• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS Diajukan Kepada Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum. Oleh: Tri Mulyani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TESIS Diajukan Kepada Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum. Oleh: Tri Mulyani"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

Izin Presiden Untuk Melakukan Pemeriksaan Terhadap Kepala Daerah Yang Diduga

Melakukan Tindak Pidana Korupsi

( Kajian Dalam Perspektif Equality Before The Law )

TESIS

Diajukan Kepada

Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Oleh: Tri Mulyani 32 2008 004

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

2010

  i

(2)

Halaman Pengesahan

Judul Tesis : Izin Presiden Untuk Melakukan

Pemeriksaan Terhadap Kepala Daerah Yang Diduga Melakukan Tindak Pidana Korupsi ( Kajian Dalam Perspektif Equality Before The Law )

Nama Mahasiswa : Tri Mulyani NPM : 322008004

Program Studi : Magister Ilmu Hukum

Menyetujui:

Pembimbing I

Kustadi, SH, MHum

Pembimbing II

Dr. Bambang Suteng S,Msi

Mengesahkan,

Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum

Dr. Tri Budiyono, SH, Mhum

(3)

  iii

Surat Pernyataan

Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Tri Mulyani

NPM : 322008004

Progdi : Magister Ilmu Hukum

Program Pascasarjana UKSW Alamat Tetap : Ds. Butuh, Tengaran, Semarang.

Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya dan dengan penuh kesadaran bahwa dalam menulis tesis dengan judul: ”Izin Presiden Untuk Melakukan

Pemeriksaan Terhadap Kepala Daerah Yang Diduga Melakukan Tindak Pidana Korupsi ( Kajian Dalam Perspektif Equality Before The Law )”, Saya tidak

melakukan tindakan plagiasi atau mengambil alih seluruh atau sebagian besar karya tulis orang lain tanpa menyebutkan sumbernya. Jika saya terbukti melakukan tindakan plagiasi, bersedia dicabut hak saya sebagai mahasiswa atau dicabut kembali gelar yang sudah diberikan dan akibat hukum lainnya.

Salatiga, September 2010 Yang membuat pernyataan,

(4)

Motto

Siapa mempercayakan diri kepada kekayaannya akan jatuh,

tetapi orang benar akan tumbuh seperti daun muda

(Amsal 11:28)

Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan,...Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambat

akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap

hijau, yang tidak khawatir dalam tahun kering, yang tidak berhenti menghasilkan buah

(5)

  v

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkah, rahmat serta karunia- Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul “Izin Presiden Untuk Melakukan

Pemeriksaan Terhadap Kepala Daerah Yang Diduga Melakukan Tindak Pidana Korupsi ( Kajian Dalam Perspektif Equality Before The Law )”

Penyusunan Tesis ini bertujuan untuk memenuhi dan melengkapi persyaratan guna mencapai Gelar Magister Ilmu Hukum pada Program Pasca Sarjana Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Prof, Pdt. John A. Titeley, Ph.D, selaku Rektor Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga yang telah memberikan persetujuan dalam hal pengangkatan dosen pembimbing melalui SK pembimbingan.

2. Dr. Tri Budiyono, SH, MHum, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, yang telah memberikan pelayanan kepada penulis dalam hal penyelenggaraan akademik sehingga penulis dapat

(6)

menyelesaikan Tesis ini dengan tidak hambatan apapun.

3. Kustadi, SH, MHum, selaku Pembimbing I yang penuh kesabaran dan ketulusan hati telah mencurahkan dan memberikan arahan, petunjuk, dan saran-saran kepada penulis sehingga dapat terwujud Thesis sesuai yang diharapkan.

4. Dr. Bambang Suteng Sulasmono, Msi, selaku Pembimbing II yang penuh kesabaran dan ketulusan hati telah mencurahkan dan memberikan arahan, petunjuk, dan saran-saran kepada penulis sehingga dapat terwujud Thesis sesuai yang diharapkan .

5. Titon Slamet Kurnia, SH, MHum, selaku penguji dalam pelaksanaan seminar proposal, yang telah memberikan banyak masukan guna sempurnanya penulisan tesis ini.

6. Prof. Teguh Prasetyo, SH, Msi, selaku penguji I dalam pelaksanaan ujian tesis, yang telah memberikan banyak masukkan, sehingga tesis ini dapat tersusun dengan baik.

7. Umbu Rauta, SH, Mhum, selaku penguji II dalam pelaksanaan ujian tesis, yang telah memberikan banyak masukkan, sehingga tesis ini dapat tersusun dengan baik.

(7)

  vii

8. Widya, selaku Staf Karyawan Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga yang telah membantu kelancaran berupa sara prasarana sehingga penulis dapat dengan cepat menyelesaikan Tesis.

9. Suami, anak, Ibu dan Bapak serta saudara tersayang yang telah memberikan dukungan materiil maupun spirituil dalam menyelesaikan pendidikan di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan Tesis ini baik secara materiil maupun spirituil yang tidak dapat penulis sebutkan.

Penulis menyadari bahwa Tesis ini jauh dari sempurna, banyak kekurangan, hal tersebut bukan suatu kesengajaan melainkan semata - mata karena kekurangan dan keterbatasan dari penulis.

Oleh karena itu kepada seluruh pembaca mohon memaklumi dan dapat memberikan kritik serta saran yang membangun, agar bisa memberikan sumbangsih pada bidang Ilmu Hukum khususnya Hukum Tata Negara.

Salatiga, September 2010

(8)

Sari Pati

Tulisan ini merupakan studi terhadap konsistensi pertentangan hukum antara Pasal 36 Ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah dengan prinsip equality before the law dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Manfaat dari penulisan ini secara teoretis diharapkan dapat digunakan sebagai kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum, khususnya Hukum Tata Negara, dan secara praktis diharapkan dapat dijadikan wacana yang berharga bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah. Metode dalam penulisan ini menggunakan tipe yuridis normatif dengan pendekatan Conceptual, Philosophical, dan Historical. Spesifikasi penulisan deskriptis analitis, teknik pengumpulan data studi kepustakaan dan analisis data secara deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketentuan izin Presiden untuk melakukan pemeriksaan terhadap Kepala Daerah yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, didasarkan atas usulan dari APPSI yaitu untuk menjaga stabilitas dan mencegah terjadinya perusakan citra Pemerintah Daerah. Ketentuan izin Presiden tidak berkesesuaian dengan Pasal 27 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan prinsip negara hukum equality before the law, karena menurut A.V Dicey, doktrin equality before the law mengajarkan mengenai persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court, yang berarti bahwa tidak ada orang yang berbeda di hadapan hukum.

(9)

  ix

Abstract

This write is a study about the consistency between law conflict Article 36 Subsection (1) Decree No. 32 2004 about Local Government with the principle of equality before the law in Article 27 Subsection (1) Decree of the Republic of Indonesia 1945. An advantage of this writing is that theoretically it is expected to be able to be used as a contribution in the development of knowledge in the law field, especially in state law matters, and practically it is expected to become a valuable expression for those parties involved in examining corruption criminal actions that are done by Area Representatives. The method used in this research is a normative juridical type with conceptual, philosophical, and historical approaches. The specification of this writing is an analytical description. The data gathering technique is library study and the data analysis is deductive. The research results show that the appearance of President permission to examining corruption criminal actions that are done by Area Leaders which is based on a suggestion from APPSI to maintain the stability and prevent the occurrence of damaging the image of the local government. That appearance President permission not in accordance with Article 27 Subsection (1) Decree of the Republic of Indonesia 1945 which is a state law principle of equality before the law, because according to A.V. Dicey, the equality before the law doctrine teaches about equality before the law or the same submission from all classes to the ordinary law of the land which is carried out by an ordinary court, which means that no one is different before the law.

Keywords: President permission, Local Government, Corruption

     

(10)

DAFTAR ISI

Hal

Halaman Judul……… i

Halaman Pengesahan……… ii

Surat Pernyataan………...… iii

Motto ………...… iv Kata Pengantar………... v Saripati ………..… viii Abstract ………... ix Daftar Isi………... x BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah….………... 1

1.2. Rumusan Masalah ………..………... 14

1.3. Tujuan Penelitian ...………... 15

1.4. Manfaat Penelitian…….…...……….… 18

1.5. Sistematika Penulisan . …...….… 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Negara Hukum. ....……...………… 23

(11)

  xi

2.1.2. Unsur-Unsur...……… 26

2.1.3. Negara Hukum Demokratis.. 29

2.1.4. Negara RI Negara Hukum... 32

2.1.5. Teori Stufentbau...………... 39

2.2. Izin...………...………… 41

2.2.1. Pengertian...……… . 41

2.2.2. Fungsi...………...…. 41

2.2.3. Kedudukan Presiden Sebagai Pemberi Izin...………... 42

2.2.4. Kewenangan Presiden Sebagai Pemberi Izin...………..… 45

BAB III METODE PENELITIAN …………...……… 50

3.1. Jenis Penelitian. ………..……… 50

3.2. Pendekatan Penelitian...…… 50

3.3. Spesifikasi Penelitian...……. 51

3.4. Teknik Pengumpulan Data ...….. 52

(12)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian...………...……….. 54

4.1.1. Doktrin Equality Before The Law...………… 54

4.1.1.1.Asal Mula .…... 54 4.1.1.2.Perkembangan

Pengaturan………. 63 4.1.2. Izin Bagi Pejabat...……….... 69

4.1.2.1.Sejarah Izin

Pejabat...……… 69 4.1.2.2.Pengaturan Izin

Pejabat………... 78 4.1.3.Izin Presiden Untuk Melakukan

Pemeriksaan Terhadap Kepala

Daerah...………... 85 4.1.3.1.Kedudukan Kepala Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan…....…….. 85 4.1.3.2.Perkembangan Pengaturan.………... 103

(13)

  xiii 4.1.3.3.Legal Consideration Pasal 36 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004... 103 4.3.Analisis...………...……… 109 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan...…………...……… 150 5.2. Saran...………...………. 151 DAFTAR PUSTAKA... 117 LAMPIRAN...………...………... 127

Lampiran 1 Jumlah Kasus Kepala Daerah Yang Diduga Melakukan Tindak Pidana Korupsi………...……... 127

Lampiran 2 Aparat yang menangani Kasus Kepala Daerah Yang Diduga Melakukan Tindak Pidana Korupsi …………...…... 128

Lampiran 3 Daftar korupsi Kepala Daerah Tingkat Provinsi………...…….. 129

(14)

Lampiran 4 Daftar korupsi Kepala Daerah

Tingkat Kabupaten…...…………. 132 Lampiran 5 Daftar korupsi Kepala Daerah

(15)

  1

      

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dengan penegasan tersebut, berdasarkan perspektif resmi, Indonesia adalah negara hukum, sehingga hukum harus memainkan peranan yang menentukan atau menjadi sentral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia.1

Konsep negara hukum di Indonesia disepadankan dengan pendapatnya Albert Venn Dicey (Inggris) yaitu “Rule of law”. Penyelenggaraan rule of law bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan perdamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat (Welfarestate). Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka harus mempunyai beberapa unsur sebagai berikut:2

 

1Ismail Saleh dan Mulyana W. Kusumah dalam Mahfud MD, Pergulatan Politik Dan Hukum Di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hal 30-31.

2 Dicey, A.V. Pengantar Study Hukum Konstitusi, Cetakan Kedua, Nusamedia, Bandung, 2008, hal 251-266.

(16)

(1) Supremacy of law, yaitu hukum memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbitrry power dan meniadakan kesewenang-wenangan, prerogatif atau discretionary authority yang luas dari pemerintah;

(2) Equality before the Law, yaitu persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court, yang berarti bahwa tidak ada orang yang berbeda di atas hukum; (3) Due Process of Law, yaitu pengakuan adanya

perlindungan hukum terhadap hak-hak yang dimiliki warga masyarakat. Dengan demikian, maka segala tindakan pejabat harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan (asas legalitas).

Dengan inti ajaran dari A.V. Dicey tersebut, khususnya equality before the law, nampaknya telah mengilhami para founding fathers Bangsa Indonesia pada saat menyusun UUD 1945, dan dicantumkan dalam Pasal 27 ayat (1), yang dinyatakan bahwa:

”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, di mana hukum memiliki kedudukan yang tertinggi (berdaulat) di dalam suatu negara, sehingga proses penyelenggaraan bernegara dan bermasyarakat senantiasa bertumpu pada ketentuan hukum. Dengan demikian hukum merupakan acuan yang harus diperhatikan oleh pejabat maupun warga masyarakat.

(17)

  3

      

Sehubungan itu, hukum tidak membeda-bedakan (diskriminasi) para pejabat maupun warga masyarakat. Ciri yang demikian menurut A. V. Dicey disebut equality before the law. Persamaan di hadapan hukum ini merupakan landasan konstitusional yang tidak boleh dilanggar, namun dalam perkembangannya menunjukkan bahwa dasar konstitusional tersebut di atas tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dalam pelaksanaan untuk memeriksa khususnya Kepala Daerah yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, aparat penegak hukum dari Kepolisian maupun Kejaksaan memerlukan adanya izin dari Presiden terlebih dahulu.

Izin merupakan salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi negara. Izin (vergunning) adalah persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan”.3 Jadi dalam hal ini, izin diberikan oleh

Presiden selaku pejabat pemerintah yang berwenang sebagai tanda persetujuan untuk suatu keadaan yang dilarang. Keputusan izin yang diberikan oleh Presiden

 

3 Spelt dan Ten Berge yang disunting Philipus M. Hadjon,

Pengantar Hukum Perizinan (Bahan Penataran Hukum Administrasi dan Hukum Lingkungan), Fakultas Hukum UNAIR, Surabaya, 1992, hal 1.

(18)

      

ini merupakan suatu keputusan Tata Usaha Negara (TUN) yaitu keputusan sepihak dari organ pemerintah yang diberikan atas dasar wewenang ketatanegaraan atau ketatausahaan yang menciptakan bagi satu atau lebih keadaan konkrit, individual, suatu hubungan hukum, menetapkannya secara mengikat atau membebaskannya, atau dalam mana itu ditolak.4 Jadi

izin yang diberikan oleh presiden kepada Kepolisian maupun Kejaksaan ini bersifat konkret, artinya tidak bersifat umum/tidak abstrak objeknya, dalam hal ini hanya ditujukan khusus bagi pemohon, baik dari Kepolisian maupun Kejaksaan, dan bersifat individual, artinya tidak untuk umum, melainkan tertentu berdasarkan apa yang dituju oleh keputusan itu. Dengan demikian izin yang diberikan oleh Presiden ini khusus dipergunakan untuk melakukan pemeriksaan5

Kepala Daerah yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. 6

Peraturan mengenai izin dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh Kepala

 

4 Ibid, hal 14.

5 Menurut Arens dan Lobbecke (1997), pemeriksaan adalah suatu proses yang dilakukan oleh orang yang cakap dan independen untuk menghimpun dan mengevaluasi bukti-bukti mengenai keberadaan suatu entity dengan tujuan memberi opini tingkat laporan dengan tingkat kesesuaian pernyataan yang seperti standar yang sudah di tentukan sebelumnya

6 Menurut Poerwadarminta (1966) korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.

(19)

  5

      

Daerah, tertuang dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang dinyatakan bahwa:

”Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan Penyidik”.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam suatu pemeriksaan terhadap Kepala Daerah yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, penyelidik dan penyidik harus memperoleh izin atau persetujuan dari presiden. Tanpa izin tertulis dari presiden, pemeriksaan tidak dapat begitu saja dilakukan. Tujuan untuk memeriksa Kepala Daerah ini adalah guna mengetahui terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan untuk mengetahui siapa yang bersalah yang harus memikul tanggung jawab pidana tersebut.

Permasalahan korupsi di Indonesia sudah sangat kompleks. Korupsi terjadi dalam semua tingkatan baik dari kalangan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Korupsi yang terjadi di Indonesia dapat dikatakan sebagai suatu bagian dari budaya (sub cultural). Korupsi mulai dari pusat tersebar di seluruh kepulauan Indonesia dari Sabang sampai Merauke.7 Korupsi marak terjadi di

 

7 Rasyid Noor, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hal 2.

(20)

      

daerah sejak adanya kebijakan otonomi tahun 1999. Otonomi daerah memberikan wewenang yang sangat besar kepada Kepala Daerah yaitu Gubernur, Bupati, Walikota dalam mengelola dana pusat yakni Dana Perimbangan yang terdiri Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus.8

Wilayah Indonesia, dari Sabang sampai Merauke terbagi ke dalam 33 Provinsi yang terdiri atas 400 Kabupaten, 92 Kota, 1 Kabupaten Administrasi, dan 5 Kota Administrasi, yang dalam rangka pelaksanaan roda pembangunan masing-masing dipimpin oleh seorang Kepala Daerah.9 Jumlah Kepala Daerah yang

diduga melakukan tindak pidana korupsi yang dapat dihimpun dari catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) mulai dari tahun 2004 sampai dengan Juni 2009 berturut-turut adalah sebagai berikut: tahun 2004 terdapat 84 kasus, tahun 2005 terdapat 103 kasus, tahun 2006 terdapat 70 kasus, tahun 2007 terdapat 72 kasus, tahun 2008 terdapat 36 kasus, tahun 2009 terdapat 21 (Lihat lampiran 1 sampai dengan lampiran 5).10

Penanganan terhadap kasus korupsi yang melibatkan Kepala Daerah ini secara normatif

 

8 Ibid, hal 175.

9 http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_provinsi_Indonesia, diunduh 10 Maret 2010.

10 ICW, Cacatan Pemberantasan Korupsi, www.Kaltimpost.Co.id, diunduh Senin, 15 Juni 2009.

(21)

  7

      

penanganannya dilakukan oleh tiga instansi.11 Pertama

oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK),12 di mana

kewenangan dalam menangani tindak pidana korupsi ini didasarkan pada UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi, sedangkan prosedur yang ditempuh berdasarkan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan kriteria bahwa siapapun pelaku tindak pidana korupsi merugikan keuangan atau perekonomian negara minimal Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah); Kedua oleh Kejaksaan,13 yang kewenangannya

didasarkan pada UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia; dan Ketiga oleh Kepolisian,14 yang kewenangannya didasarkan pada UU

No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.

Dalam menangani tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh Kepala Daerah, Kepolisian maupun Kejaksaan mengacu pada ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada

 

11 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Normatif, Teoritis, Prakti, Dan Masalahnya), Bandung, P. T Alumni, Yogyakarta, 2007, hal 130

12 Pasal 6 huruf c, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

13 Pasal 30 ayat (1) huruf d, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, dan dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No.28/PUU-V/2007, 27 Maret 2008.

14Pasal 14 ayat (1) huruf g UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, dan Pasal 4 dan 6 KUHAP.

(22)

      

Pasal 36 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa prosedur yang harus ditempuh ketika subyek hukumnya Kepala Daerah harus mengajukan permohonan izin tertulis kepada Presiden.15 Sedangkan

hukum acara yang digunakan adalah UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.16 Dari perbedaan

penanganan tersebut dapat diketahui bahwa telah terjadi diskriminasi bagi aparat penegak hukum, karena izin dari Presiden hanya berlaku bagi Kepolisian maupun Kejaksaan, dan tidak berlaku bagi KPK (KPK berdasarkan pada ketentuan Pasal 46 ayat (1) pada UU No. 30 Tahun 2002 yang mengesampingkan ketentuan izin dari presiden). Selain itu, prosedur izin juga menimbulkan diskriminasi bagi pejabat negara yang perkaranya ditangani oleh institusi yang berbeda, karena untuk pejabat negara yang ditangani kejaksaan maupun kepolisian memerlukan izin, sedangkan untuk pejabat negara yang ditangani KPK tidak memerlukan izin.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa telah terjadi perbedaan prosedur dalam penanganan terhadap Kepala Daerah yang di duga melakukan tindak pidana korupsi. Di bawah ini dikemukakan

 

15 Pasal 36 ayat (1), UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

16 Evi Hartanti, Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Kasus Korupsi, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal 48.

(23)

  9

      

contoh kasus nyata dari perbedaan prosedur penanganan beserta hasil dari penanganan tindak pidana korupsi, sebagai berikut:

1. Kasus yang ditangani dengan tidak menggunakan ketentuan izin Presiden

a. Kasus Bupati Kendal, Hendy Boedoro

Hendy Boedoro melakukan 5 (lima) jenis dugaan korupsi dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kendal 2003-2005 senilai Rp 47 miliar.17 Hendy divonis 7 tahun penjara, denda

Rp 500 juta, serta membayar uang pengganti Rp13,121 miliar.18 Kasus dari Hendy ditangani

KPK dengan menggunakan dasar penanganan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi.

b. Kasus Gubernur Aceh, Abdullah Puteh

Abdullah Puteh melakukan korupsi pengadaan helicopter tipe Mi-2 Pemda Nanggroe Aceh Darussalam dengan kerugian negara Rp. 4. Milyar. Abdullah divonis 10 tahun penjara dengan denda Rp. 500.000.000,00, subsider 6 bulan kurungan dengan perintah tetap ditahan

 

17 Penegasan mengenai kasus yang dilakukakan oleh Hendy Boedoro oleh Wakil Ketua KPK bidang Penindakan yang didampingi Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas kepada wartawan di Gedung KPK, Jl Veteran III, Jakarta, 2006. 

18Antara News, Mahkamah Agung Tolak Kasasi Hendy Boedoro, http://www.ssffmp.or.id/berita/14830, diunduh Oktober 2009.

(24)

      

dan membayar uang pengganti Rp. 3.687.500.000,00, dan membayar biaya perkara Rp. 10.000,00.19 Kasus Aceh Abdullah ditangani

oleh KPK.

2. Kasus yang ditangani dengan menggunakan ketentuan izin Presiden

a. Kasus Wali Kota Semarang, Sukawi Sutarip

Sukawi Sutarip diduga melakukan korupsi terhadap APBD Pemkot Semarang 2004 yang menganggarkan pos biaya komunikasi sebesar Rp16,5 miliar yang ternyata realisasinya membengkak menjadi Rp18,273 miliar (110,5 persen). Pada 5 Mei 2008 Sukawi ditetapkan sebagai tersangka. Surat izin pemeriksaan Sukawi diajukan ke Presiden pada pertengahan Agustus 2008 dan sampai sekarang izinnya belum juga turun.20 Kasus Sukawi ditangani

Kejaksaan Tinggi Jateng dengan menggunakan dasar penanganan UU No. 32 Tahun 2004, dengan menggunakan hukum acara berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Sampai saat penulisan tesis ini belum dapat segera dilakukan pemeriksaan terhadap Sukawi, dikarenakan terkendala dengan belum

 

19 Evi Hartanti, Op. Cit, hal 170-171

20Dikatakan Direktur Bidang Pengaduan Masyarakat KPK Handoyo saat dihubungi wartawan, Selasa 12 Februari 2008.

(25)

  11

      

turunnya izin pemeriksaan dari presiden.21 Berita

terakhir kasus Sukawi diambil-alih KPK. b. Kasus Bupati Batang, Bambang Bintoro

Bambang Bintoro diduga melakukan korupsi terhadap APBD Kabupaten Batang 2004, dalam bentuk bagi-bagi uang negara untuk anggota DPRD periode 1999-2004, dengan kerugian sekitar Rp 796 juta. Bambang ditangani Kejaksaan Tinggi Jateng dengan menggunakan dasar penanganan UU No. 32 Tahun 2004, dengan menggunakan hukum acara berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Permohonan izin pemeriksaan terhadap Bupati Batang Bambang, sudah diajukan kepada Presiden pada pertengahan Mei 2008 dan 23 Juli 2008, tetapi sampai saat ini belum turun, sehingga kasus menjadi gelap dan penanganan kasus dugaan korupsinya juga mengambang.22

Izin Presiden dalam pemeriksaan terhadap Kepala Daerah yang diduga melakukan tindak pidana korupsi nampaknya mengalami hambatan, karena pengajuan permohonan yang dilakukan oleh Kepolisian maupun

 

21 Penjelasan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bidang Pencegahan M Jasin saat diwawancara media masa, Antara/FINROLL News, Semarang, 27 Agustus 2009.

22 Eko Haryanto, Birokrasi Klasik Hambat Penuntasan Kasus Korupsi, http://bataviase.co.id/detailberita-10386866.html. diunduh 10 Desember 2009

(26)

      

Kejaksaan melalui prosedur yang panjang, namun demikian berdasarkan Pasal 36 ayat (2), jika permononan izin telah diajukan oleh pemohon dan telah diregister Sekretaris Kabinet dalam waktu paling lambat 60 hari, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.23 Permohonan izin berdasarkan Pasal

36 ayat (3) dilakukan secara parsial atau tidak menyeluruh,24 di mana tindakan penyidikan yang

dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis dari Presiden. Sehingga ketentuan izin ini terlalu berbelit-belit. Secara normatif kurun waktu yang panjang dan proses yang rumit memberikan ”perlindungan hukum” bagi pejabat negara yang tidak dimiliki oleh warga negara biasa. Rentang waktu yang cukup lama sampai keluarnya izin pemeriksaan, Kepala Daerah masih bebas menghirup udara segar, sehingga dikhawatirkan: melarikan diri; menghilangkan atau merusak barang bukti; mengganti atau mengubah alat bukti surat; dapat mengulangi tindak pidana korupsi; dapat mempengaruhi para saksi; dan memindahtangankan kekayaan hasil korupsi kepada orang lain.25 Penanganan terhadap Kepala Daerah yang

 

23 Pasal 53 ayat (2), UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

24 Pasal 36 ayat (3), Ibid.

25 Pusat Litbang Kejaksaan Agung R.I, Studi tentang Izin Pemeriksaan Terhadap Pejabat Negara dalam Proses Penegakan Hukum,

(27)

  13

      

diduga melakukan tindak pidana korupsi seringkali tidak jelas, macet dan terhenti dikarenakan tidak cukup kuat bukti maupun terkendala belum turunnya izin dari Presiden. Di bawah ini dikemukakan contoh kasus yang ditangani Kejaksaan dan Kepolisian di daerah yang tidak jelas perkembangannya, macet dan terhenti, yang dihimpun oleh ICW di antaranya sebagai berikut: 26

1 Kasus Walikota Banjarmasin, May Fajar Baim. May Fajar Baim terlibat dalam kasus korupsi pos mata anggaran pengeluaran tidak terduga APBD Banjarmasin tahun 2001-2004 untuk premi asuransi anggota DPRD Bnjarmasin pada PT Asuransi Jiwasraya. Kasus May Fajar Baim tangani oleh Kejaksaan Negeri Banjarmasin. Surat izin pemeriksaan sudah turun tanggal 14 Juli 2005, tetapi kasusnya tidak jelas perkembangannya. 2 Kasus Bupati Jember, Ir. MZA. Djalal

Ir. MZA. Djalal diduga terlibat korupsi pengadaan mesin daur-ulang aspal di Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Jatim. Sejak awal tahun 2005 Ir. MZA. Djalal telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polwiltabes Surabaya dan saat berkasnya dilimpahkan ke Kejaksaan Surabaya dinyatakan

 

26 Indonesia Corruption Watch (ICW), Penanganan Korupsi di Daerah, [ppi] [ppiindia], Jakarta, Sabtu, 11 Maret 2006.

(28)

      

P21 (sempurna). Bulan Februari 2006 Polwiltabes sudah menyampaikan surat permohonan izin ke Presiden. Tetapi sampai saat ini kasus tersebut macet dan tidak dapat dilanjutkan dengan alasan belum ada surat izin Pemeriksaan dari Presiden.27

Jadi, ketentuan izin pemeriksaan Kepala Daerah yang diduga melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan fakta di atas merupakan suatu hambatan dalam mempercepat proses penegakan hukum di Indonesia. Selain ketentuan izin ini tidak efektif dalam keberlakuannya di dalam praktek, juga menimbulkan perbedaan perlakuan di hadapan hukum yaitu antara sesama warga negara, sesama aparat yang menangani (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK) dan juga bagi sesama Kepala Daerah, sehingga ketentuan ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum Indonesia khususnya equality before the law, yang tertuang dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

 

27 Bangun Adi, Izin Presiden (Kejaksaan Tebang Pilih),

http://www.beritajatim.com/suratpembaca.php?hlm=7, diunduh Kamis, 03 September 2009

(29)

  15

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan tesis ini adalah: Apakah legal consideration Pasal 36 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berkesesuaian dengan Pasal 27 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ?

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk menjelaskan kesesuaian legal consideration Pasal 36 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan Pasal 27 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

1.4. Manfaat Penulisan

Manfaat dalam penulisan ini adalah: 1. Manfaat Teoretis

Hasil penulisan ini diharapkan dapat digunakan sebagai kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum, khususnya Hukum Tata Negara.

2. Manfaat Praktis

Hasil penulisan ini diharapkan dapat dijadikan wacana yang berharga bagi pihak-pihak yang terlibat

(30)

dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kepala Daerah

1.5. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tesis ini terbagi ke dalam V (lima) BAB, adapun urutan tata letak masing-masing adalah sebagai berikut:

BAB I. Pendahuluan, pada bab ini akan diuraikan tentang alasan pemilihan judul, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka, di dalam bab ini berisi landasan teori yang akan dipergunakan sebagai acuan untuk menganalisis permasalahan terkait dengan izin pemeriksaan Kepala Daerah yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, beserta ketentuan izin yang diperhadapkan pada doktrin equality before the law.

Bab III Metode Penelitian, di dalam bab ini akan diuraikan mengenai metode yang akan digunakan dalam penulisan tesis. Metode dalam penulisan ini menggunakan tipe yuridis normatif dengan pendekatan Conceptual, Philosophical, dan History. Spesifikasi penulisan deskriptis analitis, teknik pengumpulan data studi kepustakaan dan analisis data secara deduktif.

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, yang akan menguraikan hasil penelitian yang relevan dengan permasalahan dan analisis yaitu menjelaskan

(31)

  17

kesesuaian legal consideration Pasal 36 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan Pasal 27 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Bab V Penutup, merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dan saran dari hasil penulisan.

(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Negara Hukum

Konsep negara hukum berakar dari paham kedaulatan hukum yang pada hakekatnya berprinsip bahwa kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara adalah hukum, sehingga sebuah tipe negara hukum merupakan suatu negara yang diperintah berdasarkan hukum, sedangkan penguasa harus tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku dalam suatu negara tersebut. Dengan demikian esensi negara hukum adalah membatasi kekuasaan penguasa negara agar tidak menyalahgunakan kekuasaannya serta memberikan perlindungan hukum bagi masyarakatnya.

Pemikiran mengenai konsepsi negara hukum dimulai sejak zaman filsuf Yunani Kuno (belum utuh dan jelas). Perkembangan konsepsi negara hukum tidak sama, karena dipengaruhi latar belakang yang berbeda (sejarah, sistem politik, hukum, ekonomi, sosial, kultural serta pandangan hidup/falsafah).

Perkembangan konsepsi negara hukum dipengaruhi adanya paham liberalisme yang mengajarkan bahwa negara dilarang untuk campur tangan dalam kehidupan masyarakat, karena masyarakat dianggap mampu untuk mengatasinya

(33)

  19

sendiri (campur tangan negara dibatasi dalam bidang ketertiban dan keamanan saja). Namun mengingat perkembangan permasalahan kehidupan masyarakat semakin kompleks dan menimbulkan krisis sosial ekonomi yang berkepanjangan, sehingga muncul gagasan agar negara turut campur tangan untuk mewujudkan keadilan sosial.

Dengan adanya campur tangan dari negara dalam kehidupan masyarakat maka timbulah perubahan konstelasi hubungan antara negara dengan masyarakat, sehingga terjadilah pergeseran konsepsi dari Classical rule of law menjadi Modern rule of law.

Pergeseran konsepsi negara hukum ini telah mengilhami para pendiri negara Indonesia yang menyatakan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, sehingga konsepsi negara hukum dituangkan kedalam materi muatan UUD Tahun 1945 mulai dari Pembukaan, Batang Tubuh serta penjelasannya. Ketentuan dalam UUD Tahun 1945 tersebut selanjutnya dilaksanakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan serta diikuti dengan pembentukan kelembagaan yang diberi wewenang khusus untuk melaksanakan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.

(34)

      

2.1.1. Pengertian Negara Hukum

Ide negara hukum dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles (mengemukakan cita-cita suatu negara yang ideal). Plato berpendapat bahwa “untuk mewujudkan negara ideal yaitu untuk mencapai kebaikan maka kekuasaan harus dipegang oleh orang yang mengetahui kebaikan yaitu seorang filsof (The philosopher king)”. Selain itu Plato juga menyatakan bahwa “yang dapat mewujudkan bentuk paling baik kedua yaitu menempatkan supremasi hukum”.28 Pemerintahan oleh

hukum dianggap mampu mencegah kemerosotan kekuasaan seseorang (dikemukakan dalam buku yang berjudul “nomoi” yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris The Laws). Dalam nomoi Plato menggambarkan ide nomokrasi yang dikembangkan dari zaman Yunani Kuno. Nomokrasi berasal dari kata “nomos” yang artinya norma, dan “cratos atau kratein” yang artinya pemerintahan, dengan demikian sebagai salah satu faktor penentu dalam menyelenggaraan pemerintahan adalah norma atau hukum. Istilah nomokrasi berkaitan dengan ide atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi.

 

28Notohamidjojo dalam Kustadi, “Negara Hukum Serta Perwujudannya Di Indonesia”, dalam Sri Harini Dwiyatmi (Editor), “Pendidikan Kewarganegaraan”, Widyasari, Salatiga, 2010, hal 227-228.

(35)

  21

      

Aristoteles berpendapat bahwa untuk mencapai kehidupan yang paling baik dapat dicapai dengan supremasi hukum. Hukum adalah wujud kebijaksanaan kolektif warga negara sehingga peran warga negara diperlukan dalam pembentukannya. Negara hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Menurutnya, peraturan yang baik adalah peraturan yang mencerminkan keadilan bagi pergaulan antar warga negaranya, sehingga menurut Aristoteles, yang memerintah dalam suatu negara bukanlah manusia melainkan pikiran yang adil yang tertuang dalam peraturan hukum sedangkan penguasa hanya memegang hukum dan keseimbangannya saja.29

Dari uraian di atas menunjukan bahwa perkembangan konsepsi negara hukum dipengaruhi oleh perkembangan zaman dan ideologi maupun perkembangan sosial ekonomi suatu masyarakat.

Dari uraian di atas perlu diperjelas mengenai pengertian dari Negara Hukum, sebagai berikut:

 

(36)

      

1 A. Hamid S. Attamimi yang mengutip pendapatnya Burkens

”Negara hukum (rechtstaat) adalah negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum”.30

2 H.W.R. Wade

“Mengatakan bahwa dalam negara hukum, segala sesuatu harus dapat dilakukan menurut hukum (everything must be done according to law), negara hukum menentukan bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum, bukanya hukum yang harus tunduk pada pemerintahan”.31

4. D. Mutiara’s

“Negara hukum ialah negara yang susunannya diatur dengan sebaik-baiknya dalam undang-undang sehingga segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya didasarkan hukum.”32

5. Supomo

“...bahwa Republik Indonesia dibentuk sebagai negara hukum artinya akan tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum berlaku pula bagi segala badan dan alat-alat perlengkapan negara”.33

Dari beberapa pendapat di atas menunjukan bahwa negara hukum adalah negara yang

 

30A. Hamid S. Attamimi, Teori Perundang-undangan Indonesia, Makalah pada Pidato Upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap di Fakultas Hukum UI Jakarta, 25 April 1992, hal 8.

31 H.W.R. Wade, Administrative law, Third Edition, Clarendon Press, Oxford University, 1971, hal 6.

32 D. Mutiara’s dalam Mukti Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayu Media, Malang, Jawa Timur, 2005, hal 6

(37)

  23

      

menempatkan hukum sebagai dasar penyelenggaraan kekuasaan negara, sehingga kebebasan kehendak pemegang kekuasaan harus tunduk pada kekuasaan hukum. Dengan demikian seluruh pejabat-pejabat dilingkungan pemerintahan suatu negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif yang ditingkat desa sampai pusat , serta seluruh warga masyarakat dan setiap orang dalam sikap dan perilakunya harus sesuai dengan ketentuan hukum yang telah ditetapkan.

2.1.2. Unsur-Unsur Negara Hukum

Di bawah ini akan dikemukakan pendapat mengenai unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah negara hukum yang dikutip dari berbagai sumber sebagai berikut:

1 Imanuel Kant

”1). Adanya perlindungan terhadap hak asasi maunsia dan 2). adanya pemisahan kekuasaan”.34

2 Paul Scholten

”Bahwa rechstaat meliputi dua unsur yaitu unsur pertama kawula mempunyai hak terhadap raja, individu terhadap persekutuan. Hak itu meliputi dua hal, yang pertama diakui adanya suasana (sfeer) dari individu, yang pada hakekatnya dikurangkan dari kekuasaan

 

(38)

      

negara, yang kedua pelanggaran sfeer individu itu hanya dapat dilakukan dengan peraturan undang-undang. Unsur kedua, adalah pembagian kekuasaan pemerintahan dalam triaspolitica (Montesquieu) atau dalam dalam empat (quatas politica) atau pembagian dalam lima (quintas politica)”.35

3 J.B.J.M Ten Berge

(1) Asas legalitas

Pembatasan kebebasan warga negara (oleh pemerintah) harus ditemukan dasarnya dalam undang-undang yang merupakan peraturan umum. Undang-undang secara umum harus memberikan jaminan (terhadap warga negara) dan tindakan (pemrintah) yang sewenang-wenang, kolusi, dan berbagai jenis tindakan yang tidak benar. Pelaksanaan wewenang oleh organ pemerintahan harus ditemukan dasarnya pada undang-undang tertulis (undang-undang formal).

(2) Perlindungan hak-hak asasi. (3) Pemerintahan terikat pada hukum.

(4) Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum.

Hukum harus ditegakkan ketika hukum itu dilanggar. Pemerintah harus menjamin bahwa di tengah masyarakat terdapat instrumen yuridis penegakan hukum. Pemerintah dapat memaksa seseorang yang melanggar hukum melalui sistem peradilan negara. Memaksakan huku publik secara prinsip merupakan tugas pemerintah.

(5) Pengawasan oleh hakim yang merdeka.36

4 Friederich Julius Stahl

(1) Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia,

 

35 Paul Scholten dalam Kustadi, Ibid, hal 240.

(39)

  25

      

(2) Untuk melindungi hak asasi tersebut maka penyelenggaraan negara harus berdasarkan pada trias politica,

(3) Pemerintahan menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang (wetmatigheid van bestuur),

(4) Apabila pemerintah dalam menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang masih melanggar hak asasi manusia (campur tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi seseorang), maka ada pengadilan administrasi yang akan menyelesaikan.37

5 A.V. Dicey

(1) Supremacy of law, yaitu Supremacy absolut atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbitrry power dan meniadakan kesewenang - wenangan, prerogatif atau discretionary authority yang luas dari pemerintah; (2) Equality before the Law, yaitu persamaan di

hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court, yang berarti bahwa tidak ada orang yang berbeda di atas hukum; (3) Due Process of Law, yaitu pengakuan adanya

perlindungan hukum terhadap hak-hak yang dimiliki warga masyarakat. Dengan demikian, maka segala tindakan pejabat harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan (asas legalitas).38

6 The International Commission of Jurists

(1) Negara harus tunduk pada hukum,

(2) Pemerintah menghormati hak-hak individu di bawah rule of law,

(3) Hakim-hakim harus dibimbing oleh rule of law, melindungi dan menjalankan tanpa takut, tanpa memihak dan menentang oleh setiap campur tangan pemerintah atau partai-partai terhadap kebebasannya sebagai hakim.39

 

37 Wahjono, Padmo, Pembangunan Hukum Di Indonesia, Hill Co, Jakarta, hal 151.

38 A. V. Dicey, Op. Cit

(40)

Dari beberapa pendapat tersebut di atas menunjukan bahwa unsur-unsur yang penting yang dari sebuah negara hukum, yang merupakan ciri khas dan tidak boleh tidak ada (syarat mutlak) antara lain adalah Perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia, Supremasi of law, Equality before the law, Due proces of law, Pembagian kekuasaan, Peradilan yang bebas dan tidak memihak dan kontrol sosial.

2.1.3. Negara Hukum Demokratis

Secara etimologis istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata “demos” yang artinya rakyat dan cratos atau cratein yang artinya pemerintahan atau kekuasaan. Dengan demikian demokrasi berarti pemerintahan rakyat atau kekuasaan rakyat. Demokrasi pada zaman Yunani Kuno ini dilaksanakan secara langsung karena negara pada saat itu merupakan suatu polis atau negara kota yang wilayahnya sangat sempit dan penduduknya sedikit, namun sekarang demokrasi langsung tidak mungkin dapat dilaksanakan (demokrasi sekarang adalah demokrasi tidak langsung yang dilaksanakan melalui sistem perwakilan rakyat yang dipilih lewat pemilihan umum) karena mengingat wilayah sangat luas dan jumlah penduduk semakin meningkat serta permasalahan yang dihadapi sangat kompleks dan rumit.

(41)

  27

      

Penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Socrates mengatakan bahwa “tugas negara adalah menciptakan hukum yang harus dilakukan oleh para pemimpin atau penguasa yang dipilih secara seksama oleh rakyat”. Menurut Socrates sistem pemerintahan demokratis merupakan yang terbaik.40 Namun tidak begitu adanya

menurut Plato. Plato berpandangan bahwa ”sistem pemerintahan yang terbaik adalah monarchy yang dipimpin oleh seorang raja sekaligus seorang filosof yaitu orang yang bijaksana, sedangkan sistem pemerintahan demokratis kurang baik karena demokrasi pada prinsipnya adalah kemerdekaan dan kebebasan yang tidak terkendali (anarkhi) karena orang dapat berbuat sesuka hatinya”.41

Dari pendapat Plato diatas menunjukan bahwa jika suatu pemerintahan dengan sistem pemerintahan demokratis tanpa ada aturan hukum maka cenderung menimbulkan anarki dan diabaikan oleh masyarakatnya. Maka dalam hal ini diperlukan pengakuan hukum dari masyarakat. Pengakuan masyarakat terhadap hukum sangat penting, karena jika hukum itu hanya sekedar diperuntukkan untuk kepentingan penguasa meskipun dipaksakan kepada

 

40 Socrates dalam Kustadi, Op.Cit, hal 246. 41 Ibid, hal 246.

(42)

masyarakatnya maka hukum hanya diterima karena masyarakat terpaksa.

Tatanan hukum dipahami masyarakat merupakan jaminan dari nilai-nilai kebersamaan yang dianggap paling vital. Dengan demikian hukum berkembang dari kesadaran masyarakat bahwa hukum dibutuhkan demi suatu kehidupan yang dinilai baik. Walaupun hukum membawa pembatasan, namun hukum tetap mengandung nilai baik jika dibandingkan dengan keadaan tanpa hukum.

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa keterlibatan rakyat dalam proses bernegara dirasakan sangat penting. Sistem demokrasi menempatkan kedudukan masyarakat dalam proses pembentukan hukum (partisipasi), oleh karenanya sistem demokrasi menjadi keinginan untuk diwujudkan dalam proses bernegara. Peran serta ini merupakan panduan dalam menentukan arah yang akan dituju oleh negara, sehingga disinilah dibutuhkan kebersamaan. Negara demokratis memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan kedudukan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Itu berarti bahwa rakyat yang memiliki kekuasaan yang tertinggi dalam negara.

(43)

  29

Dari uraian di atas, menunjukan bahwa negara hukum dengan demokrasi mempunyai ikatan yang tidak dapat dipisahkan. Demokrasi tanpa pengaturan hukum akan menimbulkan anarki dalam kehidupan masyarakat, sehingga cenderung akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan hukum tanpa adanya demokrasi akan kehilangan makna, karena adanya hukum berfungsi untuk kepentingan manusia dalam kehidupan masyarakat.

2.1.4.Negara Republik Indonesia Negara Hukum

Negara Indonesia termasuk dalam kategori sebagai sebuah negara hukum. Selain itu negara Indonesia secara formal telah menyatakan diri sebagai negara hukum. Hal ini dapat diketahui dari cita-cita bangsa Indonesia dalam membangun negara yang dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar yang disusunnya. Perumusan negara hukum dalam konstitusi Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Proklamasi 1945

Dicantumkan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) bagian ”Sistem Pemerintahan Negara” dirumuskan sebagai berikut:

I. Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat). Negara Indonesia berdasar atas

(44)

      

hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).

II. Sistem Konstitusionil

Pemerintahan berdasar atas Sistem Konstitusi (Hukum Dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).42

2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 Dicantumkan dalam mukadimah konstitusi RIS:

”...Kami bangsa Indonesia semenjak berpuluh-puluh tahun lamanya bersatupadu dalam perjuangan kemerdekaan, dengan senantiasa berhati teguh berniat menduduki hak-hidup sebagai bangsa yang merdeka berdaulat”.43

Dalam mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan perdamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat (Welfarestate)44 dan negara

hukum tersebut, maka dalam Konstitusi RIS dirumuskan Pasal 1 ayat (1) yang dinyatakan bahwa ”Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi berbentuk federasi”.45

3. Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950

Dicantumkan dalam mukadimah:  

42 Notohamidjojo, Makna Negara Hukum Bagi Pembaharuan Negara Dan Wibawa Hukum Bagi Pembaharuan Masyarakarakat Di Indonesia, Badan Penerbit Kristen Jakarta, 1967, hal 9.

43 Ibid, hal 9

44 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006, hal 149.

(45)

  31

      

“...Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

”Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.

Dalam mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan perdamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat (Welfarestate)46 dan negara

hukum Indonesia yang berdaulat sempurna tersebut, maka dalam Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1945 dirumuskan Pasal 1 ayat (1) yang dinyatakan bahwa ”Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”.47

4. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen ke-3)

Dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (3) yang dinyatakan bahwa ”Negara Indonesia adalah negara hukum”.48

 

46 Ibid, hal 149. 47 Ibid, hal10.

48 Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Penerbit Alumi, Bandung, 1983, hal 21.

(46)

Dari penegasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan perspektif resmi, Indonesia adalah negara hukum.

2.1.5. Teori Stufentbau

Hans Kelsen tergolong ke dalam aliran hukum murni, karena teori yang diajukan adalah teori hukum murni, yaitu teori hukum positif. Teori yang diajukan merupakan teori tentang hukum positif umum, dan teori penafsiran. Teori hukum murni ini berupaya menjawab pertanyaan apa itu hukum dan bagaimana hukum itu ada, bukan bagaimana semestinya ada. Disebut teori hukum "murni" lantaran ia hanya menjelaskan hukum dan berupaya membersihkan obyek penjelasan (ontologinya) dari segala hal yang tidak bersangkut paut dengan hukum, artinya yang menjadi tujuan teori hukum murni adalah membersihkan ilmu hukum dari unsur-unsur asing atau non hukum, inilah landasan epistemologi atau landasan metodologis dari teori hukum murni. Jadi intinya Hans Kelsen ingin menghindari "sinkretisme metodologi" yang akan mengaburkan esensi ilmu hukum dan meniadakan batas-batas yang ditetapkan padanya oleh sifat pokok bahasannnya.

Esensi dari teori Hans Kelsen menurut Friedmann adalah sebagai berikut:

(47)

  33

      

1 The aim of a theory of law, as of any science, is to

reduce chaos and multiplicify to unity (Tujuan teori hukum, seperti halnya setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan serta meningkatkan kesatuan)

2 Legal theory is science, not volitions, It is knowledge

of what the law is, not of what the law not to be (Teori hukum adalah, ilmu dan bukan kehendak. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, dan bukan tentang hukum yang seharusnya ada).

3 The Law is a normative not a natural science (Ilmu

hukum adalah ilmu normatif, dan bukan ilmu alam)

4 Legal theory as a theory of norms is not concerned

with the effectiveness of legal norms (Teori hukum sebagai suatu teori tentang norma-norma, tidaklah berurusan dengan persoalan efektivitas norma-norma hukum).

5 A Theory of law is formal, a theory of the way of

ordering changing contents in a specific way (Suatu teori tentang hukum sifatnya formal, merupakan suatu teori tentang cara pengaturan dan isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik)

6 The relation of legal theory to a patticular system of

positive law is that or possible to actual law (Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah sama halnya dengan hubungan antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada).49

Ajaran hukum murni dikatakan Hans Kelsen adalah ingin membersihkan ilmu hukum dari anasir-anasir non hukum, seperti sejarah, moral, sosiologis, politis, dan sebagainya. Hans Kelsen misalnya menolak masalah keadilan dijadikan bagian pembahasan dalam ilmu hukum. Bagi Hans Kelsen, keadilan adalah masalah ideologi yang irasional, Hans Kelsen hanya

 

49 Friedmann dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal 273.

(48)

ingin menerima hukum apa adanya, yaitu berupa peraturan-peraturan yang dibuat dan diakui oleh negara.

Peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem hukum oleh Hans Kelsen disebut grundnorm. Grundnorm oleh Hans Kelsen diibaratkan sebagai bahan bakar yang menggerakan seluruh sistem hukum. Grundnorm memiliki fungsi sebagai dasar mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum.

Menurut Hans Kelsen peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada pada puncak piramid, dan semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah abstrak dan makin kebawah semakin kongkrit. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang "seharusnya" berubah menjadi suatu yang "dapat dilakukan".

Menurut Hans Kelsen, norma itu berjenjang jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarkis, dimana norma yang dibawah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai akhirnya "regressus" ini berhenti pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar (Grundnorm) yang tidak dapat

(49)

  35

ditelusuri lagi siapa pembentuknya atau darimana asalnya. Norma dasar atau sering disebut Grundnorm, basicnorm atau fundamentalnorm ini merupakan norma yang tertinggi yang berlakunya tidak berdasar dan tidak bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi tetapi berlakunya secara "presupposed", yaitu ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat.

Pandangan Hans Kelsen tentang norma hukum, masuk dalam kategori sistem norma yang dinamik (nomodynamics), karena hukum selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-lembaga atau otoritas-otoritas yang berwenang membentuknya, sehingga dalam hal ini tidak kita lihat dari segi isi norma tersebut, tetapi dari segi berlakunya atau pembentuknya. Hukum itu adalah sah (valid) apabila dibuat oleh lembaga atau otoritas yang berwenang membentuknya dan berdasarkan norma yang lebih tinggi sehingga hal ini norma yang lebih rendah (inferior) dapat dibentuk oleh norma yang lebih tinggi (superior), dan hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu hirarkis.

Berkaitan dengan hirarkis norma hukum, maka Hans Kelsen mengungkapkan sebuah ajaran (dogma) yaitu Stufenbautheory. Hans Kelsen berpendapat bahwa:

”Norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarki tata susunan, dimana suatu norma

(50)

      

yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm). 50

Inspirasi Teori Perjenjangan (Stufenttheory) Norma Hukum Hans Kelsen diilhami oleh seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl yang mengemukan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechsantlizt). Menurut Adolf Merkl, suatu norma hukum itu ke atas bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya, tetapi kebawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum dibawahnya sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada diatasnya, sehingga apabila norma hukum yang berada diatasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada dibawahnya tercabut atau terhapus pula".

Berdasarkan teori Adolf Merkl tersebut, dalam teori jenjang normanya Hans Kelsen juga mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu berdasar dan bersumber pada norma yang diatasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi

 

50 Hans Kelsen, General Theory of Law State, New York, Russell & Russell, 1945, hal 113.

(51)

  37

dasar bagi norma lebih rendah daripadanya. Dengan demikian dalam hal susunan/hirarki sistem norma, norma yang tertinggi (norma dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma dibawahnya sehingga apabila Norma Dasar itu berubah, maka akan menjadi rusaklah sistem norma yang berada dibawahnya.

Teori Jenjang Norma (stufentheory) Hans Kelsen dikembangkan kedalam tatanan kenegaraan (ranah Hukum Tata Negara) oleh muridnya Hans Nawiasky dalam bukunya yang berjudul Allgemeine Rechtslehre mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang dimana norma yang berada dibawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut Norma Dasar, Tetapi Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum dalam suatu negara itu menjadi empat kelompok besar yang terdiri:

Kelompok I : Staatfundalmental norm (Norma Fundamental Negara)

(52)

      

Kelompok II : Staatgrundgesetz (Aturan Dasar/Pokok Negara)

Kelompok III : Formel Gesetz (Undang-Undang "Formal")

Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (Atuaran Pelaksana & aturan otonom).51

Sedangkan pengelompokan norma hukum Indonesia berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU RI No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:

(a). Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun1945

(b). Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(c). Peraturan Pemerintah (d). Peraturan Presiden (e). Peraturan Daerah

Pengelompokan Norma Hukum dari Hans Nawiasky di atas, jika diterapkan kedalam Sistem Hukum Tata Negara Indonesia adalah Staatsfundamentalnorm adalah Pancasila, Staatsgrundgezetz adalah UUD 1945, Formellgesetz adalah Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang dan Undang-Undang, Verordnung dan Autonome Satzung adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah.

Hierarki peraturan perundang-undangan ini adalah sangat penting dalam rangka untuk mengetahui produk peraturan

perundang- 

51 Hans Nawiasky, Allgemeine Rechtslehre Als System Lichen Grundbegriffe, Einsiedenln/Zurich/Koln, Benziger, Cetakan 2, 1948, hal 31.

