• Tidak ada hasil yang ditemukan

FILSAFAT MANUSIA dan kebenaran Rinkas.docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FILSAFAT MANUSIA dan kebenaran Rinkas.docx"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Filsafat Manusia

Pengantar ke dalam filsafat manusia:

- Manusia: menyibukkan diri dengan kegiatan berpikir. Ia tidak merasa tidak pasti dan selalu bertanya. Siapa manusia itu? - Salah satu jawaban: manusia adalah satu hakekat yang aneh. Ia bersifat luruh/suci tetapi juga hina.

- Dari lingkungan budaya Eropa: ada dua teks, yaitu antigone: manusia lebih dari binatang tetapi menaklukkan dan teks Mazmur 8: manusia itu kecil di hadapan Penciptanya. Bdk. Manusia dalam konteks aliran kebatinan. Catatan: antigone adalah semacam teks nyanyian karya Sophocles (Yunani) than 497– 406 SM.

San raksasa adalah banyak. Yang dimaksud dengan raksasa di sini adalah manusia Aliran kebatinan: manusia terdiri dari badan jarmani, badan nafsu, roh/ jiwa.

Persoalan dewasa ini: manusia belum mengenal dirinya secara penuh. Dulu kodrat nanusia berkuasa dan karena itu, ia perlu diolah dan dijinakkan melalui ilmu

pengetahuan dan teknik. Tetapi sekarang justru kodrat itu dieksploitasi dan direkayasa menurut kemampuan dan kemauan manusia. Persoalannya: apakah rekayasa dan eksploitasi itu dapat dipertanggungjawabkan secara etis? Apakah jati diri manusia yang sebenarnya?

Kesimpulan sementara: manusia itu tidak tahu tentang jati dirinya atau hakekat dirinya secara penuh. Tetapi:

- bagaimana untuk menjinakkan kodrat manusia - rekayasa terhadap kodrat manusia

Persoalan terakhir menjadi pertanyaan filosofis: apa yang menjadi hakekat manusia? Ilmu pengetahuan telah menjawabnya dengan sudut pandang yang berbeda. Tetapi, refleksi filosofis melampaui semua itu dan menjadikan keseluruhan diri manusia sebagai sasaran berfilsafat. Munculnya filsafat yang bergulat tentang manusia: filsafat manusia/filsafat antropologi/antropologi methafisik.

Sasaran filsafat manusia: hakekat manusia sebagai satu realitas ‘ada’, berbentuk khasnya, struktur batiniah dan dinamikanya, sistematisasi seluruh pengetahuan, kritik pengetahuan, metafisikan pengetahuan, pendasaran etis, dan sebagainya. Filsafat manusia melibatkan jiga pendekatan tentang manusia.

Filsafat mc berbeda dengan Antropologi (antropologi rafawi dan budaya) penelitian empiris positif tentang manusia. Antropologi rafawi: soal fisik, bentuk tubuh dan sebagainya. Antropologi budaya: soal kebudayaan. Juga bebeda dengan Ethnologi: penelitan empiris-positif tentang ras dan suku tertentu.

I. Pertanyaan tentang pedekatan yang tepat

Titik tolak apa? Titik tolah ilmu pengetahuan Alam dan mengapa? Ilmu pengetahuan ini dipandan sebagai ilmu yang menggeluti kodrat manusia secata objektif, teliti dan tepat. Ilmu pengetahun Alam tentang manusia:

 Fisika: bebicara tentang manusia sebagai satu tubuh: bentuk tubuh, tipe tubuh, gerakan mekanis dalam tubuh dan sebagainya.

 Kimia: tentang manusia sebagai satu komplesitas ikatan-ikatan kimiawi dan proses-proses kimia

 Biologi: tentang manusia sebagai makhluk hidup.

I.1. Pendekatan dalam konteks biologi perbandingan

 Biologi perluas konsep fisika dan kimia tentang manusia, tetapi pertanyaan: bagaimana kedudukan manusia dalam konteks mekhluk hidup lain?

 Manusia: satu jenis dari makhluk hidupa. Penetapan ini bedasarkan kesamaan dan keserupaan makhluk-makhluk hidup

 Manusia: tergolong binatang menyususi dan dalam kelompok binatang menyusui,manusia binatangmenyusui tingkat tinggi, yaitu manusia-kera (anthropoide). Yang termasuk anthropoide: cimpase, gorilla, orang0utan. Biologi perbandingan berfokus pada manusia dan manusia-kera.

Kesimpulan filosofis dari perbandingan anatomis-morpologi:

Baik manusia maupun manusia-kera masih dalam satu fase perkembangan evolusi dari bentuk sebelumnya menuju bentuk tertentu: - Menunjukkan pada manusia sebelumnya berasal dari sosok tertentu.

- Perkembangan seperti yang sekarang ini bukan suatu hasil perkembangan yang sudah selesai.

1.1.2. Posisi Khas Ontogenitis

* Posisi khas ontogenitis: fase kelahiran sejak berada dalam kandungan pada masa awal sesudah kelahiran; * Binatang menyusui: masa mengandung 21-22 bulan, seusdah lahir, alami kematangan segera untuk berdiri sendiri.

* manusia: dikandung 9 bulan: setelah lahir butuh waktu untuk berdiri, karena otot dan syaraf berkembang perlahan samapai ±satu tahun (merangkak); sedari kandungan sampai saatlahir ada tiga unsure penting yang terbentuk serempak; kesanggupan untuk menggunakan alat; bahasa yang khas, perkembanan sikap tegap. Tiga hal itu tidak terdapat pada binatang menyusui.

* kesimpulan filosofis : hakekat manusi belum bisa ditentukan.

1.1.3. Keistimewaan Struktur Tingkah laku / Sikap

* Struktur dasar yang sama menjawabi rangsangan dari luar secara biologis, khas dan punya arti tertentu.

* Pada binatang menyusu: Reakai terhadapa rangsangan dari luar secarahormonal reaksi ini membangn rankaian tindakan dengan tujuan tertentu seperti: pemuasan, perkawinan, penetapan puisi dansebagainya. Reaksi yang rangsangan baru dan rangsangan baru inimenghasilkan tindakan tertentu yang mempunyai tujuan khusus tertentu. Binatang dalam situasi apa saja “sudah“ mengenal secara hormonal reaksinya. Pada jenis binatang tertentu sudah ada factor “penggemblengan” tetapi juga ada factor “belajar”, demikian ahlai Etologi (ilmu tentang tingkah laku binatang)

* Pada manusia: rangsangan dari luar dan reaksi manusi sudah berada di bawah pengawasan akal. Memang tidak dapat dibedakan kerja insting dan rangsangan dari luar, tetapi keduanya dapat ditransformir oleh akal budi sehingga manusi dapat membedakan dorongan-dorongan itu, dorongan makan, dorongan seksual, dorongan pertahanan hidup, tapi semua dorongan itu tidak dapat ditaksir, malah dorongan yang satu selalu diselimuti oelh motif-motif lain yang berpengaruh terhadap tingkah laku manusia seperti dorongan seksual yang diselimuti oleh moif prestise dan kuasa. Dengan akal budinya, manusia dapat memberi arti dan menghargai obyek-obyek sebagaimana adanya menurut realitas yang melekat di dalam obyek itu. manusia dapat membangun etikanya dan penalaran kritis.

* Kesimpulan filosofis: Tampak ada perbadaan hakiki antara ahkekat binatang dan hakekat manusia oleh karena adanya akal budi pada manusia. Tetapi persoalannya: akal budi bersifat material / non-material, juga dalam penelitian terhadap binatang ditemukan juga semacam “akal” yang menjadi pengawas tingkah laku binatang.

Bersifat material: Akal budi itu adalah mater, melakukan kegiatan materi.

I.2. Problem Pendekatan

Pernyataan Filosofis: Biologi perbandingan melihat tidak adanya perbedaan esensial hakekat manusia dan binatang. Apa manusia sederajat dengan binatang atau lain dari binatang?

Dua pendekatan untuk mengatasi paradox itu:

Arnold Gehlen: Manusia sebagai satu hakekat yang cacat dalam tugas pertahanan diri dan pemenuhan kebutuhan pokok. Dia sebetulnya satu hakekat dengan binatang, tapi cacat binatanglebih tampil dari manias. Gagasan gehlen merupakan satu kritik terhadap pandangan konvensional tentang hirarki ciptaan: anorganis, organis (tubuhan, binatang, manisia) mahluk rohani , Tuhan sebagai pencipta. Pencipta kritik terhadapa Gehlen: Antropomorfisme dan metaphysikan bioleogis.

Max Scheler: manusia lain daripada binatang secara esensial kekuasaan manusia, kemampuan untuk mengatakan “tidak” pada dorongan naluriah: itulah kemampuan vital “roh”. Eksistensi manusia itu terletak antara kutub kebinatangan dan kutub keilahian. Manusia itu penghubong dank arena itu ia memiliki sifat setengah binatang setengah malaekat. Eksistensi maunsia merentang dari lapisan yang paling dalam dan gelap, lapisan yang menjadi milik bersama semua makhluk hidup.  padalapisan tertinggin yang paling khas dan menjadi milik manusia saja. Kritik: Unsur dualisme tetap ada.

 Pendekatan ontologism: Melihat manusia sebagai satu realitas “ada” secara menyeluruh dan realitas “ada” manusia berbeda dengan realitas “ada” binatang. Tiga tuntutan berikut dalam bidang ontology:

 Harus ada satu pengertian umum dan pengertia umum itu adalah subyek dan sbyelinitas.

 Pertanyaan tetang hakekat menuntut pembatasan jelas. Ontology menggeluti soal itu.

 Masalah fenomenologi dan ontology. Ontology menuntut penafsirang yang terus-menerus tentang fenomen-fenomen yang dapat menghantar orang pada pemahaman tentang hakekat manusia.

I.3. Pengertian tentang subyek

I.3.1. Subyektivitas: satu relasi kesatuan

Realitas “ada” = kesatuan. Kesatua itu terdiri dari keterpaduan dan keterbukaan setiap unsure berpautan dengan sesuatu yang menjadi milik bersama tetapi mamiliki kesendirianya. Ini berlaku untuk apa saja: benda anorganis, benda organis seperti tumbuhan, binatang dan manusia. Tetapi intensitas keterpaduan dalam satu kesatuan dan keterbukaan berbeda-beda.

