• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN TEKNIK BIOFILTER SKALA PILOT PADA PENGHILANGAN GAS PENYEBAB BAU DARI GUDANG PENYIMPANAN LEUM INDUSTRI KARET (RIBBED SMOKED SHEET)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENERAPAN TEKNIK BIOFILTER SKALA PILOT PADA PENGHILANGAN GAS PENYEBAB BAU DARI GUDANG PENYIMPANAN LEUM INDUSTRI KARET (RIBBED SMOKED SHEET)"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN TEKNIK BIOFILTER SKALA PILOT PADA

PENGHILANGAN GAS PENYEBAB BAU DARI GUDANG

PENYIMPANAN LEUM INDUSTRI KARET

(RIBBED SMOKED SHEET)

SHINTA INDRIASARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul ”Penerapan Teknik Biofilter Skala Pilot pada Penghilangan Gas Penyebab Bau dari Gudang Penyimpanan Leum Industri Karet (Ribbed Smoked Sheet)” merupakan karya tulis saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2005 Penulis

Shinta Indriasari P.052030281

(3)

ABSTRAK

SHINTA INDRIASARI. Penerapan Teknik Biofilter Skala Pilot pada Penghilangan Gas Penyebab Bau dari Gudang Penyimpanan Leum Industri Karet (Ribbed Smoked Sheet). Dibimbing oleh MOHAMAD YANI, ANDES ISMAYANA dan MULYORINI RAHAYUNINGSIH.

Emisi gas penyebab bau banyak ditimbulkan oleh industri, salah satunya adalah industri karet RSS. Efek yang ditimbulkan oleh gas tersebut meliputi berbagai segi antara lain mengganggu kenyamanan, masalah estetika serta munculnya masalah terhadap kesehatan manusia. Salah satu sumber emisi gas penyebab bau pada industri karet berasal dari gudang penyimpanan leum.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan biofilter dalam mengatasi permasalahan emisi gas penyebab bau yang terdapat pada gudang leum industri karet, untuk menentukan kapasitas penghilangan emisi gas penyebab bau serta menentukan campuran bahan pengisi tambahan terhadap kinerja biofilter. Percobaan dilakukan menggunakan skala pilot dengan bahan pengisinya adalah kompos dan tanah, serta bahan tambahan (sekam, potongan daun karet dan chip kulit kayu karet) dengan perbandingan 4 : 2 : 1. Selain itu dilakukan penambahan dan tanpa penambahan sludge ke dalam biofilter. Parameter yang diukur adalah gas amonia (NH3) dan gas hidrogen sulfida (H2S). Kondisi media yang diukur meliputi pH, temperatur, kadar air, total N, S, C, nitrat dan mikroba. Analisis data menggunakan Metode Deskriptif dengan grafik yang akan menggambarkan kondisi seluruh parameter selama penelitian dilaksanakan. Selanjutnya penentuan bahan pengisi terbaik dengan menggunakan pembobotan atau scoring.

Berdasarkan identifikasi terhadap emisi gas pada gudang penyimpanan leum maka didominasi oleh gas amonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S), selain itu juga terukur gas CO, SOx dan NOx. Konsentrasi inlet gas amonia berada pada kisaran 12 – 100 ppm dan outletnya pada kisaran 1 – 6 ppm. Sedangkan untuk konsentrasi inlet gas hidrogen sulfida pada kisaran 0,045 – 0,402 ppm dan outletnya adalah 0,002 – 0,011 ppm. Efesiensi biofilter mampu dipertahankan hingga 95% selama 33 hari. Kemampuan biofilter dengan penambahan sludge menunjukkan kapasitas penghilangan 1,2 x 10-7 - 6,1 x 10-8 g-N/sel/hr dan 1,4 x 10-8 - 9,5 x 10-9 g-S/sel/hr dibandingkan dengan tanpa penambahan sludge menunjukkan kapasitas penghilangan 8,6 x 10-8 - 8,8 x 10-8 g-N/sel/hr dan 1,3 x 10-8 g-S/sel/hr. Berdasarkan scoring yang dilakukan untuk menentukan bahan pengisi terbaik maka diperoleh biofilter dengan bahan pengisi tambahan sekam dan penambahan sludge mempunyai kemampuan terbaik dalam penghilangan N, S dan penurunan permukaan terendah dibandingkan bahan pengisi tambahan yang lain.

(4)

ABSTRACT

SHINTA INDRIASARI. Pilot Scale of Biofilter Technique Application on Removal Odor Gases Emission from Leum Storage at Latex Industry (Ribbed Smoked Sheet). Supervised by MOHAMAD YANI, ANDES ISMAYANA and MULYORINI RAHAYUNINGSIH.

Malodorous gases emitted from many industrial facilities, one of them is RSS industry. This odorous gases cause some problems to people around the industry such as nuisance comfortable living, aesthetic factors and cause health problems.

The main objectives are to study biofilter technique capability to treat odorous gases emission problems, to assess removal capacity of ammonia, hydrogen sulfide and to evaluated the effect of composition of packing material. The packing material of compost and soil, additional material (husk, grounded leaves and bark of Havea braciliensis) at ratio of 4 : 2 : 1. Inlet and outlet ammonia and hydrogen sulfide gases were measured. The conditional of material observed were pH, temperature, water content, nitrate, decomposition of N, S and C content and microorganisms. The data analyzed by Descriptive Methods with Graph that describe a whole parameter conditions as long as the research implementation. To choose the best filterbed media used scoring methods.

Base on gases identification from leum storage were dominated by ammonia, hydrogen sulfide besides of CO, SOx and NOx. The result shows that inlet of ammonia consentration ranged from 12 to 100 ppm and the outlet ranged from 1 to 6 ppm. Whereas the inlet of hydrogen sulfide consentration ranged from 0,045 to 0,402 ppm and the outlet ranged from 0.002 to 0.011 ppm. The efficiency of ammonia (NH3) and hydrogen sulfide (H2S) were higher than 95% for 33-days operation. The removal capacity of ammonia for biofilter with sludge addition ranged from 1.2 x 10-7 – 6.1 x 10-8 g-N/cell/d and 1.4 x 10-8 – 9.5 x 10-9 g-S/cell/d, while for biofilter without sludge addition were 8.6 x 10-8 – 8.8 x 10-8 g-N/cell/d and 1.3 x 10-8 g-S/cell/d. By scoring methods, the biofilter with husk and sludge addition performs as the highest removal of ammonia, hydrogen sulfide and lowest compaction.

(5)

© Hak cipta milik Shinta Indriasari, tahun 2005 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya.

(6)

PENERAPAN TEKNIK BIOFILTER SKALA PILOT PADA

PENGHILANGAN GAS PENYEBAB BAU DARI GUDANG

PENYIMPANAN LEUM INDUSTRI KARET

(RIBBED SMOKED SHEET)

SHINTA INDRIASARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005

(7)

Judul Tesis : Penerapan Teknik Biofilter Skala Pilot pada Penghilangan Gas Penyebab Bau dari Gudang Penyimpanan Leum Industri Karet (Ribbed Smoked Sheet)

Nama : Shinta Indriasari NRP : P052030281

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng. Ketua

Ir. Andes Ismayana, MT. Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi. Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi PSL Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

(8)

PERSEMBAHAN

Dengan setulus hati ini tulisan ini dipersembahkan untuk :

Bapak-Ibu tercinta…… “Kagem Bapak-Ibu…………

Sebuah keindahan yang luar biasa memiliki orang tua seperti Bapak-Ibu

Sebuah teladan yang mulia bagi ananda Terimalah bakti ananda…..yang hanya mampu mengucapkan………

Terima kasih yang sedalam-dalamnya………

Atas segala perjuangan sehingga ananda bisa berdiri seperti sekarang ini

Suami tercinta……

“Mas…… tiada bisa dituangkan dalam kata-kata Rasa terima kasih atas cinta yang luar biasa… Damai yang selalu kau hadirkan

Ketenangan jiwa, keikhlasan, pengertian, semangat…

Semua itu ibarat pelita yang mampu menerangi gelap gulita……

Terima kasih Mas………” Anakku Angger Lintang …… “Nak, terima kasih yaa…….

Kau adalah anugerah terindah bagi bunda……

Atas pengorbanan yang sudah diberikan untuk bunda Tapi perjuangan belum selesai….

Masih banyak yang harus dilakukan

Semoga semua yang telah kita lalui bersama Selalu jadi semangat untuk mengejar cita-cita….. Jangan lupa ya …..setinggi bintang….ayo dek Lintang pasti bisa !!!!…….

Saudaraku……

Mas Yok, Mbak Tini, Vira, Dek Dhian………….

Terima kasih atas seluruh dukungan dan doanya

Tanpa kalian sesungguhnya aku bukan siapa-siapa………. Semua ini…. untuk kita……semoga menjadi jalan penerang bagi kita

Ayo bergandengan tangan Mas, Mbak, Dek…….

Untuk melakukan hal terbaik bagi sekeliling kita Sekali lagi terima kasih………

Teman-temanku……..

Buat teman-teman seperjuangan

Jangan pernah lupa untuk semua yang pernah kita lewati bersama

Thanks to : Mb In (jadi pengusaha yg sukses ya..amin), Pak Khusnul (the inspiration man) , M Koko, Pak Fikri, Pak Acon n Pak Luther (makasi utk semangatnya), Bu Ida,

(9)

Mb Wik, Arif, M Tri Mb Sandra, Mb Aini-Pak Tri, Uji’, Tesa, Bang Edwar, M Teguh, M Lukman, Pak Jemi, Bu Nita Juga untuk : Pj, Zaki, Deuxi, Galih, Jauhar, Nia, Bang Ridwan,

PRAKATA

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Penerapan Teknik Biofilter Skala Pilot pada Penghilangan Gas Penyebab Bau dari Gudang Penyimpanan Leum Industri Karet (Ribbed Smoked Sheet)” .

