• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIFITAS SPEECH THERAPY TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN BERBAHASA PADA ANAK TUNA RUNGU DI TK LUAR BIASA KARYA MULIA SURABAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFEKTIFITAS SPEECH THERAPY TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN BERBAHASA PADA ANAK TUNA RUNGU DI TK LUAR BIASA KARYA MULIA SURABAYA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIFITAS SPEECH THERAPY TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN BERBAHASA PADA ANAK TUNA RUNGU

DI TK LUAR BIASA KARYA MULIA SURABAYA

Oleh:

MEUTIA CAHAYA AYUDANI, Setiadi, M. Kep.,Ns

ABSTRACT

Speech Therapy is a systematic efforts in teaching and learning so it gave the children have knowledge, skills, and attitudes to express thoughts, ideas, and feelings by talking (Wasita, 2012). Language is the ability to communicate with others. For children who have hearing loss, improved language skills becomes impaired. The objective of this study to analyze the effective speech therapy with improved skills for deaf children in special kindergaten Karya Mulia Surabaya.

The study design used comparative design. Population of this study is 19 childrens who have hearing loss in special kindergaten Karya Mulia Surabaya. Samples of this study used Purposive Sampling. Variable of this study are speech therapy and Language skills. Data of this study to compare the result of development language before and after therapy by documentation studies. The result of development language examined statistically using SPSS 16 with Wilcoxon Test.

The results showed that before used speech therapy, the language skills is not able and able to help with the proportion 26.3% and then the language skills become increase able on the ability with the proportion 68.4% after used speech therapy. The result of wilcoxon test obtained ρ = 0.000 with significance ρ < 0,05. It means H1 is

accepted, there is an effective speech therapy with improved lamguage skills for deaf children in Special kindergarten Karya Mulia Surabaya.

The implication of this study to raise the frequency of speech therapy to improving the language skills for deaf.

Keywords: Speech Therapy, Improved Language Skills, Deaf Children

(2)

PENDAHULUAN

Penderita tuna rungu adalah mereka yang memiliki hambatan perkembangan indera pendengar. Tuna rungu tidak dapat mendengar suara atau bunyi. Kemampuan berbicara pun kadang terganggu. Sebagaimana kita ketahui, keterampilan berbicara sering kali ditentukan oleh seberapa sering seseorang mendengar orang lain berbicara. Akibatnya anak-anak tuna rungu memiliki hambatan bicara dan menjadi bisu. Untuk berkomunikasi dengan orang lain, mereka menggunakan bahasa bibir atau bahasa isyarat (Geniofam, 2010 : 20).

Tuna rungu adalah istilah lain dari tuli yaitu tidak dapat mendengar karena rusak pendengaran. Secara etimologi, tuna rungu berasal dari kata “tuna” dan “rungu”. Tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran. Jadi, orang dikatakan tuna rungu apabila tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara.

Pendengaran merupakan salah satu sarana penting pada manusia untuk menerima ilmu. Walaupun manusia masih dapat belajar melalui indera penglihatan, bau, sentuhan, rasa, dan sebagainya, indera pendengaran akan lebih memudahkan dan menyempurnakan proses

pembelajaran. Kehilangan pendengaran menyebabkan miskinnya

kebahasaan yang dimiliki dan menghambat komunikasi anak tuna rungu secara nyata. Mereka akan kesulitan dalam berkomunikasi dengan lingkungannya, terutama dalam hal menyesuaikan diri, kekurangan akan pemahaman bahasa lisan

menyebabkan anak tuna rungu

menafsirkan sesuatu secara negatif

atau salah sehingga timbul kecemasan, kebingungan dan ketakutan dalam menghadapi lingkungan yang beraneka ragam komunikasinya. Namun telah banyak contoh, mereka yang memiliki kekurangan dari segi penginderaanya juga memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkembang seperti anak normal lainnya yang berprestasi dan membanggakan orang tua.

WHO menyebutkan bahwa penyandang cacat atau difabel di suatu Negara sekitar 10% dari total jumlah penduduk di seluruhnya. Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa Jumlah Penyandang Cacat sesuai hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004 adalah 6.047.008 jiwa, yang terdiri dari tuna netra 1.749.981 jiwa (29%), tuna daksa 1.652.741 jiwa (27%), eks penderita penyakit kronis 1.282.881 jiwa (21%), tuna grahita 777.761 jiwa (12,8%), tuna rungu wicara 602.784 jiwa (9,9%) (Wasita, 2012: 11). Berdasarkan data pendahuluan di TK Luar Biasa Karya Mulia Surabaya bahwa 5 dari 10 anak mengalami gangguan berbahasa dan tuna rungu yang dialami sejak lahir (kongenital).

