• Tidak ada hasil yang ditemukan

Panduan Praktik Klinis Ugd

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Panduan Praktik Klinis Ugd"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

TATA LAKSANA KASUS

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

2014-2016

DIARE AKUT (ICD 10: A09.9 )

1. Pengertian (definisi) Diare akut adalah buang air besar (defekasi) yang ditandai dengan perubahan defekasi lebih dari biasanya (> 3 kali sehari) yang disertai dengan perubahan konsistensi tinja dengan/tanpa darah dan/atau lendir yang terjadi dengan onset mendadak dan berlangsung kurang lebih selama 7 hari..

2. Anamnesis Adanya perubahan pola defekasi dan perubahan konsistensi tinja (cair) yang terjadi mendadak dapat disertai dengan atau tanpa darah maupun lendir. 3. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan umum biasanya bervariasi, dari baik

hingga buruk (bila dalam keadaan dehidrasi berat). 2. Suara bising usus meningkat

3. Pada keadaan yang berat, terdapat tanda-tanda dehidrasi:

- Kehilangan turgor kulit. - Denyut nadi melemah. - Takikardia.

- Mata cekung.

- Ubun-ubun besar cekung (pada bayi). - Suara parau.

- Kulit dingin. - Sianosis (jari).

- Selaput lender kering. - Anuria.

4. Kriteria Diagnosis 1. Peningkatan frekuensi BAB (>3x sehari).

2. Perubahan konsistensi feses yang disertai/tanpa disertai darah/lendir.

3. Pada keadaan yang berat terdapat tanda-tanda dehidrasi.

5. Diagnosis Kerja Diare Akut. 6. Diagnosis Banding 1. Diare kronik.

2. Diare persisten. 3. Disentri.

7. PemeriksaanPenunjang Pemeriksaan feces lengkap

8. Terapi A. Penggantian cairan dan elektrolit.

Dapat diberikan rehidrasi oral yang harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang tidak dapat minum atau yang terkena dehidrasi berat yang memerlukan hidrasi intravena.

B. Antibiotik.

Pemberian antibiotic diindikasikan pada pasien dengan gejala dan tanda diare infeksi seperti

(2)

trimetroprim/sulfametokzasol, tetrasiklin atau eritromicin.

C. Obat-obat anti diare

Obat-obat ini dapat mengurangi gejala-gejala. A) yang paling efektif adalah derivate opiad misal loperamid. Obat antimotilitas penggunaannya harus hati-hati pada pasien disentri yang panas bila tanpa disertai anti mikroba karena dapat memperlama proses penyembuhan. B). obat yang mengeraskan tinja: ataplugit 4x2 tablet/hari.

D. Pemberian tablet seng selama 10-14 hari dengan dosis 10mg pada usia <6 bulan dan 20 mg bila> 6 bulan.

E. Pemberian probiotik sebagai terapi supportif, lacto-B.

F. Bila terdapat tanda-tanda dehidrasi berat, lakukan resusitasi cairan dan stabili pasien lalu segera rujuk pasien untuk penanganan lebih lanjut.

9. Edukasi 1. Monitoring tanda-tanda dehidrasi pada pasien di rumah.

2. Jaga higienitas lingkungan dan perorangan. 10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam

Ad Sanationam : dubio ad bonam Ad fungsionam : dubio ad bonam 11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis 1. dr. Putu Santy Erawati 2. dr. A A Sg kumala Ningrat. 3. dr. I Ketut Aryawan. 4. dr. A. A. Ifan Distya Jaya. 5. dr. Ida Ayu Gede Oktarini. 6. dr. Ni Made Ayu Wulandari.

14. Indikator Medis 1. Frekuensi defekasi berkurang hingga normal. 2. Konsistensi feses membaik/memadat.

3. Tanda-tanda dehidrasi membaik. 4. Bising usus kembali normal.

15. Kepustakaan 1. Bakta, I Made, dkk. Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Buku Kedokteran ECG. 1998.

(3)

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

TATA LAKSANA KASUS

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

2014-2016

VULNUS APPERTUM (ICD10: T14.1)

1. Pengertian (definisi) Adalah kerusakan anatomi karena hilangnya kontinuitas jaringan oleh sebab dari luar yang terbuka dengan tepi beraturan maupun tidak beraturan.

2. Anamnesis Adanya luka terbuka yang disebabkan oleh adanya trauma.

3. Pemeriksaan Fisik - Adanya luka terbuka

- Adanya perdarahan pada luka.

- Luka dapat bervariasi berdasarkan kedalaman dan luasnya luka:

 Stadium I: luka superficial, yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.

 Stadium II: luka “partial thickness”, yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis, merupakan luka superficial dengan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.

 Stadium III: luka full thickness, yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai luka bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fascia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitar.

 Stadium IV: luka full thicknes yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas. 4. Kriteria Diagnosis

-5. Diagnosis Kerja Vulnus appertum 6. Diagnosis Banding

-7. PemeriksaanPenunjang

-8. Terapi Lakukan perawatan luka.

 Pemberian analgetik asam mefenamat 3x500 mg.

 Pemberian antibiotic profilaksis amoksisilin 3x500 mg

9. Edukasi Informasikan kepada pasien untuk menjaga kebersihan luka dan control setiap 2 hari sekali pada poliklinik Kulit dan Kelamin.

10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam Ad Sanationam : dubio ad bonam Ad fungsionam : dubio ad bonam

(4)

13. Penelaah Kritis 1. dr. Putu Santy Erawati 2. dr. A A Sg kumala Ningrat. 3. dr. I Ketut Aryawan. 4. dr. A. A. Ifan Distya Jaya. 5. dr. Ida Ayu Gede Oktarini. 6. dr. Ni Made Ayu Wulandari. 14. Indikator Medis  Perdarahan pada luka berhenti.

 Terjadinya perbaikan luka setiap 2 hari kontrol. 15. Kepustakaan 1. Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar

(5)

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) TATA LAKSANA KASUS

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI 2014-2016

ASMA AKUT BERAT (ICD 10: J45.9 )

1. Pengertian (definisi) Suatu keadaan darurat medik berupa serangan sesak nafas berat yang kemudian bertambah berat dan refrakter bila setelah 1 – 2 jam pemberian obat tidak ada perbaikan atau malah memburuk.

