• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 1. Grafik Populasi Sapi Perah Nasional Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambar 1. Grafik Populasi Sapi Perah Nasional Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan Produksi Susu Sapi Perah Nasional

Industri persusuan sapi perah nasional mulai berkembang pesat sejak awal tahun 1980. Saat itu, pemerintah mulai melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan kapasitas produksi susu segar di dalam negeri, disebabkan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Untuk meningkatkan populasi, sapi perah FH betina (dara bunting) di impor secara teratur dalam jumlah besar. Hal ini menyebabkan populasi sapi perah di Indonesia meningkat tiap tahunya. Peningkatan Jumlah populasi ini juga berhubungan dengan tingginya permintaan susu dan produk olahan susu oleh konsumen. Berdasarkan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011), populasi sapi perah terbesar terdapat di Jawa Timur (46,8%), Jawa Barat (25,2%), dan Jawa Tengah (24,9%). Populasi sapi perah nasional dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Grafik Populasi Sapi Perah Nasional Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011)

Kegiatan importasi mampu menambah populasi sapi secara cepat, diikuti peningkatan produksi susu segar secara signifikan. Meskipun demikian, dalam perkembangan usaha sapi perah nasional, kenaikan produksi susu lebih dikarenakan penambahan populasi, belum dimbangi oleh perbaikan produktivitas ternak. Hal ini dapat diilustrasikan dari hasil kajian data tentang perkembangan populasi dan produksi susu sapi perah (Direktorat Jenderal Peternakan, 2010). Atas dasar asumsi

(2)

induk saat ini sekitar 3.471 kg. Produksi susu nasional pada dari tahun dari tahun 2000 hingga tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Grafik Produksi Susu Nasional

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011)

Produksi susu sapi di Indonesia sangat berfluktuatif tiap tahunnya. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain karaktaristik bangsa, karakteristik individu, umur, masa bunting, pakan, kesehatan, kondisi lingkungan, frekuensi dan metode pemerahan (Sasimowski, 1982). Heriyanto (2009) menambahkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi susu sapi perah adalah jumlah pakan konsentrat, jumlah pakan hijauan, penggunaan tenaga kerja dan masa laktasi sapi. Kemampuan produksi setiap individu sapi perah tergantung kepada kemampuan dari pejantan dan induk serta faktor lingkungan yang menunjang tertampilnya kemampuan genetik yang dibawa ternak tersebut (Thalib et al., 2001).

Produktivitas Sapi Friesian Holstein

Sapi Frisian Holstein atau FH, di Amerika Serikat disebut Holstein Friesian atau disingkat Holstein, sedangkan di Eropa disebut Friesian. Sapi FH berasal propinsi Belanda Utara dan propinsi Friesland Barat. Bobot badan sapi betina dewasa yang ideal adalah 628 kg, sedangkan yang jantan dewasa bobotnya 1000 kg. Sapi FH adalah sapi perah dengan produksi susu tertinggi, dibandingkan bangsa-bangsa sapi perah lainya dengan kadar lemak susu yang rendah (Sudono et al., 2003). Komposisi susu Menurut Buckle (1988) adalah lemak 3,9%, protein 3,4%, laktosa 4,8%, abu

(3)

0,72% dan air 87%. Komponen lain yang juga terdapat dalam susu adalah sitrat, enzim-enzim, fosfolipid, vitamin A, vitamin B dan vitamin C.

Sudono et al. ( 2003) menjelaskan bahwa sapi FH murni memiliki warna bulu hitam dan putih atau merah dan putih dengan batas-batas warna yang jelas. Sapi FH baik untuk menghasikan daging (beef) karena tumbuhnya cepat dan menghasilkan karkas sangat baik. Bobot lahir anak sapi tinggi yaitu 43 kg, tambahan lain warna lemak daging putih, sehingga baik sekali untuk produksi veal (daging anak sapi). Bangsa sapi perah yang baik diternakkan di daerah dengan ketinggian antara 750-1250 meter diatas permukaan laut dan akan menunjukkan penampilan produksi susu terbaik apabila ditempatkan pada suhu lingkungan 18,3oC dengan kelembaban 55%. Apabila ternak ditempatkan pada lingkungan dengan suhu lebih tinggi maka ternak akan melakukan penyesuaian secara fisiologis dan secara tingkah laku (behaviour) (Yani & Purwanto, 20010).