Strategi pembelajaran bagi anak tuna rungu harus dilandasi pada pendekatan berbahasa dan komunikasi

yang selanjutnya dapat diimplementasikan dalam bentuk

pengajaran bahasa yang menggunakan pendekatan percakapan. Dalam buku Wasita (2012: 12) menyebutkan bahwa pendidikan bagi anak tuna rungu telah dirintis di Indonesia sejak didirikannya lembaga untuk anak tuna rungu oleh seorang istri dokter THT, C.M. Roelfsma Wesselink, di Bandung pada tahun 1933 dengan metode pengajaran Metode Oral. Setelah

(3)

kemerdekaan bermunculan lembaga-lembaga yang menyelenggarakan pendidikan bagi anak tuna rungu. Sehingga, kompetensi pendekatan percakapan “Metode Oral” dapat dikembangkan melalui terapi wicara atau speech therapy. Bicara adalah mekanisme pengucapan bunyi bahasa untuk mengkomunikasikan atau menyampaikan perasaan, pikiran dengan memanfaatkan nafas, otot-otot dan alat ucap secara terintegrasi. Berdasarkan data pendahuluan di TK Luar Biasa Karya Mulia Surabaya dengan guru bina wicara, pelaksanaan dari bina wicara atau speech therapy dengan cara latihan pernafasan, latihan meraban, dan latihan per kata. Dari latihan-latihan tersebut akan muncul penilaian dari suara/nada, bentuk bibir dan pelafalan fonem. Terapi ini bertujuan agar anak tuna rungu 1) Memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk mengucapkan bunyi bahasa Indonesia, 2) Memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mengemudikan alat ucap demi perbaikan mutu bicaranya, 3) Senang menggunakan cara bicara dalam komunikasi dengan orang lain 4) Memiliki keterampilan wicara yang jelas, 5) Senang melakukan evaluasi dan memperbaiki kesalahan serta berusaha meningkatkan kemampuan bicaranya (Wasita, 2012: 45).

Terapi ini mempermudah anak tuna rungu untuk berkomunikasi dengan orang lain bahkan tidak hanya sesama anak tuna rungu melainkan juga masyarakat umum. Terapi ini menggunakan prinsip oral bukan dengan bahasa isyarat. Jika

menggunakan bahasa isyarat, anak tuna rungu tidak akan banyak mengekspresikan kemampuan bicaranya bahkan hanya orang dan

anak-anak tertentu saja. Dengan adanya terapi ini anak tuna rungu lebih terampil untuk melatih cara bicaranya dengan mengucapkan kata-kata atau kelompok kata.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain penelitian komparatif dimana sebagai suatu penelitian yang memfokuskan untuk mengkaji perbandingan terhadap pengaruh (efek) pada kelompok subjek tanpa adanya suatu perlakuan dari peneliti.

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 11 sampai 17 Juni 2014 di TK Luar Biasa Karya Mulia Surabaya. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi dari TK Luar Biasa Karya Mulia Surabaya yang berjumlah 19 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian siswa-siswi dari kelompok A, B, dan C di TK Luar Biasa Karya Mulia Surabaya yang berjumlah 19 orang dengan kriteria sebagai berikut:

1. Kriteria inklusi

a. Siswa-siswi yang mengalami tuna rungu sejak lahir (congenital).

b. Siswa-siswi yang mengalami gangguan dalam berbahasa.

c. Siswa-siswi yang mengikuti terapi 1 minggu sekali dalam1 bulan terakhir.

2. Kriteria eksklusi

a. Orang tua/ wali murid yang tidak meyetujui anaknya menjadi responden.

(4)

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah non probability sampling dengan metode purposive sampling. Pada teknik ini setiap responden yang memenuhi kriteria inklusi dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan atau masalah dalam penelitian) (Nursalam, 2011 : 94). Pengambilan sampel dalam penelitian ini berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi dan studi dokumentasi. Lembar observasi speech therapy diisi oleh guru bina wicara berisi komponen suara, pelafalan fonem berupa kata-kata, dan kesimpulan dari

hasil speech therapy. Metode

penyampaian speech therapy ini dilakukan dengan cara tes lisan pada siswa-siswi kelompok A, B, dan C TK Luar Biasa Karya Mulia Surabaya.

Pengumpulan data yang dilakukan adalah melakukan observasi dari data hasil pelaksanaan terapi yang diberikan kepada siswa-siswi di kelas. Data yang terakhir adalah pengumpulan data dalam hal perkembangan bahasa yang dilakukan selama 1 bulan terakhir.

