ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.A DENGAN DIAGNOSA MEDIS CAD POST CABG DI RUANG INTERMEDIATE BEDAH
Wulan Indriani
TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep dasar CABG A. Definisi CABG
Coronary Artery Bypass Graft merupakan salah satu metode revaskularisasi yang umum dilakukan pada pasien yang mengalami atherosclerosis dengan 3 atau lebih penyumbatan pada arteri coroner atau penyumbatan yang signifikan pada Left Mean Artery Coroner (Chulay&Burns, 2006).
Coronary Artery Bypass Graft (CABG) merupakan salah satu penanganan intervensi dari Penyakit Jantung Koroner (PJK), dengan cara membuat saluran baru melewati arteri koroner yang mengalami penyempitan atau penyumbatan (Feriyawati, 2005)
Coronary Artery Bypass Grafting (CABG) merupakan salah satu penanganan intervensi dari PJK. CABG adalah jenis tindakan operasi jantung yaitu dengan membuat saluran baru melewati bagian arteri coronaria yang mengalami penyempitan. Operasi Coronary Artery Bypass Graft pertama kali dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1960, sedangkan penggunaan mesin jantung paru sudah terlebih dahulu dilakukan pada tahun 1954 (Brunner&Suddarth, 2002) Secara sederhana, CABG adalah operasi pembedahan yang dilakukan dengan membuat pembuluh darah baru atau bypass terhadap pembuluh darah yang tersumbat sehingga melancarkan kembali aliran darah yang membawa oksigen untuk otot jantung yang diperdarahi pembuluh tersebut.
B.Tujuan CABG
a. Coronary Artery Bypass Grafting bertujuan untuk revaskularisasi aliran arteri koronari akibat adanya penyempitan atau sumbatan ke otot jantung.
b. Mencegah terjadinya iskemia yang luas c. Meningkatkan kualitas hidup
C.Indikasi CABG
Indikasi CABG menurut AHA:
a. Indikasi CABG tanpa gejala / angina ringan. 1) Kelas I :
a) Stenosis Left Mean Coronaty Artery yang signifikan.
b) Left mean equivalen (stenosis signfikan 70% dari LAD proximal dan LCX proximal).
c) Three Vessel Desease ( angka harapan hidup lebih besar dengan fungsi LV EF 50%).
2) Kelas II
a) Stenosis LAD proximal dengan satu atau dua vessel desease.Akan menjadi kelas satu jika terdapat iskemia berdasarkan pemeriksaan non invasive atau LV EF 50%.
b) Satu atau dua vessel disease tidak pada LAD. Bila terdapat didaerah miocardium variabel yang besar berdasar kriteria resiko tinggi dari hasil pemeriksaan non invasive akan menjadi kelas satu.
b. Indikasi CABG untuk angina stabil.
1) Kelas I
a) Stenosis
Left Mean Coronary Artery
yang signfikan.
b)
Left Mean Equivalen
stenosis 70% dari LAD proximal dan
LCX proximal.
c) Three
vessel disease
(dengan harapan hidup lebih besar
dengan fungsi LV terganggu misalnya LV EF 50%)
d)
Two
vessel disease
dengan stenosis LAD proximal LV EF
50% atau terdapat iskemic pada pemeriksaan
non invasive.
e)
Satu atau dua
vessel desease
LAD yang signfikan tetapi
f) Angina refraktur terhadap pengobatan yang maksimal.
2) Kelas II
a)
Stenosis LAD proximal dengan
satu vessel disease.b) Satu atau dua vessel desease tanpa stenosis LAD proximal yang signfikan.
3) Kelas III
a) Satu atau dua vessel desease tanpa LAD yang signfikan.
b) Stenosis coronary pada ambang batas (50-60% diameter pada lokasi non Left Mean Artery) dan tidak terdapat iskemic pada pemeriksaan
non invasive.
c. Indikasi CABG untuk Unstable Angina / Non Q Wave MI. 1) Kelas I
a) Stenosis Left Mean Coronary yang signfikan.
b) Left Mean Equivalen.
c) Iskemic yang mengancam dan tidak responsive terhadap terapi non bedah yang maksimal.
2) Kelas IIA.
Stenosis LAD proximal dengan satu atau dua vessel desease
3) Kelas IIB
Satu atau dua vessel desease tidak pada LAD. d. Indikasi CABG pada ST Segmen elevation Q wave MI
1) Kelas I 2) Kelas IIA
Iskemic yang mengancam atau infark yang tidak responsive pada terapi non bedah yang maksimal.
3) Kelas IIB
a) Gagal pompa ventrikel kiri yang progresif dengan stenosis koroner yang mengancam daerh miokardium.
Untuk referfusi primer lambat (>12 jam) pada STEMI tanpa iskemic yang mengancam.
e. Indikasi CABG pada fungsi ventrikel kiri yang buruk. 1) Kelas I
a) Stenosis Left Mean Coronary Artery yang signfikan.
b) Left Mean Equivalen: Stenosis signfikan 70% dari LAD proximal dan LCX proximal.
c) Stenosis LAD proximal dengan dua atau tiga vessel desease . 2) Kelas II
Fungsi LV yang memburuk dengan area miokardium viable
terevascularisasi tanpa adanya perubahan atau kelainan anatomis.
3) Kelas III
Fungsi LV buruk tanpa adanya tanda dan gejala iskemic intermitten dan tanpa adanya daerah miokardium yang viable dan terevascularisasi.
f. Indikasi CABG pada Aritmia ventrikel yang mengancam jiwa. 1) Kelas I
a) Stenosis pada Left Mean Coronary Artery. b) Threevessel desease.
2) Kelas IIA
a) Satu atau dua vessel desease yang bisa dilakukan bypass.
Akan menjadi kelas satu bila terdapat iskemic berdasarkan pemeriksaan non invasive atau LV EF <50%.
Jika terdapat miokardium yang besar dan termasuk kriteria resiko tinggi dari hasil pemeriksaan non invasive akan menjadi kelas I. b) Stenosis LAD proximal dengan satu atau dua vessel desease. 3) Kelas III
Takikardi ventrikel tanpa skore dan tanpa bukti ada iskemic.
g. Indikasi CABG pada pasca kegagalan PTCA.
a) Iskemic yang mengancam atau oklusi pada area miokard yang signfikan.
b) Hemodinamic yang tidak stabil.
2) Kelas IIA
Hemodinamik yang tidak stabil pada pasien dengan kelainan sistem koagulasi dan tidak memiliki riwayat sternotomi.
3) Kelas IIB
Hemodinamik yang tidak stabil pada pasien dengan kelainan sistem koagulasi dan memiliki riwayat sternotomi.
4) Kelas III
a) Tidak iskemic.
b) Revaskularisasi yang gagal oleh karena keadaan anatomi atau miokardiumyang tidak viable lagi.
h. Indikasi CABG pada pasien dengan riwayat CABG.
1) Kelas I
Angina Refraktur terhadap pengobatan non invasive maksimal. 2) Kelas IIA
a) Stenosis yamg nyata pada coroner distal yang memungkinkan dilakukan bypass dengan daerah miokardium yang besar yang terancam pada pemeriksaan
b) Iskemic pada daerah distribusi non LAD dengan graft arteri mamari interna paten ke LAD yang memperdarahi area miokardium fungsional dan tanpa usaha pengobatan medikal mentosa atau revaskularisasi percutan yang agresif.
D.Kontra Indikasi CABG
1. Faktor usia yang sudah sangat tua.
2. Pasien dengan penyakit pembuluh darah koroner kronik akibat diabetes mellitus dan EF yang sangat rendah <15%.
3. Sklerosis aorta yang berat.
E.Komplikasi Post CABG
1. Komplikasi jantung setelah operasi CABG dapat ditangani berdasarkan empat komponen yang mempengaruhi curah jantung meliputi preload, afterload, frekuensi denyut nadi, dan kontraktilitas.
a) Gangguan preload meliputi hipovolemia, perdarahan menetap, tamponade jantung dan kelebihan cairan.
