• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. RISALAH RAPAT DENGAR PENDAPAT KOMISI I DPR RI Tahun Sidang : Masa Persidangan : III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. RISALAH RAPAT DENGAR PENDAPAT KOMISI I DPR RI Tahun Sidang : Masa Persidangan : III"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

RISALAH

RAPAT DENGAR PENDAPAT KOMISI I DPR RI Tahun Sidang : 2016-2017

Masa Persidangan : III

Jenis Rapat : Rapat Dengar Pendapat dengan Lembaga Sensor Film Sifat Rapat Hari, Tanggal : : Terbuka Senin, 16 Januari 2017

Waktu : 10.50 WIB - 13.10 WIB

Tempat :

Ruang Rapat Komisi I DPR RI Gedung Nusantara II Lt. 1,

Jl. Jenderal Gatot Soebroto, Jakarta 10270 Ketua Rapat : Meutya Viada Hafid

Sekretaris Rapat : Suprihartini, S.I.P./Kabagset. Komisi I DPR RI Acara : 1. Evaluasi Pencapaian Program Kerja Lembaga

Sensor Film Tahun 2016;

2. Rencana Program Kerja Lembaga Sensor Film Tahun 2017;

3. Lain-lain.

Hadir : PIMPINAN :

1. Dr. H. Abdul Kharis Almasyhari (F-PKS) 2. Dr. TB. Hasanuddin, SE., MM. (F-PDIP) 3. Meutya Viada Hafid (F-PG)

4. Mayjen TNI (PURN) Asril Hamzah Tanjung, S.IP. (F-P.GERINDRA)

5. H.A. Hanafi Rais, S.I.P, M.P.P. (F-PAN) ANGGOTA :

FRAKSI PDI-Perjuangan : 6. Ir. Rudianto Tjen

7. Drs. Effendi MS. Simbolon, MIPol 8. Charles Honoris

9. Tuti N. Roosdiono 10. Evita Nursanty, M.Sc.

(2)

2

11. Ir. Bambang Wuryanto, MBA. 12. Marinus Gea, S.E., M.Ak. 13. Andreas Hugo Pareira FRAKSI PARTAI GOLKAR: 14. Dr. Fayakhun Andriadi 15. Tantowi Yahya

16. Bobby Adhityo Rizaldi, S.E., M.B.A., C.F.E. 17. Dave Akbarsyah Laksono

18. Yayat Y. Biaro

19. Venny Devianti, S.Sos.

20. H. Andi Rio Idris Padjalangi, S.H., M.Kn. FRAKSI PARTAI GERINDRA:

21. H. Ahmad Muzani 22. Martin Hutabarat

23. H. Biem Triani Benjamin, B.Sc., M.M. 24. Rachel Maryam Sayidina

25. Andika Pandu Puragabaya, S.Psi., M.Si., M.Sc.

26. Elnino M. Husein Mohi, S.T., M.Si. FRAKSI PARTAI DEMOKRAT:

27. Dr. Sjarifuddin Hasan, S.E., M.M., M.B.A. 28. Dr. Nurhayati Ali Assegaf, M.Si.

29. Drs. H. Darizal Basir, M.B.A. 30. Dr. Ir. Djoko Udjianto, M.M. 31. Muhammad Afzal Mahfuz, S.H. FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL:

32. Ir. Alimin Abdullah 33. Budi Youyastri

34. H. Muhammad Syafruddin, S.T., M.M. FRAKSI PARTAI KEBANGKITAN BANGSA:

35. Dra. Hj. Ida Fauziyah, M.Si.

36. Drs. H.M. Syaiful Bahri Anshori, M.P. 37. Arvin Hakim Thoha

FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA: 38. Dr. H. Jazuli Juwaini, M.A.

FRAKSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN: 39. Dr. H.A. Dimyati Natakusumah, S.H., M.H.,

M.Si.

40. H. Moh. Arwani Thomafi

41. Hj. Kartika Yudhisti, B.Eng., M.Sc. FRAKSI PARTAI NASIONAL DEMOKRAT:

(3)

3

43. Prananda Surya Paloh

44. Mayjen TNI (Purn) Supiadin Aries Saputra 45. Victor Bungtilu Laiskodat

FRAKSI PARTAI HANURA:

46. Ir. Nurdin Tampubolon, M.M. Anggota yang

Izin/Dinas Luar : 1. Irine Yusiana Roba Putri, S.Sos., M.Comm & Mediast. (DL)

2. Zulkifli Hasan, SE., MM (-) 3. Drs. H.A. Muhaimin Iskandar (-) 4. Dr. Hidayat Nur Wahid, MA (DL) 5. Dr. Sukamta (-)

6. H. Syaifullah Tamliha, S.Pi., MS (-) Jalannya rapat:

KETUA RAPAT (MEUTYA VIADA HAFID/F-PG) : Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua,

Selamat datang kami ucapkan kepada Ketua dan seluruh Anggota LSF beserta jajaran dari LSF,

Bapak, Ibu Pimpinan Komisi I DPR RI, Anggota Komisi I DPR RI yang terhormat.

Dalam rapat kira RDP Komisi I DPR RI dengan LSF hari ini Senin 16 Januari 2017 kita sudah kuroum Fraksi, jadi sudah dapat kita mulai. Sebelum rapat saya perlu tanyakan apakah rapat ini akan kita buka dengan sifat terbuk atau tertutup, namun dari meja Pimpinan kalau boleh kami sarankan terbuka. Bagaimana Anggota dapat kita sepakati?

Baik, rapat kita buka dengan sifat terbuka.

(RAPAT DIBUKA PUKUL 10.50 WIB)

Bapak, Ibu sekalian Ketua Lembaga Sensor Film beserta seluruh jajarannya. rapat kita terakhir sudah cukup lama di tahun 2016 kalau tidak salah bulan April, sehingga kami dari Komisi I DPR RI sebagai mitra perlu melihat evaluasi penyelenggaraan, tugas dan fungsi LSF selama 1 tahun sekaligus perencanaan kerja dari LSF dalam tahun 2017 ini.

Dapat kami sampaikan kami memandang perlu adanya kerjasama antara LSF dengan KPI guna mensinkronisasikan prinsip dan kriteria sensor, kemudian Komisi I DPR RI meminta LSF untuk memberikan masukan tentang pengaturan isi media over the top. Ini beberapa point yang kemarin di rapat sebelumnya juga sudah pernah kami sampaikan dan sekarang mungkin kita akan dengarkan yang terkini

(4)

4

dari Bapak dan Ibu sekalian dari Lembaga Sensor Film beserta seluruh jajarannya untuk dipaparkan sejelas-jelasnya kepada kami.

Kami persilakan.

KETUA LSF (DR. AHMAD YANI BASUKI): Bismillahirahmanirahim.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua.

Yang terhormat Ketua Komisi I DPR RI, para Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Yang kami hormati seluruh Anggota Komisi I DPR RI.

Pertama-tama tentulah kami memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Besar, Allah SWT, karena hanya atas rahmat dan ridho-Nya kita pada pagi hari ini kami dapat hadir di tempat ini dalam rangka melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Komisi I DPR RI dengan Lembaga Sensor Film.

Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Pimpinan Ketua Komisi I DPR RI yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk memaparkan pelaksanaan program kerja LSF melalui forum Rapat Dengar Pendapat pada pagi hari ini.

Bagi kami LSF 2015-2019, Rapat Dengar Pendapat kali ini merupakan RDP yang kedua setelah yang pertama dilaksanakan pada tanggal 12 Oktober 2015, waktu itu sebulan setelah kami dilantik sebagai Anggota LSF tahun 2015-2019.

Bapak Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Komisi I DPR RI yang kami hormati, Sebagaimana tersebut dalam surat yang kami terima dari Komisi I DPR RI, materi acara Rapat Dengar Pendapat hari ini adalah, pertama adalah evaluasi pencapaian program kerja Lembaga Sensor Film tahun 2016. Yang kedua, rencana program kerja Lembaga Sensor Film tahun 2017.

Untuk itu, kami telah menyiapkan dan menyerahkan makalah materi RDP pada pagi hari ini yang isinya berupa laporan pelaksanaan tugas LSF tahun 2016 dab program kerja LSF tahun 2017 yang bukunya mudah-mudahan sudah Bapak dan Ibu terima.

Namun demikian, izinkan kami tidak akan memaparkan keseluruhan seperti yang tertuang dalam buku tetapi kami akan fokus menjelaskan sebagaimana surat yang dikirimkan kepada kami, yaitu 3 materi utama. Dua materi utama, tetapi akan kami awali dengan menjelaskan selintas keadaan umum LSF. Yang kedua, materi utama, yaitu evaluasi pencapaian program kerja LSF tahun 2016. Dan yang ketiga adalah rencana program kerja LSF tahun 2017.

Izinkan saya memulai dengan menjelaskan kondisi umum LSF saat ini. Secara selintas dapat kami jelaskan kembali bahwa walaupun Undang-Undang

(5)

5

Nomor 33 Tahun 2009 telah diundangkan tahun 2009, tepatnya tanggal 8 Agustus 2009, namun pelaksanaannya secara efektif baru ada pada sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014. Dan kami termasuk Anggota LSF tahun 2015-2019 ini merupakan organisasi yang pertama yang sesuai dengan yang diamanatkan oleh undang-undang.

Oleh karena itu, dapat kami sampaikan pula dengan mempelajari undang-undang maupun PP yang ada kami Anggota LSF 2015-2019 merasa diamanati dengan adanya reformasi maupun paradigm baru. Reformasi itu ditandai dengan rubahan structural maupun kultural. Secara singkat dapat kami jelaskan, jika undang-undang sebelumnya Anggota LSF sebanyak 45 orang perwakilan dari berbagai instansi Pemerintah organisasi kemasyarakatakan sosial, budaya, agama dan bidang-bidang lainnya, maka pada saat ini sesuai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 Anggota LSF hanya berjumlah 17 orang yang berasal 5 orang perwakilan Pemerintah dan 12 orang perwakilan dari masyarakat sesuai dengan kompetensinya. Dulu tidak ada tenaga sensor saat ini ada tenaga sensor.

