• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnalisme Publik Cita cita dan Kritik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Jurnalisme Publik Cita cita dan Kritik"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

15

Jurnalisme Publik: Cita-cita dan Kritik

1

Gilang Desti Parahita

SAAT artikel ini disusun, publik Amerika Serikat (AS) dan dunia dikejutkan dengan kemenangan Donald Trump kandidat presiden dari Partai Republik atas kursi kepresidenan AS2. Tak hanya warga AS, banyak pimpinan dari berbagai negara terkejut dengan kekalahan Hillary Clinton pada pemilihan presiden ke-45 tersebut. Karena kemenangan Trump yang ‘tak disangka-sangka’ tersebut, sejumlah pengamat tak hanya mengkritisi lembaga polling melainkan juga media massa maupun online AS.

Pemberitaan media AS memberikan pesan berbeda selama pra-pemilihan, bahwa Clinton-lah yang akan memenangkan pertarungan, sehingga banyak elemen publik yang terlalu meyakininya dan tidak mewaspadai kemungkinan yang sebaliknya. Jauh lebih banyak media yang mendukung Clinton dibandingkan Trump3. Media AS mengutip hasil poling pra-pemilihan yang menunjukkan Clinton akan menang, juga menyuguhkan jauh lebih banyak ketidaksesuaian klaim-klaim Trump dengan fakta-fakta (factchecking) dibandingkan kebohongan-kebohongan Clinton (Kurtzleben, 2016). Akan tetapi, media AS rupanya tidak membaca gejala kemenangan Trump. Apa yang sebenarnya terjadi?

Apa yang terjadi seputar media dan politik pemilihan presiden AS 2016 tersebut bukanlah hal baru dalam dunia jurnalisme. Patterson (2016) menyebut “public disservice” media telah terjdi sejak era kepresidenan Richard Nixon4. Media massa AS telah lama dikritik oleh jurnalisnya sendiri maupun pengamatnya karena jurnalis berjarak dari warga sehingga tidak mampu memotret keberagaman perspektif publik. Keberjarakan itu tak memberi corong pada suara-suara publik yang genuine. Bisa jadi fenomena serupa berlangsung pada pemberitaan media di masa

1Ma uskrip artikel buku Jur alis e Publik u tuk Media O li e: Catata Pe elitia Digi-Jour alis .or.id yang akan diterbitkan oleh Center for Digital Society FISIPOL UGM. 2016.

2 Tentang kemenangan Trump yang menghentak dunia dan pidato kemenangan Trump dapat dilihat di

http://www.usatoday.com/story/news/politics/elections/2016/2016/11/08/trump-clinton-target-social-media-swing-states-final-hours/93494872/.

3 Jauh sebelum hasil pilpres AS diumumkan, banyak pihak telah memperingatkan luasnya bias media arus

utama di AS dalam bentuk keberpihakan terhadap Hillary Clinton, sebagaimana yang disampaikan oleh Antimedia.org (http://theantimedia.org/media-endorse-hillary-two-problems/), USNews.com ( http://www.usnews.com/news/national-news/articles/2016-10-18/hillary-clinton-gets-more-donations-from-the-media-than-donald-trump-study-says), dan Julian Assange penggerak Wikileaks ( http://www.politico.com/blogs/on-media/2016/08/julian-assange-american-press-supports-demon-hillary-clinton-227597).

4 Mengungkap skandal politik (dan seksual yang dilakukan politisi) bukanlah hal utama dari tujuan

(2)

16

kampanye Trump dan Clinton. Media AS tidak menyajikan dengan utuh dan beragam pandangan-pandangan terhadap Trump dan Clinton. Menyajikan fakta rupanya tidak cukup.

Keprihatinan terhadap relasi media, publik, dan politik di AS itulah yang mendorong lahirnya jurnalisme publik sebagai sebuah gerakan. Melalui konsep “jurnalisme publik”, para penggagasnya bermaksud menguatkan jurnalisme yang memberi makna substansial bagi kepentingan publik, menyoroti masalah-masalah yang dianggap penting oleh publik, melibatkan publik seluas-luasnya dalam proses jurnalisme, menunjukkan keberagaman suara publik termasuk kelompok minoritas, mendorong transparansi redaksi, serta menguatkan akuntabilitas jurnalis pada pemberitaan. Meski jurnalisme publik sebagai sebuah gerakan baru lahir pada 1988, praktek dan perbincangan tentang jurnalisme publik sesungguhnya telah dimulai sejak 1700-an (Rosen, 2000). Pada Bab ini, penulis menilik kembali sejarah sosial dan perbincangan mengenai konsep jurnalisme publik di AS.

Eksperimen Wichita Eagle di Kansas

Jay Rosen (2000), salah satu penggerak terkemuka jurnalisme publik menegaskan bahwa jurnalisme publik sejatinya bukan hal yang baru. Konsep tersebut hanyalah penguatan atas cita-cita lama jurnalisme yang sudah muncul sejak tengah abad ke-1700. Ketika itu, pers membawa masalah politik ke kepemilikan yang lebih luas, mengetengahkan opini-opini yang selama itu berkembang di kelompok-kelompo eksklusif ke hadapan masyarakat luas (Rosen, 2000: 679). Menengok sejarah tersebut, jurnalisme publik mencoba melekatkan kembali secara linguistik ke kesadaran para jurnalis mengenai “asal mula jurnalisme” (Rosen, ibid.). Perdebatan antara John Dewey dan Walter Lippman pada 1920-an, laporan Hutchin Commission mengenai fungsi pers pada 1940-an, pemikiran-pemikiran C. Wright Mills, Jurgen Habermas, James Carey dan sebagainya mengetengahkan gagasan bahwa upaya untuk menghadirkan publik yang genuine telah menjadi pekerjaan besar demokrasi lebih-lebih di era media massa di mana media massa diharapkan menjadi bagian dari proyek besar itu sekaligus mengkritisi proses tersebut. Meski beragam pendahuluan telah terjadi, jurnalisme publik baru tercetus ketika sejumlah jurnalis merespon krisis politik pada 1980-an.

Kala itu, demokrasi di Amerika Serikat mengalami krisis. Komunikasi politik media dan politisi kala itu menyurutkan niat warga terlibat dalam politik. Pengetahuan warga tentang urusan dan masalah publik tak bertambah. Kepercayaan warga terhadap pemerintah dan institusi politik berkurang. Akibatnya, partisipasi warga dalam aktivisme politik semakin kendor. Atau, warga mungkin sebenarnya peduli apabila mendapat informasi yang cukup. Eksperimen Wichita Eagle dapat menjadi contoh (Hoyt, 1992).

(3)

17

Masalah legalisasi pro-aborsi choice) itu menumpuk protes dari pihak pro-kehidupan (pro-life) di Kansas.

Sekitar 1991, 30.000-an orang melakukan reli protes di depan kantor Women’s Health Care Services. Mereka mengkuatirkan tindakan aborsi dr. George Tiller. Banyak dokter pelaku aborsi, namun mereka menganggap dr. Tiller paling berbahaya: membunuh janin usia tua. Bagi para penganut pro-kehidupan, itu sama saja dengan membunuh bayi. Aksi protes itu berlangsung selama 45 hari. Hampir 2.000 orang demonstran sempat dipenjara.

