan”. Meskipun demikian Timja belum “sempat” mendiskusikan tentang bentuk Sistem reward dan punishment yang layak diterapkan terhadap perguruan tinggi. Sedang substansi yang berkaitan dengan “BAN PT” dirumuskan pada pasal 52 ayat (1) huruf c, yaitu, “badan dan/atau lembaga akreditasi mandiri yang diakui oleh Pemerintah, setelah mendapat rekomendasi dari badan akreditasi nasional perguruan tinggi yang bertugas melaksanakan sistem penjaminan mutu eksternal”.

2. RUU Pendidikan Tinggi perlu menjamin aspek keterjangkauan dan pendanaan pendidikan tinggi: a. PTN berbadan hukum dapat diterima tetapi harus tetap terjangkau oleh mahasiswa tidak

mampu.

b. Akses pendidikan tinggi harus diperbesar, di seluruh daerah termasuk daerah perbatasan. c. Pemerintah daerah perlu mendukung pendanaan pendidikan tinggi; gagasan akademi

komunitas dapat diterima, namun keselarasan dengan UU Pemerintahan Daerah perlu diperhatikan.

d. Masyarakat perlu diberikan insentif untuk mendirikan perguruan tinggi bermutu. e. Program beasiswa dan bantuan pendidikan perlu diperluas.

f. Kredit mahasiswa perlu dimungkinkan.

(15)

exemption) dan pengurangan pajak (tax deduction), namun jangan sampai disalahgunakan oleh dunia usaha dan industri;

h. CSR (Corporate Social Responsibility) perlu digalakkan dan diatur untuk kepentingan pendidikan tinggi.

i. Kampus menjadi pusat R&D masyarakat dan industri. j. Litbang penelitian dikembalikan ke kampus.

Amanah tersebut telah ada sejak naskah awal tentang “perlunya menjamin aspek keterjangkauan dan pendanaan perguruan tinggi” yaitu Bab VII tentang “Pembiyaan dan Pengelolaan Keuangan Perguruan Tinggi”. Tim Kerja hanya berusaha menyempurnakan dan mempertajam sesuai dengan masukan yang disajikan di muka. Justru itu pada Pasal 74 ayat (1) ditambahkan suatu rumusan yaitu, “Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menetapkan satuan pembiayaan mahasiswa berdasarkan: a. standar nasional pendidikan tinggi; b. program studi; dan c. wilayah perguruan tinggi”. Pada pasal 75 ayat (1) dirumuskan, “Perguruan tinggi menetapkan dan menerima biaya pengelenggaraan pendidikan sesuai kemampuan mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya, dengan memperhatikan ketentuan pasal 74 ayat (1)”. Sedang pasal 72 - 73 (naskah lama) merupakan substansi yang sangat berpihak berpihak kepada yang “kurang beruntung” untuk memperoleh pendidikan pada PTN.

3. Jenis perguruan tinggi perlu ditertibkan; perlu reformasi untuk meningkatkan mutu, diusulkan: a. Semua pendidikan tinggi ditarik ke Kemendiknas; kecuali pendidikan keagamaan; masa

transisi ditetapkan selama 3-4 tahun.

b. Pendidikan kedinasan dikeluarkan dari RUU PT; ditertibkan sesuai PP 14 tahun 2010, yaitu pendidikan profesi setelah sarjana yang dilakukan oleh Badan Diklat Kementerian dan LPNK yang bersangkutan untuk pembinaan karir PNS-nya.

c. Pendidikan keagamaan dikelola bersama oleh Kemendiknas dengan Kementerian Agama, ini hanya jika di perguruan tinggi jumlah Prodi agama lebih besar dari 50%; semua perguruan tinggi agama saat ini dengan jumlah prodi agama lebih kecil dan 50% dikembalikan kepada pengelolaan Mendiknas.

d. Dengan demikan jenis perguruan tinggi terdiri atas PTN Umum, PTN Agama, dan PTS. e. Konsekuensi pengaturan ini perlu dikaji.