Kemudian secara perubahan kulturalnya adalah dalam penyensoran film dan iklan film dilakukan dengan prinsip dialogis, artinya dalam film-film yang memang ada sesuatu yang patut kita diskusikan kita diskusikan tidak serta merta kita putuskan demikian saja. Kemudian penyelesaian kalau ada revisi itu kita kembalikan kepada pemiliknya, kalau dulu pemotongan langsung di kantor kami. Kemudian seiring dengan beban tugas yang meningkat, maka Anggota LSF sekarang bekerja penuh waktu.

Adapun selintas paradigm baru yang diamanatkan kepada LSF saat ini adalah pertama LSF sebagai budaya bangsa diamanati untuk tugas memberikan perlindungan masyarakat dari pengaruh negative film dan iklan film. Yang kedua, LSF sebagai mercusuar dunia perfilman diamanati untuk berperan serta dalam mendoromg semakin berkembang dan produktifitasnya film nasional yang lebih baik dan lebih berdaya saing. Yang kedua, LSF sebagai mitra masyarakat perfilman senantiasa membangun dialog yang konstruktif dengan pemilik film dan iklan film dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul. Yang keempat, LSF sebagai pendamping dan pendorong budaya sensor mandiri dalam hal ini pendamping masyarakat untuk mendorong budaya sensor mandiri. Dalam hal ini perlulah kita garisbawahi bahwa kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk memilah dan memilih film yang tepat sesuai klasifkasi umurnya adalah sesuatu yang harus menjadi perhatian dalam melindungi masyarakat dari pengaruh negative film.

Untuk itu dapat kami gambarkan selintas tentang susunan organisasinya, LSF terdiri dari Ketua merangkap Anggota, Wakil Ketua merangkap Anggota, Anggota dan Sekretaris bukan Anggota.

Selanjutnya untuk dapat melaksanakan tugasnya, maka disusun dalam struktur organisasi yang dibagi menjadi 3 komisi. Sebagaimana tersebut dalam paparan, terdiri dari 3 komisi, komisi pertama Komisi I yaitu bidang penyensoran dialog dan pendataan, sekaligus barangkali kami mohon izin mengenalkan karena barangkali sudah cukup lama Ketua Komisi I Bapak Imam Suharjo, kemudian Sekretaris Komisi I Ibu Niluh Putu Eli Erawati, Ketua Sub Komisi Penyensoran

(6)

6

Bapak M Sudama Dipawikarta, Ketua Sub Komisi Dialog Bapak Arturo Gunardiatna, Ketua Sub Komisi Pendataan masih dirangkap oleh Ibu Niluh Putu Eli Erawati.

Komisi II membidangi hukum, sosialisasi kebijakan dan pemantauan. Diketuai oleh Ibu Zaitunah Subahan, Sekretaris Ibu Musiana Yudhawasthi, Ketua Sub Komisi Hukum Bapak Rommy Febri Hardianto, Ketua Sub Komisi Sosialisasi Kebijakan Ibu Noor Saadah yang hari ini sedang sakit tidak bisa hadir mohon izin. Kemudian Ketua Sub Komisi Pemantauan Bapak Nasruloh.

Berikutnya Komisi III membidangi perencanaan program dan penganggaran, evaluasi dan pelaporan serta hubungan antar lembaga. Ketuanya adalah Bapak Muchlis Paeni kebetulan masih ada dinas luar, mohon izin tidak bisa hadir pada kesempatan ini, Sekretaris adalah Ibu Wahyu Tri Hartati, Ketua Sub Komisi Program dan Penganggaran Bapak Samsul Lusa, Ketua Sub Komisi Evaluasi dan Pelaporan Bapak Monang Sinambela, dan Ketua Sub Komisi Hubungan Antar Lembaga Ibu Dyah Citraria Liestyawati.

Kemudian Komisi I membidangi penyensoran dialog, pendataan, yang bertugas mengkoordinasikan, melaksanakan, mengevaluasi dan melaporkan pelaksanaan tugas penyensoran dialog dan pendataan kegiatan penyensoran. Komisi II membidangi hukum, sosialisasi kebijakan, pemantauan, bertugas mengkordinasikan, melaksanakan, mengevaluasi dan melaporkan tugas dibidang hukum, penyesuaian materi, penyusunan materi sosialisasi kebijakan dan pemantauan. Komisi III membidangi perencanaan program dan penganggaran, evaluasi dan pelaporan, serta hubungan antar lembaga, bertugas mengkoordinasikan melaksanakan, mengevaluasi, dan melaporkan pelaksanaan tugas di bidang perencanaan program dan penganggaran, evaluasi dan hubungan antar lembaga.

Disamping itu dapat kami jelaskan kami dibantu Sekretariat yang melaksanakan tugas kesekretariatan dan dukungan pelaksanaan dukungan anggaran dan juga dibantu oleh tenaga sensor yang menurut undang-undang di LSF Pusat itu bisa 45 orang tetapi saat ini ada 32 orang. Di tempat kami sarana dan prasarana yang tersedia disamping runag perkantoran juga ada ruang sensor sebanyak 7 ruangan yang dilengkapi dengan DCP proyektor 10 unit juga ruang preview atau satu ruang tater yang ada di Jalan MT Haryono.

Berikutnya tentang administrasi penganggaran dalam melaksanakan tugas dan fungsinya LSF mendapatkan dukungan administrasi dari sekretariat LSF yang penganggarannya berasal dari APBN, yang merupakan bagian satu kerja dari atau dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Bapak, Ibu yang kami hormati.

Kami akan lanjut memaparkan tentang pelaksanaan program kerja tahun 2016. Pelaksanaan program kerja Komisi diawali dengan pelaksanaan program kerja Komisi I bidang penyensoran dialog dan pendataan. Di bidang penyensoran target penyensoran sebanyak 46.200 judul film dan iklan film. Tentu pengertian

(7)

7

target disini adalah sebuah asumsi karena sesungguhnya yang kehadiran sebuah film tidak ditangan LSF.

Dari asumsi atau target tersebut terealisasi sebanyak 49.608 judul. Hal ini menunjukkan bahwa telah melampuai dari yang kita asumsikan sebanyak 7,38%. Dari sejumlah 49.608 judul tersebut yang tidak lulus sensor sebanyak 40 judul atau 0,08% dan yang lulus sebanyak 49.568 judul.

Dalam bidang dialog, dalam proses penyensoran terdapat 23 judul film yang pengambilan keputusannya dilaksanakan melalui proses dialog antara LSF dan pemiliknya. Yang terdiri dari filam nasional 18 judul, film impor 3 judul, untuk penjualan dan persewaan I judul dan film iklan sebanyak 1 judul.

Selanjutnya dapat kami sampaikan pendataan dari film-film yang ada tersebut. Dari hasil pendataan terhadap 49.568 judul film dan iklan film yang didaftarkan dan dinyatakan lulus sensor dapat dijelaskan rinciannya sebagai berikut. Pertama, film yang peruntukan penayangannya dan asal produksinya yaitu pertama film yang untuk bioskop itu sebanyak 1.270 judul, terdiri dari film dan iklan film nasional sebanyak 317 judul. Film dan iklan film impor 606 judul dan film iklan 340 judul. Demikan dapat kita lihat juga perbandingan prosentasenya seperti yang dapat kita lihat dalam tayangan.

Kemudian film untuk penjualan dan persewaan sebanyak 6.375 judul. Terdiri dari film nasional 5.583 judul, film impor 792 judul. Kemudian yang untuk ditayangkan di televisi, terdiri dari film dan iklan film nasional sebanyak 21.935 judul, film dan iklan film impor sebanyak 15.037 judul, film iklan nasional 4.937 judul dan film iklan impor sebanyak 14 judul.

Selanjutnya kami sampaikan data tentang berdasarkan klasifikasi usia penonton.

KETUA RAPAT:

Sebentar Pak, jadi sinetron termasuk yang tadi disampaikan?

KETUA LSF (DR. AHMAD YANI BASUKI): Iya.

KETUA RAPAT:

Oke, baik silakan.

KETUA LSF (DR. AHMAD YANI BASUKI):

Selanjutnya yang berdasarkan klasifikasi usia penonton yang lulus untuk semua umur sebanyak 5.839 judul. Yang lulus untuk usia 13 tahun keatas sebanyak 32.515 judul, lulus untuk usia 17 tahun keatas 10.602 judul dan lulus untuk usia 21 tahun ke atas sebanyak 612 judul.

(8)

8

Selanjutnya kami sampaikan bahwa terkait dengan pelayanan administrasi dan penyensoran dalam bidang administrasi proses pendaftaran dalam penyensoran melalui sistem terpadu dengan menggunakan mesin antrian elektronik dan dalam hal ini perlu kami sampaikan bahwa LSF juga sudah mendapatkan sertifikat ISO9001 2008, yaitu sertifikat bidang manajemen administrasi.

Dalam bidang penyensoran maka seiring perkembangan teknologi informasi yang ada, maka telah dilaksanakan proses penyensoran dengan menggunakan alat digital cinema pakage yang sampai ini LSF telah memiliki 10 unit yang nantinya sebagian akan digunakan untul LSF daerah.

Bapak dan Ibu yang kami hormati,

Kami lanjutkan dengan pelaksanaan program kerja Komisi II bidang hukum, sosialisasi kebijakan dan pemantauan. Di bidang hukum, yaitu pertama tentang penyelesaian kasus hukum, telah dilaksanakan penyelesaian kasus-kasus hukum yang timbul baik yang berkaitan langsung dengan tugas dan fungsi LSF, maupun berkaitan dengan proses-proses hukum yang terkait dengan masalah perfilman yang ada di instansi lain, yaitu yang pertama LSF telah memenuhi sebagai saksi ahli terhadap 8 kasus masalah perfilman dengan rincian sebagai berikut. 17 kasus di wilayah Polda Metro Jaya, 11 kasus tentang penjualan DVD porno, 4 kasus tentang film porno melalui teknologi informatika dan 2 kasus tentang film porno menggunakan hard disk eksternal dengan barang bukti sebanyak 15.517 keping DVD porno yang tentu ini bukan berada di LSF.

