• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN LITERATUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN LITERATUR"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN LITERATUR

Tinjauan Teoritis Perubahan Sosial • Dari Klasik Sampai Modern

“Anda tidak mungkin melangkah dua kali dalam sungai yang sama”, demikian kata Heraclitus, filosof Yunani yang hidup pada masa 535-475 SM. Dengan kata-kata itu, Heraclitus ingin mengemukakan pemikirannya bahwa di dunia ini tidak ada yang tetap, semuanya selalu berubah: “Panta chōrei kai ouden menei” (semuanya berubah dan tidak ada yang tetap). Pemikiran Heraclitus itu sendiri sebenarnya bukan satu-satunya yang berkembang karena pada masa yang hampir bersamaan, Permenides (520-450 SM), justru meyakini dan mengemukakan pandangan yang sebaliknya. Menurut filosof dari Elea itu, realitas dunia itu satu, eksistensinya tidak kenal waktu (timeless) dan bentuknya satu (uniform). Sehingga perubahan itu, sulit dibayangkan, atau bahkan tidak mungkin terjadi.

Dalam perkembangannya kemudian, pemikiran Heraclitus sering dihubungkan dengan gagasan tentang perubahan masyarakat dan sebaliknya pemikiran Permenides sering dikaitkan dengan gagasan yang menyangkut kestabilan masyarakat. Tetapi terlepas dari adanya perbedaan pandangan dari kedua filosof Yunani jaman Pra-Sokratik itu, apa yang dikemukakan oleh Heraclitus ini menunjukkan bahwa gagasan atau konsep perubahan sosial itu sesunguhnya memiliki akar pemikiran sejarah yang sangat panjang, dan terus berkembang hingga dewasa ini.

Tetapi dalam konteks pemikiran yang berkembang sekarang, apa yang dimaksudkan dengan konsep perubahan sosial (social change) itu sendiri? Wilbert Moore, sebagaimana dikutip oleh Laurer (2003), mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan penting dari struktur sosial, dan yang dimaksud dengan struktur sosial adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial. Selanjutnya dalam pengertian struktur

(2)

34

sosial dimasukkan pula ekspresi seperti norma, nilai dan fenomena kultural. Sehingga dengan demikian pengertian perubahan sosial bisa pula mencakup didalamnya pengertian perubahan kultural.

Soemardjan (2009: xxiv-xxvii), dalam bukunya berjudul “Perubahan Sosial di Yogyakarta” mengemukakan pula bahwa perubahan sosial pada dasarnya sulit dipisahkan dengan perubahan kultural atau budaya. Menurut Soemardjan, perbedaan antara perubahan sosial dengan perubahan budaya bahkan hanya mungkin dilihat hanya pada tingkat analisa. Tetapi dalam praktiknya sangat sulit untuk membedakan antara yang satu (perubahan sosial) dan yang lainnya (perubahan budaya).

Sebagai tambahan, pengertian “penting” dari kata “perubahan sosial yang penting” seperti disebutkan di atas, mengacu pada situasi atau keadaan bahwa perubahan yang dimaksudkan membawa konsekuensi tertentu yang dianggap atau dinilai penting terhadap struktur sosial atau bahkan sistem sosial secara lebih luas. Oleh karena itu pula pengertian penting di sini juga mengandung dimensi penilaian dan pendapat (judgments) dari para pihak yang terlibat langsung atau tidak langsung dengan proses perubahan yang bersangkutan. Termasuk dalam hal ini adalah mereka yang mengamati, mengkaji, atau meneliti proses perubahan sosial tersebut. Dengan pemahaman seperti ini maka permasalahan perubahan sosial pada intinya bukanlah terutama permasalahan “ada atau tidak ada” perubahan, tetapi yang lebih penting adalah seberapa jauh perubahan sosial itu terjadi, bagaimana arahnya, dan tentu saja pada akhirnya, apa konsekuensi dan hasilnya terhadap perkembangan struktur sosial yang ada.

Sementara itu, sama seperti Wilbert Moore, Harper (1989), dalam bukunya berjudul “Exploring Social Change”, juga mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan penting dalam struktur sosial. Dalam hal ini, definisi tentang struktur sosial diartikan dalam pengertian yang hampir sama bagi keduanya. Kalau Wilbert More, misalnya, mengartikan struktur sosial sebagai pola-pola perilaku dan interaksi sosial, maka Harper mengartikan struktur sosial sebagai satu jaringan relasi sosial yang bersifat tetap di mana didalamnya terjadi

(3)

35 interaksi yang rutin dan berulang (a persistent network of social relationships in which interaction has become routine and repetitive). Di sini bisa dilihat bahwa yang dimaksud dengan satu jaringan relasi sosial yang bersifat tetap hampir sepadan artinya dengan pola-pola perilaku (yang bersifat tetap, tentunya); dan interaksi yang rutin dan berulang hampir sama maksudnya dengan pengertian interaksi sosial menurut Wilbert Moore.

Hampir sejalan dengan Haper, Schulte-Nordhlot (1971: 9-18) memaknai struktur sosial pertama kali sebagai “sesuatu yang bersifat permanen” (structure denotes something permanent). Sesuatu yang bersifat permanen itu mengacu pada tindakan manusia (human actions). Selanjutnya menurut Schulte-Nordhlot, “the essensial idea is parts or components are arranged in an orderly way to constitute what may be comprehended as some kind of systematic unity”. Atas dasar pengertian ini, Schulte-Nordholt (1971: 11) dalam bukunya berjudul “The Political System of Atony Timor”, memberikan definisi kata struktur (mengikuti pengertian yang diberikan oleh Marion Levy Jr.) sebagai “structure is a pattern, i.e. an observable uniformity of actions or operations”.

Dalam hubungannya dengan masalah perubahan struktur sosial ini (perubahan sosial), menurut Harper (1989) ada beberapa tipologinya. Pertama, adanya perubahan dalam personal di dalam struktur sosial yang ada, yaitu dengan hadirnya orang-orang (anggota) baru dan/atau hilangnya orang-orang (anggota) lama dalam struktur yang ada. Ini dalam pengertian bahwa keluar atau masuknya elemen-elemen anggota dari suatu struktur sosial akan mendorong terjadinya suatu perubahan sosial. Dalam konteks yang luas, misalnya, suatu komunitas (community) atau masyarakat (society), bila komposisi penduduknya berubah maka struktur sosialnya akan berubah. Kedua, adanya perubahan relasi (hubungan) dalam struktur sosial. Dalam hal ini termasuk, misalnya, perubahan dalam struktur kekuasaan (structure of power), otoritas (authority), dan komunikasi dalam struktur sosial yang ada. Ketiga, adanya perubahan fungsi dalam struktur, yaitu menyangkut apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Keempat, adanya perubahan dalam hubungan (relationship) antara

(4)

36

struktur-struktur yang berbeda. Ini menyangkut hubungan antara struktur sosial tertentu dengan struktur sosial lainnya di luar struktur yang disebutkan pertama. Kelima, adanya perubahan dalam bentuk munculnya suatu struktur sosial baru dari struktur sosial yang lama. Struktur sosial lama ini mungkin pada akhirnya memudar atau hilang sama sekali; atau dalam beberapa kasus malah terintegrasi dengan struktur sosial yang baru terbentuk itu.

Selain tipologi perubahan sosial sebagaimana disebutkan di atas, Harper dalam bukunya yang sama juga mengemukakan adanya lima dimensi masalah perubahan sosial. Dimensi pertama berhubungan dengan tingkatan perubahan (levels of change); dimensi kedua berhubungan dengan kerangka waktu (time frames); dimensi ketiga berhubungan dengan penyebab perubahan (causes of change); dimensi keempat berhubungan dengan agensi (agency) atau bagaimana perubahan yang terjadi itu dihubungkan dengan intensi atau niat pelakunya atau aktor (manusia); dimensi kelima berhubungan dengan beberapa istilah berbeda yang berkaitan erat dengan konsep perubahan yaitu, misalnya, antara istilah proses, kemajuan (progress), perkembangan (evolution) dan pembangunan (development).

Dimensi pertama, perubahan terjadi dalam berbagai tingkat. Di sini pertanyaannya adalah apa dan unit struktural mana yang berubah? Unit struktural ini bisa mencakup satuan unit yang kecil, seperti misalnya kelompok kecil (small group), sampai sistem yang besar seperti misalnya masyarakat (society), termasuk tatanan masyarakat global. Dalam kaitannya dengan pengertian unit struktur dan sistem ini, Schulte-Nordhlot (1971: 15) mengemukakan:” There are a large number of structures within particular aspect of a culture, and they combnine to form a system”. Jadi dengan demikian, sistem itu pada dasarnya tersusun atas serangkaian struktur-struktur atau unit-unit struktur. Berikut tabel yang mengilustrasikan berbagai tingkatan unit struktur (dari struktur yang kecil hingga serangkaian struktur yang membentuk sistem) dan perubahan yang mungkin terjadi.

(5)

37 Tabel 3: Tingkatan Unit Struktur dan Kemungkina Perubahan

Unit Struktur Kemungkinan Perubahan

Kelompok Kecil (Small Grup) Peranan, struktur komunikasi, pengaruh, persekongkolan

Organisasi (Organizations) Struktur, hirarkis, otoritas, produktivitas Institusi (Institutions) Ekonomi, agama, pendidikan, keluarga Masyarakat (Society) Stratifikasi, demografi, kekuasaan

Global (Global) Evolusi, hubungan internasional, modernisasi, pembangunan

Sumber: Harper, Charles L. Exploring Social Change. Prentice-Hall Inc. USA, New Jersey, 1989. Halaman 6.

Sejajar dengan apa yang dikemukakan oleh Harper, Sztompka (2005), menggambarkan tingkat perubahan sosial terjadi dalam tiga realitas sosial: makro, meso, dan mikro. Proses makro terjadi di tingkat yang paling luas, yakni tingkatan masyarakat global, bangsa, kawasan atau kelompok etnik. Proses makro ini, menurut Sztompka, rentang waktunya panjang (long-term). Proses meso mencakup kelompok besar, komunitas, asosiasi, partai politik, birokrasi, dan lain sebagainya. Proses mikro terjadi dalam kehidupan sehari-hari (everyday life) individu atau dalam kelompok kecil seperti keluarga dan lingkungan keluarga.

