PERAN STRES OKSIDATIF PADA ABORTUS
dr. Ketut Suardana, SpOG
BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FK UNUD/ RSUP SANGLAH
DENPASAR
2012
1
BAB I PENDAHULUAN
Abortus merupakan komplikasi kehamilan yang paling sering terjadi. Kehamilan dapat berakhir dengan terjadinya abortus, baik itu abortus iminens, insipien, inkomplit maupun komplit. Sebagian besar abortus terjadi pada trimester pertama. Diperkirakan kejadian abortus spontan (miscarriages) tinggi pada wanita sejak saat konsepsi namun sebagian besar kejadian tersebut tanpa disadari karena diduga suatu haid biasa dan dari sejumlah kasus yang disadari, 15-20% berakhir dengan abortus spontan atau kehamilan ektopik.1 Sebagian besar abortus terjadi pada trimester pertama, yaitu hingga umur kehamilan 14 minggu.2
Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan.3 Pada umumnya abortus didefinisikan sebagai berakhirnya kehamilan sebelum umur kehamilan 20 minggu atau kurang dari 500 gram.2 Pasien pada umumnya datang dalam keadaan perdarahan dan nyeri perut hebat.4
Penyebab abortus tidak selalu jelas, begitu banyak etiologi yang menyebabkan, diantaranya kelainan kromosom pada fetus, faktor ibu seperti infeksi, nutrisi, mioma uteri.2 Saat ini dari perkembangan penelitian terhadap plasenta, muncul teori yang menghubungkan stres oksidatif yang terjadi pada saat proses plasentasi dengan patofisiologi terjadinya abortus.5,6 Beberapa penelitian terbaru menunjukkan stres oksidatif atau ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan pada jaringan uteroplasenta memegang peran penting dalam berbagai penyakit termasuk abortus.7
Radikal bebas adalah setiap unsur yang mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan di orbit yang paling luar. Radikal bebas mempunyai sifat sangat reaktif dan dapat mengubah molekul menjadi radikal. Radikal bebas merupakan suatu bentukan yang dihasilkan oleh pernapasan secara aerob dan reaksi metabolik yang lain. Oksigen paling banyak digunakan selama proses oksidasi dan dikonversi menjadi air, tetapi 1-2% akan menjadi oksigen reaktif terutama superokside (O2-), hidroksil (OH-) dan hidroperoksil (H2O2).
2
Metabolit anion ini sangatlah reaktif dan membutuhkan antioksidan untuk menetralisirnya.7 Salah satu radikal bebas penting yang dihasilkan pada preeklampsia dan abortus adalah radikal bebas anion superoksida (O2-). Radikal
bebas ini akan merusak membran sel yang banyak mengandung asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak sebagai radikal bebas yang sangat toksik beredar di seluruh tubuh, dan akan merusak membran sel endotel. Oleh itu diperlukan antioksidan untuk menetralisir radikal bebas.5
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat oksidasi molekul target oleh radikal bebas. Terdapat 3 kelompok antioksidan dalam tubuh manusia yaitu: Primer yang bekerja dengan cara mencegah pembentukan radikal bebas yang baru serta mengubah radikal bebas menjadi molekul yang tidak berbahaya ( superoksid dismutase, glutation peroksidase dan katalase), sekunder yang berguna untuk menangkap radikal dan mencegah terjadinya reaksi berantai (Vitamin E, β karoten, bilirubin dan albumin), dan tersier yang berguna untuk memperbaiki kerusakan biomolekuler yang disebabkan oleh radikal bebas ( DNA
repair enzyme dan metionin sulfoksida reduktase).8
Di dalam sel, Reaktif Oksigen Spesies (ROS) diproduksi secara terus-menerus sebagai akibat reaksi biokimia. Apabila produksi ROS dan radikal bebas yang lain melebihi kapasitas penangkapan oleh antioksidan, maka akan menimbulkan suatu keadaan yang disebut stres oksidatif. Adanya stres oksidatif akan merusak lipid seluler, protein maupun DNA dan menghambat fungsi normal sel. Stres oksidatif pada sinsiotropoblas menyebabkan terjadinya degenerasi pada sinsisiotropobas dan pada akhirnya terjadi abortus.9
3
BAB II ABORTUS
2.1 Definisi Abortus
Abortus didefinisikan sebagai berakhirnya kehamilan sebelum umur kehamilan 20 minggu atau dengan berat fetus kurang dari 500 gram. Namun, definisi abortus ini dapat bervariasi tergantung hukum yang berlaku di suatu daerah.2
Secara klinis, klasifikasi abortus spontan dapat dengan berbagai cara. Pembagian yang paling sering digunakan adalah abortus iminen, insipien, inkomplit, dan missed abortus. Abortus septik adalah kondisi dimana hasil konsepsi dan uterus mengalami infeksi. Abortus berulang adalah abortus yang berulang 3 kali atau lebih.10
2.2 Insiden Abortus
Prevalensi abortus spontan bervariasi tergantung ketelitian metode yang digunakan. Wilcox dan koleganya (1988) yang meneliti 221 wanita sehat selama 707 siklus menstruasi, menemukan bahwa 31 persen kehamilan mengalami abortus setelah implantasi. Dengan menggunakan metode yang sangat spesifik, yang mampu mendeteksi - human chorionic gonadotropin (-HCG) pada serum ibu dalam konsentrasi yang masih sangat rendah, dua per tiga dari abortus ini digolongkan sebagai silent abortus secara klinis.Sekitar 80 persen abortus terjadi pada trimester pertama yaitu hingga umur kehamilan 14 minggu.2 Frekuensi abortus berkurang dengan semakin meningkatnya umur kehamilan.11
Kemungkinan untuk mengalami abortus berulang akan meningkat sejalan frekuensi seseorang mengalami abortus. Setelah mengalami abortus satu kali, kemungkinan untuk terjadinya abortus berulang sebesar 15%, sedangkan bila mengalami dua kali abortus spontan, kemungkinan terjadinya abortus yang ketiga kalinya sebesar 30%.1 Bahkan setelah mengalami abortus spontan tiga kali dan
4
empat kali, kemungkinan untuk terjadi abortus berikutnya berturut-turut sebesar 45% dan 54,3% .12
2.3 Penyebab Abortus
Penyebab abortus dapat dibedakan menjadi faktor fetus dan faktor maternal. Faktor fetus seperti kelainan kromosom menjadi penyebab sekitar 50 persen kejadian abortus spontan, dimana sekitar 95 persen disebabkan oleh kesalahan gametogenesis dari pihak ibu. Kelainan kromosom yang paling sering ditemukan berupa autosomal trisomi dari kromosom 13, 16, 18, 21 dan 22.13 Dari penelitian terhadap 47.000 wanita, Bianco dan koleganya (2006) menemukan bahwa risiko aneuploid pada fetus meningkat sesuai dengan semakin seringnya abortus. Bila tidak pernah abortus risikonya 1,39%, satu kali abortus risikonya menjadi 1,67%, dua kali abortus 1,84% dan tiga kali abortus menjadi 2,18%.