Peristiwa Summer of Mercy itu menghentak Davis Merritt, jurnalis Wichita Eagle. Merritt semakin tersadar bahwa mungkin jurnalis tidak mengerti apa yang penting untuk diliput, bagaimana meliput kontroversi, dan tidak memberi solusi. Pers seakan berjarak dari geliat kehidupan masyarakat. Jurnalis bertindak sok tau, namun ternyata tak lebih tahu daripada warga. Akibatnya warga mencari jalan sendiri untuk menyelesaikan masalahnya. Kadang-kadang hal itu berakhir buruk. Dr. Tiller didor oleh pemrotes pada 1993.

Selama puluhan tahun di Kansas harian Eagle dan Beacon beredar. Keduanya sama-sama bacaan mengenaskan. Wichita Eagle anjing kesayangan rezim, sementara Wichita Beacon lebih mirip tabloid skandal. Pada 1960, Eagle membeli Beacon setelah keduaya bersaing sengit selama puluhan tahun. Organisasi Ridder membeli Eagle-Beacon pada 1973. Tak lama setelah itu, Davis Merritt, asal Carolina Utara, bergabung dengan media itu. Langkah pertamanya adalah membunuh Beacon. Tak ada perlawanan dari para staf. Yang tersisa sejak 1980-an adalah Wichita Eagle.

Setahun sebelum peristiwa Summer of Mercy, Wichita Eagle meluncurkan laman Voter’s Project. Tak berbeda dari kota-kota lain di AS, gelombang ‘apatisme’ terhadap politik dan rendahnya keterbacaan suratkabar melanda Kansas. Keprihatinan atas hal itu menggugah Merrit dan sejumlah editor Wichita Eagle membuat laman khusus liputan politik untuk kampanye lokal pada 1990. Berlanjut pada 1991 dan 1992, Eagle melaporkan pemilihan lokal dan presidensial. Tentu semua itu dengan satu catatan: formula baru dalam pelaporan, yang kelak secara getol diadvokasi oleh Jay Rosen dengan istilah public journalism atau civic journalism.

Formula ‘baru’ itu ialah penguatan partisipasi audiens pada proses junalistik. Partisipasi itu mampu menjaring aspirasi orisinal mengenai masalah-masalah yang dianggap penting warga. Eagle mengerahkan departemen riset dan meminta bantuan Sekolah Komunikasi Elliot di Universitas Wichita. Mereka melakukan banyak wawancara terhadap 192 warga. Ratusan warga lainnya disurvei. Berdasarkan data itu, Eagle merangkum sejumlah topik penting, seperti pendidikan, pajak, pembangunan ekonomi, dan seterusnya. Liputan-liputan dibangun berdasar topik-topik itu.

(4)

18

Para kandidat politik semula gerah dan tertekan dengan gebrakan Eagle. Namun mereka semakin tampak buruk apabila tidak merespon. Terlebih Eagle harian terpandang di kota itu. Tak ada pilihan lain, para kandidat secara sukarela memberikan informasi pada topik-topik Eagle. Dampak dari eksperimen Wichita Eagle itu nyata. Pada survei pasca pemilihan, warga yang bertempat tinggal di wilayah sirkulasi Eagle menunjukkan pemahaman atas isu-isu politik dalam pemilihan lebih baik daripada mereka yang di luar wilayah sirkulasi.

Formula itu tak berhenti di situ. Eagle secara terbuka, baik melalui liputan berita maupun iklan dan selebaran hingga di luar wilayah edar, meminta para pembaca untuk menggunakan hak pilih. Kampanyenya disebut Your Vote Counts. Sayangnya, pemilihan 1990 dan 1991 menunjukkan angka pencoblos merosot di Kansas. Tetapi Eagle mengklaim fenomena itu disebabkan oleh faktor lain. Di wilayah sirkulasi Eagle, partisipasi politik mencapai 41% melampaui angka nasional yang hanya 33 %.

Pengalaman itu membuat Merrit mengambil kesimpulan. Menurutnya, menunjukkan sikap pada kolom-kolom berita bukanlah hal yang tabu. Warga ingin membaca pers yang menggemakan nilai-nilai yang akrab bagi warga. Jika pers tidak menunjukkan sikap, bagaimana warga bisa menunjukkannya pula? Prinsip obyektivitas dieksploitasi sedemikian rupa hingga menjadi bumerang bagi jurnalis dan warga. Jurnalis berjarak dari warga yang ia liput.

“Kami ingin kota kami menjadi tempat yang baik untuk hidup, begitu juga dengan para pembaca. Apa yang bisa kita lakukan untuk kota kita? Pertanyaan itu menjangkau semua profesi. Jurnalis tak harus turun ke jalan, namun kita harus melakukan sesuatu untuk mendorong perbaikan,” tutur Merritt. Steven A. Smith, editor pelaksana Eagle menulis dalam National Civic Review: pers dituduh menyusun agenda. Pers diminta melaporkan agenda orang lain. Namun sesungguhnya, tiada orang yang punya agenda, kecuali publik itu sendiri. Karenanya, publik perlu terlibat dalam proses editorial.

“Jurnalisme Publik” Versi Amerika Serikat

Kajian jurnalisme selalu berkutat pada tema-tema klasik yaitu obyektivitas versus subyektivitas, berjarak atau advokasi, mengobservasi atau menjadi anjing penjaga, jurnalisme netral versus partisipan (Johnstone, Slawski & Bowman, 1972:540). Meski jurnalisme publik menekankan pentingnya penguatan partisipasi dan dialog pada kehidupan kewargaan (civic life), McQuail (2010: 182) menganggap jurnalisme publik masih dalam satu tradisi dengan jurnalisme objektif, berbeda dari Shafer (1998) & Gunaratne (1998) yang menganggap jurnalisme publik laiknya jurnalisme pembangunan berada di kamp jurnalisme invertensionis. Perbedaan utama konsep jurnalisme publik dari jurnalisme objektif-konvensional adalah jurnalisme publik meningkatkan kualitas kehidupan sipil dengan memfasilitasi terjadinya “percakapan” dan keterlibatan publik, tidak semata-mata menyebarluaskan informasi.

(5)

19

jurnalisme berkaitan dengan konsepsi publik yang Dewey-an. Dalam perspektif Dewey-an, publik diikat oleh satu kepentingan berupa masalah. Adanya masalah akan menghadirkan publik atau rasa kebersamaan. Bagaimanakah menyatakan masalah dalam dunia multiperspektif? Pertanyaan serupa berlaku untuk jurnalisme publik. Heikkila & Kunnelius (1996) menganggap filosofi publik Arendt cocok untuk menjawab peranyaan tersebut. Menurut Arendt, kehadiran publik selalu diikuti dengan aksi atau tindakan, hal itu juga berlaku pada jurnalisme. Jika hadir tidaknya publik ditadai dengan adanya aksi, dan publik diikat oleh masalah bersama, maka jurnalisme publik adalah laporan jurnalistik yang membahas tindakan yang bersandar pada masalah tertentu. Kesenjangan ekonomi dan terganggunya kebahagiaan bersama adalah masalah bersama (Heikkila & Kunnelius, 1996).

Eksperimen Eagle –dan Charlotte Observer serta Virginia Pilot yang melakukan inovasi jurnalisme serupa— menjadi semacam otokritik terhadap jurnalisme di Amerika Serikat. Berbeda dari sejumlah gerakan sebelumnya seperti “jurnalisme baru”, “jurnalisme investigasi”, dan “jurnalisme presisi”, jurnalisme publik menyoroti tak hanya teknik jurnalisme, melainkan perilaku profesional jurnalisme (Heikkila & Kunelius, 1996:81-82). Alih-alih meliput berita dengan suapan ide asal dari penguasa atau para ahli, jurnalisme publik atau jurnalisme sipil menggali peristiwa dari warga dan melaporkannya ke khalayak (Hume, 1996:148).