Dimensi kedua, kerangka waktu (time frame) perubahan sosial. Dalam konteks ini, setiap proses perubahan sosial memang harus dibayangkan sebagai sesuatu hal yang terjadi dalam jangka kurun waktu tertentu. Kerangka waktu dalam proses perubahan sosial itu bisa berdimensi jangka pendek (short-term) hingga jangka panjang ( long-term), tergantung dari sudut pandang apa dan mana proses perubahan sosial itu diamati dan dicermati. Berkaitan dengan hal ini agaknya perlu menggarisbawahi pendapat Harper (1989):

”To some extent whether we focus on the long term or short term is a function of our interest. It is legitimate to focus on short-term change, but we need to be aware of how this is embedded in long-term change”.

Jadi soal jangka pendek atau jangka panjang lebih banyak menyangkut masalah fokus perhatian saja, tetapi proses sosialnya secara keseluruhan seringkali justru berhubungan. Namun, terlepas dari persoalan apakah

(6)

38

perubahan terjadi dalam jangka pendek atau jangka panjang, yang pasti perubahan sosial selalu menyangkut perbedaan keadaan/kondisi yang diamati antara sebelum dan sesudah jangka waktu tertentu; untuk dapat menyatakan perbedaan tersebut maka ciri-ciri awal unit analisis harus diketahui dengan cermat, meski keadaannya terus berubah (Sztompka, 2005).

Disamping itu karena setiap proses perubahan sosial memiliki kerangka waktu, maka keseluruhan prosesnya juga sering kali dihubungkan dengan perspektif sejarah. Bahkan lebih dari itu, seringkali kondisi perubahan sosial yang terjadi pada masa kini hanya bisa dibaca secara lebih terang dan komprehensif bila dalam analisanya secara keseluruhan melibatkan kajian dengan perspektif sejarah atau historis (Holton, 2003: 27-38). Itulah sebabnya, studi sosiologi perubahan sosial dalam praktiknya sering memanfaatkan analisa dari sudut pandang sejarah atau historis. Menurut Neuman (2003: 402-437), metodologi yang sering digunakan dalam hal ini adalah analisa komparatif sejarah (historical comparative research).

Dimensi ketiga, yaitu berhubungan dengan sebab-sebab perubahan. Dalam hal ini proses perubahan bisa disebabkan oleh: faktor-faktor eksogen, yaitu faktor-faktor penyebab dari luar struktur; atau faktor-faktor endogen, yaitu faktor-faktor penyebab dari dalam struktur itu sendiri. Faktor eksogen dalam perubahan sosial, misalnya, ide, pengetahuan, teknologi atau kebijakan sosial-politik dari luar struktur, dan lain sebagainya. Sedangkan faktor endogen bisa saja dalam bentuk kompetisi atau persaingan kekuasaan (power) yang mempengaruhi kontrol terhadap kekuasaan dalam struktur sosial, perubahan komposisi dan peran elemen-elemen anggota dalam struktur sosial, dan lain sebagainya. Dalam mengkaji proses perubahan sosial, seringkali penyebab-penyebab (causes) muncul dari dua faktor sekaligus, yaitu eksogen dan endogen. Smelser (1992: 369-393, misalnya, menyatakan bahwa proses endogen dan eksogen seringkali berjalan secara serentak dan prosesnya berlangsung secara dialektis.

Dimensi keempat, bagaimana kaitan antara perubahan struktur sosial dengan intensi/niat pelaku/aktor atau dalam sosiologis dikenal

(7)

39 dengan istilah atau konsep agensi (agency). Berkaitan dengan intensi agensi ini maka dalam proses perubahan sosial dikenal dua hal, yaitu: (1) perubahan sosial merupakan proses yang dikehendaki sejak awal (intended) dan (2) perubahan sosial merupakan suatu proses yang tidak dikehendaki (unintended) atau prosesnya cenderung terjadi secara autonomous. Dalam realitanya, antara proses dikehendaki dan tidak dikehendaki seringkali berlangsung secara tumpang tindih. Misalnya awalnya dikehendaki tapi prosesnya berkembang ke arah yang tidak dikehendaki, atau sebaliknya. Oleh karena itu tidak jarang kedua proses tersebut fenomenanya muncul berbarengan dalam suatu proses perubahan sosial, meski pada awal mungkin kelihatan jelas apakah dikehendaki atau tidak dikehendaki.

Sebagai catatan perlu dikemukakan di sini perbedaan antara konsep pelaku/aktor (actor), tindakan/aksi (action) dan agensi (agency). Tindakan/aksi (action) mengacu pada tindakan dari manusia (practices of human being), yaitu apa yang mereka lakukan. Manusia yang bertindak itu adalah aktor, yang dalam hal ini tidak saja bisa sebagai individual tetapi juga kolektif (collective actors). Sedangkan agensi (agency) adalah elemen dinamis dalam diri aktor yang bisa mewujudkan (translates) kapasitas potensi kedalam suatu tindakan aktual (aktual practice). Konsep aksi/tindakan dan agensi ini dibedakan dengan konsep struktur sosial dalam hal bahwa struktur sosial bisa dilihat sebagai suatu kondisi sosial yang bisa menghambat (constraining) dan/atau mendorong terjadinya suatu tindakan oleh pelaku/aktor (Scot, 2006).

Dalam konteks ini, sebagaimana disinggung pada bagian selanjutnya dari tulisan ini, ada beberapa pendapat dari para teoritisi sosial tentang relasi antara agensi dan struktur, yaitu mulai dari yang mendikotomikan konsep agensi dan struktur dengan mengedepankan pada struktur ataupun agensi; atau yang mengintegrasikan konsep agensi dan struktur dengan tidak melihat secara berat sebelah pada struktur maupun agensi. Yang pertama bisa dilihat dari teori-teori yang termasuk dalam aliran strukturalis (perspektif strukturalis) sampai interaksionisme simbolik (perspektif intepretatif); yang kedua bisa

(8)

40

dicontohkan dari teori strukturasi Anthony Giddens atau pemikiran strukturalisme konstuktivis Pierre Bourdieu.

Dimensi kelima menyangkut hubungan antara konsep perubahan sosial (social change) dengan konsep yang lain yang kurang lebih bisa disepadankan (dengan konsep perubahan sosial) tetapi yang secara instrinsik agak berbeda arti dan maknanya. Ini misalnya mencakup perbedaan antara konsep perubahan (change) dengan proses (process), kemajuan (progress), evolusi (evolution), dan pembangunan (development). Seperti diketahui, dalam praktiknya konsep perubahan seringkali dipakai atau muncul secara bersamaan dengan konsep proses, kemajuan, evolusi dan pembangunan. Masalahnya, apa perbedaan makna dari masing-masing konsep itu?

Konsep proses, misalnya, merujuk pada berbagai aspek perilaku manusia (sebagai aktor), yang konotasinya lebih bersifat suatu tindakan yang aktif dan dinamis. Tetapi kalau dengan konsep perubahan sosial, suatu proses bisa arahnya berusaha untuk memelihara stabilitas sosial atau sebaliknya mendorong perubahan sosial. Sementara konsep kemajuan sering dihubungkan dengan perubahan sosial yang arahnya menuju ke situasi sosial tertentu yang secara kualitatif dianggap lebih baik. Tetapi kata “baik” di sini tentu saja mengandung suatu muatan nilai (value laden). Persoalannya: baik menurut siapa? Tentu ini bisa diperdebatkan karena kata “baik” adalah istilah yang normatif.

Begitupula konsep evolusi sering dihubungkan dengan suatu proses perubahan sosial ke arah yang lebih maju (progress), dalam arti kemajuan dari situasi yang sederhana menuju yang lebih komplek, yang prosesnya sering dianggap berlangsung secara linier, searah. Salah satu paradigma teori perubahan sosial sebagaimana nanti akan diuraikan dalam bagian di bawah ini, bahkan menggunakan istilah evolusi untuk menunjukkan suatu proses perubahan sosial ke arah struktur sosial yang lebih maju, lebih komplek, lebih rumit tatanan-sosialnya. Misalnya, pertumbuhan dan perkembangan masyarakat kota (urban) yang berciri modern dari semula masyarakat desa (rural) yang dianggap tradisional. Atau proses evolusi masyarakat di negara sedang berkembang (developing countries) yang berciri tradisional menuju

(9)

41 masyarakat modern seperti di negara maju (developed countries). Hal yang hampir sama berlaku untuk konsep pembangunan (development), yang seringkali dikonotasikan dengan proses perubahan atau transformasi sosial, ekonomi dan politik yang berlangsung di negara-negara berkembang, yang prosesnya kerap mengacu pada keadaan negara-negara maju Barat.

Ada catatan kritis yang perlu dikemukakan berkaitan dengan konsep pembangunan (development) dihubungkan dengan proses perubahan atau transformasi sosial, yang konsepnya seringkali didasarkan pada asumsi bahwa semua masyarakat akan berubah menuju ke arah yang sama. Masyarakat yang bersangkutan dianggap akan menapak naik anak tangga yang sama meskipun dengan kecepatan yang berbeda-beda. Di ujung akhir perjalanan menaiki anak tangga itu terbayangkan sebuah tatanan masyarakat maju yang sukses menjalankan pembangunannya, yaitu masyarakat Barat. Ini artinya realitas sosial masyarakat yang sesungguhnya heterogen akan berubah menjadi homogen lantaran proses perubahan sosial dalam konteks kemajuan (progress) atau pembangunan (development) seperti yang dimaksudkan di atas itu. Pandangan homogenitas tunggal ini pada dasarnya menggariskan urutan kemajuan masyarakat (di dunia) dari yang paling sederhana hingga ke tahap yang paling maju. Suatu pandangan, yang menurut Sztompka (2005), memiliki kecenderungan etnosentrisme atau Barat-sentrisme, atau lebih khusus Eropa-sentrisme. Karena bagi orang Eropa Barat, tahap paling maju itu berarti “mereka” sendiri. Tahap maju atau paling maju itu kerapkali dipadankan dengan istilah modern, yang kemudian dari pengertiaan ini, maka tidak jarang konsep modernisasi dianggap memiliki kecenderungan etnosentrisme.

