• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "5 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Analisis Sistem Pemasaran Ikan Segar di Kawasan Maluku Tengah 5.1.1 Gambaran umum pasar di Kawasan Maluku Tengah

Kota Ambon yang terdiri atas lima (5) Kecamatan, memiliki empat (4) pasar di tingkat Kecamatan yang berfungsi sebagai pusat interaksi ekonomi masyarakat. Selain pasar Mardika yang merupakan pasar pusat di Kota Ambon yang bukan hanya menjual barang kebutuhan sehari-hari, namun juga barang kebutuhan rumahtangga lainnya seperti barang elektronik, barang pecah belah dan lainnya, terdapat pula pasar Benteng, pasar Passo dan pasar Wayame (Lampiran 2a). Pasar Benteng terletak di Kecamatan Nusaniwe dan menjadi pusat penyediaan kebutuhan pangan bagi masyarakat Kecamatan Nusaniwe dan sebagian masyarakat di Kecamatan Sirimau, sementara pasar Passo merupakan pusat transaksi ekonomi masyarakat Kecamatan Sirimau, Leitimur Selatan, Teluk Ambon, bahkan bagi sebagian masyarakat Kecamatan Leihitu dan Salahutu yang secara administratif tergabung dalam Kabupaten Maluku Tengah namun secara geografis berada di pulau Ambon. Pasar Wayame yang terletak di Desa Wayame Kecamatan Teluk Ambon merupakan pusat penyediaan bahan pangan, maupun barang kebutuhan lainnya bagi masyarakat Kecamatan Teluk Ambon. Selain keempat pasar tersebut, di Kota Ambon terdapat pula pasar-pasar kecil di tingkat Desa yang hadir sebagai sarana pemenuhan kebutuhan rumahtangga sehari-hari. Pasar-pasar ini muncul akibat jauhnya tempat pemukiman warga dengan pasar di tingkat Kecamatan.

Di Kawasan Maluku Tengah, terdapat pasar Piru di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), pasar Binaya di Kabupaten Maluku Tengah dan pasar Bula di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) yang terletak di pusat ibukota masing-masing Kabupaten. Walau secara fungsional pasar-pasar ini hadir untuk melayani kebutuhan ekonomi masyarakat Kabupaten tersebut, namun karena jauhnya jarak beberapa desa dengan ibukota Kabupaten, serta terbatasnya sarana dan prasarana transportasi, mengakibatkan munculnya pasar-pasar yang lebih kecil di tingkat Kecamatan bahkan Desa.

(2)

Pasar-pasar tempat penelitian ini dilakukan masih tradisional dan umumnya berada di dekat pantai. Pasar-pasar tersebut sangat tidak higienis, bau dan becek, serta sampah tidak dikelola dengan baik walaupun ada uang kebersihan yang harus dibayar pedagang setiap hari. Walaupun sudah dipisahkan antara kios penjual sayuran, ikan dan daging, namun tidak jarang dijumpai penjual sayuran di antara pedagang ikan. Tidak sebandingnya kios yang tersedia dengan pedagang yang ada mengakibatkan pedagang sering menjajakan dagangannya di tepi jalan, sehingga mengganggu ketertiban dan kelancaran lalu lintas. Pemandangan seperti ini sering terlihat di pasar Mardika maupun pasar Passo, sementara di pasar lainnya tidak terlihat, karena letaknya tidak di tepi jalan raya. Di pasar Piru (SBB) bahkan sering terdapat ternak peliharaan masyarakat seperti sapi dan babi yang tidak dikandangkan, sehingga terkadang harus dihalau oleh pedagang karena masuk ke dalam area pasar. Tidak jarang pula ketika datang di pagi hari untuk berdagang, pedagang menjumpai kotoran binatang-binatang tersebut di area pasar.

Di pasar-pasar lokal ini juga terdapat ikan-ikan hasil olahan seperti ikan asap, ikan asin dan produk perikanan olahan lainnya, seperti udang kering, cumi kering dan lainnya. Akan tetapi, kios ikan segar letaknya berjauhan dengan ikan-ikan hasil olahan tersebut. Kios ikan-ikan segar biasanya terletak di bagian belakang, sementara ikan olahan lebih sering berada di bagian depan pasar.

Kecuali di pasar Mardika dan pasar Passo, aktivitas jual beli di seluruh pasar yang menjadi lokasi penelitian ini biasanya akan berakhir pada pukul 12.00 hingga 13.00, setelah dimulai pada pukul 04.00 dini hari. Kegiatan jual beli ini biasanya hanya berlangsung setiap hari Senin hingga Sabtu, karena para penjual beristirahat pada hari Minggu. Kalaupun ada kegiatan transaksi jual beli di hari Minggu, biasanya pedagang dan pembeli hanya dalam jumlah sedikit.

5.1.2 Analisis Struktur Pasar (Market Structure) Ikan Segar di Kawasan Maluku Tengah

Struktur pasar merupakan tipe atau jenis pasar yang didefinisikan sebagai hubungan (korelasi) antara pembeli (calon pembeli) dan penjual (calon penjual) yang secara strategi mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar.

(3)

Berikut ini akan disajikan profil pedagang pengumpul dan pedagang pengecer produk perikanan di Kawasan Maluku Tengah.

5.1.2.1 Profil Pedagang Pengumpul dan Pedagang Pengecer Ikan Segar a Umur

Umur pedagang pengumpul, maupun pedagang pengecer yang terbanyak berada pada kisaran 31-40 tahun, yaitu masing-masing sebanyak 12 dan 38 orang (Tabel 16). Samuel (1997) yang dikutip Leatemia (2008) menyatakan bahwa kelompok usia produktif adalah kelompok umur 15-64 tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa hampir seluruh pedagang pengumpul dan pedagang pengecer yang ada di lokasi penelitian ini produktif. Pada kategori tersebut, secara fisik dan mental responden berada pada puncak produktivitas, karena lebih terarah dalam mobilisasi energi (tenaga) dan lebih matang dalam mengontrol emosi, sehingga kapasitasnya dalam memasarkan ikan berlangsung lebih maksimal. Tabel 16 Kelompok umur pedagang pengumpul dan pedagang pengecer ikan

segar di Kawasan Maluku Tengah Pedagang Pengumpul

Kategori Umur (tahun) Jumlah Persentase (%)

≤ 20 - - 21-30 - - 31-40 12 48 41-50 11 44 51-60 2 8 ≥ 61 - - Total 25 100 Pedagang Pengecer

Kategori Umur (tahun) Jumlah Persentase (%)

≤ 20 2 2 21-30 13 13 31-40 38 38 41-50 27 27 51-60 17 17 ≥ 61 3 3 Total 100 100

Sumber : Data primer diolah (2011)

Umumnya pedagang yang masih muda akan lebih banyak membutuhkan informasi dan pengalaman, sehubungan dengan hal-hal teknis dalam mengatur/ menjalankan usaha. Sejalan dengan itu, pada puncak produktivitas seseorang

(4)

tampak berpengalaman serta terampil, sehingga menguasai strategi berdagang. Namun pedagang yang lebih tua akan lebih mudah menurun secara fisik, sehingga mobilitas menjadi menurun yang berdampak pada produktivitas dan pendapatan. b Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan faktor penting penentu dinamika perubahan dalam populasi. Tujuan pendidikan (baik formal maupun informal) adalah untuk mengkomunikasikan kebijakan dan pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan untuk memfasilitasi partisipasi aktif dalam inovasi dan pengembangan pengetahuan baru (Lange et al., diacu dalam Rad 2012).

Tabel 17 Tingkat pendidikan pedagang pengumpul dan pedagang pengecer ikan segar di Kawasan Maluku Tengah

Pedagang Pengumpul

Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)

SD (sederajat) 7 28

SMP (sederajat) 14 56

SMA (sederajat) 4 16

Total 25 100

Pedagang Pengecer

Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)

SD (sederajat) 34 34

SMP (sederajat) 26 26

SMA (sederajat) 39 39

Universitas 1 1

Total 100 100

Sumber : Data primer diolah (2011)

Pendidikan adalah proses perubahan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses, perbuatan dan cara mendidik. Tingkat pendidikan juga turut berpengaruh terhadap keberhasilan suatu usaha, terutama keterampilan dalam mengelola usaha. Tingkat pendidikan yang dicapai oleh responden menyebar pada kategori pendidikan dasar hingga menengah dan umumnya berada pada pendidikan menengah pertama dan atas (Tabel 17). Seorang pedagang pengecer memiliki pendidikan formal hingga tingkat tinggi (D2) (Lampiran 7).

Dalam melakukan transaksi perdagangan ikan, para pedagang tidak memerlukan kegiatan khusus yang harus diperoleh melalui disiplin ilmu tertentu. Tetapi latar belakang pendidikan menengah dapat memberikan sumbangan yang

(5)

berarti, terutama dalam kemampuan membangun hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya.

c Pengalaman Usaha

Pengalaman usaha mempengaruhi pengetahuan, sikap dan keterampilan seseorang dalam menjalankan usaha. Dengan belajar dari pengalaman, seseorang akan lebih responsif terhadap teknologi yang diterapkan dalam usahanya. Berbagai situasi, kondisi serta masalah dan solusi yang harus dihadapi seseorang ketika menggeluti usahanya, berpengaruh dalam mendewasakan diri seseorang dalam mengambil keputusan, terutama yang berhubungan dengan bagaimana mempertahankan dan mengembangkan usaha.