Hipovolemia merupakan penyebab tersering terjadinya penurunan curah jantung setelah operasi jantung. Prosedur operasi menyebabkan kehilangan darah meski sudah dilakukan penggantian cairan. Namun pada saat suhu tubuh dinaikkan yang awalnya hipotermi mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga dibutuhkan lebih banyak cairan untuk memenuhi rongga pembuluh darah.
b) Perdarahan pasca operasi jantung terbagi 2 yaitu medical dan surgical. Perdarahan medikal terjadi karena gangguan pembekuan darah akibat rusak dan pecahnya trombosit. Selain itu mekanisme pembekuan darah juga akan terganggu bila pasien dalam keadaan hipotermik. Kedua, perdarahan surgical terjadi karena faktor pembedahan seperti jahitan yang bocor atau dari dinding dada akibat tusukan kawat sternum. Jumlah drainase tidak boleh melebihi 3cc/kgBB/jam selama 3 jam berturut-turut. c) Tamponade jantung adalah kondisi dimana terkumpulnya cairan di
CVP meningkat. Biasanya diberikan diuretic dan kecepatan pemberian cairan via intravena diperlambat.
d) Gangguan afterload sering disebabkan oleh perubahan suhu tubuh pasien. Pada hipotermia terjadi konstriksi pembuluh darah sehingga terjadi peningkatan afterload. Penanganannya adalah dengan menghangatkan kembali pasien secara bertahap, dan jika diperlukan dilakukan pemberian vasodilator sementara menunggu penghangatan. Sebaliknya demam atau kondisi hipertermia akan meningkatkan afterload. Penanganannya dengan menjaga normotermia tubuh atau dengan pemberian vasopressor. e) Hipertensi terjadi akibat peningkatan afterload. Jika pasien sudah
mengalami hipertensi sebelum pembedahan maka penatalaksanaan terapinya disesuaikan seperti sebelum operasi.
f) Aritmia dapat mempengaruhi curah jantung. Tujuan utama penanganannya adalah mengembalikan irama jantung ke irama sinus normal dan mencapai irama stabil yang menghasilkan curah jantung yang sesuai dengan kebutuhan pasien.
g) Gangguan kontraktilitas. Gagal jantung terjadi jika jantung tidak mampu memompakan darah sesuai kebutuhan tubuh. Gejala klinis yang muncul adalah terjadi penurunan tekanan arteri rata-rata, takikardi, gelisah,kesulitan bernafas, edema dan terjadi peningkatan PCWP, PA dan CVP.
h) Infark Miokard Post Operasi (PMI). Terjadi kematian sebagian otot jantung sehingga menurunkan kontraktilitas. Pengkajian yang dilakukan harus teliti untuk membedakan dengan nyeri karena faktor pembedahan. Infark miokard harus dicurigai jika tekanan arteri rata-rata menurun dengan preload yang normal. Serial EKG dan enzim dapat membantu penegakkan diagnose.
2.Komplikasi Paru-paru
a) Hematothorax dan Pneumothorax
akumulasi darah pada rongga thorax ( hematothorax ). Hematothorax harus di drain karena darah yang terakumulasi bisa menyebabkan pertumbuhan bakteri dan mencegah terjadinya fibrous dan penghambatan ekspansi paru. Pencabutan WSD pun harus dhindari adanya kebocoran udara.
b) Atelektasis
Atelektasis bisa disebabkan oleh obat-obat anastesi atau faktor-faktor negative dari pasien itu sendiri. Saat intubasi vetilator hendaknya disesuaikan dengan kondisi pasien dan adekuat untuk mencegah atelektasis terutama pada post op.
c) Pneumonia
Insiden pneumonia pada operasi jantung terjadi antara 2-9%. Pasien yang mengalami penyakit paru kronik preop kolonisasi disaluran pernapasan, atau perokok mempunyai insiden angka kejadian untuk terkena pneumonia. Oleh karena itu pengkajian kesehatan secara lengkap sangat diperlukan dan dikomunikasikan juga di post op. Pada post op, penggunaan NGT, reintubasi, kedisiplinan cuci tangan, elevasi kepala sedini mungkin, frekuensi perawatan dan pembersihan mulut dan suction ETT merupakan hal yang harus diperhatikan untuk pencegahan pneumonia.
d) Emboli Paru
Insiden emboli paru 1-2%terutama disebabkan oleh heparinisasi selama operasi dan hemodelusi setelah operasi. Stoking kompresi dan latihan mobilisasi di bed dan ROM tiap hari mungkin diperlukan untuk mencegah emboli paru.
e) Kegagalan weaning
3.Komplikasi Neurologis
Kebanyakan pasien mulai pulih kesadarannya dari efek anastesi dalam 1 sampai 6 jam pasca operasi. Pasien yang tidak mampu mengikuti perintah sederhana dalam 6 jam atau menunjukkan perbedaan kemampuan antara tubuh kanan dan kiri harus dievalusi kemungkinan stroke.
Defisit neurologi yang dihasilkan dari prosedur intra operasi biasanya terjadi 24–48 jam pertama setelah operasi. Selain dari penggunaan CPB, gangguan neurologis yang terjadi setelah beberapa hari perawatan biasanya dikarenakan tidak stabilnya hemodinamik post operasi atau terjadi AF (Atrial Fibrilasi). 4.Gagal ginjal dan ketidakseimbangan elektrolit
a. Hipokalemi dapat diakibatkan oleh masukan yang kurang, pemberian diuretic,, muntah, diare dan stress pembedahan. Perubahan EKG yang muncul adalah gelombang T yang datar atau terbalik dan adanya gelombang U. Kolaborasi pemberian Kalium intravena perlu dilakukan. b. Hiperkalemi dapat disebabkan oleh peningkatan asupan, hemolisis sel
darah merah, insufisiensi ginjal, nekrosis jaringan. Gejala yang terjadi adalah konfusi mental, gelisah, mual, kelemahan, parastesia ekstremitas. Perubahan EKG yang spesifik adalah gelombang T yang tinggi dan lancip, peningkatan amplitude, pelebaran QRS, dan QT yang memanjang. Penanganannnya adalah kola borasi pemberian natrium bikarbonat, insulin IV dan glukosa.
c. Hipernatremi dan hiponatremi. Hiponatremi cukup jarang terjadi, biasanya lebih disebabkan peningkatan cairan yang masuk ke tubuh sehingga terjadi pengenceran natrium tubuh.
d. Hipokalsemi dan hiperkalsemi. Hipokalsemi biasanya terjadi akibat alkalosis yang menurunkan jumlah Ca dalam cairan ekstrasel. Hiperkalsemi dapat menyebabkan aritmia yang serupa dengan keracunan digitalis. Penanganan segera harus dilakukan untuk mencegah terjadinya asistole dan kematian.
5.Infeksi
imunitas tubuh. Selain itu alat invasive yang melekat pada pasien bisa menjadi sumber infeksi. Penangan infeksi biasanya didasarkan pada protocol di setiap rumah sakit.
6.Dekubitus
Luka yang terjadi akibat penekanan yang lama pada bagian tubuh yang menonjol. Peranan perawat sangat vital mencegah terjadinya dekubitus khususnya pada pasien dengan bedrest total. Miring kanan-kiri adalah salah satu cara mencegah terjadinya dekubitus.
2. Atrial Fibrilasi post CABG A.Definisi
Fibrilasi atrium (AF) adalah takiaritmia supraventrikuler ditandai dengan aktivasi atrium tidak terkoordinasi dengan penurunan berikutnya fungsi mekanik. Pada elektrokardiogram (EKG),ciri dari AF adalah tiadanya konsistensi gelombang P, yang digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang bervariasi amplitudo, bentuk dan durasinya. Pada fungsi Nodus AV yang normal, AF biasanya disusul oleh respons ventrikel yang juga ireguler, dan seringkali cepat (Bellet,1971).
Atrial fibrilasi didefinisikan sebagai irama jantung yang abnormal. Aktivitas listrik jantung yang cepat dan tidak beraturan mengakibatkan atrium bekerja terus menerus menghantarkan implus ke nodus AV sehingga respon ventrikel menjadi ireguler. Atrial fibrilasi dapat bersifat akut maupun kronik dan umumnya terjadi pada usia di atas 50 tahun (Berry and Padgett, 2012).
Atrial fibrilasi terjadi ketika atrium mengalami depolarisasi secara spontan dengan kecepatan yang tidak beraturan (300kali/menit) sehingga atrium menghantarkan implus terus menerus ke nodus AV. Konduksi ke ventrikel dibatasi oleh refrakter dari nodus AV dan terjadi tanpa diduga sehingga menimbulkan respon ventrikel yang sangat ireguler (Patrick, 2002). Atrial fibrilasi dapat terjadi secara episodic maupun permanen. Jika terjadi secara permanen, kasus tersebut sulit untuk dikontrol (Philip and Jeremy, 2007).