(2)

a. Jenjang pembentukan jati diri obyektif dan keseluruhan kita bertolak dari sifat kesatuan benda anorganis seperti sebuah batu, bila batu itu dipecahkan menjadi dua bagian, maka kita bertanya apakah ada dua batu yang berbeda atau dua keeping batu dari batu yang sama? Ini bergantung pada penafsiran dan pengamatan kita. Pemahaman satu kesatuan batu itu bergantung pada tujua penggunaan benda itu. Melalui tujuan penggunaan itu, kita dapat mengenal bahwa bagian-bagian yang terpisah dapat menunjukkan kepada keseluruhan dan dapat menyatu juga dalam keseluruhan. Pengertian tentang tujuan bergungsi sebagai perinsip kesatuan benda itu. ide dasar in lalu dikenalkan pada prinsip kesatuan pada makhluk hidup.

Makhluk hidup: Makhluk hidup memiliki tujuan di dalam dirinya. Keberadaanny bersifat ganda: sebagai satu individuum dan sebagai makhluk dari satu jenis species. Individuum: jati diri obyek dari satu makhluk, sedangkan jenis atau species: keseluruhan yang di dalamnya individuum itu termasuk. Arti keberadaaan mekhluk hidup itu tidak terletak dalam fungsinya, tapi dalam prinsip kediriannya (prinsip jati diri obyektif) yang sangat jelas terlihat dalam realisasi diri seprti pertahanyan diri, perkembangan diri, pertukaran zat-zat kimiawi dan sekalifus juga dalam prinsip keseluruhan yang sangat jelas terlihat dalam dinamika hidup makhluk itu termasuk perkembangan bagian-bagian dalam satu makhluk seprti regenerasi bagian-bagian dalam tubuh atau kempunsasi untuk bagian-bagian yang tak berfungsi.

b. Jenjang Perwujudan kesatuan yang melekat pada sifat subyek.

Perbedaan Prinsip kesatuan bendan anorganis dan organis: benda anorganis bersifat instrumentalis, sedang organis  prinsip kesatuan batiniah. Mengapa? Hakekat batu: kesatuan yang tertutup dan hanya dapat dipahami dalam konteks pengamat. Hakekat makhluk hidup: kemampuan berada atau kemampuan untuk mempunyai tujuan dalam dirinya. Kemampuan untuk mempeunyai tujuan di dalam dirinyatercermin dalam kegiatan refleksifitas: aktif-pasif. Aktif: Aktivitas gerak dilakukan ketika berhadapan dengan rangsangan dari luar. Pasif: Pososo “menantikan” rangsangan dari luar. Kegiatan refleksifitas aktif-pasif ini berkorelasi secara intrinsic di dalam dinamika makhluk hidup, meskipun tingkatan korelasi itu berbeda pada tumbuhan, binatang dan manusia. Tumbuh-tumbuhan dalam dinamikanyua refleksitas pasif lebih menonjol dari pada aktif. Aktivitas dan pasivitas memiliki intensitas yang berbeda pada semua makhluk hidup.

Pada manusia, kegiatan refleksivitas aktif-pasif berkembang pesat dan khas itu tampak dalam perkembangan otonomitas diri dan serempak perkembangan sosialitasnya. Perkembangan kedua aspek ini menyentuh keseluruhan diri manusia yang melampaui duni fisis, yaitu menyentuh pencapaian hidup penuh arti. Dan ini terlaksana dalam realitas realitas diri yang otonom dan social dengan realitas diri yang lain dalam proses “mengenal dan dikenal, menhargai dan dihargai, mencintai dan dicintai”. Inilah penghayatan kesatuan dalam jenjang tertinggi.

Pengertian subyektif: satu kesadaran menyikapi diri sendiri dengancara menyikapi diri ang lain. Subyek: Ketegori ontologism yang menkadi tanda pengenal hakekat manusia. Yang melekat pada subyek: sifat yang berpautan dengan subyektivitas, yaitu cara berada dari realitas manusia. Cara berada yang meliputi baik kesadaran maupun ketikdaksadaran dan unsure-unsur psikolo-biologis.

I.3.2. Subyektivitas sebagai “berada-dala-dunia”

 Manusia dan makhluk hidup: sama-sama membangun satu lingkungan hidup. Tetapi lingkungan hidup keduanyaberbedan (binatang dan manusia). Perbedaan itu terletak dalam makna kata “subyek” yang melekat pada manusia. Subyek pelaku yang menjawab pertanyaan bagaimana dan terhadap apa dia bersikap. Makhluk hidup yang lainbukanlah subyek, karena mereka berda dari lingkungan dunia sebagaimana adanya, apa adanya.

 Perhatian dunia. Pengertian formal kosmologis dan anthropologis. Formal: totalitas atau keseluruhan dunia. Kosmologis: keseluruhan realitas sebagaimana adanya antara sudah dan yang saling berhubungan dan pengaruh-mempengaruhi. Anthropologis. Keseluruhan realitas yang berhubungan dengan subyek dan mempunyai arti tertentu untuk subyek. Karena itu dunia yang demikian bias bersifat sempit, karena subyek-subyek mempunyai dunianya sendiri, sejauh dunia itu mempunyai arti tertentu untuk subyek. Dunia si A berbeda dengan dunia si B.

 Semua manusia dalam proses perkembangan memiliki alur atau jalan hidup yang sama . Alur hidup itu: dunia manusia sendiri yang bercirikan kesadaran yang terbuka terhadap dunia manusia lain. Subyektifitas sebagai sesuatu yang berada dalam dunia, bukan hanya dunia tempat tinggal, tetapi yang bertanggungjawab untuk mengelola dunia menjadi miliknya. I.4. Mencari kesatuan pengertian tentang manusia

 Subyek dan subyektivitas: unsure esensial yang membedakan manisia dari makhluk hidup yang lain. Persoalan di sini bukan lagi antara manusia dan makhluk lain, tetapi manisia sendiri. Apakah antara manusia yang berbeda-beda dalam sosok tubuh, figure, bahasa, budaya dan adat istiadat, cara berpikir, dan sebagainya terhadap satu hakekat sama?

I.4.1. Kesatuan Hakekat?

Pengertian tentang ikhtisar dasar tentang realitas manusia dan pengertian menyentuh penysunan yang jelas tentang manusia melalu definisi. Definisi harus memuat satu identitas tetap yang berlaku untuk semua manusia yang berbeda-beda.

Ada dua fase tentang realitas manusia yang tinggal tetap sejak dahulu sampai sekarang:

a. Tidak ada sama sekali kesatuan hakekat manusia. Yang ada hanyalah gejala-gejala lahiriah. Argumentasinya: peralihan dari unsure hakiki pada binatang menuju manusia tidak jelas; juga tidak jelas adanya pembedaan khas antara unsure hakiki manusia yang satu dengan manusia yang lain. Pengelompokan yang dibuat sampai sekarang tentang jenis makhluk hidup dibuat sewenang-wenang, termasuk pengelompokan manusia menurut kulir, ras, suku dan sebagainya. Pembagian itu bersifat sewenang-wenang, karena hanya menyentuh gejala-gejala lahiriah saja.

b. Tese yang kedua: ada kesatuan hakekat. Semua manifestasi kehidupan manusi berasal dari satu hakekat yang sama. Argumentasinya: adanya daya-daya manusia yang terwujud dalam perkembangan tekhnik dan kemungkinan baru utuk menemuan tekhnik. Daya-daya ini yang menjelma dalam tekhnikbertujuan untuk menjawabi tantangan dunia. Dengan demikian semua manusia menempuh satu jalur yang sama, yaitu kemampuan manusia utuk menjawbi tantnagan dunia melalui penemuan dan pengembangan tekhnik.

I.4.2. Universalitas pengertian dan kessatuan perngertian tentang mannusia?

 Masalah: ketika kita mengolah pengertian kita tentang manusia, ketika itu juga pengertian kita sudah terkondisikan oleh lingkungan sejaraha dan kebudayaan kita.

 Disposisi negative yang membelakangi usaha untuk menetapkan pengertian kita tentang manusia:

- Disposisi Ethosentrisme: kebudayaan sendiri, adat-istiadat, keyakinan dansebagainya lebih tinggi dari pada kebudayaan, adat-istiadat dan sebagainya dari orang lain. Konsep tentang manusia lebih baik dari yang lain. - Disposisi relativisme: semua pengertian dan pemahaman tentang apa saja, termasuk tentang manusia sama saja. Tidak ada kebenaran mutlak.

 Kedua disposisi itu tidak menjawabi persoalan kita. Keduanya bertolak dari satu pengandaian yang keliru bahwa haruslah ada perumusan satu kebenaran absolud. Kenyataannya manusia yang bermacam-macam adalah juga subyek-subyek yang berbeda-beda. Tetapi subyek-subyek ini di dalam dirinya memikirkan subyek ‘transendental’ yang menuntut perhatian obyektif tentang kebenaran.

 Dari pengertian di atas: dibutuhkan dialog yang terus-menerus untuk memecahkan masalah pengertian dan pengetahuan tentang manusia dan untuk memajukan proses pengenalan diri. Dialog itu berdiri di atas prinsip kesederajatan.

2. Dimensi Dasar Realitas Manusi sebagai Realitas “ada” 2.1. Bahasa

2.1.1. Peristiwa terjadinya bahasa dan system bahasa

- Ada elemen tetap dalam bahasa manusia: kata, kalimat, ungkapan, bunyi, suara, dansebagainya; itu berarti ada aturan yang membentuk semuanya itu. menurut penelitia proses terjadinya bahasa ada gudang persediaan di dalam diri manusia, satu gudang persediaan yang memungkinkan terbentuknya aturan, unsusr dan system yang melahirkan bahasa.

- Unsur-unsur bahasa (tanda bahasa dengan arti tertentu) berada dalam suatu hubungan yang sistematis. Hubungan itu emiliki strutur yang dapat diselidiki. - Sistem bahasa berubah secara historis. Dua cara pandang, synkronistis dan diakronis.

 Synkronistis: cara pandang yang berhubungan dengan keadaan satu bahasa pada satu waktu tertentu, misalnya: system bahasa dengan ejaan ‘oe’ dalam bahasa Indonesia dulu.

 Diakronis: cara pandang yang melukiskan perubahan bahasa dari satu fase ke fase yang berikut, misalnya: Perubahan dari ejaan “dj” ke “j”.

 Kedua cara pandang itu membantu mengenal perubahan bahasa baik perubahan yang berasal dari factor luar maupun dari factor dalam.