HASIL PENELITIAN Data Umum Keluarga 1. Status Orangtua Status Orangtua Frekuensi (f) Presentase (%) Keluarga utuh (ayah, ibu anak) 18 94.7 Orangtua tunggal 1 5.3 Total 19 100

Data pada tabel diatas

menunjukkan bahwa status orangtua dari responden dalam penelitian ini adalah 19 orang dengan rincian status orangtua dengan keluarga utuh sebanyak 94.7% (18 orang) dan orangtua tunggal sebanyak 5.3% (1 orang).

2. Usia ibu

Usia ibu Frekuensi (f) Presentase (%) < 20 Tahun - - 20 – 35 Tahun 11 57.9 > 35 Tahun 8 42.1 Total 19 100

Data pada tabel diatas

menunjukkan bahwa usia ibu dari responden dalam penelitian ini adalah 19 orang dengan rincian usia responden 20-35 tahun sebanyak 57.9% (11 orang) dan >35 tahun sebanyak 42.1% (8 orang). 3. Pendidikan ibu Pendidikan Frekuensi (f) Presentas e (%) SD 1 5.3 SLTP 1 5.3 SLTA 10 52.6 Perguruan tinggi 7 36.8 Total 19 100.0

Data pada tabel diatas

menunjukkan bahwa bahwa pendidikan ibu dari responden dalam penelitian ini adalah 19 orang dengan rincian pendidikan SD/sederajat dan SLTP/sederajat sebanyak 5.3% (1

(5)

orang), SLTA/sederajat sebanyak 52.6% (10 orang), serta Perguruan tinggi 36.8% (7 orang).

4. Pekerjaan Ibu

Pekerjaan Frekuensi (f) Presentase (%) Ibu rumah tangga 14 73.7 PNS atau TNI - - Swasta 4 21.1 Wiraswasta 1 5.3 Total 19 100.0

Data pada tabel diatas menunjukkan bahwa pekerjaan ibu dari responden dalam penelitian ini adalah 19 orang dengan rincian pekerjaan sebagai ibu rumah tangga sebanyak 73.7% (14 orang), Swasta sebanyak 21.1% (4 orang), wiraswasta sebanyak 5.3% (1 orang).

5. Penghasilan Keluarga Tiap Bulan Penghasilan keluarga tiap bulan Frekuensi (f) Presentase (%) < Rp. 500.000 - - Rp. 500.000 –Rp. 1.000.000 4 21.1 Rp. 1.000.000 – Rp. 1.500.000 5 26.3 Rp. 1.500.000 – Rp. 2.000.000 8 42.1 > Rp. 2.000.000 2 10.5 Total 19 100.0

Data pada tabel diatas menunjukkan bahwa penghasilan keluarga tiap bulan dalam penelitian ini adalah 19 orang dengan rincian penghasilan keluarga tiap bulan Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000 sebanyak 21.1% (4 orang), Rp. 1.000.000 – Rp. 1.500.000 sebanyak 26.3% (5 orang), Rp. 1.500.000 – Rp. 2.000.000 sebanyak 42.1% (8 orang), > Rp. 2.000.000 sebanyak 10.5% (2 orang).

Data Umum Anak 1. Usia Anak Usia Anak Frekuensi (f) Presentase (%) 4 tahun 1 5.3 5 tahun 4 21.1 6 tahun 5 26.3 7 tahun 1 5.3 8 tahun 8 42.1 Total 19 100.0

Data pada tabel diatas

menunjukkan responden dalam

penelitian ini adalah 19 responden dengan rincian anak usia 4 tahun dan 7 tahun sebanyak 5.3% (1 responden), usia 5 tahun sebanyak 2.1% (4 responden), usia 6 tahun sebanyak 26.3% (5 responden), dan usia 8 tahun sebanyak 42.1% (8 responden). 2. Jenis kelamin Jenis kelamin Frekuensi (f) Presentase (%) Laki – laki 9 47.4 Perempuan 10 52.6 Total 19 100.0

Data pada tabel diatas menunjukkan bahwa responden dalam penelitian ini adalah 19 responden dengan rincian laki-laki sebanyak 47.4% (9 responden) dan perempuan sebanyak 52.6% (10 responden).