2. Anamnesis 1. Sesak nafas mendadak & bertambah berat 2. Sudah minum obat sesak tapi tidak membaik 3. Riwayat menderita asma yang lama

4. Pernah mengalami serangan asma sejenis sebelumnya

5. Riwayat menggunakan terapi steroid jangka panjang

3. Pemeriksaan Fisik Asma akut berat yang potensial mengancam jiwa: 1. Sesak nafas berat disertai bising mengi

2. Sesak nafas hingga tidak mampu menyelesaikan satu kalimat dalam sekali nafas

3. Terlihat retraksi otot bantu nafas 4. Frekwensi nafas > 25 x / menit 5. Takikardi ( > 110 x / menit )

6. Pulsus paradoksus ( penurunan tek. darah sistolik pada saat inspirasi > 10 mmHg )

7. APE < 50 % dari nilai dugaan

Asma akut berat yang sudah mengancam jiwa: 1. Suara nafas melemah (silent chest)

2. Sianosis

3. Bradikardi / Hipotensi

4. Kelelahan, bingung, gelisah, kesadaran menurun 5. APE < 33 % dari nilai terbaik

4. Kriteria Diagnosis 1. Sesak nafas berat disertai bising mengi

2. Tidak bisa menyelesaikan kalimat dalam 1 kali nafas

3. RR > 25x / mnt, takikardi (>110x / mnt) 4. Retraksi otot-otot bantu nafas

5. Riwayat gejala berulang

5. Diagnosis Kerja Asma akut berat / status asmatikus 6. Diagnosis Banding 1. Bronkitis Kronis

2. Emfisema Paru 3. Emboli Paru

4. Gagal Jantung Kiri Akut 7. PemeriksaanPenunjang 1. Analisis gas darah arteri

2. APE / Flowmeter 3. Foto thorax 4. EKG

(6)

ada)

a. Inhalasi agonis β2 dosis tinggi, seperti Salbutamol 2,5-5 mg / Terbutalin 2,5-5 mg secara nebulisasi, dapat diulang @ 20 menit dalam 1 jam.

b. Injeksi Adrenalin 1/1000, subcutan 0,2-0,5 cc, dapat diulang sampai 2-3X dengan interval 30-60 menit, harus diberikan dengan sangat hati-hati , kecuali ada kontra indikasi terhadap obat ini ( penderita hipertensi, hipertiroid, kelainan jantung, usia lanjut > 40 thn).

c. Aminopilin injeksi 5-6 mg / kgBB diencerkan dalam Dext 5% sama banyak, secara intravena, bolus perlahan dalam 10-15 mnt atau dalam infus 100 cc DExt 5% NaCl 0,9% dalam waktu 20 menit.

d. Antikolinergik : Ipatropium bromid dapat digunakan sendiri atau kombinasi dengan agonis β2 melalui inhalasi dengan nebulisasi. Penambahan ini tidak diperlukan bila respon dengan agonis β2 sudah cukup baik.

3. Kortikosteroid sistemik dosis tinggi harus segera diberikan pada serangan asma berat yaitu Hidrokortison 200 mg iv atau metil prednisolon injeksi / tablet 30-60 mg, atau keduanya.

4. Setelah dilakukan pengobatan awal dengan bronkodilator dan steroid, dilakukan evaluasi @ 15 menit terhadap klinis penderita. Setelah 30 menit evaluasi, jika tidak membaik, maka penderita dirujuk ke RSU Wangaya / RSUP Sanglah. Tapi bila membaik, penderita dapat dipulangkan dengan pemberian obat oral (Salbutamol 4 mg 3x1, dan metil prednisolon 4 mg 3x1).

9. Edukasi 1. Penderita dianjurkan untuk control ke poliklinik interna / dokter yang biasa merawat ( pada pasien yang dipulangkan).

2. Penderita sebaiknya menghindari allergen yang dapat memicu timbulnya asma (serbuk sari bunga, anjing, kucing, debu rumah, udara dingin, asap rokok, dll).

3. Mengupayakan aktivitas harian pada tingkat yang normal termasuk dalam melakukan exercise. 4. Menghindari efek samping obat asma untuk

mencegah obstruksi jalan nafas yang irreversibel. 10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam

Ad Sanationam : dubio ad bonam Ad fungsionam : dubio ad bonam 11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

(7)

2. dr. A A Sg kumala Ningrat. 3. dr. I Ketut Aryawan. 4. dr. A. A. Ifan Distya Jaya. 5. dr. Ida Ayu Gede Oktarini. 6. dr. Ni Made Ayu Wulandari. 14. Indikator Medis 1. Sesak nafas berkurang.

2. Respiratory Rate kembali normal. 3. Retraksi dinding dada berkurang.

15. Kepustakaan 1. Bakta, I Made, dkk. Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Buku Kedokteran ECG. 1998.

(8)

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

TATA LAKSANA KASUS

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

2014-2016

STATUS KONVULSI / EPILEPTIKUS (ICD 10: G41.9) )

1. Pengertian (definisi) Status konvulsi adalah keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang, atau serangan yang berlangsung terus menerus selama 30 menit atau lebih.

2. Anamnesis  Lama kejang

 Sifat kejang (fokal, umum, tonik/klonik)

 Tingkat kesadaran diantara kejang

 Riwayat kejang sebelumnya, riwayat kejang dalam keluarga

 Riwayat epilepsi, dan pengobatannya

 Panas, trauma kepala

 Riwayat persalinan, tumbuh kembang

 Penyakit yang sedang diderita 3. Pemeriksaan Fisik  Tingkat kesadaran

 Pupil

 Refleks fisiologis dan patologi

 Ubun-ubun besar

 Tanda-tanda perdarahan

 Lateralisasi.

 Aktivitas susunan saraf simpatis: takikardi, hipertensi, keringat berlebihan, hipersalivasi.

 Papilledema, tanda peningkatan tekanan intrakranial.

 Fitur neurologis juga tampak seperti tonus yang meningkat dan refleks asimetris.