 Perubahan itu memperlihatkan adanya perubahan struktur jugaharus dibedakan struktur dasar satu bahasa dan struktur faksinya. Sturktur dasar, struktur dalam untuk menjadi dasar perbandingan bahsa dan untuk temukan hakekat semua bahasa. Struktur faksis: struktur permukaan yang terjadi dalam waktu tertentu. Dari bahasa yang berbeda-beda bisa ditemukan struktur dasar yang serupa untuk mengungkapkan isi yang sama tapi juga struktur dasar yang berbeda untuk ungkapan isi yang sama.

 Penelitian terhadap unsure bahasa membawa kita kepada pemahaman bahwa setiap bahasa merupakan satu system differensiasi yang tersusun berlapis-lapis secara hirarkis dari yang sederhana manjadi yang paling kompleks.

 Prinsip differensiasi: arti dari tanda tetentu terletak dalam perbedaan antara tanda yang satu dengan tanda yang lain dalam satu system bahasa yang sama.

 Setiap system bahasa memiliki lapisan hirarkis dari sistem-sistem yaitu dari fonem ke katamenuju kalimat. Artinya tampak dalam tanda bahasa dan bahasa itu sendiri adalah hasil ciptaan manusia.

(3)

2.1.2. Prestasi Bahasa

 Prestasi bahasa: hasil kemampuan yang diprediksikan oleh cara-cara berbahasa. Dan prestasi bahasa itu dapat dibaca dalam fungsi bahasa. Psikolo Karl Bühler. Tiga fungsi bahasa, yaitu sebagai simbol, symptom dan signal.

 Tiga fungsi itu dapat dijabarkan dalam tiga fungsi umum: Presentasi, komunikasi, dan pengungkapan diri. a. Presentasi

 Menghadirkan sesuatu yang konkrist berupa barang, hal atau keadaa.

 Menghadirkan sesuatu yang sudah tidak dapat ada (misalanya sejarah) dan seusuatu yang belum ada (misalnya ramalan/ futurologi)

 Menghadirkan sesuatu yang tidak pernah secara riil dan obyektif ada, misalany bahsa figuratif dalam syair, puisi, dan peribahasa. b. Komunikasi

 Bahasa berfungsi mengkomunikasikan sesuatu pepada yang lain baik secara verbal maupun secara non-verbal.

 Bahasa: alat kumunikasi dari kelompok-kelompok sosial seperti dalam kontrak kerja, kentrak perkawinan, kontrak negara. Dalam kunteks ini, bahasa termasuk dalam satu institusi sosial yang paling mendasar.

 Bahasa mencerminkan status sosial dalam masyarakat. Arti dan maksud dikomunikasikan dengan bahasa yang berbeda. Contoh: komunikasi seorang murid dengan guru berbeda dengan antara murid dengan rekannya.

c. Pengungkapan Diri

 Bahasa berfungsi sebagai alat pengungkapan diri, yaitu mengekspresikan kehendak dan pikirannya.

 Pengungkapan diri melalui bahasa tidak hanya terbatas pada kata-kata, tapi juga pada ekspresi tubuh. Juga pengungkapan diri itu tidak hanya perorangan tetapi juga bersama-sama seperti tarian adat, nyanyian berbersama-sama-bersama-sama dan sebagainya

2.1.3. Bahasa sebagai alat dan perantara

o Bahasa sebagai alat berarti menghadirkan realitas diri. Bahasa perantaran berarti menjadi jembatan atau penghubung antara realitas diri dan realitas yang berada di luar diri. o Situasi yang membahayakan fungsi bahasa sebagai alat perantara: dalam hal menipu; bahasa tidak menjadi perantara kebenaran. Bagaimana bahasa diplomasi?

Dalam cara bicara yang melantur-lantur cara bicara dengan menggunakan kata-kata yang tidak mengungkapkan isi dan maksud yang jelas. Bahasa asing: fungsi bahasa sebagai perantara hanya dapat dipahami menurut pola penafsiran yang berkaitan dengan lingkungan hidup masyarakat yang masih menggunakan bahasa asing itu. Dan ini bergantung juga pada sipengguna bahasa asi itu apakah dia mengerti secara tepat arti bahasa asing yang dipakai itu.

2.2. Sosialitas.

2.2.1. Fenomena Sosial

 Fakta: manusia hidup dalam relasi dengan manusia lainnya. Bukti relasi itu bermacam-macam dan tak terhitung jumlahnya. Bentuk itu berada dalam satu sistem sosial dan struktur sosial tertentu.

 Macam-macam tipe relasi sosial: yang bersifat kodrati seperti keluarga dan relasi sosial buatan. Juga relasi sosial yang stabil dan tidak stabil, relasi sosial yang didasarkan pada persahabatan dan pada struktur hirarkis; yang betujuan dalam dirinya dan juga bersifat rasional. Satu orang bisa memainkan peranan bermacam-macam dalam relasi sosial.

 Relasi sosial itu selalu mengambil bentuk tertentu sesuai dengan harapan dan peranan yang dimainkan. Dua aspek mendasar yang membentuk relasi sosial: obyektif (pola tingkah laku yang diikuti oleh setiap individu) dan subyektif (struktur tingkah laku individu sendiri yang memberi warna terhadap relasi sosialnya).

2.2.2. Sosiobiologi, sosiologi dan Filsafat sosial

 Tema yang sama dari ketiga disiplin ilmu: manusia sebagai satu realitas sosial. Sering kali pengertian ketiganya tumpang tindih, tapi ketiganya berbeda satu sama lain dan berhubungan erat satu sama lain.

 Sosiobiologi: Satu terori pengetahuan tentang fenomen sosial dengan bertolak dari biologi. Dia merupakan satu interpretasi ilmiah tentang populasi dan asal-usul tingkah laku biologis baik pada hewan maupun pada manusia. Populasi di sini berarti kumpulan individu-idividu yang tercipta dalam ruang lingkup geografis tertentu oleh karena perkawinan dan perkembangbiakan.

 Peneliti sosiologis yang menyentuh kehidupan kelompok baik binatang maupun manusia, arah tingkah laku mereka egosentris.

 Kelemahan penelitian sosiobiologis pada manusia: premisa filosofis yang memandang asal-usul dan tingkah laku manusia sebagai yang diwariskan secara biologis semata-mata dari nenek moyangnya. Itu berarti bahwa kodrat manusia itu adalah kodrat biologis semata, dan itu sudah terprogram secara genetis. Muatan rohani-kultural tidak ada.

 Untuk mengatasi kelemahan itu: ada sosiologi. Premisa filosofisnya: bukanlah satu filsafat materialisme, tetapi satu filsafat sosial yang terbuka terhadap berbagai macam pendekatan yang melibatkan aspek rohaniah-kultural dari realitas sosial manusia. Sosiologi meneliti fakta-fakta sosial yang trlihat dalam hubungan sosial, tingkah laku sosial, struktur sosial, bentuk-bentuk sosial, pendeknya realitas sosial yang dijiwai oleh semangat dan roh yang tidak bersifat material. Beberapa aliran sosiologi justru merupakan contoh keanekaragaman pendekatan dan tematisasi fakta sosial, seperti konflik Karl Marx, positifisme Auguste Compte, teori tentang struktur masyarakat yang ideal Karl Popper, dan sebagainya.

 Sosiologi: beranjak menuju filsafat sosial yang menggeluti kompleksitas realitas sosial: sejauhmana aku termasuk dalam yang lain dan yang lain termasuk dalam diriku? Apa unsur esensial dalam realitas sosial: aku sebagai individu atau kebersamaan, dan sebagainya.

2.2.3. Kritik Terhadap Posisi-posisi Ekstrim a. Individualisme dan Kritik Terhadapnya

Individualisme: satu pemahaman bahwa kehidupan bersama itu dibentuk dan dibangun atas dasar persetujuan dari individu-individu (masyarakat: kumpulan individu) dengan tujuan tertentu yang mau dicapai bersama. Argumentasi ontologis: realitas yang sesungguhnya adalah individu; sedangkan kehidupan bersama atau masyarakat bersifat sekunder dan aksidental. Argumen Ethis: Individu sebagai pribadi adalah nilai tertinggi. Dia berhak menetukan dirinya sendiri dan berkuasa atas dirinya. Hak pribadi diutamakan.

Kelemahan: konsep di atas abaikan struktur dalam diri kehidupan bersama. Didalam bentuk kehidupan bersama, hubungan antara individu bersifat hakiki; di dalamnya bukan hanya terdapat individu-individu, tetapi kesepakatan dan persetujuan itu bersifat mengikat dan membentuk ‘kita’. Ada keterikatan antarn individu yang satu dengan individu yang lain dan untuk itu satu otoritas sosial merupakan satu keharusa. Individualisme terlalu menekankan kebebasan individu tanpa memperhatikan otoritas sosial itu.

b. Kollektivisme dan kritik terhadapnya

Kollektivisme: satu pemahaman bahwa kehidupan bersama itu tidak dimengerti sebagai terdiri dari kumpulan individu, tapi satu organisme sosial yang dilihat sebagai satu tubuh yang memiliki anggota-anggota. Argumentasi ontologis: realitas sosial itu merupakan satu yang hakiki, dia tidak diasalkan dari individu-individu. Individu itu merupakan satu yang sekunder; yang lebih dahulu ada adalah masyarakat. Argumentasi etis: kesejahteraan bersama mendahului kepentingan diri.

Kritik: Paham itu tidak memberi ruang kebebasan pada individu. Hak individu diatur sejalan dengan tuntutan kehidupan bersama. Dampak pada dunia pendidikan: batasi kebebasan dan ekspresi anak didik lewat peraturan dan hukum. Anak dipaksa untuk taat dan tunduk buta tanpa punya kuasa untuk melawan apa yang diajarkan guru.

2.2.4. Aku dan yang lain

Aku dan yang lain: realitas aku dan realitas yang lain. Realitas sosial: realitas aku sebagai subyek dan realitan hubungan antara aku dan yang lain. a. Intersubyektivitas dan interpersonalitas

Intersubyekitvitas: hubungan antara aku sebagai subyek dan yang lain sebagai subyek, tetapi ukurannya: kebenaran obyektif, yaitu kebenaran yang ada dalam dirinya sendiri dan menjadi rujukan untuk perkataan dan tindakan yang benar. Kebenaran obyektif menjadi tuntutan yang berlaku untuk semua subyek. Intersubyektivitas terwujud dalam pengenalan dan pengakuan semua subyek akan kebenaran obyektif itu. Kebenran obyektif ini adalah milik dari subyek ideal.