Produktivitas sapi perah di Indonesia tergolong rendah jika dibandingkan dengan produktivitas sapi perah iklim sedang. Rataan produksi susu nasional berkisar 3.471 kg per laktasi (Direktorat Jenderal Peternakan, 2010). Produksi susu ini berbeda jauh dengan produktivitas sapi FH di Inggris yang mempunyai produksi susu satu laktasi sebanyak 7.609-8.548 kg (Albarrant et al. 2008), namun setara dengan produktivitas sapi FH di iklim tropis seperti di Afrika Selatan , yakni sebesar 3.840-4.590 kg per laktasinya (Theron & Mostert, 2009). Sudono et al. (2003) menambahkan produksi susu rata-rata di Amerika Serikat 7.245 kg/laktasi dan kadar lemak 3,65%, sedangkan di Indonesia produksi susu rata-rata per hari 10 liter/ekor.

Perbaikan Genetik Sapi Perah

Perbaikan genetik sapi perah dapat dilakukan pada ternak jantan dan ternak betina. Ternak jantan berpeluang mempunyai keturunan lebih banyak dibandingkan ternak betina sehingga mendapatkan perhatian yang lebih besar. Pada prinsipnya, potensi genetik ternak dapat dinilai melalui nilai genetik atau nilai pemuliaan yang dimiliki oleh semua kerabatnya yang lain, utamanya adalah dengan keluarga terdekat (Santosa et al., 2009).

Program perkawinan sapi FH di dalam negeri selama ini pada dasarnya lebih diarahkan pemerintah kepada sistem perkawinan out breeding agar sapi perah

(4)

kinerja produksi susu cukup tinggi dari generasi ke generasi (Anggraeni dan Iskandar, 2008). Sapi FH pejantan unggul sebagai sumber semen beku yang diproduksi oleh BIB Nasional, didatangkan dari banyak negara, sehingga merupakan sumber materi genetik sapi FH dari banyak galur, seperti dari Australia, New Zealand, Jepang, AS dan Kanada (Anggraeni dan Iskandar, 2008).

Anggreani (2012) menjelaskan bahwa sapi pejantan unggul yang dipakai oleh BIB Nasional untuk menghasilkan semen beku sebagian sudah melewati proses pemilihan pejantan sangat ketat. Dalam proses pembelian pejantan FH dari negara importir, BIB Nasional memilih sapi pejantan hasil uji progeni di negara asal dengan kemampuan pewarisan produksi susu atau Predicted Transmitting Ability (PTA) pada peringkat atas (top) untuk dijadikan pejantan sumber semen beku di dalam negeri. Pengaturan perkawinan untuk meminimalkan terjadinya perkawinan kerabat dekat terutama antara sapi betina dengan bapaknya, sudah mulai dilakukan oleh BIB Nasional dan sebagian oleh koperasi susu. Meskipun demikian, upaya secara langsung untuk menghasilkan sapi perah bibit, baik pejantan maupun sapi betina dengan kemampuan produksi susu yang tinggi, belum berjalan secara baik dan teratur.