Faktor maternal sebagai penyebab abortus dapat dikelompokkan menjadi kelainan anatomis, faktor imunologis, infeksi, penyakit kronis, kelainan endokrin, nutrisi, penggunaan obat-obatan dan pengaruh lingkungan.10
Disamping faktor–faktor diatas, saat ini beberapa studi menunjukan adanya peranan stres oksidatif sebagai penyebab terjadinya abortus. Peran reaksi oksidatif pada plasenta akan mengalami kelainan dari plasenta itu sendiri. Sekarang terdapat bukti yang jelas bahwa abortus merupakan kelainan plasenta. Pada dua pertiga kasus abortus, terdapat bukti adanya kelainan anatomis pada plasentasi yang memiliki karakteristik lapisan pelindung trofoblas yang tipis dan terfragmentasi, invasi trofoblas ke endometrium yang menurun dan sumbatan ujung arteri spiralis yang tidak sempurna.7
2.4 Radikal Bebas dan Reaktif Oksigen Species ( ROS)
Dewasa ini, dunia kedokteran dan kesehatan banyak membahas tentang radikal bebas dan antioksidan. Hal ini karena sebagian besar penyakit diawali oleh adanya reaksi oksidasi yang berlebihan didalam tubuh. Tampaknya oksigen merupakan sesuatu yang paradoksial dalam kehidupan. Molekul ini sangat
5
dibutuhkan oleh organisme aerob karena memberi energi pada proses metabolisme dan respirasi, namun pada kondisi tertentu keberadaannya dapat berimplikasi pada berbagai penyakit.8
Radikal bebas merupakan spesies kimiawi dengan satu elektron yang tak berpasangan di orbit terluar. Keadaan kimiawi tersebut sangat tidak stabil dan mudah bereaksi dengan zat kimia organik atau anorganik, saat dibentuk didalam sel, radikal bebas segera menyerang dan mendegradasi asam nukleat dan berbagai molekul membran sel. Selain itu radikal bebas menginisasi reaksi autokatalitik sehingga semakin memperbanyak rantai kerusakan.6,14 Target utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta unsur DNA termasuk karbohidrat.15 Radikal bebas dihasilkan dari metabolisme normal sel-sel tubuh, fagositosis sebagai bagian dari reaksi inflamasi, radiasi, polusi, merokok dan lain lain.8
Radikal bebas oksigen atau Reaktif Oksigen Spesies (ROS) adalah produk normal dari metabolisme seluler. ROS memiliki efek menguntungkan dan efek merugikan. Efek menguntungkan ROS terjadi pada konsentrasi rendah hingga sedang, merupakan proses fisiologis dalam respon seluler terhadap bahan bahan yang merugikan, seperti dalam pertahanan diri terhadap infeksi, dalam sejumlah fungsi sistem sinyal seluler dan induksi respon mitogenik.16 Efek merugikan dari radikal bebas yang menyebabkan kerusakan biologis dikenal dengan nama stres oksidatif.17 Hal ini terjadi dalam sistem biologis akibat produksi ROS yang berlebihan maupun akibat defisiensi antioksidan. Dengan kata lain, stres oksidatif terjadi akibat reaksi metabolik yang menggunakan oksigen dan menunjukkan gangguan keseimbangan status reaksi oksidan dan antioksidan pada mahluk hidup. ROS yang berlebihan akan merusak lipid seluler, protein maupun DNA dan menghambat fungsi normal sel. 9
Molekul oksigen reaktif termasuk radikal bebas, pada keadaan normal dibentuk secara kontinyu sebagai hasil sampingan proses metabolisme selular. Superoxid (O2-) dapat bereaksi dengan nitrit oksida (NO) yang menghasilkan
peroksinitrit (ONOO-) yang kemudian akan dioksidasi menjadi nitrat (NO3-). NO merupakan suatu endotelium-derived relaxing factor (EDRF), suatu zat yang
6
menyebabkan vasodilatasi sebagai respon terhadap asetilkolin. Peroksinitrit ini sangat sitotoksik dan menyebabkan kerusakan oksidatif pada protein, lemak, dan DNA.
Gambar 2.1 Bagan fisiologi pembentukan dan katalisasi radikal bebas.7
Metal transisi juga merupakan radikal. Di dalam tubuh, tembaga dan besi merupakan metal transisi yang terbanyak dan ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi. Kedua logam ini berperan penting dalam Reaksi Fenton dan Haber-Weiss. Sebenarnya semua ion logam yang terikat pada permukaan protein, DNA atau makromolekul lain dapat berpartisipasi dalam reaksi ini. Logam yang tersembunyi di dalam protein, seperti dalam catalytic sites dan sitokrom atau kompleks simpanan tidak terpapar oksigen atau tetap berada dalam keadaan oksidasi sehingga tidak berperan dalam reaksi ini. Dalam reaksi Fenton, Ion Ferro (Fe+2) bereaksi dengan hidrogen peroksida (H2O2) membentuk ion ferri (Fe+3) dan radi
kal hidroksil (OH•). Reaksi Haber-Weiss merupakan reaksi antara radikal superoksid (O2•¯) dengan hidrogen peroksida (H2O2) yang kemudian
menghasilkan oksigen (O2) dan radikal hidroksil(OH •
). Adanya logam transisi
Cytoplasma Mitochondria Cytochrome P450 O2 + e -Superoxide Cu/Zn SOD Hydrogen peroxide H2O + O2 Electron Transport chain O2 + e -Superoxide Hydrogen peroxide Mn SOD GPX CAT H2O + O2 NO NO Peroxynitrite Hydroxyl radical GPX CAT
7
inilah yang dapat menerangkan mekanisme kerusakan in vivo yang ditimbulkan oleh radikal hidroksil.9
2.5 Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa pemberi elekron atau reduktan, sehingga mempunyai kemampuan untuk menetralkan efek radikal bebas. Sistem antioksidan tubuh melindungi jaringan dari efek negatif radikal bebas. Terdapat 3 kelompok antioksidan dalam tubuh manusia yaitu.8
1. Antioksidan Primer ( Endogenus)
Bekerja dengan cara mencegah pembentukan radikal bebas yang baru serta mengubah radikal bebas menjadi molekul yang tidak berbahaya. Termasuk didalamnya adalah superoxide dismutase (SOD), glutatin peroksidase ( GPx), dan katalase. Sering juga disebut antioksidant enzimatis.
2. Antioksidan Sekunder ( Eksogenus)
Berguna untuk menangkap radikal dan mencegah terjadinya reaksi berantai. Termasuk didalamnya adalah vitamin E (α-tokoferol), β karoten, asam urat, bilirubin dan albumin.