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Komisi Pembimbing: Dr. Ir. Mohamad Yani, M. Eng., Ir. Andes Ismayana, MT. dan Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi., atas segala arahan, masukan dan bimbingan dalam seluruh rangkaian proses penulisan tesis ini. Kepada seluruh staf dan teman-teman di Laboratorium Bioindustri dan Teknik Manajemen Lingkungan, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fateta IPB yang sedang menyelesaikan penelitian. Ucapan terima kasih sedalam-dalamnya tidak lupa penulis sampaikan kepada ke-empat orang tua, suami, anak, handai taulan serta teman-teman PSL (yang tidak dapat disebutkan satu persatu), atas segala doa, dorongan semangat serta pengertiannya hingga terselesaikannya penulisan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Walaupun demikian, semoga hasil yang dituangkan dalam tesis ini bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Bogor, Oktober 2005

Penulis

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Solo, Jawa Tengah pada tanggal 28 Februari 1978, dari pasangan Bapak Amin Soeseno dan Ibu Endah Suminar, sebagai putra kedua dari tiga bersaudara.

Pendidikan dasar diselesaikan di SD Negeri Bibis Luhur I Surakarta tahun 1990, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri VII Surakarta tahun 1993 dan sekolah menengah atas di SMU Negeri V Surakarta tahun 1996. Selanjutnya pada tahun 1996, penulis melanjutkan kuliah ke Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto melalui jalur UMPTN, dan berhasil memperoleh gelar sarjana pada bulan Mei 2001. Pada akhir tahun 2001, penulis menikah dengan Moch. Choirul, SE. MM dan kemudian dikaruniai seorang putra yang bernama Angger Lintang Naufal Mochamad. Keinginan belajar yang tinggi serta dukungan yang besar dari keluarga maka pada tahun 2003, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB dengan mengambil Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL).

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... . vi

DAFTAR GAMBAR... . vii

DAFTAR LAMPIRAN... . viii

I. PENDAHULUAN... . 1 1.1. Latar Belakang... . 1 1.2. Tujuan Penelitian... 2 1.3. Kerangka Pemikiran... 3 1.4. Perumusan Masalah... . 4 1.5. Hipotesis... . 5 1.6. Manfaat Penelitian... . 5

II. TINJAUAN PUSTAKA... . 6

2.1. Getah Karet Beku atau Leum... ... . 6

2.2. Biofilter... . 8

2.3. Bahan Pengisi... 10

2.4. Amonia………... . 12

2.5. Bakteri Pengoksidasi Amonia (Nitrifying bacteria)…... . 14

2.6. Hidrogen Sulfida (H2S)... . 16

2.7. Bakteri Pengoksidasi Hidrogen Sulfida... . 18

2.8. Bakteri Heterotrof... . 19

II. METODE PENELITIAN... . 21

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian... . 21

3.2. Bahan dan Alat Penelitian... . 21

3.3. Tahapan Percobaan... . 21

3.3.1. Karakterisasi Gas Penyebab Bau pada Industri Karet... . 21

3.3.2. Pembuatan Reaktor Biofilter... 22

3.3.3. Persiapan Bahan Pengisi………... . 22

3.3.4. Penelitian Utama... . 23

3.4. Analisis Data... . 25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... . 27

4.1. Identifikasi Gas………... . 27

4.2. Bahan Pengisi…………... 29

4.3. Kondisi Proses selama Penelitian... . 31

4.3.1. Nilai pH………..………... . 31

(12)

Halaman

4.4. Aplikasi Penghilangan Gas Penyebab Bau oleh Biofilter... . 35

4.4.1. Amonia (NH3)………. ………..… ... . 35

a. Inlet Gas Amonia…... . 35

b. Outlet Gas Amonia…... . 36

c. Bakteri Nitrosomonas sp di dalam Biofilter... . 41

d Kapasitas Penghilangan N oleh Biofilter... . 43

e. Total Penghilangan N oleh Biofilter... . 45

f. Penyerapan N Total pada Bahan Pengisi Biofilter... . 47

g. Kadar Nitrat (NO3-) pada Bahan Pengisi Biofilter….... . 48

4.4.2. Hidrogen Sulfida (H2S)………... . 50

a. Inlet Gas Hidrogen Sulfida ……... . 50

b. Outlet Gas Hidrogen Sulfida ... . 51

c. Bakteri Thiobacillus sp di dalam Biofilter... . 54

d. Kapasitas Penghilangan S oleh Biofilter... 56

e. Total Penghilangan S oleh Biofilter... . 58

f. Penyerapan S Total pada Bahan Pengisi Biofilter……. 60

4.4.3. Hubungan C Total dan Bakteri Heterotrof………… …... 61

a. C Total………... …………... . 61

b. Bakteri Heterotrof…………... . 62

4.4.4. Perbandingan Uji Parameter pada Masing-masing Biofilter. 64 4.4.5. Pengelolaan Lingkungan ……….... . 65

V. KESIMPULAN DAN SARAN... . 68

5.1. Kesimpulan………... . 68 5.2. Saran……….…………... . 68 ♣ DAFTAR PUSTAKA... . 69 LAMPIRAN………... . 72

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Baku Mutu Tingkat Kebauan... . 8

2. Daftar Bakteri Pengoksidasi Nitrogen... . 14

3. Daftar Bakteri Pengoksidasi Sulfur... . 19

4. Daftar identifikasi gas-gas inlet ke dalam biofilter leum ... . 27

5. Kondisi bahan pengisi biofilter berupa kompos, tanah dan campuran bahan tambahan ………... ... . 29

6. Nilai pH pada masing-masing biofilter... . 32

7. Prosentase kadar air pada masing-masing biofilter…………... . 34

8. Besarnya N Total Kjeldahl Nitrogen (TKN) yang terukur pada masing- masing bahan pengisi biofilter... . 48

9. Kadar Nitrat (NO3-) yang terukur pada masing-masing bahan pengisi biofilter……... . 49

10. Jumlah bakteri Thiobacillus sp di dalam masing-masing biofilter... . 54

11. S total yang terukur pada masing-masing bahan pengisi biofilter...….... . 60

12. Kadar C total yang terukur pada masing-masing biofilter... . 61

13. Jumlah bakteri heterotrof pada masing-masing biofilter... . 62

14. Perbandingan parameter uji pada masing-masing biofilter... . 67

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram alir kerangka pemikiran pada penelitian ini... . 4

2. Proses pengolahan karet alam jenis Ribbed Smoke Sheet (RSS)... . 7

3. Mekanisme penyerapan gas penyebab bau secara biologi……….. . 10

4. Transformasi nitrogen yang terjadi dalam biofilter…………... . 13

5. Transformasi sulfur yang terjadi dalam biofilter... . 17

6. Disain reaktor biofilter yang digunakan dalam penelitian... . 22 7. Skema biofilter penerapan skala lapangan………... . 25 8. Grafik yang digunakan dalam analisis data... . 26 9. Nilai pH pada masing-masing biofilter selama penelitian... . 32 10. Konsentrasi inlet gas amonia (NH3) selama penelitian dilaksanakan... . 35 11. Konsentrasi outlet dan efisiensi penghilangan gas amonia pada masing- masing 6 biofilter ……….. . 37

12. Jumlah Bakteri Nitrosomonas sp pada masing-masing 6 biofilter... . 41

13. Kapasitas penghilangan N terhadap beban yang masuk ke dalam masing- masing 6 biofilter... . 44 14. Total penghilangan N pada masing-masing 6 biofilter…... .

46 15. Konsentrasi gas hidrogen sulfida yang terukur pada inlet biofilter... .

50 16. Grafik konsentrasi outlet dan efisiensi penyerapan gas hidrogen sulfida (H2S) pada masing-masing 6 biofilter………... .

52 17. Jumlah bakteri Thiobacillus sp pada masing-masing 6 biofilter……... . 55 18. Kapasitas penghilangan S terhadap beban yang masuk ke dalam masing-masing 6 biofilter………... .

(15)

19. Total penghilangan S pada masing-masing 6 biofilter………... . 59 20. Jumlah bakteri heterotrof pada masing-masing 6 biofilter ... .

63

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1a. Kurva Standar NH3………... .

72 1b. Hasil Pengamatan NH3 untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 1... .

73 1c. Hasil Pengamatan NH3 untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 2... .

74 1d. Hasil Pengamatan NH3 untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 3... .

75 1e. Hasil Pengamatan NH3 untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 4... .

76 1f. Hasil Pengamatan NH3 untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 5... .

77 1g. Hasil Pengamatan NH3 untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 6... .

78 2a. Kurva Standar H2S………... .

79 2b. Hasil Pengamatan H2S untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada

(16)

Biofilter 1... . 80 2c. Hasil Pengamatan H2S untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 2... .

81 2d. Hasil Pengamatan H2S untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 3... .

82 2e. Hasil Pengamatan H2S untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 4... .

83 2f. Hasil Pengamatan H2S untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 5... .

84 2g. Hasil Pengamatan H2S untuk inlet, outlet, beban dan efisiensi pada Biofilter 6... .

85

3. Cara Kerja Pengukuran Parameter Uji………... . 86

4. Cara Kerja Pengujian Mikroba Pendegradasi Polutan…. ... . 93

5. Lembar Kuisioner………..……….…... . 96

6. Rangkuman hasil kuisioner……….…... . 98 Halaman 7. Leum atau getah karet beku yang menumpuk dalam gudang penyimpanan

99 8. Jenis bahan pengisi biofilter yaitu sekam, daun karet dan kulit kayu karet.

100 9. Reaktor biofilter yang ditempatkan pada lokasi penelitian PTP

Nusantara VIII Kebun Cimulang - Bogor ………..……… . 101

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tanaman karet telah diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1876 sebagai salah satu komoditas perkebunan, kemudian pada pertengahan abad 19 lebih berkembang lagi dengan dibangunnya industri-industri pengolahan karet alam. Komoditas karet memberikan sumbangan yang nyata bagi pembangunan karena industri ini merupakan salah satu industri besar di Indonesia. Luas lahan karet di Indonesia berkisar antara 2,7-3,5 juta ha dengan produksi mencapai lebih dari 1,370 juta ton/tahun (BPS 2002). Namun demikian, selain dukungannya terhadap pembangunan, ada satu sisi yang harus diperhatikan mengenai kemungkinan dampak negatif yang menyertai perkembangan kegiatan pengolahan karet ini yaitu masalah emisi gas penyebab kebauan.