Ijntersubyektivitas: tidak hanya hubungan antara subyek, tetapi realitas antara subyek ini harus berdiri di atas satu subyek ideal yang disebut subyek transendental, yaitu satu subyek ideal yang berdiri melampaui pengenalan, pangalaman dan kepentingan subyek-subyek konkrit. Baik aku sebagaisubyek maupun yang lain sebagai subyek mengambil bagaian dalam subyek ideal ini merupakan kesatuan batiniah semua hubungan subyek konkrit.

Interpersonalitas: hanya mungkin ada apabila intersubyektivitas terwujud. Intersubyektivitas dalam arti di atas adalah interpersonalitas, yaitu hubungan antara pribadi yang tersirat dalam setiap subyek. Subyek sendiri mewakili pribadi. Interpersonalitas mengandaikan hubungan antara subyek atau intersubyektivitas.

b. Yang lain

Yang lain: diri orang lain ketika saya berhadapan dengan orang kedua dan ketiga tetapi juga diri saya ketikan orang kedua dan ketiga berhadapan dengan saya. Saya menyebut mereka “yang lain” dan sebaliknya mereka menyebut saya juga “yang lain”

(4)

dalam penampilan lahiriahnya.”Yang lain” dalam pengalamanku akhirnya menjadi “yang lain sama sekali”, begitu juga “yang lain” ketika berhadapan denganku menyebut aku sebagai “yang lain sama sekali”.

Ciri khas relasiku dengan yang lain: berawal dari pemnilaianku terhadap yang lain dan penilaian ini keluar dari diriku, cintaku, kegemaranku, pikiranku dan perasaanku, dan sebagainya. Ternyata, yang lain tampil tidak ramah, dan karena itu, yang lain adalah ancaman bagiku untuk mengatasi rasa ini, aku lalu berusaha untuk menundukkan yang lain agar dia ramah , bertindak baik terhadapku, menghargai dan menerimaku. Begitu juga, perspektif ini menjadi persepektif yang lain ketika dua berhadapan denganku. Dia melihatku sebagai ancaman untuk dirinya, dan karena itu, dia berusaha untuk menundukkanku agar aku menerima dan menghargainya. Dalam membangun relasi seperti ini perlu ada ruang kepercayaan yang harus ditempa agar yang lain dapat masuk ke dalam duniaku dan begitu juga aku dapat masuk dalam dunianya. Kepercayaannya mengandaikan keberanian, keterampilan dan resiko. Aku dan yang lain berdiri di atas satu basis yang sama, yaitu diri (self). Aku adalah diriku sendiri, dan yang lain adalah dirinya sendiri. Hubungan aku dan yang lain hanya memperkokoh jati didi masing-masing, yaitu bahsa yag alin tetap menjadi yang lain sama sekali, dan aku juga menjadi yang lain sama sekali dalam pemandangan yang lainterhadapku.

2.3. Kesejarahan atau Historisitas

2.3.3. Kesejarahan dari penulisan sejarah

Manusia: satu hakekat yang menyejarah. Penulisan sejarah: untuk menuliskan peristiwa manusia yang sudah terjadi di masa lampau. Ideal penulisannnya apa yang diteliti dan ditulis harus sesuai dengan apa yang sudah terjadi sebagaimana adanya. Persoalannya: apa ideal itu bisa terwujud? Jawabannya: tidak bisa terwujud, karena apa yang ditulis perku rekonstruksi sejarah, sejarh perlu relasi yang sudah terjadi dulu. Karena itu perlu sejarah, sejarah perlu dikonstruksi lagi dan metodenya pun harus selalu diperbaharui.

Dua alasan mengapa sejarah harus selalu ditulis ulang dan metode jarus selalu diperbaharui. Pertama, adanya penemuan sumber-sumber baru seperti arsip atau tanda-tanda atau huruf tertentu. Penemuan itu membuka horizon pengetahuan yang baru bila diteliti lagi degan metode yang tepat. Kedua, setiap sumber tertulis yang berisikan tentang peristiwa masa lampau tidak pernah selesai menyampaikan sesuatu. Sumber-sumber itu memeuat semacam satu realitas objektif yang tidak terikat dengan waktu. Karena itu kegiatan penafsiran terhadapnya harus berjalan terus. Sumber-sumber terulis itu merupakan satu penafsiran.

Cara penulisan sejarah: senantiasa berubah. Perubahan ini mencerminkan adanya perubahan cara-cara untuk mengerti masa sekarang secara lebih baik. Sekarang orang mengerti masa sekarang yagn merupakan kelanjutan dari masa dulu dengan jaringan-jaringan peristiwa yang beranekaragam (tinjauan psikologis, historis dan sebagainya). Penulisan sejarah dan penulisannya berada dalam satu latar belakang sejarah dan ideologiyagn mewarnai penulisannya. Karena itu, perlu ada sejarawan yang selalu kritis terhadap penulisan sejarah orang lain dan kritik terhadap penulisan sejarhnya sendiri.

Sasaran penulisan sejarah: kesejarhan itu sendiri, yaitu segala sesuatau yang terjadi di masa lampau sebagaimana adanya dan itu mancakup keseluruhan realitas manusia dengan segala aspek.

2.3.2. Ide tentang waktu obyektif dan waktu subyektif

Ide tentang waktu obyektif: satu perjalanan waktu yang mengikuti garis-baris dengan berciri khas terjadi lebih awal, lebih kemudian, kemudian sekali dan paling akhir, pendeknya: satu struktur dasar waktu yang didalamnya peristiwa-peristiwa terjadi “satu sesudah yang lain”. Struktur dasar dari waktu obyektif ini dapat ditentukan secara pasti manurut hukum fisika, khususnya astronomi dan waktu seperti in adalah waktu kodrati, karena perjalanannya didasarkan pada peredaran dan ritual alam seperti siang , malam, hari, minggu, bulan, tahun dan musim. Waktu kodrati ini dilengkapi lagi oleh hasil kesepakatan yang berisikan peristiwa tertentu sebagai titik referensi pembagian waktu, misalnya penanggalan atau kalender yang dibuat berdasarkan kelahiran Yesus Kristus, Hijrah Nabi Muhammad, peristiwa kemerdekaan bangsa Indonesia dan sebagainya. Pembagian waktu seperti ini bisa berupa satu periode, satu epoche atau zaman.

Ide tentang waktu subyektif: gambaran tentang waktu yang dikitkan dengan manusia sebagai subyek.waktu subyektif adalah kesejarhan yang melekat pada subyek itu sendiri. Tanpa subyek tidak ada gembaran tentang waktu. Waktu dalam kaitan dengan subyek: kesatuan antara masa lampau, masa sekarang dan masa depan. Hal ini dijelaskan dalam tiga arti mendasan ini.

Pertama: waktu adalah keseluruhan semua moment atau saat, yaitu momen dulu, sekarang dan yang akan datang. Moment itu tidak lain dari pada hasil sintese masa dulu dan yang akan datang dengan yangsekarang. Waktu lampau dihntar untuk masuk ke dalam masa sekarang melalui “kenangan”, sedangkan masa yang akan datang dihantar masuk ke dalam masa sekarang melului “antisipasi”. Masa sekarang mendapat tekanan istimewa, karena masa sekarang merupakan kekinian subyek, aktivitas subyek. Jadi, masa sekarang menjadi titik tolak ke dua dimensi, yaitu dimensi masa lampau dan dimensi masa yang akan datang. Masa lampau dan masay ayang akan datang adalah manusia sekarang terhayati subyek.

Kedua: masa lampau, masa sekarang dan masa depan selalu merupakan satu kesatuan. Unsur yang satu tidak bisa ada terpisah dari unsur yang lain. Contoh: satu melodi. Satu melodi merupakan satu kesetuan yang tersusun dari setiap nada. Bila kita mendengarkan beberapa nada dari satu melodi yang dikenal, maka pada waktu yang sama kita terarah kepada keseluruhan melodi itu sebagai satu kesatuan dan serempak mengantisipasi munculnya nada-nada lain yang menyusul dalam keseluruhan melodi itu. dengan demikian, kesatuan waktu itu terbaca pada keseluruhan waktu dulu, selaramg dam uamg akan datang tetapi serempak juga terarah kepada dimensi dulu melalui kenangan dan dimensi yang akan datang melalui antisipasi.

Ketiga: Waktu subyektif selalu memuat waktu obyektif. Tapi bagaimana hal ini dijelaskan atau sejauh mana waktu obyektif itu ada dalam waktu subyektif. Contoh: Kita berhadapan dengan satu drama di atas panggung. Drama itu mencerminkan perjalanan hidup kita yang terdiri dari fase awal, tengah dan akhir. Tetapi setiap fase yang kita perankan meninggalkan juga hal-hal yang tidak kita sadari dan ada hal-hal tertentu yang diperhatikan orang lain ketika mereka menonton drama kehidupan ktia. Di sinilah titik perbedaan: ada waktu yang mendapat perhatian dan gambaran struktur dan realitas yang terpisah dari subyek ketika orang lain justru menemukannya dalam drama kehidupan kita. Karena itu, dalam perspektif waktu subyektif dan waktu obyektif itu, masa lampau kita adalah satu keharusan yang ktia wajib terima, masa sekarang adalah kenyataan yang tidak lengkap, dan masa depan adalah kemungkinan saya.

2.3.3. Kesejarahan sendiri atau historisitas

Dalam konteks filsafat manusia: kesejarahan atau arti anthropologis, yaitu kenyataan yang melibatkan satu dialektika antara masa sekarang dengan masa lampau dan masa sekarang dengan masa depan. Masa tidak hanay memiliki masa lampau di belakangnya dan masa depan di hadapannya, tetapi juga membangun dan mengembangkan hubungan masa sekarang dengan masa lampau dan masa depan. Hubungan itu terdiri dari tanggapan, pertimbangan, penilaian, keputusan, perbuatan serta kegiatan konkrit entah yang dilakukan secara sadar atau tidak sadar, bebas atau tidak bebas, secara individual atau kolektif.

Masa sekarang adalah titik pusat, karena kita hidup di masa sekarang. Dan dari titik pusat ini manusia membangun dialektika dalam dua cara.

Pertama, manusia meniadakan atau memasukkan masa sekarang ke masa lampau dan masa depan. Ini berarti bahwa manusia tidak hidup dalam masa sekrang tetapi hidup dalam khayalan dengan menemukan nilai hidupnya di masa lampau (pengalaman nostalgia) atau hidup dalam kenyataan akan masa depan yang penuh dengan impian hidup. Kedua-duanya mempunyai pengaruh positif dan negatif. Positifnya adalah bahwa pengalaman nostalgia memebangun kembali semangat hidup untuk menghadapi persoalan sekrang dan juga cita-cita yang kuat untuk masa depan mendorong semangat hidup sekarang untuk berusaha mewujudkannya. Tetapi negatifnya ialah bahwa manusia lari dari dunia konkrit dan masuk dunia khayalan baik khayalan terhadap masa lampau maupun khayalan akan masa yang tidak pasti.

Kedua, masa sekarng “kehilangan” masa lampau dan masa depan. Kehilangan masa lampau berarti bahwa manusia terputus dari manusia sekrang atau dengan kata lain, masa lampau tidak diperlukan. Begitu juga, kehilangan masa depan berarti bahwa manusia dapat terpisah dari masa sekarang, atau dengan kata lain, manusia dapat tidak diperlukan. Masa sekarang adalah satu kenyataan yag bersama satu kali. Keduanya mempunyai nilai postif dan negatif.nilai positifnya: pengalaman masa lampau yang buruk dilepaskan dengan hati yang terbukan dan lapang agar kita memulai hidup baru dengan harapan baru, begitu juga putusnya hubungan dengan masa depan membantu kita untuk lebih memusatkan perhatian pada hidup sekarang dengan persoalannya yang sedang kita hadapi. Nilai negatifanya: masa lampau yang bururuk tidka boleh dilupakan begitu saja, dan harus diintegratif dalam hidup yagn sekarang. Hidupa masa depan yang terputus dari hidup sekarang adalah menghancurkan harapan kita dan hal ini bisa membawa putus asa. Dialektika itu ada dalamdiri subyek yang menyejarah. Masa lampau dan masa depan meresapi masa sekarang dan masa sekarangmeresapi masa lampau dan masa depan. Masa sekrang tanpa dimensi masa lampau dan

masa depan adalah kehilangan arti, begitu juga masa lampau dan masa depan tidak punya arti jika tidak diresapi oleh masa sekarang.

2. 4. Kejasmanian

2.4.1. Prapengertian ttg kejasmanian dng bertolak dari bahasa.

Bahasa tentang tubuh memberikan kita lebih dahulu pengertian tentang kejasmanian:

a. Bahasa Metaforis ttg tubuh.

Kita menemukan banyak kata yang mengungkapkan bagian-bagian tubuh dan gerak-gerik tubuh. Bagian-bagian tubuh misalnya: tangan, kepala, bahu, dada, hati dsb., dan gerak-gerik tubuh misalnya: lari, berdiri, tidur, jalan, duduk dsb. Kata-kata itu memiliki satu arti dasar, tetapi mereka dapat memiliki banyak arti, apabila mereka digunakan dalam bahasa metaforis (meta-phora: pengalihan), misalnya bahasa metaforis utk bagian tubuh: kepala suku, kepala pasukan, kepala pemerintahan dsb., dan bahasa metaforis untuk gerak-gerik tubuh, misalnya: melarikan diri, mendirikan rumah, menjalani hukuman, mendudukkan perkara, dsb. Arti dasar dari kata-kata itu tidak hilang dan dalam bahasa metaforis arti dasar tetap menjadi prinsip kesatuan. Bahasa metaforis memperlihatkan prinsip kesatuan itu, selain memperlihatkan adanya struktur analogi antara arti dasar dan arti-arti yang lain dan memperlihatkan mudahnya proses pengalihan arti dasar ke arti-arti yang lain.

b. Penangkapan figur jasmaniah-rohaniah melalui bahasa.

- Analisa bahasa: Kesatuan antara tanda yang menunjukkan arti dan arti yang terkandung di dalam tanda itu. Setiap kata merupakan susunan fonem-fonem (bunyi suara: setiap huruf mewakili bunyi suara tertentu) dan monem-monem (monem: kesatuan terkecil yang punya arti tertentu dan yang turut membentuk fonem). Bila orang mengungkapkan bunyi suara tertentu, maka orang langsung menangkap arti yang terkandung dalam bunyi suara itu. Demikian juga bila orang mengucapkan satu kata sebagai bentukan dari bunyi suara itu, orang langsung menangkap arti yang terkandung dlm kata itu. Kesatuan antara kata yang mengungkapkan arti dan arti yang terkandung dalam kata adalah sama dengan kesatuan tubuh-roh dalam satu figur. Bila kita menyebut nama seseorang yang kita kenal, misalnya “mantan presiden Abdulrahman Wahid”, orang langsung menunjuk kepada sosok jasmaniah tertentu yang sekaligus juga mencerminkan elemen rohaniah yang melekat pada figur jasmaniahnya.

- Pertanyaan lebih lanjut: apakah tubuh itu satu fenomen dan bagaimana dia menjadi satu fenomen? Jawabannya: Tubuh merupakan satu fenomen, baik dari segi ukuran fisik seperti besar, tinggi, rendah, pendek dsb., maupun juga dari segi estetis seperti tanpan, cantik, jelek, dsb. Fenomen tubuh menunjukkan kehadiran keseluruhan pribadi tertentu. Bagaimana tubuh menjadi satu fenomen? Bila orang berkata “dia adalah orang yang ringan tangan”, maka dari sudut fisis dan estetis, dia tidak demikian, tetapi kata itu hanya mengungkapkan sikap suka menolong. Si pengamat mengatakan demikian atas dasar pengalamannya bahwa orang dengan figur tubuh tertentu suka menolong. Tubuh menjadi satu fenomen, ketika orang mengalami figur keseluruhan diri orang itu yang suka menolong. Sikap suka menolong menunjuk kepada fenomen tubuh yang mewakili seluruh diri orang itu, dan bukannya kata “ringan tangan” menunjuk kepada satu fenomen.

(5)

Dalam pemakaian bahasa sehari tidak ada pembedaan antara tubuh dan badan. Pada hal ada perbedaan mendasar.Badan: bagian dari ruang yang dapat diukur dalam geometri dan dipelajari dalam fisika. Tubuh: keseluruhan manusia yang tampak dlm struktur jasmaniahnya, termasuk elemen roh yang ada dalam struktur jasmaniah. Dua pemikir yang memberi pemahaman akan reduksi tubuh ke dalam badan.

Rene Descartes: Tubuh dan badan itu identik, dan keduanya adalah materi yang bergerak secara mekanis. Hakekat materi adalah keluasan (res extensa) dan gerak. Sifat keluasan/merentang dan gerak itu dapat diamati dalam matematika dan geometri. Sifat itu masuk dalam dunia indra kita dan mempengaruhi dunia indra kita. Kita hanya dapat memandang, mengamati dan menangkap raut muka, bentuk, warna dsb, tetapi kita tidak dapat memasukkannya ke dalam sistem rasional kita. Kita memandang tubuh dengan dua cara: memandangnya dengan pikiran (imaginare) dan menanggapinya dengan indra (sentire). Gerak materi berjalan mekanis seperti angin puting beliung. Tidak ada prinsip penyatuan dari dalam. Materi ini dalam manusia dipertentangkan dengan roh yang disebutnya res cogitans (hal yang sedang berpikir). Dengan roh, kesatuan jiwa-badan dimungkinkan.

Kritik trh Descartes: Ia memisahkan secara tajam realitas materi (tubuh dan badan) dan jiwa. Budi (daya Roh) melihat dengan jelas perbedaan gerak dan rentangan yang terdapat dlm materi dan yang terdapat dalam tubuh seseorang. Gerak dan rentang pada tubuh manusia selalu berada dalam kombinasinya dengan jiwa. Hubungan tubuh-jiwa ini begitu intim, sehingga tidak mungkin tipe motorik dan mekanik pada materi diidentikan dengan tubuh manusia. Descartes tidak menjelaskan lebih jauh bagaimana hubungan yang intim antara tubuh-jiwa itu terjadi. Meskipun demikian, konsep Descartes memberi sumbangan terhadap eksplorasi terhadap tubuh secara luar biasa, yaitu kemajuan obat-obatan yang digunakan untuk penyembuhan penyakit-penyakit tubuh.

2.4.3. Reintagrasi badan ke dalam tubuh

Reintegrasi badan ke dalam tubuh terwujud melalui “aku sebagai subyek”. Di dalam aku, tubuh dan badan bersatu. Hal ini digambarkan sebagai pelaut yang berada dalam kapal lautnya. Si pelaut adalah aku yang bersatu erat dengan kapalnya (badan dan tubuh) tetapi memiliki distansi dengan kapalnya. Juga hal itu bisa digambarkan di dalam aku sebagai subyek yang merasa lapar, sakit atau haus. Perasaan lapar, sakit dan haus ditangkap melalu tanggapan tubuh. Perut sebagai bagian dari badan merasa lapar, tapi perasaan lapar ini dialami oleh keseluruh aku sebagai subyek. Satu gejala yang memungkinkan reintegrasi badan ke dalam tubuh disebut “mekanisme badan sebagai spiritualisme tekhnomorfis.

Mekanisme badan sebagai spiritualisme tekhnomorfis. Aku sebagai subyek memiliki kemampuan untuk membebaskan diri dari kekuasaan kodrat materi yang melekat pada badan kita. Kekuatan kodrat materi berjalan secara mekanis-motoris. Badan kita adalah kodrat materi yang tunduk pada hukum mekanis-motoris yang dapat saja berbahaya dan dapat saja berguna. Mekanisme badan adalah mekanisme alam. Tetapi berkat kemampuan budi dan kehendak manusia, tekhnik dan ilmu pengetahuan berkembang dan pada gilirannya membebaskan manusia dari mekanisme badan yang mengancam hidup manusia. Ketika tekhnik dan ilmu pengetahuan tercipta untuk membebaskan manusia dari hukum materi atau dari mekanisme badan, pada saat itu juga tekhnik dan ilmu pengetahuan jatuh lagi ke dalam proses mekanis-material yang bisa juga mengancam manusia. Tekhnik dan ilmu pengetahuan tidak memiliki hakekat, tetapi hasil dari proses pencapaian tekhnik dan ilmu pengetahuan adalah hasil dari aku sebagai subyek yang tetap berdistansi terhadap mekanisme materi pada badan. Dengan kata lain, proses mekanisme materi pada badan hanya mungkin didasarkan pada satu elemen rohaniah yang berdiri di luar kerja materi.

Seandainya tidak ada elemen rohaniah yang ada dalam aku sebagai subyek, maka mekanisme materi pada badan itu berjalan secara buta, dan manusia tidak mungkin menciptakan tekhnik dan instrumen yang dapat mengubah proses mekanisme. Dikatakan bahwa mekanisme badan itu sendiri adalah spiritualisme yang tekhnomorfis, karena perubahan-perubahan bentuk tubuh dan tekhnik yang dihasilkan oleh kesanggupan subyek melahirkan mekanisme material alamiah baru, dan hal ini hanya bisa terjadi demikian oleh karena kesanggupan subyek yang bersifat rohaniah itu.

2. 4. 4. Realitas Kejasmanian

Realitas kejasmanian adalah realitas tubuh dan bukan realitas badan. Realitas tubuh berkaitan dengan subyek dan subyektivitas. Realitas ini bersifat unik dan individual, sementara realitas badan adalah realitas benda yang bersifat mekanis seperti mesin dan bersifat kollektif. Realitas tubuh hanya merupakan realitas “aku sebagai subyek yang menjasmani”. Untuk mentematisir realitas tubuh secara filosofis, kita perlu memperhatikan dua bidang di bawah ini.

Dimensi kejasmanian dalam ruang.

Berbicara ttg dimensi kejasmanian dlm ruang berarti berbicara ttg cara-cara bagaimana realitas tubuh dialami.

Ruang di sini adalah ruang untuk subyek. Dia berbeda dari ruang dalam Geometri dan physika. Dlm ruang geometri dan physika tidak ada ruang atas, bawah, tengah, kiri dan kanan. Tidak ada pembedaan ruang di dalam dan ruang di luar. Ruang utk subyek bertolak dari subyek tempat subyek berdiri. Tempat subyek berdiri adalah titik pijak yang dilambangkan dengan nol, dan dari titik pijak ini subyek mengarah ke banyak dimensi: ke atas, ke bawah, ke kanan, ke kiri, ke dalam dan ke luar. Arah yang berbeda-beda, bahkan yang berseberangan satu sama lain, memberi arti dasar untuk pembentukan ruang, karena dengan adanya arah-arah itu subyek mulai membuka satu ruang gerak yang bebas dan juga mengukur ruang gerak itu. Realitas kejasmanian subyek memang mengorganisir arah gerak yang berbeda-beda dan serempak pula memberi arah atau orientasi keberadaan jasmaniahnya.

- Ruang subyek bukan hanya ruang yang dialami dan yang diukur seperti ruang sempit, ruang segi empat, ruang yang luas dsb., tetapi juga ruang simbolis, yaitu ruang yang kita bayangkan dalam imaginasi kita seperti ruang hidup pribadi saya, ruang hidup keluarganya, ruang doa. Pengalaman ruang yang banyak oleh subyek menunjukkan batas-batas yang subyek berikan untuk ruang yang satu dan ruang yang lain. Batas ruang itu bersifat fisis dan simbolis.

- Selain ruang fisis dan simbolis, pengalaman ruang subyek juga tidak hanya terbatas pada kehadiran fisis subyek di satu tempat. Meskipun badan saya berada di tempat ini, tetapi pengalaman saya akan ruang jauh lebih luas dari ruang tempat badan saya berada. Ketika saya membuat rencana untuk membuat perjalanan ke tempat yang lain, pengalaman saya akan ruang sudah melibatkan juga ruang tempat tujuan perjalanan saya. Dimensi kejasmanian saya sudah lebih luas dari ruang tempat saya berada.

Tubuh juga merupakan pengalaman ruang dari subyek. Tubuh menjadi titik pusat yang dari padanya subyek bergerak dan menentukan arahnya. Tubuh sebagai titik pusat ini bukanlah satu hal yang diperoleh secara otomatis. Dia tercipta melalui proses belajar dan latihan-latihan. Melalui tubuh, subyek dapat menampilkan diri dengan baik tetapi juga menyembunyikan diri secara rapih. Si subyek yang sakit payah berada di dalam tubuh yang kurus, pucat, dsb., sedangkan subyek yang sehat berada dalam tubuh yang segar, bugar dan kuat. Pengalaman subyek di dalam tubuhnya termasuk pengalaman akan ruang.

 Pemberian arti ontologis terhadap realitas kejasmanian.

- Farmasi atau ilmu pengetahuan obat-obatan: berkembang pesat dan maju. Tapi semua usaha di bidang ini hanya berhenti pada pengobatan organ tubuh yang sakit. Teori-teori di bidang itu belum menyentuh korelasi antara tubuh jasmaniah dengan keseluruhan subyeknya.

- Pemahaman di atas berakar dalam filsafat Descartes tentang “res extensa” dan “res cogitans”. Ilmu pengetahuan dan perkembangan pengetahuan obat-obatan belum berhasil mengkonstruksikan hubungan antara kedua unsur itu. Problem filosofisnya: apa yang menjadi hakekat terdalam dari subyek yang dapat mempersatukan “res extensa dan res cogitans”.

(6)

3. Elemen rohaniah dari perwujudan keberadaan manusia

 3.1. Kesadaran rohaniah.

3.1.1. Fenomen kesadaran.

Fenomen kesadaran ditafsir melalui pengalaman akan kesadaran itu sendiri. Kita hanya memahami pengalaman kesadaran itu dengan cara menganalisa pengalaman “ketidaksadaran”; menganalisa struktur tanggapan kesadaran dan menganalisa penolakan terhadap kesalahan penafsiran.

- Pengalaman “ketidaksadaran” dan keajaiban kesadaran. Pengalaman kesadaran dapat disaksikan melalui peralihan dari keadaan “tidak sadar” menuju “menjadi sadar”. Pengalaman “tidak sadar” terjadi pada waktu tidur atau juga pada waktu jatuh pingsan atau ketika orang sedang menjalani operasi. Orang yang tidak sadar tidak mengalami bahwa dia sedang tidak sadar, tetapi orang lain mengalami bahwa dia tidak sadar. Tetapi peralihan dari yang tidak sadar ke dalam kesadaran bisa dialami orang itu sendiri ketika dia menjadi sadar seperti ketika dia terjaga dan bangun tidur, atau juga dialami oleh orang lain di luarnya yang menyaksikan bahwa orang yang berada dalam ketidaksadaran menjadi sadar lagi.

 Di mana letak keajaiban kesadaran?

Kesadaran itu tidak bisa ditangkap indra, dan munculnya kesadaran itu seakan-akan keluar dari ketiadaan. Tetapi apa yang kita tangkap dari kesadaran hanyalah isi-isi kesadaran dan bukannya kesadaran itu sendiri. Contoh, sekarang saya sedang membaca buku. Saya sadar bahwa saya sedang membaca buku, tetapi membaca buku bukanlah kesadaran saya. Perbuatan membaca buku adalah isi kesadaran saya. Isi kesadaran adalah sasaran atau obyek-obyek kesadaran. Isi kesadaran itu bermacam-macam dan ada yang bersifat individual, ada juga yang bersifat kollektif. Isi kesadaran yang bersifat individual adalah isi kesadaran individu yang sedang bergiat sendiri, sementara isi kesadaran yang bersifat kollektif adalah isi kesadaran yang berasal dari kegiatan bersama, seperti kegiatan belajar-mengajar. Di sinilah letak keajaibannya: isi-isi kesadaran dapat ditematisir, tetapi si subyek tidak dapat menangkap secara jelas kesadaran itu sendiri.

Bila isi kesadaran itu bisa ditangkap dan disistematisir, maka pertanyaannya ialah bahwa apakah isi-isi kesadaran itu adalah realitas obyek sebagaimana adanya ataukah realitas yang berhubungan dengan kesadaran si subyek. Pertanyaan ini menjadi tugas ontologi untuk merefleksikannya, tetapi dalam konteks filsafat manusia, pertanyaan itu merupakan alat bantuan manusia untuk menggeluti persoalan kesadaran atau untuk menggeluti persoalan subyek yang sadar. Satu hal yang jelas ialah bahwa kita tidak menangkap seluruh realitas an sich di luar diri si subyek. Dalam proses menjadi sadar perlahan-lahan, realitas yang sesungguhnya adalah realitas yang ada untuk subyek. Realitas ini tidak pernah ada di luar subyek. Menjadi sadar terhadap realitas itu hanyalah satu proses kesadaran utk mengalami, menanggapinya dan mengamatinya. Di sini juga letak keagungan dan keajaiban kesadaran. Proses menjadi sadar diberi bentuk oleh adanya realitas kesadaran. Dengan kata lain, “menjadi sadar dan sadar akan” (to become conscious dan to be conscious) bersatu erat, dan kedua elemen itu memperlihatkan satu “cara berada dari realitas kesadaran”. Jadi kesadaran itu adalah satu cara berada.

- Struktur tanggapan kesadaran.

• Bentuk pertama kesadaran: obyek yang ditanggapi serempak kesadaran subyek yang bersifat intensional. Inilah

dua elemen konstitutif dalam proses “menjadi sadar”. Lalu berkembanglah satu refleksi kesadaran.

• Refleksi kesadaran menyentuh ingatan atau kenangan subyek akan obyek yang sudah dilihat. Contoh: si subyek

melihat sebuah kapal di pelabuhan. Isi kesadaran: kapal itu dan perbuatan melihat kapal. Hubungan antara kapal dan perbuatan melihat kapal dijalin oleh karena refleksi kesadaran atas kapal itu, tetapi perhatian utama si subyek tidak lagi tertuju kepada perbuatan melihat. Perhatian utamanya tertuju kepada realitas obyek kapal itu di dalam diri subyeknya.

• Proses refleksi kesadaran atas realitas obyek hanya bisa terjadi, karena ada unsur hakiki awali yang disebut “ada

dekat dengan dirinya sendiri” (das Bei-sich-sein). “Ada dekat dengan dirinya” menunjuk kepada kesatuan subyek yang sadar dengan obyek yang ditanggapi. Kesatuan ini sudah ada lebih dahulu dari perbuatan menanggapi obyek. Contoh di atas: kesatuan subyek yang sadar dengan realitas kapal sudah ada lebih dahulu dari pada perbuatan melihat kapal.

• Berada dekat dengan dirinya merupakan satu gejala yang menjadi dasar atau akar kesadaran. Gejala ini

(7)

Penolakan terhadap interpretasi yang keliru.

• Di dalam proses menjadi sadar terdapat kesatuan antara obyek yang ditanggapi dan subyek yang menanggapi.

Kesatuan ini memperlihatkan identitas keduanya secara mengagumkan, yaitu identitas obyek sebagaimana adanya dan identitas subyek sebagaimana adanya. Persoalannya: Sejauh mana identitas keduanya dikenal sebagaimana mestinya? Subyek yang menanggapi selalu mengandaikan obyek yang ditanggapi, dan obyek yang ditanggapi selalu mengandaikan subyek yang menanggapi. Kita selalu terjebak dalam kekeliruan pemberian arti atau kekeliruan interpretasi yang obyektivistis dan yang subyektivistis.

• Obyektivisme: satu aliran pemahaman dan penafsiran bahwa obyek yang ditanggapi subyek itu adalah obyek

dalam realitasnya yang sesungguhnya. Teori-teori ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, biologi dsb., terjebak dalam model penafsiran seperti itu. Contoh: melihat realitas pisang dengan mata. Ketika pengalaman indrawi subyek, misalnya matanya, berhadapan dengan realitas pohon pisang, lensa mata yang mengandung gelombang sinar terarah kepada realitas pohon pisang, kemudian realitas pohon pisang itu terproyeksi ke dalam keseluruhan tanggapan indrawi subyek yang pada gilirannya membentuk kesan-kesan dan gambaran tentang realitas pisang. Dengan demikian pengetahuan obyektif tentang pisang adalah realitas pisang yang sudah masuk dalam proses tanggapan subyek dan bukannya realitas pisang itu sendiri.

• Pengaruh terhadap pemberian arti yang keliru terhadap obyek (obyektivisme) dapat disimak dari filsafat

empirisme David Hume (1711-1776). Hume berpendapat bahwa isi kesadaran itu bersumber pada apa yang disebut “kesan-kesan dan ide-ide”. Kesan-kesan adalah hasil rekaman pengalaman indrawi secara langsung ketika subyek berhadapan dengan obyek. Ide-ide bukan hasil dari pengertian yang diolah budi, tetapi gambaran yang berasal dari pengalaman indrawi. Gambaran itu sendiri diciptakan kembali oleh karena ingatan dan kemampuan kesadaran. Ingatan itu adalah kumpulan kesan, sementara kesadaran adalah deretan kontinu dari kesan-kesan. Kemampuan untuk menciptakan gambaran terealisir dalam pembentukan kombinasi dan asosiasi. Kombinasi merupakan gambaran tentang satu obyek, gambaran yang tersusun dari kumpulan ide, sementara asosiasi merupakan gambaran-gambaran yang dimunculkan oleh karena adanya gambaran-gambaran lain. Pertanyaan kita ialah bahwa apakah obyek dalam arti realnya dapat dirumuskan seobyektif mungkin?

• Lawan dari Obyektivisme: subyektivisme, yaitu satu aliran pemahaman bahwa realitas obyek yang ditanggapi

bukanlah obyek dalam arti sesungguhnya, tetapi semata-mata gambaran subyek tentang obyek. Gambaran tentang obyek itu hanyalah peristiwa psikis di dalam diri subyek, peristiwa psikis yang membangun satu realitas obyek yang mirip dengan realitas obyek yang sesungguhnya. Dengan demikian, obyek yang sesungguhnya berbeda dengan obyek yang ditanggapi subyek. Ada dua argumentasi yang membenarkan pendirian itu. Pertama, obyek yang ditanggapi subyek sesungguhnya terjebak dalam penipuan indrawi (kamuflase pengalaman indrawi). Kedua, ketika obyek itu ditanggapi subyek, ketika itu pula obyek itu bergantung pada cara-cara bagaimana organ-organ indrawi kita menanggapinya. Pertanyaan dasar ialah apakah ada obyek di dalam dirinya atau obyek sebagaimana adanya.

• Jalan keluar utk menjembatani obyektivisme-subyektivisme. Kita merujuk kepada fenomen kesadaran yang

mampu membuat refleksi tentang hubungan antara obyek yang ditanggapi dan subyek yang menanggapi. Kesatuan identitas antara keduanya dalam refleksi kesadaran membawa kesimpulan bahwa obyek yang ditanggapi dan subyek yang menanggapi adalah identik. Kesadaran sendiri bersifat immanen dan transenden. Kesadaran bersifat imanen, ketika kesadaran itu yang dilengkapi dengan organ-organ indrawi melekat dan terikat pada obyek yang berhadapan dengannya. Ketika itu, kesadaran memberi tempat atau membiarkan diri diisi oleh obyek yang ditanggapi. Ia menjadi satu dengan obyek yang ditanggapi. Tetapi ketika dia immanen di dalam obyek, ketika itu pula kesadaran membebaskan diri dari keterikatannya dengan obyek yang ditanggapi. Inilah sifat transendennya, yaitu bahwa kesadaran mampu keluar dari kurungan obyek yang ditanggapi; ia mentransendir obyek yang ditanggapi itu.

3. 1.2 Dimensi-dimensi kesadaran.

 Dimensi-dimensi kesadaran itu adalah spontanitas dan rezeptivitas dalam kesadaran; kesadaran teoretis dan

kesadaran praktis; jenjang-jenjang proses kesadaran; kesadaran diri dan kesadaran dari diri yang lain.

 Spontanitas dan rezeptivitas dalam kesadaran.

(8)

Rezeptivitas: proses penerimaan kesadaran terhadap realitas obyek yang berhadapan dengan subyek. Proses ini lebih menonjolkan keadaan pasif kesadaran, karena sebelum subyek mengenal obyek secara aktif, obyek itu sudah mengimbas kesadaran melalui satu bentuk tertentu. Rezeptivitas menunjuk kepada kesadaran yang terkena imbas secara tidak terelakkan (pasif). Ketika kesadaran terkena imbas oleh obyek, pada waktu yang sama secara spontan kesadaran menjadi aktif untuk membuat penentuan, menetapkan pembedaan dan memberi arti terhadap obyek yang ditanggapi.

Dalam proses selanjutnya, obyek akhirnya menjadi pusat perhatian kesadaran, dan obyek itu lalu diolah dan direfleksikan oleh kesadaran. Kegiatan kesadaran inilah yang disebut “spontanitas”. Pengertian ttg kebenaran dan kepalsuan terletak di dalam usaha kedua kemampuan itu, yaitu rezeptivitas dan spontanitas utk mereproduksikan dan merekonstruksikan realitas obyek di dalam kesadaran sesuai atau tidak sesuai dengan realitas obyek sebagaimana adanya.

Utk menjelaskan receptivitas dan spontanitas, kita merujuk kepada filsafat pengetahuan Immanuel Kant dalam karya Kant “Ktitik Budi Murni( Kritik der reinen Vernunft, singkatannya “KrV”). Kant berpendapat bahwa pengenalan manusia terhadap sesuatu memiliki tiga kemampuan utama: pertama, rezeptivitas atau keindrawian; kedua, kemampuan spontanitas atau daya nalar; ketiga, kemampuan akal budi murni. Rezeptivitas adalah kemampuan subyek untuk menerima gambaran dengan cara bagaimana subyek terimbas oleh obyek-obyek (lewat pengalaman indrawi). Dan ketika subyek memandang obyek, pada saat yang sama secara serempak kemampuan kedua, yaitu daya nalar (spontanitas), menciptakan pengertian. Ada satu kesatuan fungsional yang harus ada antara daya rezeptivitas dan daya nalar. Kemampuan rezeptivitas didasarkan pada satu persyaratan a priori yang muncul dalam bentuk murni, yaitu ruang dan waktu, sedangkan kemampuan spontanitas didasarkan pada budi murni yang menghantar manusia dalam refleksi lebih lanjut untuk membuat kesimpulan-kesimpulan. Kemampuan ketiga adalah kemampuan budi untuk membuat kesimpulan. Ada ulasan panjang lebar tentang itu, tapi untuk kita hal yang terpenting ialah bahwa dimensi kesadaran subyek memuat daya rezeptivitas pengalaman indrawi, daya spontanitas dan daya penyimpulan melalui pengenalan budi. Heidegger kemudian menjabarkan pengertian subyek menurut Kant ke dalam tiga karakter: aku mengalami (merasa); aku berpikir; aku bermoral.

 Kemampuan rezeptivitas dan spontanitas dapat dipahami dlm proses kegiatan “tanya-jawab”. Proses tanya-jawab

secara ontologis tetap berjalan sejauh subyek ada dan bergiat. Bila kita bertanya tentang sesuatu hal, maka pertanyaan kita sudah mengandaikan adanya obyek yang ingin diketahui. Pertanyaan sendiri memberi arah tertentu, dan jawaban diberikan sesuai dengan arah pertanyaan itu. Jawaban meninggalkan hipotese-hipotese yang sebagiannya teruji kebenarannya secara pasti dan sebagiannya tinggal hipotese yang kebenarannya tak terjangkau oleh subyek. Pertanyaan lebih menujuk kepada kemampuan rezeptivitas subyek, sedangkan jawaban lebih menunjuk kepada kemampuan spontanitas subyek.

 Kesadaran teoretis dan kesadaran praktis.

-Kesadaran teoretis dan kesadaran praktis termasuk juga dalam dimensi-dimensi yang berasal dari kesadaran sendiri.

- Kesadaran teoretis lebih berhubungan dengan pengetahuan dan pengenalan, sedangkan kesadaran praktis

dengan baik-buruknya sesuatu untuk subyek. Kesadaran teoretis: kegiatan kesadaran untuk mengetahui dan mengenal hakekat sesuatu, atau utk mengenal “apa itu sesuatu di dalam dirinya”. Ini berawal dari pengenalan indrawi. Kesadaran teoretis memiliki juga kutub obyektif dan juga kutub subyektif.

- Kesadaran praktis: proses kesadaran untuk mengalami apakah sesuatu itu baik atau buruk untuk saya, berkenan

atau tidak berkenan untuk saya. Kesadaran ini bergiat dalam dua cara yang mendasar: pertama, cara tekhnis praktis (pragmatis); kedua, cara moral-praktis. Cara tekhnis praktis: berhubungan dengan “know-how”, maksudnya mengenal pengetahuan obyektif untuk tujuan tertentu, dan tujuan itu dicapai dengan sarana atau alat yang tepat sesuai kemampuan diri subyek. Cara moral-tekhnis: berhubungan dengan penilaian moral terhadap tujuan perbuatan yang hendak dicapai melalui sarana atau alat yang digunakan itu. Jadi, penilaian terhadap tujuan perbuatan dan sarana yang digunakan. Kesadaran moral-tekhnis ini mengambil bentuk dasar dalam apa yang disebut “suara hati”.

- - Baik kesadaran teoretis maupun kesadaran praktis dalam dua cara (tekhnis-praktis dan moral-tekhnis)

sama-sama membutuhkan pendidikan kesadaran. Mengapa? Dalam kenyataan, seorang yang mempunyai pengetahuan intelektual yang tinggi tentang hal tertentu secara teoretis tidak mampu mengerti hal-hal praktis seperti memperbaiki mobil yang rusak. Seorang yang ahli di bidang biologi dan obat-obatan secara teoretis tidak pandai membuat operasi atau menyembuhkan orang yang sakit.

 Jenjang-jenjang penyadaran.

- Kesadaran di sini dimengerti sebagai subyek yang sadar, dan ini melibatkan dlm psikologi psike yang tak sadar dan

(9)

- Dalam soal ini, kita bicara ttg ”proses kegiatan psike yang sadar”. Kegiatan sentralnya: mengerti (pengertian) dan menghendaki (kehendak). Dalam refleksi filosofis: dicari struktur dasar pengertian dan struktur dasar kehendak. Epistemologi: refleksi filosofis tentang unsur normatif yang memberi arah bagi kegiatan pengertian. Filsafat moral: refleksi filosofis tentang unsur normatif yang memberi arah bagi kegiatan kehendak.

- Pengertian dan penghendakan adalah inti sari dari kegiatan kesadaran. Karena kegiatannya melibatkan semua

unsur dalam subyek, maka proses kegiatan itu berjalan secara berjenjang sesuai dengan empat taraf dalam manusia: taraf anorganis atau fisiko-kemis; taraf biotos atau vegetatif; taraf psikis atau sensitif; taraf formal-manusiawi kesadaran. Taraf fisiko-kemis: aksi-reaksi fisiko-kemis dalam mata, telinga, otak dan kelenjar-kelenjar yang dimiliki subyek. Proses ini meliputi dunia atom dan kerja molekul-molekul dalam diri manusia. Taraf biotos atau vegetatif: seperti ditemukan dalam dunia tumbuh-tumbuhan, yaitu aksi-reaksi pada bidang sel-sel pembawa hidup, jaringan dan organ tubuh seperti peredaran darah, urat syaraf, pernafasan.

Taraf psikis atau sensitif: kegiatan berpusat pada aksi-reaksi naluriah, persepsi dan nafsu-nafsu seperti pada binatang, proses instinktif dan emosional yang melampaui reaksi panca indra. Taraf formal-manusiawi kesadaran: terarah kepada kegiatan refleksi dan penghendakan. Refleksi lebih merupakan kegiatan “cipta”, yaitu kegiatan pemahaman, sedangkan penghendakan lebih merupakan kegiatan “karsa”, yaitu kegiatan yang menghasilkan keutamaan seperti cinta, kebaikan, kelembutan hati, kesetiaan, dsb, dan yang menghasilkan kejahatan seperti benci, irih hati, ketakutan, cemburu dsb. Kegiatan dalam taraf keempat ini adalah kekhasan manusia.

- Dalam proses kegiatan kesadaran, keempat taraf itu tidak berjalan terpisah, tapi dalam satu kesatuan. Kegiatan

dalam taraf yang paling rendah, yaitu kegiatan fisiko-kemis, melibatkan juga kegiatan dalam taraf yang paling tinggi, yaitu kegiatan formal manusiawi kesadaran, begitu juga kegiatan dalam taraf paling tinggi melibatkan juga kegiatan dalam taraf yang paling rendah. Keempat taraf itu merupakan bagian yang integral dari realitas manusia sebagai subyek yang sadar. Contoh: seorang yang sedang senyum, kegiatan senyum melibatkan kontraksi otot pada taraf yang paling rendah dan bentuk muka yang membentuk senyuman dan sekaligus juga memantulkan perasaan dan kesadaran dalam taraf yang paling tinggi.Hubungan antara taraf-taraf itu bersifat intrinsik, artinya taraf yang paling tinggi hanya dapat berfungsi semaksimal dan seoptimal karena dia berakar dalam taraf yang paling rendah, begitu juga sebaliknya.

- Mana dari keempat taraf itu paling penting? Jawabannya: bergantung pada sudut pandang subyek yang sadar.

Taraf yang paling rendah bisa saja paling penting, apabila subyek alaminya sebagai landasan untuk kegiatan pengertian dan kehendak.

- Kesadaran diri dan kesadaran dari diri yang lain. Kesadaran diri dan kesadaran dari diri yang lain mengandaikan

adanya subyek-subyek yang sadar. Kesadaran ini menuntut relasi antar subyek. Dalam relasi itu, kesadaran diri berarti kesadaran diri saya ketika berhadapan dengan kesadaran dari diri yang lain, dan juga sebaliknya, kesadaran diri dari yang lain ketika berhadapan dengan kesadaran diri saya. Dasar filosofis: kesadaran itu bersifat intensional, yaitu terarah kepada yang lain dan terbuka terhadap yang lain. Relasi kesadaran ini melibatkan keempat taraf itu.

- Pengertian dan penghendakan berfungsi secara khas dalam relasi antar subyek ini. Pengertian lebih terarah

kepada kegiatan untuk memahami yang lain, sedangkan penghendakan lebih terarah kepada kegiatan untuk menghargai yang lain.

- Karakter khas yang memberi warna pada relasi antar subyek: timbal-balik; saling memuat; subyek-obyek;

universal-singular; bersatu dalam perbedaan dan perbedaan dalam persatuan.

- Relasi/komunikasi timbal-balik: subyek yang satu dan subyek yang lain berdiri sejajar dan saling memberi

response, saling mengakui dan saling menerima. Yang satu aktif dan yang lain pasif, tapi pada gilirannya yang pasif menjadi aktif, dan yang aktif menjadi pasif.

- Saling memuat: relasi subyek yang satu dan subyek yang lain memungkinkan pengakuan dan penerimaan yang

lain sebagai obyek, dan pada giliran yang lain sebagai obyek berperan sebagai subyek yang menerima dan mengakui yang satu sebagai realitas obyek, tetapi dalam relasi ini aku sebagai subyek selalu mengkonstitusikan keberadaan yang lain sebagai subyek dengan ciri khas relasi subyek-obyek.

- Universal-singular: relasi antar subyek itu bersifat singular; itu berarti subyek dalam relasi itu tetap

mempertahankan keunikan dan kekhasan individualnya, tapi juga bersifat universal; itu berarti dalam keunikannya si subyek termasuk dalam realitas kemanusiaan.

- Persatuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam persatuan: relasi antar subyek menemukan persatuannya

(10)

keberdikarian dari masing-masing, sementara perbedaan dalam kesatuan berarti keunikan dan keberdikariaannya berbeda, tapi bersatu dalam identitas kemanusiaan.

- Pemenuhan relasi antar subyek itu: ditemukan dalam komunikasi antar subyek itu dengan subyek transendental

yang dipandang sebagai yang memiliki kesadaran immanen-transenden. Dalam bahasa religius subyek transendental itu adalah realitas ilahi.

3.1.3. Pengandaian ontologis kesadaran

 Dalam kesadaran, realitas “ada” menjadi sadar akan dirinya. Realitas “ada” menjadi sumber kesadaran. Apa itu

realitas “ada” dalam manusia? Heidegger menyebut realitas “ada” sebagai “yang menampakkan diri” dan serempak “yang menyembunyikan diri”.

 Kesadaran termasuk dalam realitas “ada”, tapi tidak identik dengan realitas “ada”. Manusia hanyalah “modus”

dari realitas “ada”, dan dalam bahasa Heidegger “das Dasein”, yang berararti realitas “ada” yang berada di sana (Da), yaitu dalam dunia, dan yang mampu untuk sadar akan realitas adanya (eksistensi) dan yang bertanya tentang makna realitas adanya sebagai manusia. Di sinilah letak pengandaian ontologis kesadaran, yaitu bahwa kesadaran hanya ada karena berasal dari realitas “ada”. Kesadaran dengan segala proses dan kegiatannya hanyalah eksplitasitasi yang nyata dari realitas “ada”. Karena itu, kesadaran manusia itu tidak pernah berada di luar lingkungan realitas “ada” dan menempatkan dirinya ke bawah realitas “ada”.

 Pertanyaannya: Bagaimana si subyek berada dalam lingkungan realitas “ada” agar jati dirinya dapat terwujud di

dalam lingkungan realitas “ada”? Jawabannya: harus ada satu prinsip yang secara hakiki melandasi subyek untuk menjadikan realitas “ada” itu sebagai milik subyek.

 Caranya: bertolak dari pemahaman ttg realitas “ada” yang berkarakter ganda, yaitu menampakkan diri dan

Referensi

Dokumen terkait

– Zat atau obat yg berasal dari tanaman a bukan tanaman, sintetis a semi sintetis yg dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi

Dengan memperhatikan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian dengan judul “Penggunaan Levels of Inquiry Dengan Penugasan

Fokus dari penelitian ini adalah analisis strategi bersaing perusahaan pelayaran dan galangan kapal dengan Sub fokus dari penelitian ini adalah sebagai berikut : (1)

Penghasilan Perisian Modul Pembelajaran Kendiri Bagi Proses Mereka Bentuk Pangkalan Data melibatkan kajian tentang kesesuaian isi kandungan, persembahan pengajaran yang

vastattiin yhdistämällä sisällön analyysillä aineistosta tuotettu teema- jäsennys ja teemojen esiintymisissä havaitut muutokset (tutkimuksen alakysymykset 1a ja 1b)

Dari 75 data yang diperoleh pola kalimat bahasa indonesia sebnyak 72 data yang bisa dianalisis Murid Taman Kanak- kanak (TK) Kalfary Kabupaten Kepulauan Mentawai

Dalam ulasan beliau, ditinjau dari segi aspek sumber, tasawuf dikategorikan sebagai salah satu dari ilmu syariah , yakni bersumber dari syariat al- qur’an dan