3. Antioksidan Tersier
Berguna untuk memperbaiki kerusakan biomolekuler yang disebabkan oleh radikal bebas. Termasuk didalamnya adalah DNA repair enzyme dan metionin sulfoksida reduktase.8
8
BAB III
STRES OKSIDATIF
3.1 Definisi Stres Oksidatif
Teori mengenai radikal bebas pertama kali dikemukakan oleh Rebecca Gersham dan Daniel Gilbert dalam Teori Radikal Bebas Gershman pada tahun 1954, yang menyatakan bahwa toksisitas oksigen terjadi akibat bentuk oksigen yang tereduksi sebagian. Radikal bebas oksigen atau yang dikenal dengan Reaktif Oksigen Spesies (ROS) dan Reaktif Nitrogen Spesies (RNF) adalah produk normal dari metabolisme seluler. ROS dan RNS memiliki efek menguntungkan dan efek merugikan. Efek menguntungkan ROS terjadi pada konsentrasi rendah hingga sedang, merupakan proses fisiologis dalam respon seluler terhadap bahan bahan yang merugikan, seperti dalam pertahanan diri terhadap infeksi, dalam sejumlah fungsi sistem sinyal seluler dan induksi respon mitogenik.16 Efek merugikan dari radikal bebas yang menyebabkan kerusakan biologis dikenal dengan nama stres oksidatif dan stres nitrosatif .17 Hal ini terjadi dalam sistem biologis akibat produksi ROS atau RNS yang berlebihan maupun akibat defisiensi antioksidan enzimatik dan non-enzimatik. Dengan kata lain, stres oksidatif terjadi akibat reaksi metabolik yang menggunakan oksigen dan menunjukkan gangguan keseimbangan status reaksi oksidan dan antioksidan pada mahluk hidup. ROS yang berlebihan akan merusak lipid seluler, protein maupun DNA dan menghambat fungsi normal sel.9
9
Gambar 3.1 Kerusakan Akibat Reaktif Oksigen Spesies.9
Radikal yang berasal dari oksigen merupakan kelompok radikal terpenting yang dihasilkan dalam tubuh mahluk hidup. Secara umum ROS dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu radikal dan nonradikal, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.2. Kelompok radikal yang sering dikenal dengan radikal bebas mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbit atomik atau molekulernya. Elektron yang tidak berpasangan ini menunjukkan tingkat reaktivitas tertentu pada radikal bebas. Kelompok nonradikal terdiri dari berbagai bahan yang beberapa diantaranya sangat reaktif walaupun secara definisi bukan radikal.9
10
Tabel 3.2 Metabolit Radikal dan Nonradikal Oksigen.9
Nama Simbol RADIKAL OKSIGEN Oksigen (Bi-radikal) O2•• Ion Superoksida O2•¯ Hidroksil OH• Peroksil ROO• Alkoksil RO• Nitrit Oksida NO• NONRADIKAL OKSIGEN Hidrogen Peroksida H2O2
Peroksida organik ROOH
Asam Hipoklorit HOCL
Ozon O3
Aldehid HCOR
Singlet Oksigen 1O2
Peroksinitrit ONOOH
Molekul oksigen memiliki kofigurasi elektron yang unik dan molekul ini sendiri merupakan bi-radikal karena memiliki dua elektron tidak berpasangan pada dua orbit yang berbeda.9 Penambahan satu elektron pada dioksigen akan membentuk radikal superoksid (O2
•¯
11
melalui proses metabolik atau setelah aktivasi oksigen oleh radiasi (ROS primer) dan dapat bereaksi dengan molekul lain untuk membentuk ROS sekunder baik secara langsung maupun melalui proses enzimatik atau katalisis metal.16
Organisme harus menghadapi dan mengontrol adanya prooksidan dan antioksidan secara terus menerus. Keseimbangan kedua faktor ini yang dikenal dengan nama redoks potensial, bersifat spesifik untuk tiap organel dan lokasi
biologis. Hal-hal yang mempengaruhi kesimbangan kearah manapun
menimbulkan efek buruk terhadap sel dan organisme. Perubahan keseimbangan ke arah peningkatan pro-oksidan yang disebut stress oksidatif akan menyebabkan kerusakan oksidatif. Perubahan keseimbangan ke arah peningkatan kekuatan reduksi atau antioksidan juga akan menimbulkan kerusakan yang disebut stress reduktif .9(Gambar 3.3)
Gambar 3.3 Pengaruh Keseimbangan Oksidan dan Reduktan.9
Radikal bebas memiliki waktu paruh yang sangat singkat, karena setelah terbentuk, komponen ini segera bereaksi dengan molekul lain. Waktu paruh ROS dipengaruhi oleh lingkungan fisiologisnya, seperti pH dan adanya spesies lain. Toksisitasnya tidak selalu sejalan dengan reaktivitas ROS. Pada umumnya, waktu paruh yang panjang dapat mengakibatkan toksisitas yang lebih besar karena memiliki waktu yang cukup untuk berdifusi dan mencapai lokasi yang sensitif, kemudian ROS yang terbentuk akan berinteraksi dan menyebabkan kerusakan di tempat yang jauh dari tempat produksinya. Sebaliknya, ROS yang sangat reaktif dengan waktu paruh yang pendek, misalnya OH•, menyebabkan kerusakan
12
langsung di tempat produksinya. Jika tidak ada target biologis penting di sekitar tempat produksinya, radikal tidak akan menyebabkan kerusakan oksidatif. Untuk mencegah interaksi antara radikal dan target biologisnya, antioksidan harus ada di lokasi produksi untuk bersaing dengan radikal dan berikatan dengan bahan biologis.9
Pada pH fisiologis, superoksid ditemukan dalam bentuk ion superoksid (O2•¯)
sedangkan pada pH rendah ditemukan sebagai hidroperoksil (HO2). Hidroperoksil
lebih mudah berpenetrasi ke dalam membran biologis. Dalam keadaan hidrofilik, kedua substrat tersebut dapat berperan sebagai bahan pereduksi, namun kemampuan reduksi HO2 lebih tinggi. Dalam larutan organik, kelarutan O2•¯ lebih
tinggi dan kemampuannya sebagai pereduksi meningkat. Reaksi terpenting dari radikal superoksid adalah dismutasi, dimana 2 radikal superoksid akan membentuk Hidrogen peroksida (H2O2) dan O2 dengan bantuan enzim superoksid
dismutase maupun secara spontan.9
Hidrogen peroksida dapat menyebabkan kerusakan sel pada konsentrasi yang rendah (10µM), karena mudah larut dalam air dan mudah melakukan penetrasi ke dalam membran biologis. Efek buruk kimiawinya dapat dibedakan menjadi 2, yaitu efek langsung dari kemampuan oksidasinya dan efek tidak langsung, akibat bahan lain yang dihasilkan dari H2O2, seperti OH• dan HClO. Efek langsung H2O2
seperti degradasi protein Haem, pelepasan besi, inaktivasi enzim, oksidasi DNA, lipid, kelompok -SH dan asam keto.9
Radikal hidroksil memiliki reaktivitas yang sangat tinggi (107-109 m-1s-1), waktu paruh yang singkat dan daya ikat yang sangat besar terhadap molekul organik maupun anorganik, termasuk DNA, protein, lipid, asam amino, gula, dan logam.9
Metal transisi juga merupakan radikal. Di dalam tubuh, tembaga dan besi merupakan metal transisi yang terbanyak dan ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi. Kedua logam ini berperan penting dalam Reaksi Fenton dan Haber-Weiss. Sebenarnya semua ion logam yang terikat pada permukaan protein, DNA atau
13
