• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Belajar Konstruktivisme 24. docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Teori Belajar Konstruktivisme 24. docx"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME

Pembelajaran Seni Budaya

Disusun oleh : Kelompok 4

LILIS HIDAYATI

(16070865025)

JULISTA RATNA SARI

(16070865027)

AJENG AULIYA ROSIDA

(16070865033)

PROGRAM PENDIDIKAN SENI BUDAYA

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

2016

PPs

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puju syukur atas kehadirat Allah SWT karena rahmat dan karunia yang diberikan kepada kami, baik kesempatan maupun kesehatan hingga laporan untuk mata kuliah kurikulum pendidikan seni dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Shalawat beserta salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Pada laporan matakuliah kurikulum pendidikan seni, kami memamparkan tentang Implememntasi Kurikulum dengan mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81 A Tahun 2013. Dari acuan tersebut Implementasi Kurikulum pada SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK menggunakan pedoman implementasi kurikulum yang mencakup 4 pedoman diantaranya Pedoman Penyusunan dan Pengelolaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Pedoman Pengembangan Muatan Lokal, Pedoman Kegiatan Ekstrakurikuler, Pedoman Umum Pembelajaran, dan Pedoman Evaluasi Kurikulum. Dari keempat pedoman ini kelompok kami dapat memamparkan penjelasan mengenai Implementasi Kurikulum.

Untuk selebihnya kami sebagai penyusun laporan ini dengan penuh kesadaran dan rendah hati menyadari bahwa masih terdapat kekurangan serta kesalahan kata, karena penulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, dengan senang hati kami mengharapkan kritik serta saran dari semua pihak yang telah membaca laporan kurikulum pendidikan seni. Semoga hasil laporan kurikulum pendidikan seni yang kami pamparkan dapat memberi manfaat.

(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Belajar merupakan suatu proses usaha sadar yang dilakukan oleh individu untuk suatu perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak memiliki sikap menjadi bersikap benar, dari tidak terampil menjadi terampil melakukan sesuatu. Belajar tidak hanya sekedar memetakan pengetahuan atau informasi yang disampaikan. Namun bagaimana melibatkan individu secara aktif membuat atau pun merevisi hasil belajar yang diterimanya menjadi suatu pengalamaan yang bermanfaat bagi pribadinya. Pembelajaran merupakan suatu sistim yang membantu individu belajar dan berinteraksi dengan sumber belajar dan lingkungan.

Manusia memang terus berkembang dan memiliki rasa ingin tahu yang kuat. Hal ini lah yang mendorong manusia untuk terus belajar. Oleh karena itu, belajar dapat didefinisikan sebagai, kegiatan psiko-fisik-sosio menuju ke perkembangan pribadi seutuhnya (Suprijono:2011: 3). Definisi lain mengenai belajar dikemukukan oleh Suyono dan Hariyanto (2011:9) yaitu belajar merupakan suatu aktifitas atau proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki perilaku, sikap, dan mengokohkan kepribadian. Sedangkan menurut Dimyati dan Mudjiono (2009:7), belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Dari ketiga pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai kegiatan atau aktifitas kompleks manusia untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki sikap dan perilaku serta mengokohkan kepribadian dengan tujuan untuk mengembangkan pribadi seutuhnya.

(4)

dibentuk individu dari hasil interaksi terus menerus dengan lingkungan (Dimyati dan Mudjiono: 2009:13).

(5)

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian dari Teori Belajar Konstruktivisme

Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan teori behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya. Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif dimana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema yang baru.

Teori konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan pada proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar, dan strategi belajar akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. Sebagai upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan, siswa ”mengkonstruksi” atau membangun pemahamannya terhadap fenomena yang ditemui dengan menggunakan pengalaman, struktur kognitif, dan keyakinan yang dimiliki

Dengan demikian, belajar menurut teori konstruktivisme bukanlah sekadar menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil ”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari ”pemberian” tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam setiap individu. Adapun tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:

(6)

2. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya.

3. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.

4. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri. 5. Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.

Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132)

Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988:133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7)

Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut: 1) Skemata

(7)

yang dimilikinya. Proses penyempurnaan sekema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi.

2) Asimilasi

Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian orang itu berkembang.

3) Akomodasi

Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi tejadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.

4) Keseimbangan

Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi, ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya.

Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998)

Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.

(8)

Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997).

Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri

Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial) disebut pendekatan konstruktivis sosial. Filsafat konstruktivis sosial memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem posing) oleh manusia (Ernest, 1991). Dalam pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992) menyebutnya dengan konstruktivisme sosio (socio-constructivism), siswa berinteraksi dengan guru, dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa mengembangkan strategi-strategi untuk merespon masalah yang diberikan. Karakteristik pendekatan konstruktivis sosio ini sangat sesuai dengan karakteristik RME.

