• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI CODE OF CONDUCT FOR RESPONS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IMPLEMENTASI CODE OF CONDUCT FOR RESPONS"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah

IMPLEMENTASI CODE OF CONDUCT FOR RESPONSIBLE FISHERIES DALAM MENANGGULANGI IUU FISHING dan

PENANGKAPAN yang BERLEBIH

Untuk Memenuhi Tugas Hukum dan Peraturan Perikanan dan Kelautan yang di Ampu oleh Bu Lia

Di Susun Oleh

Catur A Pamungkas

125080600111052

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

JURUSAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DAN KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

(2)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Seperti yang kita ketahuai bersama bahwa didunia ini memiliki sumberdaya yang sangat melimpah, baik itu sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya bumi yang paling besar adalah dalam kelautan terutama perikanan. Semua itu diciptakan Tuhan agar dimanfaatkan manusia untuk kepentingannya. Dewasa ini banyak sekali kegiatan eksploitasi yang dilakukan terhadap sumberdaya alam, perikanan khususnya. Padahal perlu di ketahui perikanan yang tidak dikelola umumnya akan berakhir pada tangkap secara berlebih secara biologis (biological overfished) yang dapat menyebabkan punahnya suatu sumber daya ikan. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa sumber daya ikan itu merupakan milik bersama (common property), yang menyebabkan akses terbuka (open access) terhadap sumber daya tersebut yang cenderung meningkatkan tekanan terhadap keseimbangan daya dukung sumber daya yang tidak terkendali. Populasi ikan yang semula diyakini sebagai tidak terbatas kemudian dirasakan akan terancam dengan semakin canggihnya armada dan alat penangkapan ikan, jika tidak dibarengi dengan kebijakan pengelolaan dan konservasi perikanan yang baik. Pengelolaan perikanan memerlukan input data yang seakurat mungkin dan semuanya berpangkal pada data hasil tangkapan, baik jenis, jumlah, ukuran dan sebaran.

(3)
(4)

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari penulisan makalah implementasi code of conduct for responsible fisheries ini adalah :

 Bagaimana sejarah berdirinya code of conduct for responsible fisheries(CCRF)?

 Apa tujuan dari code of conduct for responsible fisheries(CCRF)?  Apa implementasi terhadap Negara maju maupun Negara berkembang?

Tujuan dari penulisan makalah implementasi code of conduct for responsible fisheries ini adalah :

 Menjelaskan proses bagaimana sejarah berdirinya code of conduct for responsible fisheris(CCRF),

 Memaparkan apa tujuan dari pendirian dari code of conduct for responsible fisheries(CCRF),

 Menunjukkan implementasi code of conduct for responsible

(5)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sejarah pendirian code of conduct for responsible fisheries(CCRF)

Dalam beberapa tahun belakangan ini perikanan dunia sudah menjadi sebuah sektor industry pangan yang berkembang secara dinamis. Beberapa Negara maritim berusaha keras dalam memanfaatkan peluang ini, yaitu dengan menanamkan modal dalam armada penangkapan dan pabrik pengolahan modern sebagai tanggapan dari permintaan internasional. Kemudian pada tahun 1980-an mulai di disadari bahwa sumberdaya perikanan tidak akan dapat bertahan lama jika dimanfaatkan secara terus menerus. Untuk itu perlu dilakukan pendekatan baru pada pengolahan perikanan yang mencakup pertimbangan konservasi dan lingkungan. Dengan kekhawatiran warga dunia akan sumberdaya perikanan yang terancam kelestariannya, kemudian Organisasi Pangan Sedunia (FAO) komite perikanan menggelar sidang ke-19 pada bulan maret 1991 yang mengemban upaya bagi pengembangan konsep-konsep baru yang mengarah kepada perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Kemudian dilanjutkan pada sidang pada tahun 1992 di cacun, meksiko FAO menyiapkan sebuah tata laksana internasional yang membahs hal tersebut. Akhirnya sidang ke-27 pada bulan November 1993 FAO sepakat memajukan pemenuhan mandatnya yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya perikanan global dengan tujuan akhir pada keberlanjutan sistem perikanan global. kemudian tata laksana disetujui dan diterbitkan pada konferensi FAO pada 31 oktober 1995. Dengan memberikan kelengkapan yang diperlukan dalam upaya-upaya nasional maupun internasional untuk menjamin keberlangsungan sumberdaya perikanan yang terbarukan dan sesuai dengan lingkungan.