(16)

Berdasarkan hal tersebut, maka dengan hanya “satu pasal saja”, pendidikan kedinasan sudah “tidak tercakup” lagi dalam RUU Pendidikan Tinggi, sebab memang pendidikan kedinasan itu tidak melaksanakan dengan sempurna Tridarma Perguruan Tinggi sebagai kewajiban perguruan tinggi serta tidak berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik, serta otonomi keilmuan. Dengan demikian pendidikan kedinasan tidak boleh memberikan gelar akademik dan dapat dikenai sanksi sebagaimana yang diatur dalam pasal 21 UU Sisdiknas. Model itu mengacu kepada UU Penyiaran 2002 dan UU Perfilman 2009.

4. Status pengelolaan PTN disepakati terdiri atas: a. PTN Satker, menggantikan PTN UPT; b. PTN Mandiri;

c. PTN Otonom, menggantikan PTN Badan Hukum; masih dicarikan nama lebih tepat.

Dalam upaya menjaga sinkronisasi atau harmonisasi dengan UU Sisdiknas, maka setelah melalui diskusi yang mendalam, maka Timja, menyepakati rumusan dalam RUU Dikti pada pasal 59 ayat (1), “Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat”. Sejalan dengan itu maka terdapat tiga macam bentuk pengelolaan perguruan tinggi yang diatur dalam pasal 63 yaitu, “Pengelolaan PTN dilakukan secara: a. otonom; b. semi-otonom; dan c. otonom terbatas”. Dengan demikian istilah semi otonom menggantikan istilah Mandiri, karena istilah mandiri banyak dipakai juga untuk maksud yang lain pada pasal – pasal lainnya. Sedang istilah otonom terbatas menggantikan istilah Satker, agar tidak dikacaukan denga penggunaan satker (satuan kerja) pada berbagai kementerian. Namun secara substansial tidak ada perbedaannya, Timja hanya membuat rumusan yang jelas dan tegas terutama yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan.

5. Pendidikan Pancasila perlu ditambahkan dalam ketentuan kurikulum.

Amanah tersebut telah diakomodasi bukan saja dicantumkan dalam kurikulum, tetapi juga ditempatkan pada “tempat yang layak” yaitu Pasal 2 RUU Pendidikan Tinggi, dengan rumusan: “Pendidikan Tinggi berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Kemudian dalam pasal 13 ayat (2) disebutkan, “Kurikulum pendidikan Tinggi wajib memuat: a. pendidikan agama; b. pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan; dan c. bahasa Indonesia”.

6. Minat dan bakat mahasiswa perlu ada dalam kebijakan rekruitmen mahasiswa; demikian juga minat dan bakat perlu dikembangkan dalam pendidikan melalui kegiatan kurikuler, ko, dan ekstra kurikuler.

Amanahtersebut diakomodasi dalam rumusan tentang hak mahasiswa, yaitu, “Setiap mahasiswa berhak memperoleh layanan pendidikan tinggi sesuai dengan, bakat, minat, dan kemampuannya”. Untuk itu dalam Pasal 14 RUU Pendidikan Tinggi ini sangat perlu diatur Sistem Kredit Semester supaya dilaksanakan dengan benar agar mahasiswa dapat memprogramkan studinya sesuai minat, bakat, kemampuan, dan kepentingannya atas bimbingan penasihat akademik dan nasihat psikolog yang bertugas dalam “pusat bimbingan dan konseling”. Namun demikian masih perlu didiskusikan tentang model penerimaan mahasiswa baru berdasarkan minat, bakat dan kemampuannya, dengan tetap dapat menjamin kualifikasi akademik setiap calon mahasiswa.

(17)

Mandat tersebut belum “sempat” didiskusikan, meskipun hal itu sudah diatur dalam pasal 5 ayat (2) dan pasal 32 ayat (1) UU Sisdiknas. Pada pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas, dirumuskan, “Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, berhak memperoleh pendidikan khusus”. Kemudian hak warga negara itu ditindak lanjuti pada pasal 32 ayat (1) UU Sisdiknas, “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Tim Kerja, baru sampai pada pentingnya perguruan tinggi mendirikan “pusat bimbingan dan konseling” untuk membantu mahasiswa dalam mengatasi kesulitan yang dialaminya dalam bidang akademik dan nonakademik sehingga dapat selesai pada waktu yang diprogramkan.