makromolekul lain dapat berpartisipasi dalam reaksi ini. Logam yang tersembunyi di dalam protein, seperti dalam catalytic sites dan sitokrom atau kompleks simpanan tidak terpapar oksigen atau tetap berada dalam keadaan oksidasi sehingga tidak berperan dalam reaksi ini. Dalam reaksi Fenton, Ion Ferro (Fe+2) bereaksi dengan hidrogen peroksida (H2O2) membentuk ion ferri (Fe+3) dan
radikal hidroksil (OH•). Reaksi Haber-Weiss merupakan reaksi antara radikal superoksid (O2•¯) dengan hidrogen peroksida (H2O2) yang kemudian
menghasilkan oksigen (O2) dan radikal hidroksil(OH•). Adanya logam transisi
inilah yang dapat menerangkan mekanisme kerusakan in vivo yang ditimbulkan oleh radikal hidroksil.9
Sel terpapar reaktif oksigen spesies dari sumber eksogen dan endogen. Radiasi sinar gamma, ultraviolet, makanan, obat-obatan, polutan, xenobiotik dan toxin merupakan contoh sumber eksogen. Sedangkan yang lebih penting, adalah sumber endogen seperti sel netrofil pada proses infeksi, enzim yang memproduksi ROS secara langsung (seperti NO synthase) maupun tidak langsung (seperti xanthin
oxidase), metabolisme sel (mitokondria) dan penyakit tertentu (misalnya proses
iskemik).9
3.2 Mekanisme Pertahanan Terhadap Stres Oksidatif
Sel yang terpapar stres oksidatif secara terus menerus, juga memiliki berbagai mekanisme pertahanan agar dapat bertahan hidup. (Gambar 3.4)
14
15
Gambar 3.5 Jalur Pembentukan ROS, Proses Peroxidasi Lipid dan Peran Glutathione (GSH) dan Antioksidan Lain (Vitamin E, C, asam lipoat) Dalam Mengatasi Stress Oksidatif.16
Mekanisme pertahanan terpenting adalah dari antioksidan enzimatik dan low
molecular weight antioxidant (LMWA). Antioksidan enzimatik ada yang bekerja
secara langsung, misalnya superoksid dismutase (SOD), glutathione peroxidase (Gpx) dan Katalase (CAT) dan ada yang berupa enzim tambahan, seperti
Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase (G6PD) dan xanthin oxidase. Sedangkan yang
termasuk kelompok LMWA misalnya glutathione, asam urat, -tokoferol, asam askorbat, karotenoid dan masih banyak lagi bahan-bahan lainnya.5
16
3.2.1 Superoksid Dismutase
Superoksid dismutase (SOD) merupakan enzim yang mengkatalisis radikal superoksid menjadi hidrogen peroksida dan oksigen. Terdapat beberapa jenis SOD, seperti Copper-Zinc-SOD (Cu-Zn-SOD) yang terdapat di dalam sitosol terutama di lisosom dan nukleus, manganese-SOD (Mn-SOD) yang terdapat di dalam mitokondria, ekstraseluler SOD (EC-SOD) dan besi-SOD (Fe-SOD) yang hanya ditemukan pada tumbuhan. Radikal superoksid dapat mengalami dismutasi secara spontan maupun dengan bantuan SOD membentuk H2O2. Dengan adanya
SOD, kecepatan dismutasi meningkat lebih dari 1000 kali lipat dibandingkan dismutasi spontan.18
Superoksid dismutase (SOD) diisolasi pertama kali oleh Mann dan Kleilin tahun 1938.8 SOD merupakan enzim yang mengkatalisis radikal superoksid menjadi hidrogen peroksida dan oksigen. Terdapat beberapa jenis SOD, seperti Copper-Zinc-SOD (Cu-Zn-SOD) yang terdapat di dalam sitosol terutama di lisosom dan nukleus, manganese-SOD (Mn-SOD) yang terdapat di dalam mitokondria, ekstraseluler SOD (EC-SOD) dan besi-SOD (Fe-SOD) yang hanya ditemukan pada tumbuhan.19
SOD merupakan enzim antioksidan pencegah, yang merupakan suatu antioksidan metalloenzim. SOD adalah enzim antioksidan intraseluler utama yang dapat digunakan untuk menetralisir aktifitas O2-. Secara umum semua SOD, ion
metal (M) mengkatalisa dismutasi O2- melalui mekanisme oksidasi reduksi seperti
dibawah:
M3+ + O2- M2+ + O2
M2+ + O2- + 2H+ M3+ + H2O2
SOD menetralisir O2- menjadi oksigen dan hidrogen peroksida (H2O2).
Selanjutnya H2O2 diubah menjadi molekul air (H2O) oleh enzim katalase dan
peroksidase. Peroksidase yang penting dalam tubuh yang dapat meredam dampak negatif H2O2 adalah glutation peroksidase.
2O2- + 2H+ O2 + H2O2 (oleh superoksid dismutase)
17
2GSH + H2O2 GSSG + 2H2O (oleh glutation peroksidase)
3.2.2 Katalase
Katalase ditemukan pada hampir seluruh organ tubuh, namun terutama terkonsentrasi di hati. Di dalam sel, katalase ditemukan di dalam peroksisom. Fungsinya untuk mengkatalisis H2O2 menjadi H2O dan O2. Kapasitas reduksi
katalase tinggi pada suasana H2O2 konsentrasi tinggi, sedangkan pada konsentrasi
rendah kapasitasnya menurun.18,19 Hal ini disebabkan karena katalase memerlukan reaksi dua molekul H2O2 dalam proses reduksinya, sehingga hal ini lebih jarang
ditemukan pada konsentrasi substrat rendah.19 Pada konsentrasi H2O2 rendah
seperti yang dihasilkan dari proses metabolisme normal, peroxiredoksin (PRX) yang berfungsi untuk mengikat H2O2 dan mengubahnya menjadi oksigen dan
air.18 Reaksi pemecahan hidrogen peroksida dan hidroperoksida organik secara enzimatik digambarkan dalam Gambar 3.6.
Gambar 3.6 Penangkapan Endogen Peroksida Seluler.20
3.2.3 Glutathione peroxidase
Glutathione peroxidase merupakan seleno-enzim yang pertama kali
ditemukan pada mamalia.21 Kadarnya tinggi pada ginjal, liver, dan darah, sedang pada lensa dan eritrosit, dan rendah pada alveoli dan plasma darah.19 Enzim ini memerlukan glutathione sebagai donor substrat untuk mengikat H2O2 maupun
18
hidroperoksida organik (ROOH) untuk menghasilkan glutathione disulphide (GSSG), air dan bentuk hidroksi dari bahan organik tersebut (ROH) (Gambar 2.5.). Namun, kini ditemukan bahwa, substrat lain, seperti thioredoxin,
glutaredoxin dan protein lain dengan motif CXXC juga dapat dipergunakan oleh
Gpx untuk mengikat hidrogen peroksida. Pada manusia, saat ini telah dikenal 8 macam Gpx, mulai dari Gpx1 hingga Gpx8. Sebagian besar merupakan selenoprotein (Gpx1, Gpx2, Gpx3, Gpx4, dan Gpx6), sedangkan pada Gpx5, Gpx7 dan Gpx8, tempat aktif residu selenocysteine diganti dengan cysteine. Fungsi dari masing-masing Gpx ini belum sepenuhnya diketahui.21
Kerusakan sel dipicu oleh oksigen reaktif (ROS). Bisa juga berupa radikal bebas anion reaktif dari atom oksigen (O2-), atau molekul yang mengandung atom
oksigen yang dapat memproduksi radikal bebas atau yang diaktifkan oleh radikal berupa radikal hidroksil, superoksida, hidroksi peroksida dan peroksinitrit. Sumber utama reaksi oksidatif berasal dari pernapasan aerob walaupun bisa juga diproduksi melalui peroksisomal β-oksidasi asam lemak, komponen metabolik sitokrom P450. Dalam kondisi normal, oksidasi reaktif dikeluarkan dari sel atas kerja SOD, katalase atau glutation peroksidase. Kerusakan utama pada sel terjadi akibat perubahan makromolekul seperti asam lemak pada lipid membrane, protein esensial dan DNA.9
19
BAB IV
