• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANPA ANTISIPATI PENGEMBANGAN PARIWISATA minat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TANPA ANTISIPATI PENGEMBANGAN PARIWISATA minat"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL IMNU NO.3. 14/I/2017

TANPA ANTISIPATI, PENGEMBANGAN PARIWISATA PENUH POTENSI

BENCANA SOSIAL BAGI MASYARAKAT PACITAN

M. Fashihullisan

Kontributor Intelektual Muda NU

Email: fashihullisan1983@gmail.com

Ringkasan

Pariwisata merupakan aktivitas ekonomi yang cepat berkembang dan menguntungkan bagi daerah-daerah destinasi wisata. Semua sektor ekonomi bergerak, karena pariwisata adalah cara motivasi yang paling mudah bagi orang dari daerah lain untuk membelanjakan uang lebihnya pada daerah destinasi wisata. Godaan keuntungan ekonomi inilah yang menjadikan semua daerah berlomba-lomba menjadikan daerahnya destinasi wisata yang ungul dan menarik agar menjadi tujuan utama para wisatawan.

Kue manis pariwisata ternyata menyimpan racun berbahaya bagi kehidupan sosial masyarakat. Migrasi, konsumerisme, perubahan nilai dan kelembagaan sosial, prostitusi, penularan penyakit seks menular dan berbagai macam masalah sosial lainnya merupakan segudang masalah dibalik glamoritas pariwisata. Pemerintah daerah dan segenap masyarakat harus melakukan langkah-langkah antisipatif agar legitnya pariwisata tidak berubah menjadi bencana sosial yang sulit untuk diobati.

Pendahuluan

Pacitan merupakan daerah yang mayoritas masyarakatnya masih pedesaan dan agraris sehingga sebagian besar penduduknya bertempat tinggal di pedesaan. Kondisi pedesaan juga menjadikan masyarakat Pacitan sebagian besar berprofesi sebagai petani. Hanya sebagian kecil masyarakat Pacitan yang berprofesi lain dan tinggal di perkotaan, sehingga warna sosial pedesaan Pacitan cukup dominan.

(2)

JURNAL IMNU NO.3. 14/I/2017

yang sama yaitu pedesaan. Kekerabatan masyarakat Pacitan juga cukup tinggi karena mereka harus sama-sama bekerjasama agar terjamin keamanan hidup dan kelangsungan hidupnya.

Sisi lain dari Pacitan yang merupakan daerah agraris pedesaan, Pacitan terkenal dengan daerah seribu goa. Salah satu goa yaitu Goa Gong cukup terkenal tidak hanya di tingkat nasional bahkan telah dikenal di tingkat international. Hal ini menjadi magnet bagi pariwisata baik di tingkat nasional bahkan di tingkat global.

Selain keberadaan banyak goa indah di Pacitan, sebagai daerah yang berada langsung menghadap ke pantai selatan Jawa dan juga Samodra Hindia, Pacitan memiliki pesona pantai-pantai yang Indah. Pantai Soge, Watu Karung, Klayar, Pidaan, Teleng Ria dan spot-spot yang lain menawarkan pesona keindahan, dengan karang-karang, pasir putih dan juga ombak yang menggunung tinggi. Wisata pantai inilah yang menjadi magnet kuat bagi datangnya turis-turis asing di Pacitan.

Kedatangan turis asing tersebut menjadikan munculnya kegiatan positif baru yaitu selancar sehingga akhirnya mereka banyak yang menjadi bertempat tinggal cukup lama di Pacitan. Aktivitas selancar juga mulai dilakukan oleh orang-orang lokal Pacitan dengan pelatihan dari para turis tersebut. Hal iniliah yang menjadikan interaksi sosial yang cukup intens di Pacitan, antara penduduk lokal Pacitan dan para turis.

