• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II POLA ASUH DAN ETIKA PERGAULAN. perkembangan kepribadian sangatlah besar artinya. Banyak faktor dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II POLA ASUH DAN ETIKA PERGAULAN. perkembangan kepribadian sangatlah besar artinya. Banyak faktor dalam"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pola Asuh

1. Pengertian Pola Asuh

Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dimana anak dapat berinteraksi. Pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian sangatlah besar artinya. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan anak. Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian adalah praktik pengasuhan anak. Keluarga adalah lingkungan yang pertama kali menerima kehadiran anak.

Orang tua mempunyai berbagai macam fungsi yang salah satu diantaranya ialah mengasuh putra-putrinya. Dalam mengasuh anaknya orang

tua dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungannya. Di samping itu, orang tua juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan putra-putrinya. Sikap tersebut tercermin dalam pola pengasuhan kepada anaknya yang berbeda-beda, karena orang tua mempunyai pola pengasuhan tertentu. 1

Pola Asuh adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negatif dan positif.

1 Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), hlm.

108-109.

(2)

Sebagaimana dinyatakan oleh beberapa ahli diantaranya:

a. Menurut Singgih D. Gunarsa: “Pola asuh adalah gambaran yang dipakai oleh orang tua untuk mengasuh (merawat, menjaga atau mendidik) anak”. b. Menurut Chabib Thoha: “Pola asuh adalah suatu cara terbaik yang dapat ditempuh dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak”.2

c. Menurut Hendra Surya: “Pola asuh adalah gambaran yang dipakai oleh orang tua dalam mengasuh, membesarkan, merawat dan mendidik yang berpengaruh secara langsung terhadap kemandirian anak dalam belajar”.3 d. Menurut Darling dan Steinberg: “Pola asuh sebagai sekumpulan sikap orang tua terhadap anak yang dikomunikasikan kepada anak dan menciptakan suasana emosional dimana perilaku diekpsresikan”.4

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh adalah cara mengasuh dan metode disiplin dalam berhubungan dengan anaknya dengan tujuan membentuk watak, kepribadian, dan memberikan nilai-nilai bagi anak untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Dalam memberikan aturan-aturan atau nilai terhadap anak-anaknya tiap orang tua akan memberikan bentuk pola asuh yang berbeda berdasarkan latar belakang pengasuhan orang tua sendiri sehingga akan menghasilkan bermacam-macam pola asuh yang berbeda dari orang tua yang berbeda pula.

2 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm.

109.

3 Hendra Surya, Kiat mengajak Anak Belajar dan Berprestasi (Jakarta: PT. Gramedia, 2003),

hlm. 5.

4 F.J. Monk, Psiklogi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya (Yogyakarta:

(3)

2. Macam-Macam Pola Asuh

Menurut D. Baumrind : “Terdapat 4 (empat) macam pola asuh : Pola Asuh Demokratis, Pola Asuh Otoriter, Pola asuh Permisif, Pola asuh Penelantar”.5

Penjelasannya sebagai berikut: a. Pola Asuh Demokratis

Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.6

Pola asuh yang demokratis pada umumnya ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak. Mereka membuat semacam aturan-aturan yang disepakati bersama. Orang tua yang demokratis ini yaitu orang tua yang mencoba menghargai kemampuan anak secara langsung.

Pola asuh demorakatis memiliki ciri-ciri seperti yang dikemukakan oleh beberapa ahli di bawah ini :

5 D. Baumrind, Authoritatian vs Authoritative Parental Control (New York: Harper and

Row, 2005), dikutip dari Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak Jilid 2 (Jakarta: Erlangga, 2000), hlm. 23.

6

(4)

1) Menurut Baumrind & Black (dalam Theo Riyanto) : “Dari hasil penelitiannya menemukan bahwa teknik-teknik asuhan orang tua yang demokratis akan menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri maupun mendorong tindakan-tindakan mandiri membuat keputusan sendiri akan berakibat munculnya tingkah laku mandiri yang bertanggung jawab”. 7

2) Menurut Harris Clemes, menyatakan ciri-ciri pola asuh demokratis adalah :

a) Bahwa orang tua yang demokratis memandang sama kewajiban dan hak antara orang tua dan anak.

b) Secara bertahap orang tua memberikan tanggung jawab bagi anak-anaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka menjadi dewasa.

c) Mereka selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling memberi dan menerima, selalu mendengarkan keluhan-keluhan dan pendapat anak-anaknya.

d) Dalam bertindak, mereka selalu memberikan alasannya kepada anak, mendorong anak saling membantu dan bertindak secara obyektif, tegas tetapi hangat dan penuh pengertian.8

3) Menurut Hurlock, Pola asuhan demokratis ditandai dengan ciri-ciri : a) Bahwa anak-anak diberi kesempatan untuk mandiri dan

mengembangkan kontrol internalnya,

7 Theo Riyanto, Pembelajaran Sebagai Proses Bimbingan Pribadi (Jakarta: Gramedia

Widiasarana Indonesia, 2002), hlm. 224.

8

(5)

b) Anak diakui keberadaannya oleh orang tua, c) Anak dilibatkan dalam pengambilan keputusan.9 4) Menurut Conger, mengatakan bahwa :

a) Orang tua yang demokratis selalu memperhatikan perkembangan anak,

b) Tidak hanya sekedar mampu memberi nasehat dan saran tetapi juga bersedia mendengarkan keluhan-keluhan anak berkaitan dengan persoalan-persoalannya.10

b. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya. Pola asuh otoriter ditandai dengan orang tua yang melarang anaknya dengan mengorbankan otonomi anak. Pola asuh otoriter mempunyai aturan-aturan yang kaku dari orang tua.11

Menurut Harris Clemes, orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri sebagai berikut :

9 Elizabeth B. Hurlock, Op.Cit., hlm. 26.

10 Syaikh M. Jamaludin Mahfud, Psikologi Anak dan Remaja Muslim (Jakarta: Pustaka Al

Kautsar, 2000), hlm. 221.

11

(6)

1) Kaku, 2) Tegas,

3) Suka menghukum,

4) Kurang ada kasih sayang serta simpatik.

5) Orang tua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta mencoba membentuk tingkah laku sesuai dengan tingkah lakunya serta cenderung mengekang keinginan anak.

6) Orang tua tidak mendorong serta memberi kesempatan kepada anak untuk mandiri dan jarang memberi pujian.

7) Hak anak dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti anak dewasa.12

Orang tua yang otoriter cenderung memberi hukuman terutama hukuman fisik. Orang tua yang otoriter tidak memberikan hak anaknya untuk mengemukakan pendapat serta mengutarakan perasaan-perasaannya.

c. Pola Asuh Permisif

Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak. Pola asuh

12

(7)

permisif ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas kepada anak untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan keinginan anak. Pelaksanaan pola asuh permisif atau dikenal pula dengan pola asuh serba membiarkan adalah orang tua yang bersikap mengalah, menuruti semua keinginan, melindungi secara berlebihan, serta memberikan atau memenuhi semua keinginan anak secara berlebihan.13

Pola asuh permisif, memiliki ciri-ciri seperti apa yang disampaikan oleh beberapa tokoh di bawah ini, yaitu :

1) Menurut Baumrind & Black (dalam Theo Riyanto), menyatakan bahwa:

a) Orang tua yang mempunyai pola asuh permisif cenderung selalu memberikan kebebasan pada anak tanpa memberikan kontrol sama sekali.

b) Anak dituntut atau sedikit sekali dituntut untuk suatu tangung jawab, tetapi mempunyai hak yang sama seperti orang dewasa. c) Anak diberi kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri dan orang

tua tidak banyak mengatur anaknya. 14

2) Menurut Hurlock, mengatakan bahwa pola asuhan permisif bercirikan :

a) Adanya kontrol yang kurang,

b) Orang tua bersikap longgar atau bebas, c) Bimbingan terhadap anak kurang,

13 Elizabeth B. Hurlock, Op.Cit., hlm. 29. 14

(8)

d) Kurang tegas dalam menerapkan peraturan-peraturan yang ada, e) Anak diberikan kesempatan sebebas-bebasnya untuk berbuat dan

memenuhi keinginannya. 15

3) Menurut Conger, Orang tua permisif memberikan kepada anak untuk berbuat sekehendaknya dan lemah sekali dalam melaksanakan disiplin pada anak. Ciri pola asuh ini adalah semua keputusan lebih banyak dibuat oleh anak daripada orang tuanya. 16

Anak-anak yang diasuh oleh orang tua yang otoriter banyak menunjukkan ciri-ciri adanya sikap menunggu dan menyerahkan segala-galanya pada pengasuhnya. Di samping sikap menunggu itu terdapat juga ciri-ciri keagresifan, kecemasan dan mudah putus asa. Keluarga yang berpola demokratis dengan yang otoriter dalam mengasuh anaknya, bahwa asuhan dari orang tua demokratis menimbulkan ciri-ciri berinisiatif, berani, lebih giat, dan lebih bertujuan. Sebaliknya, semakin otoriter orang tuanya makin berkurang ketidaktaatan anak, bersikap menunggu, tak dapat merencanakan sesuatu, daya tahan kurang, dan menunjukkan ciri-ciri takut. Jadi setiap pola asuh orang tua akan berpengaruh terhadap anak asuhannya dalam perilaku tertentu, misalnya terjadinya keagresifan pada anak.

d. Pola Asuh Penelantar

Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan

15 Elizabeth B. Hurlock, Op.Cit., hlm. 26. 16

(9)

untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga kadangkala biaya pun dihemat-hemat untuk anak mereka. Termasuk dalam tipe ini adalah perilaku penelantar secara fisik dan psikis pada ibu yang depresi. Ibu yang depresi pada umumnya tidak mampu memberikan perhatian fisik maupun psikis pada anak-anaknya.

3. Penerapan Pola Asuh yang Baik

Anak adalah buah hati orang tua yang merupakan harapan masa depan. Oleh karena itu, anak harus dipersiapkan agar kelak menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, sehat, bermoral dan berkepribadian yang baik berguna bagi masyarakat. Untuk itu, perlu dipersiapkan sejak dini. Anak sangat sensitif terhadap sikap lingkungannya dan orang-orang terdekatnya.

Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua sangat mempengaruhi kepribadian anak. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk mengetahui bagaimana cara mengasuh anak dengan baik sehingga terbentuklah kepribadian yang baik pula. Kepribadian anak terbentuk dengan melihat dan belajar dari orang-orang di sekitar anak. Keluarga adalah orang yang terdekat bagi anak dan mempunyai pengaruh yang sangat besar. Segala perilaku orang tua yang baik dan buruk akan ditiru oleh anak. Oleh karena itu, orang tua perlu menerapkan sikap dan perilaku yang baik demi pembentukan kepribadian anak yang baik.17

Pola asuh yang baik untuk pembentukan kepribadian anak yang baik adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi orang

17

(10)

tua juga mengendalikan anak. Sehingga anak yang juga hidup dalam masyarakat, bergaul dengan lingkungan dan tentunya anak mendapatkan pengaruh-pengaruh dari luar yang mungkin dapat merusak kepribadian anak, akan dapat dikendalikan oleh orang tua dengan menerapkan sikap-sikap yang baik dalam keluarga serta contoh atau tauladan dari orang tua. Orang tua yang bisa dianggap teman oleh anak akan menjadikan kehidupan yang hangat dalam keluarga. Sehingga antara orang tua dan anak mempunyai keterbukaan dan saling memberi. Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, gagasan, keinginan, perasaan, serta kebebasan untuk menanggapi pendapat orang lain. Anak-anak yang hidup dengan pola asuh yang demikian akan menghasilkan karakteristik anak yang dapat mengontrol diri, anak yang mandiri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stres dan mempunyai minat terhadap hal-hal baru. Pengasuhan anak perlu disesuaikan dengan tahapan perkembangan anak. Perkembangan anak dipengaruhi faktor bawaan dan pengaruh lingkungan.18

a. Faktor bawaan

Sifat yang dibawa anak sejak lahir seperti penyabar, pemarah, pendiam, banyak bicara, cerdas atau tidak cerdas. Keadaan fisik seperti warna kulit, bentuk hidung sampai rambut. Faktor bawaan merupakan warisan dari sifat ibu dan bapak atau pengaruh sewaktu anak berada dalam kandungan, misalnya pengaruh gizi, penyakit dan lain-lain. Faktor bawaan dapat mempercepat, menghambat atau melemahkan pengaruh

18

(11)

dari lingkungan. Tidak dapat dibandingkan anak yang satu dengan anak yang lain tanpa memperhitungkan faktor ini.

b. Faktor lingkungan

Faktor dari luar diri anak yang mempengaruhi proses perkembangan anak, meliputi suasana dan cara pendidikan lingkungan tertentu, lingkungan rumah atau keluarganya dan hal lain seperti sarana dan prasarana yang tersedia misalnya alat bermain atau lapangan bermain. Faktor lingkungan dapat merangsang berkembangya fungsi tertentu dari anak yang dapat menghambat atau mengganggu kelangsungan perkembangan anak. Pengaruh yang sangat besar dan sangat menentukan dirinya nanti sebagai orang dewasa adalah ketika anak berusia di bawah 6 tahun, sehingga lingkungan keluarga sangat perlu diperhatikan.

Hakikat mengasuh anak adalah proses mendidik agar kepribadian anak dapat berkembang dengan baik, ketika dewasa menjadi bertanggung jawab. Pola asuh yang baik menjadikan anak berkepribadian yang kuat, tidak mudah putus asa dan tangguh menghadapi tekanan hidup. Sebaliknya pola asuh yang salah menjadikan anak rentan terhadap stres, mudah terjerumus pada hal-hal yang negatif. Mengasuh anak melibatkan seluruh aspek kepribadian anak baik jasmani, intelektual, emosional, keterampilan, norma dan nilai-nilai. Hakikat mengasuh anak meliputi pemberian kasih sayang dan rasa aman, sekaligus disiplin dan contoh yang baik. Karenanya diperlukan

(12)

suasana kehidupan keluarga yang stabil dan bahagia.19

Pola asuh terhadap anak sangat mempengaruhi kepribadian anak. Pola asuh yang baik dapat mendukung pembentukan pergaulan anak, antara lain : a. Penanaman pekerti sejak dini

Orang tua dan keluarga adalah penanggung jawab pertama dan utama penanaman sopan santun dan budi pekerti bagi anak. Baru kemudian, proses penanaman akan dilanjutkan oleh guru dan masyarakat. Ketiga unsur ini hendaknya bekerja sama secara harmonis. Sopan santun harus ditanamkan pada anak sedini mungkin. Sebab sopan santun dan tata krama adalah perwujudan dari jiwa yang berisi nilai moral. “untuk selanjutnya moral akan turut berkembang dengan yang lain dan akan dijadikan nilai sebagai pedoman dalam perilaku keseharian”, ujar Yaumil Achir.20

Penanaman nilai baik dan buruk sebaiknya dilakukan perlahan-lahan, sesuai dengan tahap pertumbuhan anak, daya tangkap dan serap mentalnya. Ajarkan anak bersyukur setelah memperoleh sesuatu, ajarkan kejujuran, sopan santun, mencintai sesama, memelihara, memperbaiki, dan lain-lain.

b. Mendisiplinkan anak

Dengan penerapan disiplin pada anak sejak dini, akan menumbuhkan pribadi anak yang mandiri. Seorang anak akan belajar berperilaku dengan cara yang diterima masyarakat, dan sebagai hasilnya

19 Sujiono, Bagaimana Bersikap Pada Anak Agar Anak Prasekolah Anda Bersikap Baik

(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 14.

20

(13)

anak dapat diterima oleh anggota kelompok sosial mereka. Banyak orang tua yang tidak tahu apa yang harus dilakukannya ketika anak mulai melanggar aturan yang telah diterapkan bersama dalam keluarga, sehingga terjadi reaksi emosional yang akhirnya menimbulkan rasa bersalah orang tua.

c. Menyayangi anak secara wajar

Bagi ayah dan ibu yang bekerja sepanjang hari, atau mempunyai aktivitas sosial/organasasi yang berlebihan, kebanyakan menitipkan anaknya kepada ibu pengganti. Itu bisa berarti nenek atau saudara orang tua sendiri atau menggaji perawat/pengasuh anak. Walaupun tidak menemaninya sepanjang hari, sikap dan perilaku orang tua dalam memberikan kasih sayang sebaiknya dilakukan secara wajar. Jangan memanjakan anak sebagai imbalan atas hilangnya waktu bersama anak akibat kesibukan orang tua. Apalagi memanjakan anak karena merasa berdosa, karena meninggalkan anak seharian.21

d. Menghindari pemberian label “malas” pada anak

Banyak orang tua yang acapkali memberi cap atau label “malas” kepada anaknya. Sebutan ini dapat merugikan anak sebab membuat anak kurang berusaha karena merasa upaya yang dilakukannya tidak akan diperhatikan. Bahkan anak akan berlaku sebagaimana diharapkan melalui label yang disandangnya itu. Label tersebut akan merusak pembangunan konsep diri anak yang dibentuk sejak masa kecil. Oleh karenanya, para

21

(14)

orang tua hendaknya menghindari pemberian label “malas” kepada anaknya. Dengan label itu, anak akan merasa diperlakukan tidak adil menerima cap yang tidak pernah dikehendakinya.22

Hal penting yang harus dilakukan orang tua justru membangun semangat anak. Hal ini dapat dilakukan melalui kepercayaan yang diberikan pada anak melalui kegiatan yang unik serta mengandung tantangan atau dorongan lainnya. Sehingga anak menjadi individu yang mandiri.

e. Hati-hati dalam menghukum anak

Hukuman yang diberikan orang tua kepada anak adalah hukuman yang dapat mendidik anak, bukan hukuman yang dapat membuat anak menjadi trauma. Asumsi bahwa tiap perilaku salah itu disengaja adalah tidak benar. Anak terkadang tidak mengerti apa yang telah dilakukannya itu perilaku yang benar atau salah. Hukuman juga perlu diberikan kepada anak, sehingga anak akan mengetahui perilaku yang telah dilakukannya itu benar atau salah.23

Fungsi hukuman, antara lain:

a. Menghalangi. Hukuman menghalangi pengulangan tindakan yang tidak diinginkan oleh masyarakat. Bila anak menyadari bahwa tindakan tertentu akan dihukum, mereka biasanya urung melakukan tindakan tersebut.

b. Mendidik. Sebelum anak mengerti peraturan, mereka dapat belajar

22 Hendra Surya, Op.Cit., hlm. 9. 23

(15)

bahwa tindakan tertentu benar dan yang lain salah dengan mendapat hukuman karena melakukan tindakan yang diperbolehkan.

c. Motivasi. Pengetahuan tentang akibat-akibat tindakan yang salah perlu sebagai motivasi untuk menghindari kesalahan tersebut.24

4. Pola Asuh yang Menyimpang

Pola asuh yang menyimpang berarti suatu pola yang berbeda dari pola yang umum diantara anak dengan siapa mereka bergaul. Dan karena perbedaan ini, anak merasa bahwa mereka menarik perhatian. Sebagai contoh, anak yang orang tuanya jauh lebih tua dari orang tua teman sebaya atau anak yang mempunyai orang tua tiri sementara teman bermainnya mempunyai orang tua kandung, menginterpretasikan hal ini sebagai tanda mereka berbeda. Pola asuh yang menyimpang berbahaya untuk penyesuaian pribadi dan sosial yang baik. Anak cenderung menilai “perbedaan” itu searti dengan “inferioritas”. Siapa saja yang berbeda dari mereka, dengan standar ini dianggap “inferior”. 25

Bila anak dinilai inferior oleh kelompok teman sabaya, penilaian ini mempunyai pengaruh merugikan pada konsep diri mereka. Mereka menganggap dirinya inferior dari teman sebaya. Penilaian sosial yang tidak menguntungkan juga mempengaruhi tingkat penerimaan sosial yang mampu dicapai anak dalam kelompok teman sebaya. Seberapa besar bahaya pola asuh yang menyimpang terhadap penyesuaian pribadi dan sosial anak akan bergantung pada tiga kondisi yaitu :

24 Harris Clemes, Op.Cit., hlm. 81. 25

(16)

a. Sikap sosial yang umum berlaku terhadap pola kehidupan keluarga yang menyimpang akan mempunyai pengaruh kuat pada sikap teman sebaya. b. Terdapat keragaman menurut kelompok sosial yang memberikan

penilaian.

c. Mencoloknya pola asuh yang menyimpang mempengaruhi si anak dalam penyesuaian sosialnya.

Orang tua yang tidak mengerti dengan pribadi anaknya bisa disebut juga dengan kesalahan pola asuh. Ada tiga kesalahan pola asuh, yakni kesalahan pola asuh, kesalahan pada gen saraf yang dalam pengobatannya membutuhkan waktu lama dengan cara terapi, dan kelambatan daya tangkap. Banyak orang tua yang tidak memberikan anaknya bermain keluar, padahal anak itu perlu bermain. Dalam hal ini kecerdasan emosi anak sudah diredam oleh orang tuanya. Agar anak mau tinggal di rumah, orang tua lalu memberikan play station. Dengan demikian anak bermain dengan benda mati. Akibatnya ketika nanti keluar, dia tidak akan bisa berteman dan individunya menjadi egois. Ciri-ciri anak seperti itu misalnya, tidak bisa duduk tenang dan tidak bisa mendengarkan perintah. Lebih baik anak tersebut bermain bola dengan banyak teman. Dengan begitu akan muncul kerjasama yang baik, muncul sikap demokratisnya, tahu disiplin, dan mampu merasakan kalah-menang.26

26 G. Tembong Prasetya, Pola Pengasuhan Ideal, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2003),

(17)

B. Etika Pergaulan

1. Pengertian Etika Pergaulan

Etika pergaulan berkembang karena adanya dorongan rasa ingin tahu terhadap segala sesuatu yang ada di dunia sekitarnya. Dalam perkembangannya setiap individu ingin tahu bagaimanakah cara melakukan etika pergaulan secara baik dan aman dengan dunia sekitarnya, baik yang bersifat fisik maupun sosial.

Menurut K. Bertens, istilah “etika” berasal dari Yunani kuno. Kata “ethos” (Yunani), dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti yaitu tempat tinggal yang biasa; padang rumput; kebiasaan; adat; akhlak; watak; perasaan; sikap; cara berfikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. Etimologi kata “etika” sama dengan etimologi kata “moral”, karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan.27 Etika adalah ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang jahat.28

Pergaulan merupakan suatu hubungan yang meliputi suatu tingkah laku individu. Pergaulan antar sesama manusia harus bertujuan pada keamanan, ketentraman, kesenangan dan keselamatan. Apabila dalam pergaulan khususnya remaja yang tidak bertujuan pada keamanan, ketentraman, kesenangan dan keselamatan, maka akan menimbulkan suatu pergaulan atau hubungan yang meremehkan moral.29

27 K. Bertens, Etika (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 4.

28

Burhanudin Salam, Etika Individu Pola Dasar Filsafat Moral (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 3.

29

(18)

Menurut Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, etika pergaulan secara istilah diartikan sebagai cara-cara individu beraksi terhadap orang-orang di sekitarnya dan bagaimana pengaruh etika pergaulan itu terhadap dirinya. Etika pergaulan ini menyangkut juga penyesuaian diri terhadap lingkungan, seperti makan dan minum sendiri, berpakaian sendiri, menaati peraturan, membangun komitmen bersama dalam kelompok atau organisasinya, dan sejenisnya.30

Etika pergaulan adalah suatu perbuatan atau tindakan menurut ketentuan-ketentuan Allah SWT dan hukum-hukum Allah SWT yang mengatur mekanisme antara seseorang atau kelompok atau hubungan manusia dengan selain Allah SWT. 31

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa etika pergaulan merupakan suatu hubungan tingkah laku individu yang di dalamnya terdapat suatu norma dan nilai-nilai yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, serta merupakan tolak ukur tingkah laku individu yang di gunakan masyarakat untuk menentukan baik buruknya suatu tindakan manusia.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Etika Pergaulan

Etika pergaulan anak perlu adanya bimbingan dan dorongan serta pengawasan terhadap anak, hal ini memerlukan kerjasama yang baik dan harmonis antara keluarga terutama orang tua, guru dan lingkungan

30 Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik

(Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm. 85.

31 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke tiga (Jakarta:

(19)

masyarakat dimana anak itu berada. Hubungan kerjasama yang baik antara bapak dan ibu dapat menanamkan nilai akhlaqul karimah terhadap anak, maka kerjasama inilah yang sangat diharapkan dalam rangka pembentukan etika pergaulan anak. Suasana yang baik dalam keluarga yaitu terutama tergantung pada bapak dan ibu sebagai pengatur keluarga dan dasar dari seluruh pendidikan keluarga adalah saling cinta mencintai.32

Etika pergaulan mempengaruhi bentuk berbagai sifat. Bila etika pergaulan positif, anak mengembangkan sifat-sifat seperti kepercayaan diri, harga diri, dan kemampuan untuk melihat dirinya secara realistis. Kemudian mereka dapat menilai hubungan dengan orang lain secara tepat dan ini menumbuhkan penyesuaian sosial yang baik. Sebaliknya, apabila etika pergaulan negatif, anak mengembangkan perasaan tidak mampu dan rendah diri. Hal ini menumbuhkan penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk. Oleh karena itu konsep diri merupakan inti dari pola etika pergaulan.33

Sebelum anak masuk sekolah telah banyak pengalaman yang diterimanya dari rumah, orang lain, saudara-saudaranya, serta anggota keluarga lain disamping teman-teman sepermainannya. Semua pengalaman yang dilalui sejak lahir merupakan unsur dari pergaulannya. Oleh karena itu, etika pergaulan anak yang tumbuh tergantung pada pengalamannya dalam keluarga. Sikap dan pengalaman hidup orang tuanya, sopan santun dalam bergaul, baik dalam keluarga maupun masyarakat pada umumnya akan diserap oleh anak dalam pergaulannya. Demikian pula sikap mereka terhadap

32 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Bandung: Remaja Karya

Offset, 2001), hlm. 96.

33

(20)

agama, ketekunan menjalankan ibadah dan kepatuhan kepada ketentuan agama serta pelaksanaan nilai-nilai agama dalam kehidupan agamanya. Maka pembentukan sikap dan aktivitas keagamaan hendaknya ditanamkan sedini mungkin dalam pribadi seseorang.34

Etika pergaulan merupakan ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya, keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan seseorang sejak lahir.35 Syamsu Yusuf menjelaskan bahwa etika pergaulan merupakan integrasi sistem kalbu, akal, dan nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku. Etika pergaulan juga diartikan etika pergaulan yang seluruh aspek-aspeknya baik tingkah laku luarnya, kegiatan-kegiatan jiwanya, maupun filsafat hidupnya dan kepercayaan menunjukan pengabdian kepada Tuhan dan penyerahan diri kepada-Nya.36

Etika pergaulan secara global terbagi dalam tiga aspek, yaitu aspek kejasmanian, aspek kejiwaan dan aspek kerohanian yang luhur.37 Ngalim Purwanto menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi etika pergaulan diantaranya adalah faktor biologis, yang berhubungan dengan keadaan fisik, baik yang berasal dari keturunan maupun yang merupakan

34 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), hlm. 67.

35 Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak Peran Moral Intelektual, dan Sosial Sebagai

Wujud Integritas Membangun Jati Diri (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), hlm. 11.

36 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2005), hlm. 212.

37 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al Ma’arif, 2002),

(21)

pembawaan yang dibawa sejak lahir itu memainkan peranan yang penting pada etika pergaulan seseorang.38

Lingkungan yang berdisiplin baik, sangat berpengaruh terhadap etika pergaulan seseorang. Apalagi seorang yang sedang tumbuh pergaulannya, tentu lingkungan yang tertib, teratur, tenang, tentram, sangat berperan dalam membangun etika pergaulan yang baik. Sikap, perilaku dan pola kehidupan yang baik dan berdisiplin tidak terbentuk serta-merta dalam waktu singkat. Namun, terbentuk melalui satu proses yang membutuhkan waktu panjang.39

Dalam etika pergaulan banyak faktor yang mempengaruhi. Faktor-faktor yang mempengaruhi etika pergaulan ada 4 (empat) yaitu:

a. Faktor keluarga

Keluarga adalah lingkungan pertama yang dikenal oleh seorang anak. Ditempat itu si anak menerima pendidikan dari kedua orang tua. Karena orang tua adalah figur yang dicontoh oleh seorang anak, baik tindakan, cara berbicara, cara berpakaian atau segala gerak-gerik dan tingkah lakunya selalu diperhatikan dan seterusnya ditiru, maka dari itu keluarga merupakan tempat dasar untuk meletakkan dasar nilai-nilai pada seorang anak. Sebagaimana dikatakan sesuai Imam Barnadib “Dasar-dasar kelakuan dari anak didik tertanam sejak didalam keluarga, juga sikap hidup serta kebiasaan-kebiasaannya”.40

38 Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2007), hlm.

160.

39 Mulyono Abdurrohman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar (Jakarta: PT. Rineka

Cipta, 2009), hlm. 96.

40 Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis (Yogyakarta: PT Andi

(22)

Disamping itu juga dikatakan oleh Zakiah Daradjat: “Pembinaan moral terjadi melalui pengalaman-pengalaman dan kebiasaan-kebiasaan yang ditanamkan sejak kecil oleh orang tua, yang mulai pembiasaan hidup sesuai dengan nilai-nilai moral yang ditirunya dari orang tua dan mendapatkan latihan-latihan untuk itu”.41 Maka dari itu dasar kehidupan didalam keluarga jangan sampai meninggalkan dasar-dasar pendidikan yang baik sebab kemajuan perkembangan dari anak didik lebih menguntungkan yang hidup didalam keluarga yang baik.

b. Faktor sekolah (pendidikan formal)

Disamping pendidikan keluarga, sekolah merupakan pendidikan yang kedua baik dalam menanamkan nilai moral maupun memberikan ilmu pengetahuan kepada anak. Guru adalah orang tua yang nomor dua, untuk itu guru mempunyai peran yang sangat tinggi dalam mendidik moral anak. Hal ini diungkapkan oleh Zakiah Daradjat :“Jika seorang guru dan ingin membina moral anak didiknya, ialah harus melaksanakan nilai moral itu dalam hidupnya yang sesuai dengan aturan agama, hidup sopan, beradab dan menjunjung tinggi peri kemanusian, ingin bersatu dalam perkataan dan perbuatannya, jauh dari perpecahan dan memecah. Selanjutnya moral kerakyatan dan keadilan harus tercermin dengan nyata dalam tindakannya menghadapi anak didik”.

41

(23)

c. Faktor pendidikan non formal. Pendidikan non formal ini juga mempengaruhi perilaku seseorang karena ditempat itu juga terdapat pendidikan tidak langsung.

d. Faktor lingkungan masyarakat. Lingkungan masyarakat juga ikut mempengaruhi perilaku atau etika seseorang, bahkan ialah merupakan peranan yang sangat penting dalam membentuk perilaku seorang anak. Setelah pembinaan moral dilaksanakan dalam keluarga, sekolah formal dan non formal maka hendaknya dalam masyarakat dapat terpelihara dan terjamin hidupnya dengan moral yang baik. 42

3. Macam-Macam Etika Pergaulan

Berikut adalah macam-macam etika pergaulan: a. Etika pergaulan yang baik

Contoh etika pergaulan yang baik antara lain:

1) Amanah. Amanah secara bahasa berarti kejujuran, kesetiaan dan kepercayaan. Sedang menurut istilah amanah adalah sifat, sikap dan perbuatan seseorang yang terpercaya atau jujur dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan diatas pundaknya.

2) Ikhlas. Ikhlas menurut bahasa berarti suci, bersih, murni atau tidak tercampur dengan apapun. Sedang menurut istilah ikhlas adalah mengerjakan suatu perbuatan (amal ibadah) semata-mata hanya mengharap keridhoan Allah SWT.

42 Zakiah Daradjat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 2007),

(24)

3) Sabar. Sabar menurut bahasa berarti tabah hati, menahan diri atas keluh kesah dan berani atas sesuatu. Jadi sabar dapat diartikan dengan menerima segala penderitaan dan tabah dalam menghadapi godaan hawa nafsu.

4) Benar/Jujur. Benar/jujur dalam bahasa arab disebut juga sidiq. Secara singkat benar/jujur dapat diartikan dengan menyampaikan segala sesuatu sesuai dengan kenyataan yang ada. Penyampaian tersebut tidak hanya melalui perkataan, tetapi juga dapat melalui lisan, isyarat dan perbuatan.

5) Pemaaf. Istilah pemaaf berasal dari bahasa Arab “al-afwu” yang berarti memberi maaf atau berlapangdada terhadap kesalahan atau kekeliruan orang lain dan tidak memiliki atau menyimpan rasa dendam dan sakit hati kepada orang yang berbuat kesalahan kepadanya.

6) Kasih sayang. Kasih sayang (rahmah) merupakan salah satu sifat asli (fitrah) yang dibawa oleh manusia sejak lahir ke dunia. Kasih sayang adalah perasaan belas kasihan yang tumbuh dalam hati seseorang yang mendorong orang tersebut untuk melakukan sesuatu yang baik. 43 b. Etika pergaulan yang menyimpang

Macam-macam etika pergaulan yang menyimpang antara lain: 1) Dengki (Nasad). Dengki adalah termasuk cabang dari sifat kikir sebab

didalam hal ini pengertian “kikir” ada tiga macam pelakunya yaitu :

43 Imam Suraji, Etika dalam Perspektif Al- Qur’an dan Al- Hadits (Jakarta: PT Pustaka

(25)

a) Bakhiil, yaitu orang yang kikir terhadap harta kekayaannya sendiri, dalam arti tidak suka menolong dengan hartanya kepada orang lain yang membutuhkannya. 44

b) Syahiih, yaitu orang yang kikir terhadap nikmat-nikmat Allah, yakni jika ada seseorang mendapat pemberian dari orang lain, maka ia merasa iri hati dan berusaha menggagalkan pemberian tersebut.

c) Hassud, yaitu orang yang dengki, iri hati terhadap orang lain yang mendapat anugerah dari Allah, berupa ilmu, harta benda, kedudukan, derajat atau pangkat, sehingga ia akan merasa senang apabila anugerah itu sirna dari tangan orang lain sekalipun dengan kedengkiannya ia tidak memperoleh anugerah tersebut.45

2) Riya’ (pamer, berbuat sesuatu tidak karena Allah).

Riya’ adalah satu diantara perbuatan syirik, yakni merupakan perbuatan syirik yang samar. Perbuatan riya’ bermula dari rasa keinginanmu mendapat perhatian sesama makhluk, sehingga engkau mudah memperoleh pangkat, kedudukan dan sanjungan dari orang lain.46 Sejelek-jelek kawan bergaul adalah orang yang jelek budinya walaupun dia itu berilmu (alim).47

44 Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2010), hlm.

348.

45

Imam Al-Ghozali, Wasiat Imam Al-Ghozali (Surabaya: Media Idaman Surabaya, 2006), hlm. 120.

46Ibid., hlm. 122.

47 Labib MZ, Maftuh Ahnan, Kuliah Ma’rifat Mencapai Hidup Sepanjang Masa (Jakarta:

(26)

3) Sombong, takabur dan angkuh.

Sifat-sifat sombong, takabur dan angkuh merupakan suatu penyakit yang berbahaya. Sifat-sifat itu bermula dari kesalahan pertimbangan akal yang memandang seolah-olah yang mulia dan terhormat adalah dirinya sendiri, sedangkan orang lain dinilai dengan pandangan mengejek, menghina, dan merendahkan.

4. Upaya Mengembangkan Etika Pergaulan

Etika pergaulan merupakan rangkaian proses pertumbuhan dan perkembangan yang perlu dipersiapkan dengan baik. Untuk itu perlu dilakukan pembiasaan pengembangan etika pergaulan sebagai berikut:

a. Hidup sehat dan teratur serta pemanfaatan waktu secara baik. Pengenalan dan pemahaman nilai dan moral yang berlaku di dalam kehidupan perlu ditanamkan secara benar.

b. Mengerjakan tugas dan pekerjaan praktis sehari-hari secara mandiri dengan penuh tanggung jawab.

c. Hidup bermasyarakat dengan melakukan etika pergaulan dengan sesama, terutama dengan teman sebaya. Menunjukkan gaya dan pola kehidupan yang baik sesuai dengan kultur yang baik dan dianut oleh masyarakat. d. Mengikuti aturan kehidupan dengan tanggung jawab dan disiplin. e. Melakukan peran dan tanggung jawab dalam kehidupan berkeluarga.48

48 Sunarto dan Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik (Jakarta: PT. Rineka Cipta,

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan yang dilakukan adalah menginformasikan/sosialisasi rencana kegiatan pembangunan kepada pihak-pihak yang diperkirakan terkena dampak (masyarakat sebagian wilayah

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis

Dalam rangka meningkatkan citra, kerja dan kinerja instansi pemerintah menuju ke arah professionalisme dan menunjang terciptanya pemerintahan yang baik ( good

Walaupunnasabah akan akan dikenakan biaya-biaya tambahan untuk penggunaan fasilitas tersebut.untuk mengantisipasi persaingan tersebut maka bank BTN Syariah berupa

Sependapat dengan asumsi Gell, pertunjukan fire dance oleh komunitas Flownesia dapat menjadi iklan dalam sebuah acara, iklan yang dimaksud adalah efek enchanting yang dihasilkan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian biochar berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman 2,5 dan 6 MST, diameter batang, jumlah cabang produktif, bobot biji kering per

Sedangkan menurut (Sagala, 2010:12) ranah afektif adalah kemampuan yang mengutamakan perasaan, emosi, dan reaksi-reaksi yang berbeda dengan penalaran yang terdiri dari

wisatawan muda asal Eropa dan Australia tersebut terkadang mem- bawa akibat yang kurang baik bagi wisatawan. Keamanan mereka temyata kurang terjamin. Beberapa pengalaman