• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TIDAK PIDANA PATEN MENURUT UNDANG-UNDANG NO.14 TAHUN 2001

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III TIDAK PIDANA PATEN MENURUT UNDANG-UNDANG NO.14 TAHUN 2001"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

TIDAK PIDANA PATEN

MENURUT UNDANG-UNDANG NO.14 TAHUN 2001

A. Ketentuan dan Jenis Pidana Paten

Sanksi pidana pada umumnya dirumuskan dalam perumusan delik, walaupun ada yang dirumuskan terpisah dalam pasal (ketentuan khusus) lainnya. Sebagai bagian dari perumusan delik, maka perumusan sanksi pidana juga merupakan sub-sistem yang tidak berdiri sendiri. Artinya, untuk dapat diterapkan (dioperasionalkan/difungsikan), perumusan saksi pidana itu masih harus ditunjang oleh sub-sub sistem lainnya, yaitu sub sistem aturan/pedoman dan asas-asas pemidanaan yang ada di dalam aturan umum KUHP atau aturan khusus dalam undang-undang khusus yang bersangkutan.

Oleh karena itu, agar perumusan saksi pidana dapat operasional harus memperhatikan aturan umum yang ada di dalam KUHP, antara lain sebagai berikut:

1. Dilihat dari sudut “strafsoort” (jenis-jenis sanksi pidana)

Semua aturan pemidanaan di dalam KUHP berorientasi pada “strafsoort” yang ada/disebut dalam KUHP, baik berupa pidana pokok maupun pidana tambahan. Oleh karena itu, apabila undang-undang khusus menyebut jenis-jenis pidana/tindak lain yang tidak ada dalam KUHP (misalnya “pidana pengawasan” seperti disebut dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak; pidana

(2)

pembayaran ganti rugi atau uang pengganti), maka undang-undang khusus itu harus membuat aturan pemidanaan khusus utuk jenis sanksi pidana itu.

2. Menurut pola KUHP

Menurut pola KUHP, jenis pidana yang dirumuskan/diancamkan dalam perumusan delik hanya pidana pokok dan/atau pidana tambahannya, pidana “kurungan pengganti” tidak dirumuskan dalam perumusan delik (aturan khusus), tetapi dimasukkan dalam aturan umum mengenai pelaksanaan pidana (“strafmodus”). Oleh karena itu undang-undang khusus tidak perlu memasukkan kurungan pengganti sebagai jenis pidana yang diancamkan dalam perumusan delik. Terlebih apabila jumlah lamanya kurungan pengganti itu tidak menyimpang dari aturan umum KUHP. Kalaupun menyimpang, perumusannya tidak dimasukkan sebagai “strafsoort” dalam perumusan delik, tetapi diatur sendiri dalam aturan tentang pelaksanaan pidana (straafmode/straafmodus).

3. Dilihat dari sudut “strafmaat” (ukuran jumlah lamanya pidana)

Aturan pemidanaan dalam KUHP berorientasi pada sistem minimal umum dan maksimal khusus, tidak berorientasi pada sistem minimal khusus. Artinya, di dalam KUHP tidak ada aturan pemidanaan untuk ancaman pidana minimal khusus, maka harus disertai juga dengan aturan/pedoman penerapannya. Dalam undang-undang khusus selama ini, kebanyakan masalah ini tidak diatur, kecuali dalam undang-undang terorisme dan undang-undang korupsi, walaupun pengaturannya masih

(3)

sangat sumir dan lebih tertuju pada batas-batas berlakunya pidana minimal itu.

4. Aturan pemidanaan umum dalam KUHP berorientasi pada “orang” (natural person), tidak ditjukan pada “korporasi”. Oleh karena itu apabila undang-undang khusus menyebutkan adanya sanksi pidana untuk korporasi, maka harus disertai juga dengan aturan khusus pemidanaan untuk korporasi, misalnya mengenai aturan pertanggungjawaban korporasi dan aturan pelaksanaan pidana denda untuk korporasi.

Subjek tindak pidana dalam KUHP hanya “orang”, sehingga semua aturan pemidanaan dalam KUHP diorientasikan pada “orang”. Begitu juga dalam Undang-Undang No.14 Tahun 2001 Tentang Paten, disebutkan bahwa subjeknya adalah orang atau yang lebih sering disebut dengan inventor atau yang menerima lebih lanjut hak inventor yang bersangkutan.

Pembuktian merupakan suatu tindakan untuk menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam surat persengketaan. Menurut Van Bummelen, membuktikan adalah kepastian yang layak menurut akal (redelijk) tentang: apakah hak tertentu itu sungguh-sungguh terjadi dan apa sebabnya.

Di dalam hukum acara pidana mengandung hukum pembuktian, sehingga hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana, maka sumber hukum adalah Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang dicantumkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209.

(4)

Apabila dalam suatu kegiatan proses hukum atau praktik menemui kesulitan dalam penerapan, maka dipakai yurispudensi-yurispudensi atau doktrin. Dengan demikian sumber hukum pembuktian adalah undang-undang, yurispudensi, dan doktrin atau ajaran.16

1. Negatief Wettelijk Bewijsleer

Hukum pembuktian dalam hukum acara adalah merupakan suatu hal yang sangat penting, yang menentukan tentang adanya suatu kebenaran. Dalam menentukan kebenaran dicari bukti-bukti untuk memberikan keyakinan pada hakim. Untuk memperoleh kebenaran, maka dalam hukum pembuktian mengenal beberapa teori pembuktian.

Menurut Prof.Satoehid Kartanegara, dikenal empat sistem pembuktian, yaitu:

Negatief Wettelijk Bewijsleer atau pembuktian negatif, dalam sistem pembuktian ini alat-alat bukti yang diatur dalam undang-undang saja belum cukup, masih dibutuhkan keyakinan hakim sehingga harus ada cukup alat-alat bukti yang diakui undang-undang, dan ditambah keyakinan hakim. Sehingga walaupun cukup pembuktian yang didasarkan kepada alat-alat pembuktian yang diakui undang-undang, tetapi jika hakim tidak yakin, maka terdakwa harus bebas.

2. Positief Wettelijk Bewijsleer

“Positief” dengan perkataan lain tidak dibuktikan alat-alat bukti lain, dalam hal ini keyakinan hakim. Cara pembuktian banyak diserahkan

16

(5)

pada alat-alat bukti yang diakui dalam undang-undang. Dalam hal ini yang dicari adalah alat-alat bukti yang tanpa dipengaruhi oleh nurani, sehingga benar-benar objektif yaitu menurut cara-cara dan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.

3. Conviction In Time (Bloof Gemoedelijkke Overtuiging)

Sistem pembuktian ini adalah ajaran pembuktian yang semata-mata pada keyakinan hakim dengan tidak terikat dengan alat-alat bukti yang ada. Sehingga pembuktian ini sangat subjektif, seseorang bisa dinyatakan bersalah tanpa bukti apa-apa yang mendukungnya, sebaliknya pembukt ian sistem ini bisa membebaskan seseorang dari pembuktian yang dilakukannya.

4. Conviction In Raissonce (Beredeneerde Overtuiging)

Sistem ini menerapkan bahwa pembuktian didasarkan pada keyakinan hakim dan alasan-alasannya yang menyebabkan keyakinan-keyakinan tersebut. Dalam pembuktian ini tidak terikat alat-alat pembuktian yang sah diakui undang-undang saja, melainkan dapat mempergunakan alat-alat pembuktian yang lain yang ada di luar undang-undang sebagai alasan yang menguatkan hakim.

Dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia, sistem pembuktian yang dipergunakan adalah system negatief wettelijk bewijsleer, atau pembuktian dengan mempergunakan dua alat bukti yang sah oleh undang-undang dan ditambah dengan keyakinan hakim.

Dalam Undang-Undang Paten, sistem pembuktiannya adalah sistem pembuktian terbalik. Pembuktian terbalik diterapkan mengingat sulitnya

(6)

penanganan sengketa paten untuk proses.17

(1) Dalam hal pemeriksaan gugatan terhadap paten–proses, kewajiban pembuktian bahwa sutu produk tidak dihasilkan dengan menggunakan paten-proses sebagaiman dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b dibebankan kepada pihak tergugat apabila:

Sekalipun demikian, untuk menjaga keseimbangan pengetahuan kepentingan yang wajar diantara para pihak, hakim tetap diberi kewenangan memerintahkan kepada pemilik paten untuk terlebih dahulu menyampaikan bukti salinan sertfikat paten bagi proses yang bersangkutan serta bukti awal yang memperkuat dugaan itu. Selain itu, hakim juga wajib mempertimbangkan kepentingan pihak tergugat untuk memperoleh perlindungan terhadap kerahasiaan proses yang telah diuraikannya dalam rangka pembuktian yang harus dilakukannya di persidangan.

Dalam Pasal 119 Undang- Undang No.14 Tahun 2001 Tentang Paten, dinyatakan:

a. Produk yang dihasilkan melalui paten-proses tersebut merupakan produk baru.

b. Produk tersebut diduga merupakan hasil dari paten-proses dan sekalipun telah dilakukan upaya pembuktian yang cukup untuk itu, pemegang paten tetap tidak dapat menentukan proses apa yang digunakan untuk menghasilkan produk tersebut.