(6)

dalam perikanan. Karena sifat sukarela tersebut, perlu komitmen stakeholder untuk menjamin prinsip, tujuan dan tindakan praktis dalam implementasi CCRF. Berkaitan dengan hal tersebut, CCRF merupakan representasi konsensus global terhadap isu luas perikanan.

Implementasi CCRF akan dicapai efektif jika pemerintah dapat mengintegrasikan prinsip dan tujuan CCRF kedalam kebijakan dan aturan perikanan nasional. Pemerintah juga melakukan konsultasi dengan industri dan kelompok lainnya untuk menjamin adanya dukungan terhadap perubahan aturan atau kebijakan perikanan. Disamping itu, pemerintah memberikan upaya dukungan terhadap industri dan komunitas perikanan untuk mengembangkan tata kegiatan yang baik dan konsisten untuk mendukung sasaran dan tujuan CCRF. CCRF menekankan bahwa negara dan stakeholder yang terlibat dalam perikanan perlu bekerjasama dalam konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan dan habitatnya guna menjamin pasokan ikan bagi generasi mendatang. Semua pihak yang terlibat dalam perikanan perlu berjuang untuk mencapai produksi pada level yang rasional. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan dan kegiatan penangkapan perlu dirancang untuk mencapai keberlanjutan sumber daya ikan yang berarti menjamin konservasi sumber daya, kesinambungan pasokan makanan dan mengurangi kemiskinan.

(7)

2.2 Tujuan code of conduct for responsible fisheries(CCRF)

Secara umum dalam pendirian code of conduct for responsible fisheries(CCRF) adalah untuk membantu Negara-negara anggota dalam mengatasi beberapa hal sebagai berikut:

 Manajemen Perikanan

CCRF mendukung negara agar mempunyai kebijakan penangkapan ikan yang jelas dan terorganisasi dengan baik guna pengelolaan perikanan. Kebijakan tersebut perlu dikembangkan bekerjasama dengan semua kelompok yang terlibat dalam perikanan, termasuk industri, pekerja perikanan, kelompok lingkungan dan organisasi lain yang berminat terhadap perikanan.Kerjasama antar negara diperlukan karena sumberdaya perikanan terbagi diantara negara-negara tersebut, dan CCRF mengarahkan pada pembentukan organisasi perikanan regional atau menguatkan organisasi yang telah ada.

Manajemen perikanan menjamin kegiatan penangkapan ikan dan pengolahan dilaksanakan sesuai dengan kaidah untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan, mengurangi limbah, dan menjaga mutu ikan hasil tangkap. Nelayan wajib mencatat kegiatan operasi penangkapan mereka dan pemerintah juga perlu menetapkan prosedur penegakan hukum. Negara perlu menggunakan informasi sains terbaik yang tersedia dalam menyiapkan kebijakan serta mempertimbangkan kegiatan penangkapan ikan tradisional. Jika informasi yang tersedia terbatas, negara perlu bertindak sangat hati-hati dalam menetapkan batasan perikanan tangkap.

(8)

melakukan kegiatan penangkapan ikan secara bertanggungjawab yang didukung dengan berbagai aturan dan penegakan hukum oleh negara.

Ukuran kapal penangkap ikan perlu sesuai dengan daya dukung guna menghindari tangkap lebih. Dampak kegiatan penangkapan perlu diketahui dan dikaji sebelum mengenalkan alat tangkap baru. Metode penangkapan perlu selektif dan dirancang untuk meminimalkan limbah dan memberikan tingkat kesempatan lolosnya ikan lebih besar. Alat tangkap perlu meminimalkan hasil tangkap yang tidak diinginkan atau yang dilindungi. Logistik kapal perlu sesuai dengan persepsi untuk meminimalisir limbah dan sampah. Pemilik dan awak kapal perlu menjaga limbah kapal agar tidak menyebabkan polusi. Negara perlu mengadopsi pedoman pengurangan gas buang yang berbahaya dan bahan yang merusak ozon seperti yang dipakai dalam sistem refrigerasi, untuk melindungi kualitas udara. Habitat ikan yang penting seperti mangrove dan karang perlu dilindungi dari kerusakan dan polusi. Jika kondisi alam mengancam sumber daya perikanan, negara perlu menyiapkan tindakan pencegahan dan jika perlu menetapkan tindakan konservasi dan pengelolaan.

 Pengembangan Akuakultur

(9)

dari spesies baru, negara perlu menetapkan persetujuan tentang introduksi dan transfer tanaman dan binatang akuatik dari satu tempat ke tempat lain.