4. Kriteria Diagnosis  dua atau lebih rangkaian kejang yang berurutan

 dimana tidak ada pemulihan kesadaran diantara kejang

 atau aktivitas kejang yang terus-menerus

 selama lebih dari 30 menit. 5. Diagnosis Kerja Status Konvulsi/Epileptikus 6. Diagnosis Banding 1. Ensefalitis

2. Heat stroke

3. Gangguan elektrolit (Hipernatremi, Hipokalsemi, Hipoglikemi

4. Sindrom Neuroleptik Maligna 7. PemeriksaanPenunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium

(9)

a. Kadar obat antikonvulsan b. Lumbal Punksi

c. Kimia darah rutin 2. EEG

3. Brain Imaging

Brain imaging dengan menggunakan CT Scan dapat menentukan tempat lesi di otak. Jika pemeriksaan CT menunjukkan keadaan yang normal, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan MRI untuk lebih mengkonfirmasi adanya lesi di otak.

8. Terapi Stadium I (0-10 menit):

- Memperbaiki fungsi kardio-respiratorik

- Memperbaiki jalan nafas, pemberian oksigen, resusitasi

Stadium II (0-60 menit):

- Memasang infus pada pembuluh darah besar - Mengambil 50-100 cc darah untuk pemeriksaan

lab

- Pemberian OAE emergensi : Diazepam 10-20 mg iv (kecepatan pemberian < 2-5 mg/menit atau rectal dapat diulang 15 menit kemudian. - Memasukan 50 cc glukosa 40% dengan atau

tanpa thiamin 250 mg intravena. - Menangani asidosis

Stadium III (0-60 - 90 menit): - Menentukan etiologi

- Bila kejang berlangsung terus 30 menit setelah pemberian diazepam pertama, beri phenytoin iv 15-18 mg/kgBB dengan kecepatan 50 mg/menit - Memulai terapi dengan vasopresor bila

diperlukan

- Mengoreksi komplikasi

9. Edukasi

-10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam Ad Sanationam : dubio ad bonam Ad fungsionam : dubio ad bonam 11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis 1. dr. Putu Santy Erawati 2. dr. A A Sg kumala Ningrat. 3. dr. I Ketut Aryawan. 4. dr. A. A. Ifan Distya Jaya. 5. dr. Ida Ayu Gede Oktarini. 6. dr. Ni Made Ayu Wulandari. 14. Indikator Medis 1. Tingkat kesadaran membaik

2. Kejang berhenti

3. Tanda-tanda vital membaik.

(10)

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

TATA LAKSANA KASUS

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

2014-2016

LUKA BAKAR (ICD 10: T20-32.0-3 )

1. Pengertian (definisi) Luka bakar adalah luka yang terjadi akibat sentuhan permukaan tubuh dengan benda-benda yang menghasilkan panas (api, air panas, listrik) atau zat-zat yang bersifat membakar (asam kuat, basa kuat)

2. Anamnesis Adanya riwayat sentuhan/paparan dengan benda-benda yang menghasilkan panas atau zat-zat yang bersifat membakar disertai tanda-tanda luka bakar pada permukaan tubuh

3. Pemeriksaan Fisik 4. Keadaan umum biasanya bervariasi, dari baik hingga buruk

5. Adanya tanda-tanda luka bakar dapat disertai benda, zat atau bahan yang menyebabkan luka bakar pada permukaan tubuh

6. Derajat luka bakar ditentukan oleh kedalaman luka bakar. Beratnya luka bakar bergantung pada dalam, luas, dan daerah luka. Umur dan keadaan kesehatan penderita sebelumnya mempengaruhi prognosis

4. Kriteria Diagnosis Luka bakar dinyatakan dengan derajat

- Derajat I : Hanya mengenai lapisan luar epidermis. Kulit merah,sedikit edema dan nyeri.Tanpa terapi sembuh dalam 2-7 hari

- Derajat II : Mengenai epidermis dan sebagian dermis.Terbentuk bullae, edema dan nyeri hebat. Bila bullae pecah tampak daerah merah yang banyak mengandung eksudat. Sembuh dalam 3-4 minggu

- Derajat III : Mengenai seluruh lapisan kulit dan mungkin subkutis atau lapisan yang lebih dalam. Tampak lesi pucat kecoklatan dengan permukaan lebih rendah daripada bagian yang tidak terbakar. Bila akibat kontak langsung dengan nyala api terbentuk lesi yang kering denga gambaran koagulasi seperti lilin dipermukaan kulit. Tak ada rasa nyeri. Akan sembuh dalam 3 – 5 bulan dengan sikatrik

Luas luka bakar : berdasarkan rumus Lund dan Browder untuk anak-anak sedangkan dewasa dihitung menurut rumus Rule of Nine

Derajat luka bakar : A.Ringan:

- Luka bakar derajat I

(11)

- Luka bakar derajat III dengan luas < 2 % B.Sedang

- Luka bakar derajat II dengan luas 10 - 15% - Luka bakar derajat III denga luas 5 – 10 % C. Berat

- Luka bakar derajat II dengan luas > 20 %

- Luka bakar derajat II yang mengenai wajah, tangan, kaki dan alat kelamin atau persendian sekitar ketiak

- Luka bakar derajat III dengan luas > 10 %

- Luka bakar akibat listrik dengan tegangan > 1000 volt

- Luka bakar dengan komplikasi patah tulang, kerusakan luas jaringan, lunak atau gangguan jalan nafas

5. Diagnosis Kerja Combustio 6. Diagnosis Banding

--7. PemeriksaanPenunjang

--8. Terapi A. Pertolongan pertama

- Matikan api dengan memutuskan hubungan (suplai) dengan oksigen dengan menutup tubuh penderita dengan selimut, handuk, sprei dan lain-lain

- Lakukan pendinginan (untuk kejadian sebelum 1 jam) dengan merendam dalam air dingin (20 - 30

C) atau air yang mengalir selama 20 – 30 menit. Untuk daerah wajah cukup dikompres dengan air B. Untuk luka bakar derajat ringan, yaitu :

- Luka bakar derajat I

- Luka bakar derajat II dengan luas < 15 % - Luka bakar derajat III dengan luas < 2 %

Dapat diterapi / dirawat sebagai berikut : bila ada bullae dapat dipecahkan dengan membuat sayatan tetapi tidak dibulektomi sealnjutnya diberikan antiseptik (dermazin) dan luka ditutup dengan verban / kain bersih dan tidak melekat pada luka. Perawatan dirumah diberikan antiseptik dan kalau perlu diberikan analgetik dan antibiotik untuk mencegah infeksi. Selanjutnya pasien dipulangkan dan bisa kontrol di Poli Kulit RS Indera.