Sumber emisi gas dari industri karet yang menyebabkan timbulnya bau berasal dari beberapa kegiatan antara lain adalah kegiatan penyimpanan getah karet beku (leum), ruang pengolahan sheet (karet berbentuk lembaran), instalasi pengolahan limbah cair serta ruang pengasapan (Warintek-Progressio 2000). Proses penyimpanan getah karet beku atau disebut dengan istilah leum merupakan salah satu kegiatan yang menyebabkan munculnya masalah kebauan. Hal ini terjadi karena pada kegiatan penyimpanan leum penumpukan terjadi secara terus menerus setiap hari, hingga jumlah yang cukup untuk dibawa ke pabrik lain untuk dilakukan pengolahan. Leum tersebut masih dapat diolah menjadi lembaran karet dengan teknologi yang tepat.

Penumpukan leum di dalam gudang penyimpanan selama beberapa hari tanpa perlakuan apapun memicu terjadinya proses degradasi anaerobik yang menghasilkan gas yang sangat menyengat dan berbau. Hal ini akan menimbulkan masalah-masalah kesehatan baik bagi pekerja maupun penduduk yang tinggal berdekatan dengan sumber polusi (Cho et al. 2000).

Emisi gas penyebab kebauan bersifat iritan pada paru-paru dan efek utamanya adalah melumpuhkan pusat pernafasan. Gejala yang ditimbulkan adalah kehilangan kemampuan membau, batuk, sesak nafas, iritasi selaput lendir mata,

(18)

muntah, pusing, sakit kepala dan pada konsentrasi bau yang tidak dapat ditolerir dapat menimbulkan kematian (Soemirat 2002).

Pengendalian terhadap kebauan dapat dilakukan dengan pengolahan biologi, salah satunya dengan menggunakan biofilter. Biofilter adalah bioreaktor pengolahan emisi gas penyebab kebauan yang terdiri dari kolom yang berisi bahan pengisi dengan mikroorganisme terimobilisasi di dalamnya. Teknik biofilter lebih sering digunakan untuk mengolah gas penyebab bau karena bahan pengisi yang digunakan memiliki dua fungsi sekaligus yaitu sebagai bahan penyerap gas polutan sekaligus sebagai tempat hidup mikroorganisme penyerap gas polutan (Hartung et al. 2001). Teknik ini mempunyai beberapa keunggulan antara lain adalah biaya operasional yang rendah, energi yang dibutuhkan lebih sedikit, tidak membutuhkan bahan kimia atau bahan bakar (fuels), mudah dalam perawatan serta ramah lingkungan (Hirai et al. 2001) dan ditambahkan oleh Lee et al. (2002) biofilter mampu digunakan untuk menangani beberapa gas polutan secara bersamaan.

Adapun mekanisme kerja dari biofilter adalah penyerapan gas polutan pada fase padat oleh bahan pengisi hingga jenuh, kemudian gas tersebut dilarutkan dalam fase cair, dilanjutkan dengan biodegradasi oleh mikroorganisme yang terimobilisasi di dalam bahan pengisi (Hartikainen et al. 2000).

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan teknik biofilter dalam mengatasi permasalahan emisi gas penyebab bau pada industri karet.

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Menentukan kapasitas penyerapan emisi gas penyebab bau pada masing-masing biofilter pada gudang penyimpanan leum industri karet.

2. Menentukan campuran bahan pengisi tambahan terhadap kinerja biofilter berdasarkan kemampuannya menghilangkan emisi gas bau dari gudang penyimpanan leum industri karet.

(19)

1.3. Kerangka Pemikiran

Teknik biofilter merupakan sebuah teknik yang dapat diterapkan dalam usaha pengolahan emisi gas bau pada industri karet. Untuk memaksimalkan efisiensi biofilter, hal terpenting yang harus dilakukan adalah menyeleksi bahan pengisi (packing material) terbaik dengan mikroorganisme terimobilisasi di dalamnya.

Bahan pengisi dapat dibedakan berdasarkan sifat kimiawinya yaitu bahan pengisi organik dan anorganik. Namun demikian bahan pengisi organik lebih menjadi pilihan sebab bahan ini lebih murah dibandingkan dengan bahan anorganik. Bahan organik yang berasal dari residu biologi seperti kompos, gambut, tanah, kulit kayu, serasah daun telah banyak digunakan sebagai bahan pengisi biofilter. Penelitian biofilter menggunakan kompos, serpihan kulit kayu dan gambut sebagai bahan pengisi mampu menghilangkan amonia (NH3), bau dan senyawa organik yang mudah menguap (VOC) antara 75-85% (Sun et al. 2000). Penelitian lain mengenai biofilter menggunakan kompos sebagai bahan pengisi mampu menyerap gas H2S antara 99,3-100% (Sun et al. 2000).

Penambahan sludge ke dalam biofilter diharapkan mampu memberikan tambahan mikroba pendegradasi polutan, sehingga kinerja biofilter menjadi lebih baik. Penelitian mengenai biofilter dengan penambahan sludge pada bahan pengisi gambut, dilaporkan telah berhasil menyisihkan amonia hingga 100% sampai hari ke 12 dan diatas 70% sampai akhir penelitian (Degorce-Dumas et al. 1997). Diagram alir kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1 berikut ini :

(20)

Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran pada penelitian ini.

1.4. Perumusan Masalah

Salah satu sumber emisi gas penyebab bau pada industri karet berasal dari kegiatan penyimpanan getah karet beku atau leum. Dalam kegiatan ini terjadi proses degradasi anaerobik bahan organik, akibat leum dalam jumlah banyak ditimbun dalam suatu gudang tanpa perlakuan apapun. Proses degradasi anaerobik ini menyebabkan keluarnya gas yang sangat menyengat dan berbau. Bau ini menimbulkan berbagai masalah antara lain ketidaknyamanan, estetika serta kesehatan.

Industri karet Pencemaran udara Gudang

penyimpanan leum Emisi gas polutan

penyebab bau

Rekomendasi bahan pengisi biofilter terbaik untuk limbah leum pada industri karet

BIOFILTER

Bahan Pengisi Tanah dan Kompos

Sekam/kulit padi

Bahan Tambahan

Serasah daun

karet kayu karet Kulit

Tanpa Sludge Dengan Tanpa Sludge Dengan Tanpa Sludge Dengan

(21)

Teknik pengolahan emisi gas penyebab bau dengan biofilter merupakan salah satu alternatif yang menarik untuk dikembangkan. Hal yang harus diperhatikan dalam pengoperasian biofilter adalah kaitannya dengan ketersediaan mikroorganisme yang mampu memanfaatkan gas polutan sebagai sumber energi di dalam bahan pengisi. Dengan penambahan sludge diharapkan mampu meningkatkan kinerja dari biofilter. Permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah mengenai optimalisasi biofilter dengan mengamati kapasitas penghilangan gas penyebab bau dengan dan tanpa penambahan sludge serta peranan dari bahan pengisi tambahan terhadap kinerja biofilter.

1.5. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dari penelitian ini adalah :

1. Kapasitas penyerapan emisi gas bau semakin tinggi dengan penambahan sludge.

2. Jenis bahan pengisi tambahan yang berbeda akan memberikan kapasitas penyerapan emisi gas yang berbeda pula.

1.6. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Mendapatkan informasi yang lebih mendalam mengenai penerapan biofilter pada industri karet.

2. Memberikan masukan kepada pengelola industri karet sebagai rekomendasi dalam upaya penghilangan emisi gas penyebab kebauan dengan menggunakan biofilter.

(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Getah Karet Beku atau Leum

Indonesia merupakan negara penghasil karet terbesar kedua di dunia setelah Thailand dan pengekspor berbagai bentuk produk olahan karet. Ada tiga jenis produk yang dihasilkan dalam pengolahan karet yaitu latek pekat, sheet atau Ribbed Smoke Sheet (RSS) dan karet remah atau Standard Indonesia Rubber (SIR) (Wagiman 2001).

Kegiatan pengolahan karet yang dimulai dengan penyadapan getah karet dari pohon hingga pengepakan (Gambar 2), ternyata menghasilkan limbah yang lazim disebut dengan istilah leum. Leum adalah getah karet yang telah membeku, hal ini menyebabkan leum ini tidak dapat diolah pada proses pengolahan getah karet cair (Lampiran 7). Leum masih dapat diolah menjadi bahan karet dengan teknologi yang memadai. Namun yang menjadi masalah adalah tidak semua pabrik atau industri karet mempunyai teknologi tersebut, sehingga leum harus dikirim ke pabrik lain untuk dilakukan pengolahan. Secara ekonomis pengiriman leum ke pabrik lain tidak dapat dilakukan setiap hari, karena biaya transport yang tinggi. Dengan demikian leum yang dihasilkan setiap hari tersebut, dikumpulkan dalam suatu gudang hingga mencapai jumlah tertentu sebelum kemudian dikirim ke tempat lain untuk diolah (Warintek-Progressio 2000).

Leum yang dikumpulkan dalam gudang penyimpanan mengalami penumpukan selama berhari-hari. Kondisi ini menyebabkan keadaan kekurangan oksigen pada tumpukan leum, terutama pada timbunan bagian bawah. Dengan keadaan ini maka terjadilah reaksi anaerobik yang memicu keluarnya gas-gas yang berbau busuk dan sangat menyengat. Menurut Hartikainen et al. (2000), proses degradasi anaerobik dari bahan organik akan menghasilkan emisi gas penyebab bau yang khas antara lain berasal dari lepasan senyawa-senyawa sulfida, amonia, karbon monoksida, karbon dioksida serta senyawa organik lain yang mudah menguap (volatile organic compounds) seperti metan, asam asetat, keton, aldehid dan sebagainya. Ditambahkan oleh Lee et al. (2002) bahwa gas-gas penyebab bau ini tidak berwarna serta bersifat sangat korosif terhadap logam.

