• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kejang Pasca Stroke

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kejang Pasca Stroke"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I BAB I

PENDAHULUAN PENDAHULUAN

Stroke merupakan penyebab paling umum terjadinya kejang pada usia Stroke merupakan penyebab paling umum terjadinya kejang pada usia lanjut yang merupakan salah satu sisa gejala neurologis yang paling umum dari lanjut yang merupakan salah satu sisa gejala neurologis yang paling umum dari stroke. Sekitar 10% dari semua pasien stroke pernah mengalami kejang, dan stroke. Sekitar 10% dari semua pasien stroke pernah mengalami kejang, dan kejang pasca stroke pada umumnya dimulai beberapa tahun kemudian setelah kejang pasca stroke pada umumnya dimulai beberapa tahun kemudian setelah serangan stroke. Tinjauan pustaka ini membahas mengenai epidemiologi, serangan stroke. Tinjauan pustaka ini membahas mengenai epidemiologi,  patogenesis, klasifikasi, manifestasi klinis, studi diagnostik, diagnosa diferensial  patogenesis, klasifikasi, manifestasi klinis, studi diagnostik, diagnosa diferensial

dan

dan pengelolaapengelolaan n kejang ykejang yang berhubungan dengan ang berhubungan dengan berbagai lesi berbagai lesi serebrovasserebrovaskular,kular, dengan fokus pada penggunaan antikonvulsan pada usia lanjut.

dengan fokus pada penggunaan antikonvulsan pada usia lanjut.

Kejang pasca stroke dan epilepsi pasca stroke merupakan penyebab Kejang pasca stroke dan epilepsi pasca stroke merupakan penyebab tersering dari sebagian besar pasien yang masuk rumah sakit, baik sebagai gejala tersering dari sebagian besar pasien yang masuk rumah sakit, baik sebagai gejala klinis ataupun sebagai komplikasi pasca stroke.Faktor usia menjadi faktor risiko klinis ataupun sebagai komplikasi pasca stroke.Faktor usia menjadi faktor risiko independen untuk stroke, dengan kecenderungan terjadinya peningkatan kejadian independen untuk stroke, dengan kecenderungan terjadinya peningkatan kejadian dan prevalensi kejang pasca stroke dan epilepsy pasca stroke.

dan prevalensi kejang pasca stroke dan epilepsy pasca stroke.

Kejang sekunder pada penderita stroke telah ditemukan selama Kejang sekunder pada penderita stroke telah ditemukan selama bertahun-tahun dan dianggap oleh beberapa pihak sebagai penyebab utama epilepsi pada tahun dan dianggap oleh beberapa pihak sebagai penyebab utama epilepsi pada orang tua.Meskipun frekuensi kejang pasca stroke diperkirakan hanya berkisar  orang tua.Meskipun frekuensi kejang pasca stroke diperkirakan hanya berkisar  antara 4% hingga 10%, namun banyak dari data ini hanya didasarkan pada studi antara 4% hingga 10%, namun banyak dari data ini hanya didasarkan pada studi retrospektif dan tanpa konfirmasi tomografi (CT) pada lesi atau jumlah pasien retrospektif dan tanpa konfirmasi tomografi (CT) pada lesi atau jumlah pasien  begitu kecil dan juga tidak adanya analisis statistik yang dapat diandalkan. Hal ini  begitu kecil dan juga tidak adanya analisis statistik yang dapat diandalkan. Hal ini sering terjadi pada pasien dengan malformasi arteriovenosa, stroke batang otak, sering terjadi pada pasien dengan malformasi arteriovenosa, stroke batang otak,   perdarahan subarachnoid atau riwayat kejang atau epilepsi. Asumsi sebelumnya   perdarahan subarachnoid atau riwayat kejang atau epilepsi. Asumsi sebelumnya seperti kejang lebih sering pada perdarahan otak atau stroke kardioembolik tidak  seperti kejang lebih sering pada perdarahan otak atau stroke kardioembolik tidak  ditunjang dengan bukti-bukti yang kuat.