(2) Untuk kepentingan pemeriksaan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) , pengadilan berwenang:

a. Memerintahkan kepada pemegang paten untuk terlebih dahulu menyampaikan salinan sertifikat paten bagi proses yang bersangkutan dan bukti awal yang menjadi dasar gugatannya;dan b. Memerintahkan kepada pihak tergugat untuk membuktikan bahwa

produk yang dihasilkannya tidak menggunakan paten-proses tersebut.

(3) Dalam pemeriksaan gugatan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) dan ayat (2), pengadilan wajib mempertimbangkan kepentingan tergugat untuk memperoleh perlindungan terhadap rahasia proses yang telah diuraikannya dalam rangka pembuktian di persidangan.

17

(7)

KUHP membedakan dua macam hukuman yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Dalam Pasal 10 disebutkan hukuman-hukuman ialah:

a. Hukuman-hukuman pokok: 1e. hukuman mati;

2e. hukuman penjara; 3e. hukuman kurungan; 4e. hukuman denda;

b. Hukuman-hukuman tambahan: 1e. pencabutan beberapa hak tertentu; 2e. perampasan barang-barang tertentu; 3e. pengumuman keputusan hakim.

Hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan ponis kepada orang yang telah melanggar suatu perbuatan yang telah dilarang dalam suatu undang-undang.

Bagi suatu kejahatan atau pelanggaran hanya boleh dijatuhkan satu hukuman pokok. Lebih dari satu hukuman pokok tidak diperkenankan. Akan tetapi, dalam beberapa undang-undang di luar KUHP, sudah banyak memuat ketentuan “cumulatie” atau menjatuhkan dua pidana pokok sekaligus.

Dalam Undang-Undang No.14 Tahun 2001 Tentang Paten, mengenai ketentuan dan jenis pidana diatur dalam BAB XV yang terdiri dari enam pasal yaitu Pasal 130, 131, 132, 133, 134, 135 Undang-Undang Paten No. 14 Tahun 2001. Khusus mengenai pengaturan jenis pidana diatur dala Pasal 130, 131, dan 132.

(8)

Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 130 yaitu:

“barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak pemegang paten dengan melakukan salah satu tindakan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 16 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.

Mengamati keenam pasal ini, khususnya Pasal 130, 131, 132, dapat diklasifikasikan jenis pidana atau jenis hukuman dalam undang-undang ini ada dua yaitu:

1. Pidana penjara; 2. Pidana denda

Pidana penjara merupakan bentuk pidana berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana kehiangan kemerdekaan bukan hanya dalam bentuk pidana penjara, tetapi juga berupa pengasingan. Ini biasanya diberlakukan di negara Rusia.

Pidana penjara bervariasi, yaitu mulai dari penjara sementara minimal satu hari sampai pidana penjara seumur hidup. Pidana penjara seumur hiduphanya tercantum dimana ada ancaman pidana mati (pidana mati atau seumur hidup atau pidana penjara seumur hidup). Jadi, pada umumnya pidana penjara maksimum ialah lima belas tahun.

Pidana penjara disebut pidana kehilangan kemerdekaan, bukan saja dalam arti sempit bahwa ia tidak merdeka berpergian, tetapi juga narapidana tersebut kehilangan hak tertentu, seperti:

1. Hak untuk memilih dan dipilih; 2. Hak untuk memangku jabatan publik;

(9)

4. Hak untuk mendapat perizinan-perizinan tertentu, misalnya izin usaha, izin praktek (seperti dokter, advokat, notaris);

5. Hak untuk mengadakan asuransi hidup;

6. Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan. Pemenjaraan meruakan salah satu alas an untuk minta perceraian menurut hukum perdata; 7. Hak untuk kawin. Meskipun adakalanya seseorang kawin sementara

menjalani pidana penjara, namun itu merupakan keadaan luar biasa dan hanya bersifat formalitas belaka.

8. Beberapa hak sipil yang lain.

Dalam Undang-Undang Paten No.14 Tahun 2001 Tentang Paten, seperti misalnya dalam Pasal 130, khusus mengenai pelanggaran terhadap pemegang paten seperti menjual, mengimpor, menyewa, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan invensi yang telah diberi paten, maka dipenjara paling lama/maksimal empat tahun. Ini berarti pelaku akan kehilangan kemerdekaannya maksimal empat tahun apabila hakim memutuskan demikian.

Hukuman denda pada umumnya terhadap hampir semua pelanggaran dari Buku III KUHP. Pidana denda ini sering kali merupakan alternative untuk hukuman kurungan, terhadap segala kejahatan ringan, alternative dengan hukuman penjara dan hukuman kurungan. Pidana denda jarang dijatuhkan terhadap kejahatan yang lain.

Dalam Undang-Undang Paten No.14 Tahun 2001, mengenai jangka waktu pembayaran denda tidak ditentukan atau tidak dirumuskan secara jelas apakah pembayaran dilakukan secara sekaligus atau apakah pembayaran biasa dilakukan

(10)

secara bertahap untuk jangka waktu tertentu. Akan tetapi dalam perkara pidana, pada umumnya jangka waktu untuk membayar denda ditentukan oleh jaksa yang mengeksekusi, dimulai dengan waktu dua bulan dan dapat diperpanjang menjadi satu tahun.

Tindak pidana dalam paten ini merupakan delik aduan (Pasal 133 Undang-Undang No.14 Tahun 2001). Dengan demikian, tidak ada perkara pidana paten apabila tidak ada pengaduan, artinya pada saat seseorang membuat pengaduan pidana paten maka:

1. Harus ada undang-undang yang dilanggar;

2. Harus ada saksi pelapor dan memiliki hak yang sah menurut hukum untuk melakukan pengaduan;

3. Harus ada bukti awal yang terlampir pada pengaduan yang disampaikan, yang sesuai dengan hak yang dimiliki bahwa yang diadukan telah melakukan perbuatan melanggar hak dari si pengadu; 4. Harus ada tempat kejadian dimana telah dilakukan pelanggaran; 5. Harus ada tersangka yang melakukan tindakan pelanggaran.

Ketentuan pidana dalam undang-undang hak paten harus dianggap sebagai lex specialis, karena secara khusus mengatur hak paten (lex specialis derogate lex generalis). Namun demikian, kecenderungan adalah hanya memfokuskan perhatian terhadap Undang-Undang Paten, tanpa menyentuh substansi ketentuan pidana dalam KUHP. Hal ini dapat dimengerti, dengan membaca dan membandingkan sanksi pidana yang diancam oleh baik KUHP maupun Undang-Undang Paten.

(11)

Bila ditilik dari kesalahan pelaku, Undang-Undang Paten 2001 merumuskan tindak pidana hak paten atas tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak, yang ancaman hukumannya dibawah lima tahun. Karena itu, pelaku tidak dapat dikenai tahanan. Ancaman hukuman pidana yang diberikan bersifat kumulatif dan alternative sekaligus antara pidana penjara dan pidana denda. Dengan demikian, hakim dapat menjatuhkan pidana penjara atau pidana denda saja, atau sekaligus menjatuhkan pidana penjara atau pidana denda.18

Ada dua hal yang dianggap sebagai pengecualian dari ketentuan pidana dalam Undang-Undang No.14 Tahun 2001, yaitu:19

1. Mengimpor suatu produk farmasi

Dalam istilah perdagangan, pengimporan terhadap produk yang telah dimasukkan ke pasar di suatu negara oleh pemegangnya yang sah disebut dengan impor paralel. Dilihat dari tujuannya impor paralel sangat bermanfaat untuk menghindari penyalahgunaan hak monopoli yang dimiliki inventor atau pemegang paten yang memperoleh haknya melalui perjanjian lisensi. Dengan adanya impor paralel, diharapkan ketersediaan barang dengan harga yang wajar dan memenuhi rasa keadilan dapat terjamin. Untuk melindungi hak-hak pemegang paten dan pihak ketiga dari dampak negatif akibat peraturan impor paralel, pemerintah menetapkan bahwa impor paralel dapat digunakan terhadap produk farmasi di Indonesia yang harganya sangat mahal dibandingkan dengan harga yang beredar secara sah di pasar internasional. Dengan

18

Ibid, hal.299

19

(12)

kata lain penggunaan impor paralel sifatnya terbatas dan tidak diberlakukan terhadap semua jenis produk farmasi.

2. Memproduksi produk farmasi sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan paten.

Undang-Undang Paten di Indonesia menentukan bahwa produksi produk farmasi tersebut dapat dilakukan dalam jangka waktu dua tahun sebelum perlindungan tersebut berakhir. Istilah untuk ketentuan seperti ini disebut “bolar provision”. Tujuan dari ketentuan di atas adalah untuk mencegah terhentinya produksi produk farmasi setelah perlindungan paten itu berakhir. Paling tidak dibutukkan waktu yang cukup lama untuk mempersiapkan produksi produk farmasi termasuk pengurusan izin edar dan izin produksi. Jika tidak ada ketentuan bolar provision, dapat dipastikan setelah perlindungan paten berakhir akan ada kevakuman selama beberapa tahun terhadap produksi obat tersebut di negara tempat produk tersebut dipasarkan.

Dasar hukum yang dipakai untuk membuat bolar provision adalah Pasal 30 TRIPs yang mengizinkan setiap negara anggota membuat pengecualian di dalam Undang-Undang Paten mereka dengan syarat pengecualian tersebut tidak boleh merugikan pemilik paten yang bersangkutan atau pengeksploitasian yang wajar dari paten tersebut dengan memperhatikan kepentingan yang wajar dari pihak ketiga.

