• Tidak ada hasil yang ditemukan

REVIEW : BUKU FILSAFAT HUKUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "REVIEW : BUKU FILSAFAT HUKUM"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP HUKUM

(BOOK REVIEW H.L.A HART)

Disusun Oleh:

A.HAMID 29173622

Program Pascasarjana S3

Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh Email: hmidun26@yahoo.com

Dosen Pengasuh:

Prof. Dr. Faisal A.Rani. SH, MH

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

BANDA ACEH

(2)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kehadhirat Allah swt yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat kepada kita semua, serta kesehatan dan kesempatan kepada penulis sehingga telah dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini, walaupun serba kekurangan dari segi ilmu bagi penulis

alhamdulillah makalah ini dapat selesai, Salawat serta salam kita sampaikan kepada Rasulullah saw serta keluarga dan sahabat beliau selalu tercurahkan.

Makalah ini membahas tentang kaidah ushul “Konsep Hukum” yang penulis sampaikan sebagai bagian dari tugas mata kuliah Teori Ilmu Fiqh/Hukum pada Program Pendidikan Doktor S3 di Pascasarna UIN Ar-Raniry Banda Aceh tahun 2018. Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada guru kami Prof. Dr.Faisal A.Rani. SH, MH selaku dosen pengasuh mata kuliah

Teori Ilmu Fiqh/Hukum yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penyusunan makalah ini, tidak lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang masih dan selalu berkontribusi dalam penyusunan makah ini hingga selesai. Penulis menyadari makalah ini masih sangat kekurangan dan belum sempurna, maka disini masih diperlukan kritik dan saran yang membangun.

Penulis

(3)

A. PENDAHULUAN

Dokumen yang berupa buku terjemahan Konsep Hukum oleh M. Khozim dari judul asli The Concept of Law oleh H. L. A. Hart. Tertulis dalam buku ini bahwa buku ini seperti kitab suci dalam ilmu hukum yang selalu menjadi rujukan utama kaum intelektual di dunia dari diterbitkannya buku tersebut hingga sekarang. Jadi buku terjemahan buku ini sangatlah penting dan diminati. Sehingga peneliti menggunakan buku tersebut dalam penelitian ini untuk meneliti terjemahannya. Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling atau dinyatakan juga sebagai criterion-based sampling. Sampling dilakukan agar sampel yang diperoleh dapat mengantarkan peneliti mencapai tujuan peneliti. Jadi, dalam penelitian kualitatif, cuplikan yang diambil lebih bersifat selektif. Pilihan sampel diarahkan pada sumber data yang dipandang memiliki data penting yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Sampel ditentukan dari sumber data yang telah diseleksi secara matang berdasarkan pertimbangan dalam bentuk kriteria-kriteria tertentu yang disusun oleh peneliti (Sutopo, 2006: 64). Data yang dikumpulkan dan dikaji dalam penelitian ini merupakan data kualitatif yang berupa data ortografs, kata, frasa, klausa, dan kalimat dalam buku The Concept of Law oleh H. L. A. Hart,

versi bahasa bahasa Indonesia.

B. METODOLOGI PENELITIAN

(4)

karena penelitian ini mengenai kajian hukum, tepatnya kajian penerjemahan dalam ilmu tertentu atau khusus, yaitu hukum. Kejadian yang terkandung dalam buku The Concept of Law

adalah pemahaman dan penjelasan mengenai pemikiran hukum, serta mengenai hukum, paksaan, dan moralitas sebagai hal yang berbeda namun terkait dengan gejala sosial. Lebih jauh, buku

The Concept of Law dipilih dan digunakan sebagai lokasi penelitian karena;

1). Buku ini merupakan produk ilmu khusus mengenai teori hukum, dimana kajian penerjemahan bidang ini masih jarang diangkat sebagai penelitian. Dengan demikian, buku ini diharapkan menyediakan banyak unsur-unsur bahasa berhubungan dengan hukum baik dalam bahasa Inggris atau Bahasa Sumber maupun terjemahannya dalam Bahasa Sasaran atau Bahasa Indonesia;

2). Buku The Concept of Law disebut sebagai kitab suci dalam ilmu hukum. Karya tersebut selalu menjadi rujukan utama kaum intelektual hingga sekarang. Buku ini telah diterjemahknan ke berbagai bahasa di dunia. Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya buku tersebut.