 Integrasi Perikanan kedalam Manajemen Wilayah Pesisir

Proses perencanaan pemanfaatan dan akses sumber daya pesisir perlu mempertimbangkan keberadaan nelayan, kehidupan serta opini mereka di lokasi tersebut. Jika wilayah pesisir mempunyai berbagai manfaat, kegiatan perikanan diupayakan menghindari konflik diantara nelayan dan pemanfaat sumber lainnya. Jika konflik tidak dapat dihindari maka perlu menetapkan prosedur yang transparan guna solusi konflik. Negara dengan wilayah pesisir berdampingan perlu kerjasama diantara mereka untuk menjamin adanya manajemen dan konservasi yang baik.

 Pasca Panen dan Tanggungjawab Perdagangan

Negara perlu mendukung rakyatnya untuk makan ikan dan meyakinkan bahwa ikan dan produk perikanan lainnya aman dan sehat. Supervisi dan penegakan hukum oleh negara terhadap standar mutu perlu ditetapkan untuk melindungi kesehatan konsumen dan untuk mencegah masalah komersil. Selanjutnya, negara perlu kerjasama dalam menentukan tindakan sanitari dan program sertifikasi. Metode proses, transportasi, dan penyimpanan ikan perlu pendekatan ramah lingkungan. Limbah proses pasca panen perlu diminimalisir, hasil tangkap sampingan perlu dimanfaatkan sebaik mungkin, air dan energi perlu dikelola secara hati-hati. Produksi dan produk pengolahan bernilai tinggi perlu didukung karena akan berdampak terhadap nelayan. Peraturan perdagangan mengenai ikan dan produk ikan harus sederhana, jelas dan konsisten dengan aturan internasional. Nelayan, organisasi lingkungan dan kelompok konsumen perlu diajak konsultasi secara periodik dalam meninjau dan memformulasi aturan perdagangan.

 Riset Perikanan

(10)

penangkapan. Negara perlu menjalin kerjasama dalam upaya riset internasional. Informasi saintifik yang mendukung penangkapan perlu disediakan terhadap organisasi perikanan regional dan didistribusikan kepada semua negara terkait secepat mungkin.

2.3Implementasi di Negara maju

Fenomena yang disebut sebagai perverse assistance telah terbukti terjadi di beberapa negara maju sekalipun. Sebagai contoh, pada tahun 1981 pemerintah Selandia Baru menyadari bahwa susbsidi yang mereka berikan ke sektor perikanan justru menyebabkan industri perikanan yang overcapitalized dan telah menyebabkan economic overfishing dimana armada yang makin banyak justru menghasilkkan produksi perikanan yang makin sedikit. Permasalahan ini terjadi juga di Indonesia, dimana program motorisasi atau yang dikenal dengan istilah revolusi biru (blue revolution) misalnya, justru menimbulkan dampak overcorwded bagi nelayan khususnya di pantai utara Jawa dan nasib mereka tidak lebih baik dari sebelumnya.

Apabila kapasitas tangkap suatu negara pantai mendekati suatu titik yang memungkinkan negara itu untuk menangkap seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan dari ZEE-nya, maka negara pantai dan negara lain yang berkepentingan harus bekerja sama dalam menetapkan pengaturan yang adil atas dasar bilateral, sub-regional, atau regional untuk memperbolehkan peran serta negara-negara berkembang tak berpantai di sub-regional atau regional yang Sudah lebih dari 15 tahun sejak terbitnya CCRF, namun hingga kini masih banyak perikanan di dunia termasuk di negara kita yang belum dikelola dengan baik.

(11)

fishing merupakan salah satu penyebab gagalnya pengelolaan perikanan. Disamping itu tidak sedikit negaranegara maju yang menerapkan sertifikasi hasil tangkapan yang dikembangkan oleh badan swasta yang independen, sebagai contoh sertifikasi dari Marine Stewardship Council atau MSC yang mendorong ditegakkannya pengelolaan perikanan di negara pengekspor agar ikan-ikan yang diekspor dikelola dengan baik. Suatu kelebihan dari konsep sertifikasi MSC adalah bila suatu perikanan gagal memperoleh sertifikasi MSC, maka akan ditindak lanjuti dengan penyusunan program FIP (Fisheries Improvement Programme) yang merupakan tindak lanjut menuju proses perbaikan dalam rangka memperkuat pengelolaan perikanan agar pada saatnya nanti dengan proses perbaikan ini sertifikat dapat diperoleh.