Intensitas interaksi yang cukup tinggi antara turis asing dengan penduduk juga disinyalir banyak yang akhirnya berpasangan dengan orang lokal, baik sampai pada ikatan pernikahan maupun hanya pasangan tidak formal. Persinggungan yang cukup intens antara turis asing dengan penduduk lokal inilah yang tentu akan berpengaruh pada pergeseran-pergeseran dan perubahan sosial di Pacitan. Turis asing yang merupakan seseorang yang sedang berwisata atau liburan tentu saja berbeda perilakunya dengan penduduk lokal. Turis asing yang sedang libur ini akan membawa budaya konsumerisme dan juga budaya barat yang dibawa dari negeri asalnya. Seks bebas, pergaulan bebas, individualisme merupakan salah satu budaya yang banyak mereka anut dan tentu saja akan berpengaruh dengan perilaku penduduk lokal Pacitan.

(3)

JURNAL IMNU NO.3. 14/I/2017

perubahan ekonomi baru di Pacitan. Inilah yang kemudian juga menjadikan perubahan struktur sosial, struktur ekonomi, dan juga perubahan kelas sosial. Ini yang menjadikan adanya pertumbuhan ekonomi, tetapi di sisi lain juga berpotensi memunculkan konflik sosial.

Pacitan sebagai destinasi wisata baru tentu saja akan menyerap banyak tenaga kerja baru di sektor hiburan dan pariwisata. Inilah yang kemudian menarik minat bagi pendatang dari daerah lain untuk datang ke Pacitan. Peluang menjadi pekerja karaoke, wanita panggilan, pedagang narkoba dan beberapa bentuk pekerjaan lain yang dianggap menguntungkan dalam bisnis pariwisata. Sebagai pendatang yang intens di dunia hiburan dan pariwisata, serta tidak ada beban sosial karena bukan penduduk asli, tentu saja nampak di permukaan membawa juga budaya negatif seperti kebebasan berbusana, seks bebas, hura-hura, mabuk-mabukan, dan hal lain yang nampak secara kasat mata. Ini akan membawa dampak yang cukup besar, karena justru banyak penduduk asli Pacitan terutama remaja yang akhirnya ikut-ikutan.

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa Pariwisata yang semula diharapkan bagi Pacitan mendongkrak pertumbuhan ekonomi, justru berdampak sosial yang cukup besar dan akan menjadikan beban ekonomi di kemudian hari. Bencana sosial akibat pergeseran sosial yang mengarah ke hal negatif tentu saja sulit untuk disembuhkan dan beberapa dampaknya justru menjadikan masyarakat terpuruk. Pariwisata yang semula disajikan untuk pengunjung pada sangat berpotensi untuk dinikmati oleh penduduk asli Pacitan, sehingga hal ini berdampak pada penurunan SDM karena rendahnya motivasi pendidikan, dan hal-hal lain yang perlu diantisapasi. Oleh karena itulah diperlukan langkah-langkah antisipasi sebelum pariwisata justru berubah menjadi bencana.

Diferensiasi Struktural Institusi Keluarga

Desa yang digambarkan sebagai gambaran kehidupan keluarga yang saling berinteraksi, berkerabat dan bekerjasama oleh Hayami dan Kikuchi (1987), ternyata oleh

(4)

JURNAL IMNU NO.3. 14/I/2017

Desa sebagai satu kesatuan yang mewadahi insider, maka akan terjadi kesadaran komunal diantara mereka untuk saling mendukung. Masalah bagi seseorang atau suatu keluarga akan direspon oleh seluruh penduduk desa secara komunal dengan cara saling mendukung dan menawarkan solusinya. Oleh karena itulah desa-desa secara komunal bisanya memiliki aturan lokal yang akan ikut mengantisipasi terjadinya kegagalan keluarga inti dalam pengelolaan keluarga. Popkin (1986), melihat ini sebagai manajamen komunal dalam bentuk partisipasi sistematis yang kolektif.

