• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS ASAM AMINO DAN PENGAMATAN JARINGAN DAGING FILLET IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus) AKIBAT PENGGORENGAN ALHANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS ASAM AMINO DAN PENGAMATAN JARINGAN DAGING FILLET IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus) AKIBAT PENGGORENGAN ALHANA"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

ALHANA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ALHANA. Analisis Asam Amino dan Pengamatan Jaringan Daging Fillet Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Akibat Penggorengan. Dibimbing oleh

AGOES M. JACOEB dan DJOKO POERNOMO

Penggorengan adalah proses pemanasan bahan pangan menggunakan medium minyak goreng sebagai penghantar panas. Pengaruh pemanasan terhadap komponen daging ikan dapat menyebabkan perubahan fisik dan komposisi kimia daging ikan. Proses pemanasan terhadap produk perikanan dapat mempengaruhi kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, dan struktur jaringan daging ikan. Kerusakan protein pada daging ikan akibat penggorengan akan berpengaruh terhadap kandungan asam amino yang berkorelasi dengan kandungan gizi yang dikonsumsi. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan rendemen, proksimat (kadar air, abu, lemak, dan protein kasar), kandungan asam amino, dan pengamatan deskriptif struktur jaringan pada daging putih fillet ikan patin segar dan goreng. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis proksimat (AOAC 1995, 2005), Analisis asam amnio menggunakan HPLC, dan pengamatan jaringan dengan metode parafin.

Ikan patin (Pangasius hypophthalmus) memiliki panjang total rata-rata 35,55 cm, lebar total rata-rata 4,85 cm dan tinggi rata-rata 6,38 cm, dan bobot rata-rata 397,13 gram. Rendemen daging patin sebesar 38,56%, kulit 14,43% dan jeroan 3,73%. Rendemen terbesar terdapat pada kepala dan tulang patin yaitu 43,28%. Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa daging patin merupakan hasil perairan yang berprotein tinggi yaitu 15,07% (bb). Penggorengan menyebabkan perubahan kadar air sebesar 22,74%, abu 42,40%, dan protein 37,20%, dan kadar lemak sebesar 89,92%. Protein daging patin mengandung 15 asam amino yang terdiri dari 9 asam amino esensial dan 6 asam amino non esensial. Asam amino esensial yang memiliki kadar tertinggi dalam daging patin adalah leusin sedangkan asam amino non esensial dengan jumlah tertinggi adalah asam glutamat. Rata-rata kadar asam amino pada daging patin goreng mengalami penurunan sebesar 16,99% dari daging patin segar. Penggorengan menyebabkan perubahan struktur jaringan daging patin. Pengamatan jaringan menunjukkan bahwa struktur jaringan daging patin segar terdiri atas serabut-serabut yang tidak kompak, terputus-putus dan terbagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, sedangkan jaringan daging patin goreng lebih kompak dan menyatu. Pemanasan yang terjadi saat penggorengan menyebabkan air dalam daging patin merembes keluar, sehingga struktur jaringan menjadi lebih kompak.

(3)

ALHANA C34070001

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul ”Analisis Asam

Amino dan Pengamatan Jaringan Daging Fillet Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Akibat Penggorengan” adalah karya saya sendiri

dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2011

Alhana C34070001

(5)

NRP : C34070001

Departemen : Teknologi Hasil Perairan

Menyetujui,

Pembimbing I

Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol. NIP. 1959 1127 1986 01 1 005

Pembimbing II

Ir. Djoko Purnomo, B.Sc. NIP. 1958 0419 1983 03 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., M.Phil. NIP: 1958 0511 1985 03 1 002

(6)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul ”Analisis Asam Amino dan Pengamatan Jaringan Daging Fillet Ikan Patin (Pangaisus hypophthalmus) Akibat Penggorengan”. Penulisan skripsi ini dilaksanakan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan hingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini, yaitu:

1) Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb. Dipl.-Biol. dan Ir. Djoko Purnomo, B.Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

2)Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., MPhil selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.

3)Seluruh dosen, pegawai dan staf TU Departemen Teknologi Hasil Perairan atas bantuannya selama ini.

4)Abi dan Umi’ku tercinta yang telah memberikan semangat, dukungan moril dan materi serta cinta yang luar biasa kepada penulis.

5)Saudara-saudaraku tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, perhatian dan doa kepada penulis.

6)Teman-teman THP 44 untuk kebersamaan dan kerjasama selama menempuh studi di THP.

Penulis menyadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan.

Bogor , November 2011

(7)

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 1 November 1990 sebagai anak pertama dari empat

bersaudara dari pasangan Bapak Dudi Supiandi dan Ibu Siti Solihat. Penulis memulai pendidikan TK Insan Kamil Bogor (1995-1996), SD Insan Kamil Bogor (1996-2002), SLTP Insan Kamil Bogor (2002-2005), SMA Insan Kamil Bogor melalui program akselerasi (2005-2007). Pada tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Mayor Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Penulis aktif dalam berbagai organisasi antara lain Fisheries Processing Club (FPC) (2010-2011), Majalah Pangan (EMULSI) (2008-2010), Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN) (2008-2009), Komunitas Penulis Bogor (2007-2009). Penulis juga aktif dalam berbagai Kepanitiaan diantaranya Sushi Day (2010), SANITASI (2009, 2010), Bina Desa HIMASILKAN (2009, 2010), GMI (2009), Kajian Masyarakat Pesisir dan Jelajah Kampung Nelayan (Kamp Luna) (2009), Orientasi Mahasiswa FPIK (OMBAK) (2008), PORIKAN (2008), Seminar Bisnis (2007). Penulis pernah menjadi Asisten praktikum Diversifikasi dan Pengembangan Produk Perairan (2010-2011), Teknologi Pemanfaatan Hasil Samping dan Limbah Industri Perairan (2010-2011), Teknologi Pengolahan Hasil Perairan (2010-(2010-2011), Penanganan Hasil Perairan (2009-2010), dan Metode Statistika (2009).

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Peraian, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dengan judul “Analisis Asam Amino dan Pengamatan Jaringan Daging Fillet Ikan Patin (Pangaisushypophthalmus) Akibat

Penggorengan” dibimbing oleh Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb. Dipl.-Biol. dan Ir. Djoko Purnomo, B.Sc.

(8)

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Klasifikasi dan deskripsi ikan patin (Pangasius hypophthalmus) ... 3

2.2 Komposisi kimia ikan patin ... 4

2.3 Sistem urat daging ... 6

2.4 Asam Amino ... 6

2.3.1 Asam amino esensial ... 7

2.3.2 Asam amino non esensial ... 10

2.4 High Performance Liquid Chromathography (HPLC) ... 11

2.5 Penggorengan dengan Metode Deep Frying ... 13

3 METODOLOGI ... 15

3.1 Waktu dan Tempat ... 15

3.2 Bahan dan Alat ... 15

3.3 Metode Penelitian ... 15

3.3.1 Persiapan contoh ... 16

3.3.2 Penggorengan ... 16

3.3.3 Rendemen ... 17

3.3.4 Analisis Proksimat (AOAC 1995) ... 17

3.3.5 Analisis Asam Amino (AOAC 1999) ... 19

3.3.6 Pengamatan Mikroskopik Jaringan Daging Ikan Patin ... 21

3.3.6.1 Pembuatan preparat jaringan daging ikan patin ... 21

3.3.6.2 Pengamatan preparat jaringan daging ikan patin ... 25

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

4.1 Ukuran dan Bobot Ikan Patin ... 26

4.2 Rendemen Ikan Patin ... 27

4.3 Hasil Analisis Kimia ... 28

4.3.1 Komposisi Proksimat ... 28

4.3.2 Komposisi Asam amino ... 35

(9)

5.2 Saran . ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46 LAMPIRAN ... 51

(10)

No. Halaman

1 Komposisi kimia ikan patin.………...4

2 Asam amino esensial………...8

3 Asam amino non esensial……….………...10

4 Ukuran panjang dan bobot patin.……….………...26

5 Komposisi kimia daging patin segar dan goreng ….………...29

6 Perbandingan asam amino daging patin segar ..…….………...36

(11)

No. Halaman

1 Ikan patin (Pangasius hypophthalmus) ... 3

2 Urat daging kerangka ... 6

3 Struktur umum asam amino ... 7

4 High Performance Liquid Chromatograhy (HPLC) ... 12

5 Diagram alir metode penelitian ... 16

6 Daging patin segar (a) dan goreng (b)... 26

7 Rendemen daging, kulit, dan jeroan ikan patin segar ... 27

8 Kadar air (bk) daging patin segar dan patin goreng ... 29

9 Kadar abu (bk) daging patin segar dan patin goreng ... 30

10 Kadar lemak (bk) daging patin segar dan patin goreng ... 32

11 Kadar protein (bk) daging patin segar dan patin goreng ... 33

12 Kadar karbohidrat (bk) daging patin segar dan patin goreng ... 34

13 Kromatogram asam amino daging patin segar ... 37

14 Kromatogram asam amino daging patin goreng ... 37

15 Asam amino esensial (bk) daging patin segar dan goreng ... 39

16 Asam amino non esensial (bk) daging patin segar dan goreng ... 41

(12)

No. Halaman

1 Data morfometrik ikan patin ... 52

2 Contoh perhitungan analisis proksimat daging ikan patin ... 53

3 Prosedur analisis asam amino ... 55

4 Contoh perhitungan asam amino ... 56

5 Diagram alir analisis histologi ... 57

(13)

1.1 Latar Belakang

Wilayah perairan Indonesia yang sangat luas mengandung sumber daya alam perikanan yang sangat berlimpah. Produksi ikan patin meningkat drastis pada tahun 2010, yaitu sebanyak 147.890 ton, di mana pada tahun 2007 hanya 102.021 ton. Potensi tersebut akan semakin meningkat dengan adanya target Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang ingin menjadikan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar di dunia pada tahun 2015. Target yang dipatok adalah peningkatan produksi perikanan sebesar 353% (KKP 2010).