A. METODE DAN MEKANISME PEMBAHASAN RUU PENDIDIKAN TINGGI

1. Agar pembahasan dapat dilakukan dengan lebih efektif, efisien, dan maksimal maka diusulkan Draf RUU DPR dan Draf RUU Pemerintah diubah menjadi satu draf RUU.

2. Pembahasan dengan metode menggabungkan satu draf tersebut akan memperkecil adanya tingkat resistensi, dan resiko terhadap substansi yang urgent, penting, dan sensitif pada publik. Selain itu, dengan metode tersebut maka tidak menempatkan secara berhadap-hadapan antara DPR dan Pemerintah dalam pembahasan, tetapi pembahasan dilakukan secara bersama - sama dalam semua tahapan.

3. Untuk menyatukan dua draf RUU menjadi satu draf RUU maka ditugaskan Tim Kerja DPR dan Pemerintah untuk melakukan perumusan/penggabungan draf RUU.

4. Sebelum Tim Kerja DPR dan Pemerintah melakukan tugasnya, maka Panja RUU memberikan kerangka pikir, arahan dan prinsip-prinsip yang akan dijadikan pedoman oleh Tim Kerja.

5. Kerangka pikir, arahan pengaturan, dan prinsip-prinsip draf RUU tersebut agar didiskusikan dan disepakati dalam Rapat Panja pada 30 Juni 2011.

6. Tim Kerja dalam melakukan perumusan/penggabungan draft RUU tidak diperbolehkan menambahkan substansi baru diluar kerangka pikir, arahan pengaturan, dan prinsip-prinsip yang telah disepakati Panja.

7. Tim Kerja dapat memulai tugasnya pada tanggal 5 s/d 22 Juli 2011 pada saat Komisi X DPR RI melakukan pembahasan APBN Perubahan 2011 yang harus diikuti oleh semua anggota Komisi dan harus selesai paling lambat tanggal 5 s/d 22 Juli 2011.

8. Tim Kerja harus menyelesaikan draf RUU paling lambat tanggal 20Juli 2011.

9. Panja RUU Pendidikan Tinggi (dari unsur DPR maupun Pemerintah) mulai membahas RUU setelah pembahasan APBN Perubahan 2011. Selanjutnya pembahasan terus dilakukan secara bersama-sama oleh Panja DPR dan Pemerintah.

10. Pembahasan RUU Pendidikan Tinggi dapat diselesaikan paling lambat pada Desember 2011.

Metode dan mekanisme yang dipaparkan di atas itu, pada umumnya sudah dilaksanakan, meskipun harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Tim Kerja, hanya memiliki wewenang bekerja sesuai kebijakan pimpinan Panja RUU Pendidikan Tinggi. Dengan adanya keterbatasan waktu dan masih banyaknya masalah yang memerlukan diskusi yang seru dan memakan waktu untuk mencapai konsesus, sehingga secara jujur kami akui, masih ada beberapa substansi yang harus diakomodasi untuk “lulus dengan predikat cumlaude”.

(18)

Dengan demikian Timja hanya mampu mengalokasikan waktu sebanyak 18 hari dan setiap hari hanya mampu digunakan selama rata – rata 8 (delapan) jam saja, sehingga Timja menggunakan waktu sekitar 144 jam untuk “membahas” 137 pasal dan menjadikannya hanya 89 pasal. Suatu hal yang perlu disyukuri bahwa selama sekitar 144 jam itu, Tim dalam keadaan sehat – sehat saja, dalam suasana serius, santai, dan kadang – kadang diselingi dengan ketegangan yang tidak terduga. Politik memang selalu mengandung dinamika “konflik dan konsesus” dan “merupakan seni mendesain yang mungkin menjadi mungkin (art of possible) dan bahkan seni medesain yang tidak mungkin menjadi mungkin (art of impossible)”.