Pemikiran-pemikiran tentang perubahan sosial yang berparadigma modernitas akhir (late modernity) atau post-modernitas (post-modernity) mengkritik keras pandangan-pandangan tentang perubahan sosial yang berkecenderungan etnosentris ini (Brian, 2007). Mereka, secara umum menentang pandangan yang meniscayakan arah tunggal atau homogen perkembangan masyarakat dalam proses perubahan atau transformasi sosial. Sebaliknya mereka melihat bahwa

(10)

42

terbuka kemungkinan bahwa masyarakat akan berkembang ke arah yang lebih heterogen karena potensi kekuatan otonomi dan identitas yang dimilikinya (Johnson, 2009: 79-108).

Meskipun semua konsep yang disebutkan di atas sering dihubungkan dengan konsep perubahan sosial, sesungguhnya konsep perubahan sosial itu sendiri adalah suatu konsep yang luas dan generik, sehingga tidak bisa dihubungkan secara khusus hanya dengan salah satu konsep-konsep tersebut di atas. Posisinya tergantung pada perspektif teoritiknya, sebagaimana akan diuraikan dalam bagian berikut ini. Sebelum menguraikan pandangan mengenai beberapa perspektif teori perubahan sosial, perlu dikemukakan di sini bahwa secara garis besar ada dua pendekatan utama dalam melihat dan menjelaskan proses perubahan sosial. Dua pendekatan itu adalah: pertama, yang menekankan faktor-faktor materialistik; dan kedua, yang menitikberatkan pada faktor-faktor idealistik.

Mereka yang menekankan pada faktor-faktor materialistik, misalnya, melihat bahwa penyebab utama dari suatu proses perubahan sosial (dan kebudayaan) adalah kondisi-kondisi material yang ada dan berkembang dalam masyarakat yang sedang mengalami proses perubahan tersebut. Kondisi-kondisi material ini bisa dalam bentuk perkembangan ekonomi, khususnya relasi produksi ekonomi (mode of economic) atau kemajuan teknologi yang berkembang di masyarakat. Penganut pendekatan materialistik ini, misalnya, percaya bahwa perubahan teknologi (baru) dan perubahan pola-pola hubungan produksi (baru) akan merubah interaksi sosial, organisasi sosial, nilai, sistem kepercayaan, norma, dan akhirnya perubahan masyarakat.

Tokoh paling depan yang menekankan faktor-faktor materialistik sebagai penyebab utama perubahan sosial adalah Karl Marx, yang menurut Harper (1989), antara lain pernah mengemukakan,”the wind-mill gives you a society with the feudal lord, the steam-mill gives the society with the industrial capitalist”. Dengan kalimat itu, Marx ingin mengatakan bahwa teknologi dan pola produksi ekonomi merupakan faktor paling penting dalam merubah dan membentuk tatanan masyarakat baru. Karl Marx sendiri

(11)

43 berpendapat bahwa evolusi masyarakat berlangsung melalui beberapa tahapan sejarah masyarakat, yaitu dari masyarakat komunis primitif, masyarakat feodal, masyarakat kapitalis, dan akhirnya masyarakat sosialis/komunism modern. Terkecuali pada masyarakat komunis primitif, semua sejarah masyarakat dimasa lalu, secara tak terelakkan, mengandung benih-benih pertentangan atau antagonisme dan konflik, yaitu antara kelas menindas dan kelas tertindas. Benih-benih antagonisme itu sendiri ada karena pola hubungan produksi (mode of production) yang terjadi dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan, mulai dari masyarakat feodal hingga masyarakat kapitalis, adalah eksploitatif. Konflik antara kelas, yang menindas dan yang ditindas itu lah yang kemudian menjadi sumber dari proses perubahan sosial, sampai akhirnya, dalam bayangan Marx, terbentuk masyarakat tanpa kelas, yaitu masyarakat sosialis/komunis modern (Johnson, 2008).

Tokoh lain dalam sosiologi yang memiliki pandangan materialistik adalah William Ogburn, yang pada tahun 1930-an pernah mengulas secara luas dalam berbagai karyanya tentang pengaruh perkembangan teknologi (baru) terhadap perubahan sosial yang dialami masyarakat Amerika. Berkaitan dengan perkembangan teknologi (baru) yang diberi istilah kebudayaan material ini, secara umum Ogburn, sebagaimana dikutip oleh Laeyendecker (1991), berpendapat bahwa seringkali perubahan aspek-aspek kebudayaan material ini berlangsung lebih cepat ketimbang perubahan aspek-aspek kebudayaan immaterial, seperti ide, nilai, norma atau idiologi. Sebagai akibatnya maka dalam proses perubahan sosial terjadi suatu gejala yang oleh Ogburn disebut sebagai “cultural lag” atau ketinggalan budaya, yaitu jarak ketinggalan antara budaya material dan budaya immaterial. Dalam proses perubahan sosial, fenomena “cultural lag” atau ketinggalan budaya sering menjadi sumber dari berbagai ketegangan (tension) sosial di masyarakat, yang kalau tidak mampu diantisipasi berpotensi menjadi konflik. Oleh karena itu, menurut Ogburn, perlu dilakukan penyesuaian. Sebelumnya, Ogburn menjelaskan bahwa proses perubahan sosial, tertutama yang didorong oleh hadirnya kebudayaan material, berlangsung melalui empat tahapan: penemuan, akumulasi (penumpukan), difusi (penyebaran), dan penyesuaian.

(12)

44

Sementara itu mereka yang menekankan pada pada faktor-faktor idialistik melihat bahwa daya dorong proses perubahan sosial terutama berasal dari kondisi-kondisi ideasional yang ada dan berkembang di masyarakat. Kondisi-kondisi ideasional ini bisa berbentuk, ide-ide baru, idiologi, atau sistem kepercayaan, yang semuanya itu memberikan landasan atau legitimasi bagi tindakan manusia sebagai aktor/pelaku perubahan sosial. Tokoh klasik paling penting yang memiliki pandangan seperti ini adalah Max Weber. Dalam karya monumentalnya tentang Etika Protestan, Weber menunjukkan bahwa perkembangan masyarakat modern kapitalis terutama didorong oleh kekuatan ide yang terkandung dalam ajaran etika Protestan. Dalam etika Protestan, masyarakat didorong untuk hendaknya bersikap asketis, yaitu dalam hidup di dunia ini antara lain harus bekerja keras, hemat, menjauhi konsumsi yang tidak perlu dan produktif. Cara hidup yang disebut Weber, “wordly asceticism”, yang kemudian mendorong perkembangan akumulasi kapital, memperkuat investasi dan perkembangan ekonomi, hingga akhirnya mendorong berkembangnya kapitalisme atau masyarakat kapitalis modern (Johnson, 2008). Jadi perubahan sosial menuju masyarakat kapitalisme modern mungkin terjadi karena berkembangnya sikap asketis yang bersumber dari nilai-nilai etika (aspek ideasional).

Pemikiran Weber yang memandang agama (Protestan) memiliki peranan besar dalam proses perubahan sosial ini kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh Guenter Lewy. Ia mendokumentasikan contoh-contoh yang ada dalam sejarah, yang menunjukkan bagaimana nilai-nilai (etis) yang diajarkan oleh berbagai agama ternyata juga memiliki peranan penting dalam proses perubahan sosial. Dalam dokumentasinya, ia menyebutkan antara lain contoh-contoh pemberotakan kaum Puritan di Inggris, kebangkitan kembali Islam yang didorong oleh para pengikut Mahdi di Sudan pada era 1880-an, pemberontakan Taiping dan Boxer di China awal abad 20. Seperti halnya Weber, Lewy bukannya mengabaikan realitas kondisi material dalam proses perbuahan sosial, tetapi sulit memahami dan menjelaskan perubahan sosial tanpa mempertimbangkan peranan independen dari nilai-nilai agama dan otoritas agama (Harper, 1989).

(13)

45 Tentu saja dalam perkembangannya sekarang ini agak sulit mendikotomikan secara kasar bahwa masing-masing faktor, materialis atau ideasional, memiliki pengaruh dominan dibalik proses perubahan sosial masyarakat. Seringkali yang terjadi justru kedua-duanya saling berinteraksi menjadi pendorong dan/atau penyebab dari proses perubahan sosial; yang prosesnya seringkali berjalan serentak ataupun berkesinambungan sehingga susah dibedakan secara dikotomis. Memang, pengaruh kebudayaan material dan kebudayaan immaterial, meminjam istilah Ogburn, sulit dibedakan, karena prosesnya dalam perubahan sosial sangat mungkin tumpang tindih, saling jalin menjalin satu dengan yang lainnya. Apalagi dalam perkembangan masyarakat sekarang yang semakin komplek dan rumit jalinan struktur sosialnya, sehingga menjadi sulit membedakan hal yang berciri material dan immaterial.

Itulah sebabnya juga para pemikir teori sosial (social theory) kontemporer, khususnya yang kritis terhadap teori sosial modern, berusaha untuk mengitegrasikan dikotomi faktor penyebab perubahan sosial tersebut. Para pemikir ini umumnya berasal dari mereka yang condong mengikuti perspektif teori-teori sosial kontemporer seperti modernitas akhir (late modernity) atau pada sisi yang lebih jauh, post-modern (post-modernity). Dalam konteks perkembangan teori sosiologi, hal yang hampir sama juga terjadi, melalui integrasi pendekatan teori makro-mikro/mikro-makro, termasuk di dalamnya integrasi dari suatu dikotomi antara struktur dan agensi (Ritzer, 2003: 481- 483).