(6)

3. Posisi anak Posisi anak Frekuensi (f) Presentase (%) Anak pertama 11 57.9 Anak tengah 1 5.3 Anak bungsu 7 36.8 Total 19 100.0

Data pada tabel diatas

menunjukkan bahwa responden

dalam penelitian ini adalah 19 responden dengan rincian anak pertama sebanyak 57.9% (11 responden), anak tengah sebanyak 5.3% (1 responden), dan anak bungsu sebanyak 36.8% (7 responden). 4. Jumlah saudara Jumlah saudara Frekuensi (f) Presentase (%) < 2 17 89.5 . 3 -4 2 10.5 > 4 - - Total 19 100.0

Data pada tabel diatas menunjukkan bahwa responden dalam penelitian ini adalah 19 responden dengan rincian jumlah saudara dalam keluarga < 2 sebanyak 89.5% (17 responden) dan jumlah saudara 3-4 sebanyak 10.5% (2 responden). 5. Pengasuh anak Pengasuh anak Frekuensi (f) Presentase (%) orangtua (ayah/ibu) 19 100.0

Data pada tabel diatas

menunjukkan bahwa responden

dalam penelitian ini adalah 19 responden dengan rincian sebagian

besar pengasuh anak dalam keluarga adalah orangtua (ayah/ibu) sebanyak 100%.

6. Bahasa yang digunakan

Bahasa yang digunakan Frekuensi (f) Presentase (%) bahasa indonesia 17 89.5 bahasa jawa 2 10.5 Total 19 100.0

Data pada tabel diatas menunjukkan bahwa responden dalam penelitian ini adalah 19 responden dengan rincian bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia sebanyak 89.5% (17 responden) dan bahasa jawa sebanyak 10.5% (2 responden).

7. Terapi di luar sekolah

Terapi di Luar sekolah Frekuensi (f) Presentase (%) Iya 4 21.1 Tidak 15 78.9 Total 19 100.0

Data pada tabel diatas menunjukkan bahwa responden dalam penelitian ini adalah 19 responden dengan rincian tidak mengikuti terapi di luar sekolah sebanyak 78.9% (15 responden) dan mengikuti terapi di luar sekolah sebanyak 21.1% (4 responden).

(7)

Data Khusus

1. Perkembangan Bahasa

Sebelum Terapi

Sebelum Terapi Frekuensi Presentase

(%) Tidak mampu 5 26.3 Mampu dengan bantuan 9 47.4 Mampu tanpa bantuan 5 26.3 Mampu diatas kemampuan - -

Data pada tabel diatas

menunjukkan menunjukkan bahwa responden dalam penelitian ini adalah 19 responden dengan rincian tidak mampu sebanyak 26.3% (5 responden), mampu dengan bantuan 47.4 (9 responden), mampu tanpa bantuan 26.3 (5 responden).

2. Perkembangan Bahasa

Sesudah Terapi

Sesudah Terapi Frekuensi Presentase

(%) Tidak mampu - - Mampu dengan bantuan - - Mampu tanpa bantuan 6 31.6 Mampu diatas kemampuan 13 68.4

Data pada tabel diatas menunjukkan bahwa responden dalam penelitian ini adalah 19 responden dengan rincian mampu tanpa bantuan 31.6% (6 responden) dan mampu diatas kemampuan 68.4% (13 responden).

3. Efektifitas Speech Therapy

Terhadap Peningkatan Kemampuan Berbahasa Variabel Mean Std. Deviasi ρ value N Perkemba-ngan Bahasa Sebelum 2.00 .745 .000 19 Sesudah 3.68 .478

Data pada tabel diatas menunjukkan bahwa dari uji statistik dengan menggunakan uji wilcoxon dalam program SPSS 16 terlihat nilai mean pengukuran sebelum dan sesudah terapi ada perbedaan sebesar 1.68 dan didapatkan ρ = 0.000 dengan taraf signifikan ρ < 0,05, ada perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah terapi. Perbedaan ini dapat disimpulkan bahwa H1 diterima yang artinya ada efektifitas speech therapy terhadap peningkatan kemampuan berbahasa anak tuna rungu.

PEMBAHASAN

1. Kemampuan Berbahasa Anak Tuna rungu Sebelum Dilakukan Speech Therapy

Hasil penelitian perkembangan bahasa sebelum dilakukan speech therapy menunjukkan bahwa dari 19 responden sebagian besar masuk dalam kategori mampu dengan bantuan sebanyak 9 anak (47.4%), serta kategori mampu tanpa bantuan dan tidak mampu masing-masing sebanyak 5 anak (26.3%).

Pengamatan peneliti tentang perkembangan bahasa sebelum terapi didapatkan 9 anak (47.4%) yang masuk dalam kategori mampu

(8)

berbicara dengan bantuan dapat dipengaruhi oleh pendidikan ibu.

Data yang didapatkan dari tingkat pendidikan orangtua sebagian besar orangtua berpendidikan SMA sebanyak 10 orang (10.6%), Perguruan tinggi sebanyak 7 orang (36.8%), dan tingkat pendidikan SD dan SMP masing-masing sebanyak 1 orang (5.3%). Hal ini mengakibatkan pada kemampuan berbahasa anak. Orangtua dengan pendidikan yang rendah tidak mampu menguasai bahasa terutama bagi anak yang memiliki masalah pendengaran jadi orangtua lebih memilih melatih kemampuan berbahasa anak dengan pendidikan khusus yang mengasah kemampuan berbicara anak.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar ibu sebagai ibu rumah tangga sebanyak 14 orang (73.7%) yang seharusnya memiliki lebih banyak waktu untuk berinteraksi dengan anaknya. Ibu memilih tetap untuk menyerahkan pendidikan bahasa anak mereka pada pendidikan khusus. Smith (2013: 347) mengatakan bahwa orangtua ingin anaknya menjadi bagian komunitas pendidikan yang penuh perhatian. Fakta ini merupakan tujuan utama pembentukan sekolah khusus yang sungguh-sungguh memperhatikan anak didiknya.

Pengamatan peneliti tentang perkembangan bahasa sebelum terapi didapatkan 5 anak (26.3%) yang masuk dalam kategori mampu tanpa bantuan dapat dipengaruhi oleh penghasilan keluarga tiap bulan. Penghasilan keluarga tiap bulan menunjukkan sebanyak 4 orang (21.1%) Rp.1.500.000 – Rp. 2.000.000. Data juga menunjukkan

bahwa jumlah saudara dalam keluarga < 2 dan dapat disimpulkan bahwa dengan adanya jumlah saudara yang sedikit, pengeluaran keluarga untuk kebutuhan keluarga juga sedikit sehingga orangtua dapat menyisihkan pengahasilan keluarga untuk menyediakan fasilitas pendidikan yang mampu menunjang kemampuan berbahasa anak. Popenoe (1993) dalam Smith berpendapat bahwa semakin sedikit orang meluangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk kehidupan maka hilanglah nilai-nilai kekeluargaannya.

Pengamatan peneliti tentang perkembangan bahasa sebelum terapi didapatkan 5 anak (26.3%) yang masuk dalam kategori tidak mampu dapat dipengaruhi oleh pekerjaan ibu yang didapatkan 4 orang (21.1%) bekerja sebagai swasta. Ibu yang bekerja swasta terkadang memiliki sedikit waktu untuk berinteraksi dengan anaknya. Apabila ibu bekerja di luar rumah, tuntutan waktu dan tenaga akan bertambah (Smith, 2013:337).

Terrel dalam buku David Smith (2013), mengatakan masalah-masalah bahasa seringkali menyangkut kesulitan dalam memahami orang lain, berbicara dengan jelas, menemukan kata yang benar untuk mengungkapkan ide dan kebutuhannya, serta kurang kemampuan dalam mengatur bahasa untuk mendapatkan komunikasi yang efektif. Kerusakan pendengaran mengakibatkan artikulasi yang buruk sebab si anak tidak dapat mendengar dengan baik serta meniru artikulasi yang benar.

Peneliti berasumsi bahwa kelainan bahasa yang dialami anak

(9)

tuna rungu merupakan suatu kesulitan dalam menggunakan kata-kata atau pengetahuan tata bahasa termasuk kesulitan dalam memahami pembicaraan orang lain. Beberapa literatur menyebutkan bahwa terdapat metode komunikasi sederhana dan efektif untuk meningkatkan kemampuan berbahasa anak tuna rungu yaitu dengan pemberian speech therapy. Speech therapy ini telah lama dijalankan di TK Luar Biasa Karya Mulia Surabaya dan hasilnya menunjukkan bahwa metode ini mampu mengajarkan anak untuk mengemudikan alat ucapnya sehingga pembentukan suara yang dikeluarkan atau dihasilkan dapat terdengar jelas serta anak tuna rungu menunjukkan kategori mampu tanpa bantuan dan mampu diatas kemampuan.

2. Kemampuan Berbahasa Anak Tuna rungu Sesudah Dilakukan

Hasil penelitian perkembangan bahasa sesudah dilakukan speech therapy menunjukkan bahwa dari 19 responden di TK Luar Biasa Karya

Mulia Surabaya kemampuan

berbahasa sesudah dilakukan speech therapy terjadi perubahan yaitu masuk dalam kategori mampu diatas kemampuan 13 anak (68.4%) dan mampu tanpa bantuan 6 anak (31.6%),