(13)

B. Penyebab Permasalahan Hukum di Bidang Paten

Hak Kekayaan Intelektual menjadi sangat penting untuk menggairahkan laju perekonomian dunia yang pada akhirnya membawa kesejahteraan umat manusia.

Secara umum menurut Parlugutan Lubis, faktor penyebab masyarakat melanggar Hak Kekayaan Intelektual yang mengakibatkan terjadi permasalahan di bidang Kekayaan Intelektual tersebut adalah:

1. Pelanggaran HKI dilakukan untuk mengambil jalan pintas guna mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari pelanggaran tersebut;

2. Para pelanggar menganggap bahwa sanksi hukum yang dijatuhkan oleh pengadilan selama ini terlalu ringan, bahkan tidak ada tindakan preventif maupun tindakan represif yang dilakukan oleh para penegak hukum;

3. Ada sebagian warga masyarakat sebagai pencipta atau sebagai penemu yang bangga apabila hasil karyanya ditiru oleh orang lain. Namun hal ini sudah mulai hilang berkat adanya peningkatan kesadaran hukum terhadap HKI;

4. Dengan melakukan pelanggaran, pajak atas produk hasil pelanggaran tersebut tidak perlu dibayar kepada pemerintah, dan;

5. Masyarakat tidak memperhatikan apakah barang yang dibeli tersebut asli atau palsu, yang penting bagi mereka harganya murah dan terjangkau dengan kemampuan ekonomi.

(14)

Dalam hal paten, penyebab timbulnya permasalahan dalam bidang ini dikarenakan:20

1. Masih rendahnya tingkat pengajuan paten oleh peneliti Indonesia, yaitu antara lain faktor masih relative rendahnya insentif atau penghargaan atas karya penelitian oleh pemerintah hingga pada akhirnya kurang memicu peneliti dalam menghasilkan karya ilmiah yang inovatif.

2. Peneliti kurang menyadari pentingnya perlindungan paten atas penemuannya, selain kecenderungan berorientasi pikiran jangka pendek demi mengejar nilai kredit poin semata

3. Jarak lokasi tempat kerja peneliti yang tersebar di berbagai pelosok daerah juga menyebabkan pengeluaran biaya perjalanan untuk pengurusan paten menjadi hambatan tersendiri.

Masih rendahnya kesadaran penemu untuk mendaftarkan penemuannya, bisa mengakibatkan orang lain dengan leluasa meniru, bahkan menggunakan penemuan tersebut tanpa izin dari penemu, karena perbuatan tersebut tidak akan bisa dituntut oleh inventor/penemu, karena hasil penemuannya tersebut belum didaftarkan dan belum mendapatkan perlindungan dari pemerintah.

C. Unsur-Unsur Tindak Pidana Paten

Berkaitan dengan unsur-unsur tindak pidana, dapat dibedakan dari dua sudut pandang yakni:

a. Unsur tindak pidana menurut beberapa teori

20

(15)

Dalam hal ini, unsur tindak pidana yang dimaksud adalah berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada rumusannya.

Menurut Moeljanto, unsur tindak pidana adalah:

a. Perbuatan;

b. Yang dilarang (oleh aturan waktu);

c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan)

Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan kata mejemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tetapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataan benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana adalah pengertian umum, yang artinya adalah dijatuhi pidana atau tidak, adalah hal yang lain dari pengertian perbuatan pidana. Dari rumusan Tresna, bahwa tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni:

a. Perbuatan atau rangkaian perbuatan (manusia);

b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; c. Diadakan tindakan penghukuman.

Dari unsur yang ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan Moeljanto, karena kalimat diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan tidak dengan demikian

(16)

dijatuhi pidana.21

b. Unsur Rumusan Tindak Pidana Dalam Undang-Undang

Walaupun memang kesan dalam unsur-unsur tersebut tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat (subjektif) yang melekat pada orangnya untuk dapat dijatuhkannya pidana.

Unsur tindak pidana dalam undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada.

1) Unsur Tingkah Laku

Tingkah laku adalah unsur mutlak tindak pidana. Jika ada rumusan tindak pidana tanpa mencantumkan unsur tingkah laku, misalanya Pasal 351 KUHP (penganiayaan). Cara perumusan seperti itu adalah suatu perkecualian belaka dengan alasan tertentu, dan tidak berarti tindak pidana itu tidak terdapat unsur perbuatan, unsur tersebut telah ada dengan sendirinya di dalamnya, dan wujudnya tetap harus dibuktikan dalam sidang pengadilan untuk menetapkan telah terjadinya penganiayaan.

2) Unsur Melawan Hukum

Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan, yang sifat tercelanya dapat bersumber pada undang-undang (melawan hukum formil) dan dapat bersumber pada masyarakat (melawan hukum materil) karena bersumber pada masyarakat, yang sering juga disebut dengan bertentangan dengan asas- asas hukum masyarakat, maka sifat tercela tersebut tidak tertulis.

21

(17)

3) Unsur Kesalahan

Kesalahan (schuld) adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan. Karena itu, unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat subjektif. Istilah kesalahan (schuld) adalah pengertian hukum yang tidak sama dengan pengertian yang harafiah, foot. Kesalahan dalam hukum pidana adalah berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana, yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa).

4) Unsur Akibat Konstitusif

Unsur akibat konstitusif terdapat pada:

a. Tindak pidana materil (tindak pidana dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana)

b. Tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat pidana

c. Tindak pidana dimana akibat merupakan syarat dipidanya pembuat. 5) Unsur Syarat Tambahan Untuk Dapatnya Dituntut Pidana

Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan. Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika ada pengaduan dari yang berhak mengadu. Pengaduan substansinya adalah sama dengan laporan, ialah berupa keterangan atau informasi mengenai telah terjadinya tindak pidana yang disampaikan kepada pejabat penyelidik atau penyidik.

Membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan

(18)

produk yang diberi paten, dan tidak memenuhi kewajiban bagi seorang Konsultan Hak Kekayaan Intelektual dan pegawai Direktorat Jenderal merupakan suatu pelanggaran.

Berdasarkan rumusan Pasal 130 yang menunjuk rumusan Pasal 16 yang menyatakan:

Pasal 130: Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar pemegang paten dengan melakukan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat tahun) dan/atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

Pasal 16 ayat (1): Pemegang paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan paten yang dimilikinya dan melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya:

a. Dalam hal paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan atau menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;

b. Dalam hal paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

Mengamati pasal ini, maka unsur-unsur dari perbuatan yang dilarang ini adalah 1) “barang siapa”, 2) “dengan sengaja”, 3) “tanpa hak “, 4) melanggar hak pemegang paten”.

Pertama, unsur “barang siapa”. Ini menandakan yang menjadi subyek delik adalah siapapun. Kalau menurut sebagian pakar “barang siapa” bukan hanya unsur

(19)

untuk memperlihatkan si pelaku adalah manusia. Akan tetapi. Sebagian pakar lagi menganggap bahwa “barang siapa” itu adalah benar manusia, tetapi perlu diuraikan manusia siapa dan berapa orang. Kalau menurut KUHP yang berlaku sekarang, hanya manusia yang menjadi unsur delik, sedangkan badan hukum tidak menjadi subyek delik. Tetapi dalam undang-undang khusus seperti Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, badan hukum atau korporasi termasuk subyek delik.

Dalam Undang-Undang Paten No.14 Tahun 2001, “barang siapa” ditujukan kepada “pelaku”. Pelaku adalah mereka yang membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi paten tanpa seizin dari pemegang paten tersebut.

Kedua, unsur “dengan sengaja”. Kebanyakan tindak pidana mempunyai dasar kesengajaan atau “opzet” bukan unsur “culpa” (kelalaian). Ini adalah layak, oleh karena biasanya yang pantas mendapatkan hukuman pidana itu adalah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja.22

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan (oogmerk)

Secara umum ada tiga bentuk kesengajaan (opzet) yaitu:

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan (oogmerk), pelaku dapat dipertanggungjawabkan, mudah dimengerti oleh khalayak ramai. Maka, apabila kesengajaan semacam ini ada pada suatu tindak pidana, tidak ada yang menyangkal, bahwa pelaku layak dikenakan hukum pidana. Ini lebih nampak

22

Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT Eresco, Jakarta, 1969, hal. 50

(20)

apabila dikemukakan, bahwa dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, dapat dikatakan pelaku benar-benar mengkehendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman pidana (constitutief

geulog).23

b. Kesengajaan secara keinsafan kepastian (opzet biz zeeker heldsbewustzijn)

Kesengajaan seperti ini adalah apabila pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar delik, akan tetapi ia tahu benar bahwa sebagai konsekuensinya pasti akan mengikuti perbuatan itu. Kalau ini terjadi, maka teori kehendak (wilstheorie) menganggap akibat itu sebagai yang dikehendaki oleh pelaku, berarti juga ada kesamaan. Menurut teori bayangan (voorstelling theorie) keadaan ini sama dengan kesengajaan berupa tujuan (oogmerk). Oleh karena, keduanya adalah mengenai akibat yang tidak dapat dikatakan ada kehendak pelaku, melainkan hanya bayangan atau gambaran dalam gagasan pelaku bahwa akibat itu pasti akan terjadi, itu berarti ada kesengajaan.24

c. Kesengajaan secara keinsafan kemungkinan (opzet bij mogelijkheids be lewustzid)

Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan disertai bayangan mengenai suatu kepastian akan terjadi akibat, melainkan hanya ada dibayangkan kemungkinan akan adanya akibat itu.25

23

Ibid, hal 62.

