• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Ubi jalar (Ipomea batatas L.) di Indonesia belum dianggap sebagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN. Latar Belakang. Ubi jalar (Ipomea batatas L.) di Indonesia belum dianggap sebagai"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ubi jalar (Ipomea batatas L.) di Indonesia belum dianggap sebagai komoditas penting sebagai pemenuhan akan gizi karbohidrat. Masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa ubi jalar identik dengan makanan masyarakat kelas bawah dan juga kebiasan masyarakat mengkonsumsi olahan panganan ubi jalar yang masih terbatas pada produk makanan tradisional, seperti keripik, ubi rebus, dan getuk membuat paradigma masyarakat kalau ubi jalar kurang menarik. Padahal potensi ekonominya cukup baik, antara lain dapat diaplikasikan dalam bidang bahan pangan, bahan subtitusi tepung terigu, bahan baku industri, dan pakan ternak.

Ubi jalar merupakan salah satu komoditi pangan yang dapat tumbuh dengan subur di Indonesia dan mampu beradaptasi di lahan yang kurang subur dan kering. Produksi ubi jalar di Sumatera Utara pada tahun 2014 (ATAP) sebesar 146.622 ton, naik sebesar 29.951 ton dibandingkan produksi tahun 2013 (BPS Provinsi Sumatera Utara, 2015). Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat, setelah padi, jagung, dan ubi kayu. Kandungan gizi lain dari ubi jalar adalah protein, lemak, serat kasar, kalori, abu, mineral, dan juga beberapa vitamin, seperti vitamin C, B1, B2, dan kandungan vitamin A yang baik untuk kesehatan

mata pada ubi jalar yang mempunyai warna kuning kemerahan. Semakin pekat warna kuning kemerahan dari umbi, maka semakin tinggi pula kandungan β-karotennya.

1 1

(2)

Terdapat beberapa varietas ubi jalar, di antaranya ubi jalar putih, ubi jalar ungu, ubi jalar kuning, dan ubi jalar oranye dengan berbagai macam bentuk, warna kulit, dan daging umbi. Ubi jalar yang memiliki warna akan memberikan hasil warna alami pada tepung dan hasil olahannya sehingga tampak lebih menarik, seperti pada ubi jalar oranye yang mengandung β-karoten cukup tinggi yang baik untuk kesehatan mata. Namun ubi jalar juga memiliki kekurangan, yaitu daya simpan cenderung rendah karena kandungan airnya yang cukup tinggi sehingga ubi jalar dapat cepat rusak dan dapat terjadi perubahan warna alami jika ubi dibiarkan pada ruangan terbuka setelah dilakukan pengupasan tanpa dilakukan perendaman. Ubi jalar mengandung polifenol oksidase yang dapat mengubah warna daging ubi yang kontak dengan udara. Buah dan sayuran yang telah dikupas kulitnya pada perlakuan awal akan mengalami reaksi pencoklatan enzimatik atau timbulnya warna gelap pada daging umbi (Meyer, 1973). Timbulnya warna gelap pada daging ubi tidak disukai oleh produsen karena akan mempengaruhi hasil akhir tepung ubi jalar. Diharapkan dengan tidak dilakukannya pengupasan dapat menekan warna gelap yang timbul akibat perlakuan awal. Selain itu, perlakuan awal, seperti perendaman dalam sodium metabisulfit (Na2S2O5) juga dapat menghindari terjadinya pencoklatan. Menurut

Purwanto, dkk. (2013) salah satu cara untuk menghambat reaksi pencoklatan adalah dengan perendaman dalam sodium metabisulfit. Sodium metabisulfit dapat berinteraksi dengan gugus karbonil, hasil reaksi tersebut dapat mengikat melanoidin sehingga mencegah timbulnya warna coklat. Ada tidaknya pengupasan dan pemberian sulfit dapat bertindak sebagai pelindung terhadap panas dan oksidasi.

(3)

Peningkatan nilai jual ubi jalar oranye, daya simpan, nilai gizi, dan diversifikasi pangan dapat dilakukan dengan mengolah ubi jalar oranye menjadi tepung karena kandungan airnya menjadi lebih rendah sehingga memiliki daya simpan lebih panjang, biaya transportasi dapat diminimalisir, penyimpanan lebih praktis, dan juga dapat digunakan sebagai tepung subtitusi dalam pembuatan kue, biskuit, dan mie.

Beberapa kelemahan dari tepung ubi jalar oranye adalah dari segi warna dan aroma yang dimilikinya. Warna tepung ubi jalar oranye dapat berubah dari alaminya menjadi kecoklatan akibat reaksi pencoklatan enzimatis ketika proses pengolahannya kurang tepat, seperti ketika ubi dikupas dan dibiarkan terbuka tanpa perendaman. Umumnya aroma tepung ubi jalar oranye memiliki aroma khas ubi jalar yang kurang disukai oleh konsumen karena menimbulkan bau langu. Hal ini dapat terjadi karena degradasi β-karoten akibat proses pengeringan.

Salah satu cara mengatasi kelemahan tepung ubi jalar oranye adalah dengan melakukan proses pengolahan melalui pemberian perlakuan awal (pre-treatment) dengan ada atau tidaknya proses pengupasan, perendaman dalam larutan sodium metabisulfit, dan pengendalian suhu pengeringan yang akan memberikan pengaruh terhadap mutu fisik, kimia, dan fungsional tepung ubi jalar oranye, sehingga dapat meningkatkan aplikasinya dalam pembuatan produk pangan.

Perumusan Masalah

Pemanfaatan ubi jalar oranye (Ipomea batatas L.) di Indonesia masih rendah padahal ubi jalar oranye merupakan salah satu komoditi umbi yang dapat diolah menjadi bahan baku tepung, namun disisi lain ubi jalar oranye memiliki

(4)

kelemahan, yaitu warna yang dapat mengalami perubahan pada saat pengolahan tepung dan memiliki aroma khas ubi jalar (bau langu) yang kurang disukai. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan proses pengolahan tepung ubi jalar oranye dengan melihat pengaruh perlakuan awal (pre-treatment) dan pengaturan suhu pengeringan terhadap mutu fisik, kimia, dan fungsional tepung ubi jalar oranye yang dihasilkan sehingga dapat meningkatkan aplikasinya pada produk pangan.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh metode perlakuan awal dan suhu pengeringan tepung ubi jalar oranye dan menghasilkan tepung ubi jalar oranye dengan mutu fisik, kimia, dan fungsional yang sesuai untuk produk pangan.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna sebagai sumber data dalam penyusunan skripsi di Progam Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan, dapat mendorong penggunaan ubi jalar oranye dalam bidang pangan, menjadi informasi ilmiah bagi pihak yang membutuhkan, dan bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya.

Hipotesis Penelitian

Perbedaan metode perlakuan awal pada umbi dan suhu pengeringan serta interaksi antara keduanya memberikan pengaruh yang berbeda terhadap mutu fisik, kimia, dan fungsional tepung ubi jalar oranye.

(5)

TINJAUAN PUSTAKA

Ubi Jalar Oranye (Ipomea batatas L.)

Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) memiliki banyak sebutan di Indonesia seperti mantang di Banjar Kalimantan, ketela rambat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tidak hanya Indonesia, ubi jalar juga memiliki nama yang berbeda di berbagai negara, seperti Spanyol dan Philipina dikenal dengan nama camote, shaharkuand di India, kara-imo di Jepang, anamo di Nigeria, getica di Brazil, apichu di Peru, dan ubitora di Malaysia (Koswara, 2009b).

Gambar 1. Ubi jalar oranye

Adapun klasifikasi tanaman ubi jalar berdasarkan Juanda dan Cahyono (2000) adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Convolvulales Famili : Convolvulaceae Genus : Ipomoea

Spesies : Ipomoea batatas L. Sin batatas edulis choisy.

Ubi jalar merupakan tanaman tropis yang dapat tumbuh dengan baik di daerah subtopis. Tanah yang memiliki pH 5,6-6,6 lebih baik untuk

5 5

(6)

pertumbuhannnya, suhu optimal berkisar 24-25 oC dengan curah hujan baik kisaran 750-1250 mm (Koswara, 2009b). Umur panen ubi jalar relatif pendek, yaitu 4-5 bulan dengan produktivitas 10-30 ton/ha. Umumnya dalam satu tahun ubi jalar dapat ditanam hingga dua kali. Semakin lama umur penyimpanan ubi jalar akan membuat semakin manis rasanya (Widowati, 2009).

Secara umum ubi jalar terbagi dalam dua golongan, antara lain ubi jalar yang berumbi keras karena kadar patinya yang tinggi dan ubi jalar berumbi lunak karena banyak mengandung air. Warna daging ubi jalar bermacam-macam, ada yang berwarna putih, kuning, jingga atau oranye, dan ungu (Koswara, 2009b). Kulit umbi dari ubi jalar ada dua jenis, yaitu tebal dan tipis. Begitu juga dengan kandungan getahnya, terdapat jenis yang bergetah banyak dan sedang atau sedikit. Secara umum bentuk umbi dapat dibedakan seperti bentuk bulat dan lonjong dengan bagian permukaannya rata atau tidak rata (Winarno dan Laksmi, 1973). Secara umum kandungan proksimat ubi jalar oranye dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan proksimat ubi jalar oranye

No Komposisi Gizi Jumlah

1 2 3 4 5 6 Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar serat (%) Kadar protein (%) Kadar lemak (%) Kadar karbohidrat (%) 69,80 1,00 1,00 0,46 1,70 26,04

Sumber : Adepoju dan Adejumo (2015)

Pantastico (1986) menyatakan bahwa ubi jalar kuning memiliki warna daging jingga atau oranye dengan bentuk cenderung lonjong dengan permukaan kulit tidak rata, lunak dan kandungan vitamin A dan C tinggi. β-karoten merupakan bahan pembentuk vitamin A dalam tubuh. Vitamin A baik untuk kesehatan mata. Richana (2013) menyatakan bahwa pada ubi jalar terkandung

(7)

β-karoten yang tinggi, seperti pada ubi jalar putih mengandung β-karoten 260 µg/100 g, ubi jalar berwarna kuning mengandung 2.900 µg/100 g, dan ubi jalar oranye berwarna jingga mengandung 9.900 µg/100 g. Semakin pekat warna jingga pada ubi, semakin tinggi pula β-karoten yang terkandung di dalamnya. Adanya ikatan rangkap pada struktur kimia β-karoten menyebabkan β-karoten tidak stabil terhadap reaksi oksidasi ketika terkena udara, cahaya, dan panas (Tungriani, dkk., 2012). Struktur kimia β-karoten dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur β-karoten (Mac Dougall, 2002)

Tepung Ubi Jalar

Secara umum tepung terbuat dari padi-padian dan umbi-umbian yang dihasilkan melalui beberapa tahapan hingga menjadi tepung kering. Tepung jika diamati di mikroskop akan tampak seperti zat berbentuk butir-butir granula. Tepung memiliki sifat tidak larut dalam air, sehingga akan mengendap jika bercampur dengan air, tetapi jika dipanaskan sambil diaduk tepung akan mengalami pengembangan lalu mulai mengental pada suhu 64-72 oC. Ini dinamakan proses gelatinisasi (Tarwotjo, 1998).

Menurut Iwansyah (2005) dalam Damayanthi (2011) suhu gelatinisasi awal tepung ubi jalar adalah 76,5 oC dan maksimum suhu gelatinisasi adalah 106,5 oC. Tepung ubi jalar memiliki warna yang menarik sesuai dengan warna bahan baku ubinya, seperti ungu, kuning, oranye, dan putih. Warna yang menarik

(8)

dapat dihasilkan melalui proses pengolahan yang tepat. Jika kurang tepat akan menurunkan mutu warna tepung menjadi berwarna kecoklatan. Umumnya tepung umbi memiliki indeks glikemik rendah dengan pati resistennya yang tinggi sehingga mampu mencegah timbulnya penyakit degeneratif (Widowati, 2009). Warna tepung ubi jalar akan semakin gelap seiring dengan makin tingginya kandungan abu dan juga akan cepat mengalami kerusakan jika kandungan lemaknya tinggi (Zuraida dan Supriati, 2001). Standar mutu tepung ubi jalar dan komposisi kimia tepung ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 2. Standar mutu tepung ubi jalar

Kriteria Tepung ubi jalar

Kadar air (maks) 15 %

Keasaman (maks) 4 ml 1 N NaOH/100 g

Kadar pati (min) 55 %

Kadar serat (maks) 3 %

Kadar abu (maks) 2 %

Sumber : Antarlina (1998)

Tabel 3. Komposisi kimia tepung ubi jalar oranye

Komponen Jumlah Air (%) Abu (%) Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Pati (%) β-karoten (mg/100g) 8,67 3,45 3,48 1,27 83,94 65,31 3,43 Sumber : Ahmed, dkk., 2010

Pengeringan tepung dapat dilakukan dengan memanfaatkan sinar matahari dan pengeringan dengan alat pengering buatan, seperti oven, pengering kabinet, dan drum dryer. Pengeringan akan lebih efektif pada aliran udara yang terkontrol. Pengeringan dengan alat pengering buatan umumnya berlangsung lebih cepat daripada pengeringan matahari, selain itu warna bahan yang dikeringkan juga lebih dapat dipertahankan (Koswara, 2009b).

(9)

Pati

Pati adalah bentuk homopolimer dengan ikatan α-glikosidik yang terdiri dari amilosa (senyawa berantai lurus) dan amilopektin (senyawa bercabang).

Unit-unit glukosa pada amilosa liner yang dihubungkan melalui ikatan α-1,4-glukosidik dengan jumlah unit glukosa antara ratusan sampai ribuan unit.

Struktur amilosa dapat dilihat pada Gambar 3. Sedangkan unit-unit glukosa pada amilopektin bercabang karena adanya ikatan α-1,6 pada titik tertentu. Struktur amilopektin dapat dilihat pada Gambar 4. Percabangannya relatif pendek karena hanya 20-30 unit glukosa. Pati sering dijumpai dalam umbi-umbian, biji-bijian, kentang, dan kacang-kacangan (Muchtadi, dkk., 1993).

Gambar 3. Struktur amilosa (Eliasson, 2004)

Gambar 4. Struktur amilopektin (Eliasson, 2004)

Menurut Greenwood (1975) dalam Koswara (2009a) pati tersusun paling sedikit terdiri dari tiga komponen utama, yaitu 15-30 % amilosa, 70-85 % amilopektin, dan 5-10 % material, seperti protein dan lemak. Struktur dan jenis material tiap sumber pati berbeda-beda tergantung pada sifat botaninya.

(10)

Umumnya pati umbi dan batang mengandung material antara lebih sedikit daripada pati biji.

Metode fisika dalam proses modifikasi pati, seperti perlakuan pemanasan atau perlakuan suhu dapat mengakibatkan permukaan granula pati terbuka sehingga menyebabkan daya penetrasi lebih cepat dan pori-pori lebih besar. Dengan adanya modifikasi pada ubi jalar oranye dapat mempengaruhi sifat tahan panas yang dapat diminimalkan dan agar viskositas serta gelatinisasinya lebih baik. Pati termodifikasi bersifat tidak larut air dingin. Kemampuan molekul pati dalam mengikat molekul air melalui pembentukan ikatan hidrogen berpengaruh terhadap swelling power (Retnaningtyas dan Putri, 2014).

Sodium Metabisulfit

Natrium metabisulfit atau sodium metabisulfit (Na2S2O5) secara fisik

berbentuk serbuk berwarna putih yang mudah larut dalam air dan sedikit larut dalam alkohol, memiliki bau khas seperti sulfur dioksida dan mempunyai rasa asam atau asin, dan lebih stabil daripada natrium bisulfit (Desrosier, 1988). Sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na atau K-sulfit, bisulfit, dan

metabisulfit. Bentuk efektifnya sebagai pengawet adalah asam sulfit yang tak terdisosiasi dan terutama terbentuk pada pH dibawah 3. Selain sebagai pengawet, sulfit juga dapat berinteraksi dengan gugus karbonil mengikat melanoidin sehingga mencegah timbulnya warna coklat (Syarief dan Irawati, 1988). Struktur kimia sodium metabisulfit dapat dilihat pada Gambar 5.

(11)

Gambar 5. Sodium metabisulfit (Praja, 2015)

Menurut Lindsay (1996) dalam Erawati (2006) penggunaan metabisulfit juga dapat dilakukan dengan cara disemprot atau direndam. Perlakuan ini akan memberi kontrol yang efektif terhadap enzim pencoklatan yang dapat mengkatalis proses oksidasi senyawa fenolik, seperti polifenol oksidase.

Salah satu komoditas yang mudah mengalami reaksi pencoklatan setelah dikupas adalah ubi jalar. Terbentuknya reaksi pencoklatan diakibatkan karena reaksi oksidasi dengan udara karena pengaruh enzim pencoklatan yang terdapat dalam bahan pangan. Pencoklatan enzimatis adalah reaksi antara oksigen dan senyawa fenol yang dikatalis oleh polifenol oksidase. Untuk menghindarinya, setelah buah dikupas dan diiris hendaknya direndam dalam larutan sodium metabisulfit 0,3 % selama lebih kurang satu jam (Widowati, 2009). Reaksi pencoklatan dapat dicegah dengan penambahan sulfit sebelum bahan dikeringkan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Reaksi sulfit dalam mencegah pencoklatan (Danilewicz, dkk., 2008)

(12)

Gas SO2 (sulfur dioksida) dapat diberikan dalam bentuk sulfit, bisulfit,

atau metabisulfit, selain bersifat sebagai zat pemucat sulfit juga dapat mengurangi jumlah mikroba, menginaktifkan enzim yang dapat menyebabkan browning enzimatik, mencegah reaksi browning nonenzimatik, serta bekerja sebagai agen pereduksi (Winarno, 1993). Konsentrasi sodium metabisulfit yang semakin tinggi akan membuat kandungan abu dalam tepung menjadi semakin meningkat karena dalam sodium metabisulfit terdapat mineral Na dan S. Suhu pengeringan yang rendah akan menghasilkan lebih sedikit kandungan abu pada bahan yang mengalami penguraian (Kusumawati, dkk., 2012).

Pengeringan

Pengeringan merupakan proses berkurangnya kandungan air dari suatu bahan hingga pada batas tertentu yang bertujuan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk. Beberapa keuntungan produk yang diolah dengan proses pengeringan adalah masa simpannya lebih panjang, praktis karena volumenya lebih kecil, mudah dalam penyimpanan dan pengangkutan. Semakin tinggi suhu pengeringan berbanding terbalik dengan kadar patinya yang semakin rendah, hal ini dikarenakan suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan rusaknya molekul pati pada saat pengeringan (Lidiasari, dkk., 2006).

Pengaruh pengeringan terhadap kualitas bahan pangan tergantung pada jenis bahan yang akan dikeringkan, perlakuan pendahuluan, lama pengeringan, jenis proses pengeringan, dan lain-lain. Semakin tinggi suhu dari pengeringan dan semakin lama perlakuan pengeringan akan membuat semakin banyak pigmen warna yang berubah (Susanto dan Saneto, 1994). Pengolahan tepung ubi jalar dengan menggunakan suhu atau panas ternyata juga dapat menurunkan kandungan

(13)

β-karoten yang terdapat di dalamnya. Menurut Bengtson, dkk., (2008) dalam Oloo, dkk., (2014) pengolahan tepung ubi jalar dapat menurunkan kandungan β-karoten hingga 25 % jika proses dilakukan dengan cara pengukusan, pengeringan, dan penggorengan.

Proses pengeringan memberikan pengaruh perubahan sifat fisis dan kimia terhadap pigmen warna dalam pangan. Bahan pangan segar biasanya berwarna lebih terang dibandingkan setelah melalui proses pengolahan. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pengeringan maka semakin banyak pula zat warna yang akan berubah. Pigmen warna karotenoid akan mengalami perubahan selama proses pengeringan. Tidak hanya zat warna, vitamin-vitamin seperti vitamin C dapat hilang selama proses pengeringan karena sangat peka terhadap panas dan oksidasi (Desrosier, 1988).

Penelitian Sebelumnya

Hasil penelitian Pangastuti, dkk. (2013) menunjukkan bahwa perlakuan pendahuluan perendaman 24 jam dan perebusan 90 menit dapat meningkatan kadar air, namun menurunkan kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan jika dilakukan pengupasan kulit dengan adanya perlakuan pendahuluan maka dapat menurunkan kadar air dan kadar lemak pada tepung kacang merah. Pengupasan kacang merah dapat meningkatkan kecerahan, derajat putih sekaligus menurunkan densitas kamba dan padat.

Hasil penelitian Ahmed, dkk. (2010) menunjukkan bahwa kandungan fenolik pada tepung dengan perlakuan ubi jalar tidak dikupas memiliki jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan ubi yang dikupas, karena pada kulit terkandung fenolik dalam jumlah yang tinggi. Tidak hanya itu kandungan asam

(14)

askorbat pada tepung yang mengalami perlakuan tidak dikupas menunjukkan retensi lebih tinggi terhadap asam askorbat. Ada tidaknya pengupasan dan pemberian sulfit dapat bertindak sebagai perisai terhadap panas dan oksidasi. Perlakuan pemberian sulfit memberikan efek terhadap kualitas karakteristik tepung ubi jalar dibandingkan yang tidak diberi perlakuan, sehingga dapat meningkatkan kualitas produk dari segi warna, rasa, tingkat kemanisan, dan nutrisinya.

Menurut Akaerue dan Onwuka (2010) dalam Pangastuti, dkk. (2013) menunjukkan hasil penelitian bahwa tepung yang diproses tanpa pengupasan kulit lebih cepat basah atau lebih cepat menyerap air dibandingkan tepung yang diproses dengan adanya pengupasan kulit pada tepung kacang hijau. Hasil penelitian menurut Adepoju dan Adejumo (2015) menunjukkan bahwa adanya kulit pada ubi jalar dapat membantu mempertahankan nilai protein, karbohidrat, tetapi menurunkan kandungan lemak di ubi jalar rebus.

Perbedaan suhu pengeringan dapat memberikan pengaruh terhadap karakteristik fisik dan kimia tepung. Penelitian ini menggunakan tiga suhu yang berbeda, yaitu 50 oC, 60 oC, dan 70 oC dan hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan maka tepung yang dihasilkan akan semakin rendah kadar airnya sama halnya dengan kandungan protein tepung umbi yang semakin rendah (Septiani, dkk., 2015).

Gambar

Gambar 1. Ubi jalar oranye
Gambar 3. Struktur amilosa (Eliasson, 2004)
Gambar 6. Reaksi sulfit dalam mencegah pencoklatan (Danilewicz, dkk., 2008)

Referensi

Dokumen terkait

Cara pengumpulan data yang dapat berupa bukti tertulis dari objek penelitian untuk memperkuat data yang diperoleh khususnya yang berkaitan dengan analisis peran

[r]

Untuk mengolah sawah atau lahan pertanian dari lapisan tanah agar mendapatkan hasil yang optimal tentu saja membutuhkan modal yang tidak sedikit, belum lagi

Sebanyak 55 orang responden (61,1%) memiliki kepuasan terhadap pemanfaatan BPJS kesehatan untuk mendapatkan layanan kesehatan di Puskesmas Singkil Utara dalam kategori yang

empedu, biasanya berhubngan dg batu empedu yang tersangkut pada duktus kistik yang.. menyebabkan distensi

Jika keseluruhan materi pelajaran yang telah diberikan kepada peserta didik atau sudah diperintahkan untuk dipelajari oleh peserta didik itu dianggap sebagai

Oleh karena gelling agent merupakan bahan yang penting dalam sediaan pasta gigi, maka dilakukan penelitian dengan dibuat pasta gigi menggunakan zat aktif minyak kayu manis

Resiko yang ditimbulkan dari adanya penyumbatan pada probe level dan impeller discharge pump pada Sewage Treatment Plant yaitu terjadinya high water level alarm yang