Fibrilasi atrium pasca operasi (POAF) adalah umum setelah hari kedua pasca operasi kardiotoraks dan operasi noncardiothoracic (Stevenson dan dkk,2001).
AF telah dilaporkan dalam hingga 5-40% dari pasien pada periode pasca operasi awal setelah bypass arteri koroner graft (CABG), 37-50% setelah operasi katup, 64% menjalani penggantian katup mitral ditambah CABG, 49%(Creswell dan dkk,1993).
POAF setelah operasi jantung cenderung terjadi dalam waktu 2-4 hari setelah prosedur dengan kejadian puncak pada pasca operasi hari 2 menjalani penggantian katup aorta (AVR) ditambah CABG dan 12% setelah transplantasi jantung(Stevenson,2001). Dalam sebuah studi oleh Aranki dkk. pada pasien CABG, 70% dan 94% pasien mengembangkan POAF sebelum akhir pasca operasi hari 4 dan 6.
AF memperburuk status hemodinamik pasien dan meningkatkan risiko gagal jantung kongestif (CHF), peristiwa embolik dan lagi ICU tetap. AF juga mungkin memerlukan penggunaan blocking nodal atrioventrikular dan antiaritmia, yang dapat meningkatkan kebutuhan pacu jantung. Stroke merupakan komplikasi utama terlihat pada 2% pasien CABG, 37% di antaranya memiliki sebelumnya AF.
B.Tanda dan Gejala Atrial Fibrilasi
a. Palpitasi
b. Mudah lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik c. Presinkop atau sinkop
d. Kelemahan umum, pusing
Selain itu, AF juga dapat menyebabkan gangguan hemodinamik, kardiomiopati yang diinduksi oleh takikardia, dan tromboembolisme sistemik. Penilaian awal dari pasien dengan AF yang baru pertama kali terdiagnosis harus berfokus pada stabilitas hemodinamik dari pasien.(Wilkinson dan dkk,1994)
C.Jenis – jenis Atrial Fibrilasi
1. Secara klinis AF dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu presentasi dan durasinya, yaitu:
a) AF yang pertama kali terdiagnosis. Jenis ini berlaku untuk pasien yang pertama kali datang dengan manifestasi klinis AF, tanpa memandang durasi atau berat ringannya gejala yang muncul.
b) AF paroksismal adalah AF yang mengalami terminasi spontan dalam 48 jam, namun dapat berlanjut hingga 7 hari.
c) AF persisten adalah AF dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari atau AF yang memerlukan kardioversi dengan obat atau list.
d) AF persisten lama (long standing persistent) adalah AF yang bertahan hingga ≥1 tahun, dan strategi kendali irama masih akan diterapkan.
e) AF permanen merupakan AF yang ditetapkan sebagai permanen oleh dokter (dan pasien) sehingga strategi kendali irama sudah tidak digunakan lagi. Apabila strategi kendali irama masih digunakan maka AF masuk ke kategori AF persisten lama.
2. Selain dari 5 kategori yang disebutkan diatas, yang terutama ditentukan oleh awitan dan durasi episodenya, terdapat beberapa kategori AF tambahan menurut ciri-ciri dari pasien(AHA,2006):
b) A non-valvular: AF yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral, katup jantung protese atau operasi perbaikan katup mitral. A sekunder: AF yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi pemicu AF, seperti infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis, miokarditis, hipertiroidisme, emboli paru,pneumonia atau penyakit paru akut lainnya. Sedangkan AF sekunder yang berkaitan dengan penyakit katup disebut AF valvular. Respon ventrikel terhadap AF, sangat tergantung pada sifat elektrofisiologi dari Nodus AV dan jaringan konduksi lainnya, derajat tonus vagal serta simpatis, ada atau tiadanya jaras konduksi tambahan, dan reaksi obat.
3. Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR) maka AF dapat dibedakan menjadi :
a) AF dengan respon ventrikel cepat: Laju ventrikel >100x/ menit. b) AF dengan respon ventrikel normal: Laju ventrikel 60- 100x/menit. c) AF dengan respon ventrikel lambat: Laju ventrikel <60x/ menit
4.Faktor Resiko Atrial Fibrilasi post operasi (CABG) a.Pra operasi
Usia lanjut; jenis kelamin pria; predisposisi genetik dinilai oleh varian gen interleukin-6 promotor, sejarah CHF atau AF; penyakit paru obstruktif kronik, insufisiensi ginjal kronis, diabetes mellitus, penyakit jantung rematik, operasi jantung sebelumnya, sindrom metabolik, obesitas, tidak adanya penggunaan beta-blocker atau ACE inhibitor pengobatan , tinggi pra-op Brain Natriuretic Peptide, yang parah tepat stenosis arteri koroner proksimal, penyakit katup mitral, peningkatan ukuran atrium kiri, menurun fraksi ejeksi ventrikel kiri, indeks volume atrium kiri ≥ 75 mL / m, peningkatan pra operasi dalam durasi P gelombang di permukaan (> 116 ms) atau pada sinyal rata-rata (> 140 ms) EKG dan transfusi darah sebelum operasi.
terkait di atrium seperti dilatasi , atrofi otot, dan konduksi menurun dapat menjelaskan hubungan yang kuat.Penyakit katup jantung yang terjadi bersamaan juga berhubungan dengan takiaritmia atrial pasca operasi. Tidak jelas apakah ini karena kompleksitas tambahan prosedur bedah yang diperlukan atau penyakit katup itu sendiri. Baik tingkat iskemia maupun luasnya penyakit arteri koroner adalah prediktor yang konsisten dari takiaritmia atrium pasca operasi.
Ketika beta-blocker dilanjutkan atau dimulai pasca operasi, risiko POAF secara signifikan berkurang 51-68%. Penggunaan obat adrenergik merupakan faktor risiko independen untuk AF pasca CABG.
b.Intraoperatif
Ventilasi mekanis berkepanjangan, iskemia atrium,
hipokalemia,hypomagnesemia. Ada data yang bertentangan apakah peningkatan aorta lintas penjepit dan cardiopulmonary memotong peningkatan waktu POAF.
c.Pascaoperasi
Sebuah substudi dari Atrial Fibrillation Suppression Percobaan II (AFIST) menunjukkan bahwa pasien yang mengembangkan pasca operasi AF menerima 1,3 L lebih cair daripada mereka yang tidak pasca operasi AF selama 5 hari pasca operasi. keseimbangan cairan Net pada pasca operasi hari 2 adalah prediktor independen dari posting -CTS AF antara pasien amiodaron-naif (OR 6,4; 95% CI 1,4-29,1). yang dicatat karena sebagian besar pasca-CTS AF terjadi pada hari ini.
Karakteristik yang belum diidentifikasi secara konsisten sebagai faktor risiko independen termasuk hipertensi, disfungsi ventrikel kiri, angina pectoris, dan penyakit noncardiac.
5.Mekanisme dan patofisiologi Atrial Fibrilasi post operasi(CABG)
produksi berlebihan dari katekolamin, ketidakseimbangan otonom selama periode pasca-operasi, dan mobilisasi cairan interstitial dengan perubahan yang dihasilkan dalam volume, tekanan, dan lingkungan neurohumoral .
Faktor-faktor ini mungkin mengubah refractoriness atrium dan konduksi atrial lambat. Beberapa wavelet re-entry yang dihasilkan dari dispersi refractoriness atrium tampaknya menjadi mekanisme elektrofisiologi dari POAF . Namun, satu pertanyaan penting mengapa ada kerentanan antarindividu untuk POAF. Setidaknya satu jawaban yang mungkin adalah bahwa pasien dengan substrat struktural sebelum operasi dan dengan demikian rentan terhadap atrium listrik masuk kembali lebih rentan terhadap gangguan fisiologis yang dihadapi dalam periode pasca-operasi. Penjelasan alternatif adalah bahwa substrat ini dibuat sebagai hasil dari prosedur bedah itu sendiri. Memang mungkin bahwa perubahan fisik dari struktur jantung yang dihasilkan dari sayatan dari atrium atau iskemia perioperatif mungkin meningkatkan kerentanan jantung gangguan irama .Hal ini juga diketahui bahwa aktivasi neurohormonal meningkatkan kerentanan terhadap POAF. Peningkatan aktivasi simpatis dan parasimpatis mengubah refrakter atrial (misalnya, pemendekan periode refrakter efektif atrium), sehingga mungkin berkontribusi terhadap substrat aritmia . Telah dilaporkan oleh Hogue dkk. bahwa pasien mengembangkan POAF memiliki RR selang variabilitas tinggi atau lebih rendah, menunjukkan bahwa peningkatan tonus simpatik atau vagal terjadi sebelum onset aritmia. Temuan ini menunjukkan bahwa intervensi yang akan mempengaruhi kedua sistem saraf simpatis dan parasimpatis mungkin bermanfaat dalam menekan aritmia pasca-operasi ini. Semakin banyak bukti bahwa inflamasi berperan penting dalam patogenesis POAF.
Obesitas dikaitkan dengan persyaratan yang lebih tinggi curah jantung, massa ventrikel kiri yang lebih tinggi, dan lebih besar ukuran atrium kiri . Faktor-faktor ini mungkin predisposisi perkembangan POAF. Selain proses tersebut, mekanisme patofisiologis lain juga mungkin melakukan intervensi sebagai faktor yang berkontribusi dalam pengembangan POAF, termasuk kelebihan beban volume , predisposisi genetik dinilai oleh interleukin-6 promotor varian gen , perubahan dalam stres oksidatif atrium , dan peningkatan ekspresi kesenjangan-junctional protein connexin .
Banyak penelitian telah mengevaluasi efektivitas intervensi farmakologis dan nonfarmakologis untuk mencegah atau mengurangi tingginya insiden POAF. Pedoman baru-baru ini untuk pencegahan dan pengelolaan POAF diterbitkan pada tahun 2006 bersama oleh American College of Cardiology, AHA, dan European Society of Cardiology .
6.Pencegahan Atrial Fibrilasi post operasi (CABG) a. Beta blocker
lain meta-analisis dari 24 percobaan terbatas pasien dengan fraksi ejeksi> 30% mengalami CABG, profilaksis beta-blocker yang terkait dengan perlindungan terhadap takikardia supraventricular dengan OR 0,28, 95% CI 0,21-0,36.
b. Sotalol
Dalam meta-analisis dari 14 percobaan termasuk 2.583 pasien yang dibandingkan beta blocker atau plasebo, sotalol ditemukan lebih efektif dalam mengurangi POAF dari beta-blocker atau plasebo.
c. Amiodaron
Dalam uji coba secara acak termasuk 124 pasien yang menjalani operasi jantung kompleks, amiodaron diberikan secara oral minimal 1 minggu sebelum operasi secara signifikan mengurangi kejadian POAF, dari 53% pada kelompok plasebo 25% pada kelompok perlakuan (P = 0,003). Dalam Pengurangan Amiodarone di Jantung Koroner (ARCH) percobaan, pemberian intravena pasca operasi dari amiodarone dikaitkan dengan insiden lebih rendah POAF (35%) dibandingkan dengan kelompok plasebo (47%) (P = 0,01).
d. Atrial Pacing
Pacing profilaksis telah diteliti di sejumlah uji coba. Meta-analisis dari uji klinis telah secara konsisten menunjukkan bahwa single atau dual-situs atrium pacing secara signifikan mengurangi risiko POAF onset baru. Dalam uji coba secara acak,pacing overdrive biatrial pada pasien yang menjalani CABG itu terbukti lebih efektif dalam mencegah POAF dibandingkan single-situs atrium pacing (12,5% vs 36%). Namun, percobaan ini termasuk sejumlah kecil pasien dan memiliki keterbatasan yang signifikan. Efek samping utama adalah potensi efek proarrhythmic.
e. Calcium channel blockers
penggunaan diltiazem mengurangi kejadian AF pasca bedah oleh 50-74% dibandingkan dengan plasebo.
f. Magnesium
Sebuah meta-analisis menyimpulkan bahwa pemberian magnesium efektif untuk mengurangi POAF dengan khasiat mirip dengan obat antiaritmia umum. Meta-analisis menunjukkan magnesium untuk mengurangi risiko POAF oleh 23-36%. Namun, studi termasuk dalam analisis ini termasuk sejumlah kecil pasien, dan desain bervariasi antara studi yang berbeda, sehingga membatasi interpretasi hasil.
g. Statins
Penelitian prospektif acak Atorvastatin untuk mengurangi disritmia miokard setelah operasi jantung (ARMYDA-3) telah menunjukkan bahwa pengobatan dengan atorvastatin 40 mg / hari mulai 7 hari sebelum operasi jantung elektif bawah cardiopulmonary bypass dan dilanjutkan pada periode pasca operasi secara signifikan mengurangi terjadinya . dari POAF sebesar 61% .Statin telah terbukti mengurangi inflamasi pada pasien dengan penyakit arteri koroner; dan dengan demikian manfaat teoritis untuk mengurangi peradangan pasca operasi sebagai penyebab potensial POAF. Ketika teori diperiksa ditemukan untuk menjadi berguna dalam pencegahan POAF.
h. Asam lemak tak jenuh ganda N-3
Dalam uji coba terkontrol secara acak dari 160 pasien yang menjalani CABG elektif, suplementasi PUFA secara signifikan mengurangi kejadian POAF oleh 65% dibandingkan kontrol, efek yang mirip dengan yang diperoleh dengan beta-blocker, sotalol, atau amiodaron (OR 0,35; 95% CI 0.16- 0,76). The modulasi connexin jantung mungkin mekanisme berkontribusi terhadap efek antiaritmia suplemen minyak ikan. Selanjutnya, pada populasi umum, konsumsi ikan, menginduksi konsentrasi PUFA plasma tinggi, telah dikaitkan dengan kejadian yang lebih rendah dari AF dalam studi tindak lanjut 12 tahun.
i. Agen anti-inflamasi
setelah CABG. Namun, risiko terhadap rasio manfaat dari strategi profilaksis seperti masih belum jelas, mengingat nefrotoksisitas mereka. Dalam percobaan hidrokortison multicenter lain terbukti bermanfaat dalam mengurangi kejadian POAF dalam 84 jam pertama.
7.Penatalaksanaan Atrial Fibrilasi post operasi CABG
Sebelum memulai pengobatan AF, yang mendasari komorbiditas medis seperti ketidakseimbangan elektrolit, hipoksia, PPOK harus ditangani. AF telah dikaitkan dengan stres fisiologis, obat, emboli paru, penyakit paru-paru kronis, hipertiroidisme, kafein, proses infeksi, dan berbagai gangguan metabolisme. AF juga telah dikaitkan dengan obesitas, dan fenomena ini tampaknya dimediasi oleh dilatasi atrium kiri.
Pengobatan AF pasca CABG termasuk penggunaan obat-obatan dan kardioversi listrik. Obat dapat berfungsi untuk mencapai kontrol tingkat atau kontrol ritme . Menurut sebuah studi yang dilakukan untuk mempelajari tingkat kontrol terhadap kontrol ritme ditemukan bahwa yang terakhir ini lebih menguntungkan karena waktu turun menjadi kardioversi, pemeliharaan berkepanjangan ritme sinus, dan penurunan panjang rumah sakit tinggal secara keseluruhan.
Beta-blocker adalah obat pilihan, terutama pada pasien dengan penyakit jantung iskemik. Harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan asma, PPOK, gagal jantung kongestif dan AV blok konduksi, di antaranya mereka relatif kontraindikasi. Di antara calcium channel blockers, verapamil dan diltiazem dapat digunakan. Digoxin kurang efektif bila nada adrenergik tinggi tetapi dapat digunakan pada pasien dengan gagal jantung kongestif. Amiodarone juga dapat digunakan dan juga dikenal untuk meningkatkan status hemodinamik bila digunakan secara intravena.
hadir selama lebih dari 48 jam. Pedoman untuk antikoagulasi pada pasien pasca bedah tidak jelas.