24

Wirjono Projodikoro, Op Cit.,hal 63.

25

(21)

Ketiga, unsur “tanpa hak”. Mengenai arti tanpa hak dari sifat melanggar hukum, dapat dikatakan, bahwa mungkin seseorang tidak mempunyai hak untuk melakukan suatu perbuatan, yang sama sekali tidak dilarang oleh suatu peraturan hukum.

Keempat, unsur “melanggar hak pemegang paten”. Melanggar hak pemegang paten termasuk ke dalam unsur “perbuatan” yang dalam hal ini diklasifikasikan dalam bentuk membuat, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan,, atau menyediakan untuk dujual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi paten tanpa seizin dari pemegang paten.

Berdasarkan Pasal 131 yang merujuk kepada Pasal 16, yang menyatakan: Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak pemegang paten sederhana dengan melakukan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Unsur-unsurnya sama dengan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 130, tetapi bedanya hanya dalam Pasal 130 mengenai paten, dan Pasal 131 mengenai paten sederhana.

Berdasarkan Pasal 132 yang merujuk pada Pasal 25 ayat (3), Pasal 40 dan Pasal 41, yang menyatakan: barang siapa dengan sengaja dan tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), Pasal 40, dan Pasal 41 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.

Pasal 25 ayat (3): terhitung sejak tanggal penerimaan kuasanya, kuasa wajib menjaga kerahasiaan Invensi dan seluruh dokumen permohonan sampai dengan tanggal diumumkannya permohonan yang bersangkutan.

(22)

Pasal 40: selama masih terikat dinas aktif hingga selama satu tahun sesudah pensiun dan sesudah berhenti karena alasan apapun dari Direktorat Jenderal, pegawai Direktorat Jenderal atau orang yang karena tugasnya untuk dan atas nama Direktorat Jenderal, dilarang mengajukan permohonan, memperoleh paten, atau dengan cara apapun memperoleh hak atau memegang hak yang berkaitan dengan paten, kecuali apabila pemilikan paten itu diperoleh karena pewarisan.

Pasal 41: terhitung sejak tanggal penerimaan, seluruh aparat Direktorat Jenderal atau orang yang karena tugasnya terkait dengan tugas Direktorat Jenderal wajib menjaga kerahasiaan Invensi dan seluruh dokumen permohonan sampai denagn tanggal diumumkannya permohonan yang bersangkutan.

Berdasarkan rumusan Pasal 132 di atas, maka unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 1) “barang siapa”. Dalam hal ini barang siapa tidak ditujukan pada setiap orang, akan tetapi hanya kepada setiap orang yang merupakan pegawai Direktorat Jenderal. 2)”dengan sengaja”. 3)”tidak memenuhi kewajiban”. Dalam hal ini kewajiban tersebut adalah merupakan apa yang diharuskan terhadap pegawai Direktorat Jenderal tersebut, dan kepada seorang kuasa. Kewajiban merupakan sesuatu yang harus dilakukan, dan apabila dilanggar maka bisa diberikan hukuman.

D. Bentuk-Bentuk Pelanggaran Paten

Pengajuan tuntutan hak paten dapat dilakukan secara pidana. Undang-Undang Paten telah merumuskan perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana paten. Semula tindak pidana paten ini merupakan delik kejahatan,

(23)

tetapi kemudian diubah menjadi delik aduan. Dengan dijadikannya delik aduan, penindakan tidak dapat dengan segera dilakukan sebelum adanya pengaduan dari pemegang paten yang haknya dilanggar, sehingga penegakan hukumnya kurang efektif.

Dampak dari kegiatan tindak pidana paten begitu besar merugikan tatanan kehidupan bangsa di bidang ekonomi. Apalagi seperti yang kita ketahui bahwa ekonomi merupakan sesuatu hal sangat perlu diperhatikan guna menjamin kesejahteraan masyarakat.

Pelanggaran paten selama ini lebih banyak terjadi pada negara-negara berkembang (developing countries) karena perkembangan teknologi yang pesat dan lemahnya sistem pengawasan dan pemantauan terhadap tindak pidana paten.

Harus diakui, upaya pencegahan dan peniadaan terhadap pelanggaran paten selama ini belum mampu membuat jera para pembajak untuk tidak mengulangi perbuatannya, karena upaya penanggulangannya tidak optimal.

Bentuk-bentuk pelanggaran paten antara lain berupa membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual, atau disewakan atau diserahkan produk atau proses yang diberi paten dengan cara apapun tanpa seizin dari inventor atau pemegang hak paten yang sah karena bertentangan dengan apa yang diatur dalam undang paten. Bertentangan dengan undang artinya, bahwa undang-undang paten tidak memperkenankan perbuatan itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, karena hal tersebut bisa:

(24)

1. Merugikan penemu atau pemegang paten yang sah. Misalnya menggunakan produk temuan dari inventor tanpa seizin pemegang paten. Ini bisa menimbulkan kerugian pada inventor karena inventor tidak mendapatkan royalti dari penggunaan produk tersebut;

2. Merugikan kepentingan negara.

Bentuk pelanggaran yang lain adalah tidak memenuhi kewajiban sebagaimana diwajibkan kepada setiap Konsultan Hak Kekayaan Intelektual, dan juga kepada pegawai yang bekerja di Direktorat Jenderal. Pelanggaran yang dilakukan oleh Konsultan Hak kekayaan Intelektual sebagai kuasa adalah konsultan tersebut tidak menjaga kerahasiaan Invensi dan seluruh dokumen permohonan sampai dengan tanggal diumumkannya permohonan yang bersangkutan. Pasal 25 ayat (3) Undang-Undang No.14 Tahun 2001 menyatakan:”terhitung sejak tanggal penerimaan kuasanya, kuasa wajib menjaga kerahasiaan invensi dan seluruh dokumen permohonan yang bersangkutan”.

Bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai yang bekerja di Direktorat Jenderal adalah, mengajukan permohonan paten, dan memperoleh paten selama masih aktif dalam dinas Direktorat Jenderal dan selama satu tahun sesudah pensiun atau sesudah berhenti dengan alasan apapun (Pasal 40 Undang-Undang No 14 Tahun 2001), dan pegawai tersebut tidak menjaga kerahasiaan Invensi dan seluruh dokumen permohonan sampai dengan tanggal diumumkannya permohonan yang bersangkutan (Pasal 41 Undang-Undang No.14 Tahun 2001)

Undang-Undang Paten No.14 Tahun 2001 menentukan bentuk pelanggaran yang dibagi dalam tiga kelompok yaitu mulai dari Pasal 130, Pasal

(25)

131, dan Pasal 132. Pasal 131 mengatur mengenai bentuk pelanggaran paten dalam hal paten biasa, Pasal 131 mengatur mengenai bentuk pelanggaran pada paten sederhana, dan pada Pasal 132 mengatur mengenai bentuk pelanggaran berupa tidak memenuhi kewajiban yang dilakukan oleh Konsultan Hak Kekayaan Intelektual dan pegawai Direktorat Jenderal.26

1. Sengaja dan tanpa hak melanggar hak pemegang paten

Mengamati ketiga pasal ini maka bentuk-bentuk pelanggaran paten dapat dikualifikasikan dalam tiga hal yaitu:

2. Sengaja dan tanpa hak melanggar hak pemegang paten sederhana, dan 3. Sengaja tidak memenuhi kewajiban

Walaupun dalam kenyataannya sudah jelas-jelas terdapat perbuatan pelanggaran paten dan telah merugikan pemegang hak paten, terkadang masih sulit untuk mempertahankan hak-hak dari pemegang hak tersebut, karena pemerintah kurang memperdulikan penegakan hukum dari pelanggaran di bidang paten tersebut.

D. Kasus dan Analisis Kasus

Berdasarkan penjelasan di atas, di bawah ini diuraikan contoh kasus yang di dalamnya sudah terdapat unsur pelanggarn paten, tetapi diberhentikan penyidikannya. Sehingga inventor melakukan permohonan praperadilan ke pengadilan.

Kasus Posisi

26

(26)

Termohon praperadilan adalah Kepala Kantor Wilayah Sumatera Utara Departemen Hukum dan HAM RI, cq. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Hak Kekayaan Intelektual (Bindu Naibaho, SH.MH) yang beralamat di Jalan Putri Hijau N0.4 Medan.