(23)

Emisi gas penyebab kebauan yang berasal dari gudang penyimpanan leum sangat mengganggu, dan yang lebih penting adalah gas ini dapat menimbulkan dampat negatif terhadap kesehatan, penurunan nilai estetika serta dampak negatif lainnya.

Gambar 2. Proses pengolahan karet alam jenis Ribbed Smoke Sheet (RSS) (Wagiman 2001)

Lateks segar dari kebun + penambahan amonia

Saringan

Pencampuran

Koagulasi dengan penambahan asam semut Pengenceran hingga kadar karet 20%

Saringan

Pengepakan Sortasi Gilingan sheet

Perendaman dan pencucian

Pengasapan

Kegiatan penyadapan karet

(24)

Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kelestarian lingkungan hidup dan kesehatan, serta hal-hal yang menimbulkan pencemaran semakin meningkat dari waktu ke waktu. Hal tersebut menyebabkan banyak kelompok masyarakat yang menginginkan peraturan yang lebih tegas berkenaan dengan pencemaran lingkungan, salah satunya adalah masalah kebauan. Berkaitan dengan emisi gas penyebab kebauan dari industri yang menimbulkan ketidaknyamanan serta dapat mengganggu kesehatan bagi manusia maka pemerintah mengatur hal tersebut dalam suatu regulasi. Besarnya konsentrasi senyawa penyebab kebauan yang diperbolehkan terkandung dalam emisi gas buang suatu industri diatur dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup mengenai baku mutu tingkat kebauan.

Tabel 1. Baku Mutu Tingkat Kebauan*)

No Parameter Satuan Nilai

Batas Pengukuran Metode Peralatan

1. Amonia (NH3) ppm 2,0 Metode Indofenol Spektrofotometer

2. Metil Merkaptan (CH3SH)

ppm 0,002 Absorbsi Gas Gas Khromatografi

3. Hidrogen Sulfida (H2S)

ppm 0,02 Merkuri Tiosionat dan

Absorbsi Gas Spektrofotometer Gas Khromatografi 4. Metil Sulfida

((CH3)2S)

ppm 0,01 Absorbsi Gas Gas Khromatografi

5. Stirena (C6H5CHCH2)

ppm 0,1 Absorbsi Gas Gas Khromatografi

*) KepMen LH No. 50/MENLH/11/1996

2.2. Biofilter

Menurut Janni et al. (2000), ada beberapa metode penanganan yang digunakan untuk mengontrol emisi gas penyebab bau yang meliputi metode fisika, kimia maupun biologi antara lain adalah :

1. metode pengontrolan langsung dari sumbernya

2. penambahan bahan kimia tertentu pada limbah penyebab bau 3. menyimpan limbah pada storage (drum-drum penampungan) 4. penambahan ozon (ozonisasi)

5. teknologi plasma non thermal 6. penerapan metode biofiltrasi

(25)

Berdasarkan metode penanganan yang telah disebutkan, metode pada no. 1 hingga 5 termasuk dalam metode fisika-kimia. Dahulu metode ini banyak digunakan untuk menangani masalah gas penyebab kebauan, namun karena biaya operasional metode ini cukup tinggi, sulit dalam perawatan dan juga menimbulkan limbah sekunder, akhirnya metode ini telah banyak ditinggalkan (Sun et al. 2000).

Metode no. 6 adalah metode penanganan emisi gas penyebab bau dengan biofiltrasi, metode ini merupakan pengembangan dari metode biologi. Menurut Sun et al. (2000), biofiltrasi adalah teknologi yang digunakan untuk mengolah gas dan bau yang biodegradable (dapat terurai oleh mikroorganisme). Metode biofiltrasi dibedakan menjadi tiga tipe yaitu biofilter, bioscrubber dan biotrickling filter (Ottengraf 1986).

Biofilter didefinisikan sebagai packed tower deodorization apparatus atau alat penghilang bau yang berupa tower dengan bahan pengisi didalamnya (Devinny et al. 1999). Teknik biofilter ini terus dikembangkan sebagai alternatif teknologi untuk menggantikan metode fisika-kimia. Jika dibandingkan dengan metode fisika dan kimia, beberapa keunggulan metode biologi antara lain adalah biaya investasi dan pemeliharaan yang rendah, mudah perawatan, operasional alat yang stabil pada jangka waktu lama serta tidak menimbulkan polusi baru (Cho et al. 2000). Ditambahkan oleh Hirai et al. (2001) bahwa biofilter merupakan salah satu teknik yang efektif sebab tidak membutuhkan wilayah konstruksi yang besar.

Menurut Ottengraf (1986), kinerja biofilter dalam penanganan gas penyebab bau dapat dinilai berdasarkan beberapa hal berikut ini yaitu :

1. kapasitas penyerapan maksimum (g/kg-media kering/hari)

2. efisiensi penyerapan gas oleh media biofilter sekitar 95% dalam waktu yang relatif lama

3. kemampuan bahan pengisi dalam mempertahankan kondisi pH, suhu dan kadar air

Mekanisme kerja dari biofilter ini adalah melewatkan gas penyebab bau ke dalam kolom biofilter. Pada awalnya gas-gas tersebut akan diserap oleh material padat dari bahan pengisi. Penyerapan yang terjadi ini sering disebut dengan penyerapan secara fisik. Setelah material padat jenuh dengan gas maka penyerapan gas akan dilanjutkan oleh mikroorganisme yang telah membentuk

(26)

lapisan tipis (biofilm atau biolayer) di dalam biofilter. Target komponen gas akan larut atau terserap ke dalam lapisan biolayer ini, selanjutnya dioksidasi dan diuraikan oleh mikroorganisme yang hidup dalam bahan pengisi (Yani 1999).

Mikroorganisme menggunakan gas penyebab bau sebagai sumber energi dan nutrien bagi kelangsungan hidupnya. Produk utama yang dihasilkan dari reaksi ini adalah H2O, CO2, garam mineral, beberapa senyawa organik dan sel-sel mikroorganisme (Degorce-Dumas et al. 1997).

Gambar 3. Mekanisme penyerapan gas penyebab bau secara biologi

2.3. Bahan Pengisi

Bahan pengisi merupakan jantung dari sebuah biofilter (Ottengraf 1986). Hal tersebut karena bahan pengisi atau packing material atau filter beds merupakan inti operasional suatu biofilter. Pemilihan bahan pengisi yang tepat sangatlah penting diperhatikan untuk memaksimalkan efisiensi biofilter. Fungsi bahan pengisi selain sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme, juga harus mampu menjamin ketersediaan nutrisi yang dibutuhkan oleh mikroorganisme. Menurut Hirai et al. (2001), syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pemilihan bahan pengisi untuk biofilter antara lain adalah :

Fase Gas Fase Cair

Mikroorganisme Gas penyebab bau Larut (dissolution) Oksidasi Produk Oksidasi

(27)

1. mempunyai kapasitas penyangga air yang tinggi 2. mempunyai tingkat porositas yang tinggi

3. mempunyai daya memadat (compacting) yang rendah

4. tidak mengalami penurunan kinerja walapun kadar air menurun 5. tidak berubah dalam jangka panjang

6. ringan 7. murah

8. mampu menyerap gas penyebab bau

9. mempunyai kapasitas penyangga yang tinggi terhadap produk akhir yang bersifat asam.

Bahan pengisi biofilter secara kimiawi dibagi menjadi dua jenis yaitu bahan anorganik dan bahan organik. Bahan anorganik misalnya berasal dari kalsinat kristobalit, keramik, batu karang, arang aktif, lava dan sebagainya. Efisiensi penghilangan bau yang dicapai biofilter dengan menggunakan bahan pengisi anorganik ini cukup tinggi. Beberapa permasalahan yang timbul dari penggunaan bahan anorganik ini adalah biaya yang cukup tinggi karena harga media memang cukup mahal, serta belum tersedianya nutrien secara alami pada bahan tersebut.

Sedangkan bahan pengisi organik adalah bahan pengisi biofilter yang berasal dari residu-residu bahan alami misalnya tanah, kompos, serasah daun, kulit kayu, sabut kelapa, gambut, kulit padi/sekam dan sebagainya (Cho et al. 2000). Bahan-bahan tersebut mudah diperoleh, murah, telah mengandung nutrien anorganik yang melimpah bagi kehidupan mikroorganisme serta telah ada mikroorganisme alami pada bahan tersebut.

Bahan pengisi yang digunakan sebagai media biofilter dalam penelitian ini adalah kompos, tanah, kulit padi/sekam, serasah daun karet dan kulit kayu karet. a. Kompos

Kompos merupakan bahan organik yang mempunyai keragaman dan kelimpahan mikrorganisme yang tinggi, mempunyai kapasitas penyangga air yang tinggi serta pH yang netral. Bahan kompos mempunyai tahanan terhadap penurunan permukaan lebih tinggi dibandingkan dengan gambut. Namun

(28)

karena bahan ini juga cepat memadat, maka untuk memperbesar pori media dapat ditambahkan bahan tambahan lain (Devinny et al. 1999).

b. Tanah

Tanah dapat digunakan sebagai bahan pengisi pada biofilter sebab sangat murah, sangat mudah didapat, tersedia dalam jumlah yang melimpah, serta mengandung populasi mikroba yang tinggi pula. Tanah secara alami bersifat hidrofilik dan kemampuan untuk menahan kehilangan air lebih tinggi bila dibandingkan dengan kompos dan gambut walaupun dalam kondisi yang kering. Namun kekurangan dari bahan pengisi tanah yaitu mempunyai daya penurunan tekanan yang besar dan sering terdapat garis-garis kecil pada media untuk lewat aliran udara. Tanah juga mempunyai permeabilitas yang cukup rendah terhadap gas. Tanah sangat bagus digunakan untuk open-bed biofilter (Devinny et al. 1999).

c. Bahan pengisi tambahan

Bahan tambahan yang ditambahkan dalam media pengisi biofilter berfungsi untuk meningkatkan porositas campuran kompos dan tanah yang digunakan (Sun et al. 2000). Alasan dipilihnya sekam atau kulit padi, kulit kayu karet dan serasah daun karet sebagai bahan tambahan dalam penelitian ini adalah karena kemudahannya dalam memperoleh bahan tersebut di perkebunan karet. Di perkebunan karet, bahan tersebut tersedia dengan jumlah yang melimpah dan tidak dimanfatkan kecuali oleh penduduk sekitar sebagai bahan bakar.