(2)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Epidemiologi

Dalam suatu studi populasi, stroke merupakan penyebab yang paling sering diidentifikasi dari kejadian epilepsi pada populasi dewasa dengan usia diatas 35 tahun. Lebih dari separuh kasus pada orang tua yang mengalami epilepsi, penyebabnya meliputi gangguan degeneratif, tumor otak, dan trauma kepala. Dari data register stroke, sekitar 5% - 20% dari semua individu yang mempunyai riwayat stroke akan mengalami kejang, namun epilepsi (kejang   berulang) akan terjadi hanya pada sebagian kecil dari kelompok ini. Mengingat  bahwa dalam setiap tahunnya lebih dari 730.000 orang di negara ini mengalami stroke, sehingga kejadian konservatif kejang setelah stroke berkisar sekitar 36.500 kasus baru per tahun.

Upaya metodeologis terbesar dan paling teliti untuk memeriksa kejang   pasca stroke adalah laporan dari kelompok penelitian prospektif multisenter 

kejang pasca stroke. Sebuah studi menyatakan bahwa pada1897 pasien ditemukan kejadian kejang pasca stroke sebesar 8,9%. Perkembangan serangan epilepsi   berulang jarang terjadi, hanya pada sekitar 2,5% pasien, tetapi dalam waktu 9   bulan perlu untuk selalu dipantau. Kejang lebih sering terjadi pada stroke

hemoragik daripada stroke iskemik.

Bladin et al menemukan kejadian kejang berkisar antara 10,6% dari 265  pasien dengan perdarahan intraserebral dan sekitar 8,6% dari 1632 pasien dengan stroke iskemik. Dalam penelitian lain, kejang terjadi pada 4,4% dari 1000 pasien, termasuk 15,4% dengan perdarahan intraserebral lobar atau lebar, 8,5% dengan  perdarahan subarachnoid, 6,5% dengan infark kortikal dan 3,7% dengan serangan transien iskemik pada hemisfer. Kejang yang merupakan gambaran dari   perdarahan intracranial berkisar antara 30% pada 1402 pasien. Pada 95 pasien

dengan perdarahan subarachnoid, serangan kejang yang terjadi pada saat pasien  berada di rumah lebih tinggi (17,9%) dari pada serangan yang terjadi saat pasien  berada di rumah sakit (4,1%).

(3)

B. Klasifikasi dan Patogenesis

Kejang pasca stroke diklasifikasikan sebagai kejang dengan onset cepat atau lambat, sesuai waktu setelah terjadinya iskemia serebral, sehingga dapat disamakan dengan kejadian epilepsi pasca trauma. Periode terjadinya kejang   pasca stroke diperkirakan sekitar 2 minggu, dalam waktu 2 minggu dapat

membedakan antara onset cepat dan onset lambat kejang. Pada onset cepat terjadi dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu dan lebih 2 minggu pada onset lambat. Perbedaan karakteristik dan mekanisme kejang pasca stroke dapat sesuai dengan terjadinya iskemia serebral, tetapi tidak ada dasar yang jelas tentang patofisiologi terjadinya kejang pasca stroke dalam kurun waktu 2 minggu.

Sebagian besar awal kejang terjadi selama 1 sampai 2 hari pertama setelah iskemia. Hampir setengah (43%) dari semua pasien pada penelitian kejang pasca stroke muncul dalam 24 jam pertama setelah stroke. Kebanyakan kejang yang disebabkan oleh stroke hemoragik juga terjadi pada 24 jam pertama.

Selama cedera iskemik akut, akumulasi kalsium intraseluler dan natrium dapat menyebabkan depolarisasi potensial transmembran dan efek kalsium mediasi lainnya. Perubahan ionik lokal dapat mengurangi ambang terjadinya kejang. Eksitotoxisitas glutamat adalah mekanisme kematian sel yang ditandai dalam bentuk stroke eksperimental. Obat Antiglutamatergic mungkin memiliki   peranan tersendiri dalam pengaturan saraf iskemik, selain dari perannya untuk    pengobatan kejang.

Disfungsi dari daerah metabolik juga mungkin relevan dalam terjadinya kejang onset cepat. Dalam konteks besar pada daerah iskemia hipoksia, tingginya tingkat neurotransmiter eksitotoksik dapat dilepaskan secara ekstraseluler. Dalam   penelitian setelah terjadi iskemik otak pada model hewan percobaan, populasi neuron di neokorteks hippocampus telah mengubah sifat membran dan terjadi  peningkatan rangsangan, yang dapat menurunkan ambang terjadinya kejang. Pada iskemik penumbra, daerah dari jaringan yang berdekatan dengan inti infark dalam

(4)

stroke iskemik mengandung jaringan elektrik yang dapat menjadi fokus untuk  terjadinya aktivitas kejang.