Salah satu program yang dikembangkan oleh KKP adalah peningkatan produksi ikan patin. Ikan patin (Pangasius hypophthalmus) merupakan jenis ikan air tawar yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat. Rasa dagingnya yang lezat mengakibatkan banyaknya kalangan pengusaha perikanan yang tertarik dengan usaha budidaya ini. Kaluarga ikan patin (Pangasidae) merupakan ikan ekonomis di Asia Tenggara dengan produksi lebih dari 250.000 ton pada tahun 2001 (Slembrouck et al. 2005). Ikan patin dikenal sebagai komoditas perikanan yang berprospek cerah, rasa dagingnya lezat dan gurih mengakibatkan ikan ini sangat digemari oleh masyarakat (Susanto dan Amri 2002).

Ikan patin merupakan bahan biologis yang sangat cepat mengalami kemunduran mutu jika tidak ditangani dengan baik. Oleh karena itu perlu dilakukan proses pengolahan untuk meningkatkan daya simpan dan konsumsi. Salah satu cara pengolahan sederhana yang sering diterapkan oleh masyarakat adalah penggorengan.

Penggorengan adalah proses pemanasan bahan pangan menggunakan medium minyak goreng sebagai penghantar panas. Pengaruh pemanasan terhadap komponen daging ikan dapat menyebabkan perubahan fisik dan komposisi kimia daging ikan. Beberapa studi menunjukkan proses pemanasan terhadap produk perikanan dapat mempengaruhi kadar air, kadar protein, kadar lemak dan karbohidrat yang terdapat dalam ikan. Proses pemanasan menyebabkan terjadinya koagulasi protein yaitu hasil denaturasi protein pada suhu tinggi (Winarno 2008).

(14)

Protein tersusun dari sekuen-sekuen asam amino. Susunan asam amino ini bersifat khas untuk setiap jenis protein (Winarno 1997). Asam-asam amino saling berbeda gugus R-nya (Rediatning dan Kartini 1987). Asam amino adalah senyawa yang mempunyai rumus umum +H3NCH - (R) COO- , bersifat ion dan hidrofil.

Kerusakan protein pada daging ikan akibat penggorengan akan berpengaruh terhadap kandungan asam amino yang berkorelasi dengan kandungan gizi yang dikonsumsi. Selain kadar air, abu, protein, dan lemak, selama proses pemanasan juga terjadi perubahan struktur jaringan pada daging ikan yang diakibatkan oleh perubahan suhu. Mengingat masih kurangnya informasi mengenai komposisi kimia dan struktur jaringan akibat penggorengan, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui komposisi kimia dan struktur jaringan baik pada daging ikan patin segar maupun setelah proses penggorengan.

1.2 Tujuan

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menentukan rendemen, proksimat (kadar air, abu, lemak, dan protein kasar), kandungan asam amino, dan pengamatan deskriptif struktur jaringan pada daging putih fillet ikan patin segar dan goreng.

(15)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus)

Ikan patin (Pangasius hypophthalmus) adalah salah satu komoditas ikan air tawar ekonomis penting. Ikan ini mempunyai beberapa sifat yang menguntungkan untuk dibudidayakan misalnya ukuran per individu yang besar, fekunditas yang cukup tinggi, kebiasaan makan yang omnivor serta mutu dagingnya digemari oleh masyarakat. Klasifikasi ikan patin menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut.

Phylum : Chordata Sub phylum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Ostariophysi Sub ordo : Siluroidea Famili : Pangasidae Genus : Pangasius

Spesies : Pangasius hypophthalmus

Gambar 1 Ikan patin (Pangasiushypophthalmus)

Ikan patin memiliki badan memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang tubuhnya dapat mencapai 120 cm, ukuran tubuh ini tergolong besar bagi ikan jenis lele-lelean. Pada pembudidayaan dalam umur 6 bulan ikan patin bisa mencapai ukuran 35-40 cm (Susanto dan Amri 2002). Ikan patin tidak memiliki sisik, kepala relatif kecil dengan mulut terletak di ujung kepala. Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang sungut pendek yang berfungsi sebagai alat peraba (Susanto dan Amri 2002).

(16)

Sirip punggung (dorsal) mempunyai jari-jari keras yang berubah menjadi patil bergerigi di sebelah belakangnya. Jari-jari lunak sirip punggung berjumlah enam atau tujuh buah. Pada punggungnya terdapat sirip lemak berukuran kecil sekali yang disebut adipose fin. Sirip ekornya berbentuk cagak dan bentuknya simetris. Sirip duburnya yang panjang terdiri dari 30-33 jari-jari lunak. Sirip perutnya memiliki 8-9 jari-jari lunak (Slembrouck et al. 2005). Sirip dada memiliki 12-13 jari-jari lunak dan sebuah jari-jari keras yang menjadi senjata dan dikenal sebagai patil.

Ikan ini memiliki beberapa sifat biologis, yaitu nokturnal atau melakukan aktivitas pada malam hari seperti halnya catfish lainnya dan sesekali muncul ke permukaan air untuk mengambil oksigen dari udara langsung (Susanto dan Amri 2002). Ikan patin sangat toleran terhadap derajat keasaman (pH) air, yaitu dari perairan yang agak asam (pH 5) sampai perairan yang basa (pH 9). Kandungan oksigen terlarut yang dibutuhkan bagi kehidupan patin adalah 3-6 ppm, karbondioksida yang ditolerir 9-20 ppm, dengan alkalinitas 80-250. Suhu air media pemeliharaan yang optimal berada dalam kisaran 28-30 °C (Khairuman dan Suhenda 2001).

2.2 Komposisi Kimia Ikan Patin

Tubuh ikan patin didominasi oleh daging yang mencapai 49%. Komposisi yang lain, yaitu kulit, tulang, kepala, jeroan, dan gelembung renang. Pada umumnya, komposisi daging ikan terdiri dari 15 - 24% protein, 0,1 - 22% lemak, 1 - 3% karbohidrat, 0,8 - 2% substansi anorganik, dan 66-84% air (Suzuki 1981). Komposisi kimia ikan patin segar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia ikan patin (Pangasius sp.) Komposisi Kadar (%) Air 82,22 Abu 0,74 Protein 14,53 Lemak 1,09 Sumber: Maghfiroh (2000)

Air merupakan komponen yang penting dalam bahan makanan, karena air dapat memberikan pengaruh pada penampakan, tekstur serta cita rasa. Bahkan di dalam makanan kering sekalipun, terkandung air dalam jumlah tertentu. Produk

(17)

hasil perikanan memiliki kandungan air yang sangat tinggi, sekitar 80%. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan daya terima, kesegaran dan daya simpan bahan tersebut (Winarno 2008). Kadar air dalam suatu bahan menunjukkan perbedaan antara berat bahan sebelum dan sesudah dilakukan pemanasan.

Kandungan lemak dalam daging ikan bervariasi tergantung pada spesies, umur, kondisi sebelum atau setelah perkembangbiakan (bertelur), dan kondisi pakan. Semakin tinggi kandungan lemaknya, maka semakin rendah kandungan air daging ikan (Suzuki 1981). Lemak yang terdapat pada produk perikanan pada umumnya sangat mudah untuk dicerna langsung oleh tubuh, sebagian besar adalah asam lemak tak jenuh yang dibutuhkan oleh pertumbuhan, dan kadar kolesterol sangat rendah (Adawyah 2007).

Penentuan kadar abu total sangat berguna sebagai parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Mineral dalam makanan ditentukan dengan pengabuan atau inserasi (pengabuan) (deMan 1997). Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar, tetapi zat anorganiknya tidak ikut terbakar.

Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien selain karbohidrat dan lemak yang berperan lebih penting dalam pembentukan

biomolekul daripada sumber energi. Kandungan energi protein rata-rata 4 kkal/gram atau setara dengan kandungan energi karbohidrat. Produk perikanan

memiliki kandungan protein yang mudah diserap dan dicerna sehingga baik dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi protein terutama pada anak-anak (Sudhakar et al. 2009). Fungsi utama protein bagi tubuh adalah membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada. Protein juga digunakan sebagai bahan bakar apabila kebutuhan energi tubuh tidak terpenuhi oleh lemak dan karbohidrat. Separuh atau 50% dari berat kering sel dalam jaringan yaitu hati dan daging diperkirakan terdiri dari protein (Winarno 1997).

Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia dan hewan. Karbohidrat berfungsi untuk mencegah timbulnya pemecahan protein berlebihan, kehilangan mineral dan membantu metabolisme lemak protein. Karbohidrat pada produk perikanan tidak mengandung serat, umumnya karbohidrat tersebut dalam bentuk glikogen (Nurjanah et al. 2009). Selain itu, karbohidrat pada produk

(18)

perikanan terdiri dari glukosa, fruktosa, sukrosa dan monosakarida lainnya (Okuzumi dan Fujii 2000).

2.3 Sistem Urat Daging

Bagian badan teleostei merupakan sistem urat daging terbesar. Urat daging berfungsi pada seluruh pergerakan tubuh, mengatur pergerakan elemen anggota tubuh, misalnya pemompaan darah, gerakan peristaltik organ viscera dan struktur yang berhubungan dengannya (Grizzle & Rogers 1976). Ada tiga macam jaringan urat daging, yaitu urat daging kerangka, urat daging licin, dan urat daging jantung. Urat daging licin (otot polos) memiliki serabut yang lebih sederhana dan kecil dibandingkan dengan serabut otot lainnya.

Gambar 2 Urat daging kerangka

Sumber : Kusmawan D(2011)

Urat daging licin terdiri dari sel urat daging mononukleat, sedangkan kedua urat daging lainnya adalah urat daging berinti banyak (multinukleat) yang diikat oleh facia atau tenunan ikat (endomisium) untuk membentuk berkas urat daging (bundle). Urat daging kerangka atau bergaris terdapat pada jaringan yang dapat diatur (voluntary control). Serabut multinukleat mengandung myofibril yang tersebar rata di seluruh penampang melintang, terpusat di tengah atau terdapat sepanjang dinding serabut (Harder 1975). Myofibril terdiri dari ratusan myofilamen yang terbagi menjadi elemen tipis, actin dan myosin.

2.4 Asam Amino

Protein tersusun dari berbagai asam amino yang masing-masing dihubungkan dengan ikatan peptida. Suatu protein jika dihidrolisis dengan asam,

(19)

alkali, atau enzim akan menghasilkan campuran asam-asam amino. Struktur kimia asam amino dapat dilihat pada Gambar 3.

COOH (gugus karboksil)

H C R (gugus radikal)

NH2 (gugus amino)

Gambar 3 Struktur umum asam amino

Sumber: Almatsier (2006)

Sebuah asam amino terdiri dari sebuah gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hidrogen, dan gugus R yang terikat pada sebuah atom C yang dikenal sebagai karbon α. Gugus R merupakan rantai cabang yang membedakan satu asam amino dengan asam amino lainnya (Winarno 2008). Asam amino dalam kondisi netral (pH isolistrik, pI) berada dalam bentuk ion dipolar atau disebut juga ion zwitter. Pada asam amino yang dipolar, gugus amino mendapat tambahan sebuah proton dan gugus karboksil terdisosiasi. Derajat ionisasi dari asam amino sangat dipengaruhi oleh pH (Winarno 2008).

Asam amino merupakan komponen utama penyusun protein, dan dibagi dalam dua kelompok yaitu asam amino esensial dan non esensial. Asam amino esensial tidak dapat diproduksi dalam tubuh sehingga sering harus ditambahkan dalam bentuk makanan, sedangkan asam amino non esensial dapat diproduksi dalam tubuh. Asam amino umumnya berbentuk serbuk dan mudah larut dalam air namun tidak larut dalam pelarut organik non polar (Suharsono 1970 dalam

Sitompul 2004).

2.3.1 Asam amino esensial

Asam amino esensial adalah asam amino yang tidak dapat dibuat dalam tubuh dan harus diperoleh dari makanan sumber protein yang disebut juga asam amino eksogen. Asam amino seringkali disebut dan dikenal sebagai zat pembangun yang merupakan hasil akhir dari metabolisme protein. Asam amino esensial dapat dilihat pada Tabel 2.

(20)

Tabel 2 Asam amino esensial

Asam amino Singkatan tiga huruf Berat Molekul (g/mol)

Histidin His 155,2 Arginin Arg 174,2 Treonin Thr 119,1 Valin Val 117,1 Metionin Met 149,2 Isoleusin Ile 131,2 Leusin Leu 131,2 Fenilalanin Phe 165,2 Lisin Lys 146,2 Triptofan Trp 204,2

Sumber: Hames dan Hooper (2005)

Hames dan Hooper menyatakan ada 10 jenis asam amino esensial, yaitu histidin, arginin, treonin, valin, metionin, isoleusin, leusin, fenilalanin, lisin, dan triptofan.

Histidin merupakan asam amino yang diperoleh dari hasil hidrolisis protein yang terdapat dalam sperma suatu jenis ikan (kaviar), asam amino ini bermanfaat baik untuk kesehatan radang sendi dan memperkuat hubungan antar syaraf khususnya syaraf organ pendengaran. Histidin bermanfaat untuk perbaikan jaringan, dibutuhkan dalam dalam pengobatan alergi, rheumatoid arthritis, anemia serta dalam pembentukan sel darah merah dan sel darah putih (Harli 2008).

Arginin adalah asam amino yang dibentuk di hati dan beberapa diantaranya terdapat dalam ginjal. Arginin bermanfaat untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau produksi limfosit, meningkatkan pengeluaran hormon pertumbuhan (HGH) dan meningkatkan kesuburan pria (Linder 1992).

Treonin merupakan asam amino yang mempunyai rantai cabang gugus alifatik hidroksil (Winarno 2008). Treonin mampu meningkatkan kemampuan usus dan proses pencernaan. Asam amino ini bekerja untuk mempertahankan keseimbangan protein dan berperan dalam pembentukan kolagen dan elastin (Harli 2008).

Valin diperlukan dalam pertumbuhan dan penampilan, terutama berfungsi dalam sistem saraf dan pencernaan. Selain itu, valin berfungsi untuk membantu gangguan saraf otot, mental dan emosional, insomnia, dan keadaan gugup. Kekurangan valin dapat menyebabkan kehilangan koordinasi otot dan tubuh menjadi sangat sensitif terhadap rasa sakit, panas dan dingin (Edison 2009).

(21)

Metionin adalah suatu asam amino dengan gugus sulfur yang diperlukan tubuh dalam pembentukan asam nukleat dan jaringan serta sintesa protein. Juga menjadi bahan pembentuk asam amino lain (sistein) dan vitamin (kolin). Metionin bekerja sama dengan vitamin B12 dan asam folat dalam membantu tubuh mengatur pasokan protein berlebihan dalam diet tinggi protein. Selain itu, fungsi penting lain metionin adalah membantu menyerap lemak dan kolesterol. Karena itu, metionin merupakan kunci kesehatan bagi hati yang berhubungan banyak dengan lemak. Defisiensi metionin dapat berakibat rematik kronis, pengerasan hati (sirosis), dan gangguan ginjal (Harli 2008).

Isoleusin diperlukan dalam produksi dan penyimpanan protein oleh tubuh, dan pembentukan hemoglobin. Kemudian berperan dalam metabolisme dan fungsi kelenjar timus dan kelenjar pituitari (Harli 2008).

Leusin merupakan asam amino yang bekerja untuk memacu fungsi otak, menambah tingkat energi otot, membantu menurunkan kadar gula darah yang berlebihan, serta membantu penyembuhan tulang, jaringan otot dan kulit (terutama untuk mempercepat penyembuhan luka post - operative) (Harli 2008). Leusin juga berfungsi dalam menjaga sistem kekebalan tubuh (Edison 2009).

Fenilalanin merupakan asam amino esensial yang menjadi bahan baku bagi pembentukan katekolamin sebagai peningkat kewaspadaan penting bagi tranmisi impuls saraf. Fenilalanin juga berperan sebagai prekursor tirosin dan bersama membentuk hormon tiroksin dan epinefrin (Almatsier 2006). Defisiensi fenilalanin dapat berakibat mata merah (bloodshot eyes), katarak, dan perubahan perilaku (psychotic dan schizophrenic) (Harli 2008).