C. Untuk luka bakar derajat sedang dan berat dirujuk ke RSUP Sanglah dengan tindakan Life Saving bila diperlukan

9. Edukasi 1. Monitoring tanda-tanda nyeri dan keadaan umum penderita pada luka bakar derajat ringan yang dipulangkan dan dapat kontrol di Poli Kulit RS Indera

2. Jaga higienitas lingkungan dan perorangan. 10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam

(12)

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis 1. dr. Putu Santy Erawati 2. dr. A A Sg kumala Ningrat. 3. dr. I Ketut Aryawan. 4. dr. A. A. Ifan Distya Jaya. 5. dr. Ida Ayu Gede Oktarini. 6. dr. Ni Made Ayu Wulandari. 14. Indikator Medis 1. Nyeri berkurang

2. Tidak adanya penyulit yang timbul terutama tanda-tanda vital

15. Kepustakaan 1. Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta.

(13)

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) TATA LAKSANA KASUS

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI 2014-2016

SYOK ANAFILAKTIK (ICD 10: T78.2)

1. Pengertian (definisi) Syok yang terjadi akibat reaksi hipersensitivitas I,segera atau sampai 30 menit setelah terjadi kontak dengan allergen

2. Anamnesis 1. Riwayat alergi obat,makanan,dan lainnya.

2. Riwayat pemakaian obat-obatan terutama injeksi. 3. Terdapat gejala umum: lesu,lemah,rasa tak enak di

dada dan perut,rasa gatal di hidung dan palatum, Pernafasan:hidung:hidung

gatal,bersin,tersumbat,laring :rasa tercekik,suara serak,bronkus :batuk, sesak, kardio :pingsan ,gastrointestinal

:mual,muntah,diare,mata;gatal,SSP: gelisah,kejang 4. Pemeriksaan Fisik 1. Tingkat kesadaran

2. Vital sign:TD:hipotensi,N:Takikardi,RR:Nafas cepat

3. Laring:stridor,edema,spasme,Lidah :Edema, 4. Bronkus:Mengi,spasme,

5. kardio:takikardi,hipotensi,aritmia, 6. Gastrointestinal :peristaltik meninggi, 7. Kulit: Urtikaria,angioedema

dibibir,muka,ekstremitas 8. Mata:lakrimasi, SS 5. Kriteria Diagnosis 1.Anamnesis

2.Pemeriksaan fisik 3.Pemeriksaan penunjang 6. Diagnosis Kerja Syok Anafilaktik

7. Diagnosis Banding 1. Reaksi Vasovagal 2. Infark Miokard 3.Reaksi Hipoglikemik 4.Asma Bronkiale 5. Rhinitis Alergika

8. PemeriksaanPenunjang 1.AGD (Analisis Gas Darah) 2.Tes Gula Darah

3.Tes Fungsi Ginjal 4.EKG

5. Rontgen thorax

9. Terapi 1. Menghentikan allergen yang dicurigai segera 2. Menempatkan penderita pada posisi syok

(kedua tungkai diangkat ke atas

3. Mempertahankan jalan nafas dan pemberian oksigen 100%

4. Memperbaiki volume darah,pasang infuse,gunakan cairan kristaloid (Nacl

(14)

menit sesuai beratnya gejala,penderita

mengalami presyok atau syok dapat diberikan dosis 0.3-0.5 mg pada dewasa (pengencer 1:1000),dapat diulang setiap 15 menit hingga tekanan darah sistolik mencapai 90-100 mmHg 6. Terapi sekunder

- antihistamin :difenhidramin 1-2 mg/kgbb - aminofilin loading dose 7-9 mg/kgbb

diberikan dalam 20-30 menit

7. Edukasi 1. Catat obat penderita yang menyebabkan alergi 2.Menghindari obat yang menyebabkan syok anafilaktik

8. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam/malam Ad Sanationam : dubio ad bonam/malam Ad fungsionam : dubio ad bonam/malam 9. Tingkat Evidens IV

10. Tingkat Rekomendasi A/B/C

11. Penelaah Kritis 1. dr. Putu Santy Erawati 2. dr. A A Sg kumala Ningrat. 3. dr. I Ketut Aryawan. 4. dr. A. A. Ifan Distya Jaya. 5. dr. Ida Ayu Gede Oktarini. 6. dr. Ni Made Ayu Wulandari. 12. Indikator Medis - Kesadaran membaik.

- Tanda-tanda vital membaik.

13. Kepustakaan 1. Bakta, I Made, dkk. Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Buku Kedokteran ECG. 1998.

(15)

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) TATA LAKSANA KASUS

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI 2014-2016

COLIC ABDOMEN (ICD 10: R10.4) )

1. Pengertian (definisi) Otot polos saluran cerna atau saluran kencing mengalami spasme hilang timbul sehingga penderita merasakan sakit perut hilang timbul 2. Anamnesis 1. Bagaimana sifat nyeri

2. Lokasi nyeri: menyebar / tidak ? Bagaimana menyebarnya?

3. Apakah disertai muntah? Disertai demam? 4. Apakah disertai sesak nafas?

5. Apakah disertai debar-debar?

6. Adakah tanda-tanda kehamilan (untuk KET) 7. Adakah riwayat gastritis/dispepsia?

8. Bagaimana BAK, dan bagaimana BAB? Apakah bisa kentut?

3. Pemeriksaan Fisik 1. Tensi, nadi, pernafasan, suhu.

2. Pemeriksaan abdomen : lokasi nyeri, adakah nyeri tekan / nyeri lepas ? Adakah

pembesaran hati, apakah teraba massa? Distensi abdomen?, suara usus hiperaktif? 3. Pemeriksaan rektal : lokasi nyeri pada jam

berapa, adakah faeces, adakah darah? 4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesa :Nyeri perut berupa kram (kolik)

pada abdomen,kadang muntah 2. Pemeriksaan fisik : Adanya distensi

abdomen,adanya nyeri tekan pada abdomen, Peningkatan bising usus

5. Diagnosis Kerja Colic abdomen 6. Diagnosis Banding Kanan Atas:

 Kolesistitis akut  Pankreasitis akut  Perforasi tukak peptik  Hepatitis akut

 Abses hati

 Kongestif hepatomegali akut  Pneumonia dengan reaksi pleura

(16)