B. Konstruktivisme dan Pengetahuan

Konstruktivisme adalah aliran filsafat pengetahuan yang berpendapat bahwa pengetahuan (knowledge) merupakan hasil konstruksi (bentukan) dari orang yang sedang belajar. Maksudnya setiap orang membentuk pengetahuannya sendiri. Kukla (2003: 39) secara tegas menyatakan bahwa sesungguhnya setiap orang adalah konstruktivis. Pengetahuan bukanlah “sesuatu yang sudah ada di sana” dan tinggal mengambilnya tetapi merupakan suatu bentukan terus menerus dari orang yang belajar dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya pemahaman yang baru (Fosnot (ed), 1996: 14)

(9)

lengkap di saat kita makin banyak berinteraksi dengan ayam yang ternyata ada bermacam-macam jenisnya, tetapi semua disebut ayam. Pengetahuan bukan suatu barang yang dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran seseorang (dalam kasus ini pendidik) kepada orang lain atau peserta didik. Bahkan ketika pendidik bermaksud memindahkan konsep, ide, nilai, norma, keterampilan dan pengertian kepada peserta didik, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dibentuk oleh peserta didik sendiri. Tanpa keaktivan peserta didik dalam membentuk pengetahuan, pengetahuan seseorang tidak akan terjadi

Dalam proses itu, menurut Glasersfeld (Suparno, 1997: 20), diperlukan beberapa kemampuan sebagai berikut: (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada yang lain. Menurut konstruktivisme (Suparno, 1997: 18) pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, konsep, nilai dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan. Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamatan tetapi merupakan ciptaan manusia yang mengkonstruksi pengalaman atau dunia sejauh dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru. Pengetahuan entah itu berupa konsep, norma, nilai, dibentuk oleh akal budi dengan mengabstraksi fakta-fakta, pengalaman, kenyataan yang ada di sekitar manusia (Kukla, 2003: 12-24).

(10)

norma, nilai, dll (Kukla, 2003: 11-12). Menurut Piaget, pengetahuan itu dibentuk dari interaksi seseorang dengan orang lain (Piaget, 1981: 160; Suparno, 1997: 20). Pengetahuan ini muncul dalam kebudayaan tertentu maka pengetahuan dapat berbeda antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Secara ringkas gagasan konsruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut.

1. Pengetahuan bukan merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.

2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.

3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang (Suparno, 1997:21).

C. Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme

Menurut Suparno (1997:49) secara garis besar prinsip-prinsip konstruktivisme yang diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun secara sosial; (2) pengetahuan tidak dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk bernalar; (3) siswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah; (4) guru berperan membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.

Berikut ini akan dikemukakan ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis menurut beberapa literatur yaitu sebagai berikut.

1. Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada sebelumnya.

2. Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia.

(11)

4. Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna melalui berbagai informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau bekerja sama dengan orang lain.

Sedangkan menurut Mahisa Alit dalam bukunya menuliskan bahwa ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis adalah sebagai berikut:

1. menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan,

2. menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara, 3. mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep melalui kenyataan kehidupan sehari-hari,

4. mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa,

5. memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.

6. Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga menjadi menarik dan siswa mau belajar (2004:37).

D. Proses Belajar Konstrutivistik Dapat Dilihat Dari Beberapa Aspek

1. Proses belajar konstruktivistik

(12)

2. Peranan siswa

Menurut pandangan konstruktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh siswa belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.

Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan pembimbingan.

3. Peranan guru

Dalam belajar konstruktivistik guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru hanya membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemauannya.

Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi: 1) Menumbuhkan kemandiriran dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak.

2) Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.

(13)

4. Sarana belajar

Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berfikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif, dan mampu mempertanggung jawabkan pemikirannya secara rasional.

5. Evaluasi hasil belajar

Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar yang menekankan pada ketrampilan proses baik individu maupun kelompok. Dengan cara ini, maka kita dapat mengetahui seberapa besar suatu pengetahuan telah dipahami oleh siswa.

Aplikasi Teori Konstruktivistik Dalam Pembelajaran :

a. Membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang sudah ditetapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengmbangkan ide-idenya secara lebih bebas.

b. Menempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan ide-ide atau gagasan-gagasan, kemudian memformulasikan kembali ide-ide tersebut, serta membuat kesimpulan-kesimpulan.

c. Guru bersama-sama siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah kompleks, dimana terjadi bermacam-macam pandangan tentang kebenaran yang datangnya dari berbagai interpretasi.

d. Guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaianya merupakan suatu usaha yang kompleks, sukar dipahami, tidak teratur, dan tidak mudah dikelola.