Seleksi Sifat Produksi Susu

Seleksi merupakan suatu tindakan untuk memilih ternak yang dapat dianggap mempunyai mutu genetik baik untuk dikembangbiakkan lebih lanjut serta mimilih ternak yang dianggap kurang baik untuk disingkirkan dan tidak dikembangbiakkan lebih lanjut (Hardjosubroto, 1994). Santosa et al. (2009) mendefinisikan seleksi sebagai suatu tindakan memilih ternak atau sekelompok ternak yang unggul secara genetik untuk menjadi tetua bagi generasi berikutnya dan mengeluarkan ternak yang kurang baik. Menurut Noor (2010) , terdapat dua kekuatan yang menentukan apakan ternak-ternak pada generasi tertentu bisa menjadi tetua pada generasi selanjutnya. Kedua kekuatan itu adalah seleksi alam dan seleksi buatan. Seleksi buatan inilah yang digunakan manusia dalam meningkatkan produktifitas ternak tersebut. Hal ini disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan manusia.

Kondisi usaha peternakan sapi perah di Indonesia menunjukkan bahwa produksi susu saat ini merupakan sifat yang pertama kali mendapatkan prioritas dalam perbaikan genetik sapi perah. Dengan demikian, target penting seleksi bibit

(5)

pada sapi perah utamanya menghasilkan pejantan berkemampuan mewariskan sifat produksi susu tinggi pada anaknya dan menghasilkan induk dengan produksi susu tinggi dan penggunaan input produksi secara efisien. Seleksi pada dasarnya adalah mengidentifikasi keunggulan genetik ternak, untuk sifat yang diinginkan dengan cara mengestimasi nilai pemuliaannya (Anggreani, 2012).

Menurut Chacko dan Schneider (2005) secara garis besar ada empat metode untuk mengestimasi nilai pemuliaan ternak, yaitu: a) seleksi individu atas dasar nilai fenotipe ternak itu sendiri; b) seleksi sib atas dasar hubungan kekerabatannya (saudara); c) uji progeni atas dasar penampilan anak betina (dari pejantan); dan d) animal model atas dasar catatan produksi dari ternak itu sendiri dilengkapi informasi familinya. Seleksi pada sapi perah ditujukan terutama untuk menghasilkan pejantan yang memiliki kemampuan mewariskan sifat produksi susu tinggi pada anaknya dan menghasilkan sapi betina berkemampuan produksi susu tinggi dan penggunaan input produksi secara efisien. Respon kemajuan genetik dari seleksi yang dilakukan tentunya akan ditentukan oleh keragaman genetik, akurasi seleksi, intensitas seleksi dan interval generasi (Anggreani, 2012).

.

Faktor Koreksi

Faktor koreksi perlu dibuat untuk menghindari bias dalam perhitungan, sehingga produksi susu yang diperoleh seluruhnya mencerminkan kemampuan gentik dari ternak tersebut, bukan karena pengaruh lingkungan. Produksi susu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Produksi susu merupakan suatu sifat fenotip, yang ekspresinya ditentukan oleh genetik dan lingkungan dimana sifat tersebut berada. Schmidt dan Van Vleck (1974) menyatakan bahwa faktor lingkungan dapat dibagi dua berdasarkan penyebabnya, yaitu: (1) lingkungan yang penyebabnya diketahui : umur, musim saat beranak, masa kering dan masa produksi, sehingga produksi perlu dikoreksi: (2) lingkungan yang tidak diketahui penyebabnya, namun berpengaruh terhadap produksi susu, hal ini sulit dibuat faktor koreksinya.

Pendugaan nilai pemuliaan produksi susu dilakukan dengan penyesuaian produksi susu sapi betina yang dinilai terhadap produksi susu setara dewasa. Faktor-faktor yang perlu penyesuaian adalah jumlah pemerahan, intensitas pemerahan, dan periode laktasi (Warwick et al., 1995). Ternak yang secara genetik unggul tidak akan

(6)

menampilkan keunggulan yang optimal jika tidak didukung oleh faktor lingkungan yang baik pula. Sebaliknya, ternak yang memiliki mutu genetik rendah meski didukung oleh lingkungan yang baik juga tidak akan menunjukkan produksi yang tinggi (Noor, 2010).