Lisin merupakan bahan dasar antibodi darah dan memperkuat sistem sirkulasi. Mempertahankan pertumbuhan sel-sel normal. Bersama proline dan Vitamin C akan membentuk jaringan kolagen. Lisin mampu menurunkan kadar trigliserida darah yang berlebih. Lisin memiliki sifat mudah rusak akibat panas. Kekurangan lisin menyebabkan mudah lelah, sulit konsentrasi, rambut rontok, anemia, pertumbuhan terhambat dan kelainan reproduksi (Harli 2008).

Triptofan merupakan prekursor vitamin niasin dan pengantar syaraf serotonin (Almatsier 2006). Fungsinya dalam proses pembekuan darah dan pembentukan cairan pencernaan. Triptofan juga berperan sebagai bahan

(22)

pembentuk neuro-transmitter serotonin, triptopan berfungsi dalam pengendoran saraf dan membantu proses tidur (Harli 2008).

2.3.2 Asam amino non esensial

Asam amino non esensial adalah asam amino yang dapat dibuat dalam tubuh disebut juga asam amino endogen (Winarno 1997). Beberapa asam amino non esensial dapat dilihat pada Tabel 3

Tabel 3 Asam amino non esensial

Asam amino Singkatan tiga huruf Berat Molekul (g/mol)

Alanin Ala 89

Asam aspartat Asp 133,1 Asam glutamate Glu 147,2

Glisin Gly 75

Prolin Pro 115,1

Serin Ser 105,1

Tirosin Thr 181,1

Sistin Sis Sistin

Sumber: Hames dan Hooper (2005)

Asam amino non esensial memiliki manfaat yang baik untuk makhluk hidup. Di bawah ini akan dibahas beberapa asam amino non esensial serta manfaatnya.

Alanin berfungsi untuk memperkuat membran sel dan membantu metabolisme glukosa menjadi energi tubuh, sedangkan asam aspartat bermanfaat untuk penanganan pada kelelahan kronis dan peningkatan energi (Linder 1992).

Asam glutamat dapat diperoleh dari glutamin. Gugus amida yang terdapat pada molekul glutamin dapat diubah menjadi gugus karboksilat melalui proses hidrolisis dengan asam atau basa. Asam glutamat bermanfaat untuk menahan keinginan konsumsi alkohol berlebih, mempercepat penyembuhan luka pada usus, meningkatkan kesehatan mental dan meredam emosi (Linder 1992).

Glisin adalah asam amino yang dapat menghambat proses dalam otak yang menyebabkan kekakuan gerak seperti pada multiple sclerosis, sedangkan prolin adalah asam amino yang dapat diperoleh dari hasil hidrolisis kasein. Prolin berfungsi sebagai bahan dasar glutamic acid. Glisin bergabung dengan lisin dan vitamin C akan membentuk jaringan kolagen yang penting untuk menjaga kecantikan kulit, memperkuat persendian, tendon, tulang rawan dan otot jantung (Harli 2008).

(23)

Asam amino serin berfungsi membantu pembentukan lemak pelindung serabut syaraf (myelinsheaths). Penting dalam metabolisme lemak dan asam lemak, pertumbuhan otot dan kesehatan sistem imun serta membantu produksi antibodi dan immunoglobulin (Linder 1992).

Sistin berfungsi untuk membantu kesehatan pankreas, menstabilkan gula darah dan metabolisme karbohidrat, mengurangi gejala alergi makanan dan intoleransi. Sistin sangat dibutuhkan dalam pembentukan kulit, terutama penyembuhan luka bakar dan luka operasi. Membantu penyembuhan kelainan pernafasan misalnya bronkhitis serta meningkatkan aktifitas sel darah putih melawan penyakit (Harli 2008).

Tirosin merupakan asam amino yang mempunyai gugus fenol dan bersifat asam lemah. Asam amino ini dapat diperoleh dari kasein, yaitu protein utama yang terdapat dalam keju. Tirosin memiliki beberapa manfaat yaitu, dapat mengurangi stress, anti depresi serta detoksifikasi obat dan kokain (Linder 1992).

2.4 High Performance Liquid Chromatography (HPLC)

Kualitas suatu protein dapat ditentukan dengan mengetahui kandungan asam aminonya. Bila suatu protein dihidrolisis dengan asam, alkali atau enzim akan menghasilkan campuran asam-asam amino (Winarno 2008). Asam-asam amino esensial harus ada dalam jumlah yang cukup dalam makanan supaya aktivitas metabolisme tubuh tetap terjaga secara optimal (Buckle et al. 1978). Analisis asam amino bertujuan menentukan jenis dan jumlah asam amino yang terkandung dalam suatu protein bahan pangan.

Analisis asam amino ini sangat diperlukan, misalnya untuk menganalisis hasil industri makanan, makanan ternak, obat-obatan, analisis cairan biologi dan hidrolisat protein. Cara analisis asam amino yang masih lazim digunakan sampai saat ini adalah kromatografi dengan berbagai macam teknik misalnya kromatografi kertas, lapisan tipis dan kolom (Rediatning dan Kartini 1987). Akhir-akhir ini analisis asam amino menggunakan kromatografi cair dengan kinerja tinggi atau yang lebih dikenal dengan istilah High Performance Liquid Chromatography (HPLC) (Muchtadi 1989).

HPLC yang pada awalnya merupakan singkatan dari High pressure Liquid Chromatography karena metode ini memang merupakan suatu cara kromatografi

(24)

dengan menggunakan tekanan (Pressure). Namun, akhir-akhir ini dengan bertambah baiknya modifikasi dan penampakan dari peralatan, maka namanya berubah menjadi High Performance Liquid Chromathography (Salamah 1997).

HPLC merupakan suatu cara pemisahan komponen dari suatu campuran berdasarkan perbedaan distribusi/absorbs komponen diantara dua fase yang berbeda yaitu fase diam (stasioner) dan fase bergerak (mobil) (Salamah 1997). Pelarut yang lebih polar biasanya digunakan sebagai fase stasioner. Secara umum, dapat dikatakan bahwa kromatografi adalah suatu proses migrasi diferensial dimana komponen-komponen sampel ditahan secara selektif oleh fase diam (Sudarmadji et al. 2007).

Teknik HPLC mempunyai beberapa keuntungan, yaitu mampu membedakan asam amino D dan L, dapat bekerja lebih cepat dan pemisahan 24 asam amino dalam cairan fisiologik dapat diselesaikan dalam waktu 40 menit (Winarno 2008). Komponen utama alat yang dipakai dalam HPLC, antara lain: reservoir zat pelarut untuk fase mobil, pompa, injektor, kolom, detektor dan rekorder (Adnan 1997). Gambar alat kromatografi dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 High Performance Liquid Chromatograhy (HPLC)

(Sumber: Anonima 2009)

Pelarut-pelarut yang biasa digunakan dalam HPLC adalah air, metanol, asetonitril, kloroform dan pelarut-pelarut lain dalam keadaan murni (HPLC grade) (Salamah 1997). Sebelum dilakukan analisis asam amino dengan kromatografi

(25)

terlebih dahulu dilakukan pembuatan hidrolisat protein yang bertujuan memutuskan ikatan peptidanya dengan hidrolisis asam atau hidrolisis basa. Semua protein akan menghasilkan asam-asam amino bila dihidrolisis, tetapi ada beberapa protein yang masih berikatan. Hidrolisis asam yang umum digunakan dalam analisis asam amino yaitu HCl 6 N yang menyebabkan kerusakan triptofan dan sedikit juga kerusakan terjadi pada serin dan treonin. Hidrolisis basa biasanya menggunakan NaOH 2-4 N dan tidak merusak triptofan, tetapi menyebabkan deaminasi asam amino lain (Nur et al. 1992).

2.6 Penggorengan dengan Metode Deep Frying

Pemanasan merupakan suatu perlakuan suhu tinggi yang diberikan pada suatu bahan pangan yang bertujuan mengurangi populasi mikroorganisme atau membunuhnya yang ada di dalam bahan pangan. Perlakuan pemanasan biasanya dikombinasikan dengan perlakuan lainnya untuk mencegah rekontaminasi oleh mikroorganisme (Tamrin dan Prayitno 2008).

Deep frying merupakan salah satu sistem penggorengan dengan merendam seluruh bagian bahan yang digoreng di dalam minyak sebagai medium penghantar panas (Stevenson et al. 1984). Suhu normal dalam proses penggorengan adalah 163-196 °C (Weiss 1982). Menurut Ketaren (1986), minyak yang digunakan dalam proses penggorengan ini tidak boleh berbentuk emulsi dan harus mempunyai titik asap di atas suhu penggorengan. Jika pada proses penggorengan terbentuk asap, berarti minyak mengalami dekomposisi, sehingga menyebabkan bau dan rasa yang tidak enak.