E. Metode Mengajar dalam Pendekatan Konstruktivisme

(14)

belajar pada murid yang sedang belajar memang sulit untuk diketahui secara kasat mata, karena proses belajar berlangsung secara mental. Namun, dari berbagai hasil penelitian atau percobaan, para ahli psikologi dapat menggambarkan bagaimana proses tersebut berlangsung. Ahli psikologi konstruktivis berpendapat bahwa proses pemerolehan pengetahuan adalah melalui penstrukturan kembali struktur kognitif yang telah dimiliki agar bersesuaian dengan pengetahuan yang akan diperoleh sehingga pengetahuan itu dapat diadaptasi.

Dalam proses belajar mengajar diperlukan suatu cara atau metode untuk mencapai tujuan belajar. Menurut Hamalik (2003:2) metode mengajar adalah suatu cara, teknik atau langkah-langkah yang akan ditempuh dalam proses belajar mengajar. Sedangkan Roestiyah (2001:1) Metode mengajar adalah teknik penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas agar pelajaran tersebut dapat ditangkap, dipahami dan digunakan oleh siswa dengan baik.

Penerapan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran akan lebih banyak menggunakan metode inquiry (menemukan) dan akan dibantu metode-metode lain yang akan dilaksanakan secara integratif dan diperkirakan mampu dilaksanakan oleh guru mitra peneliti dan siswa di lapangan. Penjelasan metode-metode tersebut adalah sebagai berikut.

1. Tanya Jawab (questioning)

Bertanya (questioning) merupakan strategi atau metode utama lainya dalam pendekatan konstruktivisme untuk mengukur sejauh mana siswa dapat mengenali konsep-konsep pada topik pelajaran yang akan dipelajari. Bertanya dalam sebuah pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Dalam pembelajaran yang berbasis inquiry, kegiatan bertanya merupakan bagian yang sangat penting untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan hal-hal yang sudah diketahui, serta mengarahkan perhatian pada hal-hal yang belum diketahuinya.

(15)

kepada siswa, d. mengetahui sejauh mana keinginan siswa, e) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, f) memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru, g) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, dan h) menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

2. Penyelidikan/Menemukan (Inquiry)

Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan sebagai hasil penyelidikan sampai kepada menemukan sendiri bukan hasil mengingat seperangkat fakta, guru harus berusaha selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan untuk berbagai materi yang diajarkan. Metode inkuiri dalam proses pembelajaran lebih bersifat student centered. Dalam pembelajaran seorang guru hendaknya dapat mengajarkan bagaimana siswa dapat membelajarkan dirinya, karena siswa yang lebih banyak melakukan kegiatan pembelajaran. Belajar dengan metode inkuiri pada dasarnya adalah cara siswa untuk menemukan sendiri pengetahuannya.

Penggunaan metode inkuiri oleh guru akan mengurangi aktivitas guru di kelas dalam arti tidak terlalu banyak bicara, karena aktivitas lebih banyak dilakukan oleh siswa. Guru tidak lagi berperan sebagai pemberi pengetahuan melainkan menyiapkan situasi yang menggiring siswa untuk bertanya, mengamati, menemukan fakta, konsep, menganalisis data dan mengusahakan kemungkinan-kemungkinan jawaban dari suatu masalah.

(16)

sendiri, atau oleh orang lain, untuk dipahami dan dibermaknakan (Wiriaatmadja, 2002:137).

Metode inkuiri menekankan pada permasalahan bagaimana siswa menggunakan sumber belajar. Sumber belajar dipakai sebagai upaya untuk mengidentifikasi masalah dan merumuskan masalah. Peranan siswa dalam pembelajaran inkuiri adalah sebagai pengambil inisiatif atau prakarsa dalam menemukan sesuatu untuk mereka sendiri. Dalam hal ini siswa harus aktif menggunakan cara belajarnya sendiri, sehingga mengarah pada pengembangan kemampuan berpikir melalui bimbingan yang diberikan oleh guru. Permasalahan dalam inkuiri berkaitan dengan sumber belajar adalah bukan pada dari mana sumbernya, tetapi lebih menekankan pada bagaimana siswa dan guru memanfaatkan sumber tersebut dalam proses pembelajaran. Jadi sumber belajar harus dimanfaatkan sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan mengidentifikasi masalah melalui pertanyaan-pertanyaan yang terarah pada penjelasan masalah.

Langkah-langkah inkuiri menurut beberapa ahli diantaranya adalah; Hasan, Said Hamid (1996 :14) : langkah-langkah inkuiri adalah :1) Perumusan masalah, 2) pengembangan hipotesis, 3) pengumpulan data, 4) pengolahan data, 5) pengujian hipotesis, dan 6) penarikan kesimpulan. Menurut Dahlan (1990:169) langkah-langkah inkuiri adalah 1) orientasi, 2) hipotesis, 3) definisi, 4) eksplorasi, 5) pembuktian, 6) generalisasi. Sedangkan menurut Joyce & Weil (2000:473-475) mengemukakan langkah-langkah inkuiri sebagai berikut :1) penyajian masalah, 2) pengumpulan data dan verifikasi data, 3) mengadakan eksperimen dan pengumpulan data, 4) merumuskan penjelasan, 5) mengadakan analisis tentang proses inkuiri. Menurut Nurhadi (2003:13): adalah 1) Merumuskan masalah, 2) Mengamati dan melakukan observasi, 3) Menganalisis dan meyajikan hasil tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya, 4) Mengkomunikasikannya atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain.

(17)

memecahkan suatu permasalahan melalui langkah-langkah yang sistematis dan logis.

3. Komunitas Belajar (Learning Community)

Komunitas belajar atau belajar kelompok adalah pembelajaran dengan bekerjanya sejumlah siswa yang sudah terbagi kedalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan tertentu secara bersama-sama (Moejiono,1991/1992:60). Pengembangan pembelajaran dalam kelompok dapat menumbuhkan suasana memelihara disiplin diri, dan kesepakatan berperilaku. Melalui kegiatan kelompok terjadi kerja sama antar siswa, juga dengan guru yang bersifat terbuka. Belajar berkelompok dapat dijadikan arena persaingan sehat, dan dapat pula meningkatkan motivasi belajar para anggota kelompok. Dengan pendekatan konstruktivisme, guru melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang anggotanya heterogen. Kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik anggotanya maupun jumlahnya. Menurut Slavin (1995:4-5) “kelompok yang efektif terdiri dari empat sampai enam orang, dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen”.

Pembelajaran dengan konsep komunitas belajar dapat berlangsung apabila ada komunikasi dua arah. Siswa yang terlibat dalam kegiatan komunitas belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus meminta informasi juga yang diperlukan teman belajarnya. Kegiatan beIajar ini dapat terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam berkomunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak mau saling mendengarkan, pembelajaran dengan teknik komunitas belajar ini sangat membantu pembelajaran di kelas.

Untuk pelaksanaan metode-metode tersebut berpedoman kepada langkah-langkah yang ditentukan dalam waktu perencanaan. Langkah-langkah-langkah pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai berikut.

(18)

pertanyaan-pertanyaan problematik tentang fenomena-fenomena yang sering ditemui sehari-hari dengan mengaitkan konsep yang akan dibahas. Siswa di beri kesempatan untuk mengkomunikasikan, mengilustrasikan pemahamannya tentang konsep itu. Pada langkah ini penggunaan metode tanya jawab sangat diperlukan antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa yang difasilitasi oleh guru.

b. Langkah kedua, siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep-konsep dan permasalahan-permasalahan melalui pengumpulan dan pengorganisasian dan penginterpretasian data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang guru. Pada tahap ini guru menggunakan metode inquiry. Secara bekerja kelompok siswa membahas kemudian mendiskusikan temuannya dengan kelompok-kelompok lain. Secara keseluruhan tahap ini akan memenuhi rasa keingintahuan siswa tentang topik pelajaran yang dibahas pada saat itu. c. Langkah ketiga, Siswa memberikan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada

observasinya ditambah dengan penjelasan-penjelasan guru untuk menguatkan pengetehuan siswa yang telah mereka bangun, maka siswa membangun pengetahuan dan pemahaman baru tentang konsep yang sedang dipelajari. Hal ini menjadikan siswa tidak ragu-ragu lagi tentang konsepsinya.

d. Langkah terakhir, guru berusaha menciptkan iklim pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konsepnya tentang topik pelajaran saat itu.

F. Perbedaan Pembelajaran Behavioristik (Tradisional) Dengan Konstruktivistik

Perbedaan karakteristik antara pembelajaran tradisional dan pembelajaran konstruktivistik menurut Aqib, (2002:120), Budiningsih, (2005:63) adalah sebagai berikut.

No Pembelajaran Tradisional Pembelajaran Konstruktivistik

1

Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan dengan menekankan pada keterampilan dasar

(19)
(20)

termotivasi dalam menggali makna

G. Keuntungan dan Kelemahan dalam Menggunakan Model Konstruktivisme

Dalam penggunaan model konstruktivisme terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan. Keuntungan yang terdapat dalam penggunaan model konstruktivisme yaitu : 1. Dapat memberikan kemudahan kepada siswa dalam mempelajari konsep

pembelajaran.

2. Melatih siswa berpikir kritis dan kreatif.

Di samping memiliki beberapa keuntungan seperti yang telah diswbutkan di atas, pembelajaran konstruktivisme juga memiliki beberapa kelemahan. Adapun kelemahan pembelajaran konstruktivisme adalah :

1. Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi para ilmuan sehingga menyebabkan miskonsepsi.

(21)

3. Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas siswa.

Banyak guru menekankan perhitungan dan bukan penalaran sehingga banyak siswa menghafal belaka. Menurut Glasserfeld (Suparno,1997) mengajar adalah membantu seseorang berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri. Jadi guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Sedangkan fungsi mediator dan fasilitator itu sendiri dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut.

1. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggungjawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian.

2. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka.

3. Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa berjalan atau tidak. Guru juga membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.

Julian dan Duckworth (Suparno,1997:68) telah merangkum hal-hal penting yang harus dilakukan seorang guru konstruktivis sebagai berikut.

1. Guru perlu mendengarkan secara sungguh-sungguh interpretasi murid terhadap data yang ditemukan sambil menaruh perhatian khusus kepada keraguan, kesulitan dan kebingungan setiap murid.

2. Guru perlu memperhatikan perbedaan pendapat dalam kelas dan juga memberikan penghargaan kepada siswa.

3. Guru perlu menyadari bahwa ketidaktahuan siswa bukanlah suatu hal yang jelek dalam proses belajar, karena “tidak mengerti” merupakan langkah awal untuk memulai.

(22)

tidak. Penguasaan bahan memungkinkan seorang guru mengerti macam-macam jalan dan model untuk sampai pada suatu pemecahan persoalan tanpa terpaku pada satu model.

BAB III

(23)

A. Kesimpulan

Teori kontruktivisme adalah sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget yang merupakan bagian dari teori kognitif juga. Piaget menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.

Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru.

Teori konstruktivisme pada dasarnya menekankan pembinaan konsep yang asas sebelum konsep itu dibangunkan dan kemudiannya diaplikasikan apabila diperlukan .

DAFTAR PUSTAKA

(24)

http://wiare.blogspot.co.id/2013/02/teori-belajar-konstruktivisme.html https://ansarbinbarani.blogspot.co.id/2015/12/teori-konstruktivisme.html

Aqib, Z. 2002. Profesionalisme Guru Dalam Pembelajaran. Surabaya : Insan Cendikia. Arsyad, Azhar. 2004. Media Pembelajaran. Jakarta: PT RajaGafindo Persada

Budiningsih, C.A. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta.

Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004, Standar Kompetensi Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Jakarta : Depdiknas.

Referensi

Dokumen terkait

Biarlah itu menjadi bagian dari masa lalu TNI dan Polri, masa lalu kita, karena saya yakin Saudara tidak akan melakukan hal-hal begitu di masa kini dan masa depan, utamanya

Jika dikemudian hari ternyata terdapat perubahan Kofisien Luas Bangunan (KLB) atau Kofisien Dasar Bangunan (KDB) pada bangunan tersebut, dan tidak sesuai dengan

Yang bertanda tangan dibawah ini saya, Fransiska Dian Permatasari Kono, menyatakan bahwa skripsi dengan judul : Pengaruh Arus Kas Bebas, Ukuran KAP, Spesialisasi

Agar penelitian ini tidak melebar kebahasan yang lain, maka penulis melakukan pembatasan penelitian hanya pada seberapa besar pengaruh program Sistem

Pertanggungjawaban PT BMH dalam Perkara Menteri LHK v. - Dasar hukum yang digunakan oleh MenLHK untuk pertanggungjawaban berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum dalam

Pada makalah ini dilakukan perancangan dan pembuatan sistem pakar yang digunakan untuk membantu menentukan diagnosa suatu penyakit yang diawali dari gejala utama

Proses komunikasi dan teknik berkomunikasi perlu digunakan untuk negosiasi yang lebih baik, manajemen risiko, desain proyek, dan keterlibatan aktif dari mereka yang paling

Dari data diatas dapat diketahui bahwa guru sudah aktif karena sudah melakukan lima aktivitas sedangkan sebagian siswa masih terlihat kurang aktif dalam pembelajaran matematika