Duduk Perkara

Bahwa pemohon praperadilan adalah penemu (Inventor) terhadap mesin-mesin yang dipergunakan dalam pengolahan kelapa sawit di jajaran perkebunan kelapa sawit di Indonesia khususnya Sumatera Utara dan dari hasil penemuan (Invensi) tersebut telah ditemukan suatu metoda dan peralatan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan uap dalam pabrik pengolahan kelapa sawit;

Bahwa metoda dan peralatan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan uap dalam pabrik pengolahan kelapa sawit tersebut telah pemohon daftarkan di Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM RI pada Direktorat Paten tertanggal 21 Oktober 1994 dengan no.Paten: ID 0011240 dan nomor permintaan paten P-941799 dengan judul penemuan “Metoda dan Peralatan Untuk Meningkatkan Efisiensi Penggunaan Uap Dalam Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit” atas nama Dr.Ir.Takal Barus;

Bahwa ternyata Metoda dan Peralatan Untuk Meningkatkan Efisiensi Penggunaan Uap Dalam Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit yang telah didaftarkan Hak Paten tersebut digunakan oleh Herwanto Trisman (PT.Super Andalas Steel) tanpa terlebih dahulu meminta izin/lisensi dari pemohon Praperadilan sebagai pemegang Hak Paten sehingga telah merugikan kepentingan hokum pemohon Praperadilan;

(27)

Bahwa terhadap pelanggaran hak paten tersebut, maka Pemohon Praperadilan telah membuat pengaduan kepada Termohon Praperadilan tertanggal 7 Juli 2005 menyangkut dugaan tindak pidana membuat, menggunakan, menjual produk yang diberi paten “Metoda dan Peralatan untuk Meningkatkan efisiensi Penggunaan Uap Dalam pabrik Pengolahan kelapa saawit” yang dilakukan oleh herwanto Trisman (PT.super Andalas Steel) ;

Bahwa atas laporan pengaduan yang disampaikan pemohon Praperadilan tersebut selanjutnya Termohon Praperadilan dalam proses penyidikan telah melakukan: pemeriksaan tanggal 15 Juli 2005, Penggeledahan tanggal 22 Agustus 2005, penyitaan tanggal 30 agustus 2005, pemeriksaan terhadap saksi ahli tanggal 12 oktober 2005, meminta barang bukti/dokumen dari pemohon Pradilan tanggal 12 Juli 2005, dan melakukan pemeriksaan atas nama tersangka Herwanto Trisman (PT.Super andalas Steel) pada tanggal 6 Oktober 2005.

Bahwa walaupun dalam proses penyidikan yang dilakukan Termohon praperadilan tersebut telah diperoleh bukti tentang adanya tindak pidana berdasarkan hasil penggeledahan maupun penyitaan dari pihak yang diduga melakukan tindak pidana pelanggaran paten tersebut, namun Termohon Praperadilan tidak juga melimpahkan berkas perkara tersebut kepada pihak Kejaksaan selaku penuntut umum melalui pihak Kepolisian guna selanjutnya di Pengadilan Negeri;

Bahwa namun sebaliknya termohon Praperadilan telah menghentikan penyidikan terhadap pengaduan Pemohon Praperadilan tersebut sesuai dengan Surat Ketetapan Tanggal 27 Oktober 2005 No. PPNS.HKI/SP3-02/VII/2005

(28)

Tentang Penghentian Penyidikan Tanggal 27 Oktober 2005 No. PPNS.HKI/02/VII/2005 yang baru diterima Pemohon Praperadilan pada Tanggal 20 Januari 2006;

Bahwa Pemohon Praperadilan sangat keberatan atas penghentian penyidikan yang dilakukan Termohon Praperadilan Tersebut dengan alasan Tersangka tidak terbukti melakukan pelanggaran paten. Padahal seharusnya Termohon Praperadilan sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat 4 Undang-Undang No.24 Tahun 2001 Tentang Paten berkewajiban menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara RI dengan mengingat ketentuan Pasal 107 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana;

Bahwa atas perbuatan Termohon Praperadilan yang menghentikan penyidikan tersebut, maka Pemohon Praperadilan sangat keberatan sekali. Sebab yang dapat menentukan seseorang telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana hanyalah Majelis Hakim Pidana melalui putusannya;

Pertimbangan Majelis Hakim

Menimbang, bahwa Pemohon Praperadilan adalah penemu (Inventor) metoda dan peralatan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan uap dalam pabrik pengolahan kelapa sawit, yang telah Pemohon Praperadilan daftarkan di Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM RI pada Direktorat Paten tertanggal 21 Oktober 1994 dengan No.Penemuan “Metoda dan Peralatan Untuk Meningkatkan Efisiensi Penggunaan Uap Dalam Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit” atas nama Dr.Ir.Takal Barus;

(29)

Menimbang, bahwa menurut Pemohon Praperadilan ternyata Metoda dan Peralatan untuk Meningkatkan Efisiensi Penggunaan Uap Dalam Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit yang telah didaftarkan Hak Paten tersebut digunakan oleh Herwanto Trisman (PT. Super Andalas Steel) tanpa terlebih dahulu meminta izin/lisens dari Pemohon Praperadilann sebagai pemegang hak paten sehingga telah merugikan kepentingan hukum Pemohon Praperadilan.

Menimbang, bahwa terhadap pelanggaran hak paten tersebut, maka Pemohon Praperadilan telah membuat pengaduan kepada Termohon Praperadilan tertanggal 7 Juli 2005 menyangkut dugaan tindak pidana membuat, menggunakan, menjual produk yang diberi paten “Metoda dan Peralatan untuk Meningkatkan Efisiensi Penggunaan Uap Dalam Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit” yang dilakukan oleh Herwanto Trisman (PT.Super Andalas Steel);an pengaduan yang disampaikan Pemohon praperadilan

Menimbang, bahwa atas laporan pengaduan yang disampaikan Pemohon Praperadilan tersebut selanjutnyaTermohon Praperadilan dalam proses penyidikan telah melakukan antara lain: menerima pengaduan, membuat laporan kejadian, menerbitkan surat perintah penyidikan, membuat tanda terima profil PT.Super Andalas Steel, memeriksa DR.IR.Takal Barus, AK3 (Pemohon Praperadilan) sebagai pengadu dan memberikan tindasan hasil pemeriksaan kepada pemohon, sedangkan yang asli ada berkas yang lengkap dengan tanda tangannya, termohon melakukan pemeriksaan awal kepada saksi Ir.Mahruzar dan Ir.Chairansyah, memeriksa pabrik kelapa sawit, dan dengan surat izin penggeledahan telah melakukan penggeladahan dan penyitaan;

(30)

Menimbang, bahwa menurut Pemohon walaupun dalam proses penyidikan yang dilakukan Termohon Praperadilan tersebut telah diperoleh bukti tentang adanya tindak pidana berdasarkan hasil penggeledahan maupun penyitaan dari pihak yang diduga melakukan tindak pidana pelanggaran paten tersebut, namun Termohon Praperadilan tidak juga melimpahkan berkas perkara tersebut kepada pihak Kejaksaan selaku Penuntut Umum melalui pihak Kepolisian guna selanjutnya disidangkan di Pengadilan Negeri Medan. Namun sebaliknya, Termohon Praperadilan telah menghentikan penyidikan terhadap pengaduan Pemohon Praperadilan tersebut sesuai dengan Surat Ketetapan Tanggal 27 Oktober 2005 No.PPNS.HKI/SP3-02/VII/2005 Tentang Penghentian Penyidikan dan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan Tanggal 27 Oktober 2005 No.PPNS.HKI/02/VII/2005 yang diterima Pemohon Praperadilan pada Tanggal 20 Januari 2006;

Menimbang, bahwa Termohon memang belum memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada penyidik Kepolisian (Pasal 129 ayat (3) UU No.14 Tahun 2001 Tentang Paten), dan juga Termohon belum menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Kepolisian (Pasal 129 ayat (4) UU No.14 Tahun 2001 Tentang Paten);

Menimbang, bahwa oleh karena itulah tindakannya untuk menghentikan penyidikan tersebut, menurut Termohon tidak perlu dikoordinasikan dengan pejabat Kepolisian Negara RI;

Menimbang, bahwa memperhatikan pokok permasalahan perkara ini sesungguhnya didasarkan pada suatu peristiwa hukum bahwa Termohon dalam

(31)

melakukan penghentian penyidikan tersebut, Termohon tidak melakukan koordinasi dengan penyidik dari Kepolisian RI. Menurut Termohon hal ini dikarenakan Termohon masih mencari bukti awal, dan apabila telah diperoleh bukti yang kuat maka hal tersebut baru dikoordinasikan dengan Penyidik Kepolisian. Disamping itu, Termohon tidak mungkin mengirimkan atau mengajukan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum melalui Kepolisian, sebab Termohon belum membuat Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Kepolisian dan selanjutnya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tidak mungkin disampaikan kepada Kepolisian karena bukti awal yang kuatt dari Pengaduan Pemohon belum ada;

Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP dan UU No.14 Tahun 2001 Tentang Paten dimaksud, tentunya segala tindakan Termohon dalam melaksanakan tugas penyidikan untuk menangani pengaduan Pemohon atas dugaan terjadinya tindak pidana di bidang paten. Seharusnya diberitahukan dan dibawah koordinasi dan pengawasan Penyidik dari Kepolisian Negara RI. Dan sesungguhnya sesuai dengan tugas dan kewajibannya menjadi tugas penyidiklah untuk mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti-bukti tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Dan sama sekali bukan kewajiban hukum pelapor dan atas pengadu untuk mencari bukti-buktinya;

Menimbang, bahwa berdasarkan hal-hal tersebut, maka sesungguhnya untuk menuntaskanlah pokok permasalah perkara aquo, juga perlu dipertimbangkan tindakan Termohon yang telah melakukan penghentian penyidikan atas pengaduan Pemohon dengan alasan tidak ada bukti permulaan

(32)

yang cukup. Akan tetapi, dalam KUHAP tidak diatur secara jelas apa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup, oleh karena itu penilaiannya harus ditapsirkan dalam relevansinya dengan ketentuan Pasal 183 jo 184 KUHAP;

Menimbang, bahwa oleh karena itulah tindakan Termohon selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang telah melakukan serangkaian tindakan penyidikan kemudian menghentikan penyidikan atas suatu tindak pidana di bidang paten, tanpa dikoordinasi dan dibawah pengawasan Penyidik Pejabat Kepolisian Negara RI, maka jelas tindakan Termohon tersebut telah bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHAP maupun UU No.14 Tahun 2001 Tentang Paten;

Menimbang, bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan hukum tersebut, maka Pemohon dipandang telah dapat membuktikan kebenaran dalil-dalil permohonan praperadilannya, sebaliknya Termohon dipandang telah gagal untuk membuktikan kebenaran dalil-dalil sangkalannya, sehingga permohonan praperadilan Pemohon tersebut, patut dan layak dikabulkan.