Penelitian ini merupakan penelitian di bidang pengkajian analisis data yang berada pada tataran atau berbentuk kata, frasa, klausa, maupun kalimat. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2008: 4), penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data berupa kata-kata, kalimat, atau gambar yang memiliki arti lebih daripada sekedar angka-angka atau frekuensi. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif karena penelitian kualitatif itu sendiri memiliki ciri deskriptif. Data yang muncul dari penelitian kualitatif itu bersifat deskriptif, yaitu data dilaporkan melalui kata-kata. Cresswell (1994: 145) mengatakan bahwa “Qualitative research itself is descriptive in that the researcher is interested in process, meaning, and understanding gained through words or utterances.” Jadi penelitian deskriptif kualitatif merupakan pemaparan deskripsi dari analisa terhadap teks dalam segala bentuknya untuk membantu penjabaran hasilnya.

(5)

Buku yang berhasil membawa nama Hart berkibar di jajaran para teoritikus hukum mutakhir adalah The Concept of Law, Melalui buku tersebut Hart mengangkat tiga pertanyaan penting dalam flsafat hukum, yakni Bagaimana hukum berbeda dari dan bagaimana ia terkait dengan perintah yang ditopang oleh ancaman? Bagaimana kewajiban hukum berbeda dari, dan bagaimana ia terkait dengan kewajiban moral? Apa itu peraturan dan sampai sejauh mana hukum merupakan persoalan mengenai peraturan.1 Hart mengklaim dirinya sudah menjawab

tiga pertanyaan penting tersebut dan karena itu ia telah memecahkan teka-teki yang ada dalam flsafat hukum.

Herbert Lionel Adolphus Hart mengatakan, hukum harus dilihat baik dari aspek eksternal maupun iternalnya. Dari segi eksternal, berarti hukum dilihat sebagai perintah penguasa, sebagaimana diartikan oleh Austin. Disamping itu, ada aspek internal, yaitu keterikatan terhadap perintah dan penguasa itu secara batiniah. Norma-norma hukum dapat dibagi dua, yaitu norma primer dan sekunder. Norma primer adalah norma yang menentukan kelakuan-kelakuan subjek-subjek hukum, dengan Menyatakan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus tidak dilakukan.norma sekunder ini memastikan syarat-syarat bagi berlakuya norma-norma primer dan dengan demikian menampakkan sifat yuridis dari norma itu. Sebab itu, mereka disebut petunjuk pengenal (rulles of recognition). Disamping itu mereka memastikan syarat bagi perubahan norma-norma itu)

(rules of change) dan bagi dipecahkannya konfik dalam rangka norma-norma itu (rules of chnge) dan bagi dipecahkannya konfik dalam rangka norma-norma itu (rules of adjudifcation) 2

D. HAKIKAT HUKUM

1. Hukum sebagai Perintah dan kebiasaan

Dalam upaya menjelaskan hakikat hukum, Hart berangkat dari pandangan positivisme Austin. Austin mendefnisikan hukum sebagai ―Perintah dari orang seorang raja atau orang yang

1H. L. A. Hart, ―The Concept of Law”, edisi kedua (Oxford: Oxford University Press, 1994), hal.

13

2 Huijbers, T. flsafat Hukum dalam Lintasan Seejarah, Cet. Ke-5, (Yogyakarta : Kanisius tahun

(6)

berdaulat, yang secara politik superiror.3 Yang superior ini

bisa berupa seorang individu atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan untuk memberi sanksi. Superioritas dari individu atau sekelompok orang itu menurut Austin ditandai oleh dua ciri utama: (1) terdapat warga yang memiliki kebiasaan patuh terhadap perintah yang dikeluarkan yang superior, dan (2) yang superior tidak tunduk terhadap orang lain.4 Dua ciri ini menandai supremasi dan independensi

hukum dalam sebuah masyarakat Menurut Hart konsep hukum Austin seperti disebutkan di atas dapat dianalogikan sebagai perintah dari orang bersenjata. Dalam situasi tersebut seorang yang bersenjata memerintahkan korbannya untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu apa yang diungkapkan oleh H.L.A Hart yang ingin berusaha menjawab pertanyaan tentang “apa hukum itu?” tetapi bukan pertanyaan “apa hukum itu seharusnya”. Kongkritnya dalam perspektif Hart mengenai pertanyaan “hakikat hukum” di atas adalah tentang bagaimana hukum dan kewajiban hukum berbeda dari, dan bagaimana kaitannya dengan perintah-perintah yang ditopang oleh ancaman.5.

Hukum memerintahkan orang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Perintah tersebut bersifat wajib dan pelanggaran terhadapnya akan dikenai sanksi, berupa denda atau kurungan badan. Namun menurut Hart analogi hukum dengan situasi penodongan, di mana di dalamnya terdapat perintah yang wajib dijalankan dan pemberian sanksi, tidaklah tepat. Hart menunjukkan tiga perbedaan signifkan antara hukum dan perintah.7 Pertama, perintah hanya mewajibkan

3 John Austin, ―The Province of Jurisprudence Determined”, ed. H.L.A. Hart (London:

Weidenfeld & Nicholson, 1954), hal. 134.

4 John Austin,The Province ...hal. 134.

5 H.L.A. Hart, Konsep Hukum, Bandung: Nusamedia-Studio, 2010. Edisi Ke-2. Hal. 10.

(7)

kepada orang yang diperintah, tapi hukum, bahkan hukum warga negara untuk secara bebas menciptakan kesepakatan hukum diantara mereka. Ketiga, peraturan hukum tidak selalu berasal dari tindakan perundangan yang yang disengaja. Dalam sistem common-law kebiasaan sering menjadi sumber hukum yang penting. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum yang dipahami sebagai perintah yang disertai sanksi tidak dapat memberi kita pemahaman yang memadai tentang hukum.

Seperti dijelaskan di atas model tersebut telah mereduksi penerapan, cakupan, dan asal-usul hukum. Karena alasan ini

Hart berupaya mencari ciri lain yang dapat mengantarkan pemahaman yang lebih baik terhadap hukum. Jika perintah yang disertai ancaman bukan karakter dari hukum, maka apa karakter dari hukum? Dengan kata lain, apa yang menjadikan hukum sebagai hukum?, H.L.A Hart mengungkapkan, terdapat pemisahan antara hukum dan moralitas, namun pemisahan yang tidak ekstrim karena moralitas harus menjadi syarat minuman dari hukum. Hal ini disebabkan karena dua faktor:6

a). Manusia memiliki keterbatasan berbuat baik pada orang lain: dan b). Hukum memiliki keterbatasan dalam mengatur perkembangan masyarakat. Hart menambahkan, pemikiran hukum erat kaitannya dengan moral merupakan cara berpikir dalam aliran hukum alam.

6 Bernard L. Tanya, Makalah “ Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum”, disampaikan dalam

(8)

Dalam aliran hukum positif, hukum dan moral sama sekali tidak ada kaitannya. Hal ini dapat diamati dengan ciri-ciri pengertian positivisme hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh H.L.A Hart antara lain: 1). Hukum adalah perintah dari manusia (command of human being); 2). Tidak ada hubungan mutlak antara “Hukum/law” dan “Moral” sebagaimana yang berlaku/ ada dan hukum yang seharusnya; 3). Pengertian bahwa analisis konsepsi hukum, pertama; mempunyai arti penting, kedua; harus dibedakan dari penyelidikan seperti a). Historis mengenai sebab musabab dan sumber-sumber hukum; b). Sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya; c). Penyelidikan hukum secara kritis atau penilaian, baik yang didasarkan moral, tujuan sosial, dan fungsi hukum; 4). Sistem hukum adalah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dalam mana keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan sosial, politik, dan ukuran-ukuran moral.7

2. Hukum dan Moral

Dalam pandangan Hart penegasan bahwa di antara hukum dan moralitas ada suatu hubungan yang perlu atau mutlak memiliki banyak ragam pemahaman yang penting namun tidak semua hubungan itu terlihat jelas. Berangkat dari ketidakjelasan ini Hart berupaya menunjukkan dan mengevaluasi alasan-alasan yang mendasari pandangan tersebut. Menurutnya, tak satu pun alasan yang diajukan untuk menunjukkan hubungan mutlak itu memadai meskipun ia mengakui beberapa segi dari argumen yang dikemukakan memiliki kebenaran, sesuai dengan beberapa fakta yang dapat dijumpai dalam sistem hukum. Hart mengakui bahwa hukum, keadilan, dan moral memiliki hubungan yang sangat dekat. Bahkan salah satu aspek keadilan, yaitu keadilan adminsitratif, dan dalam hukum kodrat minimum, hukum dan moralitas berhubungan secara mutlak‘. Keadilan administratif

7 http://ninetyninezert.clarendonpress.com/2012/11/28/positivisme-hukum-h-l-a-hart/diakses

(9)

yang dimaksud di sini tidak lain keadilan dalam penerapan hukum.

Penerapan hukuman terhadap seseorang hanya didasarkan pada karakteristik yang disebutkan dalam hukum. Hukum tentang pembunuhan, misalnya, menyebutkan bahwa seseorang yang secara sengaja menghilangkan nyawa orang lain dihukum lima belas tahun, maka dari ketentuan ini kita akan tahu mana karakteristik yang relevan dan tidak relevan untuk untuk menghukum pelaku pembunuhan. Warna kulit dan jenis rambut pelaku tidak relevan; sementara keputusan atau niat orang tersebut relevan. Jika dalam memutuskan kasus tertentu karakteristik yang disebutkan dalam hukum itu diabaikan, maka penerapan hukuman dianggap tidak adil.

Keadilan dalam penerapan hukum ini menurut Hart

memiliki hubungan yang mutlak dengan hukum. Namun, hubungan mutlak ini hanya menyangkut administrasi hukum dan keadilan jenis ini bisa juga dapat terjadi dalam sebuah sistem hukum yang di dalamnya penuh dengan hukum yang tidak adil. Selain dalam administrasi hukum Hart juga mengakui hubungan penting antara hukum dan moralitas dalam hukum kodrat minimum.

Hukum kodrat minimum tidak lain pandangan Hart sendiri mengenai kodrat manusia yang berbeda dengan hukum kodrat klasik. Menurutnya kodrat manusia yang paling dasar adalah bertahan hidup, sebab dengan bertahan hidup manusia dapat memenuhi tujuan hidup lainnya. Untuk dapat beratahan hidup, di samping memerlukan ketersediaan bahan konsumsi, manusia juga memerlukan aturan yang dapat menjaga kehidupan bersama mereka. Di sinilah moralitas dan hukum bertemu; kedua aturan ini, meski berbeda, sama-sama menuntut hal yang sama, yaitu terpeliharanya kehidupan bersama manusia. Namun, hubungan mutlak antara hukum dan moraltias dalam hukum kodrat minimum ini menurutnya bukan kemutlakan logis, melainkan kemutlakan alamiah‘. Disebut mutlak alamiah karena kemutlakan hubungan itu didasarkan pada kondisi alamiah kehidupan manusia itu sendiri.8 Artinya, selama kondisi kehidupan manusia tidak

8 Adapun kondisi alamiah yang dimaksud Hart adalah sebagai berikut: pertama, manusia itu

(10)

mengalami perubahan, maka hukum dan moralitas akan berhubungan mutlak. Hart hanya mengakui hubungan mutlak‘ hukum dan moralitas dalam hukum kodrat minimum dan administrasi hukum, dan hal itu seperti telah disebutkan, bukan mutlak logis seperti yang dianggap selama ini. Dalam

The Concept of Law, Hart menguji enam alasan lain yang dijadikan dasar untuk menunjukkan adanya hubungan mutlak antara hukum dan moralitas.

Pertama, kekuasaan dan otoritas. Poin pertama mengenai adanya hubungan mutlak antara hukum dan moralitas kekuasaan orang atas orang lain. Sebab itu Hart menolak teori Austin yang memahami esensi hukum sebagai perintah yang disertai ancaman. Untuk bisa berjalan secara wajar sebuah sistem hukum tidak hanya berdasarkan kekuasaan tapi juga penerimaan sukarela dari orang yang ada dalam sistem tersebut. Namun menurut Hart dikotomi antara hukum yang berdasarkan hanya pada kekuasaan dan hukum yang diterima sebagai hal yang mengikat secara moral bukanlah dikotomi yang lengkap (exhaustive).

Kedua, pengaruh moralitas terhadap hukum. Hukum dan moralitas memiliki hubungan yang mutlak karena keduanya memiliki hubungan timbal balik. Moralitas suatu masyarakat mepengaruhi produk hukum dan hukum memengaruhi pandangan baik dan buruk masyarakat tersebut. Jika ini yang dimaksud dengan hubungan mutlak antara hukum dan moralitas maka Hart dengan sepenuh hati menerimanya.9

Bahkan lebih jauh Hart berpendapat bahwa tak seorang positivis pun menolak adanya fakta bahwa pandangan moral dapat masuk ke dalam hukum.

Ketiga, interpretasi. Hart mengakui penerapan hukum pada kasus yang samar-samar akan melibatkan pertimbangan

altruisme terbatas. Keempat, manusia memiliki sumber kehidupan terbatas. Dan kelima, manusia memiliki pemahaman dan kehendak yang terbatas. Ibid., hal. 193-200

9 Ibid., hal. 203-204; Lihat juga H. L. A. Hart dalam ―Essay on Jurisprudence and Philosophy”,

(11)

tertentu, pertimbangan yang menunjukkan bagaimana hukum seharusnya. Keputusan yang diberikan hakim pada kasus tertentu, menurut Hart, tidak semata berdasarkan pada kesewenang-wenangan, melainkan dibimbing oleh prinsip-prinsip, kebijakan sosial, dan kepercayaan moral; hukum yang ada dan hukum yang seharusnya berkelindan dalam penafsiran hukum.

Keempat, kritik hukum.10 Pengertian lain yang mungkin

muncul dari pernyataan hukum memiliki hubungan mutlak dengan moralitas adalah bahwa sebuah sistem hukum yang baik harus sejalan dengan moralitas. Hart juga menerima pengertian ini dengan beberapa catatan. Hart berpendapat jika yang dimaksud moralitas di sini adalah moralitas yang berlaku dalam sebuah masyarakat maka sistem hukum tidak perlu menyesuaikan sepenuhnya dengan moralitas tersebut. Kemudian jika moralitas yang dimaksud adalah sistem moralitas yang umum dan tercerahkan, maka banyak sistem hukum berjalan tanpa unsur-unsur ini. Dengan demikian, Hart

tidak menolak sebuah sistem hukum sejalan dengan moralitas, tapi ia berpandangan bahwa tidak semua sistem hukum harus sesuai dengan moralitas. Karena itu hubungan keduanya tidak mutlak.

Kelima, prinsip legalitas dan keadilan. Agar hukum bisa diterapkan secara efektif, hukum harus dipahami oleh semua orang, diketahui sebelum diundangkan, prospektif, diterapkan secara sama terhadap semua orang, diterapkan secara imparsial, dan seterusnya. Bagi sebagian orang adanya elemen-elemen tersebut menunjukkan kemutlakan hubungan hukum dan moralitas atau, seperti disebut Lon Fuller, elemen-elemen tersebut merupakan ―moralitas dalam (inner morality) hukum. Namun bagi Hart, elemen-elemen tersebut juga ada dalam sebuah sistem hukum yang secara moral jahat.11

Keenam, validitas hukum dan resistensi. Argumentasi terakhir untuk mendukung tesis kesatuan hukum dan moralitas berkaitan dengan pembangkangan terhadap hukum

(12)

yang jahat. Menurut para pendukung teori hukum kodrat, positivisme hukum akan menghalangi orang untuk menentang hukum yang ditetapkan secara valid tapi berlawanan dengan moral dan keadilan.

Walaupun kemudian Hart menyadari keterbatasan dalam ukum positif karena “dianggap” selalu tertinggal di belakang kejadian. Oleh sebab itu, maka diberikanlah ruang bagi moral sebagai landasan yang harus dimiliki oleh pelaksana hukum/subjek hukum berupa “kewajiban moral” untuk mengambil tindakan-tindakan hukum. Menurut Hart, penilaian moral ada pada tataran individual dan dengannya manusia bisa menentukan apakah hukum yang berlaku adil atau tidak. Jika tidak, maka manusia tidak mempunyai kewajiban untuk mematuhinya dan kalau perlu melawan terhadap hukum yang tidak adil tersebut. Jadi, meski memiliki perbedaan pandangan mengenai relasi antara hukum dan moralitas, baik teori hukum kodrat maupun positivisme hukum tidak sependapat dengan Sokrates. Bagi keduanya Sokrates tidak memiliki kewajiban moral untuk mematuhi hukum yang tidak adil.

4. Peraturan Primer dan Skunder a. Primer

H.L.A Hart dalam karyanya “The Concept of Law” (1988).

Hart menjelaskan bahwa pertama-tama hukum harus dipahami sebagai sistemperaturan.12 Melihat dari

pernyataan Hart bahwa pertama-tama hukum harus dipahami sebagai suatu sistem peraturan, ia membagi dua dalam konsep hukumnya tentang peraturan itu, yaitu:13

Selain aturan primer sebuah sistem hukum juga memiliki bentuk aturan lain, yakni aturan sekunder. Aturan sekunder yang dimaksud di sini tidak lain landasan dari aturan primer itu sendiri. Hart membagi aturan sekunder ke dalam tiga jenis, yaitu aturan pengakuan (rule of

12 http://ninetyninezert.clarendonpress.com/2012/11/28/positivisme-hukum-h-l-a-hart/ , diakses

Tgl. 19 Juli 2018

13 Petrus CKLBello, Hubungan Hukum dan Moralitas menurut H.L.A HART , Alumnus program

(13)

recognition), aturan perubahan (rule of change), dan aturan pemutusan (rule of adjudication). Ketiga aturan tersebut menurut Hart merupakan syarat adanya sebuah sistem hukum. Karena itu, tanpa adanya aturan sekunder tidak akan ada sistem hukum sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan modern.

Peraturan primer terdiri dari standar-standar bagi tingkah laku yang membebankan berbagai kewajiban. Peraturan-peraturan primer menentukan kelakuan-kelakuan subjek-subjek hukum, dengan menyatakan apa yang harus dilakukan, apa yang dilarang. Aturan yang masuk dalam jenis ini muncul sebagai akibat dari kebutuhan masyarakat itu sendiri. Adapun kekuatan mengikat dari berbagai aturan jenis ini didasarkan dari penerimaan masyarakat secara mayoritas.

Aturan primer yang dimaksud Hart adalah aturan-aturan yang menimpakan kewajiban (obligation). Aturan tersebut merupakan standar dalam kehidupan sebuah masyarakat. Bagi masyarakat yang hidup dalam sebuah sistem hukum, aturan primer itu tidak lain adalah aturan tertulis seperti undang-undang, keputusan presiden, dll. Aturan primer, singkatnya, adalah aturan yang menimpakan kewajiban terhadap orang yang hidup dalam sebuah sistem hukum. Jika rules of recognition memuat ketentuan yang menjelaskan apa yang d173imaksud oleh norma primer, sedangkan rules of change mengesahkan adanya norma primer yang baru, sedangkan rulers of adjudication berisi aturan yang menentukan apakah suatu norma primer telah dilanggar. Dapat dikatakan bahwa norma-norma sekunder ada hubungannya dengan kompetensi dalam bidang hukum. Norma-norma itu menentukan kewibawaan instansi-instansi hukum untuk membentuk hukum. Artinya, berkat norma-norma sekunder dalam aturan hukum sebuah masyarakat orang tertentu menerima suatu tugas dan kewibawaan untuk mengeluarkan norma-norma yang berlaku, untuk mengubahnya, dan untuk memecahkan masalah-masalah hukum.14

14 Huijbers, T. flsafat Hukum dalam Lintasan Seejarah, Cet. Ke-5,( Yogyakarta : Kanisius tahun

(14)

b. Skunder

Aturan-aturan sekunder adalah sekelompok aturan yang memberikan kekuasaan untuk mengatur penerapan aturan-aturan hukum yang tergolong kedalam kelompok yang sebelumnya (aturan-aturan primer). Aturan-aturan dapat digolongkan kedalam kelompok ini adalah aturan yang memuat prosedur bagi pengadopsian dan penerapan hukum primer. Berisi syarat-syarat bagi pelakunya kaidah-kaidah primer dan dengan demikian menampakkan sifat yuridis kaidah-kaidah itu. Dan di dalam peraturan sekunder dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu;15 a). Peraturan

Pengakuan, b). Peraturan Perubahan, dan c). Peraturan Penilaian.

Peraturan-peraturan primer menentukan kelakuan-kelakuan subjek-subjek hukum dalam perspektif Hart seperti yang telah dijelaskan dalam The Concept of Law adalah pihak yang harus terinternalisasi prinsip-prinsip moral. Karena Hart beranggapan bahwa moral sebagai “nature of a rule”, seterusnya menjadi aspek internal.16 dari suatu ketentuan, seperti yang

dikatakannya bahwa suatu hukum harus mengandung unsur eksternal dan internal, aspek internalnya adalah moral dan ketentuan sosial. Peraturan primer ini kurang lebih sama dengan sopan santun atau etiket. Hart menyebutnya demikian karena peraturan ini berfungsi sebagai prinsip pokok yang menjadi panduan perilaku manusia. Tiga sifat dari norma sekunder seperti disebutkan di atas merupakan norma dasar. Disini pendapat Hart agak mirip dengan Kelsen, dalam membahas tentang Groundnorm. Menurut Hart Norma dasar ini, hanya berhubungan dengan pandangan eksternal terhadap hukum dan dianggap sekadar suatu kenyataan. Jadi tidak mengikat secara batiniah seperti Grundnorm. Dalam

15 Peraturan pengakuan, peraturan pengakuan adalah peraturan yang berfungsi mengatasi

problem ketidak pastian peraturan primer; peraturan perubaha, peraturan perubahan adalah peraturan yang berfungsi untuk mengatasi masalah berkaitan dengan siat status peraturan primer; dan peraturan penilaian dan penyelesaian konfik, peraturan ini menetapkan mekanisme untuk mengatasi problem inefensi dalam peraturan primer. http://ninetyninezert.wordpress.com/2012/11/28/positivisme-hukum -h-l-a-hart/ , diakses Tgl. 19 juli 2018

16 “Hukum harus mengandung aspek internal yang terdiri dari moral dan ketentuan sosial.”

(15)

memandang materi hukum, Hart berpendapat bahwa materi hukum diturunkan dari prinsip-prinsip moral, termasuk prinsip dari kenyataan hidup tertentu. Sekalipun demikian, sebagaimana penganut Positivisme Hukum, Hart membedakan secara tegas antara hukum (dalam arti das Seein) dan moral (das Seollen). Adapun yang disebut hukum, hanyalah menyangkut aspek formal. Artinya, suatu hukum dapat saja disebut hukum, walaupun secara material tidak layak untuk ditaati karena bertentangan dengan prinsip-prinsip moral.17

E. PENUTUP

Herbert Lionel Adolphus Hart mengatakan, hukum harus dilihat baik dari aspek eksternal maupun iternalnya. Dari segi eksternal, berarti hukum dilihat sebagai perintah penguasa, sebagaimana diartikan oleh Austin. Disamping itu, ada aspek internal, yaitu keterikatan terhadap perintah dan penguasa itu secara batiniah. Norma-norma hukum dapat dibagi dua, yaitu norma primer dan sekunder. Norma primer adalah norma yang menentukan kelakuan-kelakuan subjek-subjek hukum, dengan Menyatakan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus tidak dilakukan. norma sekunder ini memastikan syarat-syarat bagi berlakuya norma-norma primer dan dengan demikian menampakkan sifat yuridis dari norma itu. Sebaba itu, mereka disebut petunjuk pengenal (rulles of recognition). Disamping itu mereka memastikan syarat bagi perubahan norma-norma itu)

(rules of change) dan bagi dipecahkannya konfik dalam rangka norma-norma itu (rules of chnge) dan bagi dipecahkannya konfik dalam rangka norma-norma itu (rules of adjudifcation).

17 Huijbers, T. flsafat Hukum dalam Lintasan Seejarah, Cet. Ke-5, (Kanisius, tahun.1988)

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Bernard L. Tanya, Makalah “Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum”, disampaikan dalam seminar Nasional yang bekerjasama dengan Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) dan Program Doktor (S3) Ilmu Hukum (AFHI) Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta April 2015.

H. L. A. Hart dalam ―Essay on Jurisprudence and Philosophy

H. L. A. Hart, ―The Concept of Law”, edisi kedua (Oxford: Oxford University Press, 1994)

H.L.A. Hart, Konsep Hukum, Bandung: Nusamedia-Studio, 2010. Edisi Ke-2. Hal. 10. Diterjemahkan oleh M. Khozim dari karya H.L.A Hart, The Concept of Law, New York: Clarendon Press-Oxford, 1977.

http://ninetyninezert.clarendonpress.com/2012/11/28/

positivisme-hukum-h-l-a-hart/ diakses pada Tgl. 19 Juli 2018. http://ninetyninezert.wordpress.com/2012/11/28/

positivisme-hukum-h-l-a-hart/ , diakses Tgl. 27 Des 2013

John Austin, ―The Province of Jurisprudence Determined”,

(17)

Petrus CKL Bello, Hubungan Hukum dan Moralitas menurut H.L.A HART , tesis yang penulis ajukan dan pertahankan pada program pasca sarjana SeTF Driyarkara

Jakarta 2014.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, maka tiap Tata Hukum akan mencerminkan atau diwarnai oleh pandangan hidup tertentu atau pandangan tentang hakikat manusia yang dianut atau hidup

internasional perihal istilah mana yang lebih tepat digunakan untuk mengambarkan perusahaan- perusahaan tersebut 9. PMC sering beroperasi dalam situasi konflik bersenjata, baik

Kattsoff, buku tersebut saya rasa mampu menjawab beberapa pertanyaan – pertanyaan yang ada dalam diri saya mengenai hal yang berhubungan dengan filsafat.. Petanyaan yang

Jika seorang karyawan masih tidak yakin atau tidak nyaman dengan tindakan tertentu setelah menjawab setiap pertanyaan ini (dan pertanyaan lainnya yang sesuai berdasarkan situasi),

Jika seorang karyawan masih tidak yakin atau tidak nyaman dengan tindakan tertentu setelah menjawab setiap pertanyaan ini (dan pertanyaan lainnya yang sesuai berdasarkan

Butir b : Tenaga kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya, yaitu seorang dokter ahli

Dalam pelaksanaan perdamaian dan keamanan internasional, Majelis Umum mengusahakan setiap Negara-negara tidak melakukan tindakan-tindakan dengan menggunakan kekuatan bersenjata

Contohnya adalah tindakan seorang penguasa yang memerintahkan para pedagang untuk tidak menjual barang dagangan mereka, kecuali dengan harga tertentu yang telah ditetapkan sehingga