Faktor koreksi yang paling banyak digunakan di berbagai negara adalah faktor koreksi produksi susu yang disesuaikan ke arah lama pemerahan 305 hari, umur induk dewasa dan pemerahan 2 kali sehari. Standarisasi laktasi 305 hari didasarkan perhitungan bahwa seekor sapi perah optimal apabila beranak satu kali per tahun, dengan lama pengeringan 6-8 minggu. Standarisasi laktasi umur dewasa (Mature Equivalent) didasarkan atas produksi susu yang optimum akan dihasilkan pada umur dewasa, dicapai pada umur 66-72 bulan atau pada laktasi keenam (Hardjosubroto, 1994).

Heritabilitas

Heritabilitas secara sederhana yaitu berhubungan dengan proporsi keragaman fenotifik yang dikontrol oleh gen. Proporsi ini dapat diwariskan pada generasi selanjutnya (Noor, 2010). Falconer (1992) menyatakan bahwa heritabilitas adalah rasio ragam yang aditif dengan ragam fenotif. Warwick et al. (1995) menyatakan menyatakan bahwa heritabilitas adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan bagian dari keragaman total yang diukur dengan ragam suatu sifat yang diakibatkan pengaruh genetik. Semua komponen genetik ini dipengaruhi oleh frekuensi gen yang dapat berbeda dari suatu populasi lainnya.

Falconer (1992) menambahkan bahwa heritabilitas adalah spesifik untuk suatu populasi dan merupakan suatu sifat yang menjadi perhatian. Prinsip perhitungan heritabilitas yaitu bahwa ternak yang masih memiliki hubungan keluarga akan memiliki performa yang lebih mirip jika dibandingkan dengan ternak yang tidak memiliki hubungan keluarga. Dinyatakan lenih lanjut oleh Warwick et al. (1995) cara yang paling akurat untuk menentukan heritabilitas suatu sifat spesies adalah melalui pencatatan selama beberapa generasi dan menentukan kemajuan yang diperoleh untuk kemudian dibandingkan dengan sejumlah keunggulan dari tetua terpilih dari semua generasi. Hasil penelitian pendugaan nilai heritabilitas produksi susu di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

(7)

Tabel 1. Hasil Penelitian Pendugaan Nilai Heritabilitas Produksi Susu di Indonesia

No Lokasi penelitian Jumlah catatan

Tahun

pengamatan h² Sumber

1 BPTU Baturraden 431 1992-1999 0,16 Kamayanti (2001)

2 Peternakan Ciganggel

dan Rawaseneng 161 1990-2000 0,95 Hariyaman (2002)

3 PT Taurus Dairy Farm 456 1989 – 2000 0,31±0,05 Indrijani (2001) 4 PT Taurus Dairy Farm 581 1989- 2005 0,23± 0,07 Indrijani (2008)

5 BPPT Cikole 114 1998- 2004 0,32± 0,19 Indrijani (2008)

Metode korelasi saudara tiri sebapak (parental halfsib correlation) dapat digunakan sebagai salah satu cara pendugaan nilai heritabilitas (Becker, 1975). Hal ini didukung Warwick et al. (1995) yang menyatakan derajat kemiripan ternak dalam paternal halfsib lebih besar dari kelompok acak dalam suatu populasi, sehingga metode ini banyak digunakan dalam pendugaan nilai heritabilitas.

Menurut Warwick et al. (1995), nilai heritabilitas (h2) dapat berkisar 0 sampai 1. Suatu sifat dengan heritabilitas nol adalah sifat dimana semua keragaman disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Sebaliknya heritabilitas 1,0 akan menunjukkan suatu sifat kuantitatif dimana semua keragaman disebabkan oleh keturunan. Noor (2010) menjelaskan bahwa nilai heritabilitas dapat digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Nilai heritabilitas suatu sifat dikatakan rendah apabila nilainya berada antara 0-0,20 sedang antara 0,20-0,30 dan tinggi untuk nilai lebih dari 0,30. Dalam kasus tertentu didapatkan perhitungan heritabilitas minus atau lebih dari 1,0. Secara biologis hal ini tidak mungkin terjadi. Warwick et al. (1995) mengemukakan bahwa dalam penaksiran heritabilitas dapat dipengaruhi oleh kesalahan pengambilan contoh dan banyaknya data. Nilai heritabilitas bervariasi tergantung pada kondisi populasi tempat heritabilitas dihitung. Menurut Hardjosubroto (1994), nilai heritabilitas produksi susu umumnya sebesar 0,20 -0,40.