2.4. Amonia

Amonia merupakan produk dekomposisi senyawa organik yang tidak teroksidasi secara sempurna karena kondisi anaerobik. Amonia memiliki nilai kesetimbangan untuk pH yaitu 9,26. Menurut Saeni (1989) reaksi kimianya adalah sebagai berikut :

(29)

Reaksi tersebut memiliki arti bahwa bila nilai pH lebih dari 9,26 maka keseimbangan terletak di sebelah kanan yaitu amonia dalam bentuk NH3, sedangkan jika nilai pH kurang dari 9,26 maka keseimbangan akan terletak di sebelah kiri yaitu amonia berbentuk NH4+ (Jenie dan Rahayu 2004). Amonia mempuyai bau yang sangat menyengat, sangat korosif terhadap logam serta berbahaya bagi kesehatan manusia.

Emisi gas amonia menyebabkan gangguan kesehatan gangguan pada saluran pernafasan, iritasi selaput lendir mata, pusing serta gangguan kesehatan yang lainnya (Soemirat 2002). Penerapan biofilter diharapkan mampu menghilangkan emisi gas amonia yang dihasilkan dari dekomposisi anaerobik leum pada industri karet. Berikut merupakan transformasi nitrogen yang mungkin terjadi di dalam biofilter.

Gambar 4. Transformasi nitrogen yang terjadi dalam biofilter (Brady 1990) Amonia (NH3) dari inlet Amonium (NH4+) absorpsi Biomassa mikroba im ob ili sa si Bahan pengisi mineralisasi Emisi Nitrit (NO2-) Nitrat (NO3-) Leaching Emisi : NO NH3 N2O N2 desorpsi denitrifikasi nitrifikasi

(30)

Transformasi atau perubahan bentuk dari N yang mungkin terjadi di dalam sistem biofilter tersaji dalam Gambar 4. Gas NH3 yang masuk dari inlet ke dalam biofilter akan berada pada kondisi berikut ini : (1) akan digunakan oleh mikroorganisme dalam bentuk bahan organik menjadi biomassa, (2) akan langsung keluar kembali tanpa ada perubahan bentuk, khususnya jika pH media tinggi/basa, (3) dengan kondisi oksigen yang cukup akan dioksidasi menjadi nitrit, kemudian menjadi nitrat melalui proses nitrifikasi.

2.5. Bakteri Pengoksidasi Amonia (Nitrifying bacteria)

Tiga bentuk utama nitrogen sebagai bahan organik dalam makhluk hidup adalah sebagai penyusun protein, dinding sel mikroba dan asam nukleat. Oleh karena itu apabila terjadi dekomposisi bahan organik yang mengandung nitrogen maka unsur N akan lepas dalam bentuk amonia (NH4+ dan NH3) (Jenie dan Rahayu 2004).

Keadaan lingkungan yang aerobik akan menyebabkan terjadinya proses oksidasi amonia menjadi nitrit (NO2-), dan masih pada kondisi yang sama nitrit dioksidasi menjadi nitrat (NO3-). Proses nitrifikasi ini didukung oleh bakteri-bakteri yang disebut sebagai nitrifying bacteria. Proses nitrifikasi adalah perubahan dari amonia menjadi nitrat oleh kegiatan bakteri. Berikut merupakan daftar bakteri kemoautotrof pengoksidasi nitrogen.

Tabel 2. Daftar Bakteri Pengoksidasi Nitrogen

Genus Spesies Habitat

Mengoksidasi amonia (NH3) menjadi nitrit (NO2-)

Nitrosomonas europea tanah, air dan air limbah

Nitrosospira briensis tanah

Nitrosococcus nitrosus laut

oceanus laut

mobilis tanah

Nitrosovibrio Tenuis tanah

Mengoksidasi nitrit (NO2-) menjadi nitrat (NO3-)

Nitrobacter widogradskyi tanah

agilis tanah, air

Nitrospira gracilis laut

Nitrococcus mobilis laut

(31)

Menurut Jenie dan Rahayu (2004) proses oksidasi amonia berlangsung dalam dua tahap kategori mikrobiologi yaitu :

a. Perubahan dari NH4- menjadi NO2

-Jenis bakteri Nitrosomonas (seperti N. europea, N. briensis dan sebagainya) mampu mengoksidasi amonia menjadi nitrit. Reaksinya adalah sebagai berikut :

NH4+ + 1,5 O2- NO2- + 2H+ + H2O + 275 kJ

Bakteri lain yang mampu mengubah amonia menjadi bentuk nitrit adalah Nitrosospira, Nitrosococcus dan Nitrosovibrio.

b. Perubahan dari NO2- menjadi NO3

-Jenis bakteri Nitrobacter (seperti N. agilis, N. widogradskyi dan sebagainya) mampu mengoksidasi nitrit menjadi nitrat, dengan reaksi sebagai berikut :

NO2- + 0,5 O2- NO3- + 75 kJ

Bakteri lain yang juga dapat mengubah nitrit menjadi nitrat adalah Nitrospora dan Nitrococcus. Oksidasi dari amonia menjadi nitrit kemudian menjadi nitrat ini merupakan proses yang menghasilkan energi, energi inilah yang dimanfaatnya oleh bakteri nitrifikasi untuk pertumbuhan dan perkembangannya.

Menurut Jenie dan Rahayu (2004), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya proses nitrifikasi adalah sebagai berikut :

1. Nilai pH, nilai pH yang optimum untuk mendukung terjadinya proses nitrifikasi adalah pada kisaran 6,6 sampai dengan 8,0. Laju nitrifikasi akan menurun bila pH berada dibawah nilai 6,0 dan hampir tidak dapat terbaca dibawah nilai 4,5. Nilai pH yang rendah juga akan mempengaruhi jumlah mikroorganisme, populasi terbanyak dapat dicapai pada nilai pH yang netral. Pada kondisi pH yang tinggi, NH4+ akan menghambat pembentukan NO2

-menjadi NO3-. 2. Aerasi atau suplai oksigen (O2). Oksigen merupakan kebutuhan utama bagi

semua kehidupan, hal inilah yang menyebabkan aerasi memegang peranan yang penting. Oksigen disediakan bagi kebutuhan hidup mikroorganisme.

(32)

Kandungan oksigen yang rendah akan menyebabkan laju oksidasi amonia menjadi rendah, hal ini menyebabkan akumulasi nitrat dalam tanahpun akan menjadi sangat sedikit. Proses difusi oksigen dari udara ke dalam tanah dapat dilihat dari kelembaban dan struktur tanah.

3. Kelembaban. Pembentukan NO3- di dalam tanah dipengaruhi oleh kelembaban atau kadar air pada media. Tanah dengan kondisi kehilangan air yang tinggi akan menyebabkan proses nitrifikasi yang seharusnya terjadi, berubah menjadi sangat terhambat. Hal ini terjadi karena kehidupan mikroorganisme sangat dipengaruhi oleh kadar air dalam media. Demikian pula dengan pertumbuhan bakteri nitrifier akan menjadi lambat dengan ketidakhadiran air.

4. Temperatur. Proses nitrifikasi sangat dipengaruhi oleh temperatur. Proses ini akan melambat pada suhu dibawah 5oC dan diatas 40oC. Kondisi optimum adalah pada kisaran temperatur 30 sampai 35oC. Interaksi antar temperatur, aerasi dan kelembaban memberi andil yang besar pada proses nitrifikasi.

2.6. Hidrogen Sulfida (H2S)

Hidrogen sulfida (H2S) atau asam sulfida atau asam hidrosulfur merupakan senyawa yang mudah terbakar dan beracun. Gas ini tidak berwarna dan mempunyai bau yang sangat tidak enak yaitu seperti telur busuk. Sekalipun gas ini bersifat iritan pada paru-paru, tetapi ia digolongkan ke dalam asphyxiant karena efek utamanya adalah melumpuhkan pusat pernafasan. Asphyxiant adalah keadaan dimana darah kekurangan oksigen dan tidak mampu melepaskan karbon dioksida. Sebab utamanya adalah gas-gas beracun yang berada dalam atmosfer seperti CO2, CO, H2S, NH3 dan CH4 (Soemirat 2002).

Hidrogen sulfida juga bersifat korosif terhadap metal serta menghitamkan berbagai material dan bangunan. Karena berat molekulnya lebih tinggi dari udara maka senyawa ini sering terkumpul pada lapisan bagian bawah, pada sumur, saluran buangan air dan sebagainya (Saeni 1989).

Hidrogen sulfida diperoleh secara alamiah dari aktivitas gunung berapi, dekomposisi bahan organik serta dari proses HDS (hydrodesulfurization) pada

(33)

proses desulfurisasi minyak mentah (Lens dan Pol 2000). H2S dapat dideteksi pada konsentrasi yang sangat rendah yaitu 0.002 ppm. Kelarutan H2S pada air dengan suhu 20 oC hanya 0.40 gram/100 gram H

2O (0.12 M), pada tekanan 1.013 bar. Kelarutan H2S menurun seiring dengan meningkatnya suhu.

Gambar 5. Transformasi sulfur yang terjadi dalam biofilter (Brady 1990)

Transformasi atau perubahan bentuk dari S yang mungkin terjadi di dalam sistem biofilter ditunjukkan dalam Gambar 5. Gas H2S yang masuk dari inlet ke dalam biofilter akan berada pada kondisi berikut ini : (1) akan digunakan oleh mikroorganisme dalam bentuk bahan organik menjadi biomassa, (2) akan lepas keluar kembali tanpa ada perubahan bentuk, (3) pada kondisi aerobik akan dioksidasi menjadi sulfat.