Bahan makanan yang dimasukkan ke dalam ketel segera menerima panas dan kandungan air dalam bahan menguap yang ditandai dengan timbulnya gelembung-gelembung selama proses penggorengan. Bersamaan dengan itu, bahan pangan menyerap minyak dengan persentase yang cukup besar, tergantung jenis bahan yang digoreng. Selain itu, akan terjadi juga pelarutan sebagian komponen bahan dan terbentuk cita rasa akibat pemanasan protein, karbohidrat, lemak, dan komponen minor lainnya (Orthoefer 1989).

Proses penggorengan memberi efek yang merugikan terhadap nilai gizi. Efek tersebut terjadi karena reaksi antara amino group dari asam amino esensial, yaitu lisin dengan gula reduksi yang terkandung bersama-sama protein dalam

(26)

bahan pangan yang disebut reaksi Maillard. Pemanasan lebih lanjut dapat menyebabkan asam amino arginin, triptofan, dan histidin bereaksi dengan gula reduksi. Ketersediaan lisin dan asam amino dari protein yang diproses dengan pemanasan lebih kecil daripada protein yang tidak diproses karena terjadinya reaksi Maillard (Susilo 2008).

Pengolahan dengan menggunakan panas yang tinggi menyebabkan protein akan mengalami perubahan rasemisasi, hidrolisis, desulfurasi, dan deamidasi. Jika protein dipanaskan pada suhu sekitar 200 °C, residu asam aminonya akan mengalami dekomposisi dan pirolisis. Beberapa hasil pirolisis yang diisolasi dari daging panggang ternyata bersifat sangat mutagenik (Suwandi 1990).

Ayala et al. 2005 menyatakan bahwa proses pemasakan (salah satunya penggorengan) menyebabkan perubahan penting pada komponen urat daging (air, serat daging, jaringan penghubung dan adipose). Perubahan struktural yang disebabkan oleh panas dapat mempengaruhi tekstur dan parameter lain yang berhubungan dengan kualitas daging (Hurling et al. 1996). Selain itu, pemasakan dapat mengubah struktur jaringan daging yang disebabkan oleh koagulasi termal pada protein dan perubahan yang berhubungan dengan kadar air.

(27)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai Juni 2011 bertempat di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan dan Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Histopatologi, Fakultas Kedokteran Hewan dan Laboratorium Terpadu, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu ikan patin, minyak goreng, es, air, plastik tahan panas, aluminium foil, H2SO4, NaOH 40%, H3BO3,

indikator (cairan methyl red dan brom cresol green), HCl 6 N, metanol, pikolotiosianat, triethylamin, gas nitrogen, asetonitril 60%, natrium asetat 1 M, kertas saring Whatman, sarung tangan, enthellan, xylol I, xylol II, alkohol 70 %, 80%, 90%, 100%, pewarna eosin, air, pewarna hematoksilin, akuades, parafin, kertas kalender, kain kassa, dan larutan BNF (Buffered Neutral Formalin).

Alat-alat yang diperlukan, antara lain deep fryer, HPLC, pisau, mikroskop cahaya, timbangan digital, gelas ukur, gelas piala, oven, cawan, desikator, erlenmeyer, labu lemak, kjeltab, tabung soxhlet, dan pipet, mikroskop, gelas penutup, gelas objek, waterbath, mikrotom, silet, dan botol film.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini diawali dengan melakukan survei/sampling bahan baku ke lapangan untuk memperoleh informasi tentang asal sampel ikan patin dan lingkungannya. Selanjutnya dilakukan pengukuran morfometrik ikan meliputi panjang total, lebar total, tinggi total dan bobot total, serta rendemen ikan patin. Kemudian dilakukan beberapa analisis terhadap daging putih pada ikan patin segar dan goreng yaitu, analisis proksimat meliputi kadar air, abu, protein, dan lemak, analisis asam amino, serta pengamatan jaringan daging ikan patin menggunakan mikroskop cahaya. Diagram alir metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.

(28)

Gambar 5 Diagram alir metode penelitian

3.3.1 Persiapan contoh

Ikan patin hidup diperoleh dari kolam budidaya Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, IPB. Ikan patin segera dibawa ke laboratorium preparasi bahan baku dengan menggunakan plastik. Ikan patin dalam keadaan segar disimpan dalam wadah berisi es dan air untuk mempertahankan kesegaran, serta dicuci dengan air bersih untuk membersihkan kotoran yang melekat padanya. Kemudian dilakukan pengumpulan data morfometrik ikan patin (panjang, lebar, tinggi dan bobot ikan patin) serta pengukuran rendemen (daging, kulit dan jeroan) ikan patin. Bagian daging yang diambil untuk analisis adalah

fillet daging putih. Daging yang telah digoreng kemudian dicacah kecil-kecil, sedangkan daging segar dilumatkan agar homogen untuk mempermudah proses analisis kimia.

3.3.2 Penggorengan

Daging fillet ikan patin digoreng dalam minyak goreng (minyak sayur) sebanyak 4 L dengan suhu 190 °C selama ± 5 menit yang disetting pada alat. Rendemen

kulit

1 Analisis proksimat 2 Analisis asam amino 3 Pengamatan jaringan Rendemen jeroan Rendemen daging Ikan Patin

Penentuan ukuran dan bobot

Penggorengan (Suhu 190 0C,± 5 menit)

Daging putih fillet patin Ikan patin segar

(29)

Penggorengan dilakukan menggunakan deep fryer. Setelah proses penggorengan selesai, ikan yang telah digoreng ditiriskan menggunakan saringan.

3.3.3 Rendemen

Rendemen dihitung sebagai persentase masing-masing bobot bagian tubuh (daging, kulit, dan jeroan) ikan patin dari bobot awal. Adapun perumusan matematik adalah sebagai berikut:

Rendemen (%) = 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑏𝑎𝑔𝑖𝑎𝑛 𝑡𝑢𝑏𝑢 𝑕 𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑡𝑖𝑛 𝑔

𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 (𝑔) x 100%

3.3.4 Analisis Proksimat

Analisis proksimat yang dilakukan untuk menentukan komposisi kimia bahan baku. Kandungan kimia bahan baku dapat ditentukan jenis dan habitatnya (Winarno 2008). Analisi proksimat yang dilakukan meliputi kadar air, abu, protein dan lemak.

a) Analisis kadar air (AOAC 2005)

Analisis kadar air dilakukan untuk mengetahui kandungan atau jumlah air yang terdapat pada suatu bahan. Tahap pertama yang dilakukan pada analisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 °C selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (15 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Sampel seberat 1 gram ditimbang setelah terlebih dahulu digerus. Selanjutnya cawan yang telah diisi sampel tersebut dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102-105 °C selama 5-6 jam. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin (30 menit) kemudian ditimbang.

Kadar air dihitung dengan rumus berikut : % kadar air = 𝐵−𝐶

𝐵−𝐴 x 100%

Keterangan : A = Berat cawan kosong (gram)

B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (gram)

C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (gram)

b) Analisis kadar abu (AOAC 2005)

Prinsip dari analisis kadar abu yaitu untuk mengetahui jumlah abu yang terdapat pada suatu bahan terkait dengan mineral dari bahan yang dianalisis.

(30)

Cawan abu porselen dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven bersuhu sekitar 105 °C selama 30 menit. Cawan abu porselen tersebut dimasukkan ke dalam desikator (30 menit) dan kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam cawan abu porselen. Selanjutnya dibakar di atas kompor listrik sampai tidak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 oC selama 7 jam. Cawan dimasukkan di dalam desikator dibiarkan sampai dingin, kemudian ditimbang.

Rumus yang digunakan untuk penghitungan kadar abu adalah: % Kadar abu = 𝐶−𝐴

𝐵−𝐴 x 100%

Keterangan : A = Berat cawan porselen kosong (gram)

B = Berat cawan porselen dengan sampel (gram)

C = Berat cawan porselen dengan sampel setelah dikeringkan (gram)

c) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)

Sampel seberat 2 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan

dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan

tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 °C dengan menggunakan pemanas listrik selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3).

Kadar lemak ditentukan dengan rumus :

% Kadar lemak =W3− W2

W1 × 100%

Keterangan : W1 = Berat sampel (gram)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram)

(31)

d) Analisis kadar protein (AOAC 1995)

Analisis protein dilakukan dengan menentukan kandungan protein kasar (crude protein) pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein yaitu destruksi, destilasi dan titrasi.

(1) Tahap destruksi

Sampel ditimbang seberat 0,5 gram, kemudian dimasukkan ke dalam tabung Kjeltec. Satu butir Kjeltab dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke

dalam alat pemanas dengan suhu 410 oC ditambahkan 10 ml air. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi bening.

(2) Tahap destilasi

Isi labu dituangkan ke dalam labu destilasi, lalu ditambahkan dengan aquades (50 ml). Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml. Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam Erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes

indikator (cairan methyl red dan brom cresol green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperolah 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer.

(3) Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,09 N sampai warna larutan pada erlenmeyer berubah warna menjadi merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Perhitungan kadar nitrogen dalam bahan:

% Nitrogen = 𝑚𝑙 𝐻𝐶𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 −𝑚𝑙 𝐻𝐶𝑙 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 𝑥 0,1 𝑁 𝐻𝐶𝑙 𝑥 𝑓𝑝 𝑥 14

𝑚𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 x 100%

% Kadar protein = % Nitrogen x faktor konversi (6,25)

3.3.5 Analisis asam amino (AOAC 2005)

Komposisi asam amino ditentukan dengan menggunakan HPLC. Sebelum digunakan, perangkat HPLC harus dibilas dulu dengan eluen yang akan digunakan selama 2-3 jam. Begitu pula syringe yang akan digunakan dibilas dengan akuades. Analisis asam amino dengan menggunakan HPLC terdiri atas 4 tahap, yaitu: tahap pembuatan hidrolisat protein, tahap pengeringan, tahap derivatisasi, dan tahap injeksi serta analisis asam amino.

(32)

a. Tahap pembuatan hidrolisat protein

Sampel ditimbang sebanyak 3 mg dan dihancurkan. Sampel yang telah hancur dihidrolisis asam menggunakan HCl 6 N sebanyak 1 ml yang kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 110 oC selama 24 jam. Pemanasan dalam oven dilakukan untuk menghilangkan gas atau udara yang ada pada sampel agar tidak mengganggu kromatogram yang dihasilkan. Selain itu, pemanasan dilakukan untuk mempercepat reaksi hidrolisis.

b. Tahap pengeringan

Sampel yang telah dihidrolisis pada suhu kamar dipindahkan isinya ke dalam labu evaporator 50 ml, dibilas dengan 2 ml HCl 0,01 N dan cairan bilasan dimasukkan ke dalam labu evaporator. Proses ini diulangi hingga 2-3 kali. Sampel kemudian dikeringkan menggunakan rotary evaporator selama 15-30 menit untuk mengubah sistein menjadi sistin. Sampel yang sudah kering ditambah dengan 5 ml HCl 0,01 N kemudian disaring dengan kertas saring milipore.

c. Tahap derivatisasi

Larutan derivatisasi sebanyak 30 µl ditambahkan pada hasil pengeringan, larutan derivatisasi dibuat dari larutan buffer kalium borat dengan sampel 1:1 kemudian dicampurkan dengan larutan Ortoftalaldehida (OPA) dengan perbandingan 5:1 dengan sampel, selanjutnya campuran tersebut disaring menggunakan kertas saring Whatman.

d. Injeksi ke HPLC

Hasil saringan sebanyak 5 µl diinjeksikan ke dalam HPLC. Pemisahan semua asam amino ditunggu sampai selesai. Waktu yang diperlukan sekitar 25 menit. Perhitungan konsentrasi asam amino yang ada pada bahan dilakukan dengan pembuatan kromatogram standar dengan menggunakan asam amino yang telah siap pakai yang mengalami perlakuan yang sama dengan sampel. Kandungan asam amino dalam bahan dapat dihitung dengan rumus:

% Asam amino = Luas area sampel x C x Fp x BM x 100%

Luas area standar x bobot sampel

Keterangan:

C = Konsentrasi standar asam amino (0,5 µmol/ml) FP = faktor pengenceran (5 ml)

(33)

Kondisi alat HPLC saat berlangsungnya analisis asam amino sebagai berikut:

Temperatur : 27 oC (suhu ruang)

Jenis kolom HPLC : Ultra techspere (Coloum C-18) Kecepatan alir eluen : 1 ml/menit

Tekanan : 3000 psi

Fase gerak : Buffer Na-Asetat dan methanol 95% Detektor : Fluoresensi

Panjang gelombang : 350 nm-450 nm

3.3.6 Pengamatan mikroskopik jaringan daging ikan patin 3.3.6.1 Pembuatan preparat jaringan daging ikan patin

Pembuatan preparat histologi terdiri dari tiga tahapan, yaitu fiksasi jaringan dan parafinasi, pemotongan jaringan serta pewarnaan jaringan.

(1) Fiksasi jaringan dan parafinasi a) Fiksasi

Fiksasi adalah tahapan yang dilakukan untuk mencegah autolisis dan dekomposisi post-mortem dari suatu jaringan atau organ. Fiksasi juga bertujuan untuk mengawetkan morfologi dan komposisi jaringan, sehingga jaringan tetap seperti pada keadaan semula sewaktu hidup juga mengeraskan jaringan agar dapat diiris serta mencegah jaringan larut selama proses pembuatan preparat. Larutan fiksatif yang digunakan adalah larutan BNF (Buffered Neutral Formalin) yang mamiliki komposisi asam pikrat, formalin, dan asam asetat glasial dengan perbandingan 15:5:1. Jaringan direndam dalam larutan fiksatif selama 48 jam. Perendaman dilakukan di dalam botol film dengan volume larutan fiksatif sebanyak 15-20 kali volume jaringan.

b) Dehidrasi

Dehidrasi merupakan proses untuk mengeluarkan cairan dari dalam sel dengan cara merendam jaringan yang telah difiksasi ke dalam alkohol dimulai dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Pertama, jaringan direndam dalam alkohol 70% selama 24 jam. Perendaman dilakukan dalam botol film yang sebelumnya telah digunakan untuk perendaman dengan larutan fiksatif. Larutan fiksatif dibuang terlebih dahulu, kemudian alkohol dengan konsentrasi 70%

(34)

dimasukkan ke dalam botol film hingga jaringan terendam. Organ diambil dari dalam botol film dan dibungkus menggunakan kain kasa. Kemudian kain kasa diikat menggunakan benang yang dibentuk seperti teh celup agar memudahkan dalam proses pergantian alkohol. Setelah 24 jam, organ yang dibungkus kain kasa diambil dan ditiriskan di atas kertas tisu. Kemudian organ tersebut dimasukkan ke dalam botol berisi alkohol 80%, 90%, 95% masing-masing selama dua jam dan alkohol 100% selama 12 jam. Perendaman dilakukan pada suhu ruang.

c) Clearing

Clearing merupakan proses penjernihan yang bertujuan untuk menggantikan alkohol sekaligus menambahkan clearing agent (xylol) yang berfungsi sebagai pelarut parafin. Jaringan direndam dalam alkohol-xylol (1:1) selama 30 menit, dilanjutkan dengan xylol I, xylol II, dan xylol III masing-masing selama 30 menit. Perendaman dilakukan sama halnya seperti pada perendaman dengan alkohol pada suhu ruang.

d) Impregnasi

Impregnasi adalah tahap penggantian xylol dengan parafin cair yang berlangsung di dalam oven dengan suhu 60 °C. Proses ini dilakukan dengan perendaman jaringan ke dalam xylol-parafin (1:1) yang diletakkan dalam gelas piala selama 45 menit. Proses perendaman dilakukan dengan cara yang sama seperti proses perendaman sebelumnya.

e) Embedding

Embedding merupakan proses untuk memasukkan parafin cair ke dalam sel. Proses ini berlangsung di dalam oven dengan suhu 60 °C. Titik cair parafin yaitu 54-58 °C. Proses ini bertujuan agar parafin menyusup ke dalam seluruh celah antar sel dan bahkan ke dalam sel, sehingga jaringan lebih tahan saat pemotongan. Jaringan direndam secara berturut-turut ke dalam gelas piala yang berisi parafin I, parafin II, dan parafin III masing-masing selama 45 menit. Proses perendaman dilakukan dengan cara yang sama seperti proses perendaman sebelumnya.

f) Blocking

Jaringan yang telah dibenam dalam parafin cair lalu diblok (dicetak agar mudah dipotong) dengan parafin cair yang kemudian dibekukan. Proses ini

(35)

membutuhkan cetakan yang dapat dibuat dari kertas yang kaku misal kertas kalender dengan ukuran 2x2x2 cm3. Parafin cair dituangkan ke dalam cetakan hingga memenuhi 1/8 bagian cetakan dan dibiarkan hingga sedikit membeku. Jaringan disusun dalam cetakan dengan bagian sayatan yang diperlukan menghadap dasar cetakan dan dituangi parafin cair hingga material jaringan terendam. Selanjutnya dibiarkan membeku dalam suhu ruang selama 24 jam.

g) Trimming

Setelah parafin beku dengan sempurna, blok parafin dikeluarkan dari cetakan lalu ditrimming menggunakan silet bermata satu agar dapat disesuaikan dengan tempat blok pada alat pemotong.

(2) Pemotongan jaringan

Pemotongan jaringan dilakukan dengan menggunakan mikrotom. Ketebalan sayatan yaitu 4 mikron. Teknik pemotongan parafin yang mengandung adalah sebagai berikut.

a) Blok parafin yang mengandung preparat diletakkan pada tempat duduknya di mikrotom. Tempat duduk blok parafin beserta blok parafinnya kemudian diletakkan pada pemegangnya (holder) pada mikrotom yang dikunci dengan kuat. Mata pisau mikrotom harus tajam agar proses pemotongan dapat dilakukan dengan sempurna.

b) Ketebalan potongan diatur dengan cara menggeser bagian pengatur ketebalan hingga ketebalan yang diinginkan. Ketebalan sayatan yaitu 4 mikrometer. c) Blok preparat digerakkan ke arah pisau sedekat mungkin lalu balok preparat

dipotong secara teratur dan ritmis. Pita-pita parafin yang awal tanpa jaringan dibuang hingga diperoleh potongan yang mengadung preparat jaringan. d) Hasil irisan diambil dengan jarum, lalu diletakkan di permukaan air hangat

dalam 45-50 °C waterbath hingga mengembang.

e) Setelah pipa parafin terkembang dengan baik, pita parafin tersebut ditempelkan pada gelas objek yang telah diberi zat perekat, yaitu albumin dengan cara memasukkan kaca objek itu ke dalam waterbath dengan hati-hati agar pita parafin tidak melipat dan dibiarkan hingga mengering.

(3) Pewarnaan jaringan

Pewarnaan jaringan meliputi proses dewaxing, hidrasi, pewarnaan hematoksilin-eosin, dehidrasi, dan mounting.

(36)

a) Dewaxing

Sebelum dilakukan dewaxing, gelas objek yang berisi jaringan diletakkan dalam keranjang preparat yang ukurannya sesuai dengan gelas objek. Keranjang tersebut dapat diisi dengan 10 gelas objek. Dewaxing merupakan proses untuk mengeluarkan parafin. Wadah perendaman berupa wadah berbentuk persegi panjang yang ukurannya sesuai dengan keranjang untuk gelas objek. Jaringan pada gelas objek yang telah diletakkan dalam keranjang kemudian direndam dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama dua menit.

b) Hidrasi

Hidrasi merupakan proses pemasukan air ke dalam preparat jaringan pada gelas objek setelah proses dewaxing. Jaringan pada gelas objek yang sebelumnya telah melalui proses dewaxing kemudian direndam dalam alkohol 100% dalam wadah perendaman seperti pada proses dewaxing sebanyak dua kali, lalu secara berturut-turut dimasukkan ke dalam alkohol 95%, 90%, 80%, 70%, dan 50% masing-masing selama dua menit dengan cara yang sama pula. Setelah itu, preparat jaringan direndam ke dalam akuades selama dua menit.

c) Pewarnaan hematoksilin-eosin

Setelah hidrasi, preparat jaringan diberi pewarna hematoksilin-eosin. Pertama, preparat jaringan direndam dengan pewarna hematoksilin selama tujuh menit, kemudian dicuci dengan air mengalir selama tujuh menit untuk menghilangkan kelebihan zat warna yang tidak diserap. Selanjutnya preparat jaringan direndam dengan pewarna eosin selama tiga menit dan dicuci dengan akuades. Alat dan proses perendaman yang dilakukan sama seperti proses perendaman sebelumnya.

d) Dehidrasi

Preparat jaringan kemudian direndam dalam alkohol 70%, 85%, 90%, dan 100% masing-maisng dilakukan selama dua menit. Selanjutnya preparat jaringan direndam dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama dua menit. Alat dan proses perendaman yang dilakukan sama seperti proses perendaman sebelumnya.

e) Mounting

Preparat jaringan yang telah diwarnai dapat dibuat preparat yang lebih awet dengan cara mounting menggunakan mounting agent, yaitu enthellan.

(37)

Preparat jaringan ditutup dengan gelas penutup yang sudah ditetesi enthellan yang dikeringkan dalam oven pada suhu 40 °C selama 24 jam.

3.3.6.2 Pengamatan preparat jaringan daging ikan patin

Preparat jaringan diamati di bawah mikroskop Micros Austria MC300 dengan perbesaran mulai dari 100x hingga 400x sesuai dengan kejelasan objek. Setelah itu, didokumentasikan menggunakan kamera Kodak M863. Hasil pengamatan jaringan dinyatakan dalam bentuk gambar dan dituliskan secara deskriptif serta dibandingkan antara jaringan daging ikan patin segar secara umum dengan jaringan daging ikan patin akibat pengaruh penggorengan.

(38)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Ukuran dan Bobot Ikan Patin

Ikan patin yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari kolam budidaya, Dramaga, Bogor. Ikan patin yang digunakan berupa sampel segar utuh untuk pengukuran panjang, lebar, tinggi, dan bobot total. Ikan patin ini memiliki kulit berwarna hitam kebiruan di bagian atas dan warna putih keperakan di bagian bawah. Daging patin segar dan goreng yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

(a) (b) Gambar 6 Daging patin segar (a) dan goreng (b)

Ikan patin yang digunakan dalam penelitian ini hanya bagian daging. Daging segar yang digunakan berwarna putih kemerahan dengan aroma spesifik daging patin dan tidak berbau amis. Setelah melalui proses penggorengan, daging berwarna coklat keemasan. Penggorengan pada suhu minyak antara 180-190 °C menghasilkan tingkat kegaringan yang baik dan daging tetap kelihatan basah (Zaitsev etal. dalam Suwandi 1990).

Berdasarkan hasil pengukuran, diperoleh data mengenai ukuran dan bobot dengan menggunakan 30 sampel. Parameter yang diamati yaitu panjang, lebar, tinggi dan bobot total. Data morfometrik panjang, lebar, tinggi, dan bobot ikan dapat dilihat pada Lampiran 1. Rata-rata panjang, lebar, tinggi dan bobot ikan patin dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Ukuran panjang dan bobot patin No. Parameter Satuan Nilai

1 Panjang cm 35,55 ± 2,83 2 Lebar cm 4,85 ± 0,74 3 Tinggi cm 6,38 ± 0,94 4 Bobot gram 397,13 ± 36,06

(39)

Tabel 4 menunjukkan bahwa ikan patin memiliki panjang 35,55 cm, lebar 4,85 cm, tinggi 6,38 cm, dan bobot rata-rata 397,13 gram. Menurut Susanto dan Amri (2002), panjang ikan patin yang dibudidayakan selama 6 bulan bisa mencapai 35-40 cm.

Ukuran dan berat ikan patin dipengaruhi oleh pertumbuhan, jenis kelamin, umur, makanan dan lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan. Pertumbuhan adalah perubahan ukuran, baik berat, panjang maupun volume dalam laju perubahan waktu. Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dalam dan luar. Faktor dalam merupakan faktor yang sukar untuk dikontrol, contohnya genetik. Adapun faktor luar merupakan faktor yang dapat dikontrol, diantaranya adalah makanan dan suhu (Effendi 1997).

Daging yang telah digoreng kemudian dicacah kecil-kecil, sedangkan daging segar dilumatkan agar homogen untuk mempermudah proses analisis kimia. Bahan baku daging patin segar dan goreng kemudian dibungkus dengan aluminium foil dan dimasukkan ke lemari pendingin untuk mencegah terjadinya kemunduran mutu bahan baku.

4.2 Rendemen Ikan Patin

Rendemen adalah presentasi bobot bagian tubuh yang dapat dimanfaatkan sehingga menghasilkan nilai ekonomis dari suatu bahan baku. Semakin tinggi nilai rendemen dari bahan baku, maka semakin tinggi pula nilai ekonomisnya. Perhitungan rendemen didapatkan dengan membandingkan berat masing-masing bagian tubuh dengan berat ikan patin utuh. Persentasi rendemen daging, kulit dan jeroan ikan patin segar dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Rendemen daging, kulit, dan jeroan ikan patin segar 38,56% 3,73% 14,47% 43,28% Daging Kulit Jeroan Lain-lain

(40)

Berdasarkan Gambar 7, diketahui bahwa rendemen daging patin mencapai 38,56%. Hasil tersebut mendukung hasil penelitian Hustiany (2005) yang menyatakan ikan patin hasil budidaya yang berukuran 500-1000 gram memiliki rendemen daging sebanyak 30-42,5%. Rendemen kulit dan jeroan patin berturut-turut adalah 3,37% dan 14,43%.

Rendemen hasil perikanan berbeda-beda tergantung dari ukuran, berat dan jenisnya. Bagian kepala, tulang, dan sirip umumnya belum dimanfaatkan secara maksimal dan menjadi limbah padatan, padahal bagian ini menyumbang sebesar 43,28% dari bobot total ikan patin. Kepala, tulang, dan sirip sisa pengolahan dapat dimanfaatkan untuk menbuat flavor ikan yang gurih sebagai pelengkap makanan. Tulang ikan juga berpotensi dijadikan tepung tulang yang kaya akan kalsium dan fosfor, sehingga dapat digunakan sebagai sumber alternatif pemenuhan kebutuhan kalsium dan fosfor. Selain itu, limbah tersebut dapat dijadikan sebagai bahan untuk pakan hewan (Thalib 2009). Kulit patin berpotensi sebagai bahan baku pembuatan gelatin (Dianti 2008).

4.3Hasil Analisis Kimia

Hasil analisis kimia yang dilakukan pada penelitian ini memberikan informasi mengenai komposisi proksimat, serta asam amino daging patin segar dan goreng.

4.3.1 Komposisi Proksimat

Analisis mengenai komposisi kimia suatu bahan pangan sangat penting dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai kandungan gizi yang terdapat di dalam bahan pangan tersebut. Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengetahui komposisi kimia kandungan suatu bahan pangan. Salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui komposisi kimia suatu bahan pangan secara kasar (crude) adalah analisis proksimat yang meliputi kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat. Analisis kadar air, abu, lemak, dan protein dilakukan di

laboratorium, sedangkan perhitungan kadar karbohidrat dihitung secara

by difference.

Hasil analisis proksimat daging patin dapat dilihat pada Tabel 5. Contoh perhitungan komposisi kimia daging patin dapat dilihat pada Lampiran 2.

(41)

Tabel 5 Komposisi kimia daging patin segar dan goreng Komposisi

Daging patin segar (%) Daging patin goreng (%)

selisih (%) Basis basah (bb) Basis kering (bk) Basis basah (bb) Basis kering (bk) Air 82,27 - 63,56 - 22,74 Abu 0,77 4,34 0,91 2,50 42,40 Lemak 0,36 2,03 7,34 20,14 89,92 Protein 15,07 85,00 19,45 53,38 37,20 Karbohidrat 1,53 8,63 8,74 23,98 64,01

Kandungan bahan dalam produk merupakan parameter penting bagi konsumen dalam mempertimbangkan pemilihan makanan yang dikonsumsinya. (1) Kadar air

Analisis kadar air dilakukan untuk mengetahui jumlah air bebas yang terdapat dalam daging ikan patin. Kadar air dalam ikan patin menunjukkan persentase tertinggi dibandingkan dengan kadar abu, protein, lemak, dan karbohidrat. Kadar air daging patin segar dan goreng dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Kadar air (bk) daging patin segar dan patin goreng

Kadar air yang terdapat pada daging patin mengalami perubahan proporsi dari 82,27% pada daging patin goreng menjadi 63,56% (bb) pada daging patin goreng. Tingginya kadar air pada daging disebabkan oleh kemampuan bahan untuk mengikat air yang disebut water holding capacity (WHC). Molekul air akan terikat melalui ikatan hidrogen berenergi besar. Kadar air yang tinggi dalam ikan segar menunjukkan air yang tidak terikat dalam jaringan suatu bahan atau air murni. Daging patin segar memiliki kadar air yang tinggi yakni 82,27%. Hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Maghfiroh (2000), yaitu kadar air patin sebesar 82,22%. Hal ini menunjukkan ikan patin adalah bahan pangan

82,27 63,56 0 20 40 60 80 100 Air K ad ar ( % )

daging patin segar daging patin goreng

(42)

yang bersifat mudah rusak (high perishable food). Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan daya terima, kesegaran dan daya simpan bahan tersebut (Winarno 2008).

Setelah daging ikan digoreng terjadi penurunan kadar air yang dipengaruhi oleh faktor pemasakan, sehingga menyebabkan cairan dari dalam daging patin merembes keluar (terjadi drip) (Nurjanah et al. 2009). Pada saat daging ikan digoreng, terjadi pindah panas dari sumber panas penggoreng ke daging melalui media pindah panas, yaitu minyak goreng. Akibat proses pemanasan tersebut, daging patin akan melepaskan uap air yang dikandungnya. Daging patin memiliki struktur yang porous. Selama penggorengan, air dan uap air akan dikeluarkan melalui kapiler yang lebih besar terlebih dahulu dan digantikan oleh minyak panas. Adanya perbedaan tekanan uap air pada bagian dalam bahan pangan yang basah dengan minyak merupakan gaya yang mendorong terjadinya kehilangan air (Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010).

(2) Kadar abu

Kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam bahan tersebut. Kadar abu (bb) daging patin segar adalah 0,77%. Menurut hasil penelitian Maghfiroh (2000), kadar abu patin sebesar 0,74%. Perbedaan komposisi kimia dapat terjadi antar spesies, antar individu

dalam suatu spesies dan antara bagian tubuh satu dengan yang lain (Suzuki 1981 dalam Nurjanah et al. 2009). Variasi ini dapat disebabkan beberapa

faktor, diantaranya musim, ukuran, tahap kedewasaan, suhu lingkungan dan ketersediaan bahan makanan (Sudhakar et al. 2009). Kadar abu daging patin segar dan patin goreng dengan basis kering dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Kadar abu (bk) daging patin segar dan patin goreng

4,34 2,5 0 2 4 6 8 10 Abu K ad ar ( % )

daging patin segar daging patin goreng

(43)

Penentuan pada berat basis kering dimaksudkan untuk mengetahui besar perubahan sesungguhnya yang terjadi pada kadar abu daging patin setelah proses penggorengan dengan mengabaikan kadar airnya. Berdasarkan Gambar 9, kandungan abu patin goreng lebih rendah dibandingkan kandungan abu daging patin segar. Kadar abu daging patin segar mencapai 4,34% (bk), namun setelah digoreng terjadi perubahan menjadi 2,50% (bk). Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya proses penggorengan. Penggorengan dapat mempengaruhi nilai gizi suatu bahan pangan.

Proses penggorengan dapat menyebabkan kandungan gizi suatu bahan menurun akibat panas. Perubahan proporsi mineral dalam daging patin goreng disebabkan oleh adanya sejumlah mineral yang larut dan terbawa ke dalam minyak saat proses penggorengan. Menurut Debnath et al. (2003), deep fat frying

biasanya melibatkan tiga tipe pindah massa, yaitu (a) migrasi air dari bagian inti bahan pangan ke permukaan yang terbuang selama pemasakan; (b) absorpsi minyak ke dalam bahan pangan; dan (c) leaching komponen bahan pangan yang bersifat mudah larut ke dalam minyak. Mineral (abu) adalah komponen yang mudah larut dalam air atau minyak.

(3) Kadar lemak

Lemak adalah salah satu komponen utama yang terdapat dalam bahan pangan selain karbohidrat dan protein, oleh karena itu peranan lemak dalam menentukan karakteristik bahan pangan cukup besar. Lemak merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Satu gram lemak dapat menghasilkan 9 kkal/gram energi sedangkan karbohidrat dan protein hanya menghasilkan 4 kkal/gram.

Analisis kadar lemak yang dilakukan untuk mengetahui kandungan lemak yang terdapat pada daging patin segar dan setelah penggorengan. Ikan patin merupakan ikan berlemak rendah. Menurut Junianto (2003), ikan dengan kandungan lemak <5% termasuk ikan berlemak rendah. Berdasarkan perhitungan basis basah, kadar lemak daging patin pada penelitian ini adalah 0,36%, sedangkan menurut Maghfiroh (2000) kadar lemak patin yaitu 1,09%. Perbedaan nilai lemak ini dapat disebabkan karena umur panen dan laju metabolisme organisme.

Gambar

Gambar 1 Ikan patin (Pangasius hypophthalmus)
Gambar 2  Urat daging kerangka   Sumber : Kusmawan D (2011)
Tabel 2 Asam amino esensial
Gambar 4 High Performance Liquid Chromatograhy (HPLC)   (Sumber: Anonim a
+7

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu adanya informasi mengenai kandungan gizi, jenis asam amino, asam lemak dari filet ikan patin lokal, dan warna daging ikan pada penelitian ini

Oleh karena itu adanya informasi mengenai kandungan gizi, jenis asam amino, asam lemak, dan warna daging ikan patin pada penelitian ini penting dilakukan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari rendemen dan komposisi proksimat (air, abu, protein, dan lemak) daging belut segar dan setelah proses penggorengan juga

Analisis Kadar Protein dan Identifikasi Asam Amino pada Ikan Patin (Pangasius djambal); Meirinda Hermiastuti, 081810301047; 2013: 32 halaman; Jurusan Kimia

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari rendemen dan komposisi proksimat (air, abu, protein, dan lemak) daging belut segar dan setelah proses penggorengan

Asam amino ikan kembung lelaki segar dan goreng yang terdeteksi adalah 15 jenis yang terdiri dari 9 asam amino esensial dan 6 asam amino non-esensial.. Asam amino esensial

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari rendemen dan komposisi proksimat (air, abu, protein, dan lemak) daging belut segar dan setelah proses penggorengan juga

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kadar proksimat (air, protein, lemak, abu, karbohidrat), profil asam lemak, kolesterol, dan struktur jaringan skin on fillet ikan