Pengertian jurnalisme publik atau jurnalisme sipil semakin meluas ketika pada 1993 Poynter Institute for Media Studies mempublikasikan buklet yang disusun Rosen: Community Connectedness: Passwords for Public Journalism (Stamenkovic, 2014:138). Jay Rosen menuturkan tembakan utama jurnalisme publik adalah pada upaya untuk mengurangi jurang ganda: diskoneksi audiens dengan politik dan diskoneksi jurnalisme dengan audiens (Nip, 2006:213). Jurang ganda itu menjadi titik tolak upaya Wichita Eagle sebagaimana yang ditulis pada paragraf pertama artikel ini, yaitu warga apatis dengan politik, dan jurnalis buta persoalan nyata yang dihadapi warga. Senada dengan Rosen, sejumlah sarjana memetakan adanya empat diskoneksi terkait dengan “kepublikan” (publicness) jurnalisme (Heikkila & Kunelius, 1996; Dzur, 2002; Arant & Meyer, 1998; Nip, 2006).

Diskonektivitas pertama adalah politik kehilangan relevansi dari kehidupan sehari-hari warga. Pemerintahan nampak tak bertujuan dan pemilihan-pemilihan berlangsung tanpa isu. Kedua, publik terbelah ke beragam afiliasi sosial dan kultural, seperti ras, agama, pendapatan, tempat tinggal, pendidikan, rasa berkomunitas, akses terhadap media dan sebagainya. Konsekuensi dari hal itu publik memiliki suara beragam atas suatu isu. Bagaimana jurnalisme semestinya menjembatani banyak suara itu? Ketiga, peneliti jurnalisme dan para jurnalis tidak saling mengerti satu sama lain. Titik temu pemahaman bersama jarang tercipta. Untuk masalah itu, Rosen meyakinkan bahwa jurnalisme publik juga dapat menjadi ruang bagi publik untuk mencari pengetahuan bersama (public scholarship) (Heikkila & Kunnelius, 1996:82). Harapan Rosen itu bukan tidak mungkin sebab Denzin bahkan terinspirasi dari kiprah jurnalisme publik ketika ia menyusun konsep sosiologi sipil (1996:748).

(6)

20

istana para elit politik. Jurnalisme menyampaikan kritisisme semata-mata berdasarkan standar internal dan tidak menangkap kekuatiran-kekuatiran nyata publik. Jurnalisme tradisional berkutat pada nilai keadilan, keberimbangan, dan obyektivitas yang sesungguhnya adalah keterputusan/ keberjarakan (detachment) (John III, 2007). Elemen-elemen itu memang membangun kredibilitas pers, terutama di mata pengiklan yang ingin produknya terpampang di media kredibel. Secara paradoks, kejaran untuk obyektivitas menghambat jurnalis untuk menyertakan bagaimana warga dapat membantu atau mencari solusi atas masalah yang diliput.

Keprihatinan terhadap diskonektivitas jurnalisme, warga, dan politik itu melatari lahirnya konsep jurnalisme publik. Jurnalisme publik, menurut Voakes, “dimulai dengan pertimbangan apa yang akan memperbaiki kehidupan publik, daripada apa yang akan menjadi berita bagus, dan hal itu mencerminkan komitmen terhadap problem komunitas...” (Ryan, 2001:13). Davis Merritt editor Eagle menggambarkan jurnalisme publik sebagai “sebuah filosofi eksperimental pada pencarian ekspresi tercetak” (Arant & Meyer, 1998:207). Jurnalisme publik berupaya mengembalikan dan menguatkan apa yang menjadi misi jurnalisme. Rosen (1995:35) menyatakan bahwa jurnalisme publik adalah mengenai tugas yang benar dari pers yang menyebar pada jurnalisme Amerika dan melibatkan orang maupun institusi dalam satu gerakan.

Sarjana lain mendefinisikan jurnalisme publik sebagai berikut:

....as journalism that listens to the stories and ideas of citizens and that provides alternative frames on important community issues; frames that stimulate citizen deliberation and build public understanding of issues. It also advances public knowledge of solutions and values served by alternative courses of action.

...sebagai jurnalisme yang menyimak kisah-kisah dan ide-ide dari warga dan menyediakan bingkai-bingkai alernatif untuk isu-isu penting warga; bingkai-bingkai yang merangsang deliberasi warga dan membangun pemahaman publik atas banyak isu. Ini (jurnalisme publik, pen-) juga menunjukkan pengetahuan publik tentang sejumlah solusi dan nilai yang diusung banyak kelompok aksi.

(Lambeth dalam Page, 1997:26).

Page (1997:26) sendiri memandang jurnalisme publik bertujuan untuk membuat pandangan alternatif terdengar, membangun pemahaman dan merangsang deliberasi, dan membantu memimpin komunitas melalui masa krisis. Albert Dzur (2002:315) menekankan bahwa jurnalisme publik mengambil arah yang berbeda dari pelaporan tradisional. Sebab, jurnalisme publik menyimak suara publik dalam proses pencarian berita, memproduksi berita yang bertujuan, dan mendorong munculnya dialog publik. Jurnalisme publik secara tautologis menekankan nilai-nilai mendasar yang –seharusnya telah- terkandung pada jurnalisme Amerika (Arent & Meyer, 1998). Amandemen Pertama di AS menitahkan pers berkewajiban bertanggungjawab pada publik, membela kepentingan publik seperti di wilayah pendidikan, makanan, kesehatan, hukum, terutama ketika kepentingan publik terancam (Tebbel, 1966: 82-85).

(7)

21

kepentingannya (Gunaratne, 1998:80). Jurnalisme publik memiliki agenda untuk meningkatkan partisipasi warga dalam proses politik. Jurnalisme publik turut memilih sejumlah isu yang dianggap lebih penting daripada isu yang lainnya. Glasser menegaskan hal tersebut:

Without a fully articulated newsroom agenda, journalists and the public alike are cheated out of what they need most from the press: a candid account of why some issues receive more attention than othersand why, alas, some issues receive no attention at all. Without this, without an intelligible and defensible political agenda, journalism lacks meaning and order.

(Glasser, 2000:685).

Berdasarkan beragam definisi, makna dan historisitas jurnalisme Amerika Serikat, jurnalisme publik setidaknya memilki sejumlah ciri. Karakter jurnalisme publik itu apabila dibandingkan dengan karakter jurnalisme tradisional antara lain:

Ciri 1. Memandang Audiens sebagai Warga. Inilah cara pandang mendasar jurnalisme

publik terhadap audiens. Audiens tidak dianggap semata-mata sebagai konsumen, melainkan warga yang memiliki hak maupun kewajiban politik, ekonomi, sosial dan budaya. Hak dan kewajiban warga itu adalah kepentingan warga. Implikasi dari cara pandang tersebut adalah jurnalis publik bekerja untuk audiens sebagai warga yang berkepentingan tersebut, bukan audiens sebagai konsumen. Konsumen adalah audiens pasif yang terpapar konten industri hiburan. Ia baru mengapresiasi berita manakala berita itu menghiburnya. Warga adalah audiens aktif yang menghargai informasi dan memanfaatkannya untuk kehidupan personal maupun sosial (Meijer, 2001).

Ciri 2. Masalah Publik Dasar Maupun Kompleks. Jurnalisme publik menyajikan

informasi-informasi substansial yang mendasar maupun kompleks, masalah dan solusi terkait kebijakan publik, bukan penonjolan sensasionalitas dan irasionalitas.

Setidaknya terdapat dua tipe isu yang menjadi perhatian jurnalisme publik. Pertama, isu kebijakan berdampak jangka panjang. Dzur (2002:317) menegaskan bahwa jurnalisme publik mengkover isu-isu kebijakan yang bersifat jangka panjang misalnya proteksi lingkungan. Jurnalisme publik tidak bisa sekali dua kali meliput isu kebijakan jangka panjang sebab isu-isu tersebut mencakup kebijakan yang memberi konsekuensi penting bagi komunitas dan kompleks atau tak bisa cukup ruang untuk diterbitkan dalam siklus berita normal.

Kedua, isu informasi sipil dasar. Untuk dapat membuat keputusan apalagi terlibat dalam dialog publik, warga harus memahami informasi dasar mengenai struktur pemerintah dan peran-peran badan-badan dan jabatan publik, kapan agenda-agenda rapat komunitas diselenggarakan, jadwal peristiwa publik, alur waktu keputusan politik, dan pemilihan yang berpengaruh pada publik (Dzur, ibid.).

(8)

22

tradisional. Pemberitaan media arus utama pada pilpres AS lalu jelas menonjolkan pernyataan-pernyataan provokatif daripada memberikan konteks, juga tidak memeriksa tindakan-tindakan nyata para kandidat (Pachico, 2016; Edkins, 2016). Jurnalisme publik berupaya menunjukkan penyebab masalah sekaligus memberikan sejumlah alternatif jalan keluar atas masalah tersebut (Ryan, 2001). Pada akhirnya, isu apa yang disampaikan dan siapa saja yang menjadi sumber laporan, serta solusi yang muncul lebih menentukan tingkat relevansi jurnalisme publik pada kebutuhan nyata warga ketimbang melaporkan sesuatu secara akurat dan objekif belaka.

Menyajikan informasi yang substansial juga tidak semata-mata berarti jurnalisme mengumupulkan, memilih, dan mengutip data yang berdampak publik, melainkan juga turut terlibat langsung dalam pencarian pengetahuan tersebut (inquiry). Mengutip pernyataan-pernyataan sensasional atau substansial adalah sama saja: menyerahkan kepada pihak lain untuk menyelidiki sesuatu. Jurnalisme publik mendorong jurnalis untuk menggayung ‘air’ dari ‘lautan’, bukan dari bak penampungan hujan. Apa yang terjadi pada media di AS selama proses pilpres menunjukkan media gemar mengutip data dari pihak lain, tidak mencaritahunya sendiri. Media terbiasa mengumpulkan data dari para polster politik yang ‘memprediksi’ pemenang pilpres. Kebiasaan itu menjebak media untuk ‘dipengaruhi’ oleh sumber-sumber yang memiliki otoritas tertentu –dalam hal ini polster— sehingga berita yang dihasilkan hanyalah membenturkan klaim-klaim sumber berita.

Ciri 3. Kolaborasi. Pelibatan publik dalam penentuan dan penyusunan berita sebab

media mendengarkan publik dan memahami adanya pluralisme publik. Pelaporan fakta secara akurat tidak cukup.

Jurnalisme publik memiliki ciri jurnalis dan warga berkolaborasi dalam proses penyusunan berita. Contoh kolaborasi adalah pembaca menyarankan topik untuk diberitakan atau sumber-sumber alternatif yang perlu dikutip. Audiens dapa bekerja dengan jurnalis dengan melakukan riset komplementer dan menulis bersama kisah-kisah itu (Annany & Kreiss, 2011:325).

(9)

23

warga mengesampingkan guyonan kebohongan Trump –yang oleh media ditonjolkan— dan menginterpretasi pesan-pesan yang mereka terima melalui media atau secara sosial lainnya terkait semua kandidat.

Pelibatan publik ini bertumpu pada sejumlah asumsi. Pertama, “media dan jurnalisme memiliki kuasa (power) dan kuasa itu berupa pengaruh terhadap publik.” Pada sisi lain, jurnalis berkomitmen pada kepentingan publik. Kombinasi dari keduanya adalah jurnalis dan media dapat menggunakan kuasa itu untuk mengimbangi kuasa dari rezim pemerintah maupun kelompok mayoritas. Jurnalis harus benar-benar mendatangi warga dari beragam kalangan dan mendengarkan keterangan mereka. Mendengarkan publik tidaklah sama dengan menerjemahkan opini mayoritas ke dalam berita, melainkan menemukan konsern-konsern semua faksi bertentangan maupun moderat di warga, terutama faksi yang kerap terabaikan oleh sistem dan media. Kedua, media memahami struktur komunitas. Media tidak dapat diterima tanpa adanya nilai-nilai yang dibagi bersama dengan komunitas di mana ia hidup. Karenanya, penting bagi media untuk memahami institusi-institusi, fasilitas, sumber daya ruang-ruang publik dan membuatnya lebih dapat diakses oleh warga (Lowrey, Brozana, McKay, 2008:291).

Secara prinsip, jurnalisme publik mengizinkan bahkan mensyaratkan para jurnalis berpartisipasi dalam porses-proses sosial dengan begitu jurnalis terhubung kembali dengan kehidupan publik (Ryan, 2001:13). Merrit mengatakan para jurnalis harus mengesampigkan sejumlah karakteristik jurnalisme konvensional, terutama asumsi bahwa obyektivitas mengarah pada peningkatan kredibilitas media (Ryan, ibid.). Jurnalisme tradisional berpuas diri pada pelaporan fakta yang akurat. Dalam pandangan pengusung jurnalisme publik, hal itu tidaklah cukup. Banyak peristiwa, kasus, fenomena dapat dilaporkan secara akurat. Praktik atas prinsip obyektivitas seakan kelewat batas sampai jurnalis tampak seperti mesin tak berempati pada publik.

Ciri 4. Transparansi & Akuntabilitas. Berbeda dari jurnalisme tradisional yang mana

otoritas media begitu besar sebagai sesuatu yang given maupun diatur oleh Undang-undang, otoritas jurnalisme publik terbentuk manakala media bersangkutan transparan dan akuntabel.

(10)

24

organisasi berita melaporkan dari mana saja pendanaan yang mereka dapat untuk mengongkosi penyusunan berita, dan membuka diri bagi siapa pun untuk mengakses data-data yang menjadi acuan mereka untuk menyusun berita.

Prinsip transparansi dan akuntabilitas itu mencegah organisasi berita dan jurnalis menyusun berita dari sumber-sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan mendorong jurnalis untuk mengumpulkan informasinya sendiri. Organisasi berita seringkali tidak percaya diri untuk melaporkan pernyataan-pernyataan warga tanpa disertai data polling pada suatu proses politik. Bersandar pada hasil polling nyatanya tidak selalu menunjukkan realitas. Polling pra-pilpres AS selalu menunjukkan Hillary Clinton mengungguli Donald Trump. Jurnalis lantas menyingkirkan catatannya yang berisikan suara-suara warga yang berpihak terhadap Trump (The Economist, 2016).

Ciri 5. Deliberasi atau penguatan musyawarah publik dan pluralisme. Media tidak

terpaku pada keterangan-keterangan para elit belaka.

Jurnalis tidak cukup hanya melaporkan. Lebih jauh dari itu, jurnalis publik perlu meluaskan peran mereka mencakup membantu publik memberikan perhatian dan bertukar pikiran mengenai urusan-urusan publik. Media juga perlu memperhatikan adanya keberagaman suara dan pandangan serta ketidaksetaraan kuasa di masyarakat atau komunitas. Jurnalis publik harus mendukung dan memungkinkan terjadinya keberagaman aspirasi (Lowrey, Brozana, McKay, 2008:291). Keberagaman sudut pandang itu juga diatur oleh jurnalisme publik menjadi representasi kohesif yang dapat dipahami anggota masyarakat ( ibid.). Mengakomodasi keberagaman perspektif publik dapat mengimbangi kecenderungan audiens yang memilih media yang merefleksikan aspirainya yang sudah ada sebelumnya. Perilaku media arus utama AS yang terlalu berpihak pada Hillary Clinton justru menjadi bumerang bagi para pemilih non-demokrat. Mereka akhirnya mencari informasi dari sumber-sumber jurnalisme maupun non-jurnalisme lainnya.

Praktek nyata dari pelibatan publik ini dijabarkan oleh para editor dan reporter dari Virginian Pilot pada Program Annenberg Washington, 1995 (Hume, 1996:50). Hal-hal yang dilakukan jurnalis publik adalah:

- Mencari warga yang memiliki pandangan moderat atau middle, selain dua kelompok ekstrim;

- Membingkai peristiwa-peristiwa yang dialami warga sehari-hari, bukan hanya menjadikan kesaksian warga sebagai asesoris berita politik;

- Menggunakan emosi-emosi warga untuk menunjukkan bagaimana proses warga bersepakat pada keputusan-keputusan, bukan menjadikan emosi warga sebagai warna untuk mengomentari suatu isu;

(11)

25

- Menghargai pengetahuan warga selain menyampaikan siapa, apa, mengapa, kapan, dan di mana, juga menjelaskan mengapa warga perlu memerhatikan isu tersebut; - Mencoba mengeksplorasi bagaimana orang mengatasi isu, menyarankan solusi-solusi yang memungkinkan di mana pembaca mungkin ingin berperan (Hume, 1996:50).

Dalam perspektif jurnalisme publik, jurnalisme tradisional melemahkan ruang dialog sebab sumber-sumber elit lebih kerap dikutip untuk memberi justifikasi atas sebuah solusi ketimbang sumber-sumber warga minoritas dan ahli yang netral. Karena sumber-sumber terbatas pada kelompok tertentu, dialog dan musyawarah tidak tercipta. Contoh dari ciri terakhir ini adalah adanya diskusi publik dengan para jurnalis mengenai kisah-kisah mereka melalui beragam forum dan organisasi berita mendokumentasi bagaimana laporan dimanfaatkan atau membantu diskusi di antara warga, kelompok sipil, pemerintah, korporasi, dan para pemangku kepentingan lain (Annany & Kreiss, 2011:324).

Ciri-ciri jurnalisme publik di atas sebetulnya banyak yang beririsan dengan jurnalisme berkualitas terutama dalam hal spirit yang melatari lahirnya kedua istilah itu yaitu pentingnya warga mengetahui apa yang terjadi di masyarakat dan jurnalisme bertanggungjawab menyediakan pengetahuan tersebut (Vehko, 2010; Raivio, 2011). Diskusi mengenai keterkaitan jurnalisme publik dan jurnalisme berkualitas dipaparkan oleh Lisa Lindawati pada Bab “Menakar ‘Kepentingan Publik’ dalam Jurnalisme Berkualitas.”

Sejumlah Kritik dan Pembelaan

Meski gerakan jurnalisme publik mendapatkan sejumlah simpati dan dukungan dari kalangan jurnalis dan akademisi, konsep-konsep yang diusungnya tak sepenuhnya bebas dari kritik. Sejumlah kritik yang terentang dari aspek kapital, nilai, relasional, ontologi, opini publik, struktural, dan praktek. Sebagai sebuah gerakan reformasi, jurnalisme publik dianggap belum mampu mengangkat derajat otonomi profesional dan memberikan manfaat okupasional jurnalis (McDevitt, 2002). Jurnalisme publik menekankan pada pelibatan publik padahal keprihatinan awal penggeraknya terletak pada storytelling atau news narrative jurnalisme konvensional yang menunjukkan “cool neutrality” dan “detachment” (Parisi, 1997). Berikut ini adalah rangkuman sejumlah kritik dan respon atas kritik tersebut.

Definisi dan praktek jurnalisme publik tidak jelas

(12)

26

Kritik tersebut menunjukkan kegagapan jurnalis atas pendekatan baru dalam proses jurnalistik. Selama ini, jurnalis konvensional terbiasa mencampuradukkan objektivitas dengan kuasa atau otonomi mereka sebagai jurnalis. Memilih isu mana yang diangkat, siapa yang diwawancara, informasi apa yang ditampilkan selama ini selalu menjadi domain otonomi jurnalis konvensional. Jurnalisme publik menantang para jurnalis menyadari kekuatannya dalam mempengaruhi agenda publik, dan karenanya perlu berbagi kuasa atau otonomi tersebut dengan warga. Caranya adalah dengan menjalankan tiga prinsip yaitu public listening dalam proses newsgathering, memproduksi berita yang purposeful, dan menstimulasi munculnya dialog publik (Dzur, 2002).

Perbedaan praktek jurnalisme publik dan konvensional juga sangat nyata. Alih-alih bertumpu pada sumber-sumber arus utama selama ini seperti pemerintah, politisi, ahli, orang-orang berkuasa dan elit lainnya, jurnalis publik mendatangi warga dan mencari tahu apa yang ingin mereka tahu, menyertakan pandangan-pandangan tersebut dalam pemberitaan (Haas & Steiner, 2006). Charlotte Observer melakukan polling dan mewawancarai para penduduk di kota berangka kriminal tertinggi untuk memahami masalah kriminal dari pandangan para penghuni, mencari sulusi, dan menghubungkan dengan pihak-pihak yang mampu mengambil kebijakan. Virginian Pilot menyelenggarakan ngobrol-ngobrol komunitas antara para reporter dan perwakilan semua elemen warga untuk mendiskusikan masalah publik. Hal itu menghasilkan pemberitaan yang berbeda dari dokumen-dokumen resmi pemerintah dan konferensi-konferensi pers. Colorado Springs Gazette menyajikan empat versi dari peristiwa yang sama, ditulis oleh perwakilan dari empat elemen publik dari komunitas yang berbeda.

Kritik terhadap aspek kapital

(13)

27

Otoritas jurnalis sebagai pengusung objektivitas melemah

Laporan jurnalisme publik beresiko tidak cukup meyakinkan pembaca mengenai komitmen jurnalisme pada kebenaran (Dzur, 2002: 319). Otoritas jurnalis dalam menunjukkan obyektivitas melemah sebab fokus jurnalisme publik bukanlah mengatakan “kebenaran” melainkan menguatkan suatu posisi (Dzur, ibid.). Bahkan jurnalisme publik di mata sejumlah kritikus nampak tidak berbeda dari propaganda (John III, 2007).