Hidrogen sulfida (H2S) dari inlet Biomassa mikroba Sulfur organik Sulfur (S) Sulfat (SO42-) oksidasi Emisi Sulfida (S2-) Leaching Emisi : H2S S organik asimilasi Sulfit (SO32-) oksidasi oksidasi oksidasi pemecahan

(34)

2.7. Bakteri Pengoksidasi Hidrogen Sulfida (H2S)

Kelompok bakteri fotosintetik yang terlibat dalam transfer senyawa sulfur adalah bakteri sulfur ungu (Chromatiaceae) dan bakteri sulfur hijau (Chlorobioceae). Bakteri ini mendapatkan energi untuk proses metabolismenya melalui oksidasi H2S, serta menggunakan CO2 sebagai sumber karbon. Beberapa jenis dari kelompok ini mengoksidasi hidrogen sulfida (H2S) membentuk sulfur elemen (So) dan kelompok lainnya mengoksidasi sulfur elemen membentuk asam sulfat (H2SO4).

Reaksi oksidasi H2S menghasilkan asam sulfat adalah sebagai berikut :

2H2S + O2 2S + 2H2O 2S + 2H2O + 3O2 4H+ + 2SO42- atau S2O32- + H2O + CO2 2H+ + 2SO4

2-Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa jenis Thiobacillus merupakan spesies kemolitotrophik sejati, yang artinya bakteri tersebut dapat menggunakan bahan yang dapat dioksidasi sebagai donor elektron, yang kemudian energi yang dihasilkan digunakan untuk keperluan proses metaboliknya. Beberapa bakteri yang dapat mengoksidasi senyawa sulfur adalah Thiobacillus thiooxidans dan Thiobacillus ferooxidans. Kedua jenis bakteri ini banyak ditemukan pada lingkungan yang mengandung hidrogen sulfida (H2S). Kedua mikroorganisme ini mengoksidasi H2S dan membentuk sulfur elemen yang disimpan dalam partikel selnya. Keduanya mengoksidasi bahan anorganik seperti hidrogen sulfida, sulfur elemen dan besi serta mengubahnya menjadi asam sulfat. Mereka dapat hidup pada keadaan yang sangat asam dengan nilai pH mencapai 2 (Edmonds 1978). Berikut merupakan daftar bakteri kemolitotrophik pengoksidasi sulfur.

(35)

Tabel 3. Daftar Bakteri Pengoksidasi Sulfur

No Kelompok Mikroorganisme Spesies

1. Autotrof Thiobacillus spp

2. Bakteri sulfur tidak berwarna Thiotrix spp

Beggiota spp

3. Fototrof Chlorobium spp

Chromatorium spp

Ectothiorodospira spp 4. Methylotrops Cyanobacteria Hypomicrobium spp

5. Fungi Sporomia concretifora

6. Heterotrof lain Xanthomonas spp

Sumber : Lens dan Pol (2000)

2.8. Bakteri Heterotrof

Lingkungan tanah mengandung banyak sekali jasad-jasad hidup yang memiliki fungsi masing-masing. Bakteri merupakan tumbuhan bersel satu, dengan ukuran 0,005 mm, mikroorganisme ini yang paling banyak dijumpai. Bakteri dibagi dalam dua jenis yaitu bakteri autotrof dan heterotrof. Bakteri autotrof adalah bakteri yang mampu membentuk sendiri bahan organik dari CO2 dan H2O dengan bantuan sinar matahari, contohnya adalah bakteri yang telah dibahas pada sub-bab sebelumnya yaitu antara lain Nitrosomonas, Nitrobacter, Thiobacillus dan sebagainya. Sedangkan bakteri heterotrof adalah bakteri yang tidak mampu membentuk bahan organik sendiri, sehingga membutuhkan bahan organik sebagai sumber karbonnya. Dalam kaitannya dengan ketersediaan nitrogen di dalam tanah, jika bakteri autotrof (Nitrosomonas sp dan Nitrobacter sp) melakukan proses nitrifikasi yaitu oksidasi amonia menjadi nitrat, maka yang dilakukan oleh bakteri heterotrof adalah fiksasi/mengikat N dari udara dan melepaskan amonia pada proses amonifikasi. Fiksasi nitrogen secara biokimia sama untuk semua mikroorganisme yaitu gas nitrogen (N2) direduksi menjadi NH3 dengan menggunakan enzim nitrogenase. Beberapa bakteri yang mempunyai kemampuan untuk melakukan fiksasi N adalah Azotobacter, Beijerinchia, Clostridium, Azotococcus dan sebagainya. Selain bakteri, fiksasi N juga dapat dilakukan secara simbiosis yaitu oleh Rhizobium, Frankia, Bradyrhizobium dan sebagainya, biasanya simbiosis dilakukan dengan tanaman kacang-kacangan

(36)

(Leguminaceae) (Wild 1995). Demikian juga mekanisme yang dilakukan untuk memfiksasi unsur S. Bakteri heterotrof yang mempunyai kemampuan untuk mengoksidasi sulfur antara lain adalah Arthrobacter, Bacillus, Mikrococcus, Mycobacterium dan Pseudomonas (Wild 1995).

(37)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian dilaksanakan di PTP Nusantara VIII Kebun Cimulang, Bogor. Secara keseluruhan penelitian ini dilakukan selama 7 bulan yaitu bulan Januari 2005 sampai dengan Agustus 2005. Analisis parameter fisik, kimia dan biologi dilaksanakan di Laboratorium Bioindustri dan Teknik Manajemen Lingkungan Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fateta IPB.

3.2. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah emisi gas dari gudang penyimpanan leum industri karet, kompos, sekam, serasah daun karet, serpihan kulit kayu karet, sludge, dan bahan kimia untuk analisis laboratorium.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pipa paralon PVC ukuran 8 inci, tutup paralon, blower, plastik, kawat, rubber stop, kran udara, kertas pH, Spectrophotometer UV-Vis, labu ukur 50 ml, pipet Mohr 1 ml; 5 ml; 10 ml, Erlenmeyer, buret 50 ml, mikroskop, cawan petri, inkubator dan lain-lain.

3.3. Tahapan Percobaan

3.3.1. Karakterisasi Gas Penyebab Bau pada Industri Karet

Sumber emisi gas bau dari industri karet yang akan dikaji dalam penelitian ini berasal dari gudang penyimpanan leum. Secara teori menurut Hartikainen et al. (2000), proses degradasi anaerobik dari bahan organik akan menghasilkan emisi gas penyebab bau yang khas antara lain berasal dari senyawa-senyawa sulfida, amonia, karbon monoksida, karbon dioksida serta senyawa organik lain yang mudah menguap (volatile organic compounds) seperti metana, asam asetat, keton, aldehid dan sebagainya.

Berdasarkan teori yang ada akan dilakukan penelitian pendahuluan untuk menentukan gas apa saja yang keluar dari proses degradasi anaerobik pada gudang leum, selanjutnya beberapa gas dengan konsentrasi besar akan dijadikan sebagai parameter utama yang akan diukur dalam penelitian ini.

(38)

3.3.2. Pembuatan Reaktor Biofilter

Perancangan kolom biofilter adalah dengan menyiapkan pipa paralon PVC dengan diameter 8 inch dan panjang 70 cm sebanyak 6 buah. Pipa paralon diberi lubang yang berfungsi untuk mengambil sampel tanah untuk pengukuran parameter-parameter fisik-kimia dan mikrobanya. Lubang inlet berada pada bagian atas (1) dan lubang outlet pada bagian bawah (4).

Gambar 6. Desain reaktor biofilter yang akan digunakan dalam penelitian

3.3.3. Persiapan Bahan Pengisi

Bahan pengisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kompos, tanah, bahan tambahan (berupa sekam, serasah daun karet, kulit kayu karet) dan sludge. Secara lebih jelas bahan tambahan dapat dilihat pada Lampiran 8). Perbandingan yang digunakan dalam bahan pengisi untuk kompos, tanah, bahan tambahan dan sludge berturut-turut adalah 4 : 2 : 1 : 1 (Devinny et al. 1999). Komposisi bahan pengisi :

Biofilter 1 berisi kompos, tanah, sekam dan sludge.

• Biofilter 2 berisi kompos, tanah dan sekam.

Biofilter 3 berisi kompos, tanah, serasah daun karet dan sludge.

• Biofilter 4 berisi kompos, tanah dan serasah daun karet.

Biofilter 5 berisi kompos, tanah, kulit kayu karet dan sludge.

• Biofilter 6 berisi kompos, tanah dan kulit kayu karet. Keterangan : 1. Kolom biofilter 2. Lubang inlet

3. Lubang sampling tanah 4. Lubang outlet

2 1

3

(39)

Kompos yang digunakan sebagai bahan pengisi biofilter diperoleh dari pedagang tanaman komersial. Hal ini dilakukan karena masyarakat di sekitar pabrik tidak mengolah kompos sendiri untuk memupuk sawahnya, melainkan menggunakan pupuk kimia. Jenis kompos yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kompos daun dengan merk dagang Kompos Penyubur Tanaman Super yang diproduksi oleh Enka Saritani Jakarta.

Tanah yang digunakan sebagai bahan pengisi berasal dari tanah yang ada di sekitar gudang leum. Hal ini bertujuan untuk memperoleh mikroba alami yang tumbuh di sekitar tempat tersebut.

Sludge berasal dari endapan lumpur yang diperoleh dari sekitar pembuangan air limbah PTP Nusantara VIII. Sludge yang dipilih adalah sludge yang telah tua, bukan air limbah segar. Penambahan sludge ke dalam bahan pengisi bertujuan untuk meningkatkan kelimpahan serta keragaman populasi mikroorganisme di dalam biofilter. Dengan mengoptimalisasi jumlah serta jenis mikroorganisme, diharapkan kinerja biofilter menjadi lebih baik dalam pengolah emisi gas penyebab bau dari gudang leum.

