• Tidak ada hasil yang ditemukan

U.D. Rusdi dan E. Harlia Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "U.D. Rusdi dan E. Harlia Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung ABSTRAK"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

CEMARAN BAKTERI DAN

RESIDU ANTIBIOTIKA DAN SULFA PRODUK

RUMAH PEMOTONGAN AYAM DI JAWA BARAT

(

Bacteria Contamination and Residue of Antibiotics and Sulphomanid

in the Product from Poultry Slaughtering House in West Java

)

U.D. Rusdi dan E. Harlia

Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi cemaran bakteri dan residu antibiotika dan sulfa produk dari Rumah Pemotongan Ayam (RPA) dan Tempat Pemotongan Ayam (TPA) yang terdapat di Jawa Barat dan ditinjau dari aspek keamanan pangan. Penelitian dilakukan dengan penarikan sampel dari 5 RPA dan 5 TPA, dengan pengambilan sample secara acak stratifikasi. Data yang diperoleh dianalisis dengan anova, menggunakan rancangan acak lengkap. Peubah yang diukur adalah jumlah bakteri yang terdapat pada kulit dan daging ayam, serta residu antibiotika golongan tetra dan antimikroba golongan sulfa dalam daging dan hati ayam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah bakteri yang terdapat pada kulit dan daging ayam produk RPA maupun TPA berada dibawah batas maksimum cemaran yang direkomendasikan oleh Ditjen POM. Jumlah bakteri yang terdapat pada kulit ayam nyata lebih tinggi dibandingkan dengan yang terdapat pada daging ayam. Rataan kadar residu antibiotik golongan tetra yang terdapat dalam daging dan hati ayam produk RPA maupun TPA berada dibawah batas maksimum residu yang direkomendasikan oleh FAO. Rataan kadar residu antimikroba golongan sulfa yang terdapat dalam daging dan hati ayam produk RPA maupun TPA berada dibawah batas maksimum residu yang direkomendasikan oleh FAO.

Kata kunci : cemaran, residu, rumah pemotongan ayam ABSTRACT

The objective of this research was to evaluate the condition of bacteria contaminant, residues of antibiotic and sulphonamide in the product from poultry slaughtering house in west Java area. Samples were collected from the poultry slaughter house using stratified random sampling. The collected data were analysed using anova based on completely randomized design The results showed that total bacteria in the chicken meat and skin were lower than maximum contaminant limit according to the recommedation of Directorate General of Food and Drug Regulation (Ditjen POM). Moreover, the average of antibiotics tetra and sulphonamide residues in the chicken meat and liver from poultry slaughtering house were lower than maximum residue limit based to the recommendation of FAO.

(2)

PENDAHULUAN

Jumlah rumah pemotongan ayam (RPA) di Indonesia baru ada sepuluh buah, enam diantaranya berada di Propinsi Jawa Barat. RPA yang terdapat di Bogor, Tangerang dan Serang memiliki klasifikasi kelas A. RPA di Tangerang termasuk klasifikasi kelas B. Selain itu masih terdapat beberapa tempat pemotongan ayam (TPA) di setiap kota/kabupaten. Produk RPA dan TPA diduga mengandung cemaran bakteri, juga mengandung residu antibiotik, dan antimikroba (sulfa). Berbeda dengan cemaran bakteri, keberadaan kedua kelompok residu tersebut tidak ada kaitannya dengan proses pemotongan, tetapi akibat proses hulu, yaitu para pemasok ayam/ peter nak yan g men ggun akan an tibiotik dan antimikroba yang kurang bijaksana.

Bagaimanapun juga produk RPA/TPA h ar us diupayakan untuk memen uhi stan dar keamanan pangan. Oleh karena itu, keberadaan residu-residu tersebut dalam produk RPA/TPA perlu mendapat perhatian yang serius. Penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan sudah merupakan kebiasaan dilakukan oleh peternak ayam broiler yang bertujuan untuk memperbaiki tampilan ternak. Antibiotik tidak hanya digunakan untuk pengobatan tern ak tetapi juga untuk menin gkatkan laju per tumbuh an yan g ber dampak positif pada peningkatan produktivitas ternak (FAO/WHO, 1969; Meyer et al., 1977 ).