Substansi kritik tersebut diragukan Haas & Steiner (2006). Alih-alih otoritas jurnalis publik lebih lemah daripada jurnalis konvensional, otoritas jurnalis publik meningkat karena jurnalisme publik mementingkan kepentingan yang melampaui dirinya dan tidak memandang pembaca sebagai konsumen melainkan warga (Haas & Steiner, 2006: 247-248). Otoritas jurnalis publik diredifinisi dari detachment menuju attachment dalam bentuk kolaborasi jurnalis publik dengan warga dalam menyusun isu. Jurnalis publik menjadikan kebutuhan warga sebagai prioritas, bukan kebutuhan jurnalisme menjadi profesional belaka. Selain itu, jurnalis publik tetap berkuasa untuk menentukan elemen warga yang dibutuhkan dalam mendiskusikan sebuah isu.

Jurnalisme publik tidak mencapai konsensus

Jurnalisme publik dianggap tidak mungkin diwujudkan pada masyarakat yang plural sebab hanya sedikit saja bagian dari masyarakat plural yang dapat saling berbagi nilai-nilai bersama (Page, 2007). Rendahnya nilai-nilai bersama itu berresiko dialog berlangsung tiada akhir dan justru malah tidak menemukan solusi. Jurnalisme publik juga mengandung resiko dampak pembentukan opini (Dzur, 2002). Resiko bandwagonism terjadi apabila jurnalis publik tersebut terpaku pada suara-suara terkeras pada ruang-ruang diskusi publik, dan sengaja atau tidak mengabaikan suara-suara minoritas, entah karena minoritas enggan berbicara, tidak hadir di forum publik, atau lemah suaranya sehingga diabaikan (Dzur, 2002). Sebaliknya, resiko conventionalism mengancam jurnalisme publik sebab publik plural mungkin tidak ingin menyampaikan hal-hal yang membuat mereka tidak terlalu nyaman sehingga jurnalis tidak dapat menggali hal-hal yang memang penting untuk didiskusikan publik (Dzur, 2002).

(14)

28

dinikmati kelompok dominan dalam mengartikulasikan konsern. Jurnalisme publik menunjukkan ketidaksetaran sosial yang selama ini laten.

Jurnalisme publik berperan berlebihan dan tidak tepat dengan menjadi problem

solver

Interdependensi antara jurnalis dan publik terletak pada kolaborasi kedua belah pihak untuk menyelesaikan masalah publik. Ide tersebut dikritisi sebab partisipasi jurnalis dalam problem solving mengesankan jurnalisme lebih besar dari demokrasi itu sendiri. Terhadap demokrasi, jurnalisme publik bermaksud untuk menginformasi, mengawasi dan mengkritik urusan-urusan publik. Hal itu menjadikan jurnalisme berupaya memperbaiki pemerintah dan melakukan segalanya hingga menjadikan diri sendiri seperti ‘pemerintah’ (Dzur, 2002). Meski cara berpartisipasi dipertanyakan, hal itu lantas tidak menghapus peran jurnalisme publik dalam masyarakat. Yang paling penting menurut Haas & Steiner (2006:249) adalah jurnalis dapat mengidentifikasi masalah dapat diatasi secara sukarela oleh warga atau memerlukan pendekatan yang lebih dalam, sistemik, atau masalah dapat diatasi oleh intervensi lokal, atau memerlukan intervensi regional, negara, atau bahkan internasional.

Pemetaan sumber masalah dan solusi tersebut juga terkait dengan kritik bahwa jurnalisme publik mengandaikan masalah selalu dapat diatasi oleh publik lokal itu sendiri. Hal itu dibantah oleh Haas & Steiner (ibid.). Menurutnya, jurnalis publik menyadari bahwa intervensi atas masalah bergantung pada cakupan masalah serta jurnalisme publik membantu mengatasi masalah sesuai dengan cakupan tersebut. Misalnya, jurnalis dapat memfasiliasi upya warga lokal dalam merancang dan solusi apabila cakupan masalah memang pada level lokal. Apabila masalah memerlukan intervensi lebih luas, jurnalis dapat merangsang warga untuk bergabung dengan organisasi sipil yang lebih besar dan mendorong warga untuk menguatkan intervensi sistemik yang lebih besar. Pada kedua kasus tersebut, jika warga enggan bertindak, liputan atas isu harus memberikan tekanan pada aktor-aktor dan institusi-institusi yang relevan. Solusi atas masalah disadari jurnalisme publik tidak hanya pada level kebijakan, melainkan juga keterlibatan aktif publik. Penting bagi jurnalisme publik untuk melakukan forum-forum deliberatif yang konsisten daripada diskusi-diskusi ad-hoc (Haas & Steiner, 2006).

Keberhasilan jurnalisme publik tetap bergantung pada persepsi publik

(15)

29

kepentingan publik dan opini publik menjadi konsideran integral dalam proses jurnalisme publik.

Jurnalisme publik kesulitan membangun konsep “common reasoning” yang koheren

Para kritikus memandang konsep jurnalisme publik tidak dibangun di fondasi filosofis yang koheren, apakah di pandangan komunitarian, atau libertarian (Haas & Steiner 2006: 245). Dalam kerangka demokrasi komunitarian, publik berbagi visi yang sama mengenai kebaikan umum (common good). Sayangnya, kerangka demokrasi komunitarian menyepelekan manfaat dari keberagaman pandangan maupun konflik kepentingan. Sementara itu, kerangka demokrasi libertarian menilai jurnalisme publik menempatkan warga sebagai individu-individu yang hanya sedikit berbagi kesamaan pandangan. Yang lebih penting adalah kebebasan memilih dan bersuara, bukan pada kesamaan. Liberalisme memiliki kekurangan pada ketidakmampuan untuk menciptakan perasaan kuat di antara warga untuk bergabung dalam suatu deliberasi dan aksi.

Haas & Steiner (ibid.) tidak merisaukan di kerangka manakah jurnalisme publik akan ditempatkan. Menurut keduanya, hal yang paling penting adalah “publik berpendapat” itu sendiri dan semua anggota masyarakat berkomitmen untuk terlibat dalam pemikiran bersama (common reasoning). Jurnalisme publik membuat semua pihak berbicara atas isu, mendiskusikan isu bukan peristiwa. Jurnalisme publik dapat membangun common reasoning melalui diskusi kelompok, pertemuan di balaikota dan sebagainya untuk merangsang warga berbicara memikirkan masalah dan solusi bersama. Secara substansi, common reasoning tersebut muncul manakala jurnalisme publik memiliki fokus pada masalah dan solusi, bukan pada peristiwa-peristiwa belaka (Haas & Steiner, ibid.).

Jurnalisme publik tidak berbeda dari jurnalisme baik (good/ quality journalism)

Sejumlah sarjana juga meragukan bahwa jurnalisme publik dan konvensional sepenuhnya dua hal yang berbeda. Jurnalisme konvensional yang berkualitas (good, quality) akan menghasilkan berita yang layak disebut jurnalisme publik. Pendapat itu barangkali tidak salah sebab jurnalisme publik sendiri tidak mengabaikan faktor “kualitas” –yang berkembang pada perbincangan jurnalisme berkualitas— sebagai faktor yang hadir dalam jurnalisme publik, dan jurnalisme berkualitas mungkin juga menimbang elemen kepentingan publik5. Akan tetapi, banyak pihak menginterpretasikan jurnalisme berkualitas secara beragam sehingga untuk sulit mencari kepastian perbedaan dan kesamaan dengan jurnalisme publik6. Persamaan utama jurnalisme berkualitas dan jurnalisme publik terletak pada pengarusutamaan isu-isu publik yang signifikan di bidang politik, hubungan

5 Terutama dalam penelitian yang dilakukan tim riset Digi-Journalism, kriteria kualitas maupun publik

dikombinasikan untuk memindai kualitas jurnalisme online Indonesia. Hal itu dipaparkan Lisa Lindawati di buku ini.

(16)

30

internasional, ekonomi, kesejahteraan sosial, upaya-upaya kebudayaan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan (Vehko, 2010; Dzur 2002).

Raivio (2011) mewawancarai sejumlah editor dan jurnalis media pers papan atas di Inggris dan Finlandia. Ia ingin tahu bagaimana para editor dan jurnalis tersebut mendefinisikan jurnalisme berkualitas. Raivio (2011) menemukan bahwa hanya 12 % editor dan jurnalis yang ia wawancarai menghubungkan jurnalisme berkualitas dengan ftujuan-tujuan mulia jurnalisme (higher aims) misalnya membela kepentingan publik, menjadi anjing penjaga dan memiliki dampak sosietal. Dalam pemikiran sebagian besar informan, jurnalisme berkualitas lebih berhubungan dengan newsgathering untuk mencapai akurasi dilakukan dan storytelling tersaji secara memikat, dan humoris. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa meski jurnalisme berkualitas mengidealkan integrasi pemahaman ideal atas tujuan jurnalisme dalam praktek jurnalistik (Raivio, 2011, Vehko, 2010), secara riil hal itu tidak menjadi elemen yang paling diasosiasikan oleh para informan terkait jurnalisme berkualitas7. Hal itu menggambarkan bahwa “jurnalisme berkualitas” tidak cukup mengingatkan para jurnalis pada titik pentingnya kolaborasi jurnalis dengan warga maupun menjadikan jurnalis lebih attached terhadap komunitasnya. Pada titik tersebutlah jurnalisme berkualitas dan jurnalisme publik berbeda. Perbedaan lainnya adalah jurnalisme berkualitas tidak mendiskusikan dari manakah sumber ide untuk isu-isu yang dikover jurnalis sementara jurnalisme publik menekankan pentingnya warga memberikan usulan tentang isu yang selama ini terlewatkan untuk diliput (Dzur, 2002).

Terlepas dari kritik dan pembelaan atas jurnalisme publik tersebut, Bob Steele (2010) mengingatkan bahwa perdebatan perlu dikembalikan ke esensi jurnalisme itu sendiri. Permasalahan jurnalisme bukanlah pada reporter perlu menjadi investigator kegagalan sistem atau fasilitator solusi, pengamat berjarak atau partisipan aktif, maupun anjing penjaga independen atau penyelenggara forum publik. Polarisasi tersebut justru mengaburkan isu yang lebih penting menurut Steele (2002) yaitu menerapkan prinsip independensi sebagai panduan dalam melayani kepentingan warga dan masyarakat. Menurutnya, di segala jenis jurnalisme, independensi jurnalis diperlukan untuk menjaga tanggung jawab jurnalis dalam menenangkan konflik dan mengusik kemapanan (comfort the afflicted and afflict the comfortable.) Steele (2002) menyatakan tugas jurnalis itu tidak dapat dibandingkan dengan profesi-profesi lain sebab jurnalis bertanggungjawab untuk megumpulkan informasi dan menampilkannya kepada publik mencari kebenaran dan melaporkannya seutuh mungkin. Dengan memelihara integritas diri, merelakan kepentingan diri dan mengutamakan kepentingan komunitas dan masyarakat jurnalis telah bekerja independen sekaligus memihak kepentingan publik sebagaimana yang didambakan jurnalisme publik.

7 Vehko (2010) memaparkan definisi jurnalisme berkualitas menurut J.C. Merril, B. Kovach dan T.

Rosenstiel, serta M. Schudson. Masing-masing pihak memaparkan elemen jurnalisme berkualitas tanpa meninggalkan nilai dan fungsi ideal jurnalisme seperti “setia terhadap warga”, “menyediakan forum publik dan kompromi”, “memberikan kerangka interpretasi untuk memahami dunia”, “menunjukkan empati sosial”,

“memobilisasi warga untuk perubahan”, dan “mempengaruhi opinion leaders.” Vehko (2010) juga mengutip

(17)

31

Penutup

Jurnalisme publik di AS kini tak banyak mendapatkan perhatian dari akademisi maupun praktisi jurnalisme meski pada era awal kemunculannya jurnalisme publik berhasil memikat media pers dan para jurnalis di AS yang kemudian menerapkannya. ‘Penurunan’ pengaruh jurnalisme publik adalah suatu hal yang perlu dibahas khusus. Dengan menguatnya kompetisi antar organisasi media terlebih pada meluasnya media online, mempraktekkan jurnalisme publik tentu bukan perkara mudah. Alhasil industri media termasuk pers barangkali lebih kerap memandang audiens sebagai konsumen ketimbang warga. Berita-berita yang disajikan karenanya mengeksploitasi ragam aktivitas privat, emosional, dan intim. Pada situasi tersebut bisakah jurnalisme publik diterapkan untuk isu-isu keseharian yang privat? Jawabannya adalah bisa, tapi dengan sejumlah catatan.

Jurnalisme publik memang dari awal tidak menyamakan diri dengan jurnalisme ‘serius’ atau yang melulu membahas kompleksitas politik. Sementara “jurnalisme berkualitas” bias dengan pembedaan kehidupan publik dan privat serta masih mengandung elemen detachment (Meijer, 2001), jurnalisme publik bergantung pada publik untuk membahas masalah apa pun, termasuk isu-isu populer, dan menghargai experience termasuk privat— setiap anggota publik. Pembedaan publik dan privat terlalu ketat secara konseptual pada kenyataannya tidak berlaku di dunia nyata. Pengalaman anggota masyarakat di ranah privat dan publik secara riil justru interdependensi. Dengan menggali subjektivitas atau pengalaman privat anggota masyarakat, jurnalisme publik mampu menunjukkan keberagaman pengalaman, tak cuma opini. Akan tetapi, tentu saja, isu yang diangkat mesti menggambarkan watak kemanusiaan yang universal sehingga menumbuhkan kohesi sosial, bukan semata terfokus pada satu pengalaman dari individu tertentu. Dengan kata lain, jurnalisme publik dapat bekerja pada isu apa pun salah satu caranya dengan menggali kualitas publik dari suatu peristiwa atau isu.

~0~

Referensi

Buku/Jurnal:

Arant, D.M, & Meyer, P. (1998). Public & traditional journalism: a shift in values? Journal of Mass Media Ethics 13, 4: 205-218, DOI: 10.1207/s15327728jmme1304_1.

Ananny, M, & Kreiss, D. (2011). A new contract for the press: copyright, public domain journalism, and self governace in a digital age. Critical Studies in Media Communication 28, 1: 314-333. Bro, P. (2010). Chain reactions in the newsroom. Journalism Studies 11, 1: 36-49.

Denzin, N.K. (1996). Sociology at the End of the Century. The Sociological Quarterly, 37:4: 743-752.

Dzur, A.W. (2002). Public journalism & deliberative democracy. Polity 34, 3: 313-336. Glasser, T. (2000). The politics of public journalism. Journalism Studies 1, 4:683-686.

Gunaratne, S. (1998). Old wine in a new bottle: public versus developmental journalism in the US. Asia Pacific Media Educator, 1:64-75.

(18)

32

Haas, T. & Steiner, L. (2006). Public journalism: a reply to critics. Journalism 7, 2: 238-254. Haas, T. & Steiner, L. (2002). Fears of corporate colonization in journalism reviews’ critiques of

public journalism. Journalism Studies 3, 3:325-341.

Heikkila, H. & Kunelius, R. (1996). Public journalism and its problems, a theoretical perspective. Javnost-The Public, 3:3, 81-95, DOI: 10.1080/13183222.1996.11008634.

Hoyt, M. (1992). The wichita experiment. Columbia Journalism Review, 31:2.

Hume, E. (1996). The new paradigm for news. The Annals of the American Academy of Political and Social Science, 546:141-153.

John III, B.S. (2007). Newspapers' struggles with civic engagement: the U.S. press and the rejection of public journalism as propagandistic. The Communication Review 10, 3: 249-270, DOI: 10.1080/10714420701528099.

Johnstone, J.W.C., Slawski, E.J. & Bowman, W.W.B. (1972). The professional values of american newsmen. The Public Opinion Quarterly 36, 4: 522-540.

Lowrey, W, Borzana,A, & McKay, J.B. (2008). Toward a measure of community journalism. Mass Communication and Society 11, 3: 275-299.

McDevitt, M. (2003). In defense of autonomy: a critique of the public journalism critique. Journal of Communication 53, 155-160.doi:10.1111/j.1460-2466.2003.tb03011.x

McQuail, D. (2010). McQuails Mass Communication Theory, California: Sage Publications. Journalism Studies 2, 2: 189-205.

Meijer, I. C. (2001). The public quality of popular journalism: developing a normative framework. Meyer, P. (1995). Public Journalism and the Problem of Objectivity. Catatan ceramah Phillip Meyer

pada IRE Conference on Computer Assisted Reporting di Cleveland, September 1995. Nip, J.Y. (2006). Exploring the second phase of public journalism. Journalism Studies 7, 2:

212-236, DOI: 10.1080/14616700500533528.

Page, J.T. (2007). A public journalism response to organizational ethics violations. Journalism Practice, 1:2, 261-276. DOI:10.1080/17512780701275564.

Parisi, P. (1997). Toward a philosophy of of framing: news narratives for public journalism. J&MC Quarterly 74, 4:673-686.

Raivio, J. (2011). Quality journalism: the view from the trenches. Reuters Institute Fellowship Paper University of Oxford, Academic Year 2010/2011, Reuters Institute for the Study of Journalism.

Romano, A.R. (2010). Deliberative journalism: American public journalism versus other international models. Dalam Romano, A.R. (ed.), International Journalism and Democracy: Civic Engagement Models from Around the World, New York & London: Routledge, hal. 16-31.

Rosen, J. (1995). Public journalism: a case for public scholarship. Change 27, 3:34-38.

Rosen, J. (2000). Questions and answers about public journalism. Journalism Studies 1, 4:679-68. Ryan, M. (2001). Journalistic ethics, objectivity, existential journalism, standpoint epistemology, &

public journalism. Journal of Mass Media Ethics 16, 1:3-22.

Shafer, R. (1998). Comparing development journalism and public journalism as interventionist press models. Asian Journal of Communication 8, 1:31-52.

Stamenkovic, G. (2014). The man media as the latest media. Facta Universiatis Series: Philosophy, Sociology Psuchology, and Hisory 13, 3:137-146.

Tebbel, J. (1966). Journalism: public enlightment or private interest? The Annals of the American Academy of Political and Social Science: Ethics in America: Norms & Deviations 363, 79-86.

Vehko, J. (2010). What is quality journalism and how it can be saved. Reuters Institute Fellowship Paper University of Oxford, Academic Year 2010/2011, Reuters Institute for the Study of clinton-target-social-media-swing-states-final-hours/93494872/ pada 28 November 2016. Edkins, B. (2016), “In the Wake of Trump’s Win, Here Are 5 Ways the Media Can Regain

(19)

33

J.P.P. (2016). “Covering Trump: the lessons for political journalists from the presidential election

of 2016,” Economist. Diakses di

http://www.economist.com/blogs/democracyinamerica/2016/11/covering-trump-0 pada 29 November 2016.

Kurtzleben, D. (2016). “Do Fact Checks Matter?”, NPR.org. Diakses di

http://www.npr.org/2016/09/27/495233627/do-fact-checks-matter pada 29 November 2016. Mills, C. (2016), “Journalists Donate More to Clinton,” USNews.com. Diakses di

http://www.usnews.com/news/national-news/articles/2016-10-18/hillary-clinton-gets-more-donations-from-the-media-than-donald-trump-study-says pada 28 November 2016.

Pachico, E. (2016), “What Journalists Can Learn from the 2016 US Presidential Election,” IJNet. Diakses di https://ijnet.org/en/blog/what-journalists-can-learn-2016-us-presidential-election

pada 28 November 2016.

Patterson, R.N. (2016). “Public Disservice: the Media and Hillary Clinton”, Huffingtonpost.com, diakses di http://www.huffingtonpost.com/richard-north-patterson/public-disservice-the-med_b_11887648.html pada 28 November 2016.

Steele, B. (2002). “The Ethics of Civic Journalism: Independence as the Guide,” Poynter.org. Diakses di http://www.poynter.org/2002/the-ethics-of-civic-journalism-independence-as-the-guide/2128/ pada 28 November 2016.

Sutton, K. (2016), “On Media,” Politico.com,

http://www.politico.com/blogs/on-media/2016/08/julian-assange-american-press-supports-demon-hillary-clinton-227597. Shahtahmasebi, D. (2016), “Mainstream Media Officially Goes All In for Hillary-But Two Big

Referensi

Dokumen terkait

Usia menarche (variabel terikat) diukur dalam tahun, aktivitas fisik (variabel bebas) diukur dengan Youth Physical Activity Questionnaire (YPAQ), dan data IMT/U (variabel

Masalah utama dalam pembelajaran kosmetika kecantikan adalah tugas yang diberikan kepada siswa sering kali tidak selesai tepat pada waktunya dan kurang memahami kosmetika

Sementara Ali menghukumi semua jenis pernikahan beda agama adalah dilarang, hal ini termasuk diantaranya pernikahan dengan wanita Ahli Kitab, karena menurutnya wanita Ahli Kitab

Ayat-ayat sabi>lillah yang arah pembahasannya seputar qita>l atau perang ada 17 ayat yang tersebar di dalam al-Qur’an. Ayat-ayat perang tersebut berisi legalitas dan

Pengesahan bunyi naskah (authentication of the text) yang diterima sebagai naskah yang terakhir, dilakukan menurut cara yang disetujui antara negara-negara peserta yang

Pelaksanaan perlakuan yang diberikan kepada mahasiswa calon guru berbeda dimana mahasiswa calon guru dalam kelompok eksperimen diberi pembelajaran menggunakan bahan

Sejalan dengan pendapat Musgrive dan Buchanan (Larasati 2007:13) Suparmoko menyatakan bahwa keuangan publik adalah bagian dari ilmu ekonomi yang mempelajari tentang

Rumah Adat : Rumah Bentang | Pakaian Adat : Pakaian Adat Kalimantan Tengah | Tarian Tradisional : Tari Balean Dadas, Tari Tambun & Bungai | Alat Musik :