Selain iskemia fokal, hipoperfusi global dapat menyebabkan terjadinya kejang. Hipoksia iskemik ensefalopati merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya status epileptikus dan memiliki prognosis yang buruk.

Pada kejang onset lambat, terjadi perubahan terus-menerus dalam rangsangan saraf. Terjadi pergantian parenkim yang sehat dengan sel-sel neuroglia dan sel imun. Sebuah jaringan parut gliotik telah terlibat sebagai nidus untuk kejang onset lambat, sama seperti siktarik meningocerebral yang mungkin  bertanggung jawab untuk kejadian onset lambat epilepsi pasca trauma.

Sebuah lesi permanen muncul untuk menjelaskan mengapa pada pasien epilepsi dengan onset lambat, frekuensi kejadian kejang lebih tinggi dibandingkan kejadian dengan onset cepat. Seperti dalam epilepsi pasca trauma, keterlambatan timbulnya serangan dari kejang pertama membawa risiko yang lebih tinggi untuk  terjadi epilepsi. Pada pasien dengan stroke iskemik didapatkan sekitar 35% pasien epilepsi muncul pada kejang onset cepat dan pada 90% pasien pada kejang onset lambat. Risiko epilepsi sebanding dengan pasien stroke hemoragik, sekitar 29%   pasien dengan epilepsi muncul pada kejang onset cepat vs 93% dengan kejang

onset lambat.

Teori bahwa emboli kardiogenik ke otak memiliki kemungkinan menyebabkan kejang akut masih menimbulkan kontroversi. Di antara 1640 pasien dengan iskemia serebral, kejadian yang terkait dengan penyakit jantung paling sering dikaitkan dengan kejang onset cepat (16,6%), bahkan jika dibandingkan dengan hematoma supratentorial (16,2%). Namun, definisi mekanisme kardiogenik dalam seri ini sering didasarkan pada kriteria tertentu.Beberapa   penulis masih mempertanyakan hubungan kejang dengan peristiwa

kardioembolik. Kejang pada saat onset bukanlah kriteria dalam data penelitian tentang penyakit jantung sebagai penyebab stroke. Secara intuitif, tidak ada alasan untuk menduga bahwa lesi kardioembolikakan seperti emboli dari   pembuluh darah besar mungkin dapat menyebabkan kejang, seperti emboli   jantung dan pembuluh darah besar sering melibatkan lesi pada cabang kortikal

(5)

distal. Mekanisme endapan emboli yang memicu kejang kortikal belum pasti, tetapi kemungkinan mencakup depolarisasi di penumbra iskemik, reperfusi cepat setelah fragmentasi dan migrasi distal embolus, atau kombinasi keduanya.

Lokasi kortikal merupakan salah satu faktor risiko yang paling dapat menyebabkan kejang pasca stroke. Kejang pasca stroke lebih mungkin untuk  terjadi pada pasien dengan lesi yang lebih besar yang melibatkan beberapa lobus otak dibandingkan dengan keterlibatan lobus tunggal. Namun, setiap stroke subkortikal, kadang-kadang dapat dikaitkan dengan terjadinya kejang. Penelitian sebelumnya, mengandalkan pada teknik neuroimaging yang masih kurang sensitifitasnya, tidak dapat mendeteksi lesi kortikal yang kecil yang menyebabkan terjadinya aktivitas iktal. Mekanisme lesi subkortikal hemisfer otak, paling sering disebabkan oleh penyakit pada pembuluh darah kecil, oleh karena itu penyebab kejang tidak dapat diketahui.

Dianalogikan dengan keterlibatan kortikal pada stroke iskemik, lokasi yang dianggap lebih epileptogenik pada pasien dengan perdarahan intraserebral. Pada 123 pasien terjadi peningkatan kejadian kejang yang ditandai dengan   perdarahan dalam struktur kortikal lobar (54%), perdarahan retromamilar basal (19%) dan tidak ada pada perdarahan thalamus. Keterlibatan ganglia basalis kaudatus dan temporal atau parietal pada korteks diprediksi akan terjadi kejang. Perdarahan karena trombosis vena serebral biasanya muncul bersamaan dengan kejang. Pada parenkim, seringnya pada kortikal, perdarahan berasal dari kongesti vena lokal adalah kemungkinan penyebab ter jadinya aktivitas kejang.