Speech therapy ini mengajarkan anak tuna rungu untuk menguasai bahasa yang meliputi 3 indikator yaitu latihan pernapasan, latihan meraban, dan latihan per kata. Anak masuk dalam kategori mampu diatas kemampuan jika mampu memenuhi semua indikator tersebut, kategori mampu dengan bantuan jika mampu satu indikator, kategori mampu tanpa

bantuan jika mampu minimal 2 indikator , dan kategori tidak mampu jika tidak mampu memenuhi semua indikator.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 5 anak dengan kategori tidak mampu setelah dilakukan terapi semua anak menguasai 2 indikator yang artinya masuk dalam kategori mampu tanpa batuan. Anak dengan kategori mampu dengan bantuan sebanyak 9 anak dan setelah dilakukan terapi 8 anak menguasai 3 indikator dengan kategori mampu diatas kemampuan dan 1 anak menguasai 2 indikator dengan kategori mampu tanpa bantuan. Anak dengan kategori mampu tanpa bantuan sebanyak 5 anak dan setelah dilakukan terapi 5 anak menguasai 3 indikator dengan kategori mampu diatas kemampuan.

Pengamatan peneliti tentang perkembangan bahasa sesudah terapi, anak berbicara mampu diatas kemampuan hal ini disebabkan karena semakin sering anak dilatih untuk mengeluarkan ucapan dengan jelas maka akan terbentuk kebiasaan kemampuan berbicara yang akan diterapkan di lingkungannya. Smith (2013: 203) mengemukakan bahwa berbicara diartikan sebagai kesanggupan mengungkapkan pikiran seseorang melalui pengucapan suara (secara lisan).

Faktor lain yang ikut mempengaruhi adalah pengasuh anak dalam keluarga dan posisi anak dalam keluarga. Data menunjukkan 19 anak (100%) pengasuh dalam keluarga adalah orangtua.

Orangtua menjadi perndamping penting dalam

pendidikan anak karena secara tidak

(10)

sadar orangtua memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berkomunikasi dengan anak dibandingkan anak yang diasuh oleh kakek/nenek. Hal ini diperkuat dengan teori yang menyatakan bahwa keluarga dengan seorang anak berkebutuhan khusus harus menjadi “keluarga khusus” karena kerjasama orangtua dalam mendidik anak akan memperoleh manfaat dari kerjasama orangtua dalam membentuk kekuatan dan kebutuhan anak (Smith, 2013: 352).

Data menunjukkan bahwa posisi anak dalam keluarga yang diperoleh dari 19 anak, didapatkan 13 anak yang memiliki perkembangan bahasa mampu diatas kemampuan sebagian besar 8 anak sulung (61.5%), anak tengah berjumlah 1 orang (7.7%), dan 4 anak bungsu (30.8%). Sedangkan perkembangan bahasa yang memiliki kemampuan mampu tanpa bantuan anak sulung dan anak bungsu berjumlah 3 orang (50%).

Posisi anak dalam keluarga sangat mempengaruhi hubungan dalam meningkatkan kemampuan berbahasa terutama bagi orangtua yang memiliki anak bermasalah pendengaran. Anak pertama merupakan anak yang dinantikan oleh semua keluarga besar, baik orang tua, nenek, kakek, dsb, sehingga perhatian dan komunikasi yang banyak dan sering dilakukan pada anak mempengaruhi perkembangan bahasa. Hal ini diperkuat dengan teori

yang menyatakan bahwa keluarga sebagai pendamping pribadi (self advocacy) yang artinya keluarga dapat mengajarkan anak-anak berkebutuhan khusus untuk berbicara dan mengeluarkan semua ekspresi

mereka untuk meningkatkan kualitas hidup mereka di sekolah dan di masyarakat (Smith, 2013: 349).

Data menunjukkan bahwa dari 19 anak, didapatkan 13 anak yang memiliki perkembangan bahasa mampu diatas kemampuan yang tidak mengikuti terapi di luar sekolah berjumlah 10 anak (76.9%) dan mengikuti terapi di luar sekolah berjumlah 3 anak (23.1%). Sedangkan 6 anak yang memiliki perkembangan bahasa mampu tanpa bantuan yang tidak mengikuti terapi di luar sekolah berjumlah 5 anak (83.3%) dan mengikuti terapi di luar sekolah 1 anak (16.7%).

Hal ini menunjukkan bahwa keikutsertaan anak dalam terapi di luar sekolah lebih sedikit dibandingkan keikutsertaan anak dalam terapi di sekolah. Keikutsertaan anak dalam terapi di sekolah memberikan dampak positif yaitu anak mampu diatas kemampuan lebih banyak dibandingkan anak mampu tanpa bantuan. Sekolah merupakan sarana yang penting dalam perkembangan bahasa anak karena guru di kelas mempunyai strategi pengajaran yang mampu mempersiapkan anak untuk menerima terapi secara intensif. Hasil wawancara orangtua juga menyatakan bahwa keikutsertaan anak dalam mengikuti terapi di sekolah lebih efektif dibandingkan mengikuti terapi di luar sekolah karena pada dasarnya tingkat kemampuan anak pada saat terapi mempengaruhi penerimaan pembelajaran di sekolah, sehingga keikutsertaan terapi di luar sekolah hanya sebagai tambahan perkembangan bahasa.

(11)

3. Efektifitas Speech Therapy Terhadap Peningkatan Kemampuan Berbahasa Anak Tuna rungu di TK Karya Mulia Surabaya

Hasil analisa data dengan uji statistik wilcoxon didapatkan ρ = 0.000 hal ini menunjukkan bahwa ρ < 0,05 yang artinya H1 diterima sehingga ada efektifitas speech

therapy terhadap peningkatan

kemampuan berbahasa anak tuna rungu di TK Karya Mulia Surabaya. Dengan ini membuktikan bahwa kemampuan berbahasa sesudah dilakukan speech therapy mempunyai perbandingan yang signifikan dengan kemampuan berbahasa sebelum dilakukan speech therapy.

Speech therapy sangat berpengaruh terutama pada anak tuna rungu yang mengalami gangguan dalam berbahasa. Dampak dari gangguan bicara atau tidak berkembangnya kemampuan bicara yaitu terjadinya kemiskinan bahasa secara keseluruhan. Pelayanan pendidikan khusus diperlukan agar mereka mengenal bahasa atau nama benda, kegiatan, peristiwa, dan perasaan sehingga mereka dapat menggunakan bahasa di lingkungannya.

Beberapa literatur berpendapat bahwa speech therapy adalah media utama dan cara termudah untuk mempelajari dan menguasai bahasa. Wasita (2012: 45) mengungkapkan bahwa dengan adanya speech therapy membantu anak tuna rungu untuk memiliki keterampilan wicara yang jelas dalam mengucapkan bunyi bahasa dengan memanfaatkan nafas, alat-alat ucap, dan sistem saraf yang terintegrasi.

Data hasil sebelum dilakukan speech therapy perkembangan bahasa anak tuna rungu sebagian besar masih menunjukkan mampu dengan bantuan artinya hanya mampu satu indikator. Hasil dari wawancara guru di kelas, kemiskinan bahasa yang dialami anak tuna rungu pada saat awal terapi yaitu anak tuna rungu belum mendapatkan lebih banyak pengetahuan tentang penggunaan kata-kata atau pengetahuan tentang tata bahasa sehingga untuk berbicara dengan orang lain akan mengalami kesulitan dan suara yang dihasilkan tidak jelas. Pembimbingan ucapan yang tidak terkontrol mengakibatkan anak tuna rungu sering mengalami kesalahan dalam pengucapan.

Data hasil sesudah speech therapy menunjukkan peningkatan kemampuan berbahasa yang

signifikan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa 5 anak dengan kategori tidak mampu setelah dilakukan terapi semua anak menguasai 2 indikator yang artinya masuk dalam kategori mampu tanpa batuan. Anak dengan kategori mampu dengan bantuan sebanyak 9 anak dan setelah dilakukan terapi 8 anak menguasai 3 indikator dengan kategori mampu diatas kemampuan dan 1 anak menguasai 2 indikator dengan kategori mampu tanpa bantuan. Anak dengan kategori mampu tanpa bantuan sebanyak 5 anak dan setelah dilakukan terapi 5 anak menguasai 3 indikator dengan kategori mampu diatas kemampuan.

Metode speech Therapy

memfokuskan pembimbingan ucapan dan membaca ucapan sehingga anak tuna rungu dilatih untuk mengontrol ucapan yang baik. Speech therapy ini

(12)

dilakukan dengan cara tes lisan oleh guru bina wicara yang duduk berhadapan dengan anak. Indikator yang harus dicapai ada 3 yaitu latihan pernapasan, latihan meraban, dan latihan per kata. Anak dituntun untuk membuka mulut dan mengucapkan sebagaimana kata itu diucapkan. Guru bina wicara mengatakan bahwa anak tuna rungu yang sudah melakukan terapi dengan minimal terapi yang dilakukan sebanyak 20 kali akan mampu memenuhi 3 indikator yang diajarkan. Namun, guru bina wicara juga menjelaskan bahwa faktor pendampingan orangtua sepenuhnya akan mempengaruhi penambahan bahasa anak tuna rungu. Faktor posisi keluarga dalam mengevaluasi kegiatan yang sudah diajarkan di sekolah juga diperlukan. Semakin sering anak mendapat kosa kata baru, semakin bertambah pula tingkat pengetahuan tata bahasa mereka.