Sebagai contoh saat salah seorang anggota keluarga mengalami penyimpangan sosial, misalnya melalui perselingkuhan maka masyarakat desa secara bersama-sama akan mengantisipasi dengan mulai melakukan pengendalian sosial dan pada saat pengendalian sosial tersebut tidak lagi efektif segera melakukan sanksi sosial. Pengendalian sosial itu biasanya dalam bentuk cemooh, pergunjingan atau nasehat, sedangkan sanksi sosial biasanya dengan penggerebekan, pengasingan atau denda-denda. Inilah yang seringkali bermanfaat bagi anggota keluarga inti untuk mengelola keluarga intinya untuk tidak mengalami kegagalan. Suatu daerah yang berubah menjadi daerah wisata akan menjadi tidak terlalu jelas batas antara insider dan out sider. Batas ini mulai luruh, karena penduduk asli harus berbagi ruang hidup dengan pendatang, karena tanpa berbagi tentunya pariwisata tidak akan mampu bekerja. Hal inilah yang menjadikan pergeseran yang luar biasa dalam kehidupan penduduk pedesaan di Pacitan terutama dalam ikatan kekerabatan luas masyarakat sebagai penduduk desa atau insider.

Lembaga keluarga akhirnya merampingkan diri, dari yang semula merupakan keluarga besar, yaitu keluarga-keluarga di dalam desa yang saling berkerabata dan saling mendukung menjadi unit keluarga mandiri. Kehancuran kekerabatan besar inilah yang kemudian menjadikan keluarga inti harus membuat pemisah yang jelas dengan keluarga lain. Pergeseran lembaga keluarga baru di pedesaan ini berdampak besar pada daya tahan mereka terhadap hal-hal baru.

(5)

JURNAL IMNU NO.3. 14/I/2017

disampaikan oleh Suwarsono dan Y. So ( 1991) sebagai gejala differensiasi struktural institusi keluarga.

Perubahan inilah yang menjadikan belum siapnya banyak keluarga di pedesaan Pacitan, apalagi perkembangan pariwisata yang massif dengan cepat memporak-porandakan tatanan kehidupan pedesaan dengan cepat termasuk juga cepatnya terjadi gejala differensiasi struktural institusi keluarga. Banyak keluarga yang sebetulnya masih memerlukan dukungan dari kerabat untuk membantu pengelolaan keluaga inti mereka, tetapi ternyata dukungan komunal sudah tidak tersedia lagi. Masing-masing keluarga sudah berkonsentrasi pada diri mereka sendiri sehingga tidak ada lagi kesadaran saling dukung secara komunal di masyarakat desa.

Bagi keluarga yang sudah memiliki kesiapan infrastuktur maupun suprastruktur kehidupan, misalnya pada keluarga yang sudah terdidik, mapan secara ekonomi menjadi hal yang tidak terlalu bermasalah. Akan tetapi pada keluarga yang belum siap, mereka akhirnya tidak mampu mengendalikan perilaku anggota keluarga utamanya ataupun anak-anak dalam keluarga. Kondisi yang demikian biasanya menjadikan disharmoni dalam keluarga, perceraian atau munculnya anak-anak yang menyimpang atau bahkan anak-anak terlantar. Benteng pertahanan keluarga sudah tidak lagi mampu menjaga anggota keluarga untuk loncat pagar sehingga tidak lagi selaras dengan kehidupan keluarga yang diharapkan.

Gejala ini salah satunya terlihat dari penelitian yang dilakukan oleh Fashihullisan dan Martini (2014), dalam penelitian mengenai seks bebas pada remaja di Pacitan. Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa orang tua di Pacitan terlihat mulai tidak mampu mengendalikan anaknya sehingga menjadi berperilaku seks bebas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan menjamurnya fasilitas hotel sebagai konsekuensi Pacitan sebagai daerah wisata menjadi gempuran nyata bagi keluarga untuk menjaga anaknya dari perilaku seks bebas. Sementara di sisi yang lain, masyarakat secara umum sudah tidak lagi peduli dengan perilaku remaja yang melakukan seks bebas, sebagai akibat rusaknya komunalisme desa akibat gejala diferensiasi struktural keluarga.

(6)

JURNAL IMNU NO.3. 14/I/2017

masalah-masalah lain yang terus menghantui dari gejala ini. Meskipun belum tersaji data empiris secara nyata, kita bisa merasakan mayoritas keluarga inti di Pacitan belum siap berhadapan langsung dengan fenomena-fenomena ini diantara gejala melemahnya komunalisme desa tradisional.