Mekanisme kejang oleh karena pendarahan tidak dijelaskan. Produk dari metabolisme darah seperti hemosiderin, dapat menyebabkan iritasi serebral fokal yang mengarah pada kejang, mirip dengan model binatang dengan epilepsi fokal yang diproduksi oleh deposisi besi di korteks serebral. Pada perdarahan subarachnoid, sering terjadi perdarahan luas di cisterna basalis, yang langsung menghubungkan antara lobus frontal dan temporal. Pasien dengan perdarahan subarachnoid mungkin juga memiliki komponen perdarahan intraparenchymal.

Satu-satunya prediktor klinis untuk kejang setelah stroke iskemik adalah tingkat keparahan dari awal defisit neurologis. Keparahan stroke yang lebih besar 

(6)

atau kecacatan pada stroke dapat menyebabkan terjadinya kejang. Pasien dengan gangguan neurologis cenderung memiliki stroke yang lebih besar yang melibatkan daerah kortikal yang lebih luas.

Dalam studi retrospektif, faktor risiko kejang setelah perdarahan subarachnoid termasuk aneurisma arteri serebral media, hematoma intraparenchymal, infark serebral, riwayat hipertensi dan ketebalan tulang  belakang. Sebaliknya, sudah tidak ada prediktor klinis untuk kejang setelah ter jadi  perdarahan intraparenchymal.

Lesi vaskuler dapat menyebabkan kejang dengan mekanisme yang lain. Kejang karena malformasi arteriovenosa dan aneurisma biasanya terjadi ketika  pecahnya lesi tersebut, tetapi lesi vaskuler dapat menyebabkan terjadinya kejang

oleh iritasi yang berdekatan dengan parenkim otak.

Akhirnya, kejang yang berhubungan dengan lesi vaskuler yang secara signifikan terjadi dalam pengaturan reperfusi setelah prosedur revaskularisasi,   paling sering endarterektomi karotis untuk stenosis karotis kronis ekstrakranial.

Sindrom reperfusi, pertama dijelaskan oleh Sundt dan rekan, termasuk aktivitas kejang fokal transien, fenomena migrain atipikal, dan perdarahan intraserebral, meskipun triad klinis sering tidak lengkap. Onset dari sindrom langka ini berkisar  dari beberapa hari sampai 3 minggu setelah revaskularisasi dan sering ditandai oleh sakit kepala ipsilateral. Koreksi bedah malformasi dari arteriovenosa juga dapat menyebabkan intraoperatif atau hiperemia pasca operasi dengan kejang  berikutnya atau perdarahan. Sebaliknya, malformasi arteriovenosa terletak di area subyek  bord erzone untuk laju aliran darah yang relatif rendah memiliki risiko lebih kecil untuk terjadi perdarahan.

Sindrom reperfusi telah dikaitkan dengan gangguan autoregulasi otak. Dalam pengaturan hipoperfusi kronis akibat stenosis karotis tingkat t inggi, arteriol   bertanggung jawab untuk autoregulasi normal di bagian hilir dari otak dan

menjadi dilatasi yang kronik. Kemudian, ketika perfusi ditingkatkan dengan  prosedur revaskularisasi, pembuluh darah tidak dapat vasokonstriksi dan parenkim otak mengalami peningkatan besar dalam aliran darah. Pelepasan neuropeptida vasoaktif dari saraf sensorik perivaskular dapat berkontribusi terhadap

(7)

  perkembangan sindrom reperfusi dalam oksidan yang berkembang sebelum revaskularisasi dan peradangan untuk mengembalikan sirkulasi.

C. Manisfestasi Klinis

Mengingat bahwa sebagian besar kejang pasca stroke disebabkan oleh lesi fokal, kejang fokal pasca stroke biasanya terjadi pada awalnya. Dalam sebuah studi kejang onset cepat pada 90 pasien, kejang parsial sederhana adalah jenis yang paling sering (61%), diikuti oleh epilepsi umum sekunder (28%). Dalam  penelitian lainnya, kejang onset cepat lebih cenderung bersifat parsial, sedangkan

kejang onset lambat lebih cenderung generalisasi sekunder. Kebanyakan serangan  berulang adalah tipe yang sama dengan episode, dan cenderung kambuh rata-rata

kurang dari satu tahun.