Aspek keamanan pangan adalah suatu produk yang dituntut tidak hanya bebas dari bibit penyakit, tetapi juga harus bebas dari residu

pestisida, logam berat, hormon maupun obat-obatan hewan termasuk diantaranya antibiotik dan bahan kimia lain yang dapat mengganggu kesehatan manusia (Murdiati dan Bahri, 1991). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi cemaran bakteri dan residu antibiotika dan sulfa produk dari RPA dan TPA yang terdapat di wilayah Propinsi Jawa Barat, ditinjau dari aspek keamanan pangan.

MATERI DAN METODE Materi

Bahan penelitian yaitu kulit, daging dan hati ayam yang berasal dari 92 ekor ayam yang dipotong di tiga RPA kelas A, dua RPA kelas B dan lima TPA di wilayah Propinsi Jawa Barat.

Bahan kimia : untuk perhitungan jumlah bakteri pada kulit dan daging ayam : nutrient agar (Difco), NaCl fisiologis 0,90%, Spiritus. Untuk mendeteksi kadar residu antibiotika : di-Natrium hydrogen phosphat-2 hydrat, asam sitrat, methanol, asam oksalat, aquadest, ammonia 28%, Mcvaine Buffer pH4. Untuk mendeteksi kadar residu sulfa : asetonitril PA, heksan PA, methanol 85%, glass wool, aluminium oxide 60 active basich stage 1 for collum kromatografi, aquadest dan asam asetat.

Alat-alat : seperangkat alat-alat untuk perhitungan jumlah bakteri, deteksi residu antibiotika golongan tetra dan residu antimikroba golongan sulfa.

Metode

Setelah proses pemotongan, untuk sample diambil daging, kulit dan hati ayam. Penarikan Tabel 1. Rataan Jumlah Bakteri pada Daging dan Kulit Ayam (cpu/g)

RPA/TPA Jumlah Bakteri Daging X 103

Jumlah Bakteri Kulit X 103 RPA/A R-1 5,92 6,96 RPA/A R-2 4,49 4,67 RPA/A R-3 4,95 5,24 RPA/B R-4 33,00 10,20 RPA/B R-5 26,96 41,39 TPA R-6 96,18 196,17 TPA R-7 477,00 268,20 TPA R-8 242,75 234,00 TPA R-9 153,63 375,50 TPA R-10 191,12 303,30 Rataan 123,60 144,56 bmr* 1.000 1.000

(3)

sampel dilakukan dengan cara acak stratifikasi berdasarkan kelas RPA. Menghitung jumlah bakteri di laksanakan di laboratorium PEDCA Universitas Padjadjaran dan analisis residu di laksanakan di Laboratorium Toksikologi BALIVET DEPTAN Bogor.

Data jumlah bakteri dan residu antibiotik tetra dan sulfa dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap (Gasperz,1992). Rataan jumlah bakteri dibandingkan dengan batas maksimum cemaran bakteri (bmc) pada kulit dan daging ayam yang direkomendasikan oleh Ditjen POM Rataan residu antibiotika yang dihitung selanjutnya dibandingkan antara batas maksimum residu (bmr) antibiotika golongan tetra (oksitetrasiklin, tetrasiklin dan klortetrasiklin) dalam daging dan hati ayam yang direkomendasikan oleh FAO/WHO (1999). Demikian pula, rataan residu sulfa yang dihitung kemudian dibandingkan dengan batas maksimum residu an timikr oba golon gan sulfa (sulfadimidin , sulfamerazin sulfadiazin dan sulfamonometoksin) pada hati dan daging ayam yang direkomendasikan oleh FAO/WHO (1995)

HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Bakteri Pada Daging dan Kulit Ayam

Hasil pengamatan yang ditampilkan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa rataan jumlah bakteri pada daging dan kulit ayam produk dari berbagai RPA dan TPA yang berada di wilayah Propinsi Jawa Barat berada dibawah batas maksimum cemaran

bakteri. Baik RPA maupun TPA telah berusaha untuk menekan kontaminasi bakteri seminimal mungkin. Ini berarti bahwa RPA maupun TPA telah mematuhi peraturan yang dikeluarkan oleh DIRJEN POM.