Tabel 18 Pengalaman usaha pedagang pengumpul dan pedagang pengecer ikan segar di Kawasan Maluku Tengah

Pedagang Pengumpul

Pengalaman Usaha (tahun) Jumlah Persentase (%)

≤10 1 4 11-20 17 68 21-30 6 24 31-40 1 4 41-50 - - Total 25 100 Pedagang Pengecer

Pengalaman Usaha (tahun) Jumlah Persentase (%)

≤10 42 42 11-20 27 27 21-30 16 16 31-40 12 12 41-50 3 3 Total 100 100

Sumber : Data primer diolah (2011)

Gray and Gray diacu dalam Salleh et al. (2012) mengatakan bahwa umur suatu usaha meningkat sejalan dengan umur pemilik usaha tersebut. Apabila seorang pengusaha mampu beroperasi dan mengembangkan usahanya lebih dari lima (5) tahun, maka dapat dikatakan usahanya berhasil. Semakin lama suatu usaha beroperasi, maka karyawannya akan semakin cakap dan pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan tahunan. Mohd (2011) mengatakan bahwa ada hubungan yang nyata antara umur suatu usaha dikaitkan dengan kinerja usaha tersebut.

(6)

Tabel 18 memperlihatkan persentase pedagang ikan di Kawasan Maluku Tengah berdasarkan pengalaman usaha yang ditekuni. Sebanyak 68% pedagang pengumpul sudah memiliki pengalaman usaha selama 11-20 tahun dan 42% pedagang pengecer ≤ 10 tahun. Kebanyakan pedagang pengumpul memulai pekerjaannya sebagai pedagang pengecer sebelumnya. Seiring dengan pertambahan waktu serta meningkatnya pengalaman dan modal, para pedagang pengecer ini akan beralih fungsi menjadi pedagang pengumpul.

5.1.3 Derajat konsentrasi pedagang pengumpul ikan segar di Kawasan Maluku Tengah

Rasio kumulatif volume penjualan pedagang pengumpul diukur dengan menggunakan Cumulative Ratio (CR4). Rosyidi (2009) menyatakan bahwa

Cumulative Ratio atau konsentrasi pasar adalah sebuah ukuran yang menyatakan banyaknya output yang berada di tangan sejumlah produsen. Semakin sedikit jumlah produsen yang menguasai pemasaran suatu output, semakin terkonsentrasilah pasar itu.

Sumber : Data primer diolah (2011)

Gambar 8 Rekapitulasi volume penjualan pedagang pengumpul di pasar ikan segar Kawasan Maluku Tengah selama periode pengamatan.

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Pasar Bula Pasar Binaya Pasar Piru Pasar Leihitu Pasar Salahutu Pasar Passo Pasar Mardika MingguPengamatan Vo lu m e P e n ju a la n

(7)

Volume penjualan pedagang pengumpul terbanyak berada di Pasar Mardika (Gambar 8, Lampiran 9). Itu berarti bahwa bagi pedagang pengumpul, Pasar Mardika merupakan pasar yang potensial karena jumlah konsumen yang berbelanja kebutuhan sehari-hari lebih banyak di pasar tersebut dibandingkan dengan pasar lainnya. Pasar ini terletak di pusat kota Ambon dan berdekatan dengan terminal angkutan umum, sehingga mudah dijangkau oleh seluruh masyarakat.

Tabel 19 CR volume penjualan ikan segar oleh pedagang pengumpul di pasar Kawasan Maluku Tengah

Pedagang Volume Penjualan (kg) Persentase (%) CR (%)

1 28 809.25 11.77 11.77 2 20 929.47 8.55 20.32 3 18 263.22 7.46 27.78 4 16 298.36 6.66 34.44 5 14 895.88 6.09 40.53 6 13 402.35 5.48 46.01 7 12 524.84 5.12 51.12 8 11 589.83 4.74 55.86 9 10 775.31 4.40 60.26 10 9 800.77 4.00 64.27 11 9 161.13 3.74 68.01 12 8 299.37 3.39 71.40 13 7 327.28 2.99 74.39 14 6 812.03 2.78 77.18 15 6 418.66 2.62 79.80 16 5 917.98 2.42 82.22 17 5 712.40 2.33 84.55 18 5 456.67 2.23 86.78 19 5 254.58 2.15 88.93 20 5 082.69 2.08 91.01 21 4 831.30 1.97 92.98 22 4 688.25 1.92 94.89 23 4 548.19 1.86 96.75 24 4 205.91 1.72 98.47 25 3 740.98 1.53 100.00 Total 244 746.70 100

Sumber : Data primer diolah (2011)

Pada awal minggu penelitian dilakukan, volume penjualan ikan oleh pedagang pengumpul di pasar Mardika maupun pasar lainnya di Kawasan Maluku Tengah relatif sedikit. Hal ini disebabkan oleh musim penghujan dan angin

(8)

kencang yang mengakibatkan tingginya gelombang laut di sebagian besar tempat di Provinsi Maluku, sehingga nelayan tidak bisa melaut. Dengan demikian ikan yang dijual di pasar hanya sedikit sehingga harganya mahal. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan ikan di bukan musim ikan seperti ini, pedagang biasanya membeli ikan dari Cold Storage untuk kemudian dijual kembali ke konsumen. Dari pengamatan di lapangan, terlihat bahwa besar kecilnya volume penjualan ikan oleh pedagang pengumpul di suatu pasar dipengaruhi oleh musim, modal yang dimiliki pedagang pengumpul, jumlah pembeli potensial, jumlah dan jenis ikan yang dijual di pasar, dan harga ikan di pasar.

Perhitungan Cumulative Ratio volume penjualan ikan oleh pedagang pengumpul pada Tabel 19 didasarkan pada data di Lampiran 15 yang menyajikan keseluruhan volume penjualan selama proses penelitian berlangsung. Perhitungan CR ini diawali dengan mentransfer volume penjualan pedagang pengumpul yang awalnya dinyatakan dalam loyang ke dalam satuan kilogram. Pengamatan yang dilakukan terhadap 25 pedagang pengumpul selama 4 (empat) bulan kemudian dibagi ke dalam 18 minggu untuk melihat dinamika angka CR pada seluruh pasar yang telah diasumsikan sebagai satu pasar besar.

Tabel 19 menunjukkan CR volume penjualan ikan segar dari 25 pedagang pengumpul di pasar Kawasan Maluku Tengah. Selama periode penelitian dilakukan, umumnya empat (4) pedagang pertama menunjukkan angka CR < 40, kecuali pada minggu ke-6 (CR4 = 41.22%) dan 11 (CR4 = 42.68%) (Gambar 9).

Hal ini mengindikasikan berarti bahwa pada kedua minggu tersebut, pasar agak terkonsentrasi, sementara pada minggu-minggu pengamatan lainnya, pasar tidak terkonsentrasi. Pasar terkonsentrasi apabila rasio empat (4) pedagang pertama sedikitnya 40% (Parker and Connor dalam Sayaka 2006). Sementara Shepherd yang dikutip Rosyidi (2009) menyatakan bahwa apabila CR4 ≤ 40, maka pasar

berbentuk loose oligopoly atau oligopoli yang tidak terlalu ketat (kendur).

Subanidja (2006) menyatakan beberapa ciri pasar yang berstruktur oligopoli adalah : (a) hanya ada beberapa pedagang yang mendominasi pasar, (b) ada produsen yang menawarkan barang yang sama (produk yang tidak terdiferensiasi), namun ada pula produsen yang menawarkan model atau fitur berbeda (produsen dengan diferensiasi), (c) terdapat rintangan kuat (entry barrier)

(9)

untuk masuk ke pasar oligopoli, karena investasi yang dibutuhkan cukup tinggi, (d) persaingan melalui iklan sangat kuat.

Sumber : Data primer diolah (2011)

Gambar 9 Cumulative Ratio (CR) volume penjualan ikan segar dari empat pedagang pengumpul pertama di pasar Kawasan Maluku Tengah. Lebih lanjut dikatakan, bahwa struktur pasar ini memiliki kelebihan, yaitu penjual hanya sedikit karena besarnya investasi yang dibutuhkan untuk masuk ke pasar tersebut, jumlah penjual yang sedikit menyebabkan harga dapat dikendalikan pada tingkat tertentu dan bila terjadi perang harga, maka konsumen akan diuntungkan. Sebaliknya, produsen bisa melakukan kerja sama (kartel) yang bertujuan membatasi produksi, sehingga barang dibuat langka agar harga bisa melambung tinggi dan pada akhirnya dapat merugikan konsumen. Harga yang terlalu tinggi juga bisa mendorong inflasi serta dalam jangka waktu lama dapat mengganggu perekonomian Negara.

Rosyidi (2011) mengemukakan bahwa dari cara para pedagang beroperasi di pasar, terdapat tiga (3) macam oligopoli. Yang pertama adalah oligopoli tanpa kolusi (Non-Collusive Oligopoly) yaitu pedagang yang memilih untuk tidak bekerja sama atau berkolusi dengan pedagang lainnya. Selanjutnya adalah oligopoli yang berkolusi (Collusive Oligopoly) atau yang sering disebut kartel (cartel). Kolusi ini dibuat secara formal, sehingga kartel juga disebut kolusi

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00 45.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 1 Pedagang 2 Pedagang 3 Pedagang 4 Pedagang Cu m u lativ e R atio Minggu Pengamatan

(10)

formal atau formal collusion. Pada oligopoli jenis ini, sejumlah pedagang berkolusi untuk menetapkan harga tunggal yang berlaku bagi setiap pedagang. Dari kolusi ini, para pedagang mendapatkan laba masing-masing. Itulah sebabnya, model kartel ini juga disebut joint profit maximization (maksimisasi laba bersama). Kolusi oligopoli ini dinyatakan terlarang di banyak negara, termasuk Indonesia, berdasarkan UU No. 5/1999 tentang Persaingan Usaha karena memungkinkan munculnya monopoli. Jenis oligopoli yang ketiga adalah kolusi diam-diam dan kepemimpinan harga (Tacit Collusion and The Price Leadership). Tindakan ini diambil terutama sekali karena kolusi formal atau kolusi terang-terangan dilarang. Di dalam kolusi diam-diam ini, semua pedagang terikat di dalam perjanjian yang amat longgar di antara sesama. Tidak ada kontrol langsung oleh siapapun juga terhadap harga yang diterapkan dan output yang dijual oleh masing-masing pedagang. Kelonggaran inilah yang membuat jenis oligopoli ini lebih diterima oleh kebanyakan pedagang di dalam pemasaran, dan itu pulalah yang menyebabkan kolusi diam-diam ini lebih banyak dijumpai dalam praktik dibandingkan dengan kartel.