Putusan Hakim

1. Mengabulkan permohonan praperadilan Pemohon;

2. Menyatakan Surat Ketetapan Termohon Tanggal 27 Oktober 2005 No.PPNS.HKI/SP3-02/VII/2005 Tentang Penghentian Penyidikan jo Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan Tanggal 27 Oktober 2005 No.PPNS.HKI/02/VII/2005 adalah tidak sah;

(33)

3. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara sejumlah: NIHIL.

Analisis Kasus

Dalam kasus tersebut di atas, Termohon Praperadilan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dalam hal perbuatan pemberhentian penyidikan terhadap Herwanto Trisman dari PT.Super Andalas Steel, yang berdasarkan penyidikan yang dilakukan telah terbukti melakukan tindak pidana pelanggaran di bidang Hukum Paten. Sebagaimana tindak pidana tersebut diatur dalam pasal 130 Undang-Undang No.14 Tahun 2001 tentang paten yang berbunyi: Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak pemegang paten dengan melakukan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Dalam dalil perkara dinyatakan bahwa Termohon menghentikan Penyidikan terhadap pengaduan Pemohon Praperadilan berdasarkan Surat Ketetapan Tanggal 27 Oktober 2005 No.PPNS.HKI/SP 3-02/VII/2005. Walaupun dalam proses penyidikan yang dilakukan Termohon Praperadilan tersebut telah diperoleh bukti tentang adanya tindak pidana berdasrkan hasil penggeledahan maupun penyitaan dari pihak yang diduga melakukann tindak pidana pelanggaran paten tersebut, namun Termohon Praperadilann tidak juga melimpahkan berkas perkara tersebut kepada pihak Kejaksaan selaku Penuntut Umum melalui pihak Kepolisian guna selanjutnya disidangkan di Pengadilan Negeri Medan. Alasan

(34)

dari Termohon Praperadilan menghentikan Penyidikan adalah karena menurut saksi ahli perbuatan dari Herwanto Trisman dari PT.Super Andalas Steel tersebut bukan sebagai pelanggaran hukum paten. Padahal melihat dari hasil proses Penyidikan dan bukti yang diperoleh, Herwanto Trisman dari PT.Super Andalas Steel telah terbukti melakukan pelanggaran hukum Paten, karena perbuatannya telah memenuhi unsur tindak pidana pelanggaran paten, yaitu:

a. Barang siapa

Unsur barang siapa dalam perkara ini menunjukkan kepada subjek atau pelaku tindak pidana, dan berdasarkan bukti dari hasil proses penyidikan, bahwa pelaku pelaku dari pelanggaran hukum paten ini adalah Herwanto Trisman dari PT. Super Andalas Steel.

b. Dengan sengaja

Dalam kasus ini si pelaku telah melakukan perbuatann secara sadar dan sengaja yang mana dapat dikategorikan sebagai kesengajaan yang bersifat tujuann atau oogmerk.

c. Perbuatan

Unsur perbuatan menurut Pasal 16 Undang-Undang No.14 Tahun 2001 Tentang Paten dapat diklasifikasikan dalam hal paten produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi paten, dan dalam hal paten proses: menggunakan proses produksi yang diberi paten untuk membuat barang dan membuat, menggunakan, menjual, mengimpor,

(35)

menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan proses produksi yang telah diberi paten.

Oleh karena itu dalam kasus ini Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan No.PPNS.HKI/SP 3-02/VII/2005 yang dibuat oleh Termohon Praperadilan dinyatakan tidak sah karena Termohon Praperadilan telah melakukan kesalahan dengan membuat surat penghentian penyidikan padahal berdasarkan penyidikan yang telah dilakukan terhadap Herwanto Trisman, telah terpenuhi semua unsur-unsur pelanggaran dalam tindak pidana paten. Terhadap Termohon Praperadilan tidak dijatuhi pidana denda karena Pemohon Praperadilan tidak menuntut hal demikian.

Menurut penulis, putusan yang dijatuhkan Hakim terhadap Permohonan dari Pemohon Praperadilan sudah tepat, karena Majelis Hakim sudah mempertimbangkan segala perbuatan yang merugikan Pemohon Praperadilan (Dr.Ir.Takal Barus), karena penemuannya yang berjudul “Metoda dan Peralatan Untuk Meningkatkan Efisiensi Penggunaan Uap Dalam Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit” ditemukan dengan proses waktu yang lama, dan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu maka sudah sewajarnya kalau terhadap penemuan itu harus penghargaan, dalam arti harus mendapat ijin terlebih dahulu dari penemu untuk dapat menggunakannya dan dengan membayarkan royalty terhadap inventor tersebut. Putusan ini juga sudah tepat mengingat sedikit sekali atau jarangnya penyelesaian perkara di bidang hukum paten. Oleh karena itu dengan adanya putusan yang seperti ini, maka diharapkan kedepannya proses penyelesaian tindak pidana di bidang hukum patwn lebih diperhatikan lagi dan lebih efektif lagi.

(36)

BAB IV

PERLINDUNGAN TERHADAP PATEN

A. Dalam Kerangka Nasional (Indonesia) Menurut Undang-Undang No.14 Tahun 2001

Ruang lingkup Hukum Milik Intelektual tidak hanya melingkupi perlindungan dan pengawasan wujud akhir karya intelektual yang bernilai ekonomis, tetapi sekaligus hak yang melekat pada manusia itu sendiri. Paten menurut Pasal 1 Undang-Undang No.14 Tahun 2001 adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut untuk memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

Dewasa ini pembangunan memegang peranan yang sangat vital. Hal ini dikarenakan bangsa Indonesia telah sampai kepada tahap mewujudkan struktur ekonomi dengan titik berat kekuatan industri yang didukung oleh pertanian yang kuat. Untuk itu faktor yang perlu diperhatikan adalah kebutuhan teknologi, karena teknologi adalah faktor penentu dalam pertumbuhan dan perkembangan industri. Adapun teknologi yang dipergunakan dapat berasal dari dalam negeri atau dari luar negeri, dan keduanya ini sangat penting.

Sebagai ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam proses industri, teknologi lahir dari kegiatan penelitian dan perkembangan (Research and Development/ R&D). Kegiatan tersebut dapat saja berlangsung dalam bentuk dan cara sederhana, tetapi dapat pula dalam bentuk dan cara yang memakan waktu.

(37)

Teknologi yang lahir dari kegiatan penelitian dan pengembangan ini pun dapat beraneka ragam sesuai dengan jenis dan manfaatnya.

Dengan memperhatikan arti dan peran teknologi yang begitu penting dalam industri, maka tidaklah mungkin apabila pencapaian secara pembangunan industri nasional dapat dilakukan dengan mengabaikan teknologi. Oleh karena itu langkah untuk menciptakan iklim atau suasana yang baik dan mampu mendorong gairah atau semangat penemu teknologi menjadi sangat penting. Setidaknya penciptaan iklim yang mempermudah bangsa Indonesia untuk mengetahui dan meningkatkan pengetahuan dalam menguasai teknologi. Bersamaan dengan langkah untuk menciptakan iklim atau suasana seperti itu, harus diberikan pula perlindungan hukum yang memadai.

Perlindungan hukum yang diberikan ini berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban atas penemuan teknologi yang dipatenkan. Dengan adanya perlindungan hukum, penemu dapat melaksanakan penemuannya dengan rasa aman. Dilain pihak penemu juga harus menjalankan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan penemuannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam rangkaian kegiatan penegakan hak dan kewajiban terhadap penemuan di bidang teknologi ini, suatu penemuan yang tidak dipatenkan dapat terancam penerapan penemuannya secara tanpa hak oleh orang lain tanpa dapat meminta perlindungan hukum. Sementara itu penemuan yang dipatenkan akan mendapat perlindungan hukum yang berlaku, sehinga jika terjadi penerapan penemuannya secara tanpa hak maka penemu/inventor dapat meminta perlindungan hukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

(38)

1. Objek Yang Dilindungi

Berbicara tentang objek sesuatu, maka tidak dapat terlepas dari pembicaraan tentang benda. Jika hal tersebut dikaitkan dengan dengan hak paten, maka objek tersebut adalah suatu benda tak berwujud. Oleh karena hak paten itu adalah benda tidak berwujud yang merupakan bagian dari hak milik perindustrian. Hak paten mempunyai objek terhadap temuan (uitvinding) atau juga disebut dengan invention yang secara praktis dapat dipergunakan dalam bidang perindustrian. Pengertian industri disini bukan saja terhadap industri tertentu akan tetapi dalam arti yang seluas-luasnya termasuk di dalamnya hasil perkembangan teknologi dalam bidang pertanian, bidang teknologi peternakan, dan bahkan teknologi pendidikan.