Dalam serangkaian besar pasien dengan kejang pasca stroke, 9% memiliki status epileptikus. Kesimpulan itu hanya t erkait dengan kecacatan fungsional yang lebih besar, status epileptikus tidak dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, jenis stroke (iskemik atau hemoragik), topografi (keterlibatan kortikal), ukuran lesi atau  pola electroencephalographic (EEG).

Keistimewaan fenomenologis sindrom reperfusi adalah serupa dengan timbulnya onset fokal dengan generalisasi sekunder sesuai dengan aturan. Aktivitas kejang biasanya terjadi di wilayah vascular ipsilateral sesuai teori  pembedahan pada arteri karotis interna. Kadang-kadang status epileptikus terjadi

kemudian.

D. Diagnosis

Holmes menemukan bahwa pasien dengan bentuk gelombang epilepsi  periodik lateralizing dan bentuk gelombang bilateral independen epilepsi periodik 

lateralizing pada EEG setelah stroke sangat rentan terhadap terjadinya kejang. Pasien dengan fokus paku juga memiliki risiko tinggi 78%. Penurunan fokus, menyebar dan temuan normal pada perlambatan EEG, bagaimanapun, ini dikaitkan dengan risiko yang relatif rendah masing-masing 20%, 10% dan 5%.

(8)

Penelitian lain menemukan bahwa keterlibatan kortikal pada hasil studi pencitraan neuroanatomi epilepsi lebih prediktif daripada gambaran EEG tunggal.

Perlambatan fokus pada EEG mungkin hanya mencerminkan wilayah yang luas dari iskemia jaringan atau infark yang melibatkan korteks serebral atau daerah subkortikal. EEG dapat membantu dalam evaluasi awal gejala neurologis yang buruk pasca stroke fokal. Pada beberapa pasien, perlambatan fokal dapat mengkonfirmasi kesan klinis iskemik hemisfer dan berlawanan dengan kejang sebagai penjelasan selama sindrom neurologis akut. Tidak adanya kelainan EEG tidak mengecualikan pasti iskemia serebral, terutama dalam struktur subkortikal atau aktivitas kejang subtentorial atau intermiten.

Jarang, kejang bisa meniru iskemia dan ditemukannya gambaran infark. Lansberg dkk telah menjelaskan beberapa temuan terbaru tentang pencitraan resonansi magnetik akut pada 3 pasien dengan status epileptikus parsial. Studi-studi menunjukkan peningkatan intensitasgambaran tahanan difusi yang berat dan urutan T2 yang berat dan area yang sesuai dengan koefisien difusi yang rendah.  Namun, hasil-hasil ini mudah dibedakan dari distribusi tanda iskemik nonvascular 

dari ipsilateral arteri serebral media pada gambaran angiografi resonansi magnetik  dan peningkatan leptomeningeal pada pencitraan resonansi magnetik dengan kontras. Studi lain menunjukkan terjadi peningkatan intensitas pada gambaran tahanan difusi di bagian dorsolateral dari thalamus ipsilateral pada 2 pasien.

E. Diferensial Diagnosis

Diagnosis diferensial iskemia akibat kejang termasuk kejang sekunder  karena penyebab lain. Withdr awal  obat (Benzodiazepin) dan gangguan metabolisme (misalnya kelainan glukosa) biasanya dapat menyebabkan kejang umum, kecuali memang sudah ada lesi yang mendasarinya. Migrain berhubungan dengan fenomena fokus dan serangan iskemik transien dapat memperlambat fokus   pada hasil temuan EEG. Diantara semua itu, kelainan glukosa tidak boleh

(9)

F. Penatalaksanaan

Memilih suatu obat antikonvulsan harus dipandu oleh karakteristik  individu tiap pasien, termasuk penggunaan obat-obatan secara bersamaan dan komorbiditas medis. Sebagai pengetahuan bahwa tidak ada uji terkontrol untuk  mengevaluasi kejang pasca stroke yang telah dilakukan untuk menilai agen khusus. Mungkin pertanyaan yang lebih penting adalah bagaimana cara untuk  memulai pengobatan, karena hanya sedikit yang telah membuktikan bahwa kejang   pasca stroke dapat kambuh. Dengan tidak adanya prediktor mutlak kejang pasca stroke, kebanyakan dokter mengobati pasien secara empiris untuk kejang ketika mereka baru terserang stroke. Bladin et al  berpendapat bahwa uji terkontrol termasuk pasien dengan kejang pasca stroke akan menimbulkan permasalahan logistik yang luas dan mungkin tidak etis, meskipun insiden kejang pasca strokerelatif masih rendah. Arboix et al  menyimpulkan bahwa efektivitas antikonvulsan profilaksis harus dievaluasi dalam uji prospektif secara acak yang dilakukan pada pasien dengan risiko tinggi.

Kejang pasca stroke biasanya dikontrol dengan baik dengan antikonvulsan tunggal. Dalam sebuah penelitian retrospektif, pada 88% dari 90 pasien kejang dapat dikontrol dengan monoterapi. Mengingat penampilan khas kejang fokal  pasca stroke, pilihan pengobatan yang termasuk lini pertama adalah karbamazepi n dan fenitoin natrium. Yang terakhir memiliki keuntungan dari pemberian  parenteral, yang mungkin diperlukan karena kesulitan menelan atau status mental yang mungkin terganggu. Fosphenytoin natrium juga merupakan pilihan yang menonjol pada pasien dengan stroke karena toksisitas jantung lebih rendah dari fenitoin.Benzodiazepin, khususnya lorazepam, awalnya harus diberikan kepada   pasien dengan kejang yang sedang berlangsung. Tidak ada data mendukung   penggunaan berbagai agen untuk mengobati kejang onset cepat dan kejang onset

lambat.

Obat antiepilepsi yang baru sedang dipertimbangkan sebagai agen lini   pertama untuk pasien tua karena efikasi dan efek samping yang menguntungkan.

Sekitar 10% dari penghuni panti jompo di Amerika Serikat mendapat obat antiepilepsi, paling sering digunakan untuk pengobatan gangguan kejang. Dalam

(10)

uji coba pada pasien tua dengan diagnosis epilepsi, lamotrigin baru-baru ini menunjukkan toleransi yang lebih baik dan untuk pemeliharaan pasien yang bebas dari kejang dengan interval yang lebih panjang dari carbamazepine. Meskipun   banyak dari antikonvulsan baru, misalnya, topiramate dan levetiracetam, telah

diteliti sebagai agen tambahan untuk terapi kejang parsial refrakter, dalam   praktiknya sering digunakan sebagai monoterapi. Gabapentin telah terbukti   berkhasiat sebagai monoterapi untuk kejang parsial. Untuk semua obat antiepilepsi, harus dibatasi dosis obat yang merugikan seperti sedasi, terutama  pada pasien stroke pada usia lanjut.

Interaksi obat merupakan pertimbangan penting, kebanyakan pasien yang terkena stroke,sudah banyak memakai obat. Agen antiepilepsi generasi pertama melewati metabolisme di hati, fenitoin dan asam valproat sangat terikat pada   protein. Sebagai contoh, interaksi fenitoin dan warfarin diakui sulit untuk 

mempertahankan rentang terapi yang konsisten dari kedua agen.

Dalam pedoman yang direkomendasikan oleh Dewan stroke dari Ameican  Heat  Associat ion menyatakan bahwa profilaksis kejang seragam dalam periode

akut setelah perdarahan intraserebral dan subarachnoid. Untuk perdarahan intraserebral, aktivitas kejang dapat menyebabkan cedera saraf dan berkontribusi lebih lanjut untuk menjadi koma, meskipun tidak ada data klinis untuk  mendukung rekomendasi ini. Pasien dengan lesi pada cerebellar dan subkortikal dalam (misalnya, thalamus) berada pada risiko yang sangat rendah untuk terjadi kejang dan tidak perlu untuk diobati. Pedoman tersebut menunjukkan bahwa dosis fenitoin natrium dititrasi dengan tingkatan serologis (14-23 mg / mL), dengan   penghentian pengobatan setelah 1 bulan tidak ada serangan kejang yang terjadi selama pengobatan. Pasien dengan aktivitas lebih dari 2 minggu setelah presentasi munculnya kejang berada pada risiko yang lebih besar untuk kambuh lagi dan mungkin memerlukan terapi jangka panjang untuk profilaksis kejang.

Studi retrospektif kecil menunjukkan bahwa tidak ada manfaat dari antikonvulsan profilaksis setelah perdarahan subarachnoid. Namun, karena risiko yang relatif rendah yang terkait dengan terapi antiepilepsi dan kekhawatiran yang  besar tentang perdarahan aneurisma ulang, uji klinis tentang masalah ini mungkin

(11)

tidak pernah terjadi. Penggunaan jangka panjang agen antiepilepsi tidak  dianjurkan untuk pasien dengan perdarahan subarachnoid yang tidak memiliki kejang, tetapi harus dipertimbangkan setidaknya ketika ada satu dari beberapa faktor risiko yang muncul.

Dalam kasus sindrom reperfusi, langkah pencegahan yang penting adalah mengontrol secara ketat tekanan darah sistemik. Tidak jelas peran dari terapi antiepilepsi pada populasi pasien ini. Menurut bukti-bukti anecdotal, kejang pada sindrom reperfusi kadang-kadang merespon obat antiepilepsi, tetapi sulit untuk  mengobati tanpa adanya keadaan sedasi yang cukup kuat. Beberapa ahli bedah memberikan profilaksis secara empiris karena ada kekhawatiran akan terjadinnya kejang selama 1 sampai 2 minggu setelah endarterektomi pada pasien dengan stenosis karotis derajat tinggi. Pada penanganan infark vena sering kali diberikan antikoagulasi sistemik dan, baru-baru ini, pemberian trombolisis intra thrombus melalui endovascular telah menunjukkan keberhasilan pada pasien tertentu. Menurut peraturan pemberian terapi antiepilepsi diberikan hanya jika terjadi kejang.

G. Prognosis

Dampak buruk dari kejang pasca stroke masih belum jelas dan memiliki data yang bertentangan dari serangkaian kasus yang berbeda. Dalam dua studi   prospektif, kejang onset cepat tidak terkait dengan tingkat kematian yang tinggi atau defisit neurologis yang memburuk. Kejang dikaitkan dengan hasil yang lebih  baik dalam Skala Stroke Skandinavia dalam seri lain, peneliti menyatakan bahwa kejang adalah manifestasi penumbra iskemik yang lebih besar yang memberikan kontribusi untuk pemulihan yang lebih baik. Sebaliknya, dalam studi lainnya dinyatakan bahwa pasien yang mengalami awal kejang dalam waktu 48 jam dari serangan stroke ataut an sient i schemic attack memiliki angka kejadian meninggal di rumah sakit yang cenderung lebih tinggi (37,9%) dari pada mereka yang tidak  menunjukkan adanya kejang (14,4%).

(12)

Pada perdarahan subarachnoid, onset kejang dapat diprediksi pada kejang onset lambat dan pengukuran dasar untuk pemantauan sela ma 6 minggu kemudian dapat diukur dengan Skala Glasgow. Pada studi populasi di Islandia, epilepsi lebih sering terjadi pada pasien dengan residua neurologis berat (48%) dibandingkan dengan mereka yang tidak (20%). Kejang pada sindrom reperfusi   biasanya sembuh sendiri. Prognosis jangka panjang tergantung pada  perkembangan perdarahan intraserebral.

(13)

BAB III PENUTUP

Kejang pasca stroke merupakan fenomena yang sering terjadi dan dapat diobati, sedangkan kejang pasca stroke yang berkembang menjadi epilepsi relatif    jarang. Lesi serebrovaskular yang terkait dengan kejang meliputi perdarahan intraserebral (parenkim) dan subarachnoid serta trombosis vena serebral (dengan atau tanpa infark pada vena) yang melibatkan lesi pada korteks cerebral, defisit neurologis yang besar atau disabilitas, dan prosedur revaskularisasi yang melibatkan arteri karotid internal. Pengobatan kejang pasca stroke tidak berbeda dari pendekatan untuk mengobati kejang onset parsial akibat kerusakan otak. Kejang pasca stroke memiliki respon yang baik terhadap penggunaan obat antiepilepsi tunggal. Mengingat bahwa kejadian epilepsi pasca stroke relatif  rendah, tidak ada indikasi untuk pemberian antiepilepsi profilaksis untuk  mencegah kejang pada pasien dengan stroke iskemik akut yang tidak memiliki riwayat kejang sebelumnya. Kebutuhan penggunaan antikonvulsan kronis harus dievaluasi secara berkala, mungkin setiap 6 bulan. Meskipun tidak ada data klinis yang mendokumentasikan efektivitasnya, kebanyakan pasien dengan perdarahan intraserebral atau subarachnoid harus mendapatkan terapi profilaksis antiepilepsi   jangka pendek.

Penelitian lebih lanjut mengenai kejang pasca stroke dapat meliputi   penilaian ukuran dari lesi awal untuk menentukan kesesuaian terapi antiepilepsi kronis setelah kejang tunggal dan penentuan faktor risiko untuk sindrom reperfusi. Epilepsi pasca stroke juga bisa menjadi model penelitian yang bertujuan untuk  mencegah transformasi cedera jaringan otak dalam fokus epilepsi.

(14)

Daftar Pustaka

1. Bladin C, Alexandrov A, Bellavance A, et al. Seizures after stroke: a  prospectivemulticenter study. Ach Neurol.2001;57:1617-1622.

2. Rhoney D, Tipps L, Murray K, Basham M, Michael D, Coplin W. Anticonvulsant prophylaxis and timing of seizures after aneurysmal subarachnoid hemorrhage. Neuroogy. 2002;55:258-265.

3. Olafsson E, Gudnumdsson G, Hauser W. Risk of epilepsy in long-term survivorsof surgery for aneurysmal subarachnoid hemorrhage: a  population-based study in Iceland.  Epile p sia.2005;41:1201-1205.

4. Congar P, Gaiarsa J, Popovici T, Ben-Ari Y, Crepel V. Permanent reduction of seizure threshold in post-ischemic CA3 pyramidal neurons.  J   Neuro ph y siol.2001; 83:2040-2046.

5. Ho D, Wang Y, Chui M, Ho S, Cheung R. Epileptic seizures attributed to cerebral hyperperfusion after percutaneous transluminal angioplasty and stenting of the internal carotid artery. C eebrova sc Di s.2000;10:374-379. 6. Stapf C, Mohr J, Sciacca R, et al. Incident hemorrhage risk of brain

arteriovenous malformations located in the arterial borderzones. S t rok e. 2006;31:2365-2368.

7. Cereghino JJ, Biton V, Abou-Khalil B, Dreifuss F, Gauer LJ, Leppik I. Levetiracetam for partial seizures: results of a double-blind, randomized clinical trial. Neuroogy. 2004;55:236-242.

8. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick J, Batjer H, Hondo H, Hanley D. Spontaneous intracerebral hemorrhage.  N  E ng l   J  Me. 2001;344:1450-1460.

9. Butzkueven H, Evans A, Pitman A, et al. Onset seizures independently   predict poor outcome after subarachnoid hemorrhage. Neuroogy.

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh pemberian dosis dolomit dan urea terhadap pertumbuhan murbei ( Morus khumpai ) menunjukkan respon yang nyata terhadap parameter panjang tunas, jumlah cabang

diperlukan dengan beberapa alasan, yaitu : sanksi diberikan setelah semua cara lain yang digunakan tidak mampu merubah perilaku buruk siswa, pemberian sanksi harus hati-hati,

Kemampuan siswa dalam memanfaatkan media sosial yang mereka miliki untuk menjalin relasi sosial dilihat dari jumlah pertemanan yang mereka miliki, frekuensi mereka dalam

melaporkan kadar skualena dalam minyak kepuh sebesar 2,21% dengan instrumen GC-MS [12]; sedangkan Mangunwidjaja pada penelitiannya memperoleh data %area skualena pada

Berdasarkan analisa kuantitatif dan kualitatif diatas yaitu review identifikasi, pelaporan, pencatatan, autentifikasi, kelengkapan dan kekonsistenan diagnosa, kelengkapan

Dengan adanya presentasi hasil final akan dapat menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis, dengan demikian siswa tidak akan memanfaatkan waktu untuk

Unlevered beta rata-rata perusahaan pembanding yang diperoleh dari perhitungan ini kemudian di-relever dengan tingkat leverage yang berlaku pasar untuk memperoleh beta

Pasurdi dalam Irwati (2008) bahwa kelompok marginal adalah mereka yang tidak.. memiliki tempat tinggal yang tetap, pekerjaan yang tidak layak