Kiri Atas:

 Perforasi lambung  Pankreasitis akut  Perforasi kolon

 Pneumonia dengan reaksi pleura  Infark Miokard  Pielonefritis akut Peri Umbilikal:  Obstruksi  Apendiksitis  Pankreasitis akut  Hernia strangulasi  Divertikulitis Kanan Bawah:  Apendiksitis  Adneksitis  Endometriosis

 KET (kehamilan ektopik terganggu  Divertikulitis  Perforasi caecum  Batu ureter  Hernia  Abses psoas Kiri Bawah:  Divertikulitis  Adneksitis / Endometriosis  Perforasi kolon / sigmoid  Batu ureter

 Hernia  Abses psoas

7. PemeriksaanPenunjang 1. Pemeriksaan darah seperti Leukosit , Hb 2. Pemeriksaan urin

(17)

3. Pemeriksaan feses 4. Radiologi

8. Terapi 1. Berikan anti nyeri per oral dan anti nyeri intermuskular / anti nyeri supositori . 2. Untuk colic internal dan nyata peristaltic

meningkat bisa diberi injeksi buscopan. 3. Bila nyeri hilang berikan resep obat oral anti

nyeri dan spasmalitik

4. Evaluasi 15-30 menit bila tidak ada perubahan penderita di rujuk ke RS Sanglah tanpa

ambulance dengan ambulance bila ada tindakan live saving.

9. Edukasi 1. Istirahat yang cukup

2. Pertahankan lingkungan yang tenang 3. Cukup makan dan minum

4. Menjaga personal higien yang baik 10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam/malam

Ad Sanationam : dubio ad bonam/malam Ad fungsionam : dubio ad bonam/malam 11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis 1. dr. Putu Santy Erawati 2. dr. A A Sg kumala Ningrat. 3. dr. I Ketut Aryawan. 4. dr. A. A. Ifan Distya Jaya. 5. dr. Ida Ayu Gede Oktarini. 6. dr. Ni Made Ayu Wulandari.

14. Indikator Medis 1. Berkurangnya kram atau kolik setelah pemberian anti nyeri /anti spasmalitik baik dengan anti nyeri oral atau intramuscular. 2. Pasien terlihat tidak gelisah

15. Kepustakaan 1. Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta.

(18)

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) TATA LAKSANA KASUS

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI 2014-2016

CORPUS ALIENUM MATA (ICD 10: H15.1)

1. Pengertian (definisi) Adalah masuknya benda asing kedalam bola mata. 2. Anamnesis 1. Mata terasa mengganjal dan ngeres.

2. Mendadak merasa tidak enak jika mengedikan mata.

3. Bila tertanam dalam kornea nyeri sangat hebat. 4. Fototobia dan epifora.

5. Gangguan gerak bola mata dan lain-lain 3. Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan visus.

2. Pemeriksaan slit lamp, tampak adanya corpus alienum.

4. Kriteria Diagnosis 1.Anamnesis 2.Pemeriksaan fisik 3.Pemeriksaan penunjang 5. Diagnosis Kerja Corpus alienum mata 6. Diagnosis Banding

-7. PemeriksaanPenunjang 1. Fluoresin test.

8. Terapi 1. Anestesi local tetes mata ( pantokain 2%). 2. Ekstraksi korpal dengan menggunakan lidi

kapas/needle G.25/ spuit 1cc.

3. Lakukan fluoresin test untuk mengetahui adanya erosi kornea.

4. Bebat tekan dengan salep mata gentamisin selama 6 jam.

5. Tetes mata antibiotic ( cendo ulcori) 6 x 1 tetes pada mata yang sakit.

(19)

6. Tetes mata penyegar ( cendo eyefresh/cendo lyteers ) 6 x 1 tetes pada mata yang sakit. 7. Analgetik oral ( asam mefenamat 500 mg) 3x1

tablet. 8. C

9. Kontrol poliklinik 3 hari setelah tindakan. 9. Edukasi 1. Sarankan kepada pasien untuk mengenakan

pelindung mata bila sedang bekerja. 2. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam

Ad Sanationam : dubio ad bonam Ad fungsionam : dubio ad bonam 3. Tingkat Evidens IV

4. Tingkat Rekomendasi C

5. Penelaah Kritis 1. dr. Putu Santy Erawati 2. dr. A A Sg kumala Ningrat. 3. dr. I Ketut Aryawan. 4. dr. A. A. Ifan Distya Jaya. 5. dr. Ida Ayu Gede Oktarini. 6. dr. Ni Made Ayu Wulandari. 6. Indikator Medis - Korpus alienum terangkat. - Keadaan mata membaik.

7. Kepustakaan 1. Sidarta, Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Cet. 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ;

2. Wijana,Nana S,Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke VI 1993

(20)

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) TATA LAKSANA KASUS

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI 2014-2016

HEMATOME PALPEBRA (ICD 10:S00.1)

1. Pengertian (definisi) Adalah merupakan pembengkakan atau penimbunan darah dibawah kulit kelopak akibat pecahnya pembuluh darah palpebra yang disebabkan oleh adanya trauma tumpul pada mata.

2. Anamnesis

Proses terjadinya trauma

 Benda apa yang mengenai mata tersebut

 Bagaimana arah datangnya benda yang mengenai mata itu (Apakah dari depan, samping atas, samping bawah, atau dari arah lain)

 Bagaimana kecepatannya waktu mengenai mata

 Berapa besar benda yang mengenai mata

Bahan benda tersebut (Apakah terbuat dari

kayu, besi atau bahan lainnya)

 Riwayat terjadinya penurunan penglihatan setelah terjadinya trauma.

3. Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan visus.

2. Pemeriksaan fisik mata, meliputi:

 Keadaan kelopak mata

 Kornea

 Bilik mata depan

 Pupil

 Lensa dan fundus

 Gerakkan bola mata

(21)

4. Kriteria Diagnosis 1.Anamnesis 2.Pemeriksaan fisik 3.Pemeriksaan penunjang 5. Diagnosis Kerja Hematoma Palpebra.

6. Diagnosis Banding Brill Hematome (hematome kacamata). 7. PemeriksaanPenunjang 1. Foto polos orbita.

2. USG Orbita. 3. CT-Scan 4. TIO

9. Terapi 1. Kompres dingin 2x24 jam pertama untuk menghentikan proses perdarahan.

2. Kompres hangat pada hari ke 3 hingga hematoma menghilang.

3. Analgetik (asam mefenamat 500 mg) 3x1 tablet bila perlu.

4. Bila terdapat hematoma kacamata (brill hematoma) dan terdapat tanda-tanda fraktur basis cranii segera rujuk pasien untuk melakukan pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut.

5. Kontrol poliklinik mata 5 hari setelah pengobatan. 10. Edukasi 1. Sarankan kepada penderita untuk mengobservasi

tajam penglihatan. Bila terjadi penurunan tajam penglihatan, segera hubungi petugas kesehatan. 11. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam

Ad Sanationam : dubio ad bonam Ad fungsionam : dubio ad bonam 12. Tingkat Evidens IV

13. Tingkat Rekomendasi C

14. Penelaah Kritis 1. dr. Putu Santy Erawati 2. dr. A A Sg kumala Ningrat. 3. dr. I Ketut Aryawan. 4. dr. A. A. Ifan Distya Jaya. 5. dr. Ida Ayu Gede Oktarini. 6. dr. Ni Made Ayu Wulandari. 15. Indikator Medis - Nyeri berkurang.

- Hematoma berkurang.

16. Kepustakaan 1. Sidarta, Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Cet. 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ;

2. Wijana,Nana S,Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke VI 1993

(22)

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) TATA LAKSANA KASUS

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI 2014-2016

SUBCONJUNCTIVAL BLEEDING (SCB) (ICD 10: H11.3)

1. Pengertian (definisi) Adalah suatu kelainan pada konjungtiva yang terjadi akibat akibat pecahnya pembuluh darah yang terdapat pada atau di bawah kongjungtiva, seperti arteri konjungtiva dan arteri episklera oleh karena trauma tumpul pada mata.

2. Anamnesis

Proses terjadinya trauma

 Benda apa yang mengenai mata tersebut

 Bagaimana arah datangnya benda yang mengenai mata itu (Apakah dari depan, samping atas, samping bawah, atau dari arah lain)

 Bagaimana kecepatannya waktu mengenai mata

 Berapa besar benda yang mengenai mata

Bahan benda tersebut (Apakah terbuat dari

kayu, besi atau bahan lainnya)

 Riwayat terjadinya penurunan penglihatan setelah terjadinya trauma.

3. Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan visus.

2. Pemeriksaan fisik mata dengan sentolop atau slit lamp di dapatka pada konjungtiva terdapat adanya kemerahan yang tidak hilang dengan penekanan. 3. Pemeriksaan TIO.

4. Kriteria Diagnosis 1.Anamnesis 2.Pemeriksaan fisik 3.Pemeriksaan penunjang 5. Diagnosis Kerja Subconjunctival Bleeding. 6. Diagnosis Banding

-7. PemeriksaanPenunjang 1. Pemeriksaan TIO. 2. Funduskopi.

(23)

8. Terapi 1. Kompres dingin 2x24 jam pertama untuk menghentikan proses perdarahan.

2. Kompres hangat pada hari ke 3 hingga SCB menghilang.

3. Analgetik (asam mefenamat 500 mg) 3x1 tablet bila perlu.

4. Kontrol poliklinik mata 5 hari setelah pengobatan. 11. Edukasi 1. Informasikan kepada pasien bahwa SCB akan

menghilang dalam waktu 2-3 minggu tanpa pengobatan.

2. Bila dalam perjalanannya terjadi penurunan tajam penglihatan segera hubungi sarana kesehatan.. 12. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam

Ad Sanationam : dubio ad bonam Ad fungsionam : dubio ad bonam 13. Tingkat Evidens IV

14. Tingkat Rekomendasi C

15. Penelaah Kritis 1. dr. Putu Santy Erawati 2. dr. A A Sg kumala Ningrat. 3. dr. I Ketut Aryawan. 4. dr. A. A. Ifan Distya Jaya. 5. dr. Ida Ayu Gede Oktarini. 6. dr. Ni Made Ayu Wulandari. 16. Indikator Medis - SCB menghilang.

- Keadaan mata membaik.

17. Kepustakaan 1. Sidarta, Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Cet. 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ;

2. Wijana,Nana S,Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke VI 1993

(24)

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) TATA LAKSANA KASUS

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI 2014-2016

EROSI KORNEA NON TRAUMATIK (ICD 10: H16.0)

1. Pengertian (definisi) Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat diakibatkan oleh gesekkan keras pada epitel kornea tanpa adanya riwayat trauma. 2. Anamnesis

 Nyeri pada mata.

Mata berair, dengan blefarospasme, lakrimasi, fotofobia,

Penglihatan akan tergantung oleh media kornea yang keruh

3. Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan visus.

2. Pemeriksaan fisik mata dengan sentolop atau slit lamp.

4. Kriteria Diagnosis 1.Anamnesis 2.Pemeriksaan fisik 3.Pemeriksaan penunjang 5. Diagnosis Kerja Erosi kornea.

6. Diagnosis Banding

-7. PemeriksaanPenunjang 1. Fluoresin test.

8. Terapi 1. Tetes mata antibiotika murni seperti spektrum luas neosporin, kloramfenikol dan sulfasetamid tetes mata 6x sehari 1 tetes.