Di luar penjelasan mengenai faktor-faktor material dan ideasional sebagaimana disebutkan di atas, teori perubahan sosial juga mengenal beberapa perspektif model pola dan arah perubahan, yaitu: model linier; model siklikal atau spiral; dan akhirnya model dialektik. Model linier menekankan pada suatu argumentasi bahwa perubahan sosial itu pada dasarnya memiliki sifat kumulatif, tidak berulang (nonrepetitive), dan biasanya permanen dalam arti perubahan tidak pernah kembali kepada titik semula. Model linier ini seringpula disebut sebagai model evolusi, yaitu menjelaskan suatu proses perubahan sosial dalam pengertian bahwa proses dan arahnya cenderung berlangsung

(14)

46

secara diakronik (historis) atau melewati suatu tahapan awal dan tahapan akhir yang berjalan secara linier dan evolusionis. Pandangan klasik teori perubahan sosial model linier atau evolusionis ini tercermin dalam karya-karya para pemikir teori sosial seperti Auguste Comte (1798-1857) dengan gagasan tentang evolusi masyarakat yang melalui tahapan-tahapan berfikir yang kemudian mendasari perkembangan masyarakat, yaitu mulai tahap teologis, metafisis dan positivis. Menurut Comte, kekuatan pendorong perubahan sosial secara historis terdapat dalam pikiran dan semangat manusia; dan dengan semangat itulah manusia kemudian mampu memahami realitas sosialnya (Laeyendecker, 1991: 143-156; Ritzer, 2003: 13-40).

Dalam tahap teologis manusia memohon bantuan kekuatan gaib (supernatural) dan segala kejadian di dunia dianggap sebagai kehendak kekuatan gaib itu. Pada tahap metafisik, keberadaan manusia mulai menggantikan hal-hal yang dianggap sebagai kehendak gaib dan mulai berfikir mengenai penyebab abstrak. Dalam tahap ini, prinsip-prinsip fundamental tentang realitas dipahami dengan nalar yang abstrak; dan gagasan-gagasan tentang kedaulatan, kekuasaan hukum dan pemerintahan mulai muncul dalam kehidupan sosial-politik. Tahap ketiga, tahap positivis, mulai muncul setelah manusia menyerahkan diri pada hukum berdasarkan bukti empiris, pengamatan, perbandingan dan eksperimen. Inilah jaman ilmu pengetahuan dan industri yang hasil-hasilnya maju pesat bersamaan dengan perkembangan masyarakat modern.

Pemikir klasik di luar Comte antara lain adalah Emile Durkheim dan Ferdinand Tonies. Durkheim dikenal dengan pemikirannya yang sangat terkenal tentang perkembangan masyarakat yang berjalan secara linier dan evolusionis dari mulai tahap masyarakat mekanis ke organis. Pembagian perkembangan masyarakat yang dikotomis ini berdasarkan perbedaan kualitas ikatan sosial dalam struktur sosial masyarakat, yaitu tahap mekanis karena adanya ikatan solidaritas mekanis dalam masyarakat; dan munculnya tahap organis karena tumbuhnya ikatan solidaritas organis dalam masyarakat. Solidaritas mekanis berakar dalam kesamaan fungsi dan tugas yang yang tidak dibeda-bedakan; solidaritas organis berakar dalam peran dan

(15)

47 pekerjaan yang sangat beragam, kerjasama, saling melengkapi dan saling memerlukan (Sztompka, 2005: 115-131). Yang terakhir ini, oleh Durkheim, dianggap menjadi ciri dari masyarakat yang sudah berkembang menjadi modern.

Hampir sejajar dengan pemikiran Durkheim adalah pemikiran Tonnies tentang perkembangan masyarakat yang evolusionis dari Gemeinschaft ke Gesellschaft. Gemeinschaft atau sering dipadankan dengan komunitas (community) ditandai oleh ikatan sosial yang bersifat pribadi, akrab, dan tatap muka (hubungan primer). Oleh karena proses perubahan sosial, ciri-ciri komunitas ini berubah menjadi Gessellchaft atau masyarakat modern (society) yang cirinya adalah impersonal, kurang akrab (hal ini karena tersedianya instrumen mediasi dan komunikasi tidak lagi tatap muka tetapi sekunder). Keunikan dari Tonnies adalah sikap kritisnya terhadap keberadaan masyarakat modern, yang hal itu muncul karena sikap nostalgianya setelah memudarnya kehidupan masyarakat komunitas. Dalam bentuknya yang lain, orang sering mengasosiasikan kehidupan masyarakat Gemeinschaft dengan kehidupan masyarakat desa dan kehidupan Gesellschaft dengan kehidupan masyarakat kota. Dalam konteks ini masyarakat kota dianggap sebagai perkembangan evolusionis dari masyarakat desa.

Sekedar catatan, dalam hubungannya dengan perkembangan masyarakat di Bali, tempat wilayah penelitian ini akan dilakukan, ciri Gesselschaft dan Gemeinsschaft memang tidak jarang agak sulit dibedakan. Dalam relasi masyarakat desa – kota di Bali, seringkali kedua ciri itu sama-sama ada dan saling tumpang tindih, meskipun memang masih tampak di sana sini sifat dominan dari masing-masing ciri, yaitu apakah Gesselchaft untuk yang ada di kota ataupun Gemeinschaft untuk yang ada di desa. Realitas ini kelihatan cukup menonjol di Bali karena proses industrialisasi jasa pariwisata memang sudah menembus dalam hingga ke wilayah-wilayah perdesaan di Bali.

Selain Durkheim dan Tonnies, teoritisi perubahan sosial lain dari masa lebih kemudian, yang mungkin bisa digolongkan ke aliran model linier atau evolusionis ini adalah Robert Redfield dan Gerhard

(16)

48

Lenski. Redfield, misalnya, menggagas teori perubahan sosial yang menggambarkan adanya transisi dari masyarakat “folk” ke masyarakat “urban”; suatu pendekatan yang mirip dengan apa yang telah dikemukakan Tonnies di atas. Kalau ditelusuri secara ringkas, keduanya menggambarkan pola dan arah perubahan sosial yang terjadi secara luas dalam masyarakat, yang dalam hal ini melibatkan suatu proses transisi dari masyarakat sederhana yang belum “terdiferensiasi” dan yang relatif homogen susunan sosialnya menuju dan menjadi masyarakat yang modern dengan tingkat diferensiasi struktur yang tinggi dengan susunan sosialnya yang heterogen.

Sedangkan Gerhard Lenski mengembangkan teori evolusi yang luas, yang didalamnya menggambarkan tipe-tipe perkembangan masyarakat dari masyarakat berburu dan pengumpul (hunting and gathering), penggembala dan berkebun, pertanian, dan akhirnya industri. Menurut Lenski, proses transisi dari masing-masing tipe masyarakat itu didasarkan pada munculnya inovasi teknologi dan perkembangan cara berproduksi. Yang semuanya itu didorong antara lain oleh desakan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang lebih luas; yang untuk itu memang dibutuhkan lebih banyak lagi surplus produksi untuk bisa melayani keperluan masyarakat yang menjadi lebih komplek. Dari tahapan-tahapan pekembangan (evolusi) masyarakat yang ada itu, Lenski mengemukakan bahwa masyarakat industri, bagaimanapun lebih menunjukkan sifat “kesamaan” (equalitarian) dibandingkan dengan tipe masyarakat pertanian/agraris. Ini khususnya karena di dalam masyarakat industri, hak-hak politik dan ekonomi umumnya berkembang lebih maju, dibandingkan dengan yang ada di masyarakat pertanian/agraris.

Perlu ditambahkan di sini bahwa model linier sebagaimana dijelaskan di atas secara substansi memiliki dua variasi model, yaitu apa yang disebut dengan unilinier dan multilinier. Disebut uniliner bila proses perubahan sosial melewati serangkian rentetan untuk akhirnya mengikuti sasaran tunggal. Ilustrasi perubahan sosial model linier yang telah disebutkan di atas, lebih banyak mengikuti variasi model uniliner, yaitu pada akhirnya masyarakat bergerak menuju ke satu pola

(17)

49 dan arah tertentu, yaitu masyarakat modern yang maju. Jadi menuju ke satu pola dan arah yang hampir sama; hanya mungkin yang menjadi persoalan adalah kecepatan (lamanya waktu) untuk bisa mencapai tujuan yang sama tersebut. Sebaliknya bila prosesnya mengikuti sejumlah jalan alternatif, melompati beberapa tahap, menggantikan tahap-tahap lain atau menambahkan dengan tahap yang tak biasa terjadi disebut multilinier. Dalam kenyataannya, terutama yang berlangsung di masyarakat sedang berkembang yang umumnya memiliki karakter plural, seperti misalnya Indonesia ini, variasi multilinier ini mungkin lebih relevan untuk bisa menjelaskan perkembangan realitas sosial yang ada.

Selain model linier, teori perubahan sosial juga mengenal perspektif model siklikal atau spiral. History does repeat itself, sejarah selalu berulang. Kata-kata ini mungkin bisa menggambarkan keadaan bagaimana proses perubahan sosial berlangsung secara siklikal. Dalam model siklikal ini, sejarah perkembangan masyarakat memang dilihat sebagai suatu proses yang berulang, bukan garis lurus. Keadaan perkembangannya dalam satu titik tertentu ada kalanya melemah, sepertinya kembali ke proses yang mirip situasi awal dan bukan berkembang (maju) secara linier tanpa batas. Sebagaimana diungkapkan oleh Aristoteles: “Sesuatu yang telah ada adalah sesuatu yang akan ada; sesuatu yang telah dilakukan adalah sesuatu yang akan dilakukan; dan tidak ada sesuatu yang baru di dunia”. Maknanya: sejarah memang berulang!

Teoritisi perubahan sosial yang mewakili perspektif model siklikal ini, antara lain adalah Oswald Spengler (1880-1936), Arnold Toynbee (1889-1975) dan Pitirim Sorokin (1889-1968). Mengikuti model siklikal, Spengler dalam bukunya berjudul “The Decline of the West” yang terbit tahun 1932, mengemukakan bahwa peradaban masyarakat (civilization) di Eropa Barat pada saat itu sedang menghadapi tahun-tahun senjakala dan sangat mungkin digantikan oleh bentuk peradaban baru yang lebih kokoh. Pandangan Spengler tentang merosotnya peradaban Barat ini dipengaruhi oleh situasi sosial-politik pada waktu itu, di mana di Eropa Barat baru saja menghadapi Perang Dunia I yang prosesnya telah meluruhkan peradaban yang ada.

(18)

50

Pikiran Spengler ini mirip dengan apa yang dikemukakan oleh Toynbee yang melihat kemungkinan terjadinya revitalisasi dari situasi kemerosotan peradaban karena berlangsungnya penguatan kembali daya kreatif para elit masyarakat. Penguatan kembali ini merespon tantangan kemerosotan peradaban – inilah yang disebut teori tantangan – respon, yang kecenderungannya memang siklikal.

Memang, Toynbe menganggap bahwa peradaban itu muncul karena respon atas tantangan. Dan tantangan itu direspon oleh para elit yang memimpin masyarakat; sehingga pertumbuhan peradaban tergantung pada parilaku minoritas elit yang kreatif. Berkaitan dengan ini, Toynbe (Laurer, 2003: 52), mengemukakan:

”Seluruh tindakan sosial adalah karya individu-individu pencipta, atau yang terbanyak karya minoritas (elit) kreatif. … namun kebanyakan umat manusia cenderung tetap terperosok ke dalam cara-cara hidup lama. Karena itu tugas minoritas kreatif bukanlah semata-mata menciptakan bentuk-bentuk dan proses-proses sosial baru, tetapi menciptakan cara-cara membawa ‘pasukan’ (mayoritas) yang kurang berdaya ini bersama-sama mereka untuk mencapai kemajuan”.

Dengan pimpinan elit, peradaban akan tumbuh melalui serentetan respon atau tanggapan yang berhasil menghadapi tantangan yang berlanjut.

Sementara itu dalam kerangka model siklikal, Sorokin berargumentasi bahwa yang utama dalam siklus sejarah perubahan masyarakat adalah pergerakan bandul antara periode sejarah yang didominasi oleh idealisme atau materialisme/hedonisme. Pergerakan bandul itu seringkali diselingi oleh periode transisi, yang secara kreatif mencampurkan (blended) dua keadaan dominan itu. Dalam konteks ini, Sorokin, misalnya mencontohkan bahwa pada periode abad pertengahan, Eropa didominasi oleh idealisme; masa pencerahan dan reformasi dianggap sebagai periode transisi; dan masyarakat Barat kontemporer di dominasi oleh materialisme atau hedonisme. Sorokin kemudian memperingatkan kemungkinan ambruknya masyarakat Barat kontemporer yang telah didominasi oleh materialisme atau

(19)

51 hedonisme untuk kembali akan didominasi oleh kultur idealisme (Harper, 1989: 63).

Inilah perjalanan siklus sejarah yang berputar terus. Dalam konteks ini menarik untuk membandingkan, misalnya, ide tentang ajeg Bali yang akhir-akhir ini berkembang semakin luas di Bali. Kalau kita cermati maknanya, dalam ide ajeg Bali itu mencuat gagasan untuk mengembalikan masyarakat Bali yang sekarang dianggap telah mengalami kemerosotan budaya karena pengaruh modernisasi (antara lain oleh industri pariwisata). Selanjutnya dengan gagasan ajeg Bali itu mereka ingin kembali ke akarnya semula, yaitu masyarakat Bali yang kembali teguh menjalankan adat istiadat dan agamanya. Ajeg Bali (atau Bali Ajeg) ini sekarang menjadi satu gerakan sosial yang menonjol, khususnya karena gerakannya didukung secara masif oleh kekuatan konglomerat media Bali, khususnya dari kelompok bisnis Bali Post.1

Di luar model linier dan siklikal adalah model dialektik. Model dialektik ini lebih komplek ketimbang ke dua model sebelumnya, dan memiliki asumsi bahwa perubahan itu terjadi secara kumulatif dan berkembang dalam jangka panjang. Perubahan dalam model dialektik biasanya melibatkan suatu proses pertentangan karena adanya kontradiksi internal dalam struktur sosial, seperti halnya yang digambarkan oleh perspektif Marxian; atau pertentangan antara kelompok karena masing-masing kelompok dalam masyarakat itu memiliki kepentingan yang saling kontradiktif satu dan yang lainnya. Kontradiksi dalam struktur sosial itu sendiri dianggap sebagai “mesin perubahan” dalam pandangan model dialektik.

Di luar model-model perubahan sosial sebagaimana dijelaskan di atas, muncul suatu pertanyaan lagi: apa faktor dominan yang menentukan perubahan struktur sosial? Untuk bisa menjawab pertanyaan ini, paling sedikit ada tiga hal yang perlu dikemukakan. Pertama, perubahan sosial itu terjadi karena adanya kebutuhan sistem sosial untuk tetap bertahan hidup; kedua, perubahan sosial itu terjadi

1 Untuk melihat gagasan lebih jauh apa sesungguhnya yang terjadi dibalik ide Ajeg Bali, lihat Schulte-Nordholt, Henk. Bali An Open Fortress, 1995-2005. National University of Singapore Press. Singapore, 2007. Halaman 54-60. Juga lihat pula: Wingarta, Putu Sastra. Bali Ajeg. Pensil 324. Jakarta, 2006.

(20)

52

karena adanya perebutan untuk mengontrol sumberdaya yang terbatas, baik itu sumberdaya politik (kekuasaan/power) atau sumberdaya ekonomi (kontrol ekonomi); ketiga, perubahan itu terjadi karena munculnya definisi dan makna baru dalam proses interaksi di antara berbagai pelaku/aktor dalam struktur sosial. Ketiga hal yang disebutkan di atas selanjutnya membawa kita kepada tiga perspektif teori perubahan sosial yang bisa menjawab pertanyaan tentang faktor dominan yang menentukan perubahan struktur sosial, yaitu masing-masing: perspektif struktural fungsional; perspektif konflik dan yang terakhir perspektif interaksionisme simbolik.

Perspektif teori struktural fungsional mengasumsikan bahwa masyarakat adalah suatu sistem, yang antar bagian dari sistem (atau subsistemnya) saling berinterelasi secara fungsional, yang tujuannya untuk mempertahankan kelangsungan dari sistem yang bersangkutan. Untuk menjaga kelangsungan sistem maka menurut Talcot Parson, tokoh utama perspektif teori struktural fungsional, paling tidak ada empat basis fungsi sistem sosial yang bersifat memaksa, yaitu: adaptasi (adaptation); pencapaian tujuan (goal attainment); integrasi (integration); dan pemeliharaan pola (latency). Secara bersama keempatnya sering disingkat menjadi AGIL, yang pengertiannya adalah sebagai berikut (Ritzer dan Goodman, 2003: 231 – 241). Adaptasi (A): suatu sistem harus siap dengan situasi darurat dari luar. Sistem itu harus mampu mengadaptasi lingkungannya sesuai kebutuhan. Pencapaian tujuan (G): suatu sistem harus mampu mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. Integrasi (I): suatu sistem harus mampu mengatur pola hubungan (interrelationship) dari seluruh bagian yang menjadi komponennya. Pemeliharaan pola (L): suatu sistem harus melengkapi, memelihara, dan memperbarui terus motivasi individual dan pola kebudayaannya yang berfungsi menciptakan dan mempertahankan motivasi individual tersebut.

Dengan pandangannya yang secara sistematis dituangkan dalam konsep AGIL itu, memang kelihatan jelas bahwa dalam pandangan Parson, perubahan sosial itu terutama lebih banyak berasal dan menjadi bagian dari sistem sosial itu sendiri, yang arahnya pada akhirnya adalah situasi kestabilan kembali sistem itu. Di sini Parson

(21)

53 banyak dikritik karena teorinya dianggap kurang mampu menjelaskan proses perubahan sosial; sehingga kelak kemudian ia merevisi teorinya kembali, dan pada tahun 1960-an mengembangkan apa yang disebutnya sebagai paradigma perubahan evolusioner (a paradigm of evolution change). Inti dari paradigmanya yang baru itu bisa dijelaskan secara singkat sebagai berikut. Komponen pertama dari paradigma itu adalah proses diferensiasi. Di sini diasumsikan bahwa setiap masyarakat (society) tersusun dari serangkaian subsistem yang berbeda dalam hal strukturnya dan fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berkembang, subsistem barunya terdiferensiasi, dan pada saat yang sama, subsistem yang baru itu juga harus lebih adaptif dibandingkan subsistem yang lama. Jadi di sini muncul apa yang disebut peningkatan adaptasi (adaptation upgrading); yang dalam hal ini berarti Parson cenderung memfokuskan pada aspek positif dari perubahan sosial dalam realitas sosial modern ketimbang sisi negatifnya.

Selanjutnya Parson berargumentasi bahwa proses diferensiasi membawa berbagai masalah baru berkaitan dengan integrasi. Jadi ketika subsistem berkembang biak, masyarakat dihadapkan dengan masalah baru dalam hal koordinasi unit-unit barunya tersebut. Misalnya, ketika masyarakat mengalami perkembangan maka sistem askripsi (ascription) mau tidak mau harus digantikan dengan sistem prestasi (achievement). Ini menyebabkan subsistem yang baru harus meningkatkan kemampuannya agar penggantian itu tidak menimbulkan masalah. Yang terakhir, sistem nilai masyarakat sebagai kesatuan harus berubah sejalan dengan berkembangnya diferensiasi struktur sosial dan fungsinya. Oleh karena sistem sosial baru semakin beragam maka semakin sulit bagi sistem nilai yang ada untuk mampu menaungi sistem sosial baru itu. Sehingga dalam hal ini dibutuhkan sistem nilai yang lebih general sifatnya agar bisa melegitimasi tujuan dan fungsi baru yang lebih luas itu. Tetapi proses ini tidak mudah, karena harus menghadapi elemen-elemen yang masih mempertahankan sistem nilai lama.