3.3.4. Penelitian Utama

Biofilter yang dipersiapkan sebanyak 6 kolom, dengan ukuran diameter 8 inci dan tinggi 70 cm, sedangkan untuk tinggi bahan pengisi adalah 40 cm. Perlakuan dalam penelitian ini adalah perbedaan bahan pengisi tambahan yaitu sekam/kulit padi, serasah daun karet dan kulit kayu karet. Fokus penelitian ini adalah akan mengamati efisiensi biofilter, kapasitas penyerapan serta daya tahan masing-masing bahan pengisi dalam kolom biofilter. Secara operasional aliran gas inlet (flow) yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah konstan yaitu 10 liter per menit.

Untuk mendapatkan hasil tersebut maka parameter-parameter utama yang diukur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Senyawa N dalam bentuk amonia (NH3). Pengamatan juga akan dilakukan selama satu bulan dengan pengambilan sampel pada inlet dan outlet sebagai berikut minggu pertama akan dilakukan dua kali dalam sehari berfungsi untuk mengetahui tren input. Minggu kedua

(40)

pengambilan sampel dilakukan satu kali sehari, minggu ketiga dua hari sekali dan minggu keempat tiga hari sekali. Metode yang dipergunakan dalam pengukuran Amonia adalah Metode Nessler, prosedur pengukuran amonia secara lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3.

b. Senyawa sulfida yaitu hidrogen sulfida (H2S). Pengamatan akan dilakukan selama satu bulan dengan pengambilan sampel pada inlet dan outlet sebagai berikut minggu pertama akan dilakukan dua kali dalam sehari berfungsi untuk mengetahui tren input sebab penelitian ini dilakukan pada skala industri. Minggu kedua pengambilan sampel dilakukan satu kali sehari, minggu ketiga dua hari sekali dan minggu keempat tiga hari sekali. Metode yang dipergunakan dalam pengukuran hidrogen sulfida adalah Metode Metilen Blue, prosedur pengukuran hidrogen sulfida secara lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3.

c. Kadar air dan pH diukur satu minggu sekali untuk memastikan kondisi yang baik untuk perkembangbiakan mikroba. Untuk parameter temperatur diukur setiap hari. Prosedur pengukuran kadar air, pH dan temperatur dapat dilihat pada Lampiran 3.

d. Pengukuran parameter total C organik, total S dan total N untuk bahan pengisi dilakukan dua kali yaitu pada awal dan akhir pengoperasian biofilter. Hal ini untuk mengetahui perubahan unsur-unsur tersebut selama penelitian di dalam biofilter. Prosedur pengukuran parameter total C, S dan N dapat dilihat pada Lampiran 3.

e. Penghitungan jumlah mikroorganisme pada bahan pengisi dilakukan pada awal, tengah dan akhir pengoperasian biofilter. Hal ini bertujuan untuk mengetahui perubahan serta perkembangan mikroba yang ada dalam biofilter. Untuk penghitungan Nitrosomonas sp menggunakan metoda MPN, selanjutnya untuk penghitungan Thiobacillus sp, fungi dan bakteri heterotrof dengan menggunakan metoda TPC (Anas 1989). Secara lebih detail prosedur kerja serta cara penghitungan jumlah mikroba dapat dilihat pada Lampiran 4.

(41)

Skema reaktor biofilter yang diterapkan pada skala lapang disajikan pada Gambar 7 berikut ini dan secara lebih detil mengenai kondisi reaktor biofilter dapat dilihat pada Lampiran 9.

Gambar 7. Skema biofilter penerapan skala lapangan (A. Gudang penyimpanan leum, B. Blower, C. Flow meter, D. Lubang inlet, E. Lubang sampling, F. Lubang outlet, G. Kolom biofilter).

3.4. Analisis Data

Data yang diperoleh akan disajikan menggunakan Metode Deskriptif dengan Grafik yang akan menggambarkan kondisi seluruh parameter selama penelitian dilaksanakan (Walpole 1995). Keandalan biofilter akan diukur berdasarkan efisiensi, kapasitas penghilangan serta total penghilangan masing-masing bahan pengisi dalam kolom biofilter. Grafik efisiensi diperoleh dengan memetakan antara sumbu x yaitu waktu dan sumbu y yaitu efisiensi. Grafik kapasitas penghilangan diperoleh dengan memetakan antara sumbu x yaitu beban dan sumbu y yaitu kapasitas penghilangan dengan satuan g/kg bhn kering/hari. Total penghilangan diperoleh dengan memetakan antara sumbu x yaitu waktu dan sumbu y yaitu penyerapan dan beban dalam g/kg bhn kering/hari.

Penentuan bahan pengisi terbaik akan dilakukan dengan menggunakan teknik scoring terhadap parameter-parameter uji yang telah ditentukan.

A . . . C D E F G . . . . . . . . . . . . . . . B

(42)

Gambar 8. Grafik yang digunakan dalam analisis data : (1) Grafik efisiensi biofilter, (2) Grafik kapasitas penghilangan gas polutan, (3) Grafik total penghilangan gas polutan.

(2) (1) 0 20 40 60 80 100 0 1 2 3 4 5 Waktu (hari) E fis ien si (% ) 0 2 4 6 0 2 4 6 Beban (g/kg bhn kering/hr) K apa si ta s pe ngh ilanga n (g /k g bhn ke ring /h r) 0 3 6 9 12 15 0 1 2 3 4 5 Waktu (hari) g/ kg bhn k er ing /h r (1) (2) (3)

(43)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Identifikasi Gas

Identifikasi gas dilakukan untuk mengetahui gas-gas yang lepas karena adanya proses degradasi anaerobik pada leum atau getah karet beku. Hartikainen et al. (2000), menyatakan bahwa proses degradasi anaerobik bahan organik akan menghasilkan emisi gas penyebab bau yang khas antara lain berasal dari dekomposisi senyawa-senyawa sulfida, NH3, CO, CO2, NOx, SOx serta beberapa senyawa organik yang mudah menguap seperti metan, asam asetat, aldehid dan sebagainya.

Pengujian terhadap gas dilakukan pada awal penelitian. Hasil pengujian emisi gas yang terdapat pada gudang leum disajikan pada Tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Daftar identifikasi gas-gas inlet ke dalam biofilter Gas Satuan Nilai Nilai Batas Emisi yang

diijinkan

(Kep-13/MenLH/3/1995)

Baku Mutu Tingkat Kebauan

(KepMen LH No. 50/MENLH/11/1996) NH3 ppm 98,361 2,00 2,00 H2S ppm 0,542 0,02 0,02 CO ppm 0,205 - - NOx ppm 0,031 1,00 - SOx ppm 0,031 0,80 -

Hasil pengukuran beberapa parameter gas yang telah dilakukan terhadap emisi gas dari gudang penyimpanan leum, diperoleh gas-gas yang dilepaskan adalah gas NH3, H2S, CO, NOx dan SOx berturut-turut dengan konsentrasi 98,361 ppm; 0,542 ppm; 0,205 ppm; 0,031 ppmdan 0,031 ppm (Tabel 4). Berdasarkan hasil pengukuran tersebut, dapat dilihat bahwa untuk parameter amonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S) konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan parameter yang lain sekaligus jika dibandingkan dengan konsentrasi gas menurut baku mutu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup yang mengatur tentang emisi gas yang diijinkan dan baku mutu tingkat kebauan.

(44)

Kemungkinan tingginya konsentrasi amonia (NH3) yang lepas dari gudang penyimpanan leum diduga berasal dari kandungan unsur penyusun pada lateks serta proses pada ruang produksi karet (Gambar 2). Unsur penyusun lateks, Wagiman (2001) menyatakan bahwa kadar N total pada lateks pekat mencapai 478 ppm. Hal ini berarti bahwa kandungan N total pada leum pun tinggi dan diduga berpengaruh secara linier terhadap konsentrasi gas amonia yang lepas karena adanya proses penguraian leum oleh bakteri.

Ruang produksi karet juga diduga memberikan sumbangan terhadap tingginya konsentrasi amonia. Di dalam ruang produksi terdapat proses penambahan amonia pekat ke dalam lateks. Penambahan amonia dilakukan segera setelah getah karet cair sampai di pabrik. Penambahan amonia ini berfungsi untuk menunda terjadinya penggumpalan getah karet secara cepat. Jumlah amonia yang ditambahkan pada setiap proses produksi berbeda-beda, tergantung dari kadar karet yang diperoleh saat penyadapan. Amonia yang ditambahkan pada proses produksi karet diduga juga memberikan pengaruh terhadap tingginya konsentrasi gas amonia yang dilepaskan pada saat terjadi penguraian leum.

Gas amonia yang lepas dari gudang penyimpanan leum juga berasal produk hasil dekomposisi senyawa organik yang tidak teroksidasi secara sempurna karena adanya kondisi anaerobik. Bau dari gas ini sangat menyengat, menyebabkan iritasi serta sifatnya sangat korosif terhadap logam (Sastrawijaya 2000). Gas ini sangat berbahaya terhadap manusia karena menyebabkan asphyxia. Menurut Soemirat (2002) asphyxia adalah keadaan dimana darah kekurangan oksigen dan tidak mempu melepaskan karbon dioksida, sebab utamanya antara lain kehadiran gas-gas beracun yang berasa di dalam atmosfer seperti CO2, H2S, CO, NH3 dan CH4. Asphyxia ini bersifat akut.

Gas hidrogen sulfida yang diperoleh dari hasil pengukuran berasal dari adanya proses penguraian leum secara anaerobik oleh bakteri. Gas ini berbau sangat busuk, mempunyai efek yang sama dengan amonia yaitu dapat menyebabkan iritasi dan juga bersifat korosif terhadap logam. Menurut Soemirat (2002), senyawa hidrogen sulfida pada dosis yang tinggi dapat merusak saluran pernafasan.

(45)

Emisi kedua gas yang telah melebihi ambang batas baku mutu serta pengaruhnya yang negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan inilah yang menjadi alasan mengapa harus dilakukan pengolahan terhadap gas polutan yang lepas dari gudang penyimpanan leum.