Nilai Pemuliaan

Nilai pemuliaan adalah nilai individu yang dipengaruhi oleh gen dan berpengaruh pada generasi berikutnya. Nilai pemuliaan merupakan pencerminan

(8)

relatif atas kedudukannya di dalam suatu populasi (Hardjosubroto, 1994). Nilai pemuliaan merupakan faktor utama dalam mengevaluasi keunggulan individu dalam populasi ternak. Nilai pemuliaan tidak dapat diukur secara langsung, namun dapat diduga atau diestimasi. Nilai pemuliaan ini sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan untuk seleksi (Warwick et al., 1995).

Arti dari nilai pemuliaan sangat penting, terutama dalam menilai keunggulan seekor pejantan yang akan digunakan sebagai sumber mani beku. Apabila seekor ternak telah diketahui besar nilai pemuliaannya, hal ini berarti bahwa bila pejantan tersebut dikawinkan dengan induk-induk secara acak pada populasi normal maka rerata performans keturunannya kelak akan menunjukkan keunggulan sebesar setengah dari nilai pemuliaan dari pejantan tersebut terhadap performans populasinya. Seekor pejantan hanya mewariskan setengah dari nilai pemuliaannya, dan setengahnya berasal dari induknya (Hardjosubroto, 1994).

Pendugaan nilai pemuliaan harus dilakukan sedini mungkin karena akan sangat berguna dalam proses seleksi yang lebih efisien dan secara tidak langsung bisa memperpendek interval generasi dalam pemilihan bibit. Ternak yang memiliki nilai pemuliaan tinggi menggambarkan tingginya kemampuan genetik ternak tersebut untuk berproduksi. Tinggi rendahnya nilai pemuliaan tersebut adalah milik individu itu sendiri. Sesuai dengan pendapat Dalton (1985) yang menyatakan bahwa nilai pemuliaan adalah milik individu itu sendiri dan ditentukan oleh gen‐gen yang diwariskan pada keturunannya. Pendugaan nilai pemuliaan dapat menggunakan Nilai Pemuliaan Relatif (Relative Breeding Value) sebagai tindak lanjut evaluasi pejantan menggunakan metode Contemporary Comparison (CC) (Hardjosubroto, 1994).

Perbaikan Mutu Genetik Pejantan

Permasalahan yang dihadapi dalam bidang peternakan di Indonesia antara lain adalah masih rendahnya produktifitas dan mutu genetik ternak. Keadaan ini terjadi karena sebagian besar peternakan di Indonesia masih merupakan peternakan konvensional, dimana mutu bibit, penggunaan teknologi dan keterampilan peternak relatif masih rendah. Sejak dikenalkannya Inseminasi Buatan (IB) dalam mengembangkan populasi ternak, maka seleksi pejantan dalam meningkatkan mutu genetik ternak sering diasumsikan lebih penting daripada seleksi induk, tetapi dengan berkembangnya teknologi Transfer Embrio (TE), maka seleksi pejantan dapat

(9)

dikatakan sama pentingnya dengan seleksi induk, tetapi dalam segi intensitasnya seleksi pejantan lebih ketat dari seleksi induk. Diwyanto et al. (2001) menyatakan bahwa pada teknologi transfer embrio ini memungkinkan evaluasi mutu genetik produksi susu sapi perah pejantan berdasarkan penampilan saudara-saudara betinanya. Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa seleksi pejantan sangat penting, karena seekor pejantan yang dipergunakan dalam inseminasi buatan selama hidupnya menghasilkan keturunan lebih banyak daripada seekor betina. Pemilihan pejantan sedini mungkin dianjurkan agar nilai genetik pejantan tersebut akan cepat diketahui, untuk dapat diambil keputusan dalam penentuan pejantan yang akan dipilih.

Evaluasi keunggulan sifat produksi susu pejantan dapat dilakukan melalui uji zuriat, yakni penilaian atas dasar kemampuan produksi keturunannya. Pejantan tidak menghasilkan susu, sehingga kemampuan pejantan dapat diduga dari produksi susu, mengingat pejantan mewariskan sifat yang dipunyai sekitar 50% kepada keturunannya. Ada beberapa macam analisa dalam mengevaluasi pejantan berdasarkan performa anak betinanya, antara lain Daughter Comparison, Daughter dam Comparison, Daughter herdmate Comparison (DHC), Contemporary Comparison (CC), Commulative Difference (CD), Improved Contemporary Comparison (ICC) dan Breeding Index (Hardjosubroto, 1994).

Salah satu metode yang sering digunakan dalam pengevaluasian pejantan adalah metode Contemporary Comparison (CC). Evaluasi CC didasarkan atas perbandingan antara rataan produksi susu laktasi pertama anak betina calon pejantan yang diuji dengan produksi susu laktasi pertama anak betina pejantan lain yang berproduksi pada tempat, musim, dan tahun yang sama (contemporary) (Hardjosubroto,1994). Metode ini telah digunakan di Selandia Baru sejak tahun 1950, di Inggris tahun 1954 dan kemudian di Amerika Serikat. Evaluasi ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh perbedaan lingkungan diantara peternakan dan mengurangi kesalahan karena standar umur ke setara dewasa.

Metode CC merupakan uji zuriat yang didasarkan pada laktasi pertama dari anak-anak betina pejantan yang diuji sehingga mengurangi kemungkinan kesalahan akibat faktor lingkungan yang disebabkan oleh perbedaan umur. Kelebihan lain dari evaluasi ini adalah dapat mengurangi kemungkinan penyimpangan sebagai akibat

(10)

dari perlakuan yang berbeda dari induk-induk terseleksi yang memperoleh perlakuan istimewa pada laktasi berikutnya. Seleksi pejantan dikatakan akurat bila tidak kurang dari 5-10 ekor calon pejantan yang diuji dengan 10 anak betina efektif yang digunakan (Dalton, 1985).

Gambar

Gambar 2. Grafik Produksi Susu Nasional
Tabel 1. Hasil Penelitian Pendugaan Nilai Heritabilitas Produksi Susu di   Indonesia  No  Lokasi penelitian  Jumlah

Referensi

Dokumen terkait

Hasil kalibrasi model antara indeks dari citra spasial dengan data nilai lengas tanah pada 40 titik pengamatan BRG selama periode 2018-2019 menunjukkan performa

Keinginan-keinginan ini di dalam novel misteri adalah motif kasus, motif juga merupakan elemen yang penting dalam novel misteri, karena motif adalah alasan dari

Kredit eksploitasi adalah kredit berjangka waktu pendek yang diberikan oleh suatu bank kepada perusahaan untuk membiayai kebutuhan modal kerja perusahaan sehingga dapat

Besar energi selama satu bulan dari ketidak- harmonisan modul fotovoltaik Solar World dengan modul fotovoltaik Sun Earth adalah 41.744,49 Watt Hour, dari nilai

Berdasarkan hasil penelitian, faktor-faktor yang mempengaruhi (PUS) tidak menggunakan alat kontrasepsi yang diteliti di Desa Sigulang Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam menanamkan kesadaran Pluralisme agama kepada para santri melalui; pertama, penanaman Aqidah Islamiyah yang kuat sebagai pondasi

Sebagaimana telah dijelaskan dalam Peraturan Bupati Malang Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kabupaten