Dalam upaya men gevaluasi pen garuh penanganan daging ayam di RPA dan TPA terhadap jumlah bakteri dilakukan sidik ragam dan uji beda nyata terkecil (LSD), hasilnya menunjukkan bahwa penanganan di RPA dan TPA berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap jumlah bakteri pada daging dan kulit ayam. yang disajikan pada Tabel 2 . Pada Tabel 2, untuk daging ayam tampak bah wa R-1, R-2 dan R-3 masin g-masin g mengandung jumlah bakteri yang sangat nyata paling rendah dibandingkan dengan R-4 s/d R-10 Demikian pula R-4 dan R-5 masing-masing mengandung jumlah bakteri yang sangat nyata lebih rendah dibandingkan dengan R-6 s/d R-10. Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah bakteri yang terdapat pada daging ayam produk RPA kelas A dan kelas B maupun TPA, meskipun rataannya sudah memenuhi persyaratan dan lebih rendah dari yang ditetapkan oleh Ditjen POM., namun diantara RPA dan TPA terdapat perbedaan yang sangat nyata. Ini berarti bahwa pada masing-masing RPA dan TPA terdapat perbedaan kinerja. Jumlah bakteri mencerminkan kondisi penanganan di masing-masing RPA dan TPA.

Pada Tabel 2, untuk kulit ayam tampak bahwa R-1, R-2 dan R-3 masing-masing mengandung jumlah bakter i yan g san gat n yata palin g r en dah dibandingkan dengan R-4 sampai dengan R-10. Demikian pula R-4 dan R-5 masing-masing mengandung jumlah bakteri yang sangat nyata lebih

Tabel 2. Uji Beda Nyata Terkecil Jumlah Bakteri Pada Daging dan Kulit Ayam Produk RPA dan TPA (transformasi logaritma)

Bakteri pada Daging Bakteri pada Kulit

RPA/TPA Rataan Sign 1% RPA/TPA Rataan Sign 1%

R-2 3,58 a R-2 3,62 a R-3 3,66 a R-1 3,76 a R-1 3,69 a R-3 3,77 a R-5 4,39 b R-4 4,01 b R-4 4,46 b R-5 4,55 b R-6 4,85 c R-6 5,29 c R-9 4,95 c R-8 5,35 c R-10 5,28 cd R-7 5,40 c R-8 5,38 d R-10 5,44 c R-7 5,67 d R-9 5,49 c

(4)

rendah dibandingkan dengan 6 sampai dengan R-10 . Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah bakteri yang terdapat pada kulit ayam produk RPA kelas A dan kelas B maupun TPA, meskipun rataannya sudah memenuhi persyaratan dan lebih rendah dari yang ditetapkan oleh Ditjen POM., namun diantara RPA dan TPA terdapat perbedaan yang sangat nyata. Ini berarti bahwa pada masing-masing RPA dan TPA terdapat perbedaan kinerja.

Dalam upaya menunjang program sanitasi digunakan desinfektan yaitu larutan klorin ‘food grade’ untuk pencucian karkas. Sesuai dengan pendapat William et al. (1992) dan Winarno (1994)

bahwa klorin bersifat bakterisidal dapat membantu mengontrol bakteri pada karkas yang berasal dari kontaminasi silang antara karkas, jeroan dan tembolok. Sejalan dengan keterangan Betty (1987) bahwa senyawa klorin adalah sanitaiser yang paling banyak digunakan dalam industri makanan. Klorine dapat mengurangi jumlah bakteri (log) bakteri aerob dari 3,20 menjadi 2,51; enterobacteriaceae dari 2,57 menjadi 1,75 ;dan Eschericia coli dari 2,04 menjadi 1,20 (Lillard, 1979 ; William et al., 1992).

Berdasarkan uji t, jumlah bakteri yang terdapat pada kulit ayam berbeda sangat nyata lebih tinggi dibandingkan dengan yang terdapat pada daging Tabel 3. Rataan Kadar Residu Antibiotik Golongan Tetra dalam Daging dan Hati Ayam (ppm)

RPA/TPA Oksitetrasiklin (otc) Tetrasiklin (tc) Klortetrasiklin (ctc)