Gejala ini sebuah keniscayaan untuk dihentikan, karena cepat atau lambat juga akan terjadi. Hanya saja pariwisata membawa energi percepatan bagi gejala ini, sehingga diperlukan langkah solutif untuk melakukan penanganan. Hal utama yang harus dilakukan adalah keluarga-keluarga inti harus mulai dikuatkan untuk menghadapi faktor eksternal yang masif tersebut, sehingga mampu menghadapi perubahan dengan mandiri. Mereka harus segera disadarkan bahwa daya dukung komunal dari desa tradisional sudah hilang, sehingga tidak ada pilihan lain untuk menjaga anggota keluarga ini secara mandiri agar tidak terjadi kegagalan. Penyadaran ini harus dilakukan secara bersama-sama oleh pemangku kepentingan di Pacitan, mulai dari tokoh masyarakat, sekolah, akademisi, peneliti, pemerintah daerah, aparat keamanan, ormas, mahasiswa dan lembaga-lembaga lain yang memiliki otoritas dan kekuatan untuk melakukan penyadaran dan dukungan.

Keluarga sebagai suatu lembaga sosial sebagaimana definisi dari Miller (2010), institutions are used to refer to a miscellany of social forms, including conventions, rituals,

orga izatio s, a d syste s of orga izatio s”. Dari definisi tersebut maka penguatan lembaga

keluarga harus dilakukan pada penguatan keorganisasian keluarga inti melalui penguatan

formulasi sosial, kesepatakan-kesepakatan maupun ritual-ritual dalam keluarga. Hal ini tentu saja

sulit dilakukan apabila di Pacitan masih terdapat gejal pernikahan dini sebagaimana yang masih

sering terjadi akibat tradisionalisme atau pernikahan dini dari akibat seks bebas pada remaja.

Transformasi menuju Daerah Kapitalis

A i 1 , dala tulisa ya ya g erjudul Unequal Development: An Essay on the Social Formation of Peripheral Capitalisme, e ya paika teori te ta g teori peraliha

(7)

JURNAL IMNU NO.3. 14/I/2017

Gejala ini tentu saja dapat dengan cepat terjadi di Pacitan melalui lokomotif pariwisata-nisasi. Pariwisata yang semula berjalan secara tradisional dan kurang menarik bagi investor menjadi menarik untuk dikembangkan karena menjanjikan keuntungan yang berlipat. Pemodal melakukan segala cara untuk mengambil alih potensi-potensi keuntungan pariwisata dan dengan cepat terjadi gejala penurunan partisipasi dan peminggiran masyarakat lokal pada pariwisata.

Fenomena ini sudah mulai nampak gejala awalnya dengan kemunculan-kemunculan pemilik kapital dari daerah lain atau bahkan dari orang asing yang menamkan modalnya di sektor pariwisata di Pacitan. Pembelian tanah di sekitar obyek-obyek wisata dilakukan oleh para pemodal, sehingga penduduk lokal Pacitan mulai tidak memiliki sumberdaya untuk ikut berpartisipasi dan berkontribusi dalam perkembangan pariwisata di Pacitan. Perusahaan global juga sudah ada yang mulai ikut menikmati pengelolaan pariwisata di Pacitan, sehingga tidak ada lagi partisipasi dari masyarakat lokal Pacitan.

Masyarakat Pacitan sangat berpotensi hanya sekedar penonton dalam industri besar pariwisata di Pacitan. Pengalaman yang masih terbatas dalam kewirausahaan di sektor pariwisata menjadikan mereka hanya berada di pinggiran, sedangkan keuntungan-keuntungan besar dari Pariwisata diboyong keluar dari Pacitan. Inilah lingkaran setan yang kemungkinan akan dihadapi oleh masyarakat Pacitan, karena pada satu sisi faktor finansial sangat berpengaruh pada pengembangan sumberdaya manusia akan tetapi pada sisi lain akses finansial sulit untuk didapatkan karena adanya dominasi ekonomi oleh aktor-aktor di luar Pacitan.

Penjelasan dalam istilah yang kasar, penduduk lokal hanya mendapatkan tetesan dari pariwisata sehingga mereka menjadi buruh di daerah mereka sendiri sehingga tidak mampu melepaskan diri dari ekonomi kapitalistik yang hegemonik pada pengelolaan Pariwisata. Apabila ini terus terjadi maka akan mendorong mereka untuk terjebak dalam trafficking, prostitusi, dan juga under capacity yang juga seringkali kita jumpai di sejumlah daerah-daerah wisata,sehingga akan berdampak panjang bagi kehidupan masyarakat Pacitan.

(8)

JURNAL IMNU NO.3. 14/I/2017

pemerintah daerah dapat juga mengambil manfaat dari pertumbuhan ekonomi masyarakat Pacitan. Pemberdayaan sebagaimana teori dari Ife (2002) memiliki beberapa prinsip diantaranya adalah: prinsip ekologis, prinsip keadilan sosial, prinsip kelokalan, prinsip berorientasi proses, dan prinsip hubungan global-lokal.

Prinsip-prinsip pemberdayaan dalam pariwisata di Pacitan ini harus mampu diterapkan oleh semua pemangku kepentingan, utamanya pemerintah daerah yang memiliki otoritas dalam pengelolaan dan pengembangan pariwisata di Pacitan. Kelima prinsip ini harus mampu ditegakkan dalam semua regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Begitu juga kelima prinsip ini menjadi panduan bagi pemerintah daerah dalam mengembangkan keberdayaan seluruh masyarakat Pacitan dalam sektor pariwisata.

Kesimpulan

Glamoritas pariwisata merupakan jalan pintas bagi daerah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi sebagaimana juga di Pacitan. Pariwisata telah menyebabkan perubahan yang sangat cepat dalam banyak hal sehingga diperlukan langkah-langkah antisipasi. Tidak adanya antisipasi atau kegagalan antisipasi berdampak besar pada bencana sosial yang sulit untuk disembuhkan dan berdimensi jangka panjang.

Terdapat dua aspek yang penting untuk dilakukan langkah antisipasi dalam perkembangan pariwisata yang sangat cepat yaitu pada titik pangkal pergeseran struktur institusi keluarga dan perubahan menuju daerah apitalistik. Kedua hal tersebut membawa dampak ya g ukup esar sehi gga aka e awarka dua piliha yaitu restrukturalisasi

atau destrukturalisasi . I ilah piliha ya g harus diperhitu gka oleh se ua pe a gku

(9)

JURNAL IMNU NO.3. 14/I/2017 Daftar Pustaka

Amin, Samir. 1976. Unequal Development: An Essay on the Social Formation of Peripheral Capitalism. Monthly Review Press. New York.

Fashihullisan, M. & Martini. 2014. Model Pemberdayaan dalam Penanggulangan Perilaku Seks Bebas Pelajar di Pacitan. Jurnal Penelitian Pendidikan Vol. 6, No. 2, Desember 2014. Hal. 994-1004.

Hayami, Yujiro & Kikuchi, Masao. 1987. Dilema Ekonomi Desa Suatu Pendekatan Ekonomi Terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Ife, Jim. 2002. Community Development: Community-based Alternatives in Age of Globalisation. Longman. Australia.

Miller, S. 2010. The Moral Foundation of Social Institutions A Philosophical Study. Cambridge University Press. UK.

Popkin, Samuel L. 1986. Petani Rasional. Lembaga Penerbitan Yayasan Padamu Negeri. Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Pembagian dividen tunai dengan rasio dividen tunai adalah setiap 1 (satu) saham akan memperoleh

dibuktikan pada penelitian yang dilakukan oleh Shan, et al (2008) yang meneliti aktivitas antibakteri dan kapasitas antioksidan dari tanaman obat kulit batang

Tujuan dari penelitian ini yaitu Untuk menjadikan kualitas pembelajaran PKN dengan pendekatan inkuiri dengan berbantuan media video meningkat pembelajaran pada siswa

Pengenaan pajak atau pemberian subsidi atas suatu barang yang diproduksi/dijual akan mempengaruhi keseimbangan pasar barang tersebut, mempengaruhi harga keseimbangan

Pembuatan, karakterisasi, dan uji aktivitas antimikroba serta antioksidan asap cair dari cangkang sawit (Elaeis gueneensis jack), dilakukan dengan tujuan utama

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola hidup masyarakat dengan terjadinya sembelit, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat

[r]

Bahan tambahan pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai bahan makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak