BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Koma dan gangguan penurunan kesadaran merupakan gambaran dari adanya gangguan atau kerusakan fungsi otak yang menyeluruh. Penanganan medis dan intervensi di dalam koma dan gangguan penurunan kesadaran harus dilakukan secara tepat dan sesegera mungkin untuk meminimalisir kerusakan dan memperbesar kemungkinan pemulihan pasien. Kedua hal tersebut di atas perlu dilakukan oleh karena otak manusia mempunyai cadangan fungsi yang terbatas, sehingga apabila penanganan tidak dilakukan segera tidak banyak yang dapat dilakukan untuk mengembalikan atau mencegah kerusakan fungsi lebih lanjut.
Koma merupakan permasalahan medis yang terus menjadi perhatian bagi banyak kalangan, baik dari jaman para klinisi Yunani kuno sampai masa sekarang. Gangguan kesadaran sebagai bagian yang lebih luas dari koma telah menjadi pusat penelitian dari banyak ilmuwan, namun hingga kini masih banyak aspek dari koma dan gangguan kesadaran yang masih menjadi misteri. Meskipun demikian banyak kemajuan yang telah mampu dicapai oleh dunia medis dalam penelusuran sebab, diagnosis dan tatalaksana dari koma.
Kematian batang otak didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi otak, termasuk fungsi batang otak, secara ireversibel. Tiga tanda utama manifestasi kematian batang otak adalah koma dalam, hilangnya seluruh refleks batang otak, dan apnea.
Seorang pasien yang telah ditetapkan mengalami kematian batang otak berarti secara klinis dan legal-formal telah meninggal dunia. Hal ini seperti dituangkan dalam pernyataan IDI tentang mati, yaitu dalam Surat Keputusan PB IDI No.336/PB IDI/a.4 tertanggal 15 Maret 1988 yang disusulkan dengan Surat Keputusan PB IDI No.231/PB.A.4/07/90. Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa seorang dikatakan mati,bila fungsi pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau irreversible, atau terbukti telah terjadi kematian batang otak.
Dengan adanya kriteria kematian otak, seseorang dapat ditetapkan meninggal secara sah atau legal, bahkan jika jantung masih terus berdenyut oleh bantuan alat pendukung kehidupan.adapun negara pertama di dunia yang mengadopsi istilah mati otak sebagai defenisi mati yang sah adalah finlandia pada tahun 1971. Di amerika serikat, kansas kemudian membuat hukum yang serupa.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi otak? 2. Apa definisi koma dan mati batang otak?
3. Bagaimana etiologi dari koma dan mati batang otak? 4. Bagaimana patofisiologi dari koma dan mati batang otak? 5. Bagaimana klasifikasi dari koma?
6. Bagaimana manifestasi klinis dari koma ? 7. Bagaimana kriteria mati batang otak?
8. Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari koma dan mati batang otak? 9. Bagaimana penatalaksanaan dari koma dan mati batang otak?
10. Bagaimana komplikasi dari koma?
11. Bagaimana prognosis dari koma dan mati batang otak? 12. Bagaimana asuhan keperawatan tentang koma?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Setelah proses perkuliahan ini diharapkan mahasiswa mampu mampu memahami dan menjelaskan serta menyusun “Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Koma dan Mati Batang Otak”
1.3.2 Tujuan Khusus
Mahasiswa diharapkan mampu:
1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi otak
2. Menjelaskan tentang definisi koma dan mati batang otak 3. Menjelaskan tentang etiologi koma dan mati batang otak
4. Menjelaskan tentang patofisiologi dari koma dan mati batang otak 5. Menjelaskan tentang klasifikasi koma
6. Menjelaskan tentang manifestasi klinis koma 7. Menjelaskan tentang kriteria mati batang otak
8. Menjelaskan tentang pemeriksaan diagnostik koma dan mati batang otak 9. Menjelaskan tentang penatalaksanaan koma dan mati batang otak
10. Menjelaskan tentang komplikasi koma
11. Menjelaskan tentang prognosis koma dan mati batang otak
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Otak
Otak mungkin merupakan organ yang paling mengagumkan dari seluruh organ. Kita mengetahui bahwa seluruh angan – angan, keinginan dan nafsu, perencanaan dan memori merupakan hasil akhir dari aktivitas otak. Otak berisi 10 miliar neuron yang menjadi kompleks secara kesatuan fungsional. Otak lebih kompleks daripada batang otak. Berat otak manusia kira – kira merupakan 2% dari berat badan orang dewasa. Otak menerima 15 % dari curah jantung, memerlukan sekitar 20 % pemakaian oksigen tubuh, dan sekitar 400 kalori energy setiap hari.
Otak manusia mengandung hampir 98% jaringan saraf tubuh. Kisaran berat otak sekitar 1,4 kg dan mempunyai isi sekitar 1200cc. terdapat pertimbangan variasi akan besaran otak, yaitu otak laki – laki lebih besar 10% daripada otak perempuan dan tidak ada kolerasi yang berarti antara besar otak dan tingkat intelegen. Seseorang dengan ukuran otak kecil (750cc) dan ukuran otak besar (2100cc) secara fungsinal sama (Simon dan Schuster,1998).
Otak merupakan suatu alat tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat komputer semua alat tubuh, bagian dari semua saraf sentral yang terletak di dalam rongga tengkorak (kranium) yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat. Otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
1) Cerebrum (Otak Besar)
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan nama cerebral cortex, forebrain atau otak depan. Cerebrum merupakan bagian otak yang membedakan manusia dengan binatang. Cerebrum membuat manusia memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan visual. Kecerdasan intelektual atau IQ Anda juga ditentukan oleh kualitas bagian ini.
Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut lobus. Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut sulcus. Keempat lobus tersebut masing-masing adalah :
a) Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari otak besar. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan, kemampuan gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah, memberi penilaian, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum.
b) Lobus parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor perasaan seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit.
c) Lobus temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.
d) Lobus occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata.
2) Cerebellum (Otak Kecil)
Otak kecil atau cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Otak kecil juga menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya.
Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap dan koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi, misalnya orang tersebut tidak mampu memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak mampu mengancingkan baju.
3) Brainstem (Batang Otak)
Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat datangnya bahaya. Batang otak terdiri dari empat bagian, yaitu:
a) Diensepalon adalah bagian batang otak paling atas, terdapat diantara serebellum dengan mesensepalon.
b) Mesensepalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian teratas dari batang otak yang menghubungkan otak besar dan otak kecil. Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.
c) Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri badan menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla mengontrol funsi otomatis otak, seperti detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan. Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat otak bersama dengan formasi reticular. Pons yang menentukan apakah kita terjaga atau tertidur
4) Limbic System (Sistem Limbik)
menghasilkan perasaan, mengatur produksi hormon, memelihara homeostasis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa senang, metabolisme dan juga memori jangka panjang.
Bagian terpenting dari sistem limbik adalah hipotalamus yang salah satu fungsinya adalah bagian memutuskan mana yang perlu mendapat perhatian dan mana yang tidak. Sistem limbik menyimpan banyak informasi yang tak tersentuh oleh indera. Dialah yang lazim disebut sebagai otak emosi atau tempat bersemayamnya rasa cinta dan kejujuran. Carl Gustav Jung menyebutnya sebagai "Alam Bawah Sadar" atau ketidaksadaran kolektif, yang diwujudkan dalam perilaku baik seperti menolong orang dan perilaku tulus lainnya. LeDoux mengistilahkan sistem limbik ini sebagai tempat duduk bagi semua nafsu manusia, tempat bermuaranya cinta, penghargaan dan kejujuran.
2.2 Koma
2.2.1 Definisi
Koma merupakan suatu keadaan tidak sadar menetap pada pasien yang: (1) tidak berespons pada stimulus verbal, (2) dapat memiliki berbagai respons terhadap stimulus nyeri, (3) tidak bergerak secara volunter, (4) dapat memiliki respon pupil terhada cahaya yang terganggu dan tidak berkedip (5) dapat memiliki pola pernafasan yang terganggu.
Koma merupakan suatu keadaan di mana pasien dalam keadaan tidur dalam dan tidak dapat dibangunkan secara adekuat dengan stimulus kuat yang sesuai. Pasien mungkin masih dapat meringis atau melakukan gerakan stereotipik, namun tidak dapat melakukan lokalisasi nyeri dan gerakan defensif yang sesuai. Seiring dengan semakin dalamnya koma, pada akhirnya pasien tidak merespons terhadap rangsangan sekuat apapun. Namun perlu diperhatikan bahwa sulit menilai kedalam koma dari respons motorik, karena area otak yang mengatur gerakan motorik berbeda dengan area yang mengatur kesadaran.
2.2.2 Etiologi
Dua tipe gangguan yang menyebabkan koma :
1. Lesi struktural pada otak yang menempatkan tekanan pada batang otak atau struktur di dalam fosa kranial posterior, termasuk serebelum, otak terngah, pons, dan medulla. Tipe ini mempengaruhi ARAS (Ascending Reticular Activating System).
2. Gangguan metabolik dan lesi difus yang menganggu kesiagaan dan kesadaran dengan mengurangi suplai oksigen dan glukosa; dengan meningkatkan akumulasi sampah metabolik di otak; atau dengan menganggu proses metabolik serebral lain.
Tabel 2.1 Penyebab Gangguan Kesadaran
Tipe Lesi Penyebab
Lesi Struktural Otak
Lesi supratentorial (menyebabkan disfungsi batang otak bagian atas)
Edema serebral Tumor otak Abses otak
Pendarahan serebral Infark serebral (luas) Hematoma epidural Hematoma subdural Lesi infratentorial (menekan atau
merusak formasioretikularis)
Abses serebral
Pendarahan batang otak atau serebelum Infark batang otak atau serebelum Tumor otak atau serebelum
Gangguan metabolik dan lesi difus Penyakit organ lain (jantung, hati, paru, kelenjar endokrin, ginjal)
Racun, alkohol, obat-obatan
Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit asam basa Kejang
Infeksi (ensefalitis, meningitis) Defisiensi nutrisi berat
Hipoglikemia
Iskemia atau anoksia Sinkop (pingsan)
Gangguan pengaturan sushu
Pengaruh cedera awal menyebabkan kerusakan tetapi kerusakan lanjut dapat terjadi sebagai hasil dari konsekuensi iskemik akibat cidera. Stroke iskemik terjadi akibat gangguan suplai darah ke otak. Iskemia dapat secara langsung memengaruhi struktur yang terlibat dalam kesadaran atau menyebabkan pembengkakan pada otak yang menyebabkan koma. Stroke hemoragik dapat terjadi sebagai konsekuensi dari hipertensi atau anomali vaskular yang ruptur. Hemoragi menyebabkan koma dengan penekanan otak. Tumor dapat merupakan metastasis dari organ lain atau dapat berasal dari otak sendiri. Peningkatan tekanan intrakranial akibat tumor dapat menyebabkan koma.
Sebagai catatan, koma dapat dengan sengaja untuk merawat penyakit neurologis atau penyakit serius lain. Pada situasi ini, propofol diberikan untuk menghasilkan koma untuk mengistirahatkan otak dan diharapkan dapat mencegah kerusakan lanjut pada otak. Koma yang diinduksi atau koma terapeutik dapat dipertimbangkan pada klien dengan pembengkakan otak ekstrem akibat cedera otak, stroke, atau penyakit metabolik. Perawatan untuk pasien dalam koma yang diinduksi secara umum sama dengan pasien yang koma karena sebab lain. Dibutuhkan suatu dukungan kehidupan penuh pada suatu latar perawatan intensif.
2.2.3 Patofisiologi
Kesadaran merupakan suatu fungsi kompleks yang dikontrol oleh reticular activation system (RAS) dan komponen RAS yang terintegrasi. RAS mulai pada medulla sebagai formasio retikularis (FR). Formasio retikularis menghubungkan RAS yang terletak di otak tengah kemudian ke hipotalamus dan talamus. Jaras terintegrasi menghubungkan ke korteks melalui talamus dan sistem limbik melalui hipotalamus. Sistem umpan balik juga menghubungkan pada tingkat batang otak. FR menghasilkan kondisi siaga sedangkan RAS dan koneksi yang lebih tinggi bertanggung jawab pada kesadaran diri dan lingkungan. Koneksi kortikal difus memungkinkan integrasi maksimal dari seluruh aktivitas terkait kondisi sadar.
Gangguan yang mempengaruhi bagian RAS dapat menyebabkan koma. Untuk menyebabkan koma, suatu gangguan harus memengaruhi kedua hemisfer serebri atau batang otak itu sendiri. Gangguan akan memengaruhi area ini pada satu dari tiga cara:
a. Kompresi langsung atau merusak struktur yang bertanggung jawab pada kesadaran. Suatu tumor atau perdarahan pada batang otak atau pembengkakan hemisfer serebri dapat menyebabkan koma dengan cara ini.
b. Menurunkan ketersediaan oksigen atau glukosa, yang sangat dibutuhkan untuk metabolisme serebral. Hipoksia dan iskemia merupakan penyebab yang paling sering, tanpa oksigen dan glukosa, otak tidak dapat membentuk zat kimia yang dibutuhkan untuk melaksanakan fungsinya.
c. Efek toksik dari substansi tertentu pada struktur RAS. Sampah toksik dari penyakit hati atau ginjal invasi bakterial dari meningitis dan metabolt overdosis obat-obatan merupakan contoh dari substansi di atas.
Penyebab dapat saling tumpah tindih. Lokasi anatomis derajat keparahan masalah akan menentukan dalamnya koma.
2.2.4 Klasifikasi
1. Koma Supratentorial Diensefalik
Koma supratentorial akibat proses desak ruang menunjukkan tahap-tahap progresi yang sesuai dengan gangguan di tingkat diensefalon, mesensefalon, pons dan medula oblongata. Jika jenis proses desak ruang itu berupa hematoma atau abses, progresi yang lazimnya bertahap sesuai dengan urutan rostro-kaudal batang otak itu, bisa mendadak berakhir pada kematian karena ruptur abses ke dalam ventrikel ketiga.
Proses-proses desak ruang supratentorial yang bisa menimbulkan koma supratentorial dapat dibagi dalam 3 golongan:
1. Proses desak ruang yang meninggikan tekanan di dalam ruang intrakranial supratentorial secara akut.
2. Lesi yang menimbulkan sindrom unkus.
3. Lesi supratentorial yang menimbulkan sindrom kompresi rostrokaudal terhadap batang otak.
Sindrom unkus dikenal juga sebagai sindrom kompresi diensefalon ke lateral. Proses desak ruang di bagian lateral dari fosa kranii media biasanya mendesak tepi medial unkus dan girus hipokampalis dan ke bawah tepi bebas daun tentorium. Karena desakan itu, bukannya diensefalon yang pertama-tama mengalami gangguan, melainkan bagian ventral nervus okulomotorius. Maka dari itu gejala yang pertama akan dijumpai bukannya gangguan kesadaran akan tetapi dilatasi pupil kontralateral. Anisokori ini merupakan suatu tanda bahwa herniasi tentorial kelak terjadi. Yang dimaksud dengan hernia tentorial itu ialah terjepitnya diensefalon oleh tentorium. Pupil yang melebar itu mencerminkan penekanan terhadap nervus okulomotorius dari bawah oleh arteria serebeli superior karena penggeseran diensefalon ke arah garis tengah dan bawah.
Tahap yang segera menyusulnya ialah tahap kelumpuhan nervus okulomotorius totalis. Progresi dari kelumpuhan nervus okulomotorius internus (pupil dilatasi maksimal) ke kelumpuhan okulomotorius totalis bisa cepat sekali. Lagi pula, pedunkulus serebri kontralateral mengalami iskemia pada tahap ini. Sehingga hemiparesis timbul pada sisi proses desak ruang supratentorial yang bersangkutan. Pada tahap-tahap berkembangnya paralisis nervus okulomotorius internus ke totalis, derajat kesadaran menurun secara progresif. Bila pertolongan (operatif) tidak segera diberikan, penjiratan terhadap seluruh bagian rostral dari batang otak akan terjadi. Sindrom kompresi rostrokaudal terhadap batang otak :
Proses desak ruang supratentorial secara berangsur-angsur dapat menimbulkan kompresi terhadap bagian rostral batang otak.
1. Herniasi girus singuli di bawah falks serebri. 2. Herniasi lobus temporalis di kolong tentorium.
3. Penjiratan diensefalon dan bagian rostral mesensefalon oleh tepi bebas daun tentorium secara bilateral.
keluhan-keluhan cepat lupa, tidak bisa berkonsentrasi dan tidak bisa mengingat. Kemudian tampak kelembaman mental. Adakalanya sukar sekali untuk menentukan adanya kelembaman mental atau disfasi ringan. Dalam hal ini penelitian respirasi, tanda-tanda okular dan tanda umn akan memberikan bantuan diagnostik.
Pada tahap dini dari kompresi rostro-kaudal terhadap batang otak akan kita dapati (1) respirasi yang kurang teratur, yang sering mendahului respirasi jenis cheyne-stokes; (2) pupil kedua sisi sempit sekali; (3) kedua bola mata bergerak pelahan-lahan secara konyugat ke samping kiri dan kanan bahkan dapat bergerak juga secara divergen. Dengan memutarkan kepala, gerakan bola mata yang tidak bertujuan itu bisa dihentikan; dan (4) gejala-gejala umn pada kedua sisi. Itulah gejala-gejala tahap diensefalon.
Pada tahap kompresi rostro-kaudal berikutnya (1) kesadaran menurun sampai derajat yang paling rendah; (2) suhu badan mulai meningkat dan cenderung untuk melonjak terus; (3) respirasi menjadi cepat dan mendengkur, (4) pupil yang tadinya sempit berangsur-angsur menjadi lebar dan tidak bereaksi lagi terhadap sinar cahaya. Itulah manifestasi tahap mesensefalon. Tahap selanjutnya ialah tahap pontin, dimana hiperventilasi berselingan dengan apnea dan rigiditas deserebrasi akan dijumpai. Tahap terminalnya dinamakan tahap medula oblongata. Pernafasan menjadi lambat namun dalam dan tidak teratur. Nadi menjadi lambat pula atau justru menjadi cepat lagi dan tekanan darah menurun secara progresif.
2. Koma Infratentorial Diensefalik
Adapun dua macam proses patologik di dalam ruang infratentorial yang dapat menimbulkan koma, ialah (1) proses patologik di dalam batang otak yang merusak substansia retikularis dan (2) proses di luar batang otak yang mendesak dan mengganggu fungsi substansia retikularis. Lesi vaskular yang merusak substansia retikularis mesensefali terjadi akibat penyumbatan arteria serebeli superior. Yang mengakibatkan lesi vaskular di pons ialah penyumbatan arteri-arteri perforantes yang berinduk pada arteria basilaris. Di samping lesi vaskular, perdarahan karena trauma kapitis dapat merusak tegmentum batang otak berikut substansia retikularis. Neoplasma, granuloma, abses dan perdarahan di dalam serebelum mendesak batang otak dari luar.
Koma infratentorial akan cepat timbul jika substansia retikularis mesensefalon mengalami gangguan sehingga tidak bisa berfungsi lagi. Hal ini timbul akibat perdarahan. Frekuensi perdarahan di batang otak, lebih sering merusak tegmentum pontis daripada mesensefalon. Karena masifnya perdarahan tersebut, maka koma akan timbul serentak dengan terjadinya perdarahan. Lagi pula perdarahan yang masif itu seringkali merupakan infark hemoragik sepanjang tegmentum mesensefalon dan pons. Gejala-gejala gangguan pupil, pernafasan, okular dan tekanan darah berikut nadi yang menandakan terlibatnya tegmentum mesensefalon, pons dan medula oblongata akan dijumpai juga pada pemburukan koma subtentorial.
Koma ini terjadi karena metabolisme neuronal kedua belah hemisferium terganggu secara difus. Unsur fungsional utama neuron-neuron ialah kemampuan untuk dapat digalakkan sehingga menghasilkan potensial aksi. Gaya listrik inilah yang mewujudkan fenomen perasaan dan gerakan. Proses-proses yang memelihara kehidupan neuron-neuron serta unsur-unsur selular otak ialah metabolisme oksidatif. Proses biokimia ini (1) menyediakan dan mengatur keseimbangan natrium dan kalium di dalam. Dan di luar sel. (2) membuat zat-zat yang diperlukan unluk memungkinkan serah terima potensial aksi antar neuron, yang dinamakan neurotransmitter, dan (3) mengolah katabolit-katabolit yang akan dimanfaatkan untuk resintesis enzim dan unsur-unsur sel. Maka otak tidak mendapat bahan energi dari luar, maka metabolisme oksidatif serebral akan berjalan dengan enersi intrinsik. Maka bahan enersi diri-sendiri tidak lagi mencukupi kebutuhan, maka otak akan tetap memakai enersi yang terkandung oleh neuron-neuronnya untuk masih bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Maka keadaan ini berlangsung cukup lama, neuron-neuron akan menghancurkan diri sendiri. Bahan yang diperlukan untuk metabolisme oksidatif serebral ialah glukose dan zat asam. Yang mengangkut glukose dan oksigen ke otak ialah aliran darah serebral. Semua proses yang menghalang-halangi transportasi itu dapat mengganggu dan akhirnya memusnahkan neuron-neuron otak.
2.2.5 Manifestasi Klinis
Menurut corwin elizabeth ( 2009 ), manifestasi klinisnya adalah : 1. Perubahan respons pupil
Perubahan pupil penting yang dijumpai pada kerusakan otak adalah pupil pinpoint yang tampak pada overdosis opiat ( heroin ) serta dilatasi dan fiksasi pupil bilateral yang biasanya dijumpai pada overdosis barbiturat. Cedera batang otak memperlihatkan fiksasi pupil bilateral dengan posisi di tengah.
2. Perubahan gerakan mata
Pada cidera batang otak, terjadi gangguan gerakan mata, dan mata terfiksasi dalam posisi ke depan langsung. Deviasi yang miring dengan satu mata memandang ke atas dan satu ke bawah, menunjukkan cedera kompresif pada batang otak. Gerakan siklik unvolunter normal pada bola mata ( respons nigtagmus ) sebagai respons terhadap pemberian air es ke telinga menghilang pada disfungsi korteks dan batang otak. 3. Perubahan pola nafas
a. Kerusakan pada batang otak
Pusat pernafasan di batang otak bagian bawah mengontrol pernafasan berdasarkan konsentrasi ion hidrogen dalam CSS yang mengelilinginya. Kerusakan batang otak menyebabkan pola nafas yang tidak teratur dan tidak dapat diperkirakan.overdosis opiat merusak pusat pernafasan dan menyebabkan penurunan frekwensi pernafasan secara bertahap sampai pernafasan terhenti.
b. Kerusakan serebral
( decrescendo breathing ). Pernafasan chynes-stokes mirip dengan apnea pasca ventilasi, yang dijumpai pada kerusakan hemisfer serebri, dan sering berkaitan dengan koma metabolik.
4. Perubahan respons motorik dan gerakan
Respons motorik abnormal meliputi tidak sesuainya atau tidak adanya gerakan sebagai respons terhadap stimulus nyeri, refleks batang otak seperti respons mengisap dan menggengam terjadi apabila pusat otak yang lebih tinggi rusak.
5. Disfasia
Disfasia adalah gangguan pemahamaan atau pembentukan bahasa. Afasia adalah kehilangan total pemahaman atau pembenyukaan bahasa. Disfasia biasanya disebabkan oleh hipoksia serebral yang sering berkaitan dengan stroke, tetapi dapat juga disebabkan oleh trauma atau infeksi. Kerusakan otak yang menyebabkan disfasia biasanya mengenai hemisfer serebri kiri.
6. Disfasia broca
Disfasia broca terjadi akibat kerusakan area broca di lobus frontalis. Individu yang mengalami disfasia broca memahami bahasa, tetapi kemampuanya untuk mengekspresikan kata secara bermakna dalam bentuk tulisan atau lisan terganggu. Hal ini disebut disfasia ekspresif.
7. Disfasia wernicke
Disfasia wernicke terjadi akibat kerusakan area wernicke di lobus temporalis kiri. Pada disfasia wernicke, ekspresi bahasa secara verbal utuh, tetapi pemahaman bermakna terhadap kata yang diucapkan atau tertulis terganggu. Hal ini disebut disfasia reseptif.
8. Agnosia
Agnosia adalah kegagalan mengenali obyek karena ketidaknyamanan memahami stimulus sensorik yang datang.agnosia dapat berupa visual, pendengaran, taktil, atau berkaitan dengan pengucapan atau penciuman.agnosia terjadi akibat kerusakan pada area sensorik primer atau asosiatif tertentu di korteks serebri
2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik
2.2.6.1 Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin, fungsi ginjal (bun, serum kreatinin), fungsi hati (lft, sgot, sgpt), elektrolit, glukosa darah. Liquor serebrospinalis harus diperiksa bila diduga ada infeksi intarakranial (meningitis, meningoensefalitis). Kontraindikasi lp dalah peningkatan tekanan intracranial. Pada pemeriksaan liquor serebrospinalis harus diperhatikan:
1. Warna ; normalnya jernih. Bila ada perdarahan, dihitung jumlah eritrosit. a. < 50/mm kemungkinan suatu emboli
b. 1000/mm kemungkinan perdarahan intraserebral c. 10.000/mm kemungkinan infark haemorage
2. Jumlah sel ; normal < 5/m
a. Bila meningkat: meningitis/meningoesefalitis
b. Peningkatan mononuclear :menunjukkan adanya meningitis serosa yang dapat disebabkan oleh tb, virus, atau jamur
c. Peningkatan sel polimorfonuklear : meningitis purulenta
3. Protein : kadar protein liquor normalnya 0.15-0.45 g/l. Meningkat pada keradangan/ perdarahan.
4. Glukosa : kadar glukosa liquor normalnya 2/3 kadar glukosa darah. Kadar glukosa yang menurun menunjukkan ada infeksi (TBC, bacterial).
5. Bakteriologi : pemeriksaan pengecatan gram dan kultur bila dicurigai adanya infeksi intracranial.
6. Pemeriksaan khusus: a. Keganasan
b. TB
c. Neurosifilis
2.2.6.2 Pemeriksaan Dengan Alat 1. CT Scan
CT Scan tanpa kontras biasa dipergunakan untuk identifikasi awal penyebab koma dan pada keadaan darurat. Lesi hipodens fokal menandakan adanya kemungkinan infark serebral, perdarahan intrakranial, massa intrakranial, edema otak, dan hidrosefalus akut. Jika dicurigai ada infeksi sistem saraf pusat, khususnya meningitis bakterial akut, antibiotik dan deksametason diberikan sebelum CT Scan kepala dan pungsi lumbal. CT Scan kepala dengan atau tanpa kontras juga dilakukan untuk evaluasi adanya massa intrakranial sebelum pungsi lumbal. Pungsi lumbal dilakukan jika curiga infeksi sistem saraf pusat, infl amasi, dan komplikasi limfoma atau kanker lainnya. Pungsi lumbal harus dilakukan jika klinis dicurigai adanya perdarahan subaraknoid, tetapi tidak terlihatpada CT Scan otak.
2. Oftalmoskop
Pada setiap penderita koma, fundus okuli harus diperiksa untuk melihat adanya papiledema, tanda-tanda arteriosclerosis pembuluh darah di retina dan tuberkel di koroidea.
Untuk melihat kelainan difus atau fokal. Harus dibandinngkan antara hemisfer kiri dan kanan. Serial EEG diperlukan untuk evaluasi penderita koma.
4. Eko-ensefalografi
Menggunakan gelombang ultrasound. Midline echo pada orang normal menandakan posisi ventrikel III. Yang perlu diperhatikan adalah dorongan dari midline echo untuk menentukan lateralisasi.
5. Doppler (b-scan)
Alat untuk mengukur kecepatan aliran darah di arteria karotis dan pembuluh darah kolateral (temporalis, orbita). Pemeriksaan ini penting untuk mengetahui adanya stenosis pada arteri.
6. Arteriografi
Pemeriksaan invasive dengan memasukkan kontras ke dalam pembuluh darah. Hanya dilakukan pada pasien dengan dugaan kelainan pembuluh darah.
7. MRI
Memberikan visualisasi jaringan lunak lebih baik seperti batang otak dan struktur serebelum. Jika pasien dicurigai menderita stroke iskemik atau penyebab koma masih belum diketahui dengan pemeriksaan lain, dapat dilakukan MRI otak.
2.2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita koma secara umum harus dikelola menurut prinsip 5 B yaitu: 1. Breathing
Posisi jalan napas harus bebas dari obstruksi. Posisi penderita miring agar lidah tidak jatuh kebelakang, serta bila muntah tidak terjadi aspirasi. Bila pernapasan berhenti segera lakukan resusitasi.
2. Blood
Diusahakan tekanan darah cukup tinggi untuk mengalirkan darah ke otak. Tekanan darah yang rendah berbahaya untuk susunan saraf pusat. Komposisi kimiawi darah dipertahankan semaksimal mungkin, karena perubahan-perubahan tersebut akan mengganggu perfusi dan metabolisme otak.
3. Brain
Usahakan untuk mengurangi edema otak yang timbul. Bila penderita kejang sebaiknya diberikan difenilhidantoin 3 dd 100 mg atau karbamezepin 3 dd 200 mg per os atau nasogastric. Bila perlu difenilhidantoin diberikan intravena secara perlahan.
Harus diperhatikan fungsi ginjal, cairan,elektrolit, dan miksi. Kateter harus dipasang kecuali terdapat inkontinensia urin ataupun infeksi.
5. Bowel
Makanan penderita harus cukup mengandung kalori dan vitamin. Pada penderita tua sering terjadi kekurangan albumin yang memperburuk edema otak, hal ini harus cepat dikoreksi. Bila terdapat kesukaran menelan dipasang sonde hidung. Perhatikan defekasinya dan hindari terjadi konstipasi.
Penatalaksanaan berdasarkan etiologi, secara singkat akan diuraikan berdasarkan urutan semenite:
1. Sirkulasi
a. Perdarahan subaranodial : asam traneksamat 4 dd 1 gr iv perlahan-lahan selama 2 minggu, dilanjutkan peroral selama 1 minggu untuk mencegah kemungkinan rebleeding. Nimodipin (ca blocker) untuk mencegah vasospasme. Setelah 3 minggu sebaiknya dilakukan arteriografi untuk mencari penyebab perdarahan, dan bila mungkin diperbaiki dengan jalan operasi.
b. Perdarahan intraserebral : pengobatan sama seperti diatas. Pembedahan hanya dilakukan bila perdarahan terjadi di lokasi tertentu, misalnya serebelum.
c. Infark otak : keadaan ini dapat disebabkan oleh karena trombosis maupun emboli. Pengobatan infark akut dapat dibagi dalam 3 kelompok:
1) Pengobatan terhadap edema otak, misal dengan mannitol.
2) Pengobatan untuk memperbaiki metabolisme otak, misal dengan citicholine/codergocrine mesylate/piracetam.
3) Pemberian obat antiagregasi trombosit dan antikoagulan. 2. Ensefalomeningitis
a. Meningitis purulenta : antibiotic.
b. Meningitis tuberkulosa : dipakai kombinasi INH, rifampisin, kanamisin, dan pirazinamide.
3. Metabolisme
Koma karena gangguan metabolisme harus diobati penyakit primernya. Penatalaksanaannya terletak di bagian penyakit dalam.
4. Elektrolit dan endokrin
Kalium selain menyebabkan gangguan saraf juga dapat menyebabkan gangguan jantung. 5. Neoplasma
6. Intoksikasi
Penderita koma karena intoksikasi diberikan activator metabolik dan diuresis paksa untuk mengeluarkan penyebab intoksikasi. Bila memungkinkan berikan antidotnya 7. Epilepsi
a. Secara umum, pengobatan dilakukan bila terdapat minimum 2 x bangkitan dalam setahun. Tegakkan diagnosis, jelaskan kepada keluarga penderita seputar tujuan pengobatan dan efek samping.
b. Sesuaikan jenis obat dengan jenis serangan epilepsy yang di jumpai, sebaiknya monoterapi.
c. Mulailah dengan dosis rendah yang dinaikkan bertahap sampai tercapai dosis efektif. d. Bila perlu penggantian obat, obat pertama diturunkan secara bertahap dan naikkan
obat kedua bertahap.
e. Jika serangan tetap tidak terkontrol meskipun sudah mendapat monoterapi/ terapi optimal, sebaiknya rujuk ke spesialis saraf.
f. Pada status epileptikus :
1. Bayi dan anak : dosis 15-20mg/kgbb i.v, pemberian secara perlahan-lahan kurang dari 1-3 mg/kgbb/menit.
2. Dewasa : dosis 10-15 mg/kgbb perlahan-lahan <50mg/menit, disusul dengan dosis rumatan 3-4x 100 mg/hari, oral/i.v
2.2.8 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien tidak sadar meliputi gangguan pernapasan, pneumonia, dekubitus dan aspirasi. Gagal pernafasan dapat terjadi dengan cepat setelah pasien tidak sadar. Pneumonia umumnya terlihat pada pasien yang menggunakan ventilator atau mereka yang tidak dapat untuk mempertahankan bersihan jalan napas. Dekubitus, pasien tidak sadar tidak mampu untuk bergerak atau membalikkan tubuh, hal ini menyebabkan dalam tetap pada posisi yang terbatas. Keadaan ini akan mengalami infeksi dan merupakan sumber sepsis. Aspirasi isi lambung atau makanan dapat terjadi, yang mencetuskan terjadinya pneumonia atau sumbatan jalan nafas.
2.2.9 Prognosis
dengan koma traumatik. Segala pendapat mengenai prognosis pada orang dewasa, sebaiknya hanya berupa perkiraan, dana keputusan medis seharusnya disesuaikan dengan faktor-faktor seperti usia, penyakit sistemik yang ada, dan kondisi medik secara keseluruhan. Informasi prognosis dari banyak pasien dengan luka di kepala, dapat dilakukan dengan GCS. Secara empiris, pengukuran ini dapat memprediksi trauma otak. Hilangnya gelombang kortikol pada potensi terjadi somata sensori merupakan infikator prognosis koma yang buruk. (brunner dan suddart, 2001)
2.3 Mati Batang Otak
2.3.1 Definisi
Kematian batang otak didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi otak, termasuk fungsi batang otak, secara ireversibel. Tiga tanda utama manifestasi kematian batang otak adalah koma dalam, hilangnya seluruh refleks batang otak, dan apnea.
Pada panduan Australian and New Zealand Intensive Care Society (ANZICS) yang dipublikasikan pada tahun 1993, kematian otak didefinisikan sebagai berikut: Istilah kematian otak harus digunakan untuk merujuk pada berhentinya semua fungsi otak secara ireversibel. Kematian otak saat terjadi hilangnya kesadaran yang ireversibel, dan hilangnya respon refleks batang otak dan fungsi pernapasan pusat secara ireversibel, atau berhentinya aliran darah intrakranial secara ireversibel”. (Hing-yu, 1994).
Menurut kriteria Komite Ad Hoc Harvard tahun 1968, kematian otak didefinisikan oleh beberapa hal. Yang pertama, adanya otak yang tidak berfungsi lagi secara permanen, yang ditentukan dengan tidak adanya resepsi dan respon terhadap rangsang, tidak adanya pergerakan napas, dan tidak adanya refleks-refleks, yakni respon pupil terhadap cahaya terang, pergerakan okuler pada uji penggelengan kepala dan uji kalori, refleks berkedip, aktivitas postural (misalnya deserebrasi), refleks menelan, menguap, dan bersuara, refleks kornea, refleks faring, refleks tendon dalam, dan respon terhadap rangsang plantar. Yang kedua adalah data konfirmasi yakni eeg yang iselektris.kedua tes tersebut dilakukan ulang 24 jam setelah tes pertama, tanpa adanya hipotermia (suhu kurang dari 32,2o c) atau depresan sistem saraf pusat seperti barbiturat.penentuan tersebut harus dilakukan oleh seorang dokter. (Mernoff, 2009)
Menurut Uniform Determination of Death Act, yang dikembangkan oleh National Conference of Commissioners on Uniform State Laws, President’s Commission For The Study of Ethical Problems In Medicine and Biomedical and Behavioral Research, seseorang dinyatakan mati otak apabila mengalami (1) terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi secara ireversibel, dan (2), terhentinya semua fungsi otak secara keseluruhan, termasuk batang otak, secara ireversibel. (Mernoff, 2009)
otak adalah koma, hilangnya refleks batang otak, dan apnea (New York State Department of Health, 2005)
2.3.2 Etiologi
Kematian otak ditandai dengan koma, apneu dan hilangnya semua refleks batang otak. Penyebab umum kematian otak termasuk trauma, perdarahan intrakranial, hipoksia, overdosis obat, tenggelam, tumor otak primer, meningitis, pembunuhan dan bunuh diri. Dalam kepustakaan lain, hipoglikemia jangka panjang disebut sebagai penyebab kematian otak.
Faktor yang mempengaruhi
Kondisi berikut dapat mempengaruhi diagnosis klinis kematian batang otak, sedemikian rupa sehingga hasil diagnosis tidak dapat dibuat dengan pasti hanya berdasarkan pada alasan klinis sendiri. Pada keadaan ini pemeriksaan konfirmatif direkomendasikan :
a) Trauma spinal servikal berat atau trauma fasial berat b)Kelainan pupil sebelumnya
c) Level toksis beberapa obat sedatif, aminoglikosida, antidepresan trisiklik, antikolinergik, obat antiepilepsi, agen kemoterapi,atau agen blokade neuromuskular
d)Sleep apneu atau penyakit paru berat yang mengakibatkan retensi kronis CO2.
Penentuan kematian otak sangat tergantung dari gejala klinis dan hasil laboratorium. Secara klinis, seseorang dinyatakan mati otak jika semua keadaan berikut ditemukan:
1. Tidak ada respirasi spontan (tidak dapat menghirup napas sendiri).
2. Pupil dilatasi dan terfiksir (mata midriasis, tidak ada reaksi terhadap cahaya).
3. Tidak ada respon terhadap stimulus noksius (rangsang nyeri tidak disertai kedipan mata, tanpa mimik meringis, tanpa gerakan anggota tubuh manapun).
4. Semua anggota tungkai flaksid (tidak ada pergerakan, tanpa tonus otot dan hilangnya aktivitas refleks pada tangan ataupun kaki).
5. Tidak ada tanda-tanda aktivitas batang otak: a. Bola mata terfiksasi dalam orbita. b. Tidak ada refleks kornea.
c. Tidak ada respon terhadap tes-tes kalori. d. Tidak ada refleks muntah atau batuk. 2.3.3 Patofisiologi
Etiologi Penyebab Umum dari mati batang otak Trauma cedera otak Penyebab paling umum
Pendarahan intrakranial Tumor Infeksi
Ensefalopati metabolik Misal. Hati
Patofisiologi penting terjadinya kematian otak adalah peningkatan hebat tekanan intrakranial (TIK) yang disebabkan perdarahan atau edema otak. Jika TIK meningkat mendekati tekanan darah arterial, kemudian tekanan perfusi serebral (TPS) mendekati nol, maka perfusi serebral akan terhenti dan kematian otak terjadi (Lazar, 2001).
Aliran darah normal yang melalui jaringan otak pada orang dewasa rata-rata sekitar 50 sampai 60 mililiter per 100 gram otak per menit. Untuk seluruh otak, yang kira-kira beratnya 1200 – 1400 gram terdapat 700 sampai 840 ml/menit. Penghentian aliran darah ke otak secara total akan menyebabkan hilangnya kesadaran dalam waktu 5 sampai 10 detik. Hal ini dapat terjadi karena tidak ada pengiriman oksigen ke sel-sel otak yang kemudian langsung menghentikan sebagian metabolismenya. Aliran darah ke otak yang terhenti untuk tiga menit dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang bersifat irreversibel (Guyton 1996).
Sedikitnya terdapat tiga faktor metabolik yang memberi pengaruh kuat terhadap pengaturan aliran darah serebral. Ketiga faktor tersebut adalah konsentrasi karbon dioksida, konsentrasi ion hidrogen dan konsentrasi oksigen. Peningkatan konsentrasi karbon dioksida maupun ion hidrogen akan meningkatkan aliran darah serebral, sedangkan penurunan konsentrasi oksigen akan meningkatkan aliran (wilson, 1994).
Faktor-faktor iskemia dan nekrotik pada otak oleh karena kurangnya aliran oksigen ke otak menyebabkan terganggunya fungsi dan struktur otak, baik itu secara reversible dan ireversibel. Percobaan pada binatang menunjukkan aliran darah otak dikatakan kritis apabila aliran darah otak 23/ml/100mg/menit (Normal 55 ml/100mg/menit). Jika dalam waktu singkat aliran darah otak ditambahkan di atas 23 ml, maka kerusakan fungsi otak dapat diperbaiki. Pengurangan aliran darah otak di bawah 8-9 ml/100 mg/menit akan menyebabkan infark, tergantung lamanya. Dikatakan hipoperfusi jika aliran darah otak di antara 8 dan 23 ml/100 mg/menit.
Jika jumlah darah yang mengalir ke dalam otak regional tersumbat secara parsial, maka daerah yang bersangkutan langsung menderita karena kekurangan oksigen. Daerah tersebut dinamakan daerah iskemik. Di wilayah itu didapati: 1) tekanan perfusi yang rendah, 2) PO2 turun, 3) CO2 dan asam laktat tertimbun. Autoregulasi dan kelola vasomotor dalam daerah tersebut bekerja sama untuk menanggulangi keadaan iskemik itu dengan mengadakan vasodilatasi maksimal (Gunther et al., 2011).
Adapun pada hipoglikemia, mekanisme yang terjadi sifatnya umum. Hipoglikemia jangka panjang menyebabkan kegagalan fungsi otak. Berbagai mekanisme dikatakan terlibat dalam patogenesisnya, termasuk pelepasan glutamat dan aktivasi reseptor glutamat neuron, produksi spesies oksigen reaktif, pelepasan Zinc neuron, aktivasi poli (ADP-ribose) polymerase dan transisi permeabilitas mitokondria (Cryer, 2007).
2.3.4 Kriteria Mati Batang Otak 1. Prakondisi
a. Keadaan klinis saat ini tidak disebabkan oleh obat-obat depresan sistem saraf pusat. b. Pasien dengan ventilator atas indikasi respirasi spontan yang tidak adekuat: efek
obat-obat penghambat neuromuskular harus disingkirkan.
c. Hipotermia dan gangguan metabolik berat bukanlah merupakan penyebab utama kondisi pasien saat ini.
2. Tes
a. Tidak ada respon pupil terhadap cahaya. b. Tidak ada refleks kornea.
c. Tidak ada refleks vestibulo-okular.
d. Tidak ada reflek muntah atau respons terhadap pengisapan trakea.
e. Tidak ada respons motorik pada daerah nervus kranial terhadap rangsang nyeri, misalnya tekanan supraorbita.
f. Tidak ada gerakan pernafasan ketika ventilator dilepaskan.
Tes harus dilaksanakan oleh dua orang dokter, yang keduanya memiliki keahlian yang tepat dan satu atau keduanya adalah dokter konsultan.
Tes harus dilakukan dengan interval, kematian dipastikan pada waktu tes kedua dilakukan, dengan asumsi tidak adanya bukti fungsi batak otak yang terdeteksi.
Penetapan waktu kematian pasien adalah pada saat dinyatakan mati batang otak, bukan saat ventilator dilepas dari mayat atau jantung berhenti berdenyut. Terapi bantuan hidup yang dapat dihentikan atau ditunda hanya tindakan yang bersifat terapeutik dan/atau perawatan yang bersifat luar biasa (extra-ordinary), meliputi:
1) Rawat di intensive care unit 2) Resusitasi jantung paru 3) Pengendalian disritmia 4) Intubasi trakeal
9) Transplantasi 10) Transfusi darah 11) Monitoring invasif 12) Antibiotika
13) Tindakan lain yang ditetapkan dalam standar pelayanan kedokteran.
Terapi bantuan hidup yang tidak dapat dihentikan atau ditunda meliputi oksigen, nutrisi enteral dan cairan kristaloid.
2.3.5 Pemeriksaan Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis kematian otak, penggunaan serangkaian protokol sertifikasi kematian otak cukup membantu. Daftar a, b, c dan d di bawah ini dapat bermanfaat bagi dokter. Pada banyak kasus, semua daftar tersebut semestinya digunakan secara sistematik untuk menegakkan ataupun menyingkirkan diagnosis kematian otak. Bagaimana pun masih perlu untuk memutuskan diagnosis lain, misalnya apakah suatu gangguan metabolik mengacaukan diagnosis atau jika penyelidikan tambahan sudah memadai sehingga memungkinkan adanya diagnosis lain.
Daftar A (Garis Besar)
1. Tanpa pergerakan spontan, kejang atau gerakan badan lainnya.
2. Tanpa respon terhadap jenis rangsang nyeri apa pun (misalnya menggosok sternum, penekanan pada kuku jari, penekanan dengan jarum) pada daerah distribusi nervus kranialis.
3. Hilangnya refleks-refleks batang otak. 4. Pasien bernapas dengan napas bantuan.
Uji apnea menunjukkan hilangnya pernapasan spontan.
5. Menyingkirkan kemungkinan keadaan eksaserbasi.
6. Memastikan kondisi pasien akan kerusakan struktur otak yang tidak dapat diperbaiki.
7. Memastikan bahwa bukti-bukti klinis tidak berubah dengan peninjauan kembali 2 sampai 24 jam kemudian.
Daftar B (uji terhadap hilangnya refleks-refleks batang otak)
3. Hilangnya respon vestibulo-okuler terhadap rangsang air dingin (“cold
1. Garis arterial, oximeter denyut nadi dan fasilitas untuk pengukuran gas darah arteri.
2. Atur ventilasi fi02 ke 1.0.
3. Atur ventilasi jika perlu untuk
Daftar D (menyingkirkan kemungkinan kondisi tambahan)
1. Pengaruh obat-obatan depresan susunan saraf pusat (mis. Barbiturat, benzodiazepin, narkotik).
memastikan paco2 berada diantara 40 mmhg dan 50 mmhg.
4. Gambar sampel abg nomor 1
5. Mulai stopwatch, cabut ventilator dan masukkan oksigen sebanyak 6 liter/menit melalui kateter trakea untuk membantu mencegah hipoksia. Perhatikan setiap gerakan yang memperlihatkan usaha untuk bernapas spontan.
6. Setelah 6 menit, gambarkan sampel abg nomor 2 dan sambungkan kembali ventilator.
7. Hitung peningkatan paco2 selama periode apnea. Peningkatan harus lebih dari 10 mmhg dan tidak adanya usaha untuk bernapas spontan harus ada pada uji apnea yang menunjukkan bahwa tidak ada aktivitas pernapasan spontan yang terjadi.
Suhu esophagus, rektal) di bawah 32,2 derajat celcius (900 f).
3. Gangguan elektrolit (mis. Hiponatremia, asidosis metabolik). 4. Lanjutan blokade neuromuskuler
setelah peemberian agen penghambat neuromuskuler (tinjau kembali daftar pemberian anestetik dan riwayat icu; periksa dengan stimulator saraf; balikkan efek agen tersebut dengan neostigmin).(3)
Pada uji apnea, harus diperhatikan beberapa kondisi sebelum dilakukannya pengujian. Persyaratan-persyaratan berikut ini harus diperhatikan:
a. Suhu inti ≥ 36,5o C
b. Tekanan darah sistolik ≥ 90 mm Hg,
c. Euvolemia (atau lebih baik apabila balans cairan positif selama 6 jam sebelum pemeriksaan),
d. Eukapnea (atau apabila PCO2 arteri ≥ 40 mm Hg), dan e. Normoksemia (atau apabila PO2 arteri ≥ 200 mm Hg).
Tahapan-tahapan dalam melakukan tes apnea adalah sebagai berikut:
a. Kondisi awal pasien adalah menggunakan ventilator, maka pasang oksimetri, pre-oksigenasi dan observasi hingga syarat-syarat terpenuhi
1) Pre-oksigenasi bertujuan untuk mencapai PO2 arteri ≥ 200 mm Hg
2) Pre-oksigenasi bertujuan untuk mengeliminasi tumpukan nitrogen, akselerasi transport oksigen, dan mengurangi resiko hipoksik akibat dilakukannya tes apnea. 3) Pre-oksigenasi dilakukan selama 30 menit atau sampai saat syarat terpenuhi (PO2
arteri arteri ≥ 200 mm Hg) b. Lepas ventilator
c. Pasang nasal kanul setinggi karina dan berikan O2 100% 6-8lpm
d. Selama proses pemberian O2 6-8lpm melalui nasal kanul, amati dengan seksama pergerakan respirasi.
f. Bila saat tes apnea tekanan darah sistolik menjadi ≤90 mm Hg, atau oksimeter pulsa menunjukkan desaturasi, atau terjadi aritmia kardia, segera ambil sampel darah, dan lakukan analisa gas darah arteri. Pasien pun segera di hubungkan kembali dengan ventilator tanpa harus menunggu 8-10 menit untuk meminimalisir terjadinya komplikasi tes apnea
Interpretasi hasil tes apnea adalah:
1. Tes apnea disebut positif jika tidak ada pergerakan respirasi dan kadar PCO2 arteri ≥60mmHg (atau terjadi peningkatan PCO2 ≥20mmHg dari PCO2 awal untuk penderita dengan riwayat hiperkarbia).
2. Tes apnea disebut negatif bila teramati adanya gerakan respirasi.
3. Tes apnea disebut indeterminan apabila saat proses pemberian O2 kanul terjadi aritmia atau hipotensi dan hasil BGA menunjukkan PCO2 < 60 mm Hg, atau peningkatannya < 20 mm Hg. Pada hasil ini diperlukan tes konfirmasi untuk diagnosis mati batang otak. 4. Bila tidak ada pergerakan respirasi, PCO2 kurang dari 60 mm Hg, dan tidak ada aritmia
kardia atau hipotensi signifikan, tes dapat diulang 10 menit kemudian (Wijdicks, 1994. Wijdicks, 2001. Beterhealt,2000. Eduardo,2009).
Komplikasi yang dapat terjadi setelah dilakukannya tes apnea adalah: 1) Asidosis (63%)
2) Hipotensi (24%) 3) Aritmia kardiak (3%
Jika kriteria klinis kematian telah ditemukan, seseorang tidak dapat ditetapkan “mati otak” hingga dokter memastikan tidak ada obat bius (mis. Kodein, domerol, morfin, kokain, heroin) dan tidak ada obat-obatan barbiturat (mis. Fenobarbital, sekobarbital, nembutal, amytal) yang telah diberikan 24 jam sebelumnya dan bahwa kematian otak telah ditunjukkan melalui salah satu dari studi diagnostik berikut:
1. Angiogram serebral (injeksi larutan kontras ke dalam arteri leher untuk melihat arteri di otak pada film x-ray), menunjukkan tidak ada penetrasi larutan ke dalam arteri otak
2. Scan aliran darah serebral (scan kepala setelah injeksi substansi radioaktif yang aman secara intravena) memperlihatkan tidak ada aliran darah di otak.
3. Dua kali EEG (elektroensefalogram atau uji gelombang otak) pada interval 24 jam menunjukkan tidak ada aktivitas listrik dari otak, mis. EEG datar atau isoelektrik.
Poin ketiga dari ketiga tes di atas paling banyak digunakan karena sangat mudah dilakukan di tempat tidur pasien.
2.3.6 Penatalaksanaan
kematian batang otak, sekalipun elektrokardiografi masih menunjukkan ritme normal (Indries, 1997).
Jika semua kriteria mati otak sudah terpenuhi, maka ventilator dan alat pendukung hidup lainnya dapat dilepas. Dengan begitu, dokter dan rumah sakit tidak dituntut melakukan pembunuhan. Untuk negara dengan tindakan transpalntasi yang telah berkembang pesat, diagnosis mati otak diusahakan secepat mungkin agar organ yang ada pada pasien tersebut dapat digunakan untuk keperluan transplantasi calon resepien (Jacobalis, 1997).
Untuk penatalaksanaan mati batang otak, bisa digunakan euthanasia. Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya. Ada empat metode euthanasia:
1. Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara sadar menginginkan kematian.
2. Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk menyetujui karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental. Sebagai contoh dari kasus ini adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman untuk pasien yang berada di dalam keadaan vegetatif (koma).
3. Euthanasia tidak sukarela: ini terjadi ketika pasien yang sedang sekarat dapat ditanyakan persetujuan, namun hal ini tidak dilakukan. Kasus serupa dapat terjadi ketika permintaan untuk melanjutkan perawatan ditolak.
4. Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk euthanasia. Hal ini terjadi ketika seorang individu diberikan informasi dan wacana untuk membunuh dirinya sendiri. Pihak ketiga dapat dilibatkan, namun tidak harus hadir dalam aksi bunuh diri tersebut. Jika dokter terlibat dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut sebagai ‘bunuh diri atas pertolongan dokter’. Di amerika serikat, kasus ini pernah dilakukan oleh dr. Jack Kevorkian.
Euthanasia dapat menjadi aktif atau pasif:
1. Euthanasia aktif menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan kematian. Contoh dari kasus ini adalah memberikan suntik mati. Hal ini ilegal di Britania Raya dan Indonesia.
2. Euthanasia pasif menjabarkan kasus ketika kematian diakibatkan oleh penghentian tindakan medis. Contoh dari kasus ini adalah penghentian pemberian nutrisi, air, dan ventilator.
2.3.7 Prognosis
baru-baru ini diperbaru-barui minat kemungkinan perlindungan neuronal selama fase ini dengan menggunakan hipotermia moderat dan oleh koreksi kelainan neuroendokrin sering terlihat di tahap awal ini.
Penelitian yang diterbitkan pasien yang memenuhi kriteria untuk kematian batang otak atau kematian seluruh otak (standar Amerika yang meliputi kematian batang otak didiagnosis dengan cara yang sama) catatan bahwa bahkan jika ventilasi dilanjutkan setelah diagnosis, jantung berhenti berdenyut hanya dalam beberapa jam atau hari. Namun, ada beberapa yang selamat dalam jangka panjang dan perlu dicatat bahwa manajemen ahli dapat menjaga fungsi tubuh otak wanita mati hamil cukup lama untuk membawa mereka ke suatu waktu.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN KOMA 3.1 Pengkajian
3.1.1 Anamnesa
Karena penderita terganggu kesadarannya, maka harus diambil heteroanamnesis dari orang yang menemukan penderita atau mengetahui kejadiannya serta tenaga medis lainnya yang mungkin sebelumnya mengetahui penyebab klien mengalami koma (penurunan kesadaran).
a. Identitas
Meliputi: nama, umur, jenis kelamin, alamat tinggal b. Keluhan Sebelum Koma
Sakit kepala, kelemahan progresif maupun kambuhan, vertigo, mual dan muntah c. Keadaan klien Sebelumnya
Trauma kepala, Kejang, keadaan saat klien ditemukan apakah ada muntahan darah saat sebelum terjadi koma, apakah koma terjadi secara mendadak atau perlahan
d. Riwayat Medis
Prosedur pembedahan, infeksi, e. Riwayat Penyakit Dahulu
Epilepsi, Trauma kepala, Stroke, Hipertensi, Diabetes Melitus, Penyakit jantung, kanker, uremia
f. Riwayat Psikologis Sebelumnya
Depresi, stress sosial g. Riwayar Obat-obatan
Sedatif, obat psikotropika, narkotika
3.1.2 Pemeriksaan Fisik
3.1.2.1 Pemeriksaan Tanda –Tanda Vital
3.1.2.2 Pemeriksaan Fisik
a. Kulit
Pada pemeriksaan kulit, perlu diamati tanda-tanda trauma, stigmata kelainan hati dan stigmata lainnya termasuk krepitasi dan jejas suntikan. Pada penderita dengan trauma, kepala pemeriksaan leher itu, harus dilakukan dengan sangat berhati-hati atau tidak boleh dilakukan jikalau diduga adanya fraktur servikal. Jika kemungkinan itu tidak ada, maka lakukan pemeriksaan kaku kuduk dan lakukan auskultasi karotis untuk mencari ada tidaknya bruit.
b. Kepala
Perhatikan ada tidaknya hematom, laserasi dan fraktur. Luka pasca trauma, Opistotonus (meningitis), Miring kanan/kiri (tumor fossa posterior), Apakah keluar darah atau cairan dari telinga/hidung, Hematom disekitar mata (Brill hematoma) atau pada mastoid
c. Leher
Apakah tampak ada fraktur atau tidak, kaji apakah ada kaku kuduk dan jangan manipulasi bila dicurigai fraktur servikal (jejas, kelumpuhan 4 ekstremitas, trauma di daerah muka).
d. Rongga Mulut
Tampak mukosa mulut apakah terjadi pendarahan, bau nafas penderita (amoniak, aseton, alkohol,dll)
e. Thorax dan Jantung
Kontraktilitas jantung menurun, adanya sekret, penurunan fungsi paru, adanya suara ronchi
f. Abdomen
Kemampuan menelan, mengunyah tidak ada, penyerapan makanan tidak adekuat, konstipasi, penurunan kerja ginjal, inkontinensia urin
g. Ekstermitas
Sianosis ujung jari, edema pada tungkai 3.1.2.3 Pemeriksaan Neurologis
a.
Tabel Penilaian GCS Nilai Respons Membuka Mata
• Spontan 4
• Terhadap perintah/pembicaraan 3
• Terhadap rangsang nyeri 2
• Tidak membuka mata 1
Respons Motorik
• Sesuai perintah 6
• Mengetahui lokalisasi nyeri 5
• Reaksi menghindar 4
• Reaksi fl eksi–dekortikasi 3
• Reaksi ekstensi–deserebrasi 2
• Tidak berespons 1
Respons Verbal
• Dapat berbicara dan memiliki orientasi 5
Baik
• Dapat berbicara, namun disorientasi 4
• Berkata-kata tidak tepat dan tidak 3
jelas (inappropriate words)
• Mengeluarkan suara tidak jelas 2
(incomprehensive sounds)
b. Pemeriksaan untuk menetapkan letak proses / lesi. c. Observasi umum.
1) Perhatikan gerakan menguap, menelan, mengunyah, membasahi bibir. Bila (+), prognosis cukup baik.
2) Perhatikan gerakan multifokal dan berulang kali (myoclonic jerk). Disebabkan oleh gangguan metabolik.
3) Lengan dan tungkai.
a) Lengan keadaan flexi (decorticated rigidity)gangguan di hemisfer, batang otak masih baik.
b) Lengan dan tungkai extensi (deserebrate rigidity) kerusakan di batang otak. 4) Pola pernafasan
a) Pernafasan Cheyne-Stokes (Periodic breathing).: Terjadi keadaan apnea, kemudia timbul pernafasan yang berangsur-angsur bertambah besar amplitudonya. Setelah mencapai suatu puncak, akan menurun lagi proses di hemisfer dan/batang otak bagian atas.
b) Hiperventilasi neurogen sentral (kussmaul) : Pernfasan cepat dan dalam disebabkan gangguan di tegmentum (antara mesenfalon dan pons). Letak prosesnya lebih kaudal dari pernafasan Cheyne-stokes. Prognosisnya juga lebih buruk
c) Pernafasan apneustik : Terdapat suatu inspirasi yang dalam diikuti oleh poenghentian ekspirasi selama beberapa saat.Gangguan di pons. Prognosis lebih jelek daripada hiperventilasi neurogen sentral karena prosesnya lebih kaudal. d) Pernafasan ataksik : Terdiri dari pernafasan yang dangkal, cepat, dan tidak teratur.
Terganggunya formation retikularis di bagian dorsomedial dan medulla oblongata. Terlihat pada keadaan agonal karenanya sering disebut sebagai tanda menjelang ajal.
5) Kelainan pupil dan bola mata
Penampang pupil, perbandingan pupil kanan dan kiri, bentuk dan reflek. a) Deviasi conjugate
Kedua bola mata kesamping kearah hemicerebral yang terganggu. Besar, penampang pupil dan reaksi reflek cahaya normal, menunjukkan kerusakan di pontamen
b) Kelainan thalamus
Kedua bola mata melihat ke hidung, dan tak dapat melihat ke atas, pupil kecil, reflek cahaya lambat.
Kedua bola mata di tengah, bila dilakukan gerakan, doll eye m, pupil sebesar titik (pin point pupil), reflek cahaya positif(+)
d) Kelainan di cerebellum
Kedua bola mata ditengah, pupil lebar, bentuk normal, reflek cahaya positif(+) e) Kelainan di nervus III
Pupil di daerah terganggu melebar, reflek cahaya positif (+), pupil pada sisi sehat normal. Sering terlihat pada herniasi tentorium, nervus iii tertekan.
f) Refleks sefalik g) Refleks pupil
Terdapat 3 refleks (cahaya, konsensual, konvergensi). Konvergensi sulit diperiksa pada penderita dengan kesadaran menurun. Oleh karena itu pada penderita koma hanya dapat diperiksa refleks cahaya dan konsensual. Bila refleks cahaya terganggu, gangguan di mesensefalon.
1. Doll’s eye phenomenon
Gangguan di pons (refleks okulo-sefalik negative). 2. Refleks okulo-vestibular
Menggunakan tes kalori. Jika ( -) berarti terdapat gangguan di pons. 3. Refleks kornea
Merangsang kornea dengan kapas halus akan menyebabkan penutupan kelopak mata. Bila negative berarti ada kelainan di pons.
h) Refleks muntah
Sentuhan pada dinding faring belakang. Refleks ini hilang pada kerusakan di medula oblongata.
g) Reaksi terhadap rangsangan nyeri
Tekanan pada supraorbita, jaringan bawah kuku tangan, sternum. Rangsangan tersebut akan menimbulkan refleks, sebagai berikut:
1. Abduksi : fungsi hemister masih baik (high level function). 2. Menghindar (Flexi dan aduksi) : hanya ada low level function. 3. Flexi : ada gangguan di hemister.
4. Extensi kedua lengan dan tungkai : gangguan di batang otak. 3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan jaringan otak, volume darah intrakranial, volume cairan serebrospinal. (00201)
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskuler dan hipoventilasi (00032)
4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh, faktor resiko: tidak mampu dalam memasukkan, mencerna, mengabsorbsi makanan karena faktor biologis penurunan kesadaran/ koma (00002)
3.3 Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan 1: Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan jaringan otak, volume darah intrakranial, volume cairan serebrospinal.(00201) Domain 4 : Activity ∕ Rest
Class 4: Cardiovascular ∕ Pulmonary Responses
Tujuan: Klien akan memperlihatkan perfusi jaringan yang adekuat
NOC NIC
Tissue Perfusion: Cerebral (0406) Domain-Physiologic Health (II) Class- Cardiopulmonary (E) Indikator (1-5):
040602 Tekanan Intrakranial (0-15 mmHg) (5)
040613 Tekanan darah sistolik normal (5) 040614 Tekanan darah diastolik normal (5) 040619 Peningkatan status kesadaran (5) 040620 Perbaikan status neurologis (5)
Intracranial Pressure Monitoring Cerebral Edema Management
1) Posisikan pasien dengan kepala dan leher dalam posisi yang netral
2) Menyesuaikan bagian kepala tempat tidur untuk mengoptimalkan perfusi serebral
3) Berikan cairan dengan jumlah terbatas (1400cc/24jam) untuk mencegah edema serebral
4) Observasi tingkat klien, tingkah laku, fungsi motorik/sensorik, pupil setiap 1-2 jam sekali dan sebagaimana kebutuhan.
5) Observasi tingkat kenyamanan klien (sakit kepala, mual, muntah) dimana merupakan indikasi adanya peningkatan tekanan intrakranial
6) Intruksi untuk tidak melakukan aktivitas yang dapat meningkatan intratoraks dan intra abdomen (misalnya mengedan, latihan isometric, fleksi panggul, batuk).
7) Perhatikan kestrerilan sistem monitoring 8) Gunakan teknik aseptik dan antiseptik secara
optimal pada setiap mengganti selang atau balutan.
9) Berikan obat pelunak feses
sampai dengan 1 jam
11) Monitor status respirasi: ritme, frekuensi, kedalaman pernafasan, PaO2, Pco2, Ph bikarbonat
12) Monitor status neurologis klien
13) Monitor peningkatan takanan intrakranial setiap 15 menit sampai dengan 1 jam
14) Monitor pemasukan dan perubahan neorologi (misalnya tanda-tanda vital).
Diagnosa Keperawatan 2 : Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskuler dan hipoventilasi (00032)
Domain 4: Activity ∕ Rest
Class 4: Cardiovascular ∕ Pulmonary Responses
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan ...X24 jam klien pola nafas klien normal (tidak terdapat suara ronchi)
040309 Tidak menggunakan otot bantu nafas
040310 Tidak ada suara nafas tambahan 040313 Tidak ada dsypnea
Respiratory Monitoring
1)Monitor frekuensi, ritme dan kedalaman pernafasan
2)Perhatikan adanya otot bantu pernafasan
3)Catat pergerakan dada, amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan, retraksi otot supraventrikuler dan intercostal
4)Monitor pola nafas 5)Monitor saturasi oksigen
6)Asukultasi adanya suara nafas dan catat area yang mengalami penurunan dan kehilangan ventilasi serta adanya suara tambahan 7)Monitor sekresi pernafasan klien
8)Monitor adanya dyspnea atau kejadian yang dapat semakin memperburuk
mengauskultasi crakles dan ronchi pada jalan nafas utama
10) Monitor hasil ventilasi mekanik, catat peningkatan tekanan inspirasi dan penurunan tidal volume (jika klien memakai ventilator) 11) Catat perubahan SaO2, SvO2 dan tidal Co2
(jika klien memakai ventilator)
12) Buka jalan nafas dengan gunakan teknik mengangkat dagu atau rahang
13) Posisikan klien pada satu sisi untuk mencegah aspirasi
Oxygen Therapy
1) Bersihkan jalan nafas dari sekret 2) Pertahankan jalan nafas tetap efektif 3) Berikan oksigen sesuai instruksi
4) Monitor aliran oksigen, canul oksigen, dan humidifier
5) Observasi tanda tanda hipoventilasi 6) Monitor respon klien terhadap pemberian
oksigen
Vital Sign Monitoring
1)Monitor Tekanan darah, Tekanan nadi, suhu, dan frekuensi pernafasan
2)Catat adanya fluktuasi tekanna darah 3)Monitor kualitas nadi
4)Monitor irama dan frekuensi pernafasan 5)Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit 6) Monitor sianosis perifer
7)Monitor adanya chusing triad (tekanan nadi yang melebar, bradikardia, peningkatan sistolik) 8)Identifikasi penyebab dan perubahan vital sign Diagnosa Keperawatan 3 : Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret di saluran nafas akibat disfungsi neuromuskuler (00031)
Domain 11: Safety ∕ Protection Class 2: Physical Injury
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan ...X24 jam jalan nafas klien bebas dari sekret dan jalan nafas paten tidak ada obstruksi
NOC NIC
Domain-Physiologic Health (II) Class-Cardiopulmonary (E) Indikator:
041004 Frekuensi pernafasan 12-20X ∕ menit 041005 Ritme pernafasan teratur
041017 Kedalaman bernafas 041002 Tidak ada kecemasan
041020 Akumulasi sekret dapat keluar dari jalan nafas
041007 Tidak adanya suara nafas tambahan (suara ronchi tidak ada)
041015 Tidak ada dsypnea
1)Posisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi
2)Buka jalan nafas dengan menggunakan teknik menarik dagu atau rahang
3)Auskultasi suara nafas, catat adanya penurunan atau kehilangan ventilasi serta adanya suara nafas tambahan
4)Lakukan fisioterapi dada bila memungkinkan 5)Keluarkan sekret dengan suction
6)Berikan bronkodilator bila perlu 7)Monitor respirasi dan status oksigen Airway Suctioning
1)Informasikan pasien dan keluarga mengenai prosedur suction
2)Tentukan kebutuhan oral atau trake suction bagi klien
3)Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah melakukan tindakan suction
4)Cuci tangan
5)Menggunakan alat pelindung diri (contoh: gloves, goggles dan masker)
6)Gunakan alat steril setiap melakukan tindakan trakeal suction
7)Gunakaan suction endotrakeal atau nasotrakeal
8)Tentukan jumlah yang rendah kebutuhan suction untuk menghilangkan sekret (80-120 mmHg untuk dewasa)
9) Hentikan penggunaan trakeal suction dan memberikan tambahan oksigen jika klien mengalami bradikardi, peningkatan ektopi ventrikular, dan desaturasi
10)Monitor adanya nyeri
11)Monitor status oksigen klien (level SaO2 dan SvO2), monitor status neurologis klien (status mental, ICP, perfusi tekanan cerebral,monitor status hemodynamic sebelum, selama, dan sesudah suction
konsistensi sekret
Diagnosa Keperawatan 4 : Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh, faktor resiko: tidak mampu dalam memasukkan, mencerna, mengabsorbsi makanan karena faktor biologis penurunan kesadaran/ koma (00002) 100408 Intake cairan adekuat (5)
100411 Hidrasi adekuat (Turgor kulit baik, konjugtiva dan membran mukosa tidak pucat) (5)
100501 Serum albumin dalam kisaran normal 3,8-4,4 gr/dl
Nilai Protein total: 5,3-8,9 gr/dl Nilai Globulin: 1,5-4,5 gr/dl
100503 Hematokrit dalam kisaran normal: 37-47 %
100504 Nilai Hemoglobin normal: 10-16 gr/dl 100507 Nilai Gula Darah Sewaktu : <180 mg 100508 Nilai Cholesterol normal: 140-250 mg 100509 Nilai Trigliseride normal : 45-160 mg Nutritional Status: Food & Fluid Intake 1008
Domain- Physiologic Health (II)
Nutritional Monitoring 1) Monitor turgor kulit klien
2) Amati rambut yang abnormal ( kering dan mudah rontok)
3) Monitor masukan kalori dan intake makanan 4) Identifikasi adanya kuku yang abnormal 5) Identifikasi rongga mulut (seperti adanya
inflamasi, membran mukosa yang kering, edema, hiperemik, hipertonik papilla lidah dan cavitas oral)
6) Amati konjunctiva yang pucat 7) Monitor status mental klien
8) Monitoring hasil laboratorium seperti serum albumin, nilai protein total,nilai Hemoglobin, Hematokrit , Gula Darah Sewaktu , nilai cholesterol dan nilai trigliseride
Nutrition Management
1) Tentukan status nutrisi klien dan kebutuhan nutrisi klien
2) Identifikasi adanya alergi makanan
3) Monitor masukan cairan dan makanan, hitung kalori makanan dengan tepat
Class- Digestion & Nutrition (K) Indikator (1-5):
100802 Intake makanan per NGT adekuat (5) 100805 Intake Total Parenteral Nutrition (TPN) adekuat (5)
100804 Intake cairan intravena adekuat (5)
kandungan gizi dan jumlah kalori
7) Kolaborasi penambahan inti protein, zat besi, dan vitamin C yang sesuai
8) Pastikan bahwa diit mengandung makanan yang berserat tinggi untuk mencegah sembelit 9) Beri makanan protein tinggi, kalori tinggi, dan
bergizi yang sesuai
3.4 Evaluasi
1. Klien memperlihatkan perfusi jaringan serebral yang adekuat. 2. Klien tidak mengalami peningkatan tekanan intrakranial. 3. Klien menunjukkan pola nafas yang abnormal.
4. Klien menunjukkan jalan nafas paten dan bebas dari penumpukan sekret .
BAB IV PENUTUP Kesimpulan
Koma merupakan suatu keadaan tidak sadar menetap pada pasien yang: (1) tidak berespons pada stimulus verbal, (2) dapat memiliki berbagai respons terhadap stimulus nyeri, (3) tidak bergerak secara volunter, (4) dapat memiliki respon pupil terhada cahaya yang terganggu dan tidak berkedip (5) dapat memiliki pola pernafasan yang terganggu.
Dua tipe gangguan yang menyebabkan koma : (1) Lesi struktural pada otak yang menempatkan tekanan pada batang otak atau struktur di dalam fosa kranial posterior, termasuk serebelum, otak terngah, pons, dan medulla. Tipe ini mempengaruhi ARAS (Ascending Reticular Activating System). (2) Gangguan metabolik dan lesi difus yang menganggu kesiagaan dan kesadaran dengan mengurangi suplai oksigen dan glukosa; dengan meningkatkan akumulasi sampah metabolik di otak; atau dengan menganggu proses metabolik serebral lain. Penyebab struktural koma dapat berupa trauma kepala, stroke iskemik atau hemoragik dan tumor otak. Kecelakaan kendaraan bermotor, serangan fisik, luka tembak, dan jatuh merupakan penyebab trauma kepala yang sering.
Terdapat banyak manifestasi dari klien yang mengalami koma seperti perubahan respons pupil, perubahan gerakan mata, perubahan pola nafas, perubahan respons motorik dan gerakan, disfasia, disfasia broca, disfasia wernicke dan agnosia.
Kematian batang otak didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi otak, termasuk fungsi batang otak, secara ireversibel. Tiga tanda utama manifestasi kematian batang otak adalah koma dalam, hilangnya seluruh refleks batang otak, dan apnea