TINJAUAN KASUS 1. RIWAYAT DATANG
Unit Rawat : IWB
Tiba di Unit (Tanggal/ Jam) : 19 April 2016 Jam 10.37
Tanggal Assesmen/ Jam : 19 April 2016 Jam 11.00
Nama : Tn. A
Umur : 69 tahun
Pendidikan : Universitas
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jl.Gunung raya No.17 RT 03/RW 01 Cirendeu Tangerang selatan
Berat badan/Tinggi badan : 71Kg/165 cm
Diagnosa Medis : CAD 3 VD EF 32 %+LM,Riwayat stroke tahun 2000
Tindakan Medis : Post CABG 3x LIMALAD,SVGOM,SVG PDA tanggal 20/04/16
2. ASESSMEN AWAL
a. Pre Operasi
b.Post Operasi
Saat dilakukan pengkajian,kesadaran pasien komposmentis,keadaan umum sedang disertai keluhan nyeri pasien secara verbal. Secara nonverbal didapat ekspresi wajah pasien tampak kesakitan. Pengkajian nyeri secara verbal pada pasien dengan menggunakan skala nyeri VAS skor nyeri : 5/10.Pasien mengatakan keluhan nyeri bertambah setelah tindakan aff drain,EKG di monitor berubah awalnya sinus rhytm menjadi Atrial Fibrilasi Rapid Ventrikel Respon
Riwayat AF sebelumnya tidak ada. Riwayat Alergi : tidak ada
3. Riwayat Kesehatan :
a. Pasien masuk ke RS ruang intermediate bedah pada tanggal 19 April 2016 untuk direncanakan operasi CABG tanggal 20/04/2016.
b. Riwayat stroke tahun 2000,riwayat gastritis tidak ada. c. Faktor Resiko : Hipertensi (+),Diabetes Melitus(-)
d. Masalah selama intra operasi: tidak ada
e. Masalah di ICU : Tekanan darah cenderung tinggi,Pasien diekstubasi tanggal 20/04/16 Jam 06.00
f. Masalah IWB : AFRVR(Atrial Fibrilasi Rapid Ventrikel Respon)
4. PEMERIKSAAN FISIK a. Sistem Kardiovaskuler
Tanda-tanda vital(pre operasi) :
Tekanan darah saat pengkajian (pk.11.05) 159/96 mmHg, HR 59x/menit, MAP 80, RR 20 x/menit, saturasi oksigen 100%,nadi teraba kuat akral hangat, suhu 35,8 C capillary refill 2 detik, bunyi jantung I-II normal, tidak ada
Tekanan darah saat pengkajian (pk.08.05) 139/79 mmHg, HR 120-130 x/menit, MAP 75, RR 24 x/menit, saturasi oksigen 100%,nadi teraba kuat akral hangat, suhu 36,5 C capillary refill 2 detik, bunyi jantung I-II normal, tidak
ada murmur dan gallop. Pulsasi arteri carotis kuat.
b. Sistem Pernafasan
Pre operasi : Saat ini pasien spontan. Auskultasi suara napas vesikuler, tidak ada ronchi dan wheezing. Saturasi O2 100 %. Saat ini tidak ada reflek batuk. AGDA tanggal 29/03/16 alkalosis respiratorik murni.
Post operasi : Saat ini pasien menggunakan oksigen binasal 3 liter/menit. Auskultasi suara napas vesikuler, tidak ada ronchi dan wheezing. Saturasi O2 100 %. Saat ini ada reflek batuk,sputum jumlah sedikit warna jernih, encer. AGDA tanggal 20/04/16 dalam batas normal.
c. Sistem Persyarafan
Pre operasi :Saat ini pasien dengan kesadaran komposmentis,dengan. GCS 4/6/5. Pasien tidak mengalami kejang dan tidak ada kelemahan atau parese. Post operasi: Saat ini pasien dengan kesadaran komposmentis,dengan. GCS 4/6/5. Pasien tidak mengalami kejang dan tidak ada kelemahan atau parese d. Sistem Indera
Pre operasi :Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, tidak ada trauma pada hidung, tidak ada epistaksis.
Post operasi: Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, tidak ada trauma pada hidung, tidak ada epistaksis
e. Sistem Gastrointestinal
f. Sistem Perkemihan
Pre operasi : Pasien tidak terpasang dower kateter.
Post operasi : Pasien masih menggunakan selang kateter nomor 16. Produksi urine ½ cc/KgBB/jam. Tidak tampak tanda-tanda infeksi pada area pemasangan kateter
g. Sistem Integument
Pre operasi :Turgor kulit elastis. Kulit berwarna sawo matang, asianotik. Tidak terdapat ruam-ruam kemerahan pada kulit. Suhu tubuh 36 derajat Celsius Post operasi :Turgor kulit elastis. Kulit berwarna sawo matang, asianotik. Tidak terdapat ruam-ruam kemerahan pada kulit. Suhu tubuh 36,2 derajat Celsius. Kuku warna kemerahan, bersih, tidak ada sianosis. Terdapat luka operasi di sternum vertical kurang lebih 10 cm tertutup kasa.Terdapat luka post graft di kedua tungkai.Pasien terpasang central vena line di vena subclavia sinistra dengan line Nacl 0,9 % 1 kolf/24 jam wire pacemaker lokasi di ventrikel kanan. Tidak terdapat tanda infeksi pada area insersi pemasangan alat-alat invasif tersebut.
h. Sistem musculoskeletal
Pre operasi : Bentuk kepala normal. Pasien masih dalam kondisi baik, posisi semifowler. Ekstremitas motorik atas bawah kondisi baik dan ada pergerakan. Pasien tidak ada kelemahan/parese.
Post operasi : Bentuk kepala normal. Pasien masih dalam kondisi bedrest, posisi semifowler. Ekstremitas motorik atas bawah kondisi baik dan ada pergerakan. Pasien tidak ada kelemahan/parese.Tampak edema pada ektremitas bawah.
i. Psikologis
Pre operasi :Saat ini pasien tampak cemas dan orientasi penuh Post operasi : Saat ini pasien tampak tenang, dan orientasi penuh
j. Terapi yang diberikan Pre operasi :
Furosemide 1x40 mg P.O(Per Oral ) Jam 06.00
Concor 1x2,5 mg P.O(Per Oral ) Jam 07.00
Ramipril 1 x 5 mg P.O(Per Oral ) Jam 19.00
Micardis 1x40 mg P.O(Per Oral ) Jam 20.00
Post operasi
Nama Obat Dosis Cara Pemberian Waktu
pemberian
Captopril 3x12,5 mg P.O(Per Oral)
Jam06.00-13.00-19.00
Laxadine Syr 3xCI P.O(Per Oral) Jam
06.00-13.00-19.00
Ranitidin 2x150 mg P.O(Per Oral) Jam 06.00-18.00
Bisoprolol 1x1,25 mg P.O(Per Oral) Jam 07.00
Furosemide 2x20 mg IV( intra vena) Jam 06.00-18.00
Aptor 1x100 mg P.O(Per Oral) Jam 13.00
Ondansentron 2x80 mg P.O(Per Oral) Jam 06.00-18.00 Paracetamol 3x1 gr P.O(Per Oral) Jam
06.00-13.00-19.00
5. Skrining Gizi :
Pre operasi :Pasien tidak mengalami penurunan berat badan yang dalam 6 bulan terakhir .Pasien tidak mengalami penurunan nafsu makan/kesulitan menerima makanan. Pasien memiliki diagnose khusus selain jantung.Skor gizi : 0,BB : 71 kg, TB : 165 cm
Post operasi : Pasien tidak mengalami penurunan berat badan yang dalam 6 bulan terakhir .Pasien tidak mengalami penurunan nafsu makan/kesulitan menerima makanan. Pasien memiliki diagnose khusus selain jantung.Skor gizi : 0,BB : 71 kg, TB : 165 cm
6. Status Fungsional :
Pre operasi : Sesuai format pengkajian fungsional Barthel index : kategori pasien mandiri dengan skor 95
a. Pasien dapat mengendalikan rangsang defekasi (kontrol BAB) secara mandiri.Skor 10
c. Pasien dalam membersihkan diri atau personal hygiene(cuci muka,sisir rambut,gosok gigi) dapat dilakukan mandiri .Skor 10
d. Pasien dalam penggunaan toilet masuk/keluar (melepas pakai celana,menyeka,menyiram)dapat dilakukan mandiri.Skor 10
e. Pasien dapat makan secara mandiri.Skor 10
f. Pasien dapat pindah tempat dari kursi ke tempat tidur secara mandiri. Skor 10 g. Pasien mampu mobilisasi berjalan secara mandiri.Skor 10
h. Pasien dalam berpakaian dilakukan secara mandiri.Skor 10 i. Pasien dibantu sebagian dalam naik turun tangga.Skor 5 j. Pasien dalam mandi dilakukan secara mandiri.Skor 10
Post operasi :
-Personal hygiene : dibantu total skor =0 -Mandi : dibantu total,skor = 0
-Makan : dibantu sebagian ,skor =5 -Toileting : dibantu total,skor =5 -Menaiki tangga: dibantu total,skor =0 -Memakai pakaian,dibantu sebagian,skor = 5 -BAB ,dibantu sebagian,skor=5
-BAK,dibantu total,skor =0
-Ambulasi,dibantu sebagian,skor =5
-Transfer kursi-Tempat tidur:dibantu sebagian,skor=5 Total skor =30,Pasien dengan kategori dibantu sebagian.