Hal ini dikarenakan metode speech therapy ini mengajarkan anak tuna rungu yang memiliki hambatan dalam hal berbahasa untuk memusatkan perhatian pada bagaimana cara sesuatu itu diucapkan. Jadi, apabila kemampuan berbahasa diasah terus-menerus akan menghasilkan pengucapan yang baik sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pengucapan seperti “roti” akan diucapkan “woti” atau “loti”.

Dapat diasumsikan bahwa dari hasil penelitian ini latihan pernapasan, latihan meraban, dan latihan per kata yang mendorong anak untuk mengekspresikan bicara nya dengan memahami apa yang diucapkan sehingga dapat berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan berbahasa anak tuna

rungu. Faktor lain yang mendukung yaitu dengan bertambahnya ilmu, anak sering bertanya dan berbicara untuk mencari tahu apa yang mereka lihat dan dengar, maka perkembangan bahasa akan bertambah seriing dengan bertambahnya ilmu yang mereka dapat dan lihat.

SIMPULAN

Hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut :

1. Perkembangan berbahasa anak tuna rungu di TK Karya Mulia Surabaya sebelum dilakukan speech therapy sebagian besar masih mampu dengan bantuan. 2. Perkembangan berbahasa anak

tuna rungu di TK Karya Mulia Surabaya sesudah dilakukan speech therapy sebagian besar mampu diatas kemampuan. 3. Speech therapy efektif untuk

meningkatkan kemampuan berbahasa pada anak tuna rungu di TK Karya Mulia Surabaya.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, A. A. (2011). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika

Kartono, K. (2007). Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan). Bandung: Mandar maju

Ling, Jonathan &Jonathan Catling. 2012. Psikologi Kognitif. Jakarta: Erlangga

Muhammad, Jamila. 2007. Special Education for Special

(13)

Children. Jakarta: Hikmah (PT. Mizan Publika) Ngalimun, dkk. 2013. Perkembangan dan Pengembangan Kreativitas. Yogyakarta: Aswaja Pressindo

Nursalam, 2011. Konsep dan

Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan

edisi 2. Jakarta: Salemba Medika

Perry, Potter. 2009. Fundamental of Nursing Edisi 7. Jakarta: Salemba Medika

Santoso, Hargio. 2012. Cara Memahami Dan Mendidik Anak Berkebutuhan Khusus.

Yogyakarta: Gosyen Publishing

Santrock, J. W.. 2007. Perkembangan

Anak. Jakarta: Penerbit

Erlangga

Smith, David. 2013. Konsep dan Penerapan Pembelajaran Sekolah Inklusif. Bandung: Nuansa Cendekia

Somantri, Sutjihati. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama

Sunarto dan Hartono, B. A.. (2008). Perkembangan Pesesrta Didik. Jakarta: Rineka Cipta

Suwarna, Dadan. 2012. Cerdas

Berbahasa Indonesia;

Berbahasa dengan

Pemahaman dan

Pendalaman. Tangerang: Jelajah Nusa

Upton, Penney. 2012. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga

Wahyudi. 2011. Penilaian

perkembangan anak usia dini. Bandung: Refika Aditama Wasita, Ahmad. 2012. Seluk-Beluk

Tunarungu dan Tunawicara serta Strategi Pembelajaran. Jogjakarta: Java Litera

Yusuf, Syamsu. 2012. Psikologi Anak & Remaja. Badung: PT. Remaja rosdakarya

Referensi

Dokumen terkait

Paying attention to the problems above, the writer took the research which entitled: “An Analysis of the Students‟ Error in Using Quantifiers on the Students‟ Recount Text at

4.34 Tingkat Kepuasan Responden Terhadap Ketersediaan Fasilitas Informasi Taman Tematik ...98 4.35 Tingkat Kepuasan Responden Terhadap Ketersediaan Tempat Parkir

Namun jika diamati pada piramida penduduk, kelompok us ia 0-4 tahun terlihat membes ar, fenomena ini merupakan indikas i bahwa pe nang anan kes ehatan oleh

Himpunan Peraturan Gubernur Tahun 2015 1... Himpunan Peraturan Gubernur Tahun 2015

Ada beberapa hal yang bisa memicu kekambuhan penderita gangguan jiwa antara lain tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan sendiri obat

Kurva disolusi tablet floating aspirin pada medium HCl 0,1 N, SGF dengan dan tanpa sinker mengikuti kinetika orde I dan mekanisme disolusi menurut model

segala karya yang indah (gambar atau lukisan atau pahatan atau ukiran atau segala jenis seni visual) harus berhubungan dengan figur-figur atau tokoh-tokoh penting atau

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran umum motivasi belajar pada peserta didik kelas VIII di SMP Negeri 1 Bandung tahun ajaran 2014/2015