Kemudian 1 kasus di wilayah Polda Bali berupa penjualan DVD porno dengan barang bukti sebanyak 68 keping DVD film porno. Berikutnya terjadi 1 kasus gugatan, yaitu gugatan dimana LSF juga termasuk yang tergugat dua di Pengadilan Tasikmalaya Jawa Barat. Kasusnya adalah dalam film itu disebutkan nomor HP, ternyata nomor HP itu ada pemiliknya dan akibatnya ada film nomor HP-nya disitu yang punya HP merasa terugikan dengan adanya nomor HP yang disebutkan tanpa sepengetahuannya tersebut. Kasus tersebut mulai dipersidangkan sejak September 2015 sampai sekarang yang prosesnya saat ini masih tahap kasasi di Mahkamah Agung.

Yang kedua, penyusunan peraturan LSF yang sesuai dengan kebutuhan dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan terkait dengan tugas, fungsi dan wewenang LSF. Kami laporkan kepada Bapak dan Ibu sekalian, karena memang Undang-Undag Nomor 33 tahun 2009 itu secara efektif dilaksanakan sejak terbitnya PP, yaitu pada tahun 2014 maka ada peraturan-peraturan yang memang sangat diperlukan dalam rangka melaksanakannnya dilapangan. Oleh karena itu, LSF juga menyusun beberapa peraturan LSF, yang pertama tentang kode etik Anggota dan tenaga sensor. Yang kedua, tentang perwakilan LSF di Ibu Kota Provinsi. Ketiga, tentang tata kerja di LSF dan tata laksanakan penyensoran. Keempat, tentang tugas Ketua Komisi, Sub Ketua Komisi, Sekretaris dan Anggota LSF. Kelima, peraturan LSF tentang pedoman penetapan klasifikasi film dan iklan film berdasarkan penggolongan usia penonton.

(9)

9

Bidang sosialisasi kebijakan dan penyerapan budaya dan kearifan lokal. Untuk memberikan pengalaman kepada masyarakat mengenai kebijakan tentang sensor film, telah dilaksanakan kegiatan sosialisasi sebagai berikut. Pertama, sosialisasi melalui talk show, melalui stasiun televisi sebanyak 6 kali. Sosialisasi di 4 provinsi, yaitu di Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah dan Jawa Tengah. Kemudian sosialisasi di perguruan tinggi, ada 4 perguruan tinggi dan 1 sekolah menengah atas. Kemudian sosialisasi melalui iklan layanan masyarakat baik di televisi, video tron maupun billboard.

Berikutnya adalah sosialisasi penyerapan kearifan budaya lokal di 4 kabupaten dan provinsi, yaitu Sleman Yogyakarta, Kuningan Jawa Barat, Manado Sulawesi Utara dan Singaraja Bali. Juga dilaksanakan sosialisasi dan publikasi melalui majalah sensor film sebanyak 6 edisi dan juga melalui web site LSF, yaitu www.lsf.go.id.

Berikutnya juga sosialisasi kepada kelompok masyarakat yang berkunjung ke LSF. Itu dalam tahun 2016 itu ada 11 kali kunjungan yang terdiri dari sekolah menengah atas sebanyak 2 kali, perguruan tinggi 4 kali dan instansi pemerintah 4 kali, dan 1 kali dari komunitas.

Selanjutnya di bidang pemantauan, kegiatan pemantauan terhadap film dan iklan film yang telah disensorkan dilaksanakan di bioskop, televisi dan tempat penjualan atau penyewaan atau dikenal dengan Pawa. Sasaran pemantauan diutamakan terhadap film dan iklan film yang telah disensorkan. Artinya, untuk memastikan bhawa film-film yang telah disensorkan itu diedarkan, disewakan atau dijual belikan sesuai dengan hasil keputusan sensor film.

Selanjutnya dapat dilaporkan dari hasil pelaksanaan pemantauan tersebut, pemantauan di gedung bioskop, pemantauan di gedung bioskop telah dilaksanakan sebanyak 240 kali. Penetapan gedung bioskopnya dipilih secara random. Film yang dipantau adalah semua film yang telah lulus sensor, dan diutamakan film yang memiliki catatan revisi. Kita ingin memastikan bahwa catatan revisi juga dilaksanakan sebagaimana yang sudah disampaikan.

Untuk saat ini, sesuai kemampuan yang ada pemantauan baru bisa dilaksanakan di Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi. Dari hasil pemantauan ditemukan pelanggaran berupa kasus tidak melaksanakan revisi. 23 kasus tidak melayangkan reder atau tellup tanda lulus sensor dan 7 kasus poster tidak dilengkapi stempel lulus sensor.

Berikutnya pemantauan hasil sensor di televisi, pemantauan di televisi dilaksanakan di ruang pemantauan di LSF dan direkam menggunakan perangkat lunak atau langsung melakukan video streaming.

Pemantauan di televisi, dapat dilaksanakan sebanyak 4.910 kali. Penetapan tayangan dipantau dipilih secara random dengan mengutamakan film dan iklan film yang memiliki catatan revisi. Dari hasil pemantauan tidak ditemukan pelanggaran yang prinsip sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.

Pemantauan di tempat penjualan dan penyewaan, pemantauan dilaksanakan di tempat-tempat penjualan dan penyewaan yang tersebar di Jakarta, Depok, Bogor,

(10)

10

Tanggerang dan Bekasi. Pemantauan dilaksanakan sebanyak 2009 kali. Dari hasil pemantauan tidak diketemukan pelanggaran.

Bapak dan Ibu yang kami hormati,

Selanjutnya kami sampaikan tentang penyelesaian penyusunan kebijakan. Dari apa yang sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film. Tadi sudah saya singgung bahwa untuk melengkapi, maka LSF menyusun beberapa aturan sebagaimana kami telah singgung pada program tadi terdapat 5 peraturan LSF.

Selain menyusun peraturan LSF, Anggota LSF juga terlibat dalam penyusunan draft Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang pedoman kriteria penyensoran, penggolongan usia penonton, serta penarikan film dan iklan film dari peredaran sebagai masukan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Jadi kami laporkan bahwa sampai saat ini peraturan yang mengatur tentang Peraturan Menteri yang mengatur tentang pedoman penyensoran penggolongan usia dan penarikan film dan iklan film dari peredaran itu memang belum ada. Namun, kita topang dengan peraturan-peraturan LSF yang sifatnya tentu sementara sebagai penopang.

Bapak dan Ibu Anggota Komisi I DPR RI yang kami hormati,

Selanjutnya kami laporkan pelaksanaan program kerja Komisi III bidang perencaan program dan anggaran, evaluasi dan pelaporan serta hubungan antar lembaga.

Bidang penyusunan program anggaran melaksanakan kegiatan monitoring penyaluran anggaran untuk mendukung pelaksanaan program Komisi I, Komisi II, Komisi III dan Sekretariat LSF tahun 2016 sesuai dukungan yang ada dan menyusun program kerja tahun anggaran 2017.

Tentang evaluasi dan pelaporan, melaksanakan evaluasi terhadap pelaksanaan program LSF tahun 2016 secara berlanjut dan menyusun laporan pelaksanaan program pada akhir tahun.

Kemudian hubungan antar lembaga, dalam rangka menjalin kemitraan dan meningkatkan sinergitas antar lembaga dan pemangku kepentingan atau stake holder LSF telah dilaksanakan, yaitu kegiatan forum koordinasi dan kerjasama antar lembaga sebanyak 5 kali, dengan mitra kerja dan insan perfilman 2 kali, dengan pelaku usaha perfilman 2 kali, dengan pelaku kegiatan perfilman 1 kali.

Berikutnya kegiatan fasilitasi rencana pembentukan perwakilan LSF di Ibukota Provinsi dilaksanakan di 12 Ibukota provinsi, yaitu Bandung Jawa Barat, Semarang Jawa Tengah, Jogyakarta dari DI Jogyakarta, Surabaya Jawa Timur, Denpasar Bali, Medan Sumatera Utara, Padang Sumatera Barat, Tanjung Pinang

(11)

11

Kepulauan Riau, Pangkal Pinang Bangka Belitung, Samarinda Kalimantan Timur, Manado Sulawesi Utara dan Makasar Sulawesi Selatan.

Bapak dan Ibu yang kami hormati,

Perlu kami sampaikan bahwa tahun 2016 ini sensor film itu berusia 100 tahun, berarti memang keberadaan LSF sejak zaman penjajahan Belanda. Tentu bagi LSF momentum 100 tahun menjadi momentum penting untuk melaksanakan evaluasi maupun konsolidasi. Oleh karena itu, kami memanfaatkan momentum 100 tahun itu dengan rangkaian kegiatan, yang pertama seminar dan FGD 100 tahun sensor film, dilakukan sebanyak 4 kali dengan melibatkan stake holder perfilman. Kemudian penyusunan buku bunga rampai 100 tahun sensor film di Indonesia memasuki abad kedua. Ketiga, sosialisasi sensor mandiri dengan tema sensor mandiri wujud kepribadian bangsa. Dan untuk itu pula dilakukan serangkaian kegiatan, yaitu road show dan loba karya tulis sensor mandiri dikalangan blocger di 10 kota provinsi dan puncak peringatan 100 tahun sensor film dilaksanakan pada tanggal 18 November 2016.

Bapak dan Ibu yang kami hormati,

Dari pelaksanaan program kerja tersebut dapat kami sampaikan yang kami rasakan tentang peluang, kendala dan upaya mengatasinya. Yang pertama, peluang tentunya dengan telah adanya Undang-Undang Nomor : 33 dan PP Nomor : 18 Tahun 2014 menjadi payung hukum bagi pelaksanaan tugas sensor film. Yang kedua, status LSF sebagai lembaga independen dalam menjalankan tugasnya tentu ini menjadi sebuah kekuatan bagi kami untuk dapat melaksanakan dengan secara professional dan proposional dalam tugas-tugas sensor film. Yang berikutnya adalah juga menjadi peluang bagi pelaksanaan LSF, yaitu pelaksanaan sensor film yaitu meningkatnya produksi film dan iklan film yang disensorkan, kemudian meningkatnya minat masyarakat untuk menonton film dan juga dukungan dari berbagai lembaga dan kelompok masyarakat terhadap eksistensi LSF.