Kami menyampaikan banyak terima kasih atas kepercayaan Pimpinan dan Anggota Panja RUU Perti Komisi X DPR RI kepada kami untuk mendiskusikan dan merumuskan dengan pihak Pemerintah berbagai substansi yang diamanahkan kepada kami terutama substansi yang bersifat “kontroversial” seperti pendidikan kedinasan dan pendidikan keagamaan, serta menghilangkan kesan bahwa RUU Pendidikan Tinggi ini merupakan reinkarnasi dari UU BHP yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Justru itu maka Tim Kerja menyepakati agar RUU Pendidikan, lebih “fleksibel” sehingga dapat bertahan lama dan tidak mudah menjadi “sasaran tembak”, maka segala hal yang bersifat “teknis” diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri. Hal itu mengakibatkan RUU Pendidikan Tinggi terdiri atas 14 Bab 93 Pasal, tidak mencapai 100 pasal. Meskipun demikian RUU Pendidikan Tinggi ini masih harus dirapikan secara cermat.

Akhirnya kami mohon maaf yang sebesar – besarnya atas segala kekurangan. Kami dariTimja Panja RUU Pendidikan Tinggi Komisi X DPR RI telah berkerja keras, namun secara jujur kami akui bahwa hasilnya belum terlalu memuaskan. Mudah – mudahan masih ada waktu yang cukup untuk menyempurnakannya.

Wabillahi Taufiq Wal Hidayah.

Jakarta, 19 September 2011

Konsultan Ahli,

Prof. Dr. Anwar Arifin

TIM KERJA RUU DIKTI

Tim Kerja Panja Pemerintah Tim Kerja Panja Komisi X DPR

Prof. Dr. Ir. Djoko Santoso, M.Sc * Prof. Dr. Anwar Arifin, DIDS Prof. Dr. Usman Chatib Warsa, Ph.D.,SpMK Prof. Dr. Ir. Rizal Z. Tamin Prof. Ir. Nizam, M.Sc, Ph.D Henny Listyowati, S.Psi., M.Si Prof. Dr. Sofian Effendi, MPIA Aay Mohamad Furkon, M.Si Prof. Dr. Ir. Achmad Ansori Mattjik, M.Sc Khalilah, M.Pd

Prof. Dr. Johannes Gunawan, SH., LL.M Andi Henra Wijaya, M.Si Dr. Ronny Kusuma Muntoro, MBA * Ahmad Daniel, M.Si

Prof. T. Basaruddin, Ph.D * Faridah Alawiyah, S.Pd., M.Pd Prof. Dr. Andi Pangerang Moenta, SH., MH., DFM * Woro Wulaningrum, SH Prof. Ir. Suryo Hapsoro Tri Utomo, Ph.D * Rachmat Wahyudi H., SH., MH Dr. Muh. Nurdin, M.Sc Dra. Junaiyah H.M., M.Hum *

(19)

EKSISTENSI PENDIDIKAN KEDINASAN

Bagaimana Bentuk Kelembagaan Pendidikan Tinggi Kedinasan ?

Oleh : Anwar Arifin

Dalam Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), dirumuskan bahwa pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi (pasal 19 ayat 1 UU Sisdiknas). Sedang perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas (pasal 20 ayat 1 UU Sisdiknas).

Selain hal tersebut Undang – Undang Sisdiknas, juga menetapkan bahwa jenis pendidikan, mencakup pendidikan: umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus (pasal 15). Dalam penjelasan pasal 15 itu, disebutkan bahwa pendidikan umum hanya ada di jenjang pendidikan dasar dan menengah, pendidikan kejuruan hanya ada pada jenjang pendidikan menengah, pendidikan akademik, vokasi, dan profesi hanya ada pada jenjang pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh universitas, institut, dan sekolah tinggi. Sedang politeknik hanya dapat menyelenggarakan pendidikan. Pendidikan profesi yang merupakan pendidikan setelah sarjana dapat juga diselenggarakan dalam program spesialis (1 dan 2). Dengan demikian pendidikan kedinasan yang merupakan pendidikan profesi hanya boleh diselenggarakan pada program pacsasarjana, semacam pendidikan spesialis (1 dan 2). Hal itu diatur dalam UU Sisdiknas (bagian kedelapan, Pendidikan Kedinasan), pasal 29 ayat (1), “Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga nondepartemen”. Sedang pendidikan profesi dijelaskan dalam penjelasan pasal 15 UU Sisdiknas yaitu, “Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi, setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus”.