2. Tetes mata penyegar 6x sehari 1 tetes.

3. Bebat mata dengan salep mata selama 6 jam. 4. Analgetik 3x sehari 1 tablet bila perlu.

5. Roboronsia untuk mempercepat proses penyembuhan 1x sehari.

6. Control poliklinik mata 3 hari setelah penanganan awal di UGD.

7. Edukasi 1. Informasikan kepada pasien untuk tidak mengucek mata dan menghindari mata dari debu.

10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam Ad Sanationam : dubio ad bonam Ad fungsionam : dubio ad bonam 11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis 1. dr. Putu Santy Erawati 2. dr. A A Sg kumala Ningrat. 3. dr. I Ketut Aryawan.

(25)

4. dr. A. A. Ifan Distya Jaya. 5. dr. Ida Ayu Gede Oktarini. 6. dr. Ni Made Ayu Wulandari. 14. Indikator Medis - Nyeri menghilang.

- Keadaan mata membaik.

15. Kepustakaan 1. Sidarta, Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Cet. 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ;

2. Wijana,Nana S,Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke VI 1993

(26)

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) TATA LAKSANA KASUS

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI 2014-2016

EROSI KORNEA TRAUMATIK (ICD 10: HS05.0)

1. Pengertian (definisi) Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat diakibatkan oleh gesekkan keras pada epitel kornea dengan adanya riwayat trauma. 2. Anamnesis

 Nyeri pada mata.

 Riwayat trauma pada mata.

Mata berair, dengan blefarospasme, lakrimasi, fotofobia,

Penglihatan akan tergantung oleh media kornea yang keruh

3. Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan visus.

2. Pemeriksaan fisik mata dengan sentolop atau slit lamp.

4. Kriteria Diagnosis 1.Anamnesis 2.Pemeriksaan fisik 3.Pemeriksaan penunjang 5. Diagnosis Kerja Erosi kornea.

6. Diagnosis Banding

-7. PemeriksaanPenunjang 1. Fluoresin test.

8. Terapi 1. Tetes mata antibiotika murni seperti spektrum luas neosporin, kloramfenikol dan sulfasetamid tetes mata 6x sehari 1 tetes.

2. Tetes mata penyegar 6x sehari 1 tetes.

3. Bebat mata dengan salep mata selama 6 jam. 4. Analgetik 3x sehari 1 tablet bila perlu.

5. Roboronsia untuk mempercepat proses penyembuhan 1x sehari.

6. Control poliklinik mata 3 hari setelah penanganan awal di UGD.

9. Edukasi Informasikan kepada pasien untuk tidak mengucek mata dan menghindari mata dari debu.

10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam Ad Sanationam : dubio ad bonam Ad fungsionam : dubio ad bonam 11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

(27)

2. dr. A A Sg kumala Ningrat. 3. dr. I Ketut Aryawan. 4. dr. A. A. Ifan Distya Jaya. 5. dr. Ida Ayu Gede Oktarini. 6. dr. Ni Made Ayu Wulandari. 14. Indikator Medis - Nyeri menghilang.

- Keadaan mata membaik.

15. Kepustakaan 1. Sidarta, Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Cet. 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ;

2. Wijana,Nana S,Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke VI 1993

(28)

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) TATA LAKSANA KASUS

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI 2014-2016

CIDERA KEPALA (ICD 10: S09.0)

1. Pengertian (definisi) Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala

2. Anamnesis

 Mekanisme kejadian?

 Riwayat tidak sadar setelah kejadian?

 Riwayat mual/muntah?

 Riwayat pengaruh alcohol?

 Riwayat penyakit terdahulu.

3. Pemeriksaan Fisik 1. Nilai tanda-tanda vital ( Tekanan Darah, Nadi, Respirasi, Suhu axilla).

2. Nilai kesadaran pasien.

3. Inspeksi visual dan palpasi kepala: tanda-tanda trauma, jejas, hematoma, vulnus pada kepala atau region maksilofasial.

4. Inspeksi tanda-tanda fraktur basis kranii: - Racoon’s eyes: periorbital ecchymosis. - Battle’s sign: postauricular ecchymosis. - CSF rhinorrhea/otorrhea.

- Hemotympanum atau laserasi kanalis auditus eksternus.

5. Tanda-tanda lateralisasi (pupil anisokor, hemiparesa).

4. Kriteria Diagnosis 1. Cidera kepala ringan (CKR dengan GCS 13-15) 2. Cidera kepala sedang (CKS dengan GCS 9-12) 3. Cidera kepala berat (CKB dengan GCS ≤ 8) 5. Diagnosis Kerja Cidera kepala.

6. Diagnosis Banding 1. Stroke 2. Tumor Otak 7. PemeriksaanPenunjang 1. Foto polos kepala.

2. CT-Scan

9. Terapi 1. Stabilisasikan pasien:

PRIMARY SURVEY (PERTOLONGAN PERTAMA) A (Airway):

 Look/Listen/Feel

 Bebaskan jalan nafas (posisikan pasien, bersihkan jalan nafas dari

(29)

 C-Spine control dengan memasang collar brace untuk mencegah gerakan hiperekstensi dan rotasi

 Bila pasien tidak sadar, selalu anggap bahwa terdapat cidera tulang leher.

B (Breathing):

 Perhatikan suara nafas, apakah terdapat suara nafas tambahan atau tidak, gerak dada baik (dinilai apakah perlu nafas buatan?)

 Masker oksigen/nasal C (Circulation):

 Perhatikan Perfusi, Nadi, Tensi

 Bila terdapat tanda-tanda Shock -> RL dan cari sumber perdarahan. (Ingat luka di kepala hampir tidak pernah menyebabkan shock).

 Tensi < 90 nadi < 90 -> kemungkinn spinal shock! Batasi cairan

 Hentikan perdarahan dari luka terbuka D (Disability):

 Nilai kesadaran dengan menilai GCS.

 Nilai pupil (diameter, simetris, RC) E (Exposure):

Periksa bagian tubuh lain secara cepat (nyeri/jejas di dada, perut, tungkai, panggul, leher)

SECONDARY SURVEY

Untuk menentukan kelainan bedah saraf Anamnesa:

 Kejadian?

 Sadar sesudah kejadian?

 Mabuk?

 Penyakit lain: epilepsi, DM, kelainan mata, darah, riwayat jatuh?