4.2. Bahan Pengisi

Keberhasilan kinerja suatu biofilter salah satunya dipengaruhi oleh bahan pengisi yang digunakan, Ottengraf (1986) menyatakan bahwa bahan pengisi adalah jantung dari biofilter. Dengan demikian pemilihan bahan pengisi merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam pembuatan suatu biofilter. Berikut merupakan kondisi bahan pengisi yang digunakan dalam penelitian ini :

Tabel 5. Kondisi bahan pengisi biofilter berupa kompos, tanah dan campuran bahan tambahan

Biofilter Berat Basah (kg) Berat Kering (kg) Volume Kolom (liter) Kadar Air (%) pH N total (%) S total (ppm) C total (%) 1 10,372 3,962 12,965 62,37 8,5 0,43 23,81 50,38 2 10,372 3,940 12,965 62,01 8 0,44 21,43 52,11 3 10,372 3,998 12,965 61,45 8 0,46 36,91 54,22 4 10,372 4,083 12,965 60,63 8,5 0,45 30,95 47,83 5 10,372 4,137 12,965 60,11 8,5 0,44 37,23 54,30 6 10,372 4,218 12,965 59,33 8 0,41 36,91 54,72 Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 5, dapat dilihat bahwa berat basah bahan pengisi yang digunakan pada masing-masing kolom biofilter adalah sama yaitu 10,372 kg. Berat basah bahan pengisi ini menempati kolom biofilter dengan diameter 8 inci dan tinggi 40 cm. Berdasarkan pengukuran terhadap berat kering bahan yang dilakukan maka diperoleh masing-masing untuk biofilter 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 berturut-turut adalah 3,962; 3,940; 3,998; 4,083; 4,137 dan 4,218 kg. Hasil pengukuran berat kering bahan pengisi pada masing-masing biofilter adalah berbeda, kondisi ini berdasarkan pada kadar air yang dimiliki oleh masing-masing

(46)

bahan pengisi. Berat basah yang sama dengan kondisi kadar air yang berbeda akan menghasilkan berat kering yang berbeda pula.

Kadar air yang diukur pada awal penelitian masing-masing untuk biofilter 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 berturut-turut adalah 62,37; 62,01; 61,45; 60,63; 60,11 dan 59,33%. Kondisi kadar air pada bahan pengisi sangat erat hubungannya dengan keberlangsungan hidup mikroorganisme di dalam biofilter. Air merupakan kebutuhan utama bagi kehidupan makhluk hidup (Wardana 1999), termasuk mikroorganisme dalam biofilter. Prosentase kadar air yang diperoleh dari pengukuran untuk masing-masing biofilter berada diatas 50%, hal ini berarti kecukupan air bagi kehidupan mikroorganisme secara optimum di dalam biofilter telah terpenuhi. Devinny et al (1999) menyatakan bahwa kadar air di dalam biofilter yang optimum bagi pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme berada pada kisaran 40 – 80%.

Nilai pH dari hasil pengukuran masing-masing bahan pengisi untuk biofilter 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 berturut-turut adalah 8,5; 8; 8; 8,5; 8,5; 8. pH merupakan nilai yang menunjukkan suatu kesetimbangan antara asam dan basa pada suatu media. Nilai pH yang paling baik bagi perkembangan mikroorganisme tanah secara optimal adalah pH antara netral hingga alkalis/basa yaitu antara pada kisaran 7,0 - 8,5 (Wild 1995). Bahan pengisi pada masing-masing biofilter memiliki nilai pH diatas 7, hal ini berarti kondisi pH semua bahan pengisi pada biofilter adalah netral. Komposisi bahan pengisi yang dominan berisi campuran kompos dan tanah ternyata memberikan pengaruh terhadap nilai pH. Menurut Devinny et al. (1999), kompos dan tanah mempunyai nilai pH yang netral yaitu antara 7 - 8,5. Dengan demikian kondisi pH bahan pengisi pada biofilter yang digunakan dalam penelitian telah terpenuhi, agar bakteri tumbuh dan berkembang secara optimal.

Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan terhadap N total bahan pengisi pada awal penelitian, maka diperoleh prosentase N total masing-masing untuk biofilter 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 berturut-turut adalah 0,43; 0,44; 0,46; 0,45; 0,44 dan 0,41%. Unsur N atau nitrogenium merupakan hara makro yang menjadi salah satu unsur penyusun protein yang penting dalam tubuh makhluk hidup. Keberadaan unsur N dalam suatu media sangat dibutuhkan bagi perkembangan mikroorganisme di dalamnya. Hara makro adalah sebutan bagi unsur yang

(47)

dibutuhkan serta terdapat dalam tubuh mikroorganisme dalam jumlah yang relatif besar. Unsur-unsur yang termasuk dalam hara makro adalah C, H, O, N, P, K, Ca, S dan Mg (Wild 1995). Devinny et al. (1999) menyatakan bahwa bahan pengisi biofilter berupa kompos dan campuran bahan organik mempunyai kandungan untuk masing-masing unsur N, P dan K berturut-turut adalah 0,40; 0,15 dan 0,15%. Hal ini juga didukung oleh Degorce-Dumas et al. (1997) yang menyatakan bahwa kadar N total dalam campuran kompos dan bahan organik lain berkisar antara 0,4 - 0,8%. Berdasarkan hal tersebut, berarti kadar N total yang terkandung dalam bahan pengisi biofilter pada penelitian ini yaitu antara 0,41 - 0,46%, berada pada kisaran prosentase nilai tersebut.

Pengukuran yang dilakukan terhadap S total bahan pengisi pada awal penelitian, diperoleh prosentase S total masing-masing biofilter 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 berturut-turut adalah 23,81; 21,43; 36,91; 30,95; 37,23 dan 36,91 ppm. Unsur S termasuk dalam unsur penyusun protein pada sel hidup (Fitzpatrick 1994). Menurut AAK (1991), unsur S, Ca dan Mg termasuk dalam kategori unsur makro sekunder, artinya unsur ini tidak dibutuhkan dalam jumlah yang terlalu banyak, namun harus terdapat cukup di dalam suatu media. Walaupun jumlah dari unsur S, Ca dan Mg tidak harus banyak, kehadiran salah satu unsur tersebut mutlak harus ada, jika tidak akan terjadi ketidaknormalan perkembangan mikroorganisme. Berdasarkan hasil pengukuran parameter S total yang telah dilakukan maka unsur S telah tersedia dalam bahan pengisi biofilter dalam jumlah yang cukup.

Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan terhadap C total bahan pengisi pada awal penelitian, diperoleh jumlah C total pada masing-masing biofilter 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 berturut-turut adalah 50,38; 52,11; 54,22; 47,83; 54,30 dan 54,72%. Karbon atau C merupakan salah satu unsur esensial yang sangat dibutuhkan oleh mikroorganisme. Unsur C adalah salah satu unsur utama penyusun karbohidrat, selulosa, glukosa dan sebagainya selain unsur H dan O (Fitzpatrick 1994). Menurut Degorce-Dumas et al. (1997), kompos memiliki nilai C total sebesar 37 - 50%. Hal ini berarti kisaran C total pada bahan pengisi yang digunakan dalam penelitian ini termasuk pada kisaran nilai tersebut.

(48)

4.3. Kondisi Proses selama Penelitian 4.3.1. Nilai pH

Perubahan nilai pH yang diukur selama penelitian pada masing-masing biofilter yaitu biofilter 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 9 berikut ini.

Tabel 6. Nilai pH pada masing-masing biofilter

Nilai pH Biofilter

Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV

1 8,5 7,0 6,5 6,0 2 8,0 7,5 7,0 6,5 3 8,0 7,0 6,5 6,0 4 8,5 7,5 6,5 6,0 5 8,5 7,5 7,0 6,5 6 8,0 7,5 7,0 6,5 5 6 7 8 9 1 2 3 4 M inggu N ila i pH

B iofilter 1 B iofilter 2 B iofilter 3 B iofilter 4 B iofilter 5 B iofilter 6

Gambar 9. Nilai pH pada masing-masing biofilter selama penelitian

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap pH yang telah dilakukan, dapat dilihat bahwa pada masing-masing enam biofilter tersebut mengalami penurunan nilai pH (Gambar 9). Kondisi parameter pH bahan pengisi pada awal penelitian berada pada kisaran nilai 8 - 8,5. Kemudian pada minggu pertama pengoperasian biofilter, nilai pH mulai mengalami

Gambar

Gambar 1.  Diagram alir kerangka pemikiran pada penelitian ini.
Gambar 2. Proses pengolahan karet alam jenis Ribbed Smoke Sheet (RSS)   (Wagiman  2001)
Tabel  1.   Baku Mutu Tingkat Kebauan *)  No  Parameter  Satuan  Nilai
Gambar  3.  Mekanisme penyerapan gas penyebab bau secara biologi
+7

Referensi

Dokumen terkait

(ii) mengikut format garis panduan yang ditetapkan oleh badan profesional yang berkaitan bagi program profesional berkenaan (6) Menyediakan kertas cadangan

(3) Pengelolaan kekayaan milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibahas oleh Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan tata cara pengelolaan

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross sec- tional bertujuan untuk mengetahui hubungan komunikasi dan supervisi kepala ruangan

Selanjutnya adalah melakukan analisis probabilitas terhadap masing- masing sumber risiko produksi tersebut untuk mengetahui seberapa besar probabilitas atau kemungkinan

Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang yang senantiasa telah menganugerahkan rahmat, dan hidayah-Nya kepada penulis dalam rangka menyelesaikan

Hasil dari uji t tersebut menyatakan bahwa penanaman modal dalam negeri ada pengaruh terhadap pendapatan asli daerah di Kabupaten Pati dan korelasi sesuai

kecuali kita telah mencari pola di antara asumsi-asumsi yang mendasari yang berbeda dari kelompok dan telah berusaha untuk mengidentifikasi mana paragigm oleh

ehingga hal ini berarti setiap perjanjian yang mencantumkan klausula arbitrase atas suatu perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak menghapuskan kewenangan