(53)

  39

undangan yang memiliki kedudukan tinggi adalah sebagai sumber tertib hukum bagi peraturan perundang-undangan yang berkedudukan lebih rendah. Bagi peraturan perundang-undangan yang berkedudukan lebih rendah melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka Pasal 36 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Penyidik dalam melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Presiden, berlaku adagium "Lex Superiori derogat legi Inferiori", karena berkedudukan lebih rendah dari

Pasal 27 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa segala warga negara mempunyai kedudukannya yang sama di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tanpa terkecuali, oleh karenanya harus bersumber dan melaksanakan peraturan perundang-undangan daripadanya.

2.2. Izin

2.2.1. Pengertian Izin

Pengertian “izin” dapat dikutip dari berbagai sumber, diantaranya adalah sebagai berikut:

(54)

      

(1) Izin adalah suatu pernyataan mengabulkan (tidak melarang, dan sebagainya); persetujuan membolehkan.52

(2) Izin secara umum adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan.53

(3) izin (vergunning) dijelaskan sebagai: ”Overheidstoestemming door wet of verordening vereist gesteld voor tal van handeling waarop in het algemeen belang speciaal toezicht vereist is maar die, in het algemeen, niet als onwenselijk worden beschouwd” (perkenaan/izin dari pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah yang disyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada umumnya tidaklah dianggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak dikehendaki).54

(4) Izin adalah rangkaian ketentuan yang dengannya sesuatu yang boleh menjadi tidak boleh dan sebaliknya, sesuatu yang ada menjadi tidak ada dan sebaliknya, sesuatu yang tak terbatas menjadi terbatas dan sebaliknya, maka izin diartikan sebagai cermin kekuasaan.55

Berdasarkan definisi di atas, izin merupakan suatu cermin kekuasaan yang memberikan pernyataan pembolehan untuk melakukan sesuatu yang dilarang

 

52 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cetakan Keempat), Balai Pustaka, Jakarta.2002, hal 447

53Spelt dan Ten Berge yang disunting oleh Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan (Bahan Penataran Hukum Administrasi dan Hukum Lingkungan), Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1992, hal 1.

54S.J. Fockema Andreae, Rechtsgeleerd Handwoordenboek, Tweede Druk, J.B. Wolter’ Uitgeversmaatshappij, N.V.Groningen, 1951, hal 311.

(55)

  41

      

yang sama sekali tidak dikehendaki, dan yang pada umumnya perbuatan tersebut memerlukan pengawasan khusus. Jadi izin memeriksa terhadap Kepala Daerah yang diduga melakukan tindak pidana korupsi yang diberikan oleh Presiden selaku pejabat pemerintah yang berwenang adalah sebagai tanda persetujuan pembolehan untuk suatu keadaan yang dilarang.

2.2.2. Fungsi Izin

Izin mempunyai fungsi diantaranya adalah sebagai berikut:56

(1) Izin sebagai alat, dikenainya kewajiban memperoleh izin atas suatu obyek izin, maka obyek izin mempunyai konsekuensi hubungan hukum dengan pihak yang memberikan izin. hukum memberikan hak dan kewajiban atas pemberi dan penerima. Pemberian izin menjadi alat bagi pemerintah selaku pemberi izin, artinya dengan izin tersebut pemerintah dapat mengawasi segala tindakan penerima izin sesuai dengan kesepakatan atas izin yang diperolehnya. Sedangkan bagi penerima izin, izin yang telah diperolehnya akan memberikan perlindungan baginya dalam melaksanakan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan atau ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin.

(2) Izin sebagai barang publik, wewenang memberikan izin merupakan kewenangan publik. Kewenangan itu bisa didapat secara atribusi, delegasi dan mandat. Ketiganya dilakukan secra kombinasi yang bertalian erat dengan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan serta dalam operasionalitasnya berbaur satu dengan yang lainnya. Dari penelusuran pelbagai ketentuan penyelenggaraan pemerintah dapat diketahui bahwa mulai dari administrasi negara tertinggi (Presiden)

 

(56)

sampai paling rendah (Lurah) berwenang memberikan izin. Sehingga izin menjadi barang publik karena pemberian dan pencabutannya menyangkut kepentingan banyak pihak yang dengan demikian tidak akan pernah ada perlakuan berbeda antara satu obyek dengan obyek yang lainnya.

(3) Izin sebagai proses politik, pemerintah menjadi center of power dalam menentukan kebijakan yang ada diwilayah negaranya. Kekuasaan ini diberikan masyarakat kepada pemerintah sebagai suatu kekuatan untuk memberlakukan ketentuan aturan yang menjadi kesepakatan masyarakat.

Dari fungsi izin di atas dapat disimpulkan bahwa organ pemerintah dari Presiden sampai Lurah mempunyai kewenangan memberikan izin dalam rangka menentukan kebijakan dalam pemerintahan bertujuan mengawasi segala tindakan penerima izin dan memberikan perlindungan baginya dalam melaksanakan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan/ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin. Dalam hal terkait dengan izin pemeriksaan terhadap Kepala Daerah yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, pemberi izin merupakan kewenangan Presiden, karena Kepala Daerah adalah bawahan Presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

(57)

  43

      

2.2.3. Kedudukan Presiden Sebagai Pemberi Izin

Makna rule of law mengharuskan seluruh tindakan pemerintah memiliki landasan dan memiliki pengesahan hukum. Di negara hukum Indonesia, pemerintahan adalah berkenaan dengan sistem, fungsi, cara perbuatan, kegiatan, urusan atau tindakan memerintah yang dilakukan atau diselenggarakan atau dilaksanakan oleh ‘pemerintah’ dalam arti luas (semua lembaga negara) maupun dalam arti sempit (presiden beserta jajaran atau aparaturnya). Eksekutif adalah cabang kekuasaan negara yang melaksanakan kebijakan publik (kenegaraan dan atau pemerintahan) melalui peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh lembaga legislatif maupun atas inisiatif sendiri.

Secara teoretis, Presiden atau Pemerintah memiliki dua kedudukan yaitu sebagai salah satu organ negara dan sebagai administrasi negara. Sebagai organ negara, pemerintah bertindak untuk dan atas nama negara. Sedangkan sebagai administrasi negara, pemerintah dapat bertindak baik di lapangan pengaturan (regelen) maupun dalam lapangan pelayanan (bestuuren).57

“Administrasi” (Negara) adalah badan atau jabatan dalam lapangan kekuasaan eksekutif yang mempunyai

 

57 Iskatrinah, Pelaksanaan Fungsi Hukum Administrasi Negara Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik, Litbang Pertahanan Indonesia, Balitbang Departemen Pertahanan, 2004, hal 139. 

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Keberadaan lembaga hukum konsinyasi dalam Penyelesaian Teknis pada kawasan hutan yang disebabkan karena tidak sepakatnya mengenai bentuk dan/atau besaran nilai

Dari penelitian ini bahwasanya hak-hak atas tanah ulayat masih di akui, dikuasai juga dikelola dengan baik oleh masyarakat adat setempat secara berkelompok

Oleh karena itu tesis ini akan membahas tentang mengapa Notaris dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai pemimpin badan usaha swasta menurut UUJN, bagaimana upaya MPN

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan menjelaskan kejadian yang diamati, yaitu menggali mengenai kekuatan hukum atas

Dari hasil penelitian ini juga diketahui bahwa undang-undang telah mengatur umur para pihak yang hendak melakukan perbuatan hukum, termasuk dalam hal yang

atas 3 (tiga) objek tanah dan bangunan tersebut sekaligus melakukan peralihan hak atau balik nama ke atas nama Penggugat. Pertimbangan hukum oleh majelis hakim

Perlindungan hukum bila dijelaskan harfiah dapat menimbulkan banyak persepsi. Sebelum mengurai perlindungan hukum dalam makna yang sebenarnya dalam ilmu hukum, menarik

Penelitian ini membahas mengenai pengaruh motivasi berprestasi, motivasi berafiliasi, motivasi kekuasaan terhadap kinerja pegawai dengan kepuasan sebagai