PERAN STRES OKSIDATIF PADA ABORTUS
4.1 Peranan ROS dan Antioksidan pada Kehamilan Normal
Reaktif oksigen spesies merupakan promotor penting dalam proses ovulasi. Perkembangan proses Miosis I diinduksi oleh peningkatan ROS dan dihambat oleh antioksidan.22,23 Sel granulosa dan luteal berespon negatif terhadap ROS dan adanya ROS akan menghambat perkembangan miosis II, menyebabkan berkurangnya aktivitas gonadotropin dan steroidogenik, kerusakan DNA dan hambatan produksi ATP. Glutathione, suatu tripeptida sulphydril non-protein, merupakan antioksidan seluler yang berperan penting dalam maturasi oosit, terutama dalam maturasi sitoplasma yang diperlukan untuk perkembangan pre-implantasi.23
Adanya peningkatan produksi hormon steroid pada folikel yang sedang berkembang, terjadi melalui peningkatan aktivitas sitokrom p450 yang kemudian akan menghasilkan ROS seperti H2O2. Behl dan Padey (2002) meneliti perubahan
aktivitas katalase dan estradiol pada sel granulosa folikel ovarium kambing setelah pemberian FSH dengan dosis yang sama (200ng/ml). Hasil penelitian tersebut menunjukkan aktivitas katalase dan estrogen yang lebih tinggi pada sel granulosa yang berukuran besar (lebih dari 6mm) dibandingkan dengan ukuran sedang (3-6 mm), maupun yang kecil (kurang dari 3mm). Karena folikel dominan adalah folikel dengan konsentrasi estrogen tertinggi, maka peningkatan katalase dan estradiol sebagai respon terhadap FSH menunjukkan peran katalase dalam seleksi folikel dan pencegahan apoptosis.24
Transferin sebagai antioksidan dapat diproduksi diluar hepar, termasuk kemungkinan oleh ovarium dan dapat menghambat pembentukan radikal hidroksil melalui reaksi Fenton. Transferin dan reseptornya terdistribusi secara heterogen
20
pada sel granulosa manusia, dengan ekspresi yang lebih besar pada folikel matur. Konsentrasi transferin pada cairan folikel hampir sama dengan pada serum.6
Hipoksia pada sel granulosa merupakan proses normal dalam pertumbuhan folikel ovarium.24 Suasana yang rendah oksigen ini menstimulasi angiogenesis folikel, yang sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan folikel. Gangguan angiogenesis pada folikel ovarium akan menyebabkan atresi folikel. Reaktif oksigen spesies bekerja sebagai sinyal transduser atau messanger intraseluler dari respon angionenik.25
Glutathione pada oosit matur tampaknya merupakan penanda biokimia
terhadap viabilitas oosit mamalia. Sampel in vitro maturation dari hamster menunjukkan oosit terovulasi yang berhenti pada metaphase Miosis II mengandung kadar glutathione 2 kali lipat dari oosit imatur.26
Pengaruh stress oksidatif terhadap perkembangan embryo akibat oksigen konsentrasi tinggi tergantung dari tingkat perkembangan embrio tersebut. Pada stadium awal embrio lebih sensitif dan peningkatan konsentrasi oksigen ini berhubungan dengan peningkatan pembentukan radikal bebas oksigen intraseluler dan kerusakan DNA.25
Penelitian Jauniaux dkk (2003) membuktikan suatu pemahaman baru mengenai hubungan materno-fetal pada trimester pertama, menunjukkan bahwa plasenta berfungsi sebagai pembatas suplai oksigen selama organogenesis. Walaupun fetus telah mulai berimplantasi ke dalam endometrium sejak 6-7 hari setelah fertilisasi dan berimplantasi lengkap pada hari ke-10, namun aliran darah yang cukup tidak terjadi hingga akhir trimester pertama, sekitar minggu ke-10.28 Tekanan parsial oksigen (PO2) intraplasenta 2-3 kali lebih rendah pada minggu ke 8-10 dibandingkan dengan setelah minggu ke-12. Jadi, hingga akhir trimester pertama, fetus berkembang dalam suasana hipoksia fisiologis untuk melindungi dirinya dari efek buruk dan efek teratogenik dari radikal bebas oksigen. serta untuk menjaga stem sel agar tetap dalam keadaan pluripotent penuh.Pada kadar
21
fisiologis, radikal bebas berfungsi dalam regulasi berbagai fungsi sel, terutama sebagai faktor transkripsi. 29,30
Gambar 4.1 Diagram Sistem Penyaluran Oksigen pada Orang Dewasa dan Jaringan Embrionik. Sistem penyaluran oksigen pada tubuh orang dewasa menjaga agar sel tidak terpapar oksigen konsentrasi penuh dan stress oksidatif yang berlebihan (kiri); sumbatan arteri spiralis maternal dan adanya exocoelomic cavity (kanan) mengurangi karier oksigen, dan berperan sebagai mekanisme perlindungan yang sama pada jaringan embrionik selama trimester pertama.31
Pembentukan sistem vaskular uteroplasenta dimulai dari invasi desidua maternal oleh extravillous cytotrophoblast. Hal ini terdiri dari 2 proses berurutan dan keberhasilan dari kedua proses ini akan mempengaruhi luaran kehamilan. Proses yang terjadi pertama kali adalah extravillous cytotrophoblast menutupi dinding luar kapiler tropoblast dan arteri spiralis cabang intra-endometrium, sehingga membentuk tudung pada pembuluh darah tersebut. Sumbatan ini berfungsi sebagai filter yang memperbolehkan plasma untuk berdifusi ke arah
intervillous space, bukan aliran darah sejati. Invasi ini terjadi sekitar pada minggu
ke 5 hingga 8. Aliran ini ditambah dengan sekresi kelenjar uteri yang dilepaskan ke dalam intervillous space hingga sekitar usia kehamilan 10 minggu.30 Pada minggu ke 8 hingga ke 13, sumbatan ini akan terlepas perlahan-lahan. Kemudian terjadi proses invasi tropoblast yang kedua terhadap arteri spiralis intramiometrial (pada minggu ke 13 hingga 18).32
22
Dalam kehamilan, terdapat dua fenomena stres oksidatif fisiologis. Pertama, pada akhir trimester pertama, terjadi stress oksidatif pada bagian perifer placenta.29 Sirkulasi utero-plasenta di bawah area ini tidak pernah tertutup oleh tudung trophoblastik, memperbolehkan aliran darah maternal secara terbatas memasuki plasenta dari usia kehamilan 8 hingga 9 minggu. Hal ini menyebabkan peningkatan konsentrasi oksigen lokal pada suatu tahap kehamilan dimana tropoblast memiliki konsentrasi dan aktivitas antioksidan utama seperti SOD, katalase dan glutathione peroxidase yang rendah. Kerusakan oksidatif tropoblastik utama dan degenerasi villi secara progresif memicu terbentuknya membran fetus yang merupakan langkah perkembangan penting untuk terjadinya kelahiran per vaginam. Stres oksidatif dan peningkatan oksigenasi juga memicu sintesis berbagai protein tropoblastik seperti -HCG dan estrogen. Konsentrasi -HCG serum maternal memuncak pada akhir trimester pertama dan keadaan oksidasi memicu pembentukan sub unit -HCG dalam percobaan in vitro. Konsentrasi hCG meningkat lebih tinggi pada kasus Trisomi 21, dimana terbukti terjadi stres oksidatif tropoblastik akibat ketidakseimbangan ekspresi enzim antioksidan. Kini terbukti bahwa enzim sitokrom P-450 aromatase (CYP-19) yang terlibat dalam sintesis estrogen, secara transkripsi diatur oleh oksigen dan hal ini dapat menyebabkan peningkatan signifikan produksi estrogen pada awal trimester kedua. 31,33