Pemeriksaan:

 GCS

 Pupil

 Motorik (parese/plegi)

 Sensorik / rangsang nyeri

 Periksa teliti: wajah, kepala, leher, tulang punggung

2. Observasi di RS selama 1-2 jam.

(30)

2. Tidak ada gangguan fokal neurologis 3. Tidak ada muntah/sakit kepala.

4. Tidak ada tanda-tanda fraktur basis crania (otore, rinore, ekimosis periorbita) 5. Ada yg mengawasi di rmh

6. Tmpt tgl dlm kota

Pasien dipulangkan dengan KIE.

4. Bila dalam observasi di dapat tanda-tanda sebagai berikut:

1. Gangguan kesadaran (GCS<15)

2. Gagguan fokal neurologis (+) [hemiparese, anisokor, kejang]

3. Nyeri kepala/muntah-muntah yg menetap 4. Terdapat tanda-tanda fraktur tulang

kepala/basis crania.

5. Luka tusuk/luka tembak (corpus alienum) 6. Tidak ada yg mengawasi d rmh

7. Tinggal d luar kota 8. Ada mabuk/epilepsi

Pasien dirujuk ke RS yang mempuyai fasilitas untuk menangani kasus cidera kepala.

5. Bila terdapat indikasi sebagai berikut: Indikasi x-foto kepala:

1. Jejas > 5 cm (hematom/vulnus)

2. Luka tusuk/clurit/tembak (Corpus alienum) 3. Fraktur terbuka

4. Deformitas kepala 5. Nyeri kepala menetap 6. Gangguan fokal nurologis 7. Gangguan kesadaran Indikasi ct-scan kepala:

1. Luka tusuk/tembak (corpus alienum) 2. Nyeri kepala menetap/muntah menetap 3. Kejang-kejang

4. Penurunan GCS > 1 poin

5. Lateralisasi (anisokor+hemiparese) 6. GCS < 15 & slm terapi konservatif tidak

membaik

7. Bradikardi yang menyertai salah satu gejala di atas

Pasien dirujuk ke RS yang mempuyai fasilitas untuk menangani kasus cidera kepala

10. Edukasi Bila pasien dipulangkan, informasikan kepada keluarga pasien bila terdapat tanda-tanda: muntah makin sering, Nyeri kepala/vertigo memberat, Gelisah/kesadaran menurun, Kejang, untuk segera membawa pasien ke pusat pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas untuk penanganan cidera kepala.

11. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam/malam Ad Sanationam : dubio ad bonam/malam Ad fungsionam : dubio ad bonam/malam

(31)

12. Tingkat Evidens IV 13. Tingkat Rekomendasi C

14. Penelaah Kritis 1. dr. Putu Santy Erawati 2. dr. A A Sg kumala Ningrat. 3. dr. I Ketut Aryawan. 4. dr. A. A. Ifan Distya Jaya. 5. dr. Ida Ayu Gede Oktarini. 6. dr. Ni Made Ayu Wulandari. 15. Indikator Medis - Kesadaran membaik.

- Tanda-tanda vital membaik - Keadaan umum membaik.

16. Kepustakaan 1. Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta.

(32)

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) TATA LAKSANA KASUS

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI 2014-2016

TRAUMA TUMPUL ABDOMEN (ICD 10:S39.9)

1. Pengertian (definisi) Trauma tumpul abdomen adalah pukulan / benturan langsung pada rongga abdomen yang mengakibatkan cidera tekanan/tindasan pada isi rongga abdomen, terutama organ padat (hati, pancreas, ginjal, limpa) atau berongga (lambung, usus halus, usus besar, pembuluh – pembuluh darah abdominal) dan mengakibatkan ruptur abdomen.

2. Anamnesis Pada anamnesis dapat ditemukan adanya riwayat seperti:

 Trauma pada abdomen akibat benturan benda tumpul

 Jatuh dari ketinggian

 Tindakan kekerasan atau penganiayaan

 Cedera akibat hiburan atau wisata 6.

Selain itu, AMPLE merupakan elemen penting yang harus ditanyakan dalam anamnesis pasien:

A llergies

M edications

P ast medical history

L ast meal or other intake

E vents leading to presentation6 3. Pemeriksaan Fisik  Inspeksi

Perhatikan abdomen pasien untuk melihat adanya tanda-tanda luka luar, seperti abrasi dan atau ekimosis.

Perhatikan pola luka yang ada untuk menduga adanya trauma intra abdominal.( lap belt abrasions, steering wheel–shaped contusions).

Observasi pernapasan pasien, karena pernapasan abdominal mengindikasikan adanya trauma pada sistem spinal. Perhatikan juga adanya tanda-tanda distensi dan perubahan warna pada daerah abdomen.

Cullen sign (periumbilical ecchymosis) mengindikasikan perdarahan retroperitoneal, namun biasanya tanda ini tidak langsung positif. Jika ditemukan memar dan bengkak pada daerah panggul kita harus curiga kearah trauma retroperitoneal.

Inspeksi daerah genitalia dan perineum untuk melihat adanya luka, perdarahan, dan

(33)

hematom pada jaringan ikat longgar6.

 Auskultasi

Bising usus bisa normal, menurun, atau hilang.

Abdominal bruit menandakan adanya penyakit sistem vaskuler yang mendasari atau adanya traumatic arteriovenous fistula.

Bradikardia mengindikasikan adanya cairan bebas intraperitoneal pada pasien dengan trauma abdomen6.

 Palpasi

Palpasi seluruh permukaan abdomen dengan hati-hati sambil melihat respon dari pasien. Perhatikan adanya massa abnormal, tenderness , dan deformitas.

Konsistensi yang padat dan pucat dapat menunjukkan adanya perdarahan intraabdominal.

Krepitasi atau ketidakstabilan dari rongga thoraks bagian bawah mengindikasikan kemungkinan adanya cedera lien atau hepar yang berhubungan dengan cedera costa bawah.

Instabilitas pelvis mengindikasikan adanya luka pada traktus urinarius bagian bawah, seperti juga pada pelvic dan hematom retroperitoneal. fraktur terbuka pelvis juga mengindikasikan potensi cedera pada traktus urinarius bagian bawah cedera serta hematom panggul dan retroