• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA: ADAPTASI PETANI PADI MENGHADAPI RISIKO IKLIM DAN BENCANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA: ADAPTASI PETANI PADI MENGHADAPI RISIKO IKLIM DAN BENCANA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA:

ADAPTASI PETANI PADI

MENGHADAPI RISIKO IKLIM DAN BENCANA

Pengantar

Ketidakpastian musim sebagai akibat dampak perubahan iklim telah membingungkan petani untuk memulai musim tanam, memilih jenis tanaman dan beragamnya serangan organisme pengganggu tanaman sehingga memengaruhi hasil produksi pertanian mereka. Sedangkan petani padi tadah hujan bergantung pada kebutuhan air dan musim yang tepat untuk mendapatkan produksi padi yang optimal.

Adaptasi merupakan bentuk paling mungkin dilakukan petani padi tadah hujan sebagai bentuk penyiasatan petani padi menghindari puncak hujan dan risiko bencana yang sering dialami oleh petani padi tadah hujan. Penyesuaian dilakukan didasarkan pengetahuan lokal yang diadaptasikan dengan teknologi untuk menentukan keputusan tanam petani padi atas paparan cekaman iklim.

Bab ini menjelaskan dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian khususnya petani sebagai aktor utama yang bergantung sepenuhnya terhadap kondisi alam. Kemampuan petani dan kelembagaan sosialnya menjadi pilar dalam menghadapi berbagai risiko iklim dan bencana yang ditentukan oleh pengetahuan, ketrampilan, strategi petani dan jejaringnya.

Perubahan Iklim

Perubahan iklim merupakan realitas yang diangkat sebagai isu global yang akhir-akhir ini telah menjadi realitas dan isu lokal.

(2)

Pemahaman masyarakat tentang fenomena alam ini bervariasi, mulai dari pengertian perubahan iklim yang sederhana dan dirasakan sehari-hari sampai dengan pemahaman detail menggunakan berbagai referensi akademik.

” ...saiki mangsa wis berubah mas...gak iso dibedhek maneh koyo mbiyen. Nek jare nang tipi kae iki sing jenengan perubahan iklim yo....”

(”...sekarang musim sudah berubah mas...sudah tidak bisa ditebak lagi seperti dulu. Kata orang di Televisi dinamakan perubahan iklim ya...”) (Mujono)

Perubahan iklim disebabkan oleh proses alam secara internal maupun karena kekuatan eksternal, terutama kegiatan antroposentris manusia yang secara terus menerus mengekstraksi sumber daya alam sehingga merubah komposisi atmosfir dan tata guna lahan.

Gambar 2.1. Grafik Peningkatan temperatur dari tahun ke tahun, IPCC, 2000.

Peningkatan gas CO2 sebagai pemicu pemanasan global, dari

tahun ke tahun meningkat sejak revolusi industri tahun 1900-an (Gambar 2.1). Peningkatan gas CO2 tersebut menyebabkan kenaikan

(3)

temperatur permukaan bumi yang berakibat pada keseimbangan pola iklim yang sudah terjadi menjadi labil karena terdapat perubahan tekanan udara akibat kenaikan temperatur, perubahan pola angin dan perubahan pola hujan yang memengaruhi musim di setiap tempatnya.

Kecenderungan aktifitas manusia yang bergantung pada bahan bakar fosil cenderung meningkat dari tahun ke tahun akan meningkatkan emisi karbon dan selanjutnya menyebabkan kenaikan temperatur global.

Proyeksi Emisi karbon global Proyeksi kenaikan temperatur global

Gambar 2.2. Grafik Peningkatan Jumlah Karbon dan Peningkatan Temperatur, IPCC, 2000.

Perubahan iklim global dipicu oleh akumulasi gas-gas pencemar di atmosfer terutama karbondioksida (CO2), metana (CH4),

dinitrooksida (N2O), dan klorofluorokarbon (CFC). United States

Department of Agriculture (USDA, 2010) menyebutkan bahwa telah

terjadi kenaikan konsentrasi gas-gas pencemar tersebut sebesar 0,50-1,85% pertahunnya. Konsentrasi tinggi dari gas-gas pencemar tersebut akan memperangkap energi panas matahari yang dipantulkan oleh permukaan bumi di zona atmosfer (Gambar 2.1). Fenomena tersebut sering disebut sebagai efek rumah kaca (green

house effect) yang diikuti oleh meningkatnya suhu permukaan bumi

(4)

Pemanasan global akibat kegiatan antropogenik berdampak pada perubahan iklim global. Laporan Penilaian Keempat (Fourth

Assessment Report, AR4) Intergovermental Panel for Climate Change

(IPCC) menegaskan peran kontribusi kegiatan manusia (faktor antropogenik) dalam meningkatkan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer yang mempercepat laju peningkatan temperatur permukaan rata-rata global hingga mencapai 0.74°C ± 0.18° selama periode 1906–2005 (IPCC, 2007). Kecenderungan kenaikan temperatur global (global warming) tersebut diyakini telah mengakibatkan perubahan iklim di berbagai tempat di dunia saat ini (UNDP, 2007; RAN API, 2014).

Dampak dari pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim tersebut telah terjadi juga di Indonesia yang ditandai dengan perubahan pola dan distribusi curah hujan, meningkatnya kejadian kekeringan, banjir dan tanah longsor. Perubahan pola dan distribusi hujan tersebut berdampak pada produksi pertanian/gagal panen, meningkatnya kejadian kebakaran hutan, meningkatnya suhu di daerah perkotaan, serta naiknya permukaan air laut.

Perubahan iklim merupakan perubahan pola maupun intensitas unsur iklim pada periode waktu yang dapat dibandingkan (rata-rata 30 tahun). Perubahan iklim dapat berupa perubahan dalam kondisi cuaca rata-rata atau perubahan dalam distribusi kejadian cuaca (ekstrim) terhadap kondisi rata-ratanya. Kondisi yang dapat diketahui, yaitu seperti: sering atau berkurangnya kejadian cuaca ekstrim, berubahnya pola musim dan peningkatan luasan daerah rawan kekeringan. Perubahan iklim merupakan perubahan pada komponen iklim yaitu suhu, curah hujan, kelembaban, evaporasi, arah, kecepatan angin, dan perawanan.1

IPCC (2001; 2007) yang menyebutkan bahwa “Perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistis untuk jangka waktu

1http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Informasi_Iklim/Informasi_Perubahan_Iklim

(5)

yang panjang (biasanya dekade atau lebih)”. Sedangkan menurut Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Republik Indonesia, perubahan iklim yang dimaksud yaitu: ”Berubahnya iklim yang diakibatkan, langsung atau tidak langsung, oleh aktivitas manusia yang meyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global serta perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang

dapat dibandingkan”. Perubahan iklim diukur berdasarkan

perubahan komponen utama iklim, yaitu suhu atau temperatur, musim (hujan dan kemarau), kelembaban dan angin. Dari variabel-variabel tersebut variabel-variabel yang paling banyak dikemukakan adalah suhu dan curah hujan. 2

Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Pertanian

Balitbang Pertanian (BBSDLP, 2011) menyatakan bahwa sektor pertanian adalah yang paling terancam, menderita dan rentan

(vulnerable) terhadap perubahan iklim. Sektor pertanian rentan

terhadap perubahan iklim terkait tiga (3) faktor utama, yaitu biofisik, genetik, dan manajemen (ICCSR, 2010). Perubahan iklim berdampak sangat nyata terhadap produksi pertanian bahkan gagal panen, terutama tanaman pangan dan hortikultura. Hal ini disebabkan karena tanaman pangan dan hortikultura umumnya merupakan tanaman semusim yang relatif sensitif terhadap cekama3, terutama

cekaman (kelebihan dan kekurangan) air (Kurniawati, 2012).

Berdasarkan data pengamatan yang panjang, klimatolog menyimpulkan pola musim telah berubah. Data pemantauan curah hujan beberapa tahun terakhir menampakkan curah hujan tahunan cenderung berkurang dengan musim hujan lebih singkat dan kemarau lebih lama. Hujan saat ini cenderung mengumpul pada

2http://www.bmkg.go.id/ (tanggal 10 Januari 2015)

3 Kurniawati (2012) menjelaskan istilah „cekaman‟ (stress) adalah perubahan mendadak dari cuaca atau musim yang memengaruhi pertumbuhan fisiologis tanaman khususnya tanaman sayur-sayuran yang sensitif terhadap perubahan cuaca.

(6)

musim hujan saja sedangkan pada musim kemarau hujan cenderung berkurang. Akibatnya, ketika saat musim hujan cenderung lebih basah dan kemarau lebih kering. Kesimpulan ini berpijak pada data dari 63 stasiun cuaca di seluruh Indonesia selama 40 tahun terakhir (Aldrian, 2007).

Beberapa daerah di Indonesia berpeluang mengalami musim kering tanpa hujan sama sekali. Sebaliknya, ada juga daerah yang berpotensi mengalami kenaikan curah hujan, seperti Nusa Tenggara, Banyuwangi, Sumbawa, Ampenan, dan Waingapu (Aldrian, 2007). Ratag (2007) menunjukkan terjadinya perubahan pola pada awal musim hujan dan kemarau. Kesimpulan ini didapat dengan membandingkan data periode 1991-2003 dan data 1961-1990 (WMO Standard). Seluruh data pengamatan stasiun cuaca di Indonesia menunjukkan 22% awal musim kemarau teratur, 33% lebih cepat dan 45% lebih lambat dari biasanya. Sementara, pada musim hujan, 36% data stasiun pengamatan memperlihatkan awal yang teratur, 40% lebih cepat, dan 24% lebih lambat.

Perubahan iklim sudah berdampak pada berbagai aspek kehidupan dan sektor pembangunan di Indonesia. Menurut Sutjahjo dan Gatut (2007), dampak pemanasan global yang terjadi di daerah tropis adalah kelembaban nisbi yang tinggi sehingga berdampak pada kondisi seperti: peningkatan curah hujan, badai akan menjadi lebih sering terjadi, air tanah akan lebih cepat menguap, beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya, angin akan bertiup lebih kencang dengan pola yang berbeda-beda, terjadinya badai topan akan menjadi lebih besar, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi, pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim. Pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim akan berpengaruh kepada sektor pertanian. Secara teknis, kerentanan sektor pertanian sangat berhubungan dengan sistem penggunaan lahan dan sifat tanah, pola tanam, teknologi pengelolaan tanah, air, dan tanaman, serta varietas tanaman (Las dkk., 2008).

Dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian dapat positif maupun negatif. Pada beberapa daerah, tejadi peningkatan

(7)

konsentrasi CO2 di atmosfer dan radiasi matahari berakibat positif

untuk proses fotosintesis. Penelitian yang dilakukan pada kacang-kacangan dengan simulasi cekaman suhu tinggi dan kekeringan mengindikasikan peningkatan konsentrasi CO2 mampu

menghi-langkan pengaruh negatif dari cekaman lingkungan yang ada tersebut (Indradewa dan Eka, 2009). Selain itu, kejadian la-nina4 juga

memberikan dampak pada ketersediaan air untuk populasi pada beberapa wilayah yang relatif kering menjadi meningkat dan kesuburan tanahpun meningkat atau relatif lebih baik karena tanah mengalami masa istirahat selama musim kemarau (aerasi tanah meningkat) (Hendayana, 2012).

Dampak negatif dari perubahan iklim dianggap lebih besar membawa kerugian bagi petani. Hujan merupakan unsur fisik lingkungan yang paling beragam baik menurut waktu maupun tempat dan hujan juga merupakan faktor penentu serta faktor pembatas bagi kegiatan pertanian secara umum (Lakitan, 2002). Perubahan iklim memengaruhi pergeseran musim dan cuaca ekstrim. Sektor pertanian akan mengalami kehilangan produksi akibat bencana kering dan banjir yang silih berganti, kerawanan pangan meningkat di wilayah yang rawan bencana kering dan banjir. Selain itu tanaman pangan, hortikultura dan hutan dapat mengalami serangan hama dan penyakit yang lebih beragam dan lebih hebat. Tahun 1997-1998 dan 1992-1993 Indonesia terkena dampak buruk dari bencana ENSO (El-Nino Southern Oscillation) 5 berupa

4 Laboratorium Cuaca dan Iklim Institut Teknologi Bandung (ITB) (http://weather.meteo.itb.ac.id/artikel6.php, tanggal 10 Agustus 2014) menjelaskan bahwa La Nina merupakan kondisi air laut di Pasifik Timur lebih panas dari kondisi normalnya yang menyebabkan adanya konveksi yang lebih besar dari normalnya di bagian Pasifik Timur. Akibatnya Indonesia pada saat La Nina memiliki curah hujan yang lebat.

5 Dari sumber yang sama dengan diatas, El-Nino Southern Oscillation (ENSO) merupakan fenomena alam yang muncul di Samudera Pasifik dan memengaruhi kondisi cuaca disekitarnya. El Nino terjadi karena suhu permukaan laut naik yang mengakibatkan nutrien yang berada di dasar laut terangkat keatas (upwelling) yang berakibat pada wilayah yang subur dan banyak ikan menjadi sebaliknya. Kejadian El

(8)

kekeringan yang amat hebat dan penurunan produksi beras lebih dari 30 persen yang menyebabkan import beras mencapai angka tertinggi 5,8 juta ton pada tahun 1998 (Ditjen. Penataan Ruang- Dekimpraswil, 2010).

Peningkatan suhu udara juga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan laju transpirasi tanaman. Peningkatan konsumsi air pada tanaman pangan akan mempercepat pematangan buah/biji, menurunkan mutu hasil, dan mendorong berkembangnya hama penyakit tanaman. Berdasarkan hasil simulasi tanaman, kenaikan suhu sampai 2°C di daerah dataran rendah dapat menurunkan produksi padi sampai 40%, sedangkan di dataran sedang dan tinggi penurunan produksi sekitar 20% (Surmaini dkk., 2008 dalam Surmaini dkk., 2010).

Dampaknya, petani mengalami perubahan pola musim tanam yang mencolok selama beberapa tahun terakhir. Sebagian besar petani mengatakan perubahan mulai nampak setelah tahun 2000. Musim hujan 2006/2007 dirasakan yang paling berbeda dan ekstrim. Musim hujan terlambat hingga tiga (3) bulan pada sejumlah daerah. Ketidakpastian musim6 membingungkan petani dalam menentukan

waktu tanam dan jenis tanaman. Contohnya, pada musim tanam kedua, tanaman padi petani sering mengalami kekeringan karena hujan berakhir lebih cepat dari perkiraan. Banyak petani yang membiarkan tanamannya mengering tetapi ada yang tetap berupaya menyelamatkan padi dengan memompa air tanah. Namun biaya yang dikeluarkan untuk membeli bahan bakar minyak membuat ongkos produksi melonjak lebih besar dibandingkan biasanya (Siregar, dkk., 2010).

Nino merupakan kebalikan dari La Nina sehingga Indonesia mengalami musim kemarau yang lebih panjang.

6 Istilah „ketidakpastian musim‟ digunakan sebagai sub judul penelitian oleh Siregar, dkk., (2010) merujuk pada istilah kekacauan musim atau cuaca karena petani sulit menentukan waktu musim tanam ketika menggunakan pranata mangsa (sistem penanggalan Jawa dalam menentukan musim tanam) dalam memulai musim tanam pertama. Istilah tersebut sama dengan climate variability yang digunakan oleh IPCC.

(9)

Besarnya dampak perubahan iklim terhadap pertanian sangat bergantung pada tingkat dan laju perubahan iklim di satu sisi, serta sifat dan kelenturan sumber daya dan sistem produksi pertanian di sisi lain (Sutjahjo dan Susanta, 2007). Dampak perubahan iklim yang begitu besar merupakan tantangan bagi sektor pertanian. Peran aktif berbagai pihak diperlukan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim melalui upaya mitigasi dan adaptasi. Upaya antisipasi ditujukan untuk menyiapkan strategi mitigasi dan adaptasi.

Adaptasi Petani Padi terhadap Perubahan Iklim

Variabilitas iklim7 sebagai akibat pemanasan global

meru-pakan salah satu tantangan terpenting pada milenium ketiga. Pemanasan global akan terus meningkat dengan percepatan yang lebih tinggi pada abad ke-21 apabila tidak ada upaya menanggulanginya (Surmaini dkk., 2010). Perubahan iklim merupakan proses alami yang memiliki kecenderungan terus-menerus dalam jangka panjang. Oleh karena itu, strategi adaptasi8

merupakan aspek kunci dalam rangka menyikapi perubahan iklim. Menurut IPCC adaptasi mengacu pada mekanisme penyesuaian baik dalam aspek ekologi, sistem sosial atau ekonomi dalam merespon dampak yang terjadi akibat perubahan iklim. Hal ini mengacu pada perubahan proses, praktik dan struktur untuk mengurangi perubahan yang mungkin terjadi atau untuk mendapatkan manfaat dari kesempatan yang berkaitan dengan

7 Siregar (2010), variabilitas iklim yang dimaksud adalah berubah-ubahnya iklim yang dipengaruhi oleh variabel-variabel iklim seperti temperatur (suhu), curah hujan, sifat hujan, intensitas hujan, frekwensi hujan, dan kelembaban udara.

8 Menurut UNDP (2007), mitigasi meliputi pencarian cara-cara untuk memperlambat emisi Gas Rumah Kaca (GRK) atau menahannya, atau menyerapnya ke hutan atau “penyerap‟ karbon lainnya. Upaya mitigasi bertujuan untuk menurunkan laju emisi GRK global sehingga konsentrasi GRK di atmosfer masih berada dalam tingkatan yang dapat ditolerir. Sementara itu adaptasi, mencakup cara-cara menghadapi perubahan iklim dengan melakukan penyesuaian yang tepat untuk mengurangi berbagai pengaruh negatifnya, atau memanfaatkan efek-efek positifnya (UNDP, 2007).

(10)

perubahan iklim (Smit & Pilifosova, 2001; 879). Pada akhir tahun 1990-an, penelitian di bidang ilmu sosial telah menemukan mekanisme lain untuk mengatasi perubahan iklim yaitu mekanisme adaptasi. Grothmann dan Anthony (2003), menjelaskan alasan penting adaptasi sebagai topik dalam penelitian perubahan iklim adalah adaptasi dapat digunakan untuk menilai biaya atau risiko yang terjadi akibat perubahan iklim, sehingga penting untuk melibatkan adaptasi mandiri yang dipengaruhi oleh manusia atau yang terbentuk secara alami. Grothmann dan Anthony (2003) juga menjelaskan bahwa proses adaptasi terdiri dari empat tahap diantaranya adalah : 1) Sinyal deteksi, suatu mekanisme untuk menentukan mana hal yang harus ditanggapi dan mana hal yang diabaikan; 2) Evaluasi, merupakan proses penafsiran sinyal dan merupakan bentuk evaluasi dari konsekuensi yang akan muncul di masa yang akan datang; 3) Keputusan dan tanggapan, merupakan proses yang menghasilkan perubahan perilaku yang dapat diamati; dan 4) Umpan balik, yaitu proses yang melibatkan pemantauan tanggapan yang merupakan hasil keputusan penilaian.

Sistem iklim membutuhkan waktu reaksi yang panjang maka meskipun dengan pengurangan emisi gas rumah kaca, suhu global diperkirakan akan terus meningkat. Oleh karena itu, mitigasi saja tidak dapat mencegah perubahan iklim, maka adaptasi diperlukan untuk mengurangi dampak perubahan iklim terhadap sistem manusia dan alam. Menurut Erikson (2011), adaptasi tidak terjadi tanpa pengaruh dari faktor-faktor seperti sosial-ekonomi, budaya, politik, geografis, ekologi dan kelembagaan yang membentuk interaksi manusia dengan lingkungan.

Adaptasi Petani Menghadapi Ketidakpastian Iklim

Kemampuan adaptasi yang dimaksud adalah kemampuan masyarakat untuk mampu menghadapi dan mengatasi perubahan iklim pada saat ini dan dimasa datang. Kemampuan adaptasi tersebut dapat dilakukan kolektif maupun individu dalam melakukan

(11)

perencanaan, membuat keputusan serta melaksanakan upaya adaptasi yang efektif termasuk indikator kemampuan adaptasi yang perlu diperhatikan. Kemampuan adaptasi sendiri dipengaruhi oleh paparan

(exposure) dan tingkat kepekaan (sensivity). Paparan didefinisikan

sebagai sejauh mana perubahan iklim bersinggungan dengan sistem. Sistem yang dimaksud adalah pola kehidupan dan penghidupan masyarakat maupun ekosistem. Paparan berbeda dengan dampak. Paparan masih pada tahap membahas seberapa luas ataupun seberapa lama perubahan itu bersinggungan dengan masyarakat maupun sumberdaya alam dan pada tahap berlangsungnya kejadian yang menimbulkan dampak. Faktor penentu paparan adalah kecenderungan iklim saat ini (musim), kejadian yang diakibatkan iklim, perkiraan iklim, serta data masyarakat dan ilmuwan.

Sedangkan kepekaan (sensivity), didefiniskan sebagai dampak dari perubahan iklim, meliputi dampak dari perubahan pola musim jangka panjang, kejadian cuaca buruk jangka pendek/singkat, dan bencana terkait perubahan iklim. Masyarakat memiliki kepekaan yang berbeda, diantaranya berdasarkan sumber penghidupan. Masyarakat yang bergantung pada lebih dari satu sumberdaya memiliki kepekaan yang rendah terhadap dampak perubahan iklim dibandingkan hanya pada satu sumberdaya saja. Petambak ikan di pesisir memiliki kepekaan tinggi terhadap kenaikan permukaan laut dibandingkan pembudidaya rumput laut pada lokasi yang sama.

Dalam menanggapi perubahan iklim petani akan berusaha untuk mempertahankan usaha taninya dengan melakukan penyesuaian praktik pertanian dengan kondisi iklim yang sedang berlangsung. Adaptasi terhadap perubahan iklim disusun oleh berbagai tindakan dalam masyarakat baik dilakukan oleh individu, kelompok, dan pemerintah yang merupakan aktor adaptasi dalam konteks kajian ini. Adaptasi dilatarbelakangi oleh berbagai faktor termasuk perlindungan terhadap kesejahteraan dan keselamatan. Hal tersebut dapat dilakukan secara individu atas dasar kepentingan pribadi, atau tersusun dalam aksi pemerintah dan publik untuk melindungi penduduknya (Adger dkk., 2005).

(12)

Menurut Surmaini dkk. (2010) teknologi yang diadopsi sebagai strategi adaptasi terhadap perubahan iklim yaitu: meliputi penyesuaian waktu tanam, penggunaan varietas unggul tahan kekeringan, rendaman, dan salinitas, serta pengembangan teknologi pengelolaan air. Sedangkan Prager dan Posthumus (dalam Kalinda, 2011), berpendapat bahwa menggali pengetahuan dan persepsi dari pengadopsi adalah penting dalam memengaruhi keputusan-keputusan adopsi. Berdasarkan hasil penelitian Akponikpe dkk. (2010) di Sub Sahara Afrika Barat ternyata para petani setempat mengetahui bahwa telah terjadi perubahan iklim dalam 10 tahun terakhir ini, selain itu petani lebih memilih mengadopsi strategi adaptasi dengan merubah pola tanam daripada merubah memperbaiki kesuburan tanah dan merubah manajemen pengelolaan tanah dan air. Hal tersebut disimpulkan Akponikpe dkk. (2010) disebabkan faktor sosial ekonomi petani yang menganggap bahwa merubah pola tanam adalah lebih mudah dan efisien daripada mengadopsi konservasi tanah secara teknis yang memerlukan modal yang lebih besar baik biaya maupun tenaga kerja.

Hasil penelitian Kalinda (2011) di Zambia menunjukkan bahwa sebagian besar petani mengaitkan perubahan iklim dengan kekuatan-kekuatan supra natural. Dampak kejadian banjir dan kekeringan yang dialami petani secara signifikan memengaruhi peningkatan konsevasi lahan pertanian. Kesimpulan dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa lembaga penyuluh pertanian konservasi kurang memberikan informasi mengenai keterkaitan pertanian konservasi dengan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim karena petani hanya mengetahui bahwa teknologi yang adopsi bertujuan untuk konservasi lahan dan air bukan sebagai bentuk adaptasi perubahan iklim.

Dampak perubahan iklim yang menyebabkan ketidakpastian musim tersebut, petani berupaya menyesuaikan diri (beradaptasi) dari pola perubahan tersebut. Bentuk penyesuaian tersebut, dapat dilakukan dengan berbagai cara bergantung pada kondisi geografis dan kemampuan adaptasinya. Pola musim yang berubah tersebut

(13)

membuat petani untuk melakukan berbagai upaya untuk menghadapi ancaman pola musim yang berubah-ubah yang menyebabkan serangan organisme penggangu tanaman semakin meningkat dan tidak dapat diprediksi serta musim yang ekstrim. Petani juga melakukan adaptasi dengan apa yang sudah mereka kenali dan lakukan seperti pemajuan dan/atau pemunduran musim tanam untuk menghindari puncak hujan atau hujan yang ekstrim. Upaya yang dilakukan petani menyesuaikan dengan varietas (jenis) tanaman dan kondisi wilayah yang memengaruhi pola produksi dengan menyesuaikannya dengan pola curah hujan dan ketersediaan air (Siregar, dkk., 2010).

Kebutuhan petani atas air mendorong pemerintah untuk melakukan peningkatan kemampuan dalam mengenali cuaca dan musim melalui Sekolah Lapang Iklim (SLI). Dalam SLI, petani semestinya mendapatkan Informasi Perkiraan Musim (IPM) dalam bentuk informasi yang menjelaskan tentang datangnya musim hujan dan sifat hujan sehingga menjadi panduan atau saran bagi petani untuk menentukan keputusan pola tanam. Bila musim hujan diramalkan datang lebih awal dari biasanya, petani disarankan untuk mempercepat waktu tanam. Sebaliknya, bila diprediksi musim hujan lebih pendek atau curah hujan lebih rendah daripada biasanya, maka petani direkomendasikan agar pada musim tanam kedua menanam tanaman umur pendek atau yang hanya butuh sedikit air. Tetapi petani tidak menggunakan informasi perkiraan musim ini karena ketidakakuratannya (Siregar, 2009). Petani sering kecewa sehingga tidak menggunakan informasi prakiraan iklim ketika petani menyatakan bahwa prediksi (ramalan) ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Petani menyimpulkan prakiraan tersebut tidak bisa diandalkan (Boer, et al., 2003 dalam Siregar 2009). Para ahli telah lama mengamati respon petani dalam menggunakan informasi yang sifatnya „berpeluang‟ mendekati tepat. Pengetahuan kita mengenai hal ini masih terbatas (Roncoli, 2006 dalam Siregar 2009). Kendala lain dalam pemanfaatan informasi ini adalah bahasa yang dipakai dalam menjelaskan ramalan cuaca. Istilah yang digunakan kadang sulit dipahami petani. Pemerintah dan ahli menyimpulkan jalan

(14)

terbaiknya adalah menerjemahkan informasi prakiraan iklim ke dalam ‟bahasa petani‟ (Boer, et al., 2003; Roncoli, 2003 dalam Siregar 2009). Upaya-upaya tersebut dilakukan untuk mempertahankan petani untuk bertahan dari ketidakpastian musim dari dampak perubahan iklim atas sumber penghidupannya.

Berikut ini beberapa faktor yang mempengaruhi adaptasi petani menghadapi perubahan iklim, yaitu:

1. Risiko Iklim

Perubahan cuaca yang berganti ganti dan cenderung cepat (anomali) pada musim berakibat pada bentuk kerentanan yang berpengaruh terhadap risiko yang diterima oleh penanggap seperti petani, nelayan atau kelompok rentan lainnya. IPCC (2007) menyebutkan bahwa kerentanan iklim dipengaruhi oleh tingkat keterpaparan (exposure) kepekaan (sensivity) dengan kapasitas adaptasi (Adaptive Capacity). Siregar (2012) menegaskan bahwa kerentanan lebih ditekankan pada perubahan jangka panjang yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Tantangan dalam penilaian kerantanan iklim dapat dilakukan dengan membandingkan kerantanan saat ini, dengan kerentanan yang akan datang serta proses adaptasi dalam berbagai tingkat. Kerentanan perubahan iklim menekankan pada manusia dibandingkan ruang karena dipengaruhi oleh fenomena sosial yang berkaitan dengan kelompok sosial tertentu, ekonomi, dan politik serta tidak menisbikan kajian dampak kerusakan sumber daya alam dan infrastruktur.

Tingginya kerentanan iklim akan memengaruhi risiko iklim untuk memprediksi dampak iklim terhadap pola perubahan iklim pada wilayah tertentu. Risiko iklim merupakan bentuk dampak yang akan diterima dari skala kemungkinan (likelihood) yang akan terjadi dengan konsekwensi (consequency) yang akan diterima. Nilai kemungkinan merupakan prediksi yang didasarkan pada tingkat keterpaparan dengan kepekaan. Sedangkan konsekwensi merupakan dampak yang akan diterima jika dipertemukan dengan skala kemungkinan (keterpaparan dan kepekaan) (GIZ, 2014).

(15)

2. Bentuk Tanggapan Atas Risiko Iklim

Variabel iklim9tersebut merupakan bagian penting dari model

prediksi pelaku dalam menentukan bentuk mitigasi dan adaptasi yang dibutuhkan dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang akan ditanggapi pelaku untuk mempertahankankan sumber penghidupannya. Bentuk penyesuaian yang dilakukan oleh pelaku sebagai penanggap (aktor/pelaku) atas dampak perubahan iklim dipengaruhi oleh kemampuan adaptasi pelaku yang dipengaruhi oleh lima (5) aspek yang mendukung kemampuan tersebut: 1) manusia; 2) sosial budaya; 3) ekonomi dan teknologi; 4) lingkungan dan sumber daya alam; dan 5) infrastruktur dan dukungan pihak lain. Secara spesifik Siregar (2012) menyusun patokan (benchmark) untuk memastikan pelaku (aktor) pada masyarakat pesisir mampu menghadapi dampak pola perubahan iklim atas lima (5) aspek tersebut yang terlihat pada Lampiran 1.

3. Iklim Ekstrim sebagai Bencana

Kerentanan iklim dipengaruhi atau memengaruhi ancaman (hazard) hydrometeorologis dalam menghadapi kondisi ekstrim seperti yang terjadi pada curah hujan yang tinggi maupun pada kondisi curah hujan yang rendah (Twigg, 2007). Tanda alam yang dirasakan petani maupun nelayan, lebih bersifat pada intensitas dan sifat hujan pada setiap cuaca atau musim yang memengaruhi tumpuan hidupnya. Bahkan iklim ekstrim berdampak pada bencana alam karena ancaman yang dipicu oleh ketidakpastian iklim maupun iklim ekstrim dan tingkat keterpaparannya.

Dalam perspektif analisa risiko, bencana dipandang sebagai persoalan kerentanan, dan terjadi ketika suatu ancaman bencana terjadi di masyarakat rentan yang tidak memiliki kapasitas atau yang memiliki kapasitas rendah untuk mengatasi dampak negatif suatu bencana. Sehingga bencana merupakan produk sosial, ekonomi dan

9Siregar (2010) menjelaskan variabel iklim yang dimaksud adalah temperatur, curah hujan, kelembaban, intensitas dan frekwensi hujan.

(16)

politik (Heijkman, 2006). Kerentanan sendiri merupakan kumpulan maupun rentetan keadaan yang melekat pada masyarakat yang mengarah dan menimbulkan konsekwensi (fisik, sosial ekonomi, dan perilaku) menurunnya daya tangkal dan daya tahan masyarakat sehingga berpengaruh buruk terhadap upaya pencegahan dan penanggulangan bencana (Eko Teguh Paripurno dalam Adi Nugroho, 2009).

Heijkman (2006) menyebutkan bahwa kerentanan merupakan kondisi jangka panjang yang secara negatif memengaruhi kemampuan masyarakat untuk melindungi diri sendiri, atau mengatasi, atau melakukan pemulihan secara mudah dari dampak negatif suatu bencana. Kondisi tersebut ada sebelum bencana; dan akan meningkatkan dampak suatu (jika ada) bencana. Kerentanan sosial muncul akibat kemiskinan, ketidakamanan, kerusakan lingkungan, keterbatasan sumber daya, tata kelola pemerintahan yang tidak baik, sehingga kerentanan sifatnya dinamis atau bisa berubah-ubah. Gambar berikut ini menunjukkan faktor kerentanan masyarakat yang menimbulkan bencana.

Meningkatkan Kerentanan

Paparan Fisik thd Bencana Bencana Proses munculnya Kerentanan

Ancaman Bencana Kondisi Dinamika Akar

Tidak aman Tekanan Penyebab

1. Gempa bumi Elemen beresiko Lokasi berbahaya Keterbatasan akes thd kebijakan menuju

 Banjir Rumah tdk aman sumber daya, layanan distribusi tdk adil

 Topan Mata pencaharian tdk aman dasar, pasar, sumber daya, Kekeringan mata pencaharian tdk tetap proses pembuatan layanan, kekayaan

 Gunung meletus Tidak ada tabungan keputusan politik kekuasaan

 Perang Ketrampilan rendah

 Polusi Tdk ada JPS kembalinya pengungsi Kebijakan/struktur

 Hama Tdk ada layanan dasar ketidakamanan menuju akses

 Tanah longsor Rendahnya persatuan tdk ada kontrol perdagangan kekuasaan yg tdk

 dst. Kesadaran rendah Deforestasi adil, bias posisi Migrasi Negara & militer Hukum yg tdk berpihak

Tdk ada dana pemerintah Ideologi: peran gender, definisi hak, ideologi politik & ekonomi

The ‘Disaster Crunch Model’ (modified and adapted from Blaikie et al, 1994, At Risk, Natural Hazards, people’s vulnerability and Disasters,

Routledge, London)

(17)

Sedangkan kapasitas masyarakat merupakan gabungan cara, kekuatan yang tersedia di kelompok masyarakat dan kelembagaan sosial yang memungkinkan masyarakat memiliki daya tangkal dan daya tahan untuk mengurangi tingkat risiko atau akibat bencana. Yang perlu diperhatikan adalah masyarakat bukan korban pasif yang hanya menerima bantuan dari luar atau tidak punya kemampuan atau kapasitas. Masyarakat dapat aktif berpartisipasi dalam memulihkan kehidupan dan mata pencaharian mereka sehingga kapasitas masyarakat harus diakui dan dikuatkan atau ditingkatkan. Pengelolaan risiko bencana berbasis masyarakat merupakan upaya atau usaha masyarakat dalam menemukenali semua ancaman atau bahaya beserta pemicu terjadinya bencana dan tingkat keterpaparan jika bencana terjadi dengan mengurangi kerentanan masyarakat dan meningkatkan kapasitas masyarakat (Nugroho, 2009).

Kemampuan Adaptasi Petani Terhadap Perubahan Iklim

Adaptasi sangat tergantung pada kemampuan aktor dalam beradaptasi dari suatu wilayah. Adger, et al., (2007) menyatakan bahwa adaptasi merupakan kemampuan sistem atau komunitas untuk mengatasi dampak dan risiko perubahan iklim, termasuk kemampuan untuk menentukan perilaku terhadap penggu-naan sumber daya dan teknologi. Kemampuan dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim pada setiap komunitas (masyarakat) adalah berbeda. Banyak individu dan kelompok diantara masyarakat yang memiliki kemampuan rendah untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim.

Peningkatan kemampuan adaptasi merupakan praktik cara mengatasi perubahan dan ketidakpastian dalam perubahan iklim, termasuk variabilitas iklim dan iklim ekstrem. Peningkatan kemampuan adaptasi diperlukan untuk mengurangi kerentanan, terutama untuk daerah, bangsa, dan kelompok sosial ekonomi yang paling rentan. Seperti pernyataan Smith, et al. (2003), bahwa peningkatan kemampuan adaptasi dapat mengurangi kerentanan dan mendorong pembangunan berkelanjutan (Smith, et al., 2003).

(18)

Faktor-faktor umum yang memengaruhi kemampuan adaptasi yaitu: pendidikan; pendapatan; dan kesehatan, beberapa faktor khusus yang memengaruhi kemampuan adaptasi yaitu: tingkat kerentanan, institusional, pengetahuan, dan teknologi (Adger, et al., 2007). Sedangkan United Nations Task Team (2011) menyatakan bahwa kemampuan adaptasi dipengaruhi oleh banyak faktor non-iklim dan sosial ekonomi seperti: kesehatan, keterampilan, pengetahuan, pendidikan, modal sosial, infrastruktur, sumber daya alam dan modal keuangan. Penelitian lain menunjukkan bahwa kemampuan adaptasi tidak hanya ditentukan oleh faktor ekonomi dan pengembangan teknologi saja tapi juga ditentukan oleh faktor sosial seperti jaringan sosial dan kelembagaan serta struktur pemerintahan (Klein dan Smith, 2003 dalam Adger, et al., 2007).

IPCC mengidentifikasi faktor sosial ekonomi masyarakat atau wilayah yang dianggap menentukan kemampuan adaptasi dan bentuk adaptasi (Smit & Pilifosova, 2001., dalam Grothmann dan Patt, 2003) diantaranya adalah: kekayaan ekonomi (sumber daya), akses teknologi, akses informasi dan keterampilan, infrastruktur dan kelembagan. IPCC (2001) menjelaskan bahwa adaptasi tergantung pada waktu, capaian dan motif sehingga adaptasi dapat diklasifikasikan menjadi 3 bentuk usaha adaptasi, yaitu: 1) adaptasi reaktif atau antisipatif, 2) mandiri atau kolektif, 3) terencana dan otomatis. Bentuk usaha dalam beradaptasi tersebut memengaruhi manusia menghadapi perubahan iklim. Adaptasi dapat juga berlangsung dalam waktu panjang atau pendek, lokal atau pada wilayah yang lebih luas.

Modal Dalam kelembagaan Sosial

Pengaruh Habitus sebagai Modal dalam Kelembagaan Sosial

Pengaruh aktor dalam mengambil keputusan untuk menjadi aktor dalam mengambil tindakan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan struktur sosial masyarakat. Kondisi tersebut oleh Bourdieu (1999) disebut sebagai habitus. Bourdieu menjelaskan bahwa habitus

(19)

merupakan hasil dari dialektika yang terbentuk dari konteks dimana tempat aktor berada yang menghasilkan pemikiran untuk menghasil-kan pilihan aktor itu sendiri. Dalam menentumenghasil-kan pilihan, aktor menggunakan pertimbangan mendalam berdasarkan kesadaran, meski proses pembuatan keputusan ini mencerminkan berperannya habitus. Habitus menyediakan prinsip-prinsip yang dijadikan dasar oleh aktor dalam membuat pilihan dan memilih strategi yang digunakan dalam kehidupan sosial, aktor bertindak menurut cara yang masuk akal (reasonable) dimana logika sangat berpengaruh terhadap tindakan yang diambil oleh aktor berdasar pada habitusnya. Selain itu, keputusan aktor yang bertindak atas logika juga pengaruhi oleh keyakinan yang memiliki nilai atau dianggap bernilai oleh aktor sehingga keyakinan merupakan dasar aktor dalam bertindak.

Ruang logika dan tindakan pada habitus merupakan arena dari pertarungan, perjuangan, arena adu kekuatan, antara dominasi dan konflik antar individu, antar kelompok demi mendapatkan posisinya. Posisi-posisi ini ditentukan oleh banyaknya kapital atau modal yang mereka miliki. Semakin banyak jumlah dan jenis modal yang mereka miliki, maka ia akan mendapatkan posisi terbaik dalam arena tersebut, atau menduduki posisi yang dominan dalam suatu arena. Bourdieu menjelaskan empat (4) jenis modal yang dimiliki seorang aktor, yaitu: 1) Modal ekonomi: segala bentuk modal yang dimiliki yang berupa materi, misalnya uang, emas, mobil, tanah, dan lain-lain; 2) Modal sosial: terdiri dari hubungan sosial yang bernilai antara individu, atau hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumberdaya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial.; 3) Modal

kultural: meliputi berbagai pengetahuan yang sah; dan 4) Modal

simbolik: berasal dari kehormatan dan prestise seseorang10.

10 Coleman (1998) melengkapi kajian Bourdieu dengan melihat modal sosial berdasarkan fungsinya dimana modal sosial tercakup dua (2) hal penting yaitu: (1) modal sosial mencakup aspek tertentu dari struktur sosial; dan (2) modal sosial memfasilitasi pelaku (aktor) bertindak dalam struktur tersebut. Coleman juga mengembangkan pemahaman modal sosial yang meliputi asosiasi (hubungan)

(20)

Dalam menentukan pilihan, aktor menggunakan pertim-bangan berdasarkan kesadaran dan selama proses pembuatan keputusan merupakan cerminan habitus. Habitus menyediakan prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai dasar oleh aktor dalam membuat pilihan dan memilih strategi yang digunakan dalam kehidupan sosial, aktor bertindak menurut cara yang masuk akal

(reasonable). Aktor mempunyai perasaan dalam bertindak, berdasar

logika ketika aktor bertindak atau disebut sebagai logika tindakan. Bourdieu menyatakan bahwa logika tindakan (logika praktis) berbeda dengan rasionalitas (logika formal). Terdapat konsep relasio-nalisme dari Bourdieu yang digunakan untuk menuntun individu untuk mengakui bahwa habitus bukanlah struktur yang tetap, tidak dapat berubah, tetapi beradaptasi dengan individu yang dinamis di hadapan situasi yang saling bertentangan di mana setiap aktor berada. Kerja waktu (habitus dan pengalaman praktis berdasar waktu dan logika) pun juga bisa memengaruhi praktik seseorang dalam melakukan suatu tindakan.

Berbagi pengetahuan merupakan bentuk nyata dari model kelembagaan petani yang kadang dibangun pada kelembagaan formal dan informal. Kelembagaan sosiologis petani yang informal dan oleh negara menjadi kelembagaan formal. Kelembagaan yang terbentuk tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan karena saling memengaruhi. Kelembagaan sosiologis ini, adaptif terhadap tanggapan dan relatif dibentuk oleh faktor di luar kelembagaan dimana pada beberapa kasus bersifat sementara karena dibentuk vertikal dan horisontal. Asosiasi vertikal ditandai dengan hubungan yang bersifat hirarkis dan pembagian kekuasaan yang tidak seimbang antar anggota masyarakat. Hubungan semacam ini mempunyai konsekuensi positif maupun negatif. Sedangkan asosiasi horisontal adalah hubungan yang sifatnya egaliter dengan pembagian kekuasaan yang lebih merata. Sedangkan Putnam (1993), menjabarkan modal sosial sebagai seperangkat asosiasi antar manusia yang bersifat horisontal yang mencakup jaringan dan norma bersama yang berpengaruh terhadap produktivitas suatu masyarakat. Intinya Putnam melihat modal sosial meliputi hubungan sosial, norma sosial, dan kepercayaan (trust).

(21)

untuk menanggapi kebijakan atau persoalan yang dihadapi sementara. Jika kelembagaan ini merupakan bentuk adaptif dari kelembagan kultural tentu dapat dibedakan karena memiliki kelentingan (kelenturan) dalam penyesuaian sosialnya sebagai akibat modernisasi. Tetapi jika kelembagaan sosiologis terjadi ditengah jalan untuk menanggapi persoalan atau kebijakan kadang tidak bersifat permanen atau sementara karena dibentuk oleh faktor dari luar dan memiliki ketergantungan. Kelembagaan kultural maupun kelembagaan sosiologis, hanya dapat dianalisa dari sejarah pembentukannya dan faktor-faktor yang membentuknya. Pengakuan atas kelembagaan ini juga secara politik diakui sebagai kesepakatan lingkungan secara internasional (konvensi) seperti pengakuan hak ulayat masyarakat adat (historis) maupun hak-hak kewarganaegaraan (Amenta, et al., 2010).

Jejaring Sosial dan Tindakan Kolektif

Penekanan modal sosial adalah membangun jaringan

(networks) dan adanya pemahaman norma bersama. Tetapi perlu

disadari pemahaman norma bersama belum cukup menjamin kerjasama antar individu karena bisa saja ada yang tidak taat (moral

hazard). Oleh karena itu dibutuhkan sanksi sosial yang bersifat

informal sehingga kualitas hubungan dan interaksi sosial tetap terjaga dengan baik. Sanksi sosial dimaksudkan agar tidak terjadi deviasi terhadap norma yang ada (Coleman 1998; Iyer, 2005). Sehingga yang dimaksud dengan modal sosial yaitu sistem nilai yang dianut bersama dan aturan tentang perilaku sosial masyarakat yang di dalamnya sudah meliputi kepercayaan dan tanggung jawab sosial. Artinya, modal sosial berpengaruh terhadap lingkungan sosial dan lingkungan politik yang kemudian ikut membentuk norma tentang pemerintahan, aturan hukum, dan kebebasan politik (North, 1990 dalam Narayan, 1999).

Modal sosial bagi Bourdieu (1999) adalah relasi sosial yang dapat dimanfaatkan seorang aktor dalam rangka mengejar

(22)

kepen-tingannya. Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai sumber daya yang dimiliki seseorang ataupun sekelompok orang dengan memanfaatkan jaringan, atau hubungan yang terlembaga dan ada saling mengakui antar anggota yang terlibat di dalamnya. Dari definisi tersebut ada dua hal yang perlu mendapat perhatian dalam memahami modal sosial yaitu: pertama, sumber daya yang dimiliki seseorang berkaitan dengan keanggotaan dalam kelompok dan jaringan sosial. Besarnya modal sosial yang dimiliki seseorang tergantung pada kemampuan orang tersebut memobilisasi hubungan dan jaringan dalam kelompok atau dengan orang lain di luar kelompok. Kedua, kualitas hubungan antar aktor lebih penting daripada hubungan dalam kelompok. Bourdieu melihat bahwa jaringan antar aktor yang bersifat sosiologis tidak bersifat alami, melainkan dibentuk melalui strategi investasi yang berorientasi kepada pelembagaan hubungan kelompok yang dapat dipakai sebagai sumber untuk meraih keuntungan.

Bourdieu menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukan aktor dipengaruhi oleh aktor lain didasarkan pada habitus pada ruang atau arena merupakan bentuk tindakan bersama untuk mencapai tujuan tertentu. Relasionalisme antara individu yang dipengaruhi oleh kapasitas aktor dalam habitusnya merupakan tindakan kolektif yang melembaga dalam proses ruang dan waktu tertentu. Tindakan kolektif pada ruang dan waktu tersebut tidak berdiri sendiri tetapi berjejaring dengan aktor atau kelompok lain sebagai pengejewan-tahan tindakan kolektif pada waktu dan ruang yang berbeda.

Adaptasi

Perubahan

Iklim

Dalam

Pembangunan

Berkelanjutan

Laporan World Commission of Environment and

Development (dalam Djayadiningat, 2003) yang berjudul “Our

Common Future” menyebutkan rumusan tentang “Sustainable

(23)

“Sustainable Development is defined as development that meetthe needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs” (Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri)

Komponen dasar pembangunan berkelanjutan mengenali tiga komponen, yaitu: komponen pembangunan lingkungan, ekonomi dan sosial dimana ketiga komponen tersebut merupakan komponen yang saling berinteraksi dan saling memberikan dukungan. Ketidakseimbangan sosial seperti meningkatnya pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali dan meningkatnya kebutuhan dasar dan layanan sebagai komponen ekonomi, menurunkan keseimbangan ekologi yang berdampak pada layanan atau jasa lingkungan yang diberikan pada manusia dan kebutuhan dasarnya untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. IPCC (2007) menunjukkan dampak kenaikan suhu sebagai akibat aktifitas manusia telah menyebabkan bencana iklim (Gambar 2).

Gambar 2.4 Komponen Pembangunan Berkelanjutan, Daniel Mudiyarso, CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih, 2003., dalam Trend Indonesia

2050, IBCSD, 2015.

Pembangunan lingkungan yang berorientasi pada perbaikan lingkungan lokal seperti sanitasi lingkungan, industri yang lebih bersih dan rendah emisi, dan kelestarian sumber daya alam

Pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, stabilitas dan efisiensi Pembangunan sosial yang bertujuan pengentasan kemiskinan, pengakuan jati diri dan

pemberdayaan masyarakat.

(24)

Kegagalan pembangunan yang berbasis bahan bakar fosil demi mengejar pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan beban ekologi menjadi sangat besar. Selain itu, pembangunan yang eksploitatif dan masif serta tingginya perkembangan penduduk telah menyebabkan turunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan menurun. Ketidakseimbangan tersebut telah menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem karena terjadi „ubahan‟ bentang alam seperti perubahan iklim mikro karena akumulasi karbon telah menyebabkan terganggunya siklus hidrologi, kenaikan suhu karena berkurangnya tutupan lahan dan ketergantungan bahan bakar minyak sebagai akibat dari kegiatan manusia. Hal tersebut berdampak pada pola iklim yang berubah yang menyebabkan terganggunya sumber penghidupan masyarakat dimana satuan wilayah ekosistem menjadi tempat bergantung hidupnya (Susandi, ____).

Dampak pola iklim yang berubah berakibat pada perubahan iklim global yang menganggu sumber penghidupan masyarakat khususnya kelompok rentan seperti petani dan nelayan. Dampak perubahan iklim yang bermula dari ketidakpastian musim, kenaikan suhu dan muka laut, iklim ekstrim terhadap petani khususnya petani non irigasi. Dampak dari ketidakpastian musim bagi petani berakibat pada kekacauan keputusan tanam petani, curah hujan yang tinggi yang berakibat banjir, kekeringan yang berkepanjangan sehingga berdampak pada kegagalan panen padi (Siregar, et al., 2010). Sedangkan nelayan kecil dipengaruhi oleh perubahan arah angin, gelombang tinggi, perubahan arus laut dan suhu laut yang berpengaruh terhadap kemampuan berlayar nelayan untuk mendapatkan tangkapan ikan, kemampuan berlayar yang terbatas karena gelombang tinggi dan jauhnya wilayah tangkapan ikan di laut akan memengaruhi hasil tangkapan ikan oleh nelayan. Begitu juga yang terjadi pada pembudidaya rumput laut, pengaruh kenaikan suhu air laut memengaruhi kualitas dan kantitas hasil panen rumput laut yang tumpuan hidupnya (Siregar, dkk., 2013).

Ketidakmampuan masyarakat sebagai sistem sosial yang menjadi tumpuan dalam pembangunan berkelanjutan berpengaruh

(25)

besar terhadap keberlanjutan kehidupan yang bergantung pada ekosistem, seperti yang ditemukan dalam penelitan Siregar, dkk. (2010 dan 2012), menunjukkan bahwa ketidakpastian iklim dan iklim ekstrim telah memberikan dampak pada sumber penghidupan yang bergantung pada sistem ekologinya.

Munasinghe dan Swart dalam Fourth Assesment Report IPCC (2007), menjelaskan bahwa adaptasi terhadap perubahan iklim dipengaruhi oleh tiga (3) dimensi pembangunan berkelanjutan (dimensi ekologi, dimensi ekonomi dan dimensi sosial) yang berkorelasi dengan ketidakadilan akses terhadap sumber daya, ketidakberimbangan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia, kemiskinan, dan bahaya atau kejadian ekstrim. Sehingga adaptasi perubahan iklim merupakan bentuk tindakan individu atau kolektif dalam menyesuaikan terhadap perubahan atau fenomena alam untuk mempertahankan diri dan sumber penghidupannya.

Gambar 2.5 Pilar Adaptasi Perubahan Iklim dalam Pembangunan Berkelanjutan, Munangsinghe dan Swart (2005) dalam Fourth Assesment

Report Working Gorup II IPCC (2007), Chapter 20, h. 815.

Ketidakadilan akses dan sumber

daya Kemampuan Manusia & Kelembagaan Dimensi Ekonomi Adaptasi Perubahan Iklim Dimensi Ekologi Bahaya atau Kejadian Ekstrim Dimensi Sosial Kemiskinan

(26)

Catatan Penutup

Adaptasi petani padi dipengaruhi oleh kemampuan atau kapasitas petani menghadapi risiko ketidakpastian musim (kerentanan iklim). Kemampuan petani didasarkan pada pengetahuan lokal dalam mengelola sumber daya pertanian merupakan bentuk modal simbolik yang dimiliki oleh setiap petani yang bertumpu pada sumber penghidupan pertaniannya yang merupakan habitus petani. Modal ekonomi berpengaruh terhadap modal simbol baik dalam bentuk kekuasaan atas relasi antar petani dan jejaringnya. Sedangkan kekuatan jejaring sosial merupakan bentuk modal sosial yang melekat pada masyarakat agraris (kelembagaan sosial) karena sifat dan bentuk kekerabatan saling terikat baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam menjamin sumber penghidupannya.

Kerangka adaptasi atas perubahan iklim didasarkan pada keputusan petani dalam menyiasati musim dipengaruhi oleh dimensi sosial, dimensi ekonomi dan dimensi ekologi. Bentuk adaptasi tersebut dipengaruhi oleh habitus (konteks) dan pengaruh modal yang dimiliki petani padi.

Gambar

Gambar  2.1. Grafik Peningkatan temperatur dari tahun ke tahun,  IPCC, 2000.
Gambar 2.3 Model Kegentingan Bencana, Heijkman, 2006.
Gambar 2.4 Komponen Pembangunan Berkelanjutan, Daniel  Mudiyarso,  CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih, 2003., dalam Trend Indonesia
Gambar 2.5 Pilar Adaptasi Perubahan Iklim dalam Pembangunan  Berkelanjutan, Munangsinghe dan Swart (2005) dalam  Fourth Assesment

Referensi

Dokumen terkait

Astrosit merupakan sel glial utama pada sistem saraf pusat yang mengisi 50% dari volume otak manusia dan berperan penting dalam fungsi fisiologis otak.. Astrosit berperan

Dari aspek ekonomi bahwa masyarakat Kastela memandang positif keberadaan PLTMG karena sangat berkontribusi terhadap kegiatan ekonomi masyarakat terutama dalam dunia

Setiap orang atau korporasi yang dengan sengaja menyalahgunakan penyaluran bantuan pemenuhan kebutuhan dasar dan rehabilitasi rumah korban bencana sebagaimana dimaksud

Mengingat bahwa kontribusi pengaruh pengembangan pegawai lebih besar dari kontribusi pengaruh penempatan, maka peningkatan kinerja Direktorat Jenderal otonomi

Sebuah film yang berbau illuminati dapat dilihat dari perusahaan yang memproduksi film tersebut, sekilas memang rumah produksi atau production house

Penelitian kualitatif tahap awal ini berfokus pada beberapa variasi linguistik bahasa Tetun dialek Fehan pada masyarakat matrilineal suku Tetun di Belu, Nusa Tenggara Timur

Pihak lain yang sependapat juga mendukung dengan mengatakan bahwa Adopsi IFRS dapat memperkuat integrasi dan daya saing pasar modalnya terutama bagi negara

Sebagai contoh pada pembuatan atau konstruksi atap bangunan, prinsip kesetimbangan benda tegar perlu diterapkan agar  konstruksi atap bangunan, prinsip kesetimbangan benda