Contoh kedua melibatkan fenomena ischemia-reperfusion (I/R). Studi angiografi teradap pembuluh darah uteri dari kera rhesus menunjukkan bahwa pada kehamilan normal, aliran dari arteri spiralis ke intervillous space sering intermitten, akibat vasokonstriksi spontan. Influks plasenta juga dapat menurun akibat kompresi eksternal arteri selama kontraksi uterus pada rhesus dan manusia, dan bahkan akibat perubahan postural. Sehingga stimulus I/R derajat tertentu merupakan gambaran normal pada kehamilan, terutama setelah mendekati aterm, dimana fetus dan plasenta mengeluarkan oksigen dalam jumlah banyak dari
intervillous space. Stimulus kronis ini menyebabkan peningkatan perlindungan
23
kehamilan muda, stres oksidatif yang terkontrol baik akan berperan dalam
remodelling plasenta secara terus menerus dan penting untuk fungsi plasenta
seperti transpor dan sintesis hormon. Dalam konteksi ini, abortus dan pre eklampsia dapat merupakan akibat maladaptasi sementara terhadap perubahan kadar oksigen.28
Gambar 4.2 Diagram Gestasional Sac (GS) pada Akhir Bulan Kedua. M:miometrium ; D:desidua ; P:plasenta ; ECC:exo-coelomic
cavity ; AC:amniotic cavity ; SYS:secondary yolk sacc.31
Dengan perkembangan penelitian terhadap plasenta, muncul teori yang menghubungkan stress oksidatif yang terjadi pada saat proses plasentasi dengan patofisiologi terjadinya abortus. Abortus spontan merupakan gangguan plasentasi dan perubahan-perubahan villi yang tampak bukanlah penyebab namun merupakan konsekuensi dari gangguan plasentasi tersebut. Pada sekitar dua per tiga abortus pada trimester pertama, dapat ditemukan kelainan anatomis dari gangguan plasentasi yang terutama berupa pelindung tropoblast yang lebih tipis
24
atau terfragmentasi, invasi sitotropoblast ke dalam endometrium yang lebih sedikit, dan penutupan lumen pada ujung arteri spiralis yang tidak lengkap. Hal ini menyebabkan hilangnya perubahan fisiologis plasenta yang seharusnya terjadi, sehingga timbul onset prematur dari sirkulasi maternal pada seluruh permukaan plasenta.31
Gambar 4.3 Diagram yang Menggambarkan Proses Plasentasi pada Kehamilan Normal Trimester Pertama (A) dan Abortus Spontan(B).28
Terlepas dari penyebab terjadinya abortus, peningkatan aliran darah maternal ke ruang intervillus menyebabkan dua perubahan, yaitu : 1. efek mekanis langsung terhadap jaringan villi yang menjadi terjebak secara progresif di dalam trombus darah besar intervillous, 2. penyebaran dan kerusakan tropoblast yang secara tidak langsung dimediasi oleh oksigen dan peningkatan apoptosis.7,29,34 Konsentrasi peroksida lipid juga meningkat di dalam villi dan jaringan desidua wanita yang mengalami abortus.35 Akibat dari proses tersebut, terjadi degenerasi plasenta dengan hilangnya seluruh fungsi sinsisiotrophoblast dan pelepasan plasenta dari dinding uterus. Mekanisme ini secara umum terjadi pada berbagai abortus yang terjadi pada trimester pertama.29
25
Gambar 4.4 Diagram Asal Mula Stress Oksidatif dan Kemungkinan Efek Stres Oksidatif Sinsisiotropoblas.29
Berbagai faktor yang menyebabkan fluktuasi konsentrasi oksigen secara besar dan cepat akan memiliki efek membahayakan dan langsung terhadap jaringan villous muda. Jauniaux (2006) mencoba memisahkan etiologi abortus trimester pertama menjadi penyebab stres oksidatif primer dan sekunder. Penyebab primer dapat didefinisikan dan melibatkan terutama abnormalitas kromosom yang
Maladaptation of mitochondria Poor placental perfusion
Chronic Oxidative Stress Pre-eclampsia
Differentiation trigger Induction of antioxidant enzymes
Fetal genotype Maternal immune system Endometrial environment
Extravillous trophoblast invasion of endometrium
Unplugging of arteries and onset of maternal circulation Rise in intraplacental oxygen tension Metabolic disorder Mitochondrial dysfunction Drugs Maternal diet Parental genotype SYNCYTIO- TROPHOBLASTIC OXIDATIVE STRESS Degeneration of syncytiotrophoblast
Early pregnancy failure
Antioxidant defences
Resolution and continuing pregnancy
26
ditemukan pada minimal 50% abortus spontan dan sering berhubungan dengan invasi tropoblas pada desidua uterus yang abnormal.29,35 Juga terdapat berbagai bukti yang menyatakan ada hubungan antara abortus spontan dengan anomali salah satu enzim yang terlkibat dalam metabolisme ROS. Data ini mendukung konsep bahwa abortus spontan dapat sebagai akibat primer defek plasentasi, akibat kelainan enzim atau kofaktor yang terlibat dalam metabolisme oksigen.35
Penyebab sekunder lebih kompleks dan sering multifaktorial. Beberapa penyakit seperti diabetes mellitus dapat meningkatkan produksi ROS dalam jumlah lebih banyak dari yang dapat ditangkap oleh sistem pertahanan antioksidan, sehingga terjadi kerusakan DNA dan oksidasi protein dan lipid, sehingga mengakibatkan disfungsi tropoblas sekunder. Walaupun telah dibuktikan bahwa wanita yang secara alamiah memiliki kadar enzim antioksidan yang lebih tinggi lebih jarang mengalami abortus spontan 37, peran suplementasi antioksidan peri-konsepsional pada abortus spontan trimester pertama masih perlu diteliti.31 Hal ini menekankan pentingnya faktor genetik yang berhubungan dengan kemampuan antioksidan endogen untuk melawan efek negatif dari stress oksidatif.38
4.2 Peranan Stres Oksidatif
Terdapat bukti yang jelas bahwa abortus adalah gangguan plasentasi dan perubahan villi. Dua pertiga dari gangguan kehamilan awal, kelainan plasentasi yang ditandai dengan sel trofoblas yang tipis dan terfragmentasi serta penurunan invasi sitotrofoblas di endometrium. Hal ini berkaitan dengan tidak adanya perubahan fisiologis dalam kebanyakan arteri spiralis dan menyebabkan onset dini sirkulasi maternal pada plasenta. Penyebab abortus, masuknya darah maternal ke ruang intervilli yang mempunyai dampak langsung mekanik pada jaringan villi dan memperluas kerusakan trofoblas yang dimediasi secara tak langsung oleh O2 -serta meningkatkan apoptosis. Abortus juga didasari oleh konsentasi lipid peroksida yang meningkat pada jaringan desidua dan villi. Secara keseluruhan, menyebabkan degenerasi plasenta dengan hilangnya fungsi sinsitiotrofoblas dan
27
perlekatan plasenta pada dinding uterus. Mekanisme ini umum terjadi pada abortus trimester pertama.
Konsep onset prematur dari sirkulasi maternal berhubungan dengan peningkatan pembentukan spesies oksigen reaktif serta invasi trofoblas yang inadekuat dapat menyebabkan terjadinya preeklamsi dan aborsi spontan. Biomarker stres oksidatif diduga meningkat pada aborsi spontan sebelum umur kahamilan 10 minggu mungkin akibat dari aliran darah maternal yang abnormal serta regresi dari vili korion.25 Kadar MDA, GPX dan SOD dapat pula berubah pada kehamilan yang normal. Tingkat peroksidasi lipid pada jaringan plasenta atau plasma pada trimester pertama lebih tinggi dibandingkan pada akhir kehamilan atau saat persalinan.39 Embrio yang berimplantasi membutuhkan keadaan rendah oksigen agar terjadi perkembangan dan diferensiasi hingga umur kehamilan 10 minggu. Tidak adanya aliran darah maternal melindungi embrio dan serangan imunologi dan radikal bebas. Pada umur kehamilan 10-12 minggu sirkulasi maternal mulai terbentuk dan konsentrasi oksigen intraplasenta meningkat tajam. Radikal bebas merupakan molekul reaktif dengan elektron tanpa pasangan dan diproduksi secara terus-menerus dalam sel baik sengaja maupun tidak sebagai produk sampingan dari metabolisme. Rangkaian reaksi oksidasi-reduksi dalam transformasi meta bolisme protein, karbohidrat dan lemak terjadi dalam mitokondria yang disebut dengan fosforilasi oksidatif. Hasil produknya berupa oksigen dan derivatnya seperti radikal superoksida dan hidroksil. Abortus bisa diasosiasikan dengan stress oksidatif pada seluruh plasenta sehingga menyebabkan apotosis dan penurunan kolagen tipe IV.35,39
SOD desidua memiliki peran penting dalam fungsi desidua dan mempertahankan kehamilan awal. Pada beberapa studi menunjukan Cu,Zn-SOD dalam desidua bermanfaat dalam mempertahankan kehamilan dengan mencegah akumulasi lipid peroksidasi sampai sintesa prostaglandin F2 (PGF2) yang mencegah uterus berkontraksi.35
Apapun faktor yang terlibat dalam perlindungan SOD terhadap interaksi materno-plasenta, tujuan utama adalah untuk mengoptimalkan implantasi, plasentasi dan diikuti dengan transformasi progresif dari arteri spiralis maternal
28
yang vasoreaktif menjadi arteri utero-plasenta yang flasid dan distensi yang dibutuhkan untuk mensuplai fetus yang sedang berkembang dan plasentanya dengan jumlah darah maternal yang akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur kehamilan.31
Bahaya potensial stres oksidatif dari aliran darah maternal ke plasenta diduga merupakan fenomena yang progresif, dimana komunikasi antara arteri uteroplasenta dan rongga intervilli berawal dari beberapa pembuluh darah kecil dari akhir bulan kedua kehamilan. Dugaan ini didukung oleh temuan angiografi in vivo yang menunjukkan hanya beberapa lokasi terbuka pada rongga intervilli yang bisa diidentifikasi pada umur kehamilan 6,5 minggu, sedangkan pada umur kehamilan 12 minggu lebih banyak ditemukan. Studi anatomi menunjukkan migrasi trofoblas dan perubahan morfologi pada arteri uteroplasenta lebih luas terjadi pada bagian sentral dari plasenta.29
29
BAB V
RINGKASAN
Abortus merupakan komplikasi kehamilan yang paling sering terjadi. Kehamilan dapat berakhir dengan terjadinya abortus, baik itu abortus iminens, insipien, inkomplit maupun komplit. Sebagian besar abortus terjadi pada trimester pertama. Diperkirakan kejadian abortus spontan (miscarriages) tinggi pada wanita sejak saat konsepsi namun sebagian besar kejadian tersebut tanpa disadari karena diduga suatu haid biasa.1,2
Penyebab abortus tidak selalu jelas, begitu banyak etiologi yang menyebabkan, diantaranya kelainan kromosom pada fetus, faktor ibu seperti infeksi, nutrisi, mioma uteri.2 Saat ini dari perkembangan penelitian terhadap plasenta, muncul teori yang menghubungkan stres oksidatif yang terjadi pada saat proses plasentasi dengan patofisiologi terjadinya abortus.5,6 Beberapa penelitian terbaru menunjukkan stres oksidatif atau ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan pada jaringan uteroplasenta memegang peran penting dalam berbagai penyakit termasuk abortus.7
Radikal bebas mempunyai sifat sangat reaktif dan dapat mengubah molekul menjadi radikal. Radikal bebas merupakan suatu bentukan yang dihasilkan oleh pernapasan secara aerob dan reaksi metabolik yang lain. Oksigen paling banyak digunakan selama proses oksidasi dan dikonversi menjadi air, tetapi 1-2% akan menjadi oksigen reaktif terutama superokside (O2-), hidroksil
(OH-) dan hidroperoksil (H2O2). Metabolit anion ini sangatlah reaktif dan
membutuhkan antioksidan untuk menetralisirnya.7
Terdapat 3 kelompok antioksidan dalam tubuh manusia yaitu: Primer yang bekerja dengan cara mencegah pembentukan radikal bebas yang baru serta mengubah radikal bebas menjadi molekul yang tidak berbahaya ( superoksid dismutase, glutation peroksidase dan katalase), sekunder yang berguna untuk menangkap radikal dan mencegah terjadinya reaksi berantai (Vitamin E, β
30
karoten, bilirubin dan albumin), dan tersier yang berguna untuk memperbaiki kerusakan biomolekuler yang disebabkan oleh radikal bebas ( DNA repair enzyme dan metionin sulfoksida reduktase).8
Apabila produksi ROS dan radikal bebas yang lain melebihi kapasitas penangkapan oleh antioksidan, maka akan menimbulkan suatu keadaan yang disebut stres oksidatif. Adanya stres oksidatif akan merusak lipid seluler, protein maupun DNA dan menghambat fungsi normal sel. Stres oksidatif pada sinsiotropoblas menyebabkan terjadinya degenerasi pada sinsisiotropobas dan pada akhirnya terjadi abortus.9
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Petrozza, J.C., Berlin, I,.2010. Recurrent Early Pregnancy Loss.
Emedicine. Medscape, (edition 2010, Jan 22). Available
from:http://emedicine.medscape.com/article/260495-overview.
2. Cunningham, F.G., Leveno, K.J., Bloom, S.L., Hauth, J.C., Rouse, D.J., Spong, C.Y. 2010. Williams Obstetrics. Twenty third edition. The McGraw-Hill Companies.
3. Hadijanto, H., 2008. Perdarahan Pada kehamilan Muda. In: Saifuddin, A.B., Rachimhadhi, T., Wiknjosastro, G.H., Editor. Ilmu Kebidanan. Ed.4. Jakarta:Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.h.459-491.
4. Puscheks,E.E., Prandhan, A. 2006. First trimester Pregnancy Loss. Emedicine, medscape, (cited 2010 Jan, 22). Available from; http:// emedicine.medscape.com/article/266317-overview.
5. Biri, A., Kavutcu, M,. Bozkurt, N., Devrim, E., Nurlu, N., Durak, I. 2006.
Investigation of Radical Scavenging Enzyme Activities and Lipid Peroxidation in Human Placental Tissue with Miscarriage. Journal of the
Society for Gynecologic Investigation,13(5):384-388.
6. Ruder, E.H., Hartman, T.J., Blumberg, J., Goldman, M.B.2008. Oxidative
Stress and Antioxidant: Exposure and Impact on Female Fertility. Hum
Repro Update.14(4):345-357.
7. Jauniaux, E., Davies, T.C, Johns, J., Dunster, C., Hempstock, J., Kelly, F. J., and Burton, G. J. 2004. Distribution and Transfer Pathways of
Antioxidant Molecules Inside the First Trimester Human Gestational Sac.
J Clin Endocrinol Metab; 89(3):1452–1458.
8. Winarsi,H., 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas: Potensi dan Aplikasinya dalam Kesehatan. Yogyakarta: Kanisius.
32
9. Kohen, R., Nyska, A.,2002, Oxidation of Biological System: Oxidative
Stress Phenomen, Antioxidants, Redox Reactions, and Methods for Their Quantification. Toxicology Pathology. 30(6):620-650.
10. Speroff, L., Fritz, M.A. 2005. Clinical Gynecologic Endocrinology And
Infertlility. Seventh Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
11. Puscheck, E.E., Pradhan, A. 2006. First Trimester Pregnancy Loss. Emedicine. medscape, [cited 2010 Jan. 22]. Available from: http://emedicine.medscape.com /article/266317-overview.
12. Turrentine, J.E. 2008. Clinical Protocols in Obstetrics and Gynecology. Third Edition. Informa Health Care.
13. Eiben, B., Bartels, I., Bahr-Prosch, S.,Borgmann, S.. Gatz, G., Gellert, G., Goebel, R., et al. 1990. Cytogenetic Analysis of 750 Spontaneous
Abortions With The Direct-Preparation Method Of Chorionic Villi and Its Implications for Studying Genetic Causes of Pregnancy Wastage. Am J
Hum Genet 47:656-663.
14. Mitchell, R.N., Contran, R.s. 2008. Cell Injury, Cell Death, and
Adaptations.In: Kumar,Abas, Fausto,Mitchell.Ed. Basic Pathology.
Ed.8.p.1-30.
15. Agarwal, A., Gupta ,S., Sharman, R.K.2005. Role of Oxidative Stress in
Female Reproduction. Reproductive Biology and Endocrinology,3:1-21
16. Valko, M., Rhodes,C.J.,Moncol, J., Izakovic, M., and Mazur, M. 2006.
Free Radicals, Metals and Antioxidant in Oxidative Stress- Induced Cancer, Chem. Biol. Interact, 160: 1-40.
17. Kovacic. P., Jacintho,J.D. 2001. Mechanisms of Carcinogenesis: Focus
On Oxidative Stress and Electron Tranfer. Curr.Med.Chem,8, 773-796.
18. Miwa, S., Muller, F.L., and Beckman, K.B. 2008. The Basics of Oxidative
Biochemistry, Oxidative Stress in Aging From Model Systems to Human Diseases. Humana Press.
33
19. Cemelli, E., Baumgatner, A., Anderson, D. 2009, Antioxidant and The
Commet Assay. Mutation Research, 681: 51-67.
20. Day, B.J., 2009. Catalase and Glutathione Peroxidase Mimics. Biochemical Pharmacology, 77:285-296.
21. Toppo, S., Flohe, L., Ursini, F., Vanin, S., Maiorino, M. 2009 Catalytic
Mechanism and Spesificities Of Glutathione Peroxidases : Variation of A Basic Scheme. Biochimica et Bioplysica Acta, 1790:1486-1500.
22. Takami, M., Preston, S.L., Behrman, H.R. 2000. Eicosatetraynoic and
Eicosatriynoic Acids, Lipoxygenase Inhibitors, Block Meiosis Via Antioxidant Action. Am J Physiol Cell Physiol, 278:C646–C650.
23. Kodaman, P.H., Behrman, H.R. 2001. Endocrine-Regulated and Protein
Kinase C-Dependent Generation of Superoxide by Rat Preovulatory Follicles. Endocrinology, 142:687–693.
24. Tropea, A., Miceli, F., Minici, F., Tiberi, F., Orlando, M., Gangale, M.F., Romani, F., et al. 2006. Regulation of Vascular Endothelial Growth
Factor Synthesis and Release by Human Luteal Cells In Vitro. J Clin
Endocrinol Metab, 91:2303–2309.
25. Pearlstein, D.P., Ali, M.H., Mungai, P.T., Hynes, K.L., Gewertz, B.L., Schumacker, P.T. 2002. Role of Mitochondrial Oxidant Generation in
Endothelial Cell Responses to Hypoxia. Arterioscler Thromb Vasc Biol,
22:566–573.
26. Luberda, Z. 2005. The Role of Glutathione in Mammalian Gametes. Reprod Biol, 5:5–17.
27. Al-Gubory, K.H., Fowler, P.A., Garrel, C. 2010. The Roles Of Cellular
Reactive Oxygen Species, Oxidative Stress and Antioxidants in Pregnancy Outcomes. The International Journal Of Biochemistry And Cell Biology,
34
28. John, J., Jauniaux, E., Burton, G. 2006. Factors Affecting The Early
Embryonic Environment. Reviews in Gynaecological and Perinatal
Practice, 6:199–210.
29. Jauniaux, E., Watson, A.L., Hempstock, J., Bao, Y.P., Skepper, J.N., Burton, G.J. 2000. Onset of Maternal Arterial Blood Flow and Placental
Oxidative Stress- A Possible Factor in Human Early Pregnancy Failure.
American Journal Of Pathology, 157:2111-2122.
30. Burton, G.J., Hempstock, J., Jauniaux, E. 2003. Oxygen, early embryonic
metabolism and free radical-mediated embryopathies. Reprod Biomed
Online, 6:84–96.
31. Jauniaux, E., Poston, L., Burton, G.J. 2006. Placental-Related Diseases of
Pregnancy: Involvement of Oxidative Stress and Implications in Human Evolution. Human Reproduction Update. 12(6):747-755.
32. Merviel, P., Lourdel, E., Cabry, R., Boulard, V., Brzakowski, M., Demailly, P., Brasseur, F., Copin, H., Devaux, A. 2009. Physiology of
Human Embryonic Implantation : Clinical Incidences. Folia Histochemica
Et Cytobiologica, 47:S25-S34.
33. Mendelson, C.R., Jiang, B., Shelton, J.M., Richardson, J.A., Hinshelwood, M.M.. 2005. Transcriptional regulation of aromatase in placenta and
ovary. J Steroid Biochem Mol Biol, 95:25–33.
34. Hempstock, J., Jauniaux, E., Greenwold, N., Burton, G.J. 2003. The
Contribution of Placental Oxidative Stress to Early Pregnancy Failure.
Hum Pathol, 34:1265–1275.
35. Sugino, N., Nakata, M., Kashida, S., Karube, A.,Takiguchi, S., Kato, H.,2000. Decreased Superoxide Dismutase Expression and Increased
Concentrations of Lipid Peroxide and Prostaglandin F2 in Decidua of Failed Pregnancy. Molecular Human Reproduction.6(7):642-647.
35
36. Hustin, J., Jauniaux, E., Schaaps, J.P. 1990. Histological study of the
materno-embryonic interface in spontaneous abortion. Placenta, 11:477–
486.
37. Baxter, N., Sumiya, M., Cheng, S., Erlich, H., Regan, L., Simons, A., Summerfield, J.A. 2001. Recurrent miscarriage and variant alleles of
mannose binding lectin, tumour necrosis factor and lymphotoxin α genes.
Clin Exp Immunol, 126:529–534.
38. Ornoy, A. 2007. Embryonic Oxidative Stress As A Mechanism of
Teratogenesis With Special Emphasis on Diabetic Embryopathy.
Reproductive toxicology, 25:31-41.
39. Ozkaya, O., Sezik, M., Kaya, H.2008. Serum Malondialdehyde,
Erythrocyte Glutation Peroxidase, and Erythrocyte Superoxide Dismutase Levels in Woman With Early Spontaneous Abortion Accompanied by Vaginal Bleeding. Med Sci Monit. 14(1):47-51.