Rataan R-1 Daging Hati 0,0527 0,2854 0,1678 0,2586 0,0827 0,1746 Rataan R-2 Daging Hati 0,1123 0,2520 0,1361 0,2314 0,1316 0,3143 Rataan R-3 Daging Hati 0,1610 0,3310 0,1339 0,2120 0,1047 0,1981 Rataan R-4 Daging Hati 0.0944 0,2307 0,1426 0,1557 0,1102 0,3004 Rataan R-5 Daging Hati 0,1522 0,2463 0,1354 0.3038 0,0000 0,2594 Rataan R-6 Daging Hati 0,0000 0,0200 0,0140 0,0775 0,0625 0,1005 Rataan R-7 Daging Hati 0,0350 0,4760 0,0310 0,4275 0,1200 0,1839 Rataan R-8 Daging Hati 0,0320 0,0850 0,1035 0,2340 0,0265 0,1925 Rataan R-9 Daging Hati 0,0535 0,0795 0,0000 0,2075 0,0290 0,3920 Rataan R-10 Daging Hati 0,3030 0,3340 0,0240 0,3080 0,0516 0,0690 Rataan semua Daging Hati 0,1107 0,2340 0,0987 0,2416 0,0799 0,2185 bmr* Daging Hati 0,1000 0,6000 0,2000 0,6000 0,2000 0,6000 bmr (SNI, 2000) Daging 0,1000 0,1000 0,1000

(5)

ayam. Hasil ini menunjukkan bahwa permukaan kulit lebih mudah kontak dengan sumber pencemaran, sedangkan daging lebih bersih dan terlindung oleh kulit.

Pencemaran daging pada bagian permukaan karkas oleh mikroba dapat terjadi sejak saat penyembelihan ternak hingga daging dikonsumsi. Di abatoar, sumber kontaminasi dapat berasal dari tanah sekitarnya, kulit (kotoran pada kulit), rambut,

isi saluran pencernaan, dan tempat penyembelihan (Soeparno, 1994; Nurwantoro dan Siregar, 1997). Residu Antibiotik dalam Daging dan Hati Ayam

Hasil penelitian deteksi kadar residu antibiotik golongan tetra dalam daging ayam dan hati ayam produk RPA dan TPA rataannya disajikan dalam Tabel 3. Kandungan residu antibiotik golongan tetra ternyata lebih tinggi yang terdapat dalam hati

Tabel 4. Rataan Kadar Residu Antimikroba Golongan Sulfa dalam Daging dan Hati Ayam (ppm)

RPA/TPA Sulfadiazin Sulfamerazin Sulfadimidin

Sulfamono metoksin Rataan R-1 Daging Hati 0,1576 0,2069 0,0818 0,1775 0,0788 0,1170 0,0707 0,0863 Rataan R-2 Daging Hati 0,0361 0,2009 0,0653 0,1420 0,0388 0,1446 0,0097 0,1353 Rataan R-3 Daging Hati 0,1335 0,1479 0,0488 0,1598 0,0357 0,1387 0,0000 0,0000 Rataan R-4 Daging Hati 0,0752 0,0897 0,0525 0,2406 0,0367 0,0765 0,0000 0,1835 Rataan R-5 Daging Hati 0,2388 0,2691 0,1324 0,2096 0,0485 0,0998 0,1634 0,2274 Rataan R-6 Daging Hati 0,0130 0,0955 0,0265 0,1405 0,0080 0,0655 0,0000 0,0000 Rataan R-7 Daging Hati 0,000 0,000 0,0365 0,1284 0,0165 0,0640 0,0000 0,0000 Rataan R-8 Daging Hati 0,0150 0,0573 0,0230 0,0625 0,0340 0,2660 0,0000 0,0410 Rataan R-9 Daging Hati 0,0680 0,1744 0,000 0,000 0,0954 0,1085 0,1105 0,2690 Rataan R-10 Daging Hati 0,2400 0,2927 0,0160 0,0663 0,0350 0,3200 0,0000 0,0000 Rataan Daging Hati 0,1086 0,1705 0,0404 0,1475 0,0427 0,1401 0,0354 0,0942 bmr* Daging Hati 0,3000 0,3000 0,1000 0,1000 0,3000 0,3000 0,3000 0,3000

(6)

daripada residu yang terdapat dalam daging. Hal ini disebabkan karena organ hati berfungsi sebagai tempat akumulasi. Sesuai dengan rekomendasi dari FAO/WHO (1969) dan penjelasan dari Biyatmoko (1997) bah wa kadar residu an tibiotik yan g terakumulasi di hati dan semua obat akan ditransfer ke hati untuk mengalami proses metabolisme.

Hati mempunyai banyak tempat pengikatan seyawa-seyawa yang tidak bisa detoksikasi atau tidak bisa dieksr esikan. Keadaan tersebut menyebabkan kadar residu obat termasuk antibiotik dalam hati menjadi lebih tinggi dibandingkan kadar residu dalam jaringan lain (Lu, 1995; Doull’s, 1996) . Pada Tabel 3 menjelaskan bmr untuk golongan tetra yang direkomendasikan oleh FAO/ WHO (1999). Oksitetrasiklin (otc) pada daging ayam maksimum adalah 0,1000 ppm; dan pada hati 0,6000 ppm. Sesuai SNI (2000) bahwa bmr otc pada daging adalah 0,1000 ppm. Dilain pihak, hasil penelitian baik di RPA maupun di TPA adalah 0,1107 ppm rataan untuk daging dan 0,2340 ppm adalah rataan untuk hati. Rataan otc dalam daging ayam ternyata sedikit di atas bmr, hal ini terjadi karena otc sering ditambahkan kedalam pakan pada saat terjadi kasus penyakit.

Batas maksimum residu tetrasiklin (tc) untuk daging adalah 0,2000 ppm, dan untuk hati adalah 0,6000 ppm. Menurut SNI (2000) bahwa bmr tc untuk daging 0,1000 ppm sedangkan hasil penelitian untuk daging rataannya 0,0987 ppm dan untuk hati 0,2416 ppm.

Batas maksimum residu klortetrasiklin (ctc) untuk daging adalah 0,2000 ppm; dan untuk hati adalah 0,6000 ppm. Menurut SNI (2000), bmr ctc untuk daging yaitu 0,1000 ppm sedangkan hasil penelitian untuk daging rataannya 0,0799 ppm dan untuk hati 0,2185 ppm. Jadi kandungan residu antibiotik golongan tetra baik pada daging maupun pada hati ayam produk RPA/TPA sudah dibawah bmr, dalam arti telah memenuhi persyaratan kecuali kandungan residu otc dalam daging ayam sedikit diatas bmr.

Hasil sidik ragam menjelaskan bahwa kadar residu tetra dalam hati ayam produk RPA dan TPA tidak berbeda nyata. Hal ini berarti bahwa perlakuan pada saat budidaya di peternakan pemasok, sama menggunakan antibiotik tetra baik sebagai imbuhan pakan, obat dan juga tidak mematuhi waktu henti.

Dari 92 sampel hati dan 92 sampel daging ayam broiler yang dianalisis, diperoleh data bahwa residu antibiotik golongan tetra yang paling banyak ditemukan dalam hati ayam. Residu yang paling banyak ditemukan dalam sampel daging ayam broiler dari antibiotik golongan tetra berturut-turut sebagai berikut : klortetrasiklin 56,5%; tetrasiklin 55,4% dan oksitetrasiklin 54,3%. Sedangkan dalam hati ayam sebagai berikut : oksitetrasiklin 69,6%, tetrasiklin 67% dan klortetrasiklin 66,3%. Data ini men un jukkan bah wa penggunaan an tibiotik tetrasiklin masih banyak digunakan di kalangan peternakan ayam broiler karena beberapa faktor pertimbangan yaitu efisiensi, faktor ekonomi dan penggunaannya praktis. Sesuai dengan pendapat Murtidjo (1992) bahwa penggunaan antibiotik mempunyai peranan penting dalam merangsang pertumbuhan ayam dan sekaligus memperbaiki efisiensi dalam penggunaan makanan. Peningkatan penggunaan antibiotik golongan tetrasiklin pada peternakan ayam broiler diduga terjadi melalui pakan, ditunjang pula kenyataan dilapangan ternyata golongan tetrasiklin dapat meningkatkan efisiensi pakan 5,9 % dan pertambahan bobot badan 7,33 % (Hays, 1981dalam Wiryosuharto, 1990).

Persentase residu antibiotik golongan tetra dalam daging dan hati ayam broiler yang diperoleh pada penelitian ini masih lebih rendah daripada yang dilaporkan oleh Biyatmoko (1997) yaitu persentase residu oksitetrasiklin adalah 89,28%; dan tetrasiklin adalah 70,23%. Namun, residu klortetrasiklin lebih rendah yaitu 28,57%. Perbedaan ini disebabkan sebagian peternak sudah mulai memahami tentang residu yang akan terjadi akibat pen ggun aan antibiotik golongan tetra. Penggunaan tetrasiklin dan oksitetrasiklin menurun di kalangan peternak, sebaliknya penggunaan klortetrasiklin meningkat. Hal ini karena klortetrasiklin tidak menimbulkan efek toksik dalam jangka waktu pendek, cepat diabsorbsi dan hanya 30% yang diabsorsi serta cepat hilang dari jaringan tubuh (FAO/WHO, 1995).

Hasil penelitian Herrick (1993) menunjukkan bahwa terdapat 50% peternak yang tidak mematuhi waktu henti obat. Kejadian di Indonesia diduga akan lebih tinggi lagi persentase peternak yang tidak mematuhi waktu henti obat (Bahri,1994).

(7)

Residu Antimikroba Sulfa dalam Daging dan Hati Ayam

Hasil penelitian kadar residu antimikroba golongan sulfa dalam daging ayam dan hati ayam produk RPA dan TPA rataannnya disajikan dalam Tabel 4. Kandungan residu antimikroba golongan sulfa ternyata lebih tinggi dalam hati daripada dalam daging. Hal ini disebabkan karena organ hati berfungsi sebagai tempat akumulasi toksikan setelah diserap dan dibawa oleh vena porta hati ke hati. Hati mempunyai banyak tempat pengikatan senyawa-senyawa yang tidak bisa didetoksikasi atau tidak bisa dieksresikan. Keadaan tersebut menyebabkan kadar residu obat termasuk antimikroba dalam hati menjadi lebih tinggi dibandingkan kadar residu dalam jaringan lain (Lu, 1995)

Tabel 4 juga menunjukkan bahwa batas maksimum residu untuk golongan sulfa yang direkomendasikan oleh FAO/WHO (1995). Batas maksimum residu sulfadiazin pada daging ayam adalah 0,3000 ppm, dan pada hati yaitu 0,3000 ppm. Hasil penelitian baik di RPA maupun di TPA untuk daging rataannya 0,1086 ppm dan untuk hati 0,1705 ppm. Batas maksimum residu sulfamerazin pada daging ayam adalah 0,1000 ppm, dan untuk hati adalah 0,1000 ppm. Hasil penelitian baik di RPA maupun di TPA rataannya untuk daging 0,0404 ppm dan untuk hati 0,1475 ppm.

Sulfadimdin direkomendasikan maksimum pada daging ayam adalah 0,3000 ppm, dan untuk hati 0,3000 ppm, sedangkan hasil penelitian baik di RPA maupun di TPA rataannya untuk daging 0,0392 ppm dan untuk hati 9,1401 ppm. Sulfamonometoksin direkomendasikan maksimum pada daging ayam adalah 0,3000 ppm, dan untuk hati 0,3000 ppm, sedangkan hasil penelitian baik di RPA maupun di TPA rataannya untuk daging 0,0886 ppm dan untuk hati 0,1571 ppm.

Secara keseluruhan rataan kandungan residu golongan sulfa sudah dibawah bmr, kecuali kandungan residu sulfamerazin pada hati. Kondisi tersebut diatas menunjukkan bahwa peternakan ayam pemasok RPA/ TPA masih menggunakan sulfa pada saat masa pemeliharaan. Sejalan dengan hasil penelitian Murdiati dan Bahri (1996) serta Bahri (1994) bahwa h anya 14,3% peternak yang mengetahui mengenai waktu henti obat, akan tetapi

tidak semua yang mengetahui waktu henti tersebut mematuhinya karena ternyata hanya 8,2% saja yang mematuhinya atau 91,8% yang tidak mematuhi.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa kadar residu sulfa dalam hati ayam produk RPA dan TPA tidak berbeda nyata. Hal ini berarti bahwa perlakuan yang dilaksanakan di RPA baik kelas A maupun kelas B dan di TPA, tidak menimbulkan pengaruh yang ber beda n yata ter h adap kan dun gan r esidu antimikrobial sulfa yang terdapat dalam hati ayam

Dari 92 sampel daging dan 92 sampel hati ayam broiler yang dianalisis, diperoleh data bahwa residu dari kelompok sulfa yang terdapat dalam daging dan hati ayam berturut-turut sebagai berikut : sulfadimidin ( 63,0% dan 69,6% ) sulfamerazin (57,6% dan 67,4%), sulfadiazin (42,4% dan 56,5%) dan sulfa monometoksin (27,2% dan 33,7%) .

Persentase residu sulfa dalam daging dan hati ayam broiler yang diperoleh pada penelitian ini masih lebih rendah daripada yang dilaporkan Gustaf (1990). Dalam daging ayam persentase residu sulfadiazin 100%; Sulfamerazin 80,75%; sulfadimidin 100% dan sulfamonometoksin 64,1%. Dalam hati ayam per sen tase residu sulfadiazin 100%; Sulfamerazin 98,08%; sulfadimidin 94,23% dan sulfamonometoksin 96,15%.

Perbedaan ini disebabkan sebagian peternak sudah mulai mengerti tentang residu yang akan terjadi akibat penggunaan sulfa. Penggunaan sulfadiazin, sulfamerazin, sulfadimidin serta sulfamonometoksin menurun di kalangan peternak. Spence (1993) mengungkapkan bahwa sekitar 35,4% pemakaian obat antimikroba tidak dilakukan secara tepat.

Sulfonamida adalah obat antimikroba derivat para-aminobenzen -sulfonamid (sulfanilamid) yang digunakan secara sistemik maupun topikal untuk mengobati dan mencegah beberapa penyakit infeksi. Pada bidang peternakan sulfonamida sering digunakan dengan tujuan pengobatan ataupun sebagai aditif pakan. Pemberian sulfonamida pada ternak dapat menyebabkan terjadinya residu apabila dalam penggunaannya tidak mematuhi waktu henti. Preparat sulfa digunakan pada peternakan ayam selain sebagai aditif pakan, untuk pengobatan koksidiosis, snot, tipus unggas dan pullorum ( Triakoso, 1993). Penggunaan sulfa yang tidak

(8)

mematuhi waktu henti merupakan awal terbentuknya residu terutama dalam hati ayam sebagai organ akumulasi.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Rataan jumlah bakteri yang terdapat pada kulit dan daging ayam produk RPA maupun TPA di Jawa Barat, sudah dibawah batas maksimum cemaran bakteri yang direkomendasikan oleh Ditjen POM. Jumlah bakteri pada kulit ayam sangat nyata lebih tinggi dibandingkan dengan pada daging.

2. Rataan kadar residu antibiotik golongan tetra yang terdapat dalam daging dan hati ayam produk RPA maupun TPA di Jawa Barat, sudah dibawah batas maksimum cemaran yang direkomendasikan oleh FAO/WHO.

3. Rataan kadar residu antimikroba golongan sulfa yang terdapat dalam daging dan hati ayam produk RPA maupun TPA di Jawa Barat, adalah dibawah batas maksimum r esidu yan g direkomendasikan oleh FAO/WHO.

4. Presentase residu antibiotik golongan tentra dan antimikroba golongan sulfa dari Produk RPA dan TPA yang berada di Jawa Barat ditemukan:

a. Dalam daging klortetrasiklin (56,5%), tetrasiklin (55,4%), oksitetrasiklin (54,3%), sulfadimidin (63,%), sulfamerazin (57,6%), sulfadiazin (42,4%), dan sulfamonometoksin (27,2%).

b. Dalam hati klortetrasiklin (66,3%), tetrasiklin (67,0%), oksitetrasiklin (69,6%), sulfadimidin (69,6%), sulfamerazin (67,4%), sulfadiazin (56,5%), dan sulfamonometoksin (33,7%).

Dagin g ayam produk RPA tidak per lu dikhawatirkan terhadap cemaran bakteri dan residu antibiotik dan sulfa

.

DAFTAR PUSTAKA

Bahri, S. 1994. Residu Obat Hewan pada Produk Ternak Dan Upaya Pengamanannya. Balai

Betty. 1987. Sanitasi Dalam Industri Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor Bekerja Sama Dengan Lembaga Sumberdaya Informasi Institut Pertanian Bogor, Bogor. Biyatmoko. 1997. Telaah Tingkat Residu Antibiotika

Golongan Tetrasiklin Pada Karkas dan Hati Ayam Broiler Yang Diperdagangkan Di Kotamadya Bogor. Tesis Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Doull’s, C. 1996.Toxycology The Basic Science of

Poisons. Curtis D. Klaassen (Ed). Fifth Edition. Health Profesion Division. Mc. Graw-Hill. New York.

FAO/WHO. 1995, and 1999. Evaluation of Certain Veterinary and Residues in Food. Forty and Fiftieth Report of The Join FAO/WHO Expert Committee on Food additiveWHO Technical Report Series 851and 888. WHO, Geneva . FAO/WHO. 1969. Specifications for the Identify and

Purity of Food Additives and their Toxicological Evaluation Some Antibiotics. Twelfth Report. of the joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives. World Health Organization, Geneva.

Gaspersz, V. 1992. Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan. Jilid 2. Edisi Pertama. Penerbit Tarsito, Bandung.