Rosyidi (2011) mengemukakan bahwa bentuk kolusi diam-diam yang paling populer adalah kepemimpinan harga atau price leadership. Pada jenis ini, semua pedagang dalam pemasaran menyadari ada satu di antara para pedagang ini yang menjadi pemimpin dalam menentukan harga dan yang lainnya menjadi pengikut. Ada tiga (3) macam kepemimpinan harga, yakni kepemimpinan harga oleh pedagang barometer, pedagang dominan dan oleh pedagang yang berbiaya rendah.

Nelayan di Kawasan Maluku Tengah umumnya kembali dari melaut pada pagi hari, namun ada juga yang kembali pada siang hari. Apabila nelayan kembali melaut pada siang hari, maka tidak jarang pedagang membeli dan menjual kembali ikan tersebut di Cold Storage (apabila memenuhi standar), karena permintaan konsumen biasanya sudah berkurang. Besar investasi yang dibutuhkan dan tidak berfungsinya tempat pelelangan ikan juga turut memengaruhi konsentrasi pedagang pengumpul di pasar. Sayaka (2006) menemukan dalam penelitiannya bahwa besar kecilnya investasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi struktur pasar.

(11)

Rataan derajat konsentrasi pedagang pengumpul CR4 yang menunjukkan

angka 34.44% atau di bawah 40% mengindikasikan bahwa struktur pasar produk perikanan yang terbentuk di Kawasan Maluku Tengah relatif kompetitif. Charles (2001) menyatakan bahwa pasar produk perikanan tidak pernah sempurna, disebabkan oleh peran pedagang perantara yang bukan hanya membeli ikan dari nelayan, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga pemberi pinjaman uang kepada nelayan. Itu berarti bahwa interaksi di pasar tidak dapat hanya dilihat dari interaksi permintaan dan penawaran saja, namun interaksi yang terjadi antar individu pada saluran pemasaran tersebut, apakah bersifat eksploitasi, atau simbiosis.

Sebagian besar ekonom berpendapat bahwa ukuran rasio konsentrasi (CR4) tidak cukup mengukur kekuatan suatu pasar. Satu pilihan yang dapat

menjelaskan dengan baik tentang peran perusahaan terhadap dominasi pasar, adalah dengan menggunakan HHI yang dihitung dengan menjumlahkan kuadrat dari persentase pangsa pasar seluruh perusahaan di dalam suatu pasar.

Tabel 20 Indeks Hirchman-Herfindahl selama periode penelitian Minggu Indeks Hirchman-

Herfindahl Indeks Hirchman-Herfindahl 1 0.042 416.91 2 0.043 431.21 3 0.045 447.46 4 0.047 470.97 5 0.056 564.49 6 0.066 659.04 7 0.062 616.82 8 0.057 565.03 9 0.054 543.12 10 0.063 633.99 11 0.072 723.99 12 0.062 621.87 13 0.051 514.78 14 0.055 548.55 15 0.055 554.36 16 0.059 587.43 17 0.059 589.56 18 0.053 531.20 Rataan 0.056 556.71

(12)

Nilai HHI selama periode penelitian kurang dari 1.000 dengan rataan sebesar 556.71 (Tabel 20). Menurut The U.S Department of Justice bahwa nilai HHI yang kurang dari 1 000 dikatakan bahwa pasar dalam kondisi persaingan yang kompetitif, sedangkan jika nilai HHI antara 1 000–1 800 dikatakan pasar dalam kondisi persaingan moderat dan dikatakan pasar dalam kondisi persaingan tidak sempurna (konsentrasi hanya pada beberapa perusahaan), jika nilai HHI lebih dari 1 800 (Subanidja 2006). Dengan melihat hasil perhitungan rasio konsentrasi (CR4) maupun HHI, dapat disimpulkan bahwa pasar produk perikanan

di Kawasan Maluku Tengah dalam kondisi persaingan kompetitif.

5.1.4 Analisis Perilaku Pasar (Market Conduct) Ikan Segar di Kawasan Maluku Tengah

Analisis perilaku pasar dalam penelitian ini menggunakan cara predatory and exclusivenary tactics, yaitu suatu strategi yang sifatnya ilegal karena bertujuan mendorong perusahaan pesaing untuk keluar dari pasar. Dalam penelitian ini analisis perilaku pasar produk perikanan di Kawasan Maluku Tengah didekati dengan menggunakan pendekatan institusional dan fungsional. Pendekatan institusional meliputi analisis saluran pemasaran, sedangkan pendekatan fungsional terdiri atas analisis fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan oleh semua institusi yang terlibat dalam setiap lembaga pemasaran yang ada.

5.1.4.1 Saluran Pemasaran

Suatu saluran pemasaran menggambarkan urut-urutan lembaga pemasaran yang harus dilalui oleh suatu produk sejak diproduksi hingga ke konsumen akhir. Pada umumnya suatu produk mempunyai lebih dari satu macam saluran pemasaran dan dapat berbentuk sederhana ataupun rumit, tergantung dari produk tersebut. Lembaga pemasaran yang dengan cepat mampu menyalurkan produk ke konsumen, biasanya memiliki saluran pemasaran yang lebih sederhana. Kegiatan saluran pemasaran merupakan suatu tindakan ekonomi yang mendasarkan pada kemampuannya untuk membantu dalam penciptaan nilai ekonomi. Sedangkan nilai ekonomi menentukan harga barang dan jasa kepada individu-individu (Swastha 2002). Dalam sistem pemasaran produsen seringkali menggunakan perantara sebagai penyalurnya, dan perantara ini merupakan suatu kegiatan usaha

(13)

yang berdiri sendiri serta berbeda di antara produsen dan konsumen akhir atau pemakai.

Nelayan sebagai produsen, pedagang pengumpul, Cold Storage (CS), pedagang pengecer dan konsumen merupakan institusi pemasaran atau badan yang menyelenggarakan kegiatan pemasaran produk perikanan, baik di Kota Ambon maupun di Kawasan Maluku Tengah. Umumnya lembaga pemasaran atau badan yang menyelenggarakan fungsi pemasaran ini terdiri atas produsen, pedagang perantara (dalam bentuk perorangan) dan pemberi kredit modal sebagai lembaga pemberi jasa. Dalam Hanafiah dan Saefuddin (1986) diungkapkan bahwa, golongan produsen adalah yang tugas utamanya menghasilkan barang-barang. Produsen ini adalah nelayan, petani ikan, dan pengolah hasil perikanan.

Sumber : Hasil analisis data primer (2011)

Gambar 10 Saluran pemasaran produk perikanan di Kawasan Maluku Tengah. Selanjutnya pedagang pengumpul, CS dan pedagang pengecer merupakan perantara dalam bidang tataniaga. Sementara lembaga pemberi jasa adalah yang memberi jasa atau fasilitas untuk memperlancar fungsi tataniaga, contoh dari lembaga ini adalah bank, usaha pengangkutan dan biro iklan.

Gambar 10 menunjukkan bahwa dalam pemasaran produk perikanan tersebut, terdapat saluran pemasaran “tingkat satu”, “tingkat dua” dan “tingkat tiga”. Menurut Kotler (1993), saluran distribusi satu tingkat adalah saluran distribusi atau rantai pemasaran yang hanya terdiri dari satu lembaga pemasaran

1 2 3 4 5 Cold Storage (CS) Pedagang Besar Konsumen Pedagang Pengecer Pedagang Pengumpul Nelayan

(14)

yaitu pedagang pengecer, sedangkan saluran distribusi dua tingkat terdiri dari pedagang pengumpul dan pedagang pengecer. Hanafiah dan Saefuddin (1986) menyatakan bahwa panjang pendeknya saluran pemasaran hasil perikanan tergantung pada beberapa faktor antara lain, skala produksi, posisi keuangan dan cepat tidaknya produk rusak.

Situasi dan kondisi yang menyebabkan sehingga masing-masing saluran pemasaran tersebut terjadi dapat dijelaskan berikut :

1 Nelayan–Konsumen

Saluran pemasaran ini terjadi apabila konsumen tinggal berdekatan dengan nelayan sebagai produsen. Pada saat nelayan kembali dari melaut, maka biasanya setelah menambatkan perahunya, ada sejumlah konsumen yang langsung membeli ikan di pesisir pantai. Para konsumen tersebut biasanya tidak bermata pencaharian sebagai nelayan, melainkan guru atau PNS lainnya yang bekerja di desa tersebut. Namun apabila ada nelayan yang tinggal di desa itu berhalangan melaut, maka biasanya isteri nelayan tersebut akan membeli ikan dari nelayan yang pulang melaut dan berhasil menangkap ikan.

2 Nelayan–Pedagang Pengecer–Konsumen

Saluran pemasaran seperti ini banyak terjadi apabila pedagang pengecer tinggal berdekatan dengan nelayan atau bahkan adalah isteri, anak atau saudara perempuan si nelayan. Ikan dibawa sendiri ke pasar dan langsung dijual ke konsumen setibanya di pasar.

Pada dasarnya saluran pemasaran ini dipilih nelayan ketika ikan hasil tangkapan hanya sedikit. Apabila dalam melaut, nelayan purse seine, atau pole and line hanya mendapatkan sedikit ikan, maka ikan-ikan tersebut hanya akan dibagi kepada setiap Anak Buah Kapal (ABK) yang ikut melaut sebagai „ikan makan‟ (ikan untuk dikonsumsi bersama keluarga) dan sebagian ABK akan menjual ikan tersebut untuk membiayai keperluan lainnya. Nelayan pancingpun biasanya memilih saluran pemasaran seperti ini, karena hasil tangkapan mereka sedikit.

Keuntungan dari saluran pemasaran ini, nelayan akan langsung menikmati penjualan hasil tangkapannya. Pedagang pengecer yang mungkin adalah isteri,

(15)

anak perempuan atau saudara perempuan nelayan, akan langsung membeli kebutuhan pokok rumah tangga seperti beras, minyak goreng dan lainnya, ketika selesai menjual ikan. Nelayanpun biasanya hanya dibelikan satu (1) atau dua (2) bungkus rokok.

3 Nelayan–Pedagang Pengumpul–Pedagang Pengecer–Konsumen Saluran pemasaran tipe ini banyak kali terjadi dalam pemasaran produk perikanan di Kawasan Maluku Tengah. Banyak nelayan yang beroperasi dengan alat tangkap purse seine, pole and line dan bagan memilih saluran pemasaran seperti ini, karena alat tangkap seperti ini biasanya menangkap ikan dalam jumlah banyak. Antara nelayan dengan pedagang pengumpul telah terjalin kesepakatan dan kerjasama dalam kurun waktu yang cukup lama.

Ketika ketersediaan ikan di pasar dalam jumlah banyak, nelayan tidak perlu cemas akan kemungkinan ikan hasil tangkapannya tidak habis terjual. Pada saat ikan hasil tangkapan nelayan telah dibawa ke pasar, maka tanggungjawab atas ikanpun berpindah dari nelayan ke pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul selanjutnya akan menyalurkan ikan tersebut ke pedagang pengecer untuk kemudian dijual ke konsumen. Apabila jumlah ikan di pasar sudah terlalu banyak dan pedagang pengecer tidak lagi mampu menjualnya, maka ikanpun dibuang ke laut. Hal ini sering kali terjadi pada musim panen ikan.

Ketika musim susah ikan, nelayan tetap harus menjual ikan hasil tangkapannya ke pedagang pengumpul tersebut, walaupun mungkin tersedia alternatif lain yang dapat memberikan keuntungan lebih bagi nelayan, seperti menjual ke pedagang pengumpul lainnya.

4 Nelayan–Pedagang Pengumpul–CS–Pedagang Pengecer–Konsumen Setelah ikan dibawa ke pasar, maka tanggung jawab nelayan atas ikan hasil tangkapannya berpindah ke tangan para pedagang pengumpul. Ketersediaan ikan yang banyak di pasar sehingga dapat menurunkan harga jual ikan dan kemampuan para pedagang pengumpul memprediksi harga membuatnya segera menyortir ikan yang memenuhi syarat untuk selanjutnya dijual ke CS. Tujuan utama pembelian ikan oleh CS adalah untuk ekspor, maka hanya jenis, ukuran dengan tingkat mutu tertentu yang diterima.

(16)

Pada dasarnya nelayan dapat saja langsung menjual ikan hasil tangkapannya ke CS ketika mengetahui ikan yang tersedia di pasar dalam jumlah banyak dan melebihi daya beli konsumen, sehingga harga jualnya sangat rendah. Namun semalaman berada di tengah laut, sering membuat nelayan tidak lagi ingin disibukkan dengan hasil tangkapannya, sehingga lebih memilih untuk menjual hasil tangkapannya kepada pedagang pengumpul. Selanjutnya pada musim ikan susah, pedagang pengecer membeli ikan dari CS untuk kembali dijual kepada konsumen.

5 Nelayan–Pedagang Pengumpul–CS–Pedagang Besar

Tujuan utama pembelian ikan oleh CS pada dasarnya adalah dikirim ke Pedagang Besar di Surabaya. Apabila telah mencapai kuota tertentu, selanjutnya ikan diekspor ke luar negeri. Kelebihan dan kekurangan dari setiap saluran pemasaran ikan segar di Kawasan Maluku Tengah dirangkum secara sederhana pada Tabel 21.

Tabel 21 Karakteristik, Kelebihan dan Kekurangan Setiap Jenis Saluran Pemasaran Ikan Segar di Kawasan Maluku Tengah

Tipe Saluran

Pemasaran Karakteristik Kelebihan Kekurangan

1) Nelayan – Konsumen 2) Nelayan–Pedagang Pengecer– Konsumen Konsumen biasa-nya tinggal dekat dengan nelayan Tangkapan sedikit. Pedagang pengecer adalah isteri, sauda-ra atau anak perem-puan si nelayan

Hasil tangkapan segera terjual

Nelayan dan keluarga-nya dapat segera menik-mati penjualan hasil tangkapan.

Penjualan hasil tang-kapan, seluruhnya dinik-mati keluarga.

Harga murah

Waktu kerja isteri ne-layan bertambah. Paceklik, nelayan sulit mendapat bantuan fi-nansial 3) Nelayan–Pedagang Pengumpul– Pedagang Pengecer– Konsumen Hasil tangkapan banyak. Hubungan kerjasa-ma antara nelayan dengan pedagang pengumpul yang te-lah terbangun sejak lama.

Setiba di pasar, ikan menjadi tanggungjawab pedagang pengumpul. Ketika musim paceklik, nelayan mendapatkan bantuan finansial dari pedagang pengumpul.

Pedagang pengumpul menentukan harga. Terkadang pembayaran tidak dilaksanakan pada hari tersebut.

Musim paceklik, nela-yan tetap harus menjual hasil tangkapannya pa-da pepa-dagang pengumpul tersebut.

(17)

Lanjutan Tabel 21 Tipe Saluran

Pemasaran Karakteristik Kelebihan Kekurangan

4) Nelayan– Pedagang Pengumpul–CS– Pedagang Pengecer– Konsumen Hasil tangkapan banyak. Hubungan kerjasa-ma antara nelayan dengan pedagang pengumpul telah ter-bangun sejak lama. Harga yang ditentu-kan CS, tergantung mutu dan jenis ikan. Ketika musim

ikan, pedagang

pengecer membeli

ikan beku dari CS,

untuk selanjutnya

menjualnya ke

konsumen

Setiba di pasar, ikan menjadi tanggungjawab pedagang pengumpul. Ketika musim paceklik,

nelayan mendapatkan bantuan finansial dari pedagang pengumpul.

Pedagang pengumpul yang memutuskan, apa-kah ikan dijual di pasar atau di CS.

Pedagang pengumpul mengambil 10% dari hasil penjualan di CS. Pada musim paceklik, nelayan tetap harus menjual hasil tangkap-annya pada pedagang pengumpul tersebut. 5) Nelayan– Pedagang Pengumpul–CS– Pedagang Besar Hasil tangkapan banyak. Hubungan kerjasa-ma antara nelayan dengan pedagang pengumpul yang te-lah terbangun sejak lama.

Harga yang ditentu-kan CS, tergantung mutu dan jenis ikan.

Setiba di pasar, ikan menjadi tanggungjawab pedagang pengumpul. Ketika musim paceklik,

nelayan mendapatkan bantuan finansial dari pedagang pengumpul.

Pedagang pengumpul yang memutuskan apa-kah ikan dijual di pasar atau di CS.

Pedagang pengumpul mengambil 10% dari hasil penjualan di CS. Pada musim paceklik, nelayan tetap harus menjual hasil tangkap-annya pada pedagang pengumpul tersebut. Sumber : Hasil analisis data primer (2011)

5.1.4.2Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan oleh lembaga pemasaran Tabel 22 menjelaskan tentang fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan oleh masing-masing lembaga pemasaran dalam setiap saluran pemasaran produk perikanan yang tercipta di Kawasan Maluku Tengah. Fungsi pertukaran, terutama sub fungsi penjualan dilakukan oleh semua lembaga pemasaran, sedangkan sub fungsi pembelian tidak dilakukan oleh nelayan. Berbeda dengan pada saluran pemasaran lainnya, nelayan pada saluran pemasaran pertama tidak melakukan fungsi pengangkutan. Hal ini terjadi karena hasil tangkapan nelayan hanya sedikit dan pedagang pengecer biasanya adalah isteri, anak perempuan, atau keluarga dekat si nelayan.

(18)

Pada saluran kedua, pedagang pengumpul tidak melakukan fungsi pengangkutan, karena biasanya nelayanlah yang membawa hasil tangkapannya ke pasar. Nelayan hanya membawa hasil tangkapannya ke pasar dan menyerahkan hasil tangkapan tersebut ke pedagang pengumpul. Dengan memperhatikan kondisi pasar serta jenis dan ukuran ikan, pedagang pengumpul kemudian memutuskan apakah hasil tangkapan nelayan akan dijual di pasar atau ke CS. Ketika pedagang pengumpul memutuskan untuk menjual ikan hasil tangkapan nelayan ke CS, maka biaya pengangkutan ditanggung oleh pedagang pengumpul. Apabila diputuskan Tabel 22 Fungsi-fungsi yang dilakukan lembaga pemasaran ikan segar

Saluran dan Lembaga Pemasaran

Fungsi-Fungsi Pemasaran

Pertukaran Fisik Fasilitas

Jual Beli Angkut Simpan Sortasi Risiko Biaya

Infor masi Pasar Saluran 1: -Nelayan * * * * Saluran 2: -Nelayan * * * * -Pedagang Pengecer * * * * * * * * Saluran 3: -Nelayan * * * * * -Pedagang Pengumpul * * * * * -Pedagang Pengecer * * * * * * * * Saluran 4: -Nelayan * * * * * -Pedagang Pengumpul * * * * * * * -CS * * * * * * -Pedagang Pengecer * * * * * * * * Saluran 5: -Nelayan * * * * * -Pedagang Pengumpul * * * * * * * -CS * * * * * *

Sumber : Hasil analisis data primer (2011)

untuk dijual di pasar, maka sambil memperhatikan keadaan pasar, pedagang pengumpul segera menentukan harga dan mendistribusikan ikan hasil tangkapan

(19)

nelayan kepada pedagang pengecer. Fungsi risikopun beralih dari pedagang pengumpul kepada pedagang pengecer.

Ketika pasar berangsur sepi karena pembeli mulai berkurang dan ikan tidak habis terjual, maka pedagang pengecer akan menjual ikan dengan harga lebih murah, atau bahkan di bawah biaya marginal walau harus merugi, daripada dibuang. Namun apabila yang tidak habis terjual adalah ikan cakalang

(Katsuwonus pelamis), tatihu (Thunnus sp) atau jenis-jenis ikan karang, maka ikan tersebut akan disimpan dalam kotak-kotak penyimpanan yang berisi es untuk selanjutnya dijual kembali pada keesokan harinya. Pada keesokan harinya para pedagang pengecer tersebut akan datang secepat mungkin untuk kembali menjual ikan yang disimpan, sebelum ikan hasil tangkapan nelayan semalam dibawa di pasar.

Pada saat musim ikan dan ikan di pasar terdapat dalam jumlah banyak, tidak jarang ikan harus dibuang ke laut akibat ketidakmampuan masyarakat untuk mengonsumsinya dan sifatnya yang mudah busuk. Pedagang pengumpul harus menanggung risiko atas kondisi tersebut, apabila ikan belum dibeli oleh pedagang pengecer. Pada saat musim ikan, pedagang pengecer hanya mampu menjual 1-2 loyang (30-50 kg), sementara pada musim susah ikan, pedagang pengecer menjual hingga 3-4 loyang (90-120 kg). Hal ini disebabkan karena pada musim ikan, harga ikan cenderung rendah, sehingga pedagang pengecer dapat membeli untuk kemudian menjualnya kembali. Namun ketika musim susah ikan, hanya sejumlah pedagang pengecer yang bermodal kuat saja yang mampu membeli ikan untuk dijual kembali kepada konsumen.

Seorang pedagang pengumpul pada saat musim ikan biasanya harus mendistribusikan 50-100 loyang ikan, sementara pada musim susah ikan, paling banyak hanya 50 loyang. Rataan seorang pedagang pengumpul memperoleh pendapatan Rp227 952.50 dengan kisaran Rp89 000 hingga Rp703 500. Berat ikan cakalang yang sering terjual di pasar adalah 2-3.5 kg, artinya dalam satu loyang yang biasanya terdapat 15-20 ekor, maka berat keseluruhannya adalah 40-52.5 kg. Apabila ikan cakalang beratnya ± 1 kg/ekor, maka satu loyang biasanya berisi 25-30 ekor dan apabila ikan cakalang beratnya 5 kg/ekor, maka biasanya terdapat 10 ekor dalam satu loyang. Untuk ikan pelagis kecil yang

(20)

ukuran per kilogramnya terdiri atas 3-5 ekor, maka satu loyang biasanya berisi 100-120 ekor dengan berat keseluruhan 32-40 kg. Sementara apabila 1 kg terdiri atas 6-7 ekor, maka satu loyang biasanya berisi 180-210 ekor dengan berat total 30-35 kg.

Ikan yang dibeli oleh CS hanya jenis, ukuran dan mutu tertentu dengan harga yang cenderung stabil. Apabila pedagang pengumpul menjual ikan ke CS, maka fungsi sortasi harus dilakukannya. Fungsi penyimpanan dilakukan CS untuk kemudian akan dibeli oleh pedagang pengumpul ataupun pedagang pengecer ketika nelayan tidak mendapatkan ikan atau diekspor ke luar negeri.

5.1.4.3 Mekanisme Penentuan Harga

Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2006), harga suatu barang adalah nilai pasar (nilai tukar) dari barang tersebut yang dinyatakan dalam jumlah uang. Harga merupakan suatu hal yang penting dan menarik baik bagi penjual, maupun pembeli di pasar. Bagi seorang pedagang, selisih antara harga penjualan dan biaya akan menentukan besarnya laba yang merupakan dasar bagi yang bekerja pada setiap transaksi. Sementara melalui harga, seorang konsumen dapat menunjukkan jenis, mutu dan jumlah barang yang dikehendaki dan bersedia membayarnya dengan mempertimbangkan semua jasa yang diterimanya.

Sekembalinya nelayan dari menangkap ikan, maka pemilik jaring akan segera menghubungi para pedagang pengumpul dan menyampaikan informasi berupa jenis dan kuantitas ikan yang tertangkap. Karena biasanya nelayan kembali dari laut pada menjelang pagi hari (subuh), maka apabila pedagang pengumpul telah terhubungi, nelayan akan segera membawa ikan ke pasar dengan mobil pick up. Kegiatan ini berlangsung pada pukul 3, atau 4 pagi, tetapi dapat juga terjadi ketika proses jual beli di pasar berlangsung, yaitu pukul 7 pagi–12 siang, atau bahkan setelah proses tersebut selesai, tergantung dari waktu kembalinya nelayan ke darat setelah melaut. Hampir semua nelayan purse seine,

pole and line dan bagan telah memiliki pedagang pengumpul di pasar dan di antaranya telah ada kesepakatan, bahwa apabila nelayan membawa ikan ke pasar, si pedagang pengumpul yang akan menjualnya ke pedagang pengecer, baik dalam kondisi musim ikan banyak ataupun kurang. Di antara nelayan dan pedagang telah

(21)

terbangun suatu ikatan kerjasama selama puluhan tahun. Hubungan kerjasama yang tidak seimbang ini mengakibatkan lemahnya akses nelayan terhadap pasar, sehingga dapat berkontribusi pada kurangnya informasi tentang harga, kurangnya kesempatan untuk berhubungan dengan pelaku-pelaku pasar lainnya, distorsi atau ketidakhadiran input dan output pasar, tingginya biaya transaksi dan pemasaran (Bienabe et al., diacu dalam Tita 2011).

Hidayati (2000) mengemukakan bahwa jasa lembaga pemasaran sangat diperlukan dalam proses pemasaran, karena jauhnya jarak tempat produksi dengan konsumsi. Dengan menjual hasil ke pedagang pengumpul desa, maka harga yang diperoleh petani akan lebih tinggi dibandingkan dengan jika menjual hasil ke pedagang pengumpul dusun, namun sedikitnya jumlah produk yang dipasarkan membuat petani merasa lebih efisien, apabila menjual produknya ke pedagang pengumpul dusun. Tidak adanya alternatif tempat meminjam uang, mengakibatkan petani meminjam uang untuk keperluan modal dan kebutuhan lainnya kepada pedagang pengumpul, sehingga terjadi kesepakatan yang bersifat mengikat, walaupun tidak tertulis bahwa petani harus menjual produksi rumput lautnya ke pedagang pengumpul tersebut.

Crona (2010) menyatakan bahwa hubungan antara pedagang pengumpul desa dengan nelayan skala kecil telah terbangun sejak adanya proses pemasaran. Pedagang perantara menyediakan nelayan skala kecil suatu jaringan menuju pasar eksternal yang pada akhirnya mengurangi waktu dan upaya yang dibutuhkan untuk memasarkan produknya. Pedagang perantara juga menyediakan modal dalam bentuk kredit yang berfungsi sebagai akses prioritas pengaman terhadap produk (ikan) sesaat setelah ditangkap, sehingga memastikan pasokan produk stabil. Dalam bentuk keterikatan nelayan dengan pedagang, dikenal dua bentuk modal : (1) modal yang dipinjamkan oleh pedagang untuk proses produksi, misalnya bantuan perbaikan, atau pembelian alat tangkap, dan (2) sejumlah uang untuk menopang kehidupan nelayan ketika pendapatan berkurang akibat tidak bisa melaut atau hasil tangkapan berkurang.

Walaupun ikan yang akan dijual merupakan hasil tangkapan nelayan, namun nelayan tidak memiliki hak sepenuhnya atas penetapan harga, dan walaupun ada negosiasi, namun pedagang pengumpul lebih mendominasi proses

(22)

negosiasi tersebut. Selama proses penurunan loyang, pedagang pengumpul akan terus memperhatikan kondisi pasar untuk selanjutnya menentukan harga jual ke pedagang pengecer. Ketika proses tersebut selesai dan harga, serta cara pembayaran telah disetujui oleh pedagang pengumpul dan pedagang pengecer, maka pedagang pengecer akan mengangkut, atau memikul loyang yang berisi ikan ke lapak-lapak penjualannya untuk selanjutnya dijual. Cara pembayaran ikan oleh pedagang pengecer dapat dilakukan pada saat ikan diambil untuk dijual, atau setelah ikan habis terjual, tergantung dari kesepakatan bersama. Biaya transportasi ikan ke pasar ditanggung oleh nelayan, sementara pedagang pengumpul biasanya akan membeli satu-dua bungkus rokok, atau membayarkan segelas teh hangat dan sepiring nasi untuk nelayan dan anak buahnya yang membawa ikan pada saat itu. Sejumlah pedagang pengumpul lebih suka menjual ikan hasil tangkapan nelayan ke CS dari pada ke pedagang pengecer, karena selain urusannya lebih mudah, harganyapun stabil. Akan tetapi CS biasanya hanya menerima ikan cakalang dan layang dengan ukuran dan mutu tertentu.

Harga ikan di pasar dapat berubah dalam hitungan jam, atau bahkan menit, tergantung dari jumlah dan mutu ikan. Pengamatan di lapangan menunjukkan ketika ikan banyak di pasar, dan hasil tangkapan nelayan tetap terus dibawa ke pasar, maka harga ikan tersebut hanya dapat sama atau lebih rendah dari harga sebelumnya, sekalipun mutunya lebih baik dari ikan yang ada di pasar. Apalagi bila ikan di pasar banyak, maka harga ikan yang baru dibawa akan lebih turun.

Di pasar Mardika terdapat kurang lebih 50 orang yang berfungsi sebagai pedagang perantara dan hanya setengahnya yang memiliki ijin dari pengelola pasar. Hanya 5-8 orang pedagang pengumpul yang memegang lebih dari lima (5) jaring, dengan rata-rata satu jaring menghasilkan 25-30 loyang. Setengah dari jumlah pedagang pengumpul tersebut memegang 3-5 jaring, sementara sisanya tidak sampai tiga (3) jaring.

Dalam setiap kegiatan ekonomi, modal adalah unsur yang harus sangat diperhitungkan, baik modal bergerak, atau tidak bergerak. Sistem yang telah terbangun sejak lama dalam proses pemasaran produk perikanan segar mengakibatkan peran pedagang perantara tidak dapat dilihat hanya sebagai

(23)

pelengkap, yang berarti, walau tanpa kehadiran sub sistem ini, proses pemasaran akan tetap berjalan lancar.

Sebagian besar pedagang pengumpul yang juga berfungsi sebagai pedagang perantara pada awalnya memulai fungsinya ini sebagai pedagang pengecer juga. Sebelum terbangun sistem seperti ini, para pedagang pengecer harus membeli ikan yang nantinya dijual ke nelayan di pinggir pantai. Itu berarti bahwa pedagang pengecer harus berada di pinggir pantai pada pagi buta. Setelah ikan dibeli, pedagang ikan harus segera ke pasar untuk kemudian menjual ikannya. Ikan dapat langsung dibayar pada saat diambil, atau setelah habis terjual, tergantung kesepakatan antara nelayan dengan pedagang. Seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi, saat ini setelah ikan hasil tangkapan nelayan didaratkan, ikan segera dibawa ke pasar. Pedagang pengumpul yang membawahi nelayan tersebut, sebelumnya telah berada di pasar untuk kemudian akan mengkoordinir penjualan ikan-ikan hasil tangkapan nelayan kepada pedagang pengecer. Pembayaran dilakukan sesuai kesepakatan, apakah pada saat pembelian atau setelah ikan habis terjual oleh pedagang pengecer.

Pedagang pengecer produk perikanan di Kawasan Maluku Tengah mempunyai beberapa cara dan strategi untuk menarik konsumen membeli ikan yang dijualnya. Cara yang lazim digunakan adalah dengan menambah satu (1), atau dua (2) ekor ikan kepada konsumen. Umumnya ikan dijual per tumpuk dengan harga Rp5 000 – Rp10 000 ketika ikan banyak dan Rp20 000 ketika ikan hanya sedikit di pasar. Menurunkan harga jarang sekali dilakukan pedagang ikan, namun ketika 1-2 ekor ikan ditambahkan kepada konsumen, secara tidak sengaja pedagang telah menurunkan harga jual ikan.

Weisbuch et al. (2000) dalam penelitiannya tentang organisasi pasar dan hubungannya dengan perdagangan, menemukan bahwa keloyalan pembeli terhadap pedagang di pasar ikan Marseille terbagi atas dua (2) tipe: pembeli yang loyal terhadap satu pedagang dan pembeli yang cenderung memilih pedagang secara acak. Gallegati et al. (2011) menunjukkan bahwa tingkat keloyalan tersebut semakin meningkat apabila pembeli memperoleh ikan bermutu dengan harga yang diinginkan. Penelitian yang dilakukan oleh Cirillo (2012) di Boulogne Fish Market menunjukkan bahwa keloyalan dimiliki baik penjual dan pembeli, akan

(24)

tetapi penjual lebih loyal terhadap pembeli daripada sebaliknya. Hal ini mungkin

disebabkan oleh cukup besarnya agen dalam hubungannya dengan kuantitas yang diperdagangkan. Sejumlah pembeli akan secara acak mencari penjual yang dapat memuaskan keinginannya, walau ia telah memiliki beberapa pedagang yang telah loyal kepadanya. Selanjutnya disimpulkan bahwa keloyalan turut memengaruhi harga, membangkitkan dispersi harga dan diskriminasi antar agen.

Gambar 11 dan 12 memperlihatkan strategi pedagang menarik konsumen untuk membeli ikannya. Gambar di sebelah kiri memperlihatkan ada dua (2) tumpuk ikan, yang setiap tumpukannya dihargai Rp5 000 oleh pedagang. Setumpuk ikan telah dibersihkan (kepala dan isi perut telah dibuang), sementara tumpukan lainnya dijual utuh lengkap dengan kepala. Ada konsumen yang lebih memilih tumpukan ikan yang telah bersih, karena waktu yang digunakan untuk membersihkan ikan dapat digunakan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya, namun ada juga konsumen yang memilih ikan yang masih utuh, karena selain memang menyenanginya, potongan kepala ikan dan isi perut digunakan untuk makanan ternak.

Tumpukan ikan yang disusun dengan menggunakan potongan bambu (Gambar 12) bertujuan untuk menarik perhatian konsumen, karena umumnya hanya ikan yang benar-benar segar saja yang dapat disusun dengan bilah-bilah bambu. Apabila ikan yang benar-benar segar disusun tidak menggunakan

Gambar 11 Tumpukkan ikan yang masih utuh, maupun yang telah dikeluarkan kepala dan isi perutnya.

Gambar 12 Tumpukkan ikan yang disusun dengan menggunakan potong-an bambu.

(25)

penyanggah bambu, maka ikan-ikan tersebut akan tergelincir, karena licin akibat adanya lendir yang dikeluarkan dari dalam tubuhnya, sehingga akhirnya tidak tersusun dengan rapi.

5.1.5 Analisis Keragaan Pasar (Market Performance) Ikan Segar di Kawasan Maluku Tengah

Analisis keragaan pasar ikan segar di Kawasan Maluku Tengah diukur berdasarkan efisiensi harga yang meliputi margin pemasaran.

5.1.5.1Margin Pemasaran

Margin pemasaran adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan perbedaan harga yang dibayar kepada penjual pertama dan harga yang dibayar oleh pembeli terakhir (Hanafiah dan Saefuddin, 2006). Walau dipahami bahwa di Kawasan Maluku Tengah terdapat lima (5) bentuk saluran pemasaran, namun empat (4) saluran pemasaran pertama adalah yang paling lazim digunakan oleh nelayan maupun pedagang pengumpul. Hal ini disebabkan karena CS yang berfungsi sebagai tempat pengumpulan ikan untuk dikirim ke pedagang besar di Surabaya dan selanjutnya diekspor ke Luar Negeri, hanya membeli ikan dengan jenis, ukuran dan kualitas tertentu. Oleh karena itu, perhitungan margin pada Tabel 23 hanya dijabarkan berdasarkan empat (4) bentuk saluran pemasaran pertama.

Dari tabel tersebut terlihat bahwa apabila saluran pemasaran pendek, maka nelayan akan menerima bagian yang lebih besar, sehingga margin pemasaran kecil. Sebaliknya, suatu saluran pemasaran yang panjang dapat mengakibatkan penerimaan nelayan menjadi kecil dan margin pemasaran menjadi besar. Hanafiah dan Saefuddin (2006) menyatakan bahwa panjang pendeknya saluran pemasaran yang dilalui oleh suatu hasil perikanan tergantung pada beberapa faktor, antara lain :

(26)

Tabel 23 Perhitungan margin pemasaran ikan segar di Kawasan Maluku Tengah

No Uraian Nelayan Pedagang

Pengumpul CS Pedagang Pengecer Konsu- men Total 1 Saluran 1 - Harga Beli (Rp/kg) - - - - 9 000 - - Harga Jual (Rp/ kg) 9 000 - - - - - - Margin Pemasaran - - - 0 2 Saluran 2 - Harga Beli (Rp/kg) - - - 10 000 14 000 - - Harga Jual (Rp/ kg) 10 000 - - 14 000 - - - Margin Pemasaran - - - 4 000 - 4 000 3 Saluran 3 - Harga Beli (Rp/kg) - 8 124 - 10 000 14 000 - - Harga Jual (Rp/ kg) 8 124 10 000 - 14 000 - - - Margin Pemasaran - 1 876 - 4 000 - 5 876 4 Saluran 4 - Harga Beli (Rp/kg) - 8 124 15 000 20 000 25 000 - - Harga Jual (Rp/kg) 8 124 12 500 20 000 25 000 - - - Margin Pemasaran - 4 376 5 000 5 000 - 14 000

Sumber : Hasil analisis data primer (2011)

a. Jarak antara produsen dan konsumen. Makin jauh jarak antara produsen dan konsumen biasanya makin panjang saluran yang ditempuh oleh produk. Produsen dan pasar (konsumen) produk perikanan di Kawasan Maluku Tengah ada yang letaknya berdekatan, namun tak sedikit pula yang berjauhan. b. Cepat tidaknya produk rusak. Produk yang cepat atau mudah rusak harus

segera diterima konsumen, dengan demikian membutuhkan saluran pendek dan cepat.

c. Skala produksi. Bila produksi berlangsung dalam ukuran-ukuran kecil, maka jumlah produk yang dihasilkan berukuran kecil pula, maka hal tersebut tidak menguntungkan bila produsen langsung menjualnya ke pasar. Dalam keadaan demikian kehadiran pedagang perantara diharapkan, sehingga saluran pemasaran yang dilalui cenderung menjadi panjang.

(27)

d. Posisi keuangan pengusaha. Produsen yang posisi keuangannya kuat cenderung untuk memperpendek saluran tataniaga, karena sejumlah fungsi pemasaran dapat dilakukannya sendiri dibandingkan dengan pedagang yang posisi modalnya lemah. Dengan kata lain, pedagang yang memiliki modal kuat cenderung memperpendek saluran pemasaran.

5.2 Analisis Fisherman’s share

Salah satu indikator yang cukup berguna untuk mengetahui efisiensi pasar produk perikanan adalah membandingkan bagian yang diterima nelayan (fishermen’s share) dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir dan sering dinyatakan dalam persentase. Umumnya, bagian yang diterima nelayan akan menjadi lebih sedikit apabila jumlah pedagang perantara bertambah panjang. Tabel 24 Fisherman’s share pemasaran ikan segar

Saluran Pemasaran Harga di Tingkat Nelayan (Rp) Harga di Tingkat Konsumen (Rp) Fishermen’s Share (%) Saluran Pemasaran 1 9 000 9 000 100.00 Saluran Pemasaran 2 10 000 14 000 71.43 Saluran Pemasaran 3 8 124 14 500 58.03 Saluran Pemasaran 4 8 124 25 000 32.50

Sumber : Hasil analisis data primer (2011)

Perhitungan Fishermen’s share bertujuan untuk mengetahui besarnya bagian yang diterima nelayan sebagai produsen pada setiap saluran pemasaran yang terjadi. Share nelayan terbesar terdapat di saluran pemasaran pertama, yang terdiri dari nelayan, pedagang pengecer dan konsumen (Tabel 24). Dengan demikian terlihat bahwa semakin panjang suatu saluran pemasaran, semakin kecil

share yang diperoleh nelayan sebagai produsen.

Hanafiah dan Saefuddin (2006) menyatakan bahwa banyak orang berpendapat terlampau banyak pedagang perantara yang bersaing pada setiap tindakan dalam proses pemasaran adalah pemborosan dan tidak ada gunanya. Jumlah perantara yang lebih sedikit dianggap akan bekerja dengan biaya per satuan yang lebih rendah, sehingga mengurangi biaya pemasaran dan memperbesar efisiensi. Akan tetapi perlu disadari juga bahwa pengurangan

(28)

pedagang perantara yang bersaing dapat menyebabkan pilihan konsumen terbatas dan mungkin konsumen terpaksa menerima layanan yang lebih buruk dan produk bermutu rendah. Demikian pula dengan anggapan bahwa terlampau banyak pedagang perantara yang bekerja pada saluran pemasaran secara vertikal akan menambah biaya pemasaran dan sebaliknya makin sedikit pedagang perantara makin cepat, makin murah dan makin efisien suatu produk disalurkan ke konsumen. Namun dengan sifat produk perikanan yang banyak dihasilkan di daerah terpencar dan jauh dari konsumen sering mengakibatkan banyak pedagang perantara yang diperlukan untuk bekerja pada tingkat berbeda dalam proses pemasaran.

5.3 Integrasi Pasar Ikan Segar di Kawasan Maluku Tengah

Integrasi pasar merupakan salah satu indikator untuk mengetahui efisiensi pasar (Heytens diacu dalam Adiyoga et al., 2006). Ketika pasar belum terintegrasi, sehingga mengakibatkannya tidak efisien, maka kebijakan pemerintah sangat diperlukan. Indikasi ketidakefisienan suatu pasar adalah perbedaan harga yang masih relatif besar antar daerah untuk harga di tingkat produsen, maupun konsumen.

Integrasi harga spasial dapat diartikan sebagai transmisi harga antar pasar, yang direfleksikan dalam perubahan harga di pasar berbeda geografis untuk komoditi yang sama. Ravallion (1986) mengatakan bahwa jika terjadi perdagangan antara dua (2) wilayah, kemudian harga di wilayah yang mengimpor komoditi sama dengan harga di wilayah yang mengekspor komoditi, ditambah dengan biaya transportasi yang timbul akibat perpindahan di antara keduanya, maka dapat dikatakan di antara kedua pasar tersebut terjadi integrasi spasial. 5.3.1 Jenis Ikan yang Dominan Dijual di Pasar di Kawasan Maluku Tengah

Tiga (3) jenis ikan dominan dijual di beberapa pasar di Kota Ambon maupun Kawasan Maluku Tengah pada bulan Mei hingga September 2011, ditunjukkan oleh Gambar 13. Terlihat bahwa umumnya ikan yang dominan dijual pada saat itu adalah Selar, Layang, Cakalang, Tongkol dan Madidihang, dengan rata-rata harga per kg berturut-turut Rp17 046, Rp16 566, Rp18 833, Rp16 421 dan Rp17 109. Penangkapan ikan cakalang banyak menggunakan alat tangkap

(29)

pole and line (huhate), sementara ikan Selar, Layang dan Tongkol ditangkap dengan menggunakan purse seine.

Sumber : Analisis data primer (2011)

Gambar 13 Tiga jenis ikan dominan yang dijual di beberapa pasar di Kawasan Maluku Tengah pada bulan Mei hingga September 2011.

Dalam buku Tahunan Statistik Perikanan Provinsi Maluku (2009), dinyatakan bahwa sepanjang tahun 2009 di Provinsi Maluku, ikan Cakalang diproduksi terbanyak (35 717.2 ton), diikuti Tongkol 32 243.4 ton, Layang 28 308.1 ton, Kembung 10 072.5 ton, Madidihang 10 863.3 ton dan Selar 8 283 ton. Sementara pada tahun 2010, produksi ikan Cakalang masih yang terbanyak (35 952.4 ton), kemudian Layang sebanyak 27 798.2 ton, Tongkol 23 645.2 ton, Kembung 14 838.6 ton, Selar 7 554.6 ton dan Madidihang 6 769.9 ton.

Ikan Cakalang bukan merupakan satu (1) dari tiga (3) ikan dominan yang dijual di pasar Leihitu, walaupun alat tangkap ikan cakalang banyak terdapat di Leihitu dan sekitarnya, karena mungkin di daerah tersebut terdapat PT Aneka Tata Bahari yang adalah perusahaan perikanan di bidang penyimpanan (Cool Storage), sehingga ikan Cakalang lebih banyak dijual ke perusahaan tersebut. Ikan yang berada di pasar Mardika umumnya dibawa dari sentra-sentra produksi seperti Latuhalat dan sekitarnya (Kecamatan Nusaniwe), Salahutu dan Leihitu

0 20 40 60 80 100 120 140 Pa s a r M a rdik a Se la r Cak a la ng Pa s a r Pa s s o Cak a la ng La y a ng Pa s a r Sa la hu tu Sela r La y a ng Pa s a r Le ih itu La y a ng To ng k ol Pa s a r Bina y a Se la r La y a ng Pa s a r Piru Cak a la ng M a di di ha ng Pa s a r Bula C ak al an g Se la r Jum lah ke mu n culan d i p as ar

Jenis ikan yang dominan dijual di pasar

Selar Layang Cakalang Tongkol Madidihang

(30)

(Kabupaten Maluku Tengah), serta daerah Kecamatan Leitimur Selatan. Ikan dari Salahutu selain ditangkap di perairan Kecamatan Salahutu (Desa Tulehu dan Waai), banyak juga dibawa dari pulau-pulau sekitar, seperti Haruku, Saparua, dan Nusalaut. Sementara ikan di daerah Leihitu, selain ditangkap di perairan Leihitu, sering juga dibawa dari Desa-desa di bagian barat Pulau Seram.

5.3.2 Dinamika Harga Ikan Segar

Gambar 14 menunjukkan dinamika harga produk perikanan selama empat (4) bulan penelitian (Mei-September 2011). Terlihat dari gambar tersebut bahwa harga ikan di Kawasan Maluku Tengah sangat berfluktuasi. Gambar tersebut juga seakan menegaskan apa yang tertulis di Kompas (5 Desember 2011) bahwa harga produk perikanan di Maluku sangat berfluktuatif. Dari hasil pengamatan di lapangan, fluktuasi harga produk perikanan tersebut bisa terjadi dalam hitungan jam, atau menit tergantung dari banyaknya ikan yang terdapat di pasar, jumlah konsumen yang berbelanja, tidak diterapkannya rantai dingin pada produk selama proses berjualan dan lamanya waktu pedagang berjualan. Di pagi hari ketika jumlah ikan yang dijual di pasar masih sedikit, harga biasanya tinggi. Namun dengan bertambahnya waktu dan semakin banyak ikan yang dibawa ke pasar, maka harganya akan cenderung turun. Dengan sifat dan karakteristik ikan yang mudah busuk, maka apabila dalam penjualannya, pedagang tidak menerapkan rantai dingin, mengakibatkan semakin menurun mutu ikan sehingga turut menurunkan harganya. Hal ini akan diperparah apabila pedagang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menghabiskan dagangannya, karena semakin siang, biasanya harga ikan semakin menurun.

Di pasar tradisional di kota Ambon maupun kawasan Maluku Tengah, ikan tidak dijual dalam satuan kilogram, melainkan dalam satuan tumpuk untuk ikan-ikan kecil seperti Selar (Selaroides sp), Layang (Decapterus sp), Sardin (Rastrelliger sp) dan lainnya. Sementara untuk ikan-ikan besar seperti Cakalang (Katsuwonus pelamis), Madidihang (Thunnus sp), atau Tongkol (Auxis thazard) lebih banyak dijual dalam satuan ekor. Namun tidak jarang pula ditemui pedagang menjual potongan ikan Cakalang, atau Madidihang dengan ukuran ± 5 x 5 cm dengan tebal 1.5 cm sebanyak 8-10 potong yang dijual per tumpuk

(31)

Rp10 000 pada musim banyak ikan atau Rp20 000 pada musim susah ikan. Tindakan ini merupakan salah satu strategi pedagang dalam menjual ikan ketika harganya dianggap konsumen terlalu mahal. Harga per tumpuk ikan biasanya relatif stabil, yaitu Rp10 000, Rp15 000, hingga Rp20 000, namun jumlah dan ukuran ikan dalam tumpukan tersebut bervariasi mengikuti kondisi pasar dan mutu ikan. Ikan Cakalang, atau Madidihang juga sering dijual dalam bentuk belahan dua (2) atau empat (4), memanjang dari kepala hingga ekor, yang harganya tergantung pada ketersediaan ikan di pasar pada saat itu.

Gambar 14 juga menunjukkan bahwa pada umumnya trend kenaikan maupun penurunan harga terjadi hampir secara bersamaan di pasar-pasar tersebut, walaupun besar kenaikan, maupun penurunan tersebut tidak sama. Kondisi terendah pada harga Rp4 966.67 yang terjadi pada hari ke 56 dan 84, atau pada bulan Juli dan Agustus di pasar Leihitu. Sementara harga tertinggi terjadi di pasar Salahutu pada hari ke 2 dan 27.

Sumber : Analisis data primer (2011)

Gambar 14 Fluktuasi harga ikan segar di beberapa pasar di Kawasan Maluku Tengah.

Pada pagi hari ketika ikan di pasar hanya sedikit, maka biasanya ikan dijual Rp20 000, per tumpuk. Seiring dengan bertambahnya waktu dan semakin banyak ikan dibawa ke pasar, harga dapat berkurang, atau jumlah ikan dalam tumpukan dapat bertambah. Apabila mutu ikan yang dijual mulai menurun, maka

Hari Pengamatan R at aan H arga Ikan (R p/K g)

(32)

pedagang tidak memiliki pilihan selain menambah jumlah ikan dalam tumpukan, sehingga jika dikonversikan ke satuan kilogram, harga ikan akan lebih murah lagi. Harga rataan ikan di pasar Leihitu berada di bawah pasar lainnya. Ikan umumnya dijual dalam satuan tumpuk seharga Rp5 000–10 000, namun ketika dikonversikan ke dalam satuan kilogram, harga ikan jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga ikan di pasar-pasar lainnya. Hal ini mungkin disebabkan kapasitas penawaran produk perikanan melebihi permintaannya. Dari Buku Tahunan Statistik Perikanan Provinsi Maluku Tahun 2010 terlihat bahwa Rumah Tangga Perikanan (RTP) terbanyak di Provinsi Maluku terdapat di Kabupaten Maluku Tengah 14 502 unit. Dari jumlah tersebut, RTP terbanyak di Kabupaten Maluku Tengah terdapat di Kecamatan Leihitu 2 714 unit dan 48 unit di Kecamatan Leihitu Barat, sementara jumlah nelayan tangkap masing-masing Kecamatan, 4 365 orang dan 1 522 orang. Dengan kenyataan tersebut, maka bukanlah suatu hal yang mustahil, apabila harga ikan di pasar Leihitu berada di bawah harga rataan ikan di pasar-pasar lainnya.

Penawaran dan permintaan akan suatu produk menentukan, apakah harga produk tersebut berada di atas, atau di bawah harga tingkat umum. Jika penawaran dari dan permintaan akan suatu produk sama dengan penawaran dari dan permintaan akan keseluruhan produk, maka harga-harga dari setiap produk akan mendekati tingkat yang sama dari semua harga. Namun jika penawaran suatu produk relatif lebih besar dari permintaannya, maka harga barang tersebut secara relatif akan berada di bawah tingkat harga umum dan sebaliknya apabila penawaran dari suatu barang lebih kecil dari permintaannya, maka harga barang tersebut secara relatif akan berada di atas tingkat harga umum (Hanafiah dan Saefuddin, 2006).

Ketika musim ikan, jumlah ikan yang ditawarkan oleh pedagang banyak sehingga harganya berada di bawah harga tingkat umum. Harga ikan Sardin (Rastrelliger sp) atau Layang (Decapterus sp) sebanyak satu (1) tas kresek besar mencapai Rp5 000. Padahal tingkat kesukaan, atau preferensi seseorang, kemampuan konsumsi yang terbatas dan sifat karakteristik ikan yang mudah busuk mengakibatkan ikan tidak dapat dibeli banyak, walaupun harganya murah.

(33)

5.3.3 Tingkat Integrasi Pasar Produk Perikanan di Kawasan Maluku Tengah

Hasil analisis regresi pengujian integrasi pasar produk perikanan di Kawasan Maluku Tengah ditunjukkan oleh Tabel 25 dan 26. Ketika Pasar Mardika dijadikan sebagai pasar acuan dan pasar Salahutu, Leihitu, Passo, Piru, Binaya dan Bula dijadikan sebagai pasar pengikut, terlihat bahwa nilai koefisien 1 + b1 pada rataan harga tiga (3) jenis ikan yang dominan dijual pada pasar-pasar

lokal atau pengikut (i) tersebut pada waktu t-1 (P3it-1) masing-masing adalah

0.550, 0.206, 0.250, 0.585, 0.678 dan 0.151. Hasil nyata yang ditunjukkan 1+b1≠ 0 mengindikasikan bahwa seluruh pasar pengikut tersegmentasi secara

temporal dengan pasar Mardika sebagai pasar acuan.

Tabel 25 Hasil analisis pengujian integrasi pasar dengan Pasar Mardika sebagai pasar acuan

Pasar Pengikut

Koefisien

Intersep P3it-1 (P3t – P3t-1) P3t-1 IMC R2 Df

Pasar acuan : Mardika Ambon

Salahutu 5 874.387 0.550* 0.119 0.174* 4.122 0.411 106 Leihitu 6 809.358 0.206* 0.013 -0.022 5.289 0.049 106 Passo Ambon 17 973.739 0.250* -0.035 -0.141* 3.196 0.171 106 SBB 1 676.176 0.585* 0.228* 0.387* 7.657 0.682 106 Binaya 1 028.769 0.678* 0.203* 0.305* 4.498 0.781 106 SBT 16 477.682 0.151 -0.026 0.023 8.992 0.026 106 *) nyata pada α 0.05

Sumber : Hasil analisis (2011)

Selanjutnya pada analisis b2 yang merupakan ukuran derajat perubahan

harga di pasar acuan yang ditransmisi ke pasar regional (P3t – P3t-1), diperoleh

bahwa seluruh pasar pengikut menunjukkan hasil yang nyata, karena keseluruhan nilai b2≠1. Itu berarti bahwa seluruh pasar tidak terintegrasi secara spasial dalam

jangka panjang. Integrasi harga spasial dapat diartikan sebagai transmisi harga antar pasar, yang direfleksikan dalam perubahan harga di pasar yang berbeda secara geografis untuk komoditi yang sama. Menurut Ravallion (1986), jika

(34)

terjadi perdagangan antara dua (2) wilayah, kemudian harga di wilayah yang mengimpor komoditi sama dengan harga di wilayah yang mengekspor komoditi, ditambah dengan biaya yang timbul karena perpindahan di antara keduanya maka dapat dikatakan keduanya terjadi integrasi spasial.

Pengujian koefisien b3-b1 untuk rataan harga tiga (3) jenis ikan yang

dominan dijual di pasar acuan pada waktu t-1 (P3t-1) menunjukkan bahwa

keseluruhan pasar menunjukkan hasil yang nyata, karena seluruh nilai koefisien b3-b1≤ 0. Nilai negatif hasil perhitungan koefisien b3-b1 dari masing-masing pasar,

Pasar Salahutu (-0.376), pasar Leihitu (-0.228), pasar Passo (-0.391), pasar Piru (-0.198), pasar Binaya (-0.373) dan pasar Bula (-0.128) mengartikan bahwa seluruh pasar tidak terintegrasi secara spasial dalam jangka pendek.

Ketidakterintegrasi pasar-pasar tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapatnya aliran informasi (flow of information) pasar, meskipun mungkin ada aliran produk (flow of product) antar pasar tersebut. Ketika penelitian ini dilakukan, hampir di seluruh pelosok di Provinsi Maluku mengalami hujan dan angin kencang yang mengakibatkan laut bergelombang. Hujan dan angin kencang, ditambah dengan terbatasnya infrastruktur informasi pada saat itu, sering mengakibatkan terjadinya gangguan dalam berkomunikasi. Padahal dengan komunikasi yang baik, pedagang dapat memperoleh informasi untuk menunjang kegiatan penjualan. Kesukaan masyarakat Maluku akan ikan yang tingkat kesegarannya tinggi juga turut memengaruhi pedagang untuk hanya menjual ikan di pasar-pasar terdekat. Apalagi bila dalam proses penangkapan, nelayan tidak menerapkan rantai dingin yang baik, sehingga produk dengan cepat dapat mengalami kemunduran mutu. Kondisi laut yang bergelombang pada saat itu juga, mengakibatkan hasil tangkapan nelayan tidak banyak, sehingga hanya dijual di pasar-pasar lokal.

Ketidakterintegrasi Pasar Binaya maupun pasar Piru dengan pasar Mardika juga diduga disebabkan oleh umur kedua pasar tersebut. Sebagai pasar yang berada di kabupaten yang tertua di Pulau Seram, Binaya telah mempunyai pangsa pasar tersendiri. Peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan daerah-daerah ini telah dilihat sebagai pasar potensial di Kawasan Maluku Tengah. Peningkatan jenis dan jumlah transportasi yang menghubungkan Pulau Seram dengan Pulau

Gambar

Tabel  18  memperlihatkan  persentase  pedagang  ikan  di  Kawasan  Maluku  Tengah  berdasarkan  pengalaman  usaha  yang  ditekuni
Tabel 19  CR volume penjualan ikan segar oleh pedagang pengumpul di pasar  Kawasan Maluku Tengah
Gambar  9    Cumulative  Ratio  (CR)  volume  penjualan  ikan  segar  dari  empat   pedagang pengumpul pertama di pasar Kawasan Maluku Tengah
Tabel 20  Indeks Hirchman-Herfindahl selama periode penelitian  Minggu  Indeks Hirchman-
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jalan Raya Karangploso km 4, Kotak Pos 199 Malang 65152, Indonesia Telp. Hama pada tanaman tebu menyebabkan penurunan produksi gula sekitar 10%. Hama penting pada

Memperlihatkan peran dan cita-cita RA Kartini adanya perancangan film dokumenter perjalanan hidup RA Kartini bertujuan untuk membawa sejarah bangsa Indonesia untuk

Setelah proses adsorpsi berlangsung selama 24 jam, fasa cair dipisahkan dari endapannya yang kemudian dianalisis dengan Spectronic 20 pada panjang gelombang 663

Table 2. The effect of land unit on the amount of woody plant biomass, the amount of understory plant biomass, organic C content in woody plants, organic carbon content in

Adapun dari hasil bahwa pelanggaran hak siar dalam penyelesian perkara pidana dianggap sah karena pada hakikatnya yang terpenting dalam tindak pidana pelanggaran hak siar

Tradisi Upacara Kelahiran umat Hindu yang ada di Pura Jala Siddhi Amerta sangatlah banyak, seperti; Upacara Magedong-gedongan (usia kandungan 175 hari), Upacara

Pada peta analisis risiko Kejadian Diare di Kecamatan Semarang Selatan, digunakan overlay antar variabel yang mempengaruhi kejadian diare yang sebelumnya telah

Khomsan (2002) menyebutkan bahwa jajanan bagi anak SD merupakan fenomena yang menarik untuk ditelaah karena berbagai hal (a) merupakan upaya untuk memenuhi