Demi kepentingan pendaftaran paten, diadakan persetujuan Internasional Klasifikasi Subyek (dalam kerangka hukum ini adalah objek) untuk paten di Strasbourg tanggal 24 Maret 1971 (Strasbourg agreement). Menurut persetujuan Strasbourg itu objek tersebut dibagi dalam delapan seksi, dan tujuh seksi diantaranya masih terbagi dalam sub seksi dengan sebagai berikut:27

- kesehatan dan hiburan (health and amusement) Seksi A - Kebutuhan manusia (human necessities)

Sub Seksi - agraria (agriculture)

- bahan-bahan makanan dan tembakau (foodstuffs and tobaco) - barang-barang perseorangan dan rumah tangga (personal and

domestic articles);

27

(39)

Seksi B - Melaksanakan karya (permorming operations)

Sub Seksi - memisahkan dan mencampurkan (separating and mixing)

- Pembentukan (Shaping) - Pencetakan (Printing) - Pengangkutan (transporting)

Seksi C - kimia dan perlogaman (chemistry and metal lurgy)

Sub Seksi - kimia (chemistry)

- Perlogaman (metallurgy)

Seksi D - pertekstilan dan perkertasan (textiles and paper)

Sub Seksi - pertekstilan dan bahan-bahan yang mudah melentur dan sejenis (textiles and flexible materi als and otherwise provided for);

- Perkertasan (paper)

Seksi E - konstruksi tetap (fixed construction)

Sub Seksi - pembangunan gedung (building)

- Pertambangan (mining)

Seksi F - permesinan (mechanical engineering)

Sub Seksi - mesin-mesin dan pompa-pompa (engins and pumps);

- Pembuatan mesin pada umumnya (engineering in general); - Penerangan dan pemanasan (lighting and heating)

(40)

Seksi G - Fisika (phisics).28

- Kenukliran (nucleonic) Sub Seksi - instrumentalia (instruments)

Seksi H - perlistrikan (electricity).

Berdasarkan hal di atas tanpak jelas bahwa cakupan hak paten tersebut begitu luas, sejalan dengan luasnya cakrawala daya pikir manusia. Kreasi apa saja yang dilahirkan dari cakrawala daya pikir manusia dapat menjadi obyek hak paten, sepanjang hal itu dapat diterapkan dalam bidang industri terrmasuk pengembangannya.

Dengan demikian pula tidak tertutup kemungkinan obyek hak paten ini akan berkembang sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dan kemampuan intelektual manusia.29

2. Lingkup Perlindungan

Di balik perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual ada serangkaian pemikiran konsepsional yang dapat diuraikan bahwa pemilik Hak Kekayaan Intelektual telah mencurahkan karya, pikiran, tenaga dan dana untuk memperoleh kekayaan tersebut. Apabila kekayaan intelektual tersebut digunakan untuk maksud komersial, maka dianggap wajar bila pemilik HKI tersebut memperoleh konpensasi dari penggunaan kekayaan tersebut.

28

R.M.Suryodininggrat, Aneka Hak Milik Perindustrian, Tarsito, Bandung, 1981, hal.49-50

29

(41)

Untuk mengetahui urgensi perlindungan HKI di Indonesia, kiranya perlu ditengahkan beberapa pandangan seputar HKI bagi negara berkembang seperti Indonnesia. Pandangan tersebut berkisar tentang baik tidaknya HKI bagi negara berkembang.

Pemerintah negara-negara maju seringkali menyatakan bahwa suatu sistem HaKI yang kuat akan menguntungkan negara-negara berkembang karena dua alasan utama.30

Kedua, negara-negara maju tersebut mengklaim bahwa dengan meningkatkan perlindungan HaKI, negara-negara berkembang akan mencapai pembangunan berkelanjutan dari sumber-sumber dalam negara mereka. Dinyatakan bahwa kekayaan inetelektual akan mendorong para penemu dan pencipta lokal untuk terus berkarya dan membuat negara berkembang tersebut

Pertama, telah dinyatakan sebelumnya bahwa tidak sepantasnya negara-negara berkembang berharap akan adanya peningkatan penanaman modal asing dan pengalihan teknologi dari negara-negara maju tanpa adanya hukum HaKI. Bila perusahaan-perusahaan asing khawatir terhadap pembajakan dan penyebarluasan secara bebas atas HaKI mereka, perusahaan-perusahaan tersebut akan menolak menanamkan modal atau mengalihkan teknologi mereka, atau hanya akan memberikan informasi yang tidak lagi mutakhir atau bermutu rendah. Upaya untuk memperoleh teknologi akan semakin mahal jika pihak pemberi teknologi menaikkan biaya lisensinya untuk mengantisipasi kerugian potensial dari hilangnya kekayaan intelektual mereka.

30

(42)

lebih mampu bersaing dalam menghasilkan teknologi dan kreativitas, serta mengurangi ketergantungan pada negara-negara maju. Tanpa hukum HaKI yang kuat, para pencipta dan penemu kekayaan intelektual akan mencari negara tempat keuntungan yang lebih besar dapat diperoleh dari hasil ciptaan/temuannya. Para penanam modal juga akan bersedia untuk menanamkan lebih banyak modal di pembangunan dan penelitian domestic karena adanya kemungkinan yang lebih terjamin untuk memperoleh keuntungan ekonomis.

Dampak dari kondisi perdagangan dan ekonomi internasional yang dirasa semakin meluas yang tidak lagi mengenal batas-batas negara melahirkan persetujuan TRIPs dalam putaran Urugay (GATT). TRIPs bertujuan untuk melindungi dan menegakkan hukum hak milik inetelektual guna mendorong timbulnya inovasi, pengalihan, serta penyebaran teknologi, diperolehnya manfaat bersama pembuat dan pemakai pengetahuan teknologi, dengan cara yang menciptakan kesejahteraan sosial dan ekonomi serta berkeseimbangan antara hak dan kewajiban.

Paten merupakan bagian dari serangkaian HaKI yang diberikan perlindungan hukum. Konsekuensinya, keberadaan paten berkaitan erat dengan keberadaan HaKI di Indonesia.

Tindak lanjut ketentuan TRIPs dalam bidang paten adalah untuk mengantisipasi ketentuan TRIPs tentang objek paten yaitu, yaitu perlindungan diberikan untuk semua bentuk teknologi, termasuk kepentingan kemanusiaan dan kesehatan manusia seperti terhadap teknologi untuk pengobatan, varietas hewan dan tanaman dan tanaman bioteknologi, dan paten memberikan hak eksklusif baik

(43)

terhadap paten proses yang menjangkau pula larangan untuk melakukan impor tanpa izin pemegang paten.

Mengenai ruang lingkup perlindungan paten di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang No.14 Tahun 2001 Tentang Paten, meliputi: penemuan yang dapat diberikan paten, penemuan yang tidak dapat diberikan paten, subjek paten, hak dan kewajiban pemegang paten dan pengecualian terhadap pelaksanaan dan pelanggaran paten.

Di Indonesia bentuk perlindungan paten adalah berupa pemberian hak eksklusif bagi pemegang paten untuk:

1. Dalam hal paten produk: a. Membuat; b. Menggunakan; c. Menjual; d. Mengimpor; e. Menyewakan; f. Menyerahkan; atau

g. Menyediakan untuk dijual; atau h. Disewakan; atau

i. Diserahkan

2. Dalam hal paten proses

Menggunakan proses produksi yang diberi paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya seperti membuat, menggunakan, menjual,

(44)

menyewakan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual, disewakan dan diserahkan produksi yang diberi paten.

Jangka waktu perlindungan untuk paten menurut Undang-Undang No.14 Tahun 2001 adalah 20 (dua puluh) tahun dan tidak dapat diperpanjang, dan untuk paten sederhana 10 (sepuluh) tahun juga tidak dapat diperpanjang. Jangka waktu demikian dinilai cukup untuk memperoleh manfaat ekonomi yang wajar bagi pemegang paten atau paten sederhana.

Masalah luasnya lingkup perlindungan paten di Indonesia sangat tergantung dari berbagai faktor, antara lain:31

1. Pemberdayaan peran dan kemampuan sumber daya manusia, baik sebagai pemeriksa substantive maupun hakim;

2. Pembuatan klain; 3. Prinsip itikad baik.

Pada dasarnya, diskresi hakim cukup luas di Indonesia, namun perlu dibarengi keahlian tidak hanya dari segi hukum patennya, tetapi juga dari pengetahuan teknologinya. Prinsip itikad baik secara nyata telah diterapkan, baik sejak permohonan (amandemen aplikasi) hingga proses peradilan di Mahkamah Agung. Penafsiran klaim menggunakan intepretasi gramatikal dan purposive contruction, yakni penafsiran kata, sperti pemakaian sehari-hari dan apa yang dimaksudkan oleh inventor tentang cakupan klaim invensinya. Selain itu juga menggunakan interpretasi teologis, yakni penafsiran sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang berlaku

31

(45)

B. Dalam Kerangka Internasional

Perlindungan terhadap HaKI dan juga paten tidak hanya di tingkat nasional saja. Akan tetapi juga sampai ke tingkat internasional. Di tingkat internasional, upaya untuk melindungi HaKI berdasarkan pendekatan dari sudut perdagangan telah dilakukan sejak tahun 1979 melalui negosiasi perdagangan internasional. Ada dua alasan kuat yang mendasari upaya tersebut.32

1. Perlindungan Paten dan Alih Teknologi

Pertama, maraknya pembajakan dan pemalsuan barang-barang yang dilindungi oleh HaKI. Kedua, adanya perkembangan inventoran teknologi tinggi yang dapat digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa dalam skala internasional.