Yang kedua, kami juga menghadapi kendala pertama sebagaimana diamanatkan undang-undang LSF diberikan kewenangan untuk membentuk perwakilan LSF di Ibukota Provinsi. Pembentukan Anggota LSF di Ibukota Provinsi mengalami kendala antara lain, karena belum terpenuhinya persyaratan yang diperlukan khususnya berkaitan tentang ketersediaan sarana dan prasarana oleh Pemerintah Daerah. Dan yang kedua, juga kemarin adanya kebijakan pemotongan anggaran sehingga yang akan kita programkan 3 daerah sehingga belum bisa terlaksana sepenuhnya.

Disamping itu dengan terbitnya Undang-Undang Nomor : 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, antara lain ditetapkan bahwa pembinaan perfilman nasional menjadi urusan Pemerintah Pusat. Hal ini tentu berpengaruh karena Pemerintah Daerah tidak mempunyai fungsi dalam pembinaan perfilman di daerah

(12)

12

sehingga boleh kami katakan kehilangan kemitraan kami didaerah yang terkait dengan kebersamaan menjalankan fungsi pembinaan tersebut.

Yang kedua, menjadi kendala juga buat kami adalah posisi kepala sekretariat LSF itu berada dalam strata eselon III. Hal ini tentu berpengaruh signifikan yang kurang menguntungkan dalam koordinasi antara lembaga maupun penganggarannya, karena sekretariat LSF dan/atau LSF sering diposisikan di bawah lembaga-lembaga lain yang sesungguhnya memikul tugas dan tanggungjawab yang setara.

Keadaan ini juga kurang menguntungkan dalam penyelesaian masalah-masalah di lapangan, masalah-masalah-masalah-masalah birokrasi, administrasi dan dukungan dalam operasionalisasi tugas LSF dilapangan. Secara khusus hal ini juga berpengaruh dalam penetapan eselonisasi kepala sekretariat LSF di Ibukota Provinsi pada strata yang patut tentunya seiring dengan tugas-tugas dan fungsinya. Yang ketiga adalah merupakan salah satu kendala juga kurangnya pemahaman masyarakat, baik sebagian masyarakat perfilman maupun masyarakat penonton terhadap klasifikasi usia penonton.

Dapat kami sampaikan kami tentu berupaya mengatasi kendala-kendala tersebut, pertama dalam hal pembentukan perwakilan LSF di Ibukota Provinsi, pengadaan sarana dan prasarana khususnya gedung tempat operasionalisasi tugas LSF di daerah, yaitu memanfaatkan aset miliknya Kemendikbud yang kami tentu melaporkan kepada Kemendikbud untuk menyelesaikan masalah tersebut dibeberapa daerah ada cadangan tempat yang bisa dimanfaatkan untuk mengatasi persoalan tersebut. Untuk kelangsungan pembentukannya tentunya perlu dukungan secara bertahap.

Kemudian untuk peningkatan eselonisasi kepala sekretariat LSF dari eselon III menjadi eselon II tentunya perlu dilaksanakan pengusulannya dan kami sudah melaporkan hal ini, sehingga ada kesetaraan dengan sekretariat lembaga non structural lainnya yang sesungguhnya mempunyai kesataraan tugas dan fungsi.

Berikutnya kami memandang perlu dilaksanakan sosialisasi yang berkaitan dengan kebijakan tentang pedoman dan kriteria penyensoran terhadap film dan iklan film yang beredar di tengah masyarakat. Berkaitan dengan ini perlu sosialisasi budaya sensor mandiri. Terkait dengan yang terakhir dapat kami sampaikan kepada Bapak dan Ibu sekalian, bahwa kami sangat merasakan sesungguhnya kalau ada kegaduhan masalah perfilman di tengah-tengah masyarakat itu boleh katakan karena belum samanya persepsi.

Yang kedua, ketaatan dan kedisiplinan masyarakat untuk menetapi ketentuan dalam menonton film. Maksud kami sebagai contoh misalnya orang tua mengajak anaknya menonton film di gedung bioskop, padahal film itu jelas misalnya klasifikasi usia 17 tahun, tetapi orang tua mengajak anak-anaknya dibawah umur 17 bahkan 13 tahun ke bawah, setelah menonton agak uring-uringan kenapa film begini diluluskan dan sebagainya. Jadi artinya, memang upaya memahami film itu klasifikasinya dan mentaati klasifikasinya juga tidak ada. Sebaliknya kami juga demikian ketika undang-undangnya jelas, peraturannya jelas, ketika masyarakat membuat film tidak disesuaikan dengan ketentuan peraturan yang ada itu juga menjadi sesuatu yang

(13)

13

proses penyensoran tentu ada hal-hal yang tidak langsung selesai pada saat itu. Untuk itulah, maka melakukan sosialisasi budaya sensor mandiri ini menjadi penting dan perlu diperbesar volumenya ke depan.

Dari pelaksanaan program kerja tahun 2016, dapat kami sampaikan kesimpulan dan saran kami. Kesimpulan secara umum program kerja LSF tahun 2016 dapat dilaksanakan sesuai dengan target yang direncanakan. Meskipun menghadapi beberapa kendala, namun tidak mengganggu pencapaian sasaran-sasaran program kerja terhadap kendala-kendala yang akan berpengaruh terhadap pelaksanaan program kerja LSF ke depan kiranya dapat segera diatasi secara kelembagaan.

Saran, perlunya segera pengusulan penyesuaian strata eselonisasi sekretariat LSF dan dari eselon III menjadi eselon II tentunya dalam hal ini secara proposional kami melaporkannya ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dan tentu kalau kami angkat di forum ini tentunya mohon menjadi maklum dan tentunya kami sangat berharap dukungan dari Komisi I DPR RI.

Yang kedua, perlunya optimalisasi sosialisasi budaya sensor mandiri ke berbagai lapisan masyarakat dengan melibatkan komponen-komponen masyarakat dan pemangku kepentingan yang ada. Kami tambahkan sekali lagi kepada Bapak dan Ibu sekalian, setelah kami jelaskan bahwa kepada masyarakat dalam proses sosialisasi ini masyarakat pada umumnya tidak membedakan, banyak yang tidak bisa membedakan mana film yang ditayangkan sesuai dengan proses sensor dan film yang bertebaran baik melalui media yang ada, sehingga masyarakat kacau melihat film itu. Sepertinya dunia ini dipenuhi dengan masalah perfilman yang sebagian besar yang menurut mereka tidak layak ditonton. Oleh karena itu, memahami film mana yang patut ditonton dan tidak ditonton dan menjaga diri untuk tidak menonton yang tidak layak. Ini ternyata masyarakat masih perlu penjelasan. Itulah yang kami maksudkan sosialisasi sensor mandiri.

Oleh karena itu, terkait dengan saran a dan b tersebut, perlu meningkatkan program kegiatan sosialisasi sensor mandiri oleh LSF yang untuk pelaksanaannya perlu peningkatan dukungan operasional yang memadai. Walaupun kami memandang bahwa itu menjadi program penting bagi LSF ke depan disamping tugas penyensoran tetapi tentu kami saat ini merasakan adanya keterbatasan dukungan dan tentunya kami sangat membutuhkan adanya political will dari semua pihak.

Bapak dan Ibu yang kami hormati,

Demikian pelaksanaan program kerja tahun 2016.

Selanjutnya sebagaimana yang kami laporkan tadi, materi yang kedua adalah materi program kerja LSF tahun 2017.

Dapat kami laporkan program kerja LSF tahun 2017, yang pertama itu berkaitan dengan target penyensoran tahun 2017 sebanyak 46.300 judul ini naik 100 judul dibandingkan tahun 2016. Kemudian program kerja Komisi I bidang penyensoran dialog dan pendataan, kembali saya sebutkan target penyensoran

(14)

14

sebanyak 46.300 judul. Kemudian juga melanjutkan program-program dialog dengan pemilik film dan iklan film. Dialog itu dilaksanakan untuk film dan iklan film yang dalam pengambilan keputusannya diperlukan komunikasi antara LSF dan pemilik film dan iklan film. Pelaksanaannya tentunya sesuai dengan dinamika dan keperluan yang berkembang.

Dapat kami laporkan kepada Bapak dan Ibu sekalian, pelaksanaan sensor dengan mengedepankan dialog ini juga yang terjadi selama ini sangat produktif dalam membangun pemahaman bersama dan pelaksanaan tugas-tugas penyensoran maupun mengatasi masalah-masalah perfilman pada umumnya.

Berikutnya adalah pendataan terhadap semua film dan iklan film, melanjutkan sebagai program yang telah ada juga tentang penerapan teknologi sesuai dengan perkembangan yang ada dalam pelayanan administrasi dan pelayanan penyensoran.

Program kerja Komisi II bidang hukum, sosialisasi, kebijakan dan pemantauan. Bidang Hukum tentu menyesaikan kasus-kasus hukum yang masih ada dan tentu akan melaksanakan proses hukum sesuai yang terjadi pada masa-masa yang akan datang. Kemudian penyusunan peraturan LSF sesuai kebutuhan dalam pelaksanaan peraturan perundangan-undangan terkait dengan tugas, fungsi dan wewenang LSF.

Bidang sosialisasi kebijakan tentu juga masih melanjutkan dari program 2016 dengan target antara lain di sosialisasi kebijakan di beberapa daerah. Kemudian bidang pemantauan juga tentu masih melanjutkan program-program yang ada sebagaimana di tahun 2016.

Berikutnya program kerja Komisi III bidang penyusunan program dan anggaran, evaluasi dan pelaporan serta hubungan antara lembaga. Ini juga sama dengan tahun 2016 masih melanjutkan kegiatan-kegiatan tentang menyangkut forum koordinasi dan kerjasama antara lembaga. Kemudian kita menambahkan program peningkatan kapasitas SDM melalui berbagai kegiatan dan penyegaran bidang penyensoran anggota maupun tenaga senor. Juga peningkatan kemampuan bidang pelayanan administrasi, keprotokolan dan hubungan masyarakat. Kami memprogramkan pelatihan penyidik PNS, walaupun ini di undang-undang tidak disebutkan dan salah satu kesulitan kami ketika menindak ada pelanggaran-pelanggaran masalah penayangan film dilapangan. Namun kami mencoba untuk juga tetap menyiapkan kemampuan itu dan juga upaya-upaya peningkatan kapasitas SDM yang lainnya.

Berikutnya sesuai dengan amanat undang-undang kami memprogramkan untuk memberikan apresiasi sensor mandiri yang akan kita berikan kepada para PH atau pelaku usaha dan kegiatan perfilman yang sudah melakukan sensor mandirinya terhadap materi-materi sensornya sehingga kita nilai tidak ada atau sangat kecil atau relative sedikit catatan revisinya. Juga kepada stasiun TV tentunya yang tidak ada atau relative sedikit melakukan pelanggaran dalam penayangan film dan iklan filmnya. Kemudian kepada pemilik bioskop yang tidak ada atau relative sedikit melakukan pelanggaran dan dalam penayangan film dan iklan film serta pengendalian penonton sesuai dengan klasifikasi batas umurnya.

(15)

15

Demikian Bapak dan Ibu yang dapat kami sampaikan pada paparan ini. Kami selanjutnya untuk kami serahkan kepada Pimpinan Sidang untuk acara berikutnya.

Sekian dan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT:

Terima kasih Ketua LSF, Bapak Ahmad Yani Basuki.

Tadi saya belum sempat sekarang mumpung sudah bertambah Anggotanya, saya akan kenalkan juga Anggota Komisi I DPR RI yang baru Bapak Muhammad Afzal Mahfuz, S.H. menggantikan Bapak Salim Mengga dari Fraksi Demokrat selamat datang Bapak Afzal selamat bergabung.

Baik, Bapak Ahmad Yani terima kasih. Kita kenapa rapat hari ini menjadi penting? karena kami menyakami bahwa LSF menjadi garda terakhir proses penyensoran itu pasti dari awal, kita yakin dari aktor, produser, pasti sudah mengadakan self sensor ship. Tapi garda terakhir sebelum konten itu dilihat, disaksikan oleh bangsa kita itu ada di LSF, itu kenapa kemudian ini menjadi sangat penting. Kekhawatiran yang masuk ke Komisi I DPR RI juga masukan-masukan misalnya banyak tayangan yang dianggap seharusnya tidak lulus sensor tapi bisa lolos sensor dan lain-lain itu juga menjadi konsen kami.

Dan yang terakhir sebelum ke Anggota adalah yang Bapak sampaikan tadi bahwa katagorisasi umur dilapangan ternyata tidak dilaksanakan dengan baik. Kalau di luar negeri mungkin ada aturannya, jadi sosialisasi tanpa aturan tidak akan berhasil juga. Sosialisasi tidak boleh membawa makanan ke bioskop malah lebih berhasil dilakukan oleh bioskop, tetapi biskop tidak menerapkan sosialisasi mengenai anak di bawah umur bisa masuk ke dalam satu bioskop.

Silakan Bapak dan Ibu Anggota, dicatatan saya ada Bapak Supiadin untuk mengawali dan bersiap-siap Ibu Evita Nursanty.

F-P.NASDEM (MAYJEN TNI (PURN) SIPUADIN ARIES SAPUTRA): Terima kasih Pimpinan.

Pertama-tama terima kasih untuk Pimpinan LSF telah memaparkan program kerja tahun 2016. Ada beberapa atensi yang menjadi perhatian saya dari data yang ada. Pertama kalau kita lihat tentang laporan program kerja, pendataan ada 49.568 kemudian terus. Kemudian kita lihat film bioskop itu yang banyak justru film dan iklan impor 607, sementara nasional hanya 317, itu satu. Yang kedua televisi, kita lihat film iklan nasional 21.000 dan impor 15.000. Iklan nasional 4.000 dan iklan impor 14. Nah, yang menarik ini tentang film klasifikasi umur, saya melihat disini untuks emua umur hanya 5.800 tetapi untuk usia 13 tahun ke atas ada 32.000. Kemudian untuk usia 17 tahun ke atas ada 17 sampai 21 itu ada 10.000 sementara 21 tahun ke atas 612. Saya belum dengar tadi apa hasil analisa tentang ini. Artinya Bapak dan Ibu sekalian, kalau kita melihat angka ini maka anak-anak usia 13 sampai 21 menjadi

(16)

16

sasaran mereka. Ini yang menjadi atensi saya, kenapa? Jumlahnya cukup besar. Kenapa 13 sampai 21? Inilah generasi muda kita. Artinya tidak salah kalau misalnya Panglima TNI mengembar-gemborkan proksi war, karena ternyata di film juga yang disasar itu usia 13 sampai 21 tahun yang sangat signifkan jumlahnya.

Oleh karena itu, saya minta ini menjadi perhatian LSF. Jadi tidak sekedar mengungkapkan data jumlah film sekian-sekian, tapi analisanya apa dampak terhadap anak-anak usia 13 sampai 21 tahun ini. Mereka generasi kita, harapan masa depan kita. Nah, kalau mora-moral mereka ini sudah hancur karena film, ini baru film yang tersensor belum kita lihat film yang mereka bawa sendiri ke rumah. Kita lihat Bapak Yani, di Lebak itu tidak ada bioskop, di Aceh tidak ada bioskop tapi berapa puluh film porno yang ada di rumah, video DVD. Jadi mereka tidak nonton dibioskop memang tidak boleh, tetapi karena larangan itu berapa film video yang tidak pantas mereka tonton dirumah. Jadi ini harus menjadi perhatian kita, jadi saya pikir ini.

Belum lagi kita lihat, ini saya analogikan dengan di media sosial. Di media sosial itulah 70% pengguna media sosial adalah antara umur 20 sampai 40, berarti generasi muda memang yang disasar. Oleh karena itu, saya melihat peran LSF sangat strategis dalam menyelamatkan generasi muda kita. Oleh karena itu, saya minta kualitas dari pelaksanaan sensor itu harus lebih tajam lagi, karena kalau tidak kita tinggal tunggu waktu saja.

Yang kedua, sosialisasi ini saya minta jangan katakankan periodic tapi berlanjut terus. Kenapa saya katakan sosialisasi berlanjut, apapun mau undang-undang, tentang apapun di bangsa ini sosialisasi itu harus dilaksanakan berlanjut. Kenapa? Kita tiap hari tumbuh generasi baru, tiap tahun ada generasi baru, kalau mereka-mereka ini tidak dilakukan sosialisasi kita akan ketinggalan. Oleh karena itu, saya minta sosialisasi ini saya lihat tadi sudah ada layanan masyarakat. Nah, saya minta dimanfaatkan layanan masyarakat, kemudian apakah itu dalam bentuk iklan di televisi atau di radio, tetapi juga berbentuk pemasangan baliho-baliho agar masyarakat kita diingatkan terus. Kita tidak anti film impor, yang kita berbahaya itu ketika budaya asing yang tanda kutip negative dijadikan gaya hidup generasi muda kita. Kita perlu nonton film impor, tetapi harus benar-benar disensor bagaimana film itu yang katakanlah ada gaya atau budaya-budaya asing yang memang tidak pas untuk kita dan itu faktanya banyak dijadikan gaya hidup dan itu sudah menyentuh sampai tingkat pedesaan.

Saya di Dapil sederhana, saya tidak tahu punk rock, mungkin ada positifnya punk rock tetapi punk rock yang berkembang di Dapil saya bayangkan dii Dapil Garut itu sudah ada punk rock. Itu segala macam rambut dibentuk, segala macam rantai digantungkan dipinggang tetapi apa yang mereka lakukan Pak Yani, untuk makan dan minum mereka, mereka malak supir angkot tiap hari itu, habis itu dipakai untuk mabok-mabokan. Nah, apakah yang begini yang kita inginkan? Dan ini pengaruh apa? Film, apakah itu film di bioskop, apakah di televisi, maupun film-film yang mereka cari sendiri yang mereka peroleh dari internet. Sementara kita lihat warung-warung internet itu sudah menyentuh sampai dengan Kecamatan.

(17)

17

Jadi ini saya minta perhatian serius dari LSF bagaimana kita menyelamatkan generasi muda ke depan. Saya kira itu atensi saya Pimpinan.

Terima kasih.

KETUA RAPAT:

Baik Pak Supiadin terima kasih sekali. Ibu Evita berikutnya, kami persilakan.

F-PDIP (EVITA NURSANTY, M.Sc.): Baik, terima kasih Ibu Pimpinan.

Bapak dan Ibu Anggota LSF yang saya hormati.

Saya apresiasi paparannya cukup panjang dan detail, namun dari hal-hal yang dipaparkan tadi ada beberapa pertanyaan saya. Untuk yang Bab IV, yang pencapaian kerja. Inikan tadi Bapak menjelaskan semualah, saya melihatnya disini adalah dari aspek PNBP, kan tadi sekian puluh ribu film dan segala macam itu. Pertama, saya ingin tanya anggaran LSF ini berapa sih sebenarnya, kemudian perbulan, kemudian PNBP-nya berapa. Sekarang saya baca itu satu film itukan dikenakan 2 jam itu 1.5 juta yang tariff sekarang. Tolong dijelaskan lebih detail, sayakan baca-bacanya di medsos ini Pak. Berapa sih sebenarnya tariff sensor itu, untuk bioskop berapa, untuk televisi berapa, sehingga pendapatan total PNBP berapa. Karena kita tahu Pemerintah sedang gencar-gencarnya untuk mendapatkan pemasukan negara dari PNBP ini. Nah, apa ini yang bisa kita lakukan dengan yang tadi Bapak paparkan sebanyak itu dari aspek PNBP yang saya ingin tanya.

Kemudian yang kedua, alhamdulillah gaji-gaji sudah pada naik ya. Jadi kalau saya lihat Bapak sekarang gaji-gajinya sudah satu level sama KPI. Saya hanya ingin tahu saja kita di Komisi I DPR RI karena mitranya 2, jadi kita ini bingung kadang-kadang siapa yang buat, siapa yang mengawasi. Kita ingin tahu saja P3SPS kalau di KPI itu P3SPS di LSF ini ada tidak aturannya yang boleh, yang tidak, yang apa, kalau bisa saya mau dapat Pak, P3SPS yang di LSF ini. Dan dalam membuat P3SPS tersebut siapa yang Bapak ajak duduk. Bagaimana sampai ditetapkannya P3SPS ini, prosedur apa yang dijalani.

Saya juga ingin tahu satu lagi tadi mengenai gaji, Pimpinan, Wakil Pimpinan, Anggota sudah naik. Saya mau tanya tim sensornya bagaimana Pak, apakah ada kenaikan bagi tim sensor dalam hal ini.

Kemudian tadi Bapak Supiadin tadi itu menyinggung masalah usia, saya baca itukan Bapak pernah waktu itu memberikan lolos sensor untuk Deep Pool, di Cina kan dilarang itu Pak, tapi LSF melepas hanya Bapak katagorikan itu dewasa tidak anak-anak. Nah, jadi di Indonesia ini bingung kenapa Indonesia mengkatagorikan itu dewasa sementara di Amerika sendiri itu film anak-anak. Yang dikatagorikan dikarenakan adanya kekerasan, kata-kata yang kasar, karena Cina menolak hal itu,

(18)

18

di kita terima tetapi tidak efektif, karena dicap film itu sendirikan anak-anak, tapi Bapak mengkatagorikan dewasa, ya tetap dikonsumsi oleh anak-anak. Jadi saya melihat jangan banci kalau buat peraturan, jadi jangan abu-abu. Kalau Bapak rasa memang tidak baik tidak usah pakai, ya ditolak saja seperti Cina berani menolak masuk ke negaranya.

Jadi keputusan daripada LSF ini ke depan saya berharap tidak sifatnya banci, sehingga tadi juga Ibu Meutya bingung di bioskop anak-anak karena di dunia terkenal ini deep pool ini film anak-anak jadi mereka berbondong-bondong ingin nonton, tetapi di kita kan jadi dewasa. Peraturannya ini yang mungkin bisa dalam menetapkan usia itu Bapak bisa pikirkan juga.

Kemudian tadi Bapak menyinggung mengenai pembentukan LSF di beberapa daerah. Saya ingin tahu Pak, aspek anggarannya seperti apa, siapa ini yang membiayai LSF di daerah, kalau di KPI jelas itu Pemda yang membiayai. Kemudian KPID-nya, kemudian rekruitmennya itu fit and propernya Anggota DPRD. Nah, saya ingin tahu pembiayaan dari LSF daerah ini, kemudian rekruitmen sistemnya itu seperti apa. Jangan kita tidak mau nanti LSF daerah ini ya itu sepupu, anak, keponakan, semua di dalam situ adanya kenalan, jadi tidak secara professional. Badan apa yang Bapak pakai untuk rekruitmen, rekruitmen sendiri atau bagaimana ini sebenarya, tolong dijelaskan Pak.

Kemudian tadi mengenai P3SPS sudah, saya hanya ingin sedikit menyinggung. Bapak inikan semua waktu kita fit and propertest itukan visi dan misinya luar biasa. Makanya terpilihlah menjadi Anggota LSF, saya ingin tahu saja jujur saja dari Bapak-bapak dari yang dipaparkan waktu itu berapa persen sih yang sudah bisa dideliver. Terus kendalanya apa saja sih, kan waktu memaparkan tidak tahu kendalanya dilapangan, ketika kepentok sebenarnya kendalanya apa saja dilapangan sehingga visi dan misi yang diharapkan pada waktu itu Bapak buat tidak bisa tercapai.

Kemudian saya ingin menanyakan mengenai badan yang waktu itu kita bicara Pak, BP2N yang badan penasehat itu loh, yang untuk perfilman kan masih ada sekarang. Nah, menurut Bapak itu perlu tidak badan itu, tukar nama saja sekarang namanya BPI. Saya mau tanya sistem sinergitas, integritas kerja antara LSF dengan BPI itu seperti apa.

Saya rasa demikian saja Ibu Pimpinan, terima kasih.

KETUA RAPAT:

Baik, Ibu Evita Nursanty terima kasih.

Saya merever sedikit apa yang Ibu Evita sampaikan mengenai pendanaan. Memang di Pasal 44 ini banyak pertanyaan, karena disini jelas dikatakan LSF dibiayai dari APBN dan juga ada anggaran pendapatan dan belanja daerah. Kemudian uang sensor tersebut kita ingin tahu kemana begitu ya jelasnya. Ada pertanyaan lain tadi yang terdata hanya dua.

(19)

19 F-PKB (Dra. Hj. IDA FAUZIYAH):

Terima kasih.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Pimpinan dan Anggota Komisi I DPR RI,

Ketua LSF dan seluruh jajaran LSF yang saya hormati.

Pertama tentu kami ingin menyampaikan selamat sudah 100 tahun, 1 abad LSF ada di Indonesia dan berkontribusi garda terdepan atau garda terbelakang, kalau saya garda terdepan untuk membentengi moral bangsa melalui tayangan yang lebih beradab.

Sudah 100 tahun saya kira patut kiranya LSF melakukan review terhadap perjalanan LSF. Kalau dalam pandangan saya, saya kira LSF mesti harus banyak lagi melakukan kerja untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, tontonan yang sehat. Saya melihat masih banyak sekali tontonan yang belum berkontribusi terhadap membentengi anak-anak kita. Yang saya perlu garisbawahi adalah meskipun sudah 100 tahun Pak, atau 1 abad saya kira sosialisasi kepada masyarakat, baik masyarakat pekerja perfilman atau masyarakat secara luas. Itu yang menurut saya masih belum, saya setuju dengan upaya untuk sensor mandiri, itu saya kira bagaimana membangun self control dari masyarakat agar bisa menggunakan tayangan-tayangan yang sehat itu menurut saya akan efektif dilakukan, dibandingkan dengan melakukan kerja sensor itu sendiri.

Nah, saya kira Bapak tidak bisa bekerja sendirian harus melibatkan banyak stake holder bangsa ini melalui lembaga-lembaga pendidikan, melalui kelompok keagamaan saya kira ini penting sekali. Kalau hanya mengandalkan anggaran yang Bapak peroleh saya kira tidak akan mampu. Nah, saya ingin tahu bagaimana caranya mengefektifkan self control itu, sensor secara mandiri itu seperti apa. Sebenarnya apa sih sesungguhnya, kalau tadi Ibu Evita menyatakan apakah badan sensor itu memiliki semacam LP3S menyiaran kita. Nah, sebenarnya apa sih yang menjadi patokan, kalau menurut saya budaya yang dimiliki oleh masyarakat kita itu adalah patokan utama. Budaya masyarakat kita yang saya tidak tahu apakah budaya itu sumber dari agama atau agama itu memberikan nilai-nilai kepada budaya kita itu nanti kita bisa diskusikan lebih jauh. Menurut saya dalam pandangan saya, kalau kita bisa pegangin budaya bangsa yang kita miliki, saya kira kerja-kerja LSF itu tidak akan semakin berat.

Sekali lagi saya tidak begitu melihat LSF itu bergandengan tangan dengan kelompok masyarakat untuk membentengi mereka untuk bisa melakukan sensor secara mandiri. Dan kalau dalam pandangan saya prosentase kegiatan ini harusnya lebih dominan, karena sekali lagi dengan anggaran yang terbatas, dengan sumber daya manusia yang terbatas, saya kira tidak akan mampu menahan laju film impir, film-film yang ternyata juga dibikin oleh kita-kira sendiri itu tidak akan bisa menahan

(20)

20

lajunya. Saya ingin menggarisbawahi betapa pentingnya sensor mandiri dan mesti lebih menonjol bagaimana Bapak bergandengan tangan dengan kelompok lain.

Saya kira itu saja Ibu Meutya. Terima kasih.

KETUA RAPAT:

Terima kasih Ibu Ida Fauziah.

Berikutnya Bapak Andi Rio dari Fraksi Partai Golkar, silakan.

F-PG (ANDI RIO IDRIS PADJALANGI): Terima kasih Pimpinan.

Saya hanya ringkas saja, itu untuk menghindari kerugian bagi pembuat film. Yang kedua adalah untuk mencegah terjadinya kecurangan antara pembuat film dengan pihak LSF dan untuk menjaga luar cerita biar tetap bersambung. Mungkin sudah seharusnya dilakukan sensor diawal film. Apakah hal ini sudah dilakukan oleh LSF.

Yang kedua, inikan banyak cerita-cerita yang tidak berbobot Pak, yang ironisnya menjadi tontonan masyarakat pada umumnya. Pertanyaan saya bagaimana LSF menjelaskan hal ini, ketika kemudian hal tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan norma dan nilai, tetapi tetap ditayangkan. Kebanyakan produser dari sinetron-sinetron tidak berbobot mungkin milioner sinetron, semata-mata hanya mencari rating yang pada gilirannya menguntungkan televisi saja. Sampai kapan hal ini akan dilakukan, mungkin contohnya sinetronnya itu Ali Topan Anak Jalanan mungkin. Bagaimana Bapak menyikapi hal ini.

Terima kasih Pimpinan.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT:

Terima kasih.

Terakhir mungkin Bapak Asril ingin juga sumbang saran silakan.

F-P.GERINDRA (MAYJEN TNI (PURN) ASRIL HAMZAH TANJUNG, S.Ip.): Terima kasih Pimpinan.

Ketua LSF dan jajaranya yang saya hormati.

Kita sangat mengerti anggaran LSF tahun lalu hanya sekitar 56 mungkin itu masih di Komisi X DPR RI. Dengan demikian kalau kita lihat pentingnya LSF, kita sangat berharap LSF ini sangat komunikatif mengadakan dialog dengan

(21)

badan-21

badan terkait, apakah ini sudah dilakukan apakah dengan KPI, dengan masyarakat. Walaupun dana terbatas ini mungkin perlu kita pilih dengan pihak-pihak mana yang kita harus melaksanakan komunikasi atau dialog agar LSF kita ini bertambah bagus. Kemudian mengulagi apa yang disampaikan oleh Bapak Andi Rio, saya rasa juga setuju karena untuk menghindari kerugian apakah sudah saatnya atau bisa tidak karena kelihatan belum diatur ini dalam peraturan. Kita melihat memonitor itu sebelum film itu jadi, terutama produk dalam negeri. Kalau nanti sudah terlanjur dia jadi kemudian distop LSF tidak bisa kan ruginya cukup banyak, cukup besar. Coba kita pikirkan apa sudah bisa kita masuk disitu, mereka membuat film terutama untuk film dalam negeri. Seperti Bapak Andi Rio tadi, kalau sudah terlanjur selesai film, kemudian LSF menyetop inikan sangat rugi. Inikan yang saya tekankan sedikit, ini kita cari jalan apakah memang sudah ada di undang-undang atau belum ya, kelihatannya masih agak diluar. Nah, dua ini yang perlu saya sampaikan.

Terima kasih.

KETUA RAPAT:

Terima kasih Bapak Asril. Silakan dijawab dari LSF.

KETUA LSF (DR. AHMAD YANI BASUKI):

Terima kasih Bapak dan Ibu Anggota atas beberapa pertanyaanya.

Kami akan mulai menjawab, pertama dari Bapak Supiadin. Dari apa yang beliau sampaikan juga sungguh kami sangat berterima kasih, karena memang Bapak dan Ibu mengangkat beberapa persoalan terhadap kondisi yang ada berdasarkan data-data yang ada. Memang dapat kami sampaikan juga internal kami setelah melihat data-data itu memang sungguh sangat prihatin sesungguhnya kekurangan yang dominan terhadap film-film yang sangat diperlukan sesuai dengan pertumbuhan anak itu sebetulnya untuk semua umur. Dari sisi itu sedikit sekali kemudian yang banyak adalah 13 tahun ke atas itu banyak dan sebagaimana Bapak katakan barangkali itu dari segi pasar memang itulah yang disasar, baik kepentingan memang yang banyak menonton, yang menarik, maupun dari kepentingan yang patut atau kita duga hal itu menjadi bagian dari proksi dari negara-negara lain dengan maksud-maksudnya.

Oleh karena itu, dapat kami sampaikan pada kesempatan ini dalam setiap kesempatan kami bertemu dengan para produser kami selalu juga mengingatkan data ini. Kami bertanya juga kenapa film-film untuk semua umur disaat anak-anak masa pendidikan itu justru, artinya begini kami melihat ada kekosongan untuk anak-anak, sehingga anak-anak pun kalau melihat TV terlibat untuk nonton usia 13 tahun ke atas. Itu tidak bisa dihindari karena memang TV masuk keruangan yang tidak terbatas lagi. Diantara yang dapat kami peroleh jawabannya itu adalah memang membuat film untuk usia-usia itu biayanya besar dan mungkin dari aspek keuntungan memang tidaklah cukup menguntungkan, antara lain demikian walaupun

(22)

22

tidak semuanya mengatakan semacam itu. Sehingga sampai sekarang kami mencoba untuk terus menggali dan mendorong sesuai fungsi kami untuk mendorong masyarakat perfilman untuk menghasilkan film-film yang sesuai tuntutan akan tetapi kami dalam posisi yang memang hanya mendorong dengan menunjukkan data yang ada.

Oleh karena itu, dalam hal ini kami sangat sependapat dengan Bapak, bahwa memang ada kondisi yang memang cukup memprihatinkan disamping dihadapkan pada film-film yang tadi dinilai barangkali memang agak kurang sejalan dengan nilai-nilai budaya bangsa yang memang menjadi harta kekayaan bangsa Indonesia ini. Itu yang pertama.

Yang kedua, tentang sosialisasi memang kalau saya lihat dalam laporan betapa kecilnya dihadapkan pada besarnya permasalahan. Kemampuan kita untuk melakukan sosialisasi ke dearah sangat-sangat terbatas bahkan secara jujur kalau boleh kami sampaikan kami hanya memacam memercikan air saja di tengah-tengah lautan yang sebenarnya besar itu, sehingga memang sungguh untuk sosialisasi ini kami merasakan betapa pentingnya itu. Dan ini menjadi penting Bapak dan Ibu sekalian, karena sesungguhnya kalau boleh kita perbandingkan antara film yang disensorkan dengan mungkin film yang beredar di media tayangan yang lain di luar dari jangkauan penyensoran itu juga tidak kalah kecilnya barangkali, yang tadi setiap saat orang memegang HP mungkin tidak sampai ke gedung bioskop disitu pun sudah menonton setiap saat, setiap jam yang justru itu yang tidak disensor. Itu yang sesungguhnya masyarakat perlu diingatkan, bahwa dari hasil kajian kami dilapangan Bapak dan Ibu sekalian, ketika harus bertanya dengan orang banyak atau kami pernah bertanya apakah Bapak dan Ibu pernah mengingatkan kepada putranya “nanti kalau nonton film dilihat usianya berapa?”, hampir mengatakan tidak pernah. Apakah orang tua ketika pergi ke kantor mengingatkan anaknya “awas loh ya nanti kalau nonton film yang ini-ini saja, film ini untuk dewasa”, tidak pernah, jarang sekali melakukan itu.

Sesungguhnya bagi kami, bagi LSF itu adalah soal budaya, budaya mengingatkan budaya memberitahu hampir tidak ada. Bahkan kami temukan beberapa kasus orang tua dengan wanti-wanti ketika akan pergi “pokoknya kamu seharian nonton TV saja, kamu disini tidak boleh pergi”. Padahal apa yang ada ditayangan televisi itu menurut apa yang kita sensor saja itu ada klasifikasi usianya yang tidak patut untuk ditonton untuk anak-anak, kalau itu usia 17. Ini yang terjadi di tengah masyarakat-masyarakat.

Oleh karena itu, kami sungguh mendapatkan support dari Bapak dan Ibu tadi atas beberapa pertanyaan dorongan bagaimana sosialisasi sensor mandiri ini harus menjadi perhatian yang kalau LSF sangat terbatas tangan dan kemampuannya. Tapi bagaimana masyarakat harus sementara di negara lain itu bisa, kenapa kita tidak, tetapi memang itulah yang belum kita mulai.

(23)

23 F-PDIP (Dr. EVITA NURSANTY, M.Sc.):

Kalau KPI Pak, mereka punya yang namanya relawan penyiaran sehat itu ada sampai daerah-daerah. Nah, saya tidak tahu kerjanya LSF ini seperti apa. Apakah juga membentuk kelompok-kelompomk masyarakat yang ikut mengawasi. Kan kita tidak tahu ada saja yang kelolosan dan bagaimana LSF ini bekerjasama dengan KPI di dalam hal ini. Jangan semuanya masalah kita di Indonesia ini di lembaganya, di pemerintahannya jalan sendiri-sendiri, tidak terintegrasi, tidak terpadu, padahal ketika kita melakukan bisa dilakukan efisiensi ketika kita melakukan secara terpadu. Dengan KPI itu hubungannya Bapak erat sekali, yang satu free, yang satu post, preproduction, post preduction, jadi sangat erat sekali fungsi pengawasannya maksud saya.

Tadi Bapak mengatakan memang problem kita itu adalah tidak banyaknya di produksi film-film untuk anak-anak, seperti zaman saya kecil dulu Pak, banyak itu film anak-anak, memang sekarang itu tidak ada. Upaya apa yang dilakukan oleh LSF dengan Dirjen Perfilman dalam hal ini, Bapak katakan tadikan biaya memproduksi film itu mahal. Anggaran pendidikan kitakan tinggi sekali Pak, saya tidak tahu Dirjen LSF itu anggarannya berapa. Kan bisa diberikan subsidi kepada produsen-produsen yang memproduksi film anak-anak ini kembali. Jangan sampai anak-anak kita ini nonton film anak-anaknya kartun semua produksi luar negeri semua. Kenapa? Karena film ini belum dijadikan sebagai politik negara. Kalau di America film itu politik negara dia Pak, film itulah dia kalah di Vietnam dia ciptakan film Rambo, di film-film mereka itu bahwa Amerika itu tidak pernah kalah, semua di film-film, mau apanya dia selalu menang. Dan bisa di film-film itu dikatakan bahwa kalau Italia itu dia bikin opini publik, kalau Can itu candu, kalau Itali itu Mafioso, kalau hitam itu senjata, isi filmnya itu semua, sehingga di masyarakat terbentuk. Kalau orang Cina ini begini, orang hitam begini, itu sudah dibentuk sebagai politik negara mereka. Korea juga film-film mereka sebagai politik negara mereka, kita belum mampu untuk kesitu.

Nah, peranan Bapak untuk diskusi dengan Dirjen Perfilman bagaimana kita bisa mengangkat kembali semangat daripada produser-produser kita ini untuk memproduksi film anak-anak.

Terima kasih Ibu Pimpinan.

KETUA RAPAT: Terima kasih.

F-P.NASDEM (MAYJEN TNI (PURN) SIPUADIN ARIES SAPUTRA): Pimpinan, sekalian biar dicatat.

(24)

24 KETUA RAPAT:

Ya, sekaligus satu ya point KPI ini baru buka risalah rapatnya lama. Jadi semua yang tadi disampaikan hampir semua disampaikan itu sudah kita ingatkan waktu itu dan tadi saya cek ke Sekretariat belum ada jawabannya. Misalnya amanah hasil rapat kita dengan LSF untuk berkoordinasi dengan KPI apakah sudah dilakukan atau belum kita tidak menerima laporan. Amanah mengenai pentingnya sosialisasi sudah juga kita sampaikan itu juga kami belum dapatkan laporan.

Silakan Bapak Supiadin.

F-P.NASDEM (MAYJEN TNI (PURN) SIPUADIN ARIES SAPUTRA): Terima kasih Pimpinan.

Saya sedikit saja Bapak Yani, saya melihat sebuah tayangan wawancara tentang film anak. Dimana disitu seorang pakar psikologi anak mengatakan hasil penelitian mereka 60% tayangan film anak-anak kita di Indonesia tidak mendidik. Artinya, film anak-anak kita yang dibuat itu lebih banyak sebagai tontonan daripada tuntunan. Ditambah yang kedua tadi, mengenai lesunya mungkin perlu dikoordinasikan mengapa ini para produser film-film anak-anak kita menjadi lesu, apakah karena birokrasinya yang rumit atau memang karena biaya yang begitu tinggi, masih terjadi pungli-pungli. Saya kira apakah memang peran LSF atau peran Depdikbud ini saya kurang jelas. Nah, ini mungkin menjadi perhatian kita. Andaikata mungkin biaya-biaya birokrasinya menjadi pendek, kemudian juga persyaratan dan segala macam tidak begitu besar saya kira gairah ini akan ada. Kecuali memang kita hanya pada profit oriented saja.

Jadi saya kira itu titipan saya, jadi memang ini perlu perhatian film anak-anak kita, kalau tidak selesai.

KETUA RAPAT:

Terima kasih Bapak Supiadin. Dilanjutkan jawabannya.

KETUA LSF (DR. AHMAD YANI BASUKI): Terima kasih.

Pertama yang saya garisbawahi dari Pimpinan Sidang tadi mengingatkan jawaban kita tentang bagaimana koordinasi kita dengan KPI. Kami laporkan memang kebetulan tidak menjadi bagian dari laporan kami, karena kami terpaku oleh surat yang dikirim oleh Komisi I DPR RI tentang materi pada hari ini. Tapi dapat kami laporkan bahwa kami sudah ada koordinasi bahkan ada MoU, karena ada sedikit benturan tentang klasifikasi batas umur. Batas umur ini klasifikasinya berbeda antara undang-undang atau aturan-aturan yang di KPI dengan yang kita. Contoh yang agak ganjel itu misalnya kalau umur dewasa itu dari LSF 17 tahun ke atas,

(25)

25

maka kalau di KPI itu 18 tahun ke atas. Akibatnya ketika umur direntan ini sering dimanfaatkan oleh pihak lain untuk mengatur batasan sendiri, ini kadang-kadang terbentur ditayangan. Sehingga dengan umur 17 dengan aturan yang ada di KPI dianggap belum dewasa, masih dianggap anak-anak. Sebaliknya, sebaliknya ya seperti itu. Oleh karena itu, diadakan MoU yang dalam pemahamannya kita harus mengerti dalam arti LSF tentu sangat mengacu kepada undang-undanganya umur sekian itu ya umur dewasanya. Oleh karena itu, hal-hal yang sudah diputuskan lolos dan tidak lolos oleh LSF tentu akan menjadi pemahaman KPI. Sebaliknya terhadap tayangan-tayangan yang tidak dalam produk LSF tentu kami juga menghargai KPI. Mungkin detailnya kepada Pimpinan Sidang akan segera kami kirimkan tentang MoU yang ada.

Terakhir juga kami baru saja mengadakan rapat koordinasi dengan KPI kira-kira seminggu yang lalu juga ketika kami harus menengakkan peraturan tentang tidak boleh sulih suara. Ini tentunya ada peraturan yang berbeda, kalau kami tidak berbeda signifikan tetapi aturan ini bisa menjadi celah, misalnya semua film yang berbahasa asing harus sulih suara kecuali untuk pendidikan. Ini tentu bahasanya mutlak akan tetapi di KPI tayangan-tayangan harus sulih suara diperbolehkan sebanyak 30%, 30% itu seperti apa ini. Ini tentu harus kita buat juga MoU tetapi pertemuan awal sudah kita lakukan dan akan kita tindaklanjuti.

Kami juga mempunyai kesepahaman dengan KPI, pada akhirnya kami juga merasa pada posisi yang aka nada persoalan-persoalan akan tetapi kami punya tanggungjawab yang sama terhadap domain ini sehingga kami betul-betul memposisikan diri sebagai mitra. Betul-betul kami ingin menjalin kemitraan, perbedaan harus kita pertemukan dilapangan sehingga akan menyelesaikan masalah dan tentu dalam hal-hal yang sangat-sangat menjadi persoalan kami juga sepakat untuk sama-sama kita angkat menjadi masukan dalam kalau pada saatnya ada revisi undang-undang. Ini juga memang agak mengganggu buat kami, karena ada payung yang memang ada beda isinya.

F-PDIP (BIEM BINJAMIN):

Mohon maaf Pak, ini sangat penting sekali, jangankan masyarakat kita sendiri DPR RI juga belum tahu kesepakatan antara LSF dan KPI kaitan dengan Undang-Undang Penyiaran. Segera disampaikan ke kami biar kita juga, kita lagi bahas Undang-Undang Penyiaran. Kalau ini nanti telat juga tidak baik kita, jadi segera untuk hal-hal yang berkaitan dengan tadi perbedan nilai-nilai LSF dan KPI.

Terima kasih Pak.

F-PDIP (Dr. EVITA NURSANTY, M.Sc.):

Jadi saya melihatnya sebenarnya kan ini kalau lihat hal sepale, tapi hanya ego sentris dari masing-masing orang saja. Kalau KPI 17 ya 17, kalau LSF 18 ya 18. Bukan hal sesuatu yang maksudnya yang prinsip bagaimana, sekarang ini undang-undang bicara apa, kan begitu sekarang ini. Masing-masing punya back up tentunya

(26)

26

undang-undang yang ada, kita ini negara hukum tentunya semua berdasarkan undang-undang. Jadi saya kurang sepakat itu Pak, Mou dengan hanya melakukan MoU hanya berbedaan 1 tahun 18 dan 17. Harusnya itu kesepakatan tidak MoU bentuknya, yang Bapak katakan tadi yang satu lagi ada MoU. Untuk hal-hal yang begitu kok MoU mengenai sulih suara, harusnya dibentuk kesepakatan sudah Pak. Nah, kesepakatan inilah yang dibawa ke DPR RI, Komisi I DPR RI untuk dikuatkan, diperkuat di Undang-Undang Penyiaran yang sedang kita revisi.

Terima kasih

KETUA RAPAT:

Silakan Pak Alimin.

F-PAN (Ir. ALIMIN ABDULLAH): Terima kasih Pimpinan.

Rekan-rekan dari Lembaga Sensor Film.

Saya perhatikan laporan anda, bahwa secara umum program LSF tahun 2016 dapat dirasakan sesuai dengan target yang direncanakan. Yang saya mau tanyakan kalau jumlah film yang disensor, saya hampir saja kecuali di tahun 2014 dengan 2012 itu hanya 43.000 yang lain itu sekitar 40.000 di 2016 ini 49.000 lebih. Nah, kita kan tidak pernah tahu sebenarnya yang disebut target itu target jumlah film yang disensor atau target apa yang tercapai. Saya perhatikan yang tidak lulus ini sedikit, jadi apakah film yang disensor oleh LSF itu adalah dipilih oleh LSF-nya atau diajukan oleh produser atau diajukan oleh bioskop atau diajukan pengimpor. Sebab disini anda punya target dan saya lihat jumlahnya sekitar 40.000 an ini. Kalau anda yang menargetkan artinya anda sudah membayangkan berapa film yang diproduksi, yang akan masuk ke Indonesia atau akan beredar. Tapi kalau mereka yang mengajukan tentu tidak bisa anda perkirakan. Ataukah ini berdasarkan kemampuan tim LSF mensensor film dalam setahun memang sekitar 40.000 an itu, inikan bisa dilihat dari 2012-2016 dan yang tidak lolos itu saya lihat yang paling kecil tidak lolos itu di tahun 2013 hanya 27 dan kita juga tidak tahu kenapa tidak lolos. Apakah sesudah tidak lolos itu masih beredar di tempat yang lain kita tidak tahu, karena judul film kami juga tidak tahu.

Menurut saya kira juga perlu clear terhadap yang tidak lulus ini bagaimana, apa terus tidak boleh beredar di seluruh Indonesia dalam bentuk apapun atau hanya menyatakan tidak lulus tetapi dia masuk bisa bergerilya. Ada tidak ditemukan oleh LSF setelah dinyatakan tidak lulus ini masih juga bisa mereka punya metode sendiri untuk mengatasi. Kalau saya lihat anda katakan sudah mencapai target saya ingin tahu apakah target memang begitu dari tahun ke tahun. Kalau dari jumlah film inikan hampir sama Pak, dari 2012 sampai 2016 sekitar 40.000 an. Apakah itu ditentukan

Referensi

Dokumen terkait

Pada peta jarak dari garis pantai, kelas yang sangat rentan itu mempunyai jarak dari garis pantai yang sangat dekat yaitu kurang dari 500 meter, itu

Pemilihan jenis ikan merupakan langkah pertama yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan usaha budidaya perikanan.Proses penentuan jenis ikan ini dapat dilakukan

RAWATAN KANSER PESAKIT LUAR TAHUNAN Jika Orang Yang Diinsuranskan didiagnosis menghidap kanser seperti yang tertakluk di dalam Definasi Penyakit Kritikal, Syarikat akan

Pada sistem independent demand inventory, maka model yang tepat adalah pengisian kembali persediaan disesuaikan dengan jumlah yang dibutuhkan atau merupakan penggantian

Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama

Perubahan terminologi atau istilah anak berkebutuhan khusus dari istilah anak luar biasa tidak lepas dari dinamika perubahan kehidupan masyarakat yang berkembang saat ini,

Setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan secara seimbang. Setiap orang tidak bisa menggunakan haknya secara semena-mena karena dibatasi oleh hak

Dengan keunggulan yang dimiliki Android maka muncul gagasan untuk membuat aplikasi mobile e-commerce penjualan pakaian pada Violet Fashion Jepara guna menyelesaikan