Meskipun mengakui adanya proses perubahan sosial, teori struktural fungsional pada dasarnya adalah teori stabilitas yang

(22)

54

dimodifikasi untuk bisa menjelaskan perubahan (revisi teori Parson). Sebaliknya dengan perpektif teori konflik yang pada dasarnya melihat perubahan sosial itu sebagai sesuatu keniscayaan karena potensi konflik yang dianggap melekat (inheren) dalam struktur sosial cepat atau lambat memang akan mendorong proses perubahan sosial. Secara garis besar, perspektif konflik menganggap bahwa benih-benih ketidakadilan (inequality) yang inheren dalam struktur sosial masyarakat merupakan sumber ketegangan dan konflik. Dalam konteks ini, ketegangan dan konflik malah dianggap merupakan “mesin” dari perubahan itu sendiri. Tokoh utama perspektif konflik adalah Karl Marx, yang pemikirannya tidak habis-habisnya mengilhami para pemikir teori konflik, yang salah satunya adalah Ralp Dahrendorf .

Mengikuti tradisi Marxian, Dahrendorf mengemukakan beberapa asumsi berkaitan dengan proses perubahan sosial (Harper, 1989: 84 – 85). Pertama, konflik dan “mal-integrasi” adalah hal yang normal terjadi dalam masyarakat. Ini berbalikan dengan asumsi kestabilan dan keseimbangan yang ada dalam perspektif teori struktural fungsional. Kedua, konflik tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan yang saling bertubrukan, yang secara tidak terelakan terjadi dalam struktur sosial masyarakat. Ketiga, tubrukan kepentingan itu digambarkan sebagai “refleksi” dari perbedaan dalam distribusi kekuasaan di antara mereka yang mendominasi dan yang didominasi. Keempat, kepentingan-kepentingan yang muncul itu cenderung terpolarisasi dalam dua kekuatan yang saling berkonflik. Kelima, konflik berlangsung secara dialektik sehingga resolusi atas satu konflik menciptakan kembali perbedaan kepentingan, yang pada suatu kondisi tertentu semuanya itu akan membangkitkan konflik lebih jauh. Dan akhirnya, perubahan sosial merupakan gambaran yang nyata dalam suatu sistem sosial, yang hal itu dihasilkan dari konflik dialektik di antara kelompok kepentingan dalam sistem yang bersangkutan.

Sementara itu, perspektif interaksionisme simbol memiliki basis asumsi bahwa realitas struktur sosial dan tatanan sosial (social order) dimungkinkan oleh karena adanya simbol bermakna yang diakui bersama, yang hal itu merupakan hasil dari suatu proses interaksi antara orang-orang dan kelompok-kelompok (sebagai aktor

(23)

55 tunggal atau kolektif). Jadi simbol yang bermakna dan bukannya struktur obyektif yang ada di luar (eksternal) aktivitas manusia yang menjadi basis riil dari masyarakat. Di sini kapasitas untuk membuat makna bersama, lalu tidak hanya memungkinkan para aktor individual berpartisipasi, tetapi juga melakukan tindakan bersama dalam masyarakat. Berdasarkan kondisi ini maka perubahan dalam makna bersama lantas dianggap menjadi kunci bagi berlangsungnya proses perubahan sosial.

Dalam kaitannya dengan makna bersama ini, Peter Berger dan Thomas Luckman berpendapat bahwa masyarakat pada dasarnya dianggap merupakan hasil konstruksi sosial, yang dalam hal ini merupakan produk historis dari proses interaksi di antara para aktor sosial, baik sebagai individu maupun korporasi (Berger dan Luckman, 1990). Dalam masyarakat modern, konstruksi sosial atas realita itu menjadi semakin komplek, yang prosesnya membutuhkan konsensus bersama. Sehingga proses perubahan sosialpun – sebagai hasil dari konstruksi (dan rekonstruksi) atas realitas sosial – dalam masyarakat modern (yang demokratis) dalam dirinya dituntut untuk melibatkan aspek-aspek konsensus sosial dalam masyarakat.

• Pemikiran Modernis Akhir

Kalau dirunut kembali, berbagai perspektif teori perubahan sosial sebagaimana diuraikan di atas, secara umum berada dalam satu koridor paradigma teori yang sama, yaitu modernisasi. Pengertian modernisasi di sini dipadankan dengan suatu proses mencapai kondisi modernitas, yang berarti suatu perubahan atau transformasi sosial, politik, ekonomi dan kultural serta mental yang terjadi di Barat sejak abad ke 16, dan mencapai puncaknya di abad 19 dan 20. Proses modernitas itu sendiri meliputi proses industrialisasi, urbanisasi, rasionalisasi, birokratisasi, demokratisasi, pengaruh kapitalisme, perkembangan individualism dan motivasi untuk berprestasi, diferensiasi serta meningkatnya pengaruh akal dan sains (Sztompka, 2005: 149 – 164). Hampir semua pemikiran para teoritisi perubahan sosial yang disajikan di atas, mulai dari Comte, Marx, Weber, Durkheim, Tonies atau Parson, misalnya, menganalisa proses

(24)

56

modernisasi di Eropa dan Amerika yang terjadi dijamannya, tetapi dengan perspektif yang berbeda-beda.

Namun, dalam konteks perubahan sosial, apa inti asumsi dari paradigma teori modernisasi? Wolfgang Knõbl, dalam tulisannya berjudul “Theories that Won’t Past Away: Never Ending Story of Modernization”, mengemukakan intisari dari asumsi teori modernisasi (Delanty, Gerard dan Isin Engin, 2003: 96-107). Pertama, modernisasi adalah proses global yang tidak bisa dibalik (irreversible), yang dimulai pada masa Revolusi Industri di pertengahan abad 18 di Eropa dan terus berkembang khususnya sejak Perang Dunia II. Kedua, modernisasi adalah suatu proses sejarah yang membawa perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Ini mengimplikasikan adanya antithesis yang tajam antara tradisional dan modern. Ketiga, di masyarakat tradisional dan di negara-negara yang digolongkan sebagai “Third World” atau dunia ketiga, ada suatu dominasi sikap personal, nilai-nilai dan struktur peran yang dicirikan oleh apa yang disebut sebagai askripsi (ascription), partikularisme, dan kekaburan fungsi; yang semuanya itu dianggap menjadi penghambat besar bagi pembangunan sosial, ekonomi dan politik (sejalan dengan proses modernisasi). Keempat, sekularisme, individualisme, dan nilai-nilai sains mendominasi kehidupan masyarakat sipil modern di Eropa-Amerika. Kelima, modernisasi harus lebih banyak didorong menjadi proses yang endogen dalam masyarakat lokal (yang mengalami perubahan sosial) yang bersangkutan. Ini sejalan dengan instrumen teoritik perspektif struktural fungsional. Dan keenam, perubahan sosial menuju modernitas di masyarakat yang berbeda-beda lebih banyak berlangsung secara seragam (uniform) dan linier.

Sejak akhir tahun 1970-an, paradigma modernisasi tersebut banyak mendapatkan kritikan tajam dari berbagai pemikir teori sosial. Paradigma modernisasi dikritik dari sudut landasan teori karena asumsinya tidak lagi dapat dipertahankan, dan terutama, dari sisi empiris dianggap tidak sejalan dengan fakta sejarah. Yang paling nyata, misalnya, dari sisi empiris, perubahan sosial sebagai bagian dari proses modernisasi seringkali tidak menciptakan hasil seperti yang “dijanjikan”. Di banyak negara berkembang yang paling bersemangat

(25)

57 menjalankan perubahan atau transformasi sosial dalam kerangka modernisasi, misalnya, perbaikan kehidupan sosial seperti yang dijanjikan tidak kunjung datang; dan malahan kemiskinan yang terus merajalela. Sementara pada saat yang berbarengan, bukannya proses demokratisasi yang berkembang, sebaliknya rezim politik otoritarian semakin terus bercokol. Perang etnis terus terjadi di mana-mana; sakralisasi kehidupan dan bentuk baru fundamentalis agama juga berkembang; kefanatikan idiologis terus berlanjut, termasuk jenis nasionalisme baru yang sempit; faham-faham kedaerahan dan golongan yang sempit semakin semarak; dan lain sebagainya.

Dalam konteks ini, Inglehart dan Welzel (2005: 15), dalam bukunya berjudul “Modernization, Cultural Change and Democracy”, misalnya, mengungkapkan:

“Rather than modernizing, most of the new nations remained poor and ruled by corrupt regimes. Although these regimes gave lip service to capitalist, communist, or “nonaligned” vision of modernization, in reality most of them were run by rent-seeking elite who created “rogue states” to enrich themselves, doing little to modernize their country”.

Meskipun menghadapi kritikan-kritikan semacam ini, tetapi para teoritisi modernisasi sejak semula tetap bersikukuh, dan malahan versi baru dari teori modernisasi menggambarkan bahwa “underdevelopment” yang masih terjadi justru adalah konsekuensi langsung dari karakteristik negara-negara sedang berkembang yang bersangkutan. Ini terutama menyangkut kondisi perekonomiannya yang masih tradisional, perilaku budaya dan mental psikologis yang masih tradisional, dan tentu saja kelembagaan-kelembagaan masyarakatnya yang juga masih tradisional.

Berangkat dari pandangan seperti itu, maka para teoritisi modernisasi menyarankan agar nilai-nilai tradisional mutlak harus dirubah dan digantikan dengan nilai-nilai modern, sehingga memungkinkan masyarakat yang bersangkutan mengikuti langkah negara maju Barat. Tentu saja argumen teori modernisasi versi baru ini ditolak karena dianggap “menyalahkan korban”. Sekali lagi karena para teoritisi modernisasi berasumsi, bahwa masyarakat yang

(26)

58

“underdeveloped” perlu mengadopsi nilai-nilai dan institusi-institusi modern seperti yang ada di negara maju Barat. Dalam konteks ini, Emmanuel Wallerstein, sebagaimana dikutip oleh Inglehart et all (2005: 15), menyatakan bahwa “modernization theory was not only criticed; it was pronounced dead”.

Bersamaan dengan itu menguat pula gagasan-gagasan alternatif yang berusaha menawarkan perspektif baru dalam teori sosial, termasuk didalamnya teori perubahan sosial. Perspektif baru itu, muncul dalam pendekatan-pendekatan teori sosial, misalnya teori modernitas akhir (late modernity) sebagaimana dikembangkan oleh Anthony Giddens, atau dalam perspektif yang sedikit agak berbeda, Pierre Bourdieu. Atau pendekatan teori lain yang lebih radikal lagi, yaitu yang termasuk dalam jajaran teori post-modernitas.

Lalu apa pengertian modernitas akhir itu sendiri? Apa bedanya dengan post-modernitas? Modernitas akhir, yang terutama dikenalkan oleh Giddens, pada awalnya berkembang sebagai teori kritis yang menentang secara tajam pendekatan teori modernitas. Sebagaimana diungkapkan di atas, teori modernisasi dianggap lemah dan gagal, baik dari sisi asumsi teori maupun praktik empirik. Dalam pandangan Giddens, kegagalan itu terutama disebabkan oleh karena beberapa alasan. Pertama, karena kesalahan rencana dalam dunia modern; atau orang yang merencanakan unsur-unsur dunia modern membuat kesalahan; kedua, kegagalan operatornya.

Yang terakhir ini masalahnya bisa ditelusuri bukan dari perencana tetapi mereka yang menjalankan dunia modern. Dalam hal ini Giddens memberikan kepentingan utamanya pada dua faktor: konsekuensi yang tidak diharapkan (unintended consequences) dan refleksifitas dari pengetahuan sosial (reflexivity of social knowledge). Yang pertama menyangkut konsekuensi tindakan dari sistem yang tidak bisa diramalkan sepenuhnya; dan yang kedua, timbul karena pengetahuan baru secara terus menerus mengirimkan sistem ke arah yang baru sehingga karena itu kita tidak bisa mengontrol penuh “juggernaut” dunia modern (Ritzer dan Goodman, 2003: 548 – 549).

(27)

59 Juggernaut adalah istilah yang dikemukakan oleh Giddens untuk menggambarkan suatu keadaan dari tahapan lebih lanjut proses modernitas yang mencapai tingkatan radikal, tinggi atau modernitas akhir (late modernity). Suatu keadaan modernitas yang penuh dengan ketidakpastian dan yang membawa konsekuensi risiko tinggi. Berikut gambaran Giddens tentang modernitas “juggernaut” sebagaimana diungkapkan oleh Ritzer (1996: 431 - 432):

“ a run away engine of enormous power which, collectively as human beings, we can drive to some extent but which also threatens to rush out of our control and which could rend it self asunder. The juggernaut crushes those whose resist it, and while it sometimes seems to have a steady path, there are times when it veers away erratically in direction we can not forsee. The ride is by no means wholly un pleasant or unrewarding; it can often be exhilarating and charge with hopeful anticipation. But, so long as the institution of modernity endure, we shall never be able to control completely either the path or the pace of the journey. In turn, we shall never be able to feel entirely secure, because the terrain across which it runs is fraught with risks of high consequence”.

Meskipun dianggap gagal, tapi Giddens tidak menyerah terhadap dunia modern. Ia mengusulkan pandangan yang paradox, yang disebut utopian realism. Dengan pandangan ini, ia berusaha mencari keseimbangan antara ide-ide yang utopia (janji-janji modernitas) dan realitas dunia modern. Dengan itu ia juga setuju terhadap pentingnya peranan gerakan sosial untuk ikut mengatasi resiko-resiko (kegagalan) modernitas sehingga resiko-resiko tersebut pada akhirnya bisa diperkecil. Dengan sikap ini berarti Giddens tidak melepaskan sama sekali gagasan besar modernisme, tetapi mengkritisi dan berusaha menunjukkan jalan baru modernisme yang kurang lebih resikonya menjadi semakin kecil. Ini hampir sama dengan sikap kritis Jurgen Habermas, yang mengkritisi modernisme tanpa membuang sama sekali gagasan dasarnya tentang humanisme dan emansipasi, dan menyatakan proyek emansipasi dalam dunia modernitas memang belum selesai (Hardiman, 2009).

Bedanya dengan teoritisi post-modern adalah bahwa mereka menyatakan bahwa proyek modernisme telah gagal, dan karena itu

(28)

60

harus ditinggalkan sama sekali untuk kemudian masuk dalam era baru, post-modern. Sebagaimana dikemukakan oleh Johnson (2008: 550):

“Postmodern theorist reject the notion of an overarching narrative of linier change and progress that is governed by single masters trend. Instead of single dominant story of human progress, there are multiple narratives that can be told, no one of which should be seen as more authoritative than other”.

Pandangan yang bernuansa “relatif” ini benar-benar menohok gagasan modern, seperti dikemukakan sebelumnya, gagasan dalam melihat perubahan sosial, antara lain, cenderung linier dan etnosentris. Seolah-olah perubahan itu hanya akan bergerak ke satu tujuan yang tidak terelakkan, dan arahnya mengikuti pengalaman negara-negara maju Barat. Sebagai suatu pendekatan kritis, pandangan teori post-modernisme tentang perubahan sosial, tentu saja patut untuk dipertimbangkan. Khususnya perpektifnya tentang masyarakat yang plural dan pergerakan perubahan sosial yang tidak hanya menuju satu arah saja, tentu bermanfaat dalam melihat realitas perubahan sosial di masyarakat sedang berkembang, seperti halnya yang ada di Bali, misalnya.

Perspektif Anthony Giddens dan Pierre Bourdieu • Perspektif Anthony Giddens

Sejajar dengan gagasan utopian realism, pandangan Giddens tentang teori strukturasi juga menarik untuk dilihat, terutama kalau dihubungkan agen perubahan dalam teori perubahan sosial. Seperti kita ketahui, teori modernisasi, pada umumnya melihat gejala sosial secara dikotomi. Misalnya, dalam melihat sejarah perkembangan masyarakat, teori modernisasi terjebak dalam dikotomi atau dualisme antara masyarakat tradisional dan masyarakat modern; masyarakat terkebelakang (underdeveloped) dan masyarakat maju (developed); mentalitas askripsi (ascription) dan prestasi (achievement); komunitas (Gemeinschaft) dan masyarakat (Gessellschaft); desa (rural) dan kota (urban).

(29)

61 Di luar itu, juga terjadi dikotomi atau dualisme antara konsep subyektivisme dan obyektivisme serta voluntarisme dan determinisme. Di sini subyektivisme dan voluntarisme diartikan sebagai cara pandang yang memprioritaskan pengalaman atau tindakan individu di atas gejala keseluruhan. Sedangkan obyektivisme dan determinisme merupakan kecenderungan cara pandang yang memprioritaskan gejala keseluruhan di atas tindakan dan pengalaman individu. Dalam prakteknya sehari-hari, sebagaimana dikemukakan oleh Priyono (2002), dualisme itu tercermin, misalnya, dari pertanyaan: masalahnya mentalitas atau struktur?

Atau ketika melihat agen proses perubahan sosial, teori-teori modernisme cenderung memandangnya secara dikotomis, terjebak dalam dualisme. Misalnya, dalam konteks perubahan sosial, agen perubahannya lebih diprioritaskan ke struktur atau aktor; dan begitupula sebaliknya. Ini sebagaimana pandangan yang ada dalam pemikiran Karl Marx dan Durkheim atau pun Parsons, dengan gagasan strutural fungsionalnya, yang menekankan pada peranan struktur; atau sebaliknya pandangan yang terdapat dalam teori interaksionisme simbolik atau teori pilihan rasional, yang menekankan pada peranan aktor.

Menghadapi realitas dualisme itu, Giddens jelas-jelas menolak keduanya. Ia menyatakan bahwa hubungan antara aktor dan struktur bukan dikotomis atau dualisme, tetapi hubungan atau relasi dualitas. Dengan relasi dualitas maka hubungan antara aktor dan struktur adalah saling mengandaikan: aktor/agensi dan struktur ibarat dua sisi mata uang yang sama. Giddens (1984: 25), dalam bukunya berjudul “The Constitution of Society” menyatakan:

“The constitution of agents and structures are not two independently givens sets of phenomena, a dualism, but represent a duality. According to the notion of duality of structure, the structural property of social system are both medium and outcome of the practice they recursively organize. Structure is not ‘external’ to individuals: as memory traces, and as instantiated in social practices, it is in a certain sense more ‘internal’ than exterior to their activities in Durkheimian sense.

(30)

62

Structure is not to be equated with constraint but is always both constraining and enabling”.

Selanjutnya Giddens mengelaborasi pandangannya ini dalam suatu teori yang disebut sebagai teori strukturasi, yang subtansinya menggambarkan suatu sudut pandang tentang relasi antara agensi (agency) dan struktur (structure). Agensi merefleksikan aktivitas sengaja individu yang berusaha memenuhi kebutuhannya dan tujuannya; sedangkan struktur mengacu pada aturan-aturan (rules) dan sumberdaya (resources) yang digunakan dalam tindakan itu.

Dalam pandangan Giddens, struktur memang tidak mungkin eksis terkecuali bila dimanifetasikan dalam tindakan (action) dan interelasi individu. Ini karena sifat dualitas agen dan struktur itu. Dalam konteks ini maka struktur itu bisa diibaratkan mirip aturan (rules) dalam suatu permainan (game) ketimbang permainan itu sendiri. Meskipun aturan itu dicatat dalam buku aturan, tetapi aturan itu hanya relevan bagi perilaku manusia sejauh aturan itu sendiri digunakan melalui suatu tindakan dalam permainan. Konsep Giddens tentang “struktur” ini seperti sejenis “realitas virtual” (virtual reality); yang hal ini bisa dibedakan dengan konsep “sistem sosial” yang merupakan pula hubungan aktual (aktual relationship), atau interaksi di antara orang-orang. Konsep struktur menurut Giddens ini jelas berbeda dengan perspektif struktur yang melihat bahwa struktur itu eksis sebagai suatu realitas obyektif yang mempengaruhi tindakan individu-individu secara independen dari pengetahuan dan maksud atau tujuan individu-individu yang bersangkutan (Johnson, 2008: 459 – 470).

Jadi pengertian “aturan baru” (the new rules) yang dimaksudkan Giddens secara eksplisit berbeda dengan aturan bagi analisa sosiologi dari Durkheim yang lebih memfokuskan pada fakta sosial yang bersifat eksternal (berada di luar individu-individu). Sebagai catatan, menurut Sunarto (2004: 4-5), Durkheim dalam bukunya berjudul “Rules of Sociology Method”, menawarkan definisinya mengenai sosiologi. Menurut Durkheim, bidang yang dipelajari sosiologi adalah fakta sosial, yaitu “fakta yang berisikan cara

(31)

63 bertindak, berfikir dan merasakan yang mengendalikan individu tersebut”.

Fakta sosial itu sendiri didefinisikan sebagai “setiap cara bertindak, yang telah baku ataupun tidak, yang dapat melakukan pemaksaan dari luar terhadap individu. Fakta sosial seperti inilah yang menurut Durkheim, menjadi pokok perhatian sosiologi. Bedakan dengan pengertian Giddens, sebagaimana dikutip oleh Ritzer (1996: 392), yang menyatakan bahwa

“every research investigation in the social sciences or history is involve relating action (often used synonymously with agency) to structure…there is no sense in which structure determines action or vice versa”.

Dengan pengertian struktur menurut Giddens tersebut, maka manusia (human beings) bukanlah robot yang pasif atau tidak berefleksi (unreflexive), dikontrol oleh kekuatan struktur sosial, lepas dari pengetahuan dan kendali manusia/individu itu sendiri. Sebaliknya, manusia sebagai individu adalah agen yang aktif, memiliki pengetahuan dan kemampuan yang bisa digunakan secara terus menerus dalam proses produksi dan reproduksi dari dunia sosial (social world).

Kata Giddens, seperti dikutip oleh Johnson (2008): ”The production and reproduction of society thus has to be treated as a skilled performance on the part of its members, not as merely a mechanical series of procceses…”. Dampak dari tindakan orang-orang ini tidak terbatas pada hubungan tatap muka pada tingkatan mikro saja, tetapi juga bisa meluas di luar itu dan di luar tujuan subjektif mereka, terutama berkaitan dengan tindakan tingkat mikro lainnya. Dengan demikian tindakan individu menjadi dasar bagi institusi tingkat makro dari struktur masyarakat (structure of society). Di sinilah apa yang disebut dengan relasi dualitas mulai terjadi.

Selanjutnya Giddens mengemukakan bahwa kemampuan yang ditunjukkan secara aktual oleh individu mencerminkan “agensi manusia” (human agency), sementara hasilnya (dari kemampuan itu) adalah reproduksi masyarakat dan struktur sosial yang lain. Dan dalam

(32)

64

proses reproduksi ini, manusia adalah makluk yang mampu melakukan tindakan inovatif, yang kadangkala mendorong (sengaja atau tidak sengaja) ke arah suatu transformasi struktural, terutama bila tindakan inovasi itu berkembang meluas. Proses transformasi struktural ini tidak lain adalah juga proses perubahan sosial. Di sini jelas posisi Giddens yang meyakini bahwa tindakan inovatif manusia sebagai individu-individu bisa menjadi sumber perubahan sosial.

Dalam bukunya berjudul “The Constitution of Society”, Giddens (1984), mengelaborasi lebih lanjut teori strukturasi. Di sini Giddens mengkritik perspektif teori sosiologi tingkat mikro seperti fenomenologi, dramarturgi dan interaksionisme simbolik, yang menurutnya lemah menjelaskan hubungan antara proses yang terjadi di tingkat mikro dengan struktur institusional di tingkat makro.

Begitupula dia mengkritik perspektif teori sosiologi tingkat makro, termasuk perspektif struktural fungsional dan berbagai varian dari perspektif Marxisme, yang dinilainya gagal dalam menerangkan kaitan antara proses-proses yang berlangsung di tingkat makro dengan peranan agensi manusia (human agency) dalam mereproduksi struktur. Berangkat dari kritik-kritik tersebut, Giddens mengusulkan untuk menyingkirkan pembedaan makro-mikro; dan sebaliknya menggunakan pembedaan agensi-struktur.

Sebagaimana sudah disinggung di atas, struktur terdiri dari aturan (rules) dan sumberdaya (resources) yang digunakan oleh manusia sebagai individu ketika mereka terlibat dalam suatu praktik (practices) sosial yang rutin, yang dalam proses itu aturan dan sumberdaya yang ada terus direproduksi. Semua tindakan itu melibatkan pengetahuan dan ketrampilan manusia sebagai agen, dan mereka merefleksikan kemampuan itu untuk mempengaruhi rangkaian kejadian di dunia sosialnya. Di sini manusia tidak dianggap sebagai makluk yang pasif dalam merespon kekuatan struktur yang bersangkutan. Berikut rangkaian hubungan agensi, praktik, dan struktur (Johnson, 2008: 461):

(33)

65 Gambar 4: Rangkaian Hubungan Agensi, Praktik dan Struktur

Agency Praktik Struktur

Menurut Giddens, praktik rutin dari kehidupan sosial sehari-hari (everyday life) bisa mereproduksi (kadangkala menstransformasi) struktur. Sedangkan stuktur menyediakan aturan dan sumberdaya yang digunakan dalam praktik. Sementara sistem sosial (social system), apakah mikro, meso, atau makro, terdiri dari relasi sosial aktual yang manusia-manusianya terlibat dalam proses strukturasi. Jadi dengan demikian struktur adalah “medium” sekaligus “outcome” dari praktik rutin. Ini berarti juga struktur selain “membatasi” tindakan manusia (adanya aturan), pada sisi lain juga memberdayakan (adanya sumberdaya). Oleh karena itu manusia, meskipun tidak selalu bisa memilih semua kondisi (struktur) yang mereka hadapi, tetapi mereka tetap memiliki kemampuan, sebagai agen, untuk mengintervensi pilihan-pilihan yang tersedia itu. “Struktur tidak bisa disamakan dengan hambatan, tetapi mencakup keduanya, hambatan sekaligus pemberdayaan,” demikian menurut Giddens.

Selanjutnya Giddens melihat bahwa ada tiga hal penting yang muncul dari proses interaksi sosial: pertama apa yang disebut dengan reflexive monitoring of action; kedua, rationalization of action; ketiga, motivation of action. Tiga tindakan itu terjadi secara bertingkat atau terstratifikasi menurut tingkatan kesadaran (conscious) yang berbeda (Allan, 2006: 263-284). Berdasarkan stratifikasi tingkat kesadaran ini, maka perilaku yang mencerminkan tingkat kesadaran yang paling tinggi adalah reflexive monitoring of action. Contohnya: dalam proses interaksi sosial, orang harus memperhatikan perilaku orang lain, memonitor arus komunikasi, dan menjaga kelangsungan

(34)

tindakan-66

tindakannya. Selanjutnya, dari proses interaksi tersebut, orang yang bersangkutan bisa memberikan alasan yang menjelaskan mengapa mereka melakukan tindakan tertentu tersebut. Ini artinya orang yang bersangkutan memberikan rasionalisasi dari tindakannya itu. Inilah yang disebut sebagai tingkat kesadaran rasionalisasi tindakan (rationalization of action).

Tingkat kesadaran rasionalisasi tindakan itu sendiri terbagi menjadi dua kesadaran yang berbeda, yaitu kesadaran diskursif (discursive consciousness) dan praktis (practical consciousness). Kata diskursif dalam hal ini dihubungkan dengan wacana (discourse) atau pembicaraan (conversation); tetapi dalam pengertian yang lebih dalam, yaitu wacana yang memiliki landasan analitis. Sehingga dengan demikian kesadaran diskursif mengacu pada kemampuan untuk memberikan alasan verbal dari suatu tindakan (actions).

Sedangkan kesadaran praktis mengacu pada pengetahuan yang dimiliki berkaitan dengan bagaimana kita eksis dan berperilaku secara sosial. Dalam soal ini, tentu saja orang sulit atau tidak bisa mengekspresikan secara verbal pengetahuan seperti ini. Sebab bagaimanapun, sebagaimana dikemukakan Giddens, situasi dan praktik (practices) sosial terlalu kompleks, sehingga dalam bertindak kita lebih banyak menggunakan intuisi ketimbang pemikiran rasional. Sebagai contoh, misalnya, orang mungkin memiliki pengetahuan tentang penampilan suatu upacara ritual, tetapi hampir sebagian besar orang tidak bisa menjelaskan mengapa orang menyelenggarakan upacara ritual tersebut. Di sini ada sesuatu yang sulit dijelaskan secara rasional melalui apa yang disebut kesadaran diskursif itu; walaupun semuanya bisa dipahami dalam konteks kesadaran praktis. Situasi seperti ini sering terjadi di Bali, khususnya terkait berbagai praktik ritual adat atau agama (yang seringkali saling tumpang tindih dan sulit untuk dipilah), dan orang atau masyarakat Bali menamakan hal semacam ini sebagai “mula keto”, yang artinya kira-kira “sejak dulu begitu”, dan mereka tinggal mengikuti saja apa adanya.

Kesadaran praktis seringkali diperoleh melalui observasi seseorang terhadap orang yang lain, atau bisa juga merupakan hasil dari

Referensi

Dokumen terkait

Bagian pertama Buku Panduan Mencegah Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa di Pemerintah ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang persoalan korupsi dalam proses tender

Estimasi kondisi keuangan perusahaan untuk jangka panjang yang akan datang, Estimasi kondisi keuangan perusahaan untuk jangka panjang yang akan datang, yang menunjukkan

Kemudian kedua fitur dari kualitas akuntansi ini dihubungkan bersama oleh Ewert dan Wagenhofer (2005) yang menunjukkan bahwa standar akuntansi membatasi hasil kebijakan

Sedangkan hasil transformasi pada E.coli JM 109 yang ditambahkan oleh X-gal dan IPTG diperoleh 842 koloni bakteri berwarna putih dan 78 koloni biru (gambar 2C).. Koloni putih

Skema ini disusun dengan merujuk pada keputusan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia SKKNI Fotografi Nomor 133 Tahun 2019 tentang penetapan Standar

untuk desain produk aromaterapi berbasis kansei engineering  design support information INPUT OUTPUT  Consumers  marketing department  sales department  R n D

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama yang terkait dengan permasalahan yang akan. 2 Bambang

latihan dan data baru disebabkan data baru memiliki karakteristik sinyal yang berbeda dengan data latihan sehingga akan memberikan koefisien LPC yang berbeda