2.4 Penerapan di Negara Berkembang

(12)

Sebagai tindak lanjut dari diratifikasinya konvensi tentang Code of Conduct for Responsible Fisheries Pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan yang berhubungan dengan CCRF khususnya dibidang perikanan tangkap antara lain (Manggabarani 2006);

1. Larangan penggunaan penangkapan ikan jenis trawl. SK. Dirjen Perikanan Nomor 340 tahun 1997.

2. Ketentuan tentang ukuran mata jaring, melarang purse seine yang menggunakan ukuran mata jaring lebih kecil dari 2 inci pada bagian sayap dan kurang dari 1 inci pada bagian Kantong.

3. Pengaturan tentang jalur penangkapan ikan, melalui SK. Menteri Pertanian No. 392/Kpts/IK. 120/4/99.

4. Pengaturan pemasangan rumpon

5. Perlindungan species ikan dan biota air. Pelarangan penangkapan

beberapa jenis sumber daya ikan yang sudah dalam kondisi langka atau terancam punah, seperti : Trochus (Trochus niloticus), beberapa jenis penyu, kima (Pinctada sp.), beberapa jenis arwana (Schlerophagus spp), ikan duyung, dll. SK.Mentan No. 375/Kpts/IK.250/5/1995 tentang pelarangan penangkapan ikan napoleon wrasse (Cheilinus undulatus ruppef).

6. Pengawasan penangkapan ikan. Kep. Menteri KP No. Kep. 02/MEN/2002 menetapkan Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Penangkapan Ikan.

7. Penetapan potensi sumberdaya ikan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB).

(13)
(14)

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang didapat dari berbagai sumber yang di kumpulkan, kemudian dapat disimpulkan isi dari makalah ini adalah:

Code of conduct for responsible fisheries(CCRF) berdiri karena desakan Negara-negara maju yang menginginkan tatalaksana perikanan bertanggung jawab yang masih bersifat sukarela dan ditujukan kepada stakeholder yang bekerja dan terlibat.

 Tujuan dari Code of conduct for responsible fisheries(CCRF) ada 6, yaitu Pengelolaan Perikanan, Operasi Penangkapan, Pengembangan Akuakultur Integrasi Perikanan kedalam Pengelolaan Kawasan Pesisir, Penanganan Pasca Panen dan Perdagangan, Penelitian Perikanan.

 Iplementasi Code of conduct for responsible fisheries(CCRF) terhadap Negara maju dan Negara berkembang dalah dalam bidang IUU dan pelanggaran perikanan tangkap.

3.2 Saran

(15)

Daftar Pustaka

Chairjah, 2005. LAPORAN AKHIR PENELITIAN TENTANG ASPEK HUKUM PEMANFAATAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN NELAYAN INDONESIA. PPPHN, Jakarta.

Kkp, 2014. Sekilas Mengenai CCRF. http://www.kkp.go.id. Di akses pada tanggal 9 mei 2014.

Pangemanan, 2011. IMPLEMENTASI CODE OF CONDUCT FOR

RESPONSIBLE FISHERIES DALAM MENANGGULANGI ILLEGAL, UNREPORTED, UNREGULATED FISHING DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA. Tondano, Sulawesi tengah.

Purwinto, 2012. Kajian usulan pembentukan lembaga pengelola perikanan tuna yang berkelanjutan dan bertanggungjawab. WWF-Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Penumbuhan kelembagaan pelaku utama adalah proses inisiasi dan fasilitasi tumbuhnya suatu kerjasama yang bersumber dari kesadaran pelaku utama dengan cara bergabung dalam

Demikian Profil ini kami sampaikan sebagai bahan acuan dalam rangka optimalisasi pendampingan dan pembinaan kepada kelompok kelautan dan perikanan ,sehingga

Agar Code of Conduct dapat berjalan dengan efektif, Code of Conduct harus dibuat dalam bentuk tulisan dan dikomunikasikan kepada semua karyawan, vendor, dan

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga kelompok perikanan RAPAK PUTAN MAJU adalah norma - norma yang mengatur tentang pedoman pelaksanaan dan pengelolaan

Dinamika perekonomian menjadikan faktor utama untuk merubah keadaan menjadi lebih baik dengan mengutamakan pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan potensi sumber

Kelompok Budidaya Ikan (POKDAKAN) Padaidi adalah wadah perkumpulan para Pembudidaya di wilayah di Desa Buntu Kunyi Kecamatan Suli Kabupaten Luwu dengan jumlah anggota

Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) Merpati Grup memiliki visi untuk meningkatkan kesejahteraan anggota melalui kegiatan budidaya

Kelompok Usaha Bersama (KUB) Sopoq Angen adalah salah satu kelompok nelayan yang berada di Desa Sekotong Barat Kecamatan Sekotong Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa