• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komposisi Komunitas Collembola Permukaan Tanah pada Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi di Desa Kutagugung Kecamatan Namanteran Kabupaten Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komposisi Komunitas Collembola Permukaan Tanah pada Hutan Sekunder dan Agroforestri Kopi di Desa Kutagugung Kecamatan Namanteran Kabupaten Karo"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Komposisi Komunitas

Komunitas adalah sistem kehidupan bersama dari sekelompok populasi organisme yang saling berhubungan karena ada saling pengaruh satu dengan yang lainnya dan berkaitan pula dengan lingkungan-lingkungan hidupnya. Dalam komunitas organisme hidup saling berhubungan atau berinteraksi secara fungsional. Komposisi organisme penyusun komunitas yang menempati suatu daerah dapat ditulis berupa nama jenis penyusunnya, dan biasanya disusun dalam bentuk tabel. Tabel komposisi organisme pada suatu lokasi biasanya disusun atas kelompokan organisme itu berdasarkan taksonomi. Semua jenis organisme yang ditemukan pada lokasi penelitian dilaporkan termasuk jenis yang jarang. Dalam meneliti komposisi organisme penyusun komunitas, organisme yang jarang kepadatannya bisa digunakan sebagai indikator dalam lokasi penelitian (Suin, 2002).

2.2. Karakteristik Collembola

(2)

Gambar 2.1 Morfologi Collembola (Sumber : http://web.ipb.ac.id)

Collembola mempunyai ciri bentuk serangga muda dan dewasanya sama dan biasanya dianggap sebagai serangga yang primitif, karena srtruktur anggota tubuhnya relatif sederhana. Antena mempunyai 4-6 ruas, dapat lebih pendek dari kepala atau lebih panjang dari seluruh tubuh dan memiliki saraf internal yang mampu menggerakkan tiap segmen. Dibelakang antena terdapat sepasang mata majemuk dan organ yang menyerupai cincin atau roset yang dikenal sebagai sensor penciuman (Amir, 2008).

(3)

2.3 Klasifikasi Collembola

Pada awalnya Collembola digolongkan di dalam takson Hexapoda dengan status sebagai salah satu ordo dari kelas Insecta. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kegiatan penelitian, maka terjadi revisi kedudukan beberapa takson. Ada takson yang berkembang sehingga naik jenjang, seperti Collembola yang semula berstatus ordo berkembang dan terpisah dari Insecta dan menjadi kelas tersendiri. Perubahan klasifikasi Hexapoda juga berpengaruh terhadap klasifikasi Collembola. Dengan semakin banyaknya jenis yang dideskripsi, Collembola menunjukkan keanekaragaman yang tinggi. Klasifikasi yang dikemukakan oleh Gisin (1960) dan Chritiansen & Bellinger (1980-1981) merupakan tatanan yang sederhana. Namun kesederhanaan tersebut akan menimbulkan dampak terjadinya kompleks takson di bawah ordo karena di dalam satu ordo akan mencakup kelompok famili, genus atau spesies yang cukup besar (Suhardjono et al., 2012).

Klasifikasi yang telah ada dipertegas oleh Deharveng (2004) dan diperkuat oleh Soto-Adames (2006). Dalam klasifikasi yang dibuat untuk membedakan takson Deharveng (2004) memadukan banyak karakter taksonomi baru yang semuanya berdasarkan ketoksasi bagian-bagian tubuh antena, tungkai, tergit, pola S-seta pada tergit, bagian mulut, labrum, serta labium. Dari defenisi klas yang diungkapkan Soto- Adames (2006) memperjelas bahwa Collembola memang berbeda nyata dari anggota Arthropoda lainnya. Dengan klasifikasi yang baru ini, maka kedudukan Collembola adalah klas yang mempunyai empat ordo yaitu Poduromorpha, Entomobryomorpha, Symphypleona dan Neelipleona.

2.4. Peranan Collembola

(4)

miselium, spora, bagian bangkai hewan, mayat atau kotoran dan bahan lain yang sudah terfermentasi di dalam saluran pencernaannya (Suhardjono, 1992).

Sebagai pemakan jamur ternyata Collembola juga dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan penyakit tanaman pertanian akibat serangan jamur. Keberadaannya di lahan pertanian dapat menekan serangan patogen tersebut (Sabatini & Innocetti 2000). Selanjutnya Suhardjono et al., (2012) menjelaskan bahwa Collembola telah dikenal dapat dimanfaatkan sebagai indikator hayati tingkat kesuburan atau keadaan tanah. Peran ini sudah banyak dibahas dimanfaatkan di kawasan Eropa dan Amerika, tetapi belum banyak diketahui di Indonesia. Hal itu dimungkinkan karena beberapa jenis Collembola tertentu peka terhadap unsur atau senyawa kimia tertentu di dalam tanah.

Collembola juga dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator adanya ion-ion racun dan logam berat. Ion racun dan logam berat yang terperangkap tidak berpengaruh terhadap Collembola sendiri, karena akan hilang bersama dengan proses pergantian kulit. Oleh karena itu, Collembola tanah diharapkan jasanya sebagai penunjuk adanya pencemaran tanah oleh racun atau logam berat yang terdapat di dalam tubuh Collembola. Pemeriksaan kandungan logam berat dan ion racun ini pernah dilakukan di Belanda dan Amerika. Pemanfaatan jasa Collembola sebagai bioindikator ini sangat dimungkinkan di Indonesia (Suhardjono, 1992).

2.5. Faktor yang Mempengaruhi Collembola

Kehidupan fauna tanah sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan biotik dan abiotik. Faktor lingkungan biotik adalah adanya organisme lain yang berada di habitat yang sama, seperti mikroflora, tumbuh-tumbuhan dan golongan fauna lainnya (Suin, 2006).

(5)

Curah hujan dapat berpengaruh tidak langsung terhadap sintasan Collembola. Tingkat kematian akan lebih tinggi pada musim kering, karena mereka tidak tahan terhadap kekeringan. Mereka peka terhadap perubahan kelembaban tanah baik yang terjadi di atas permukaan maupun di dalam tanah sendiri. Perubahan kelembaban sangat berkaitan dengan perubahan suhu di lingkungan tanah dan sekitarnya. Manakala terjadi perubahan suhu dan atau kelembaban di sekitar tempat hidupnya, mereka berusaha mempertahankan diri dengan berpindah tempat ke lapisan tanah lebih dalam untuk mencapai perlindungan. Hal yang sama juga terjadi pada kelompok yang hidup di tajuk atau di sela-sela lumut pohon, mereka mencari tempat persembunyian yang lebih terlindung dari perubahan suhu dan kelembaban (Suhardjono et al., 2012).

2.6. Habitat Collembola

Berdasarkan habitatnya, fauna tanah ada yang digolongkan sebagai epigeon,

hemiedafon dan euedafon. Hewan epigeon hidup pada lapisan tumbuh-tumbuhan di permukaan tanah, hemiedafon pada lapisan organik tanah dan

euedafon hidup pada tanah lapisan mineral (Suin, 2006).

Collembola dapat ditemukan di berbagai macam habitat dari tepi laut atau pantai sampai pegunungan tinggi yang bersalju sekalipun. Setiap macam habitat mempunyai komposisi keanekaragaman Collembola yang berbeda. Namun, sebagian besar mereka hidup pada habitat yang berkaitan dengan tanah, seperti di dalam tanah, permukaan tanah, serasah yang membusuk, kotoran binatang, sarang binatang dan liang-liang. Habitat yang lain adalah vegetasi di atas permukaan tanah terutama yang lembab dan hangat. Dalam hal ini Collembola dapat dijumpai di antara lembar-lembar lumut, dedaunan, atau ranting-ranting perdu dan serasah yang tertampung pada rumpun paku-pakuan yang menempel di batang pohon (Suhardjono et al., 2012).

2.7. Hutan

(6)

lainnya tidak dapat dipisahkan yang terletak pada suatu kawasan. Kehutanan merupakan sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Pengurusan hutn bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dan lestari untuk kemakmuran rakyat.

Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohon-pohon yang menempati suatu tempat dimana terdapat hubungan timbal balik antara tumbuhan tersebut dengan lingkungannya. Pepohonan yang tinggi sebagai komponen dasar dari hutan memegang peranan penting dalam menjaga kesuburan tanah dengan menghasilkan serasah sebagai sumber hara penting bagi vegetasi hutan (Ewuise, 1990).

Hutan bukan semata-mata kumpulan pohon-pohon yang hanya dieksploitasi dari hasil kayunya saja, tetapi hutan merupakan persekutuan hidup alam hayati atau suatu masyarakat tumbuhan yang kompleks yang terdiri atas pohon-pohon, semak, tumbuhan bawah, jasad renik tanah, hewan dan alam lingkungannya (Arief, 2001).

Indriyanto (2008) menjelaskan bahwa hutan alam adalah hutan yang terjadi melalui proses suksesi secara alam. Hutan alam ini dibagi atas dua jenis sebagai berikut:

a. Hutan alam primer merupakan hutan alam asli yang belum pernah dilakukan penebangan oleh manusia. Hutan itu dicirikan oleh pohon-pohon tinggi berumur ratusan tahun yang tumbuh dari biji. Hutan alam primer mencakup hutan perawan, hutan alam primer tua, dan hutan alam primer muda.

b. Hutan alam sekunder merupakan hutan asli yang pernah mengalami kerusakan oleh kegiatan alam. Hutan itu dicirikan oleh pohon-pohon yang lebih rendah dan kecil apabila dibandingkan dengan pohon-pohon pada hutan alam primer. Akan tetapi, apabila umur pohon sudah mencapai ratusan tahun, hutan itu akan sulit dibedakan dengan hutan alam primer, kecuali diketahui sejarah proses suksesi yang terjadi. Hutan alam sekunder mencakup hutan vulkanogen, hutan kebakaran alam, dan hutan penggembalaan alam.

(7)

Sebagaimana halnya pada seluruh hutan lainnya, karakteristik-karaktristik dan perkembanan hutan-hutan sekunder juga tergantung pada kondisi-kondisi spesifik pertumbuhannya. Kondisi-kondisi spesifik tersebut mencakup tidak hanya perkembangan dari pertumbuhan riap atau volume tegakan saja, melainkan juga struktur dan komposisi tegakan. Kondisi-kondisi regional, serta oleh karakteristik dan perkembangan hutan tersbut (Irwanto, 2006).

Zain (1992) menjelaskan bahwa hutan memiliki manfaat bagi kehidupan manusia yaitu: berupa manfaat langsung dirasakan maupun yang tidak langsung. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin ekstensinya sehingga dapat berfungsi secara optimal. Fungsi-fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dari hutan akan memberikan peranan nyata apabia pengelolaan sumberdaya alam berupa hutan seiring dengan upaya pelestarian guna mewujudkan pembangunan nasional bekelanjutan, yaitu pembangunan yang tetap memperhatikan prinsip-prinsip konservasi.

Hutan memiliki beberapa fungsi bagi kehidupan manusia antara lain: (1) pengembangan dan penyediaan atmosfer yang baik dengan komponen oksigen yang stabil, (2) produksi bahan bakar fosil (batu bara), (3) pengembangan dan proteksi lapisan tanah, (4) produksi air bersih dan proteksi daerah aliran sungai terhadap erosi, (5) penyediaan material bangunan, bahan bakar dan hasil hutan, (6) manfaat penting lainnya seperti nilai estesis, rekreasi, kondisi alam asli dan taman. Semua manfaat tersebut kecuali produksi bahan bakar fosil, berhubungan dengan pengelolaan hutan (Daniel et al., 1992).

2.8. Agroforestri

Agroforestri merupakan suatu sistem manajemen lahan yang berkelanjutan untuk meningkatkan variasi hasil lahan dengan mengkombinasikan antara tanaman pertanian dan tanaman hutan dan atau hewan secara simultan atau berurutan dalam unit lahan yang sama dan dengan aplikasi pengelolaan yang sesuai budaya masyarakat setempat (Rauf, 2011).

(8)

agrofrestri memiliki fungsi dan peran yang lebih dekat dengan hutan dibandingkan dengan pertanian, perkebunan, lahan kosong atau terlantar. Sampai batas tertentu agroforestri memiliki beberapa fungsi dan peran yang menyerupai hutan baik dalam aspek biofisik, sosial maupun ekonomi (Widianto et al., 2003).

Hairiah & Sitompul (2000) menjelaskan bahwa pada umumnya alih-guna lahan hutan menjadi lahan Agroforestri baik monokultur maupun polikultur akan menurunkan keanekaragaman biota tanah dan kualitas air. Pada lahan pertanian, rendahnya jumlah dan diversitas dalam suatu luasan menyebabkan rendahnya keragaman kualitas masukan bahan organik dan tingkat penutupan permukaan tanah oleh lapisan serasah. Tingkat penutupan (tebal tipisnya) lapisan serasah pada permukaan tanah berhubungan erat dengan laju dekomposisinya.

Gambar

Gambar 2.1 Morfologi  Collembola (Sumber : http://web.ipb.ac.id)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian mengenai cacing tanah sebagai bioindikator, populasi cacing tanah, respon pertumbuhan cacing tanah dan peranannya dalam merubah unsur hara tanah telah dilakukan di

Collembola sebagai penghuni tanah dan sampah yang mendominasi, tetapi mereka juga dapat hidup pada habitat lain seperti vegetasi termasuk kanopi. pohon, di gua-gua, di

Besarnya peranan ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan, baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk pohon mangrove

Hasil pengukuran faktor fisik kimia tanah pada lahan pertanian organik dan anorganik di Desa Raya, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo didapatkan 5 faktor yang diduga

adalah masa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu batang, ranting dan tajuk pohon (berikut akar atau estimasinya), tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim.. Kedua ,

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ”Kajian Jenis Cacing Tanah

Sebagian besar hutan-hutan di Indonesia termasuk dalam hutan hujan tropis, yang merupakan masyarakat yang kompleks, tempat yang menyediakan pohon dari berbagai ukuran.. Di

Species yang memiliki frekuensi kehadiran tertinggi disebabkan karena lokasi pengambilan sampel menunjukkan bahwa lingkungannya masih sesuai dengan habitat tempat hidup dari Gastropoda,