Pendidikan kedinasan itu berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pengawai negeri suatu departemen atau lembaga nondepartemen (pasal 29 ayat 2). Sedang pendidikan kedinasan itu dapat dilaksanakan melalui jalur formal dan nonformal (pasal 29 ayat 3).

(20)

Hal tersebut belum sempat didiskusikan secara intensif dengan pemerintah, karena adanya keterbatasan waktu. Namun demikian atas amanah Panja DPR, kami telah berjuang memengaruhi pemerintah (jajaran kemendiknas) agar bersedia melakukan “reformasi” pendidikan dengan menempatkan pendidikan kedinasan itu ditempat yang “layak dan terhormat” pada level pascasarjana yaitu sejenis pendidikan spesialis.

Agar lebih jelas tentang posisi pendidikan tinggi kedinasan, maka terlampir, kami sajikan matriks tentang jenis pendidikan tinggi (seseuai pasal 15 UU Siskinas) dan bentuk perguruan tinggi (sesuai pasal 20 ayat 2 dan pasal 38 ayat 1 RUU Dikti). Selain itu kami sertakan juga tulisan (makalah) kami yang disajikan dalam Seminar Pendidikan Kedinasan di LAN Jakarta, tahun 2003.

Wabillahi Taufiq Walhidayah.

(21)

MATRIKS

JENIS PENDIDIKAN TINGGI dengan BENTUK PERGURUAN TINGGI

Jenis Dikti! AKADEMIK ! PROFESI ! VOKASI ! KEAGAMAAN ! DIK SUS !

Bentuk Perti

UNIVERSITAS ! YA ! YA ! YA ! ! YA

sarjana ! ! !

magister ! ! !

spesialis ! YA ! !

! dokter ! !

apoteker ! !

doktor ! ! !

INSTITUT ! YA ! YA ! YA ! YA !

sarjana ! ! !

magister ! ! !

doktor ! ! !

SEKOLAH TINGGI ! YA ! YA ! YA ! YA !

sarjana

POLITEKNIK ! ! ! YA !

! ! ! diploma !

!

magister

*)

! doktor *)

AKADEMI ! YA ! ! YA !

! diploma 3!

---KOLEJ KOMUNITAS ! ! ! YA

!

! diploma 1!

---PEND. KEDINASAN ! ! YA ! !

! ! ! !

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menujukan bahwa tidak adanya Standard Operational Procedure (SOP) tentang penyimpanan barang perishable di Hotel InterContinental Bandung Dago

Resti Puji Lestari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2019 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil survei dan kesesuaian implementasi program penguatan pendidikan

Komunikasi interpersonal yang terjadi dalam hubungan interpersonal yang baik dapat meningkatkan motivasi siswa ketika di kelas contohnya seperti guru memberikan

Jelaskan secara spesifik bagian sistem atau layanan yang akan dianalisa pada organisasi, dapat digunakan penguatan makna dengan mencantumkan sistem atau layanan

12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 4 ayat 1 dan 2, Pengabdian kepada Masyarakat merupakan kegiatan Sivitas Akademika dalam mengamalkan dan

Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor: 44 Tahun 2015 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi Pasal 37 ayat (1) Perguruan Tinggi harus

stimulus yang berupa dilema (masalah pelik) yang dilontarkan guru kepada peserta didik; (5) analysis, pendekatan melalui analisis nilai yang ada dalam suatu media mulai

Bangsa Arab saat itu hanya memiliki sedikit kemampuan berdagang namun keahlian tersebut juga tidak cukup untuk menjadikan bangsa mereka menjadi bangsa yang beradab, selain itu