Gustaf, F. 1990. An alisis Residu Beberapa Sulfonamida pada Ayam Broiler, Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Universitas Indonesia, Jakarta.

Herrieck, J. B. 1993. Food for thought for Food Animal Veteranians. Violative Drug Residues The Record of Food Animal Practitioners Look Good. JAVMA 203 (8) : 1122-1123.

Lillard, A. 1979. Effect on Carcasses and Water of Treating Chiller Water with Chlorine Dioxide. Poultry Sci. 59 : 1761-1766.

(9)

Lu, F.C. 1995. Toksikologi Dasar. Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Risiko. Edisi Kedua. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Meyer, J.L., N. H. Booth, and L. E. Mc Donald. 1977.

Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Fourth Edition. Oxford & IBH Publ. Co. New Delhi Bombay Calcuta.

Murdiati dan Bahri. 1991. Pola Penggunaan Antibiotika Dalam Peternakan Ayam Di Jawa Barat Kemungkinan Hubungan Dengan Masalah Residu. Kongres Ilmiah ke-8 Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. Jakarta 4-6 November 1991.

Murtidjo, B.A. 1992. Pengendalian Hama dan Pen yakit Ayam Pen er bit Kan isius. Yogyakarta.

Nurwantoro dan A.D. Siregar, 1997. Mikrobiologi Pangan Hewani Nabati. Penerbit Kanisius. SNI. 2000. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan

Batas Maksimum Residu Dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Standar Nasional Indonesia. SNI No.01 - 6366-2000. Dewan Standardisasi Nasional. Jakarta.

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Spence, S. 1993. Antimicrobial Residu Survey 1992.

Perspective18. London

Strohl, W.R.1997. Biotechnology of Antibiotics. Second Edition. Marcel Dekker, Inc. New-York- Basel-Hongkong.

Triakoso, B. 1993. Manual Kesehatan Unggas. Panduan Bagi Petugas Teknis. Penyuluh dan Peternak. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Winarno, F. G., dan Titi Sulistyowati Rahayu 1994. Bahan Tambahan untuk Makanan dan Kontaminan. Diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan bekerjasama dengan Pusat Antar Univeritas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Wiryosuhar to 1990. Tin jauan Pen ggunaan Antibiotika di Indonesia Saat ini dan yang Akan Datang. Dalam Kumpulan Makalah Seminar Nasional Penggunaan Antibiotika Dalam Bidang Kedokteran Hewan. Jakarta.

Gambar

Tabel 3. Rataan Kadar Residu Antibiotik Golongan Tetra dalam Daging   dan Hati Ayam (ppm) RPA/TPA  Oksitetrasiklin (otc)  Tetrasiklin  (tc)  Klortetrasiklin (ctc)  Rataan R-1  Daging  Hati  0,0527 0,2854  0,1678 0,2586  0,0827 0,1746  Rataan R-2  Daging  H
Tabel 4. Rataan Kadar Residu  Antimikroba Golongan Sulfa dalam Daging  dan Hati Ayam                (ppm)

Referensi

Dokumen terkait

Deskripsi wujud tindak tutur ilokusi mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar dalam proses perkuliahan dalam

Program kemitraan dalam pengeloaan limbah B3 yang selanjutnya disingkat KENDALI B3 adalah program secara kebersamaan antara Bapedal, Pemerintah daerah dan badan usaha

Judul : PENGARUH PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL) DILENGKAPI DENGAN KOMPENDIUM AL-QUR’AN TERHADAP MINAT DAN PRESTASI BELAJAR SISWA (Pokok Bahasan

d) Penggunaan fitur Update status bagi pengguna FB Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan bahwa motivasi responden untuk mengupdate status atas dasar

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kreativitas merupakan kemampuan seseorang dalam menuangkan ide atau gagasan melalui proses berpikir kreatif

Setelah itu, anda diminta untuk bersabar, pada saat proses instalasi berlangsung akan menampilkan seperti berikut.. Ini adalah tampilan yang menunjukkan bahwa proses instalasi

Ice Skating Center adalah suatu tempat atau wadah yang digunakan oleh masyarakat melakukan aktivitas olahraga di mana wadah tersebut menyediakan wahana untuk bermain dan

Tanda koma dipakai untuk memisahkan kata seru seperti o, ya, wah, aduh, dan kasian, atau kata-kata yang digunakan sebagai sapaan, seperti Bu, Dik, atau Mas dari kata lain yang