Persoalan yang saat ini menjadi perhatian dunia internasional mengenai paten adalah menyangkut perlindungan hukum yang diberikan oleh masing-masing negara di dunia. Perlindungan yang demikian menjadi lebih penting lagi setelah adanya kebijakan berbagai-bagai negara tersebut, khususnya mengenai alih teknologi. Teknologi yang dimiliki oleh negara-negara maju cenderung menarik perhatian negara-negara berkembang untuk dapat diambil alih. Sudah barang tertentu pengambil alihan itu tidak dapat dilakukan begitu saja, tanpa memperhatikan aspek hukum yang berkenaan dengan proses pengambilalihannya.

Adanya kerangka WTO sebagai kelangsungan era GATT, memperlihatkan dengan jelas bahwa alih teknologi tidak dapat dilakukan dengan begitu saja, tanpa memperhatikan aspek juridisnya.

32

(46)

Kata “alih teknologi” berasal dari kata Transfer of technology (dalam Bahasa Inggris). Terhadap arti kata ini belum ada kesepakatan. Ada yang mengartikan “pengalihan teknologi”, “pemindahan teknologi” dan “alih teknologi”.33

Para sarjana memberikan pengertian kata “teknologi” berbeda-beda, antara lain:34

a. Menurut Dr.Alhamra, teknologi adalah ilmu untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang disusun dengan cara-cara sistematika tertentu dari suatu pengamatan, studi pemeriksaan atau percobaan-percobaan.

b. Menurut Ibrahim Idham, teknologi adalah suatu komposisi cara terdiri atas keterampilan merancang dan melaksanakan (mengelas, membentuk dan merakit) terutama memerlukan pancaindera, keterampilan yang berencana (pengetahuan dan informasi) seperti mengerjakan data-data, rancang bangun dan rekayasa, kontruksi, produksi dan pemeliharaanya.

Dari pengertian yang diuraikan para sarjana di atas terlihat jelas bahwa kata “teknologi” mempunyai arti yang luas, mencakup semua kemampuan untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Ini menyebabkan pengertian Transfer of Technology mencakup pengertian yang luas.

Hilman Surawiguna memberikan arti Transfer of Technology adalah proses mentrasfer dari suatu unit produksi kepada unit lainnya dari

33

Saidin, Op Cit., hal.305

34

(47)

persyaratan pengetahuan (know how) untuk memungkinkan penggunaan teknologi tersebut.

Ibrahim Idham mengatakan “alih teknologi” adalah perbuatan mengizinkan dua hal secara serentak, yaitu mengizinkan masuknya secara langsung alat produksi yang maju dan penguasaan atas penambahan barang.

Dalam Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2005 Tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual Serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan memyatakan pengertian alih teknologi adalah pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan atau orang, baik yang berada dalam lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri atau sebaliknya.

Tujuan dari alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan adalah untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi guna kepentingan masyarakat dan negara.

2. Beberapa Konvensi Tentang Paten

Paten merupakan sesuatu hak yang sangat memerlukan perlindungan karena hasil penemuan dari inventor bisa meningkatkan kejejahteraan rakyat dikarenakan perindustrian suatu negara yang semakin maju.

(48)

Ada beberapa konvensi internasional yang mengatur tentang perlindungan hak paten ini, antara lain:

1. Konvensi Paris (Paris Convention for the Protection of Industrial Property)

Konvensi paris mengatur tentang hak milik perindustrian yang ditandatangani di Paris pada tanggal 20 Maret 1883 dan telah dilakukan beberapa kali revisi dan penyempurnaan penyempurnaan.35

1. Perihal prosedur;

Revisi pertama dilakukan di brusel, 14 Desember 1900, revisi berikutnya di Washington, 2 Juni 1911, di Den Haag, 6 Nopenber 1925. Selanjutnya berturut-turut di Lissabon, 31 oktober 1958, di Stockholm, 14 Juli 1967 dan terakhir juga di Stocholm 2 Oktober 1986.

Yang menjadi objek perlindungan hak milik perindustrian menurut konvensi ini adalah: patent, model dan rancang bangun (utility models), desain industri (industrial design). Merek dagang (trade mark), nama niaga (trade names), indikasi dan sebutan asal (source or appellation of origin).

Isi dari Konvensi Paris dapat dibagi dalam tiga bagian penting:

2. Prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman wajib bagi negara-negara anggota;

3. Ketentuan-ketentuan perihal patennya sendiri.

Prinsip yang dianut dalam konvensi Paris adalah prinsip persamaan hak nasional (National Treatment). Prinsip ini diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

35

(49)

Menurut prinsip ini, suatu negara anggota berkewajiban untuk berkewajiban untuk memperlakukan orang asing warga negara dari negara lain, sama seperti warga negaranya sendiri dalam masalah paten.

Perlakuan sama ini tidak hanya terbatas pada warga negara dari negara-negara anggota konvensi tetapi bukan warga negara-negara pun yang berdomisili di suatu negara anggota tersebut atau mempunyai usaha industri atau komersil di suatu negara anggota yang berhak atasnya.

Perlakuan persamaan hak ini juga berlaku atas semua kemudahan dan keuntungan yang diatur oleh hukum nasional bagi warga negara (Pasal 2 ayat (1) konvensi paris). Ketentuan ini mengatur tentang tidak dipersyaratkan perlindungan secara timbale balik.

Selanjutnya Pasal 2 ayat (3) mengatur tentang perkecualian pada aturan persamaan hak. Aturan nasional yang berkaitan dengan prosedur yang berhubungan dengan pengadilan administrative, jurisdiksi dan mengenai penguasaan diatur secara tersendiri. Hal ini berarti bahwa adanya prosedur tertentu yang harus dipenuhi oleh orang asing, juga dapat diterapkan pada orang asing yang merupakan warga negara anggota konvensi.

Dalam Pasal 4 diatur mengenai hak prioritas. Dengan adanya hak prioritas, maka apabila suatu permintaan perlindungan atas hak milik perindustrian telah didaftarkan oleh seseorang di salah satu negara anggota konvensi paris, atas permintaan yang sama dapat dimintakan perlindungan yang sama di negara-negara dari sesame anggota konvensi tersebut. Permintaan-permintaan susulan tersebut akan dianggap didaftarkan pada tanggal pendaftaran yang pertama.

(50)

Jangka waktu yang diberikan untuk mengajukan hak prioritas selama 6 atau 12 bulan.

Ketentuan tentang hak prioritas tersebut telah diterapkan pada Pasal 27 Undang-undang Paten No.14 tahun 2001. Dimana permohonan paten yang menggunakan hak prioritas harus diajukan dalam waktu dua belas (12) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan paten yang pertama kali diterima di negara manapun yang juga ikut serta dalam konvensi tersebut atau anggota Agreement Esttablishing the world Trade Organization.

Selain hak prioritas, keuntungan yang diberikan dalam onvensi ini adalah apa yang disebut kebebasan paten yang diatur dalam Pasal 4 bis. Menurut ketentuan ini bahwa paten yang telah diberikan disuatu negara anggota harus diperlakukan secara tersendiri dan tidak dapat dikaitkan dengan perlakuan terhadap paten tentang penemuan tersebut di negara lain, termasuk perlakuan yang diberikan oleh negara yang bukan anggota.

Suatu hal yang menjadi perhatian dan penekanan dalam konvensi paris ini adalah Pasal 5 ayat (1) yang memberi gambaran yaitu “bahwa sesuatu negara anggota tidak boleh membatalkan suatu paten yang telah diberikannya hanya karena pemilik paten tersebut telah melakukan impor barang-barang patennya dari suatu negara anggota lain, pada ayat (2) memberikan keringanan yang menggariskan dan menetapkan bahwa bagaimanapun pemilik paten tetap berkewajiban untuk mengeksploitasi petennya sesuai dengan peraturan yang berlaku di negara di mana ia mengimpor barang-barng patennya”.

Ketentuan Pasal 5A konvensi Paris mengatur tentang lisensi wajib. Pasal ini menyatakan “bahwa tiap negara boleh mengambil tindakan hukum/legislatif yang mengatur cara pemberian lisensi wajib. Lisensi wajib ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan yang mungkin disebabkan oleh adanya hak eksklusif

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian rating kriteria Green building pada Gedung Dekanat Fakultas Peternakan pada Gedung Dekanat Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya sebagai objek studi

Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur dapat meningkatkan riap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman meranti Shorea johorensis, Shorea leprosula dan Shorea parvifolia pada

Penerapan siklus tebang dan limit diameter tebang yang seragam untuk semua kondisi hutan mungkin tidak rasional karena keragaman pertumbuhan dan dinamika tegakan Pendekatan

Pada penelitian ini peneliti menemukan data yang menggunakan penanda kesantunan yang dituturkan oleh guru ataupun siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas VII meliputi,

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia

Indikator mutu buah yang diamati di antaranya kadar vitamin C, keberadaan kapang serta susut berat buah tomat varietas Servo pasca panen.. Jenis penelitian ini eksperimen

Dari perumusan masalah tersebut maka Hipotesis penelitian ini adalah H1: Terdapat perbedaan kepuasan kerja antara pegawai tetap dan pegawai kontrak, H2: Terdapat

Setelah perceraian diputuskan oleh hakim karena proses mula>’anah, maka suami dan istri tidak dapat disatukan kembali menurut semua mazhab hukum islam, kecuali Mazhab