7.Skrining Resiko Jatuh: Modifikasi Ann Hendrich Pre operasi :
a. Disorientasi. Skor 0
b. Gangguan gaya berjalan. Skor 0
c. Riwayat jatuh dalam 12 bulan terakhir : Skor 0 d. Obat-obatan beresiko tinggi,skor 2
e. Gangguan pendengaran dan penglihatan.skor :1
Total skor risiko jatuh : 3 (rendah) Post Operasi :
a. Disorientasi. Skor 0
b. Gangguan gaya berjalan. Skor 0
c. Riwayat jatuh dalam 12 bulan terakhir : Skor 0 d. Obat-obatan beresiko tinggi,skor 2
e. Gangguan pendengaran dan penglihatan.skor :1
f. Pusing/vertigo,skor : 0
Total skor risiko jatuh : 3 (rendah)
8. Kebutuhan komunikasi dan edukasi: a. Fungsi bicara pasien normal
b. Bahasa sehari-hari yang digunakan : bahasa Indonesia dan bahasa daerah,tidak perlu penterjemah, tidak menggunakan bahasa isyarat
c. Pasien tidak mengalami hambatan belajar secara fisk, budaya maupun bahasa d. Pasien perlu diberikan edukasi mengenai obat-obatan, nutrisi setelah
operasi,cara batuk efektif,perawatan luka, manajemen nyeri dan program rehabilitasi paska operasi.
9. Psiko -sosial- ekonomi- spiritual a. Pasien dalam keadaan sadar
b. Pasien tidak bekerja menggunakan jaminan perawatan dengan JKN mandiri c. Saat ini pasien membutuhkan bimbingan rohani islam, informasi tentang
kondisinya saat ini dan berada di samping keluarga.
10. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Electrocardiogram (20/04/ 2016 Jam 00.13)
EKG post op (23/04/16 jam 16.30) : Irama : Iregular, HR 120-130 x/mnt, gelombang P tidak ada ,PR tidak ada, QRS durasi 0,08 detik, terdapat depresi ST dan Gelombang T Segmen inverted di V5-V6.Kesan Atrial Fibrilasi Rapid Ventrikel Respon
b. Echocardiogram (07/01/2016)
LV dilatasi.Kontraktilitas global RV menurun dengan EF 30-35%.Hipokinetik berat basal-mid anteroseptal.Disfungsi diastolic,kontraktilitas RV normal,MR mild.Echokardiogram post operasi(26/4/16) : EF: 26%,EDD 57,ESD 50,TAPSE 1,4 cm,PE (-)
c. Hasil kateterisasi jantung (RS Binawaluya) LM : Stenosis non significant proksimal-distal
LAD : Stenosis difus osteal hingga mid dengan stenosis 60-80%,kalsifikasi(+)D1 stenosis difus dengan stenosis 70-90%.
LCx : Stenosis 90% bifurcatioLcx-OM1,stenosis 90% pada OM1. RCA : Stenosis 90% pada osteal RPDA dan RPL1
Kesan : Ireguler CAD
d. Hasil Foto Toraks (29/03/2016)
CTR 54%.Apeks tertanam, segmen pulmonal menonjol.Mediastinum superior tidak melebar.Aorta elongasi ,kalsifikasi.
Paru : hilus kanan dilatasi.Vaskuler paru meningkat.Parenkim paru dalam batas normal.Sinus costofrenikus dan diafragma baik. Tulang dan soft tissue baik. Kesan : kardiomegali ec MI-MS,PH. Pulmo dalam batas normal.Aorta kalsifikasi elongasi.
e. Hasil MSCT ( 22 Desember 2015)
-Terdapat plak lunak di distal Left main dengan stenosis 50%
- Terdapat plak lunak di proksimal dan mid LCx dengan stenosis masing-masing 40%
- Terdapat plak padat di LAD,LCx,dan RCA non significant stenosis f. Hasil MRI ( 3 Februari 2016)
- Hipokinetik berat di bagian bawah-mid anteroseptal,apicoseptal. Hipokinetik sedang di segmen lain.
- Hipoperfusi sedang di mid anterior,mid anteroseptal,mid inferoseptal,apicoseptal,apicoinferior.Hipoperfusi ringan di segmen lain. - 1lateral,bawah-mid inferoseptal,bawah-apicoinferior.
- Jaringan parut di mid anteroseptal,diperkirakan volumenya 15 %
g. Hasil Vaskuler Duplex Sonography Ektremitas bawah (31/3/2016)
Plaque stabil pada arteri femoralis comunis kanan-kiri. Chronic Venous Insufficiency (CVI) ringan sampai sedang pada vena – vena dalam kedua tungkai. Tidak ditemukan thrombosis (DVT) pada vena – vena dalam di kedua tungkai. Normal flow arteri pada kedua tungkai.
h. Hasil Vaskuler Duplex Sonography Carotis (31/3/2016)
Plaque stabil pada bifurcatio arteri carotis kanan-kiri. Penebalan intima media pada arteri carotis communis kanan- kiri. Normal flow pada semua level arteri carotis kanan-kiri. Normal diameter dan flow pada arteri vertebralis kanan-kiri.
i. Hasil Laboratorium
Tanggal Pemeriksaan Hasil
29-03-2016 - Analisa gas darah PH
pO2 pCO2 HCO3 Actual BE Saturasi
- Hematologi Hemoglobin Hematokrit
7.451
132,5 mmhg 32,1 mmhg 22,6 mmol/L 0,0 mmol/L 99.9 %
Chlorida 105 mmol/L
ANALISA DATA PRE OPERASI Tangga
l
NO DATA ETIOLOGI MASALAH
19/4/16 1
Data subjektif
Klien
mengatakan takut terhadap proses operasi yang akan dijalani
Klien sering bertanya kepada perawat tentang prosedur
persiapan tindakan operasi
Klien mengatakan semalam susah tidur
Data Objektif :
Klien terlihat
gelisah
Klien tampak
Kurang pengetahuan tentang tindakan yang akan dilakukan
cemas
Wajah klien
terlihat tegang
Kontak mata kurang
Kurang istirahat
BP : 159/96 mmHg, HR : 59x/menit, RR : 16x/ menit
Analisa data post operasi Tanggal N
O
DATA ETIOLOGI MASALAH
23/04/1 6
1 Data Subjektif : Pasien mengeluh berdebar dan pusing
Data Objektif :
-Tekanan darah139/79 mmHg, HR : 120 x /menit,MAP : 80 RR : 24x/menit,saturasi oksigen 100%,nadi teraba kuat dan tidak teratur, suhu : 36,5 C,
-EKG (23/11/15) : Irama tidak teratur,rate120x/menit,gelomban g P tidak ada, PR interval tidak ada.Kesan EKG: Atrial Fibrilasi Rapid Ventrikuler Respon
- kulit terasa dingin dan lembab Echo post op ( 26/04/16 : EF 26%,TAPSE 1,4 cm,tidak ada
Gangguan irama jantung
23/04/1
PE,efusi pericard tidak ada. -Urine Output : 200 cc selama 5 jam(1/2 cc/KgBB/jam)
Data Subjektif : Pasien mengatakan nyeri luka operasi Data Objektif :
- Tekanan darah 139/79 mmHg, HR : 120 x /menit,MAP : 80 RR : 24x/menit,saturasi oksigen 100%,CVP 16,nadi teraba kuat dan tidak teratur, suhu : 36,5 C.
- Pasien tampak kesakitan dengan skala nyeri 5/10
-Terdapat luka operasi di sternum vertical kurang lebih 10 cm tertutup kasa, tidak terdapat tanda infeksi.Terdapat luka post graft di kedua tungkai.
-Pasien mendapat terapi obat : paracetamol 3 x 1 gr ( P.O)
Data Subjektif : tidak ada Data Objektif :
- Tekanan darah di arteri line139/79 mmHg, HR : 120 x /menit,MAP : 80 RR :
24x/menit,saturasi oksigen 100%,CVP 16,nadi teraba kuat dan tidak teratur, suhu : 36,5 C.
- Terdapat luka operasi di sternum vertical kurang lebih 10
cm tertutup kasa, tidak terdapat tanda infeksi.Terdapat luka post graft di kedua tungkai
- Pasien terpasang central vena line di vena subclavia sinistra, wire pacemaker lokasi di ventrikel kanan,Dower kateter hari ke 4
-Hasil laboratorium : Hb:10,0,Ht : 29,5 Leukosit 26320,/uL
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN PRE OPERASI Tanggal 19-04-2016
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
19/4/
Setelah dilakukan asuhan selama 1x24 jam pada klien, kecemasan teratasi dgn kriteria hasil:
❖ Klien mampu
mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
NIC :
Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)
Perkenalkan diri dan staf lain yang akan merawat pasien
Pantau tanda –tanda vital
Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan
❖ Mengidentifikasi,
mengungkapkan dan
menunjukkan tehnik untuk mengontrol kecemasan ❖ Vital sign dalam batas
normal
❖Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan
mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi
Dengarkan dengan penuh perhatian
Identifikasi tingkat kecemasan dan penyebab kecemasan pasien
Identifikasi mekanisme koping yang digunakan pasien
Gunakan pendekatan yang menenangkan
Jelaskan semua prosedur dan apa yang akan dirasakan selama prosedur. gunakan kata-kata yang jelas dan mudah dipahami
Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan dan prognosis
Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
Libatkan keluarga untuk mendampingi klien
Ajarkan pada pasien teknik-teknik relaksasi untuk mengurangi kecemasan
Kolaborasi : yakinkan pasien dan keluarga telah
mendapatkan penjelasan tindakan oleh dokter
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN POST OPERASI
TGL N · Vital Sign Status · Tissue perfusion: perifer
Setelah dilakukan asuhan selama 3x24 jam penurunan cardiac output klien teratasi dengan
Evaluasi adanya nyeri dada
�
Catat adanya disritmia jantung
�
Catat adanya tanda dan gejala
�
penurunan cardiac putput Monitor status pernafasan
�
yang
menandakan gagal jantung Monitor balance cairan
�
Monitor respon pasien
�
terhadap efek pengobatan antiaritmia
Atur periode latihan dan
�
istirahat untukmenghindari kelelahan
Monitor toleransi aktivitas
�
pasien
Monitor adanya
�
aktivitas, tidak ada kelelahan
Tidak ada edema
�
paru,
perifer, dan tidak ada asites
Tidak ada
�
penurunan kesadaran
AGD dalam batas
�
Anjurkan untuk menurunkan
�
stress
Monitor TD, nadi, suhu, dan
�
RR
Monitor Vital sign saat pasien
�
berbaring, duduk, atau berdiri Auskultasi TD pada kedua
�
lengan danbandingkan Monitor TD, nadi,
�
RR,sebelum, selama,dan setelah aktivitas
Monitor jumlah, bunyi dan
�
irama jantung
Monitor frekuensi dan irama
�
pernapasan
Monitor pola pernapasan
�
abnormal
Monitor suhu, warna, dan
�
kelembaban kulit
Monitor sianosis perifer
�
Monitor adanya cushing triad
�
(tekanan nadi yang melebar, bradikardi,peningkatan sistolik)
Identifikasi penyebab dari
�
Perubahan vital sign
Jelaskan pada pasien tujuan
�
dari
pemberian oksigen
Sediakan informasi untuk
�
mengurangi stress
Kelola pemberian obat anti
23/0
inotropik, nitrogliserin dan vasodilator
untuk mempertahankan kontraktilitas jantung
Kelola pemberian
�
antikoagulan untuk mencegah trombus perifer
Minimalkan stress lingkungan
�
Monitor pola pernapasan
�
abnormal
Monitor suhu, warna, dan
�
kelembaban kulit
Monitor sianosis perifer
�
Monitor adanya cushing triad
�
(tekanan nadi yang melebar, bradikardi,peningkatan sistolik)
Identifikasi penyebab dari
�
Perubahan vital sign
Jelaskan pada pasien tujuan
�
dari
pemberian oksigen
Sediakan informasi untuk
�
mengurangi stress
Kelola pemberian obat anti
�
aritmia,
inotropik, nitrogliserin dan vasodilator
untuk mempertahankan kontraktilitas jantung
Kelola pemberian
�
jaringanpaska
· Melaporkan bahwa nyeri
berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri · Mampu mengenali nyeri
(skala,
intensitas,frekuensi dan tanda nyeri) · Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
Minimalkan stress lingkungan
�
NIC :
Lakukan pengkajian nyeri
�
secara
komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,frekuensi, kualitasdan faktor presipitasi
Observasi reaksi nonverbal
�
dari
ketidaknyamanan
Bantu pasien dan keluarga
�
untuk mencari dan menemukan dukungan
Kontrol lingkungan yang
�
dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan Kurangi faktor presipitasi
�
nyeri
Kaji tipe dan sumber nyeri
�
untuk
menentukan intervensi
Ajarkan tentang teknik non
�
farmakologi:napas dalam, relaksasi,
distraksi, kompres hangat/ dingin Berikan analgetik untuk
�
mengurangi nyeri Tingkatkan istirahat
�
Berikan informasi tentang
23/0 4/16
3 Resiko infeksi berhubungan dengan Faktor-faktor risiko :
- Prosedur
· Tanda vital dalam rentang
normal
· Tidak mengalami gangguan tidur
tanda dan gejala infeksi
Jumlah leukosit
�
dalam batas normal
Menunjukkan
�
nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama
nyeri akan berkurang dan antisipasi
ketidaknyamanan dari prosedur Monitor vital sign sebelum
�
dan sesudah pemberian analgesik
pertama kali
NIC :
· Pertahankan teknik aseptik · Batasi pengunjung bila perlu · Cuci tangan dengan 5 moment · Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung diri. · Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan SPO · Tingkatkan intake nutrisi · Berikan terapi antibiotik
· Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
· Pertahankan teknik isolasi k/p · Inspeksi kulit dan membrane mukosaterhadap kemerahan, panas,drainase
perilaku
· Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
· Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4 jam
IMPLEMENTASI ASUHAN KEPERAWATAN PRE OPERASI DX.
-Menerima pasien baru Tn.A dengan diagnosa CAD rencana operasi CABG tanggal 20/4/2016
- menimbang berat badan
- mengukur tinggi badan
-Memperkenalkan diri kepada pasien dan keluarga
Memberikan informasi tata tertib,hak dan kewajiban pasien
-Memberikan edukasi : cara mencuci tangan yang benar
-Identifikasi
S :
-O : tinggi badan 165 cm, berat badan 71 kg
S :
-O : pasien dan keluarga tampak memahami tentang tata tertib, hak dan kewajiban
S :
Jam 11.25
Jam 12.00
Jam 12.30
Jam 13.30
pasien,mencocokkan gelang pasien dengan data pasien
-Mengukur tanda-tanda vital
-Mengkaji keluhan pasien saat ini
-Mengkaji kecemasan pasien dan
memberi kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaannya
-Meminta klien
mengidentifikasi faktor pencetus cemas
-Memberikan makan siang pasien
-Mengorientasikan alur perawatan, ruangan dan petugas yang akan merawat pasien
-Menganjurkan pasien untuk istirahat
-Memeriksa kelengkapan berkas-berkas persiapan operasi
mampu mempraktekkan cara mencuci tangan yang benar
S :
-O : Tekanan Darah : 159/96 mmHg, nadi 59 kali/menit, suhu 36ºC, saturasi oksigen 99% S : Pasien mengatakan takut akan dilakukan tindakan operasi
O : pasien tampak cemas dan tegang
S :
-O : pasien memahami alur perawatan dan petugas yang akan merawat
S :
-O : pasien istirahat tidur
Jam 19.00
Jam 20.00
-Memberikan informasi pada pasien tentang prosedur persiapan operasi
-Memberikan edukasi pada pasien :
- teknik relaksasi
- manajemen nyeri paska operasi
- cara batuk efektif
-Meminta keluarga untuk menemani dan memberi dukungan kepada klien
-Menemani dokter saat menjelaskan prosedur
tindakan operasi jantung pada pasien dan komplikasi yang mungkin muncul
-Mengantar pasien untuk orientasi ke ruangan ICU
-Mengkaji perasaan pasien saat ini setelah diberi penjelasan oleh dokter, mendengarkan dengan perawat, pasien dapat mengikuti latihan relaksasi dan cara batuk efektif
S : Klien mengatakan keluarga sangat berarti baginya
O:Keluarga datang berkunjung dan terlihat mendukung klien
S: pasien mengatakan mulai memahami
prosedur operasi jantung
O: dokter menjelaskan prosedur operasi jantung
S :
-O : pasien dan keluarga bersama-sama ke ruang ICU untuk orientasi
seksama
-Menciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman bagi pasien
O : pasien tampak lebih tenang
S : pasien mengatakan lebih nyaman dengan suasana yang sepi dan tenang
O: Suasana tenang
IMPLEMENTASI ASUHAN KEPERAWATAN POST OPERASI DX.
-Mengkaji adanya keluhan nyeri dada
-Mencatat adanya disritmia jantung
S : tidak ada O : Tekanan darah
120/60mmHg, HR : 130x / menit,MAP : 80 RR : 26x/ menit,saturasi oksigen 100%,nadi teraba kuat dan tidak teratur, suhu : 36,5
C
S : pasien mengatakan tidak ada keluhan nyeri : dada
O : Pasien tampak tenang S : Pasien mengatakan detak jantung berdebar O : Tekanan darah
1
-Mengkaji pulsasi arteri perifer
-Memantau adanya perubahan EKG
-Melakukan kolaborasi untuk pemberian obat cordaron bolus dan
dilanjutkan dengan dengan maintenance
-Melakukan kolaborasi untuk pengambilan darah untuk pemeriksaan elektrolit
-Memonitor balance cairan
kuat dan tidak teratur, suhu : 36,5 C
S : tidak ada
O : Pulsasi arteri perifer +/ +,tampak dingin dan lembab
S : tidak ada
O : EKG yang tampak dalam monitor : Irama tidak teratur,Atrial Fibrilasi Rapid Ventrikuler Respon dengan rate
120-140x/menit
S : tidak ada
O : Pemberian cordaron bolus 150 mg diberikan selama 15 menit sambil memantau hasil EKG di monitor.
S : tidak ada
O : Pengambilan sampel melalui CV line
S : tidak ada
2
-Mempertahankan tehnik aseptik saat pengambilan darah
-Mengukur tanda-tanda vital
-Mencatat adanya disritmia jantung
-Mengajarkan tentang teknik mengurangi nyeri non farmakologi: napas dalam,
S : Pasien mengatakan nyeri di luka operasi dengan skala nyeri 5/10 O : Pasien tampak kesakitan dan sekali-kali memegang luka daerah sekitar operasi
S : tidak ada
O : Memberikan posisi semifowler,pasien tampak nyaman
S : tidak ada
O : Mencuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
-Menggunakan sarung tangan saat .pengambilan darah
S : tidak ada
O : Tekanan darah 120/60 mmHg, HR : 130 x
/menit,MAP : 80 RR : 24x/ menit,saturasi oksigen
S : pasien mengatakan keluhan berdebar masih berkurang
2 hangat/ dingin, batuk efektif
-Memberikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang
dan antisipasi pemberian analgetik
-Menjaga kebersihan lingkungan pasien
-Memberikan informasi pada keluarga pasien bahwa pasien telah selesai dioperasi dan memberikan edukasi cara mencuci tangan yang benar, tata tertib sebelum menjenguk pasien
-Memantau luka operasi dan patensi alat-alat invasif yang
menyimak dan mengikuti apa yang diajarkan perawat
S : tidak ada
O : Luka operasi tampak bersih masih tertutup kasa
S : tidak ada O : Pasien tampak koperatif untuk minum
S : tidak ada
O : Lingkungan sekitar pasien bersih
S : tidak ada
O : keluarga pasien tampak mengerti dengan apa yang dijelaskan oleh perawat.
S : tidak ada
masih terpasang pada pasien
-Melakukan observasi tanda dan gejala infeksi
- Melakukan perawatan luka operasi
bersih tertutup kasa yang dilapisi tegaderm,tidak tampak ada tampak gejala infeksi
EVALUASI ASUHAN KEPERAWATAN PRE OPERASI DX.
KEP.
TANGGAL/ JAM
EVALUASI
1 23/4/16
Jam 14.30
S :
- Pasien mengatakan sudah lebih paham mengenai penyakitnya, prosedur operasi jantung secara umum dan persiapan-persiapan operasi
- Pasien mengatakan cemas berkurang - Pasien mengatakan siap menjalani operasi
O :
- Pasien mampu mengungkapkan perasaan positif (tidak takut, siap menjalani operasi jantung)
- Wajah klien terlihat tenang, kontak mata baik
- Klien mampu fokus saat berkomunikasi dengan perawat dan orang lain
- Vital sign dalam batas normal
Tekanan darah 159/96 mmHg,nadi 59 kali/menit,pernapasan 18 kali/menit,suhu 36 0ºC,saturasi oksigen 100 %
P : Lanjutkan intervensi keperawatan persiapan operasi
EVALUASI ASUHAN KEPERAWATAN POST OPERASI DX.
KEP.
TANGGAL/ JAM
EVALUASI 1
2
3
23/04/16 Jam 16.00
23/04/16 Jam 16.00
23/04/16 Jam 16.00
S : Pasien mengatakan masih pusing dan berdebar
O : Tekanan darah 120/60 mmHg, HR : 130 x /menit,MAP : 80 RR : 24x/menit,saturasi oksigen 100%,CVP 16 nadi teraba kuat dan tidak teratur, suhu : 36,C,EKG yang tampak di monitor : Irama tidak teratur,Atrial Fibrilasi Rapid Ventrikuler Respon dengan rate 130-140x/menit,masih mendapat terapi cordaron drip
A : Penurunan cardiac output belum teratasi P : Lanjutkan intervensi keperawatan
S : Pasien mengatakan masih nyeri post operasi dengan skala nyeri 4/10(skala nyeri sedang)
O : Tekanan darah 120/60 mmHg, HR : 130 x /menit, RR :
24x/menit,saturasi oksigen 100%, nadi teraba kuat dan tidak teratur, suhu : 36,5 C, Terdapat luka operasi di sternum vertical kurang lebih 10 cm tertutup kasa.
-Pasien mendapat terapi obat : paracetamol 3 x 1 gr ( P.O) A: Nyeri belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi keperawatan
S : tidak ada
O : Tekanan darah 120/60 mmHg, HR : 130 x /menit,RR : 24x/menit,saturasi oksigen 100%,nadi teraba kuat dan tidak teratur, suhu : 36,5 C, Terdapat luka operasi di sternum vertical kurang lebih
10 cm tertutup kasa.
DAFTAR REFERENSI
American Heart Association Task Force on Practice Guidelines and the European Society of CardiologyCommittee for Practice Guidelines (Writing Committee to Revise the (2001) Guidelines forthe Management of Patients With Atrial Fibrillation): developed in collaboration withthe European Heart Rhythm Association and the Heart Rhythm Society. Circulation
Aranki S.F.,Shaw D.P.,Adams D.H(1996) .Predictors of atrial fibrillation after coronary artery surgery.Current trends and impact on hospital resources.Circulation(1996)
Atrial Fibrillation Clinical Presentation.( 2013). (Accessed Sep 27, 2013, at http:// emedicine.medscape.com/article/151066-clinical.)
Creswell L.L,Schuessler R.B Rosenbloom M.,Cox J.L (1993).Hazards of post-operative atrial arrhythmias.Ann Thorac Surg: 539-549
European Heart Rhythm A, European Association for Cardio-Thoracic S, Camm AJ, et al.(2010)Guidelines for the management of atrial fibrillation: the
Mathew J.P,Parks R.,Savino J.S(2002) MultiCenter Study of Perioperative Ischemia research Group Atrial Fibrillation.England
Fuster V, Ryden LE, Cannom DS, et al. ACC/AHA/ESC (2006) Guidelines for the Managementof Patients with Atrial Fibrillation: a report of the American College of Cardiology
Kowey PR, Yannicelli D, Amsterdam E(2004). Effectiveness of oral propafenone for the preventionof atrial fibrillation after coronary artery bypass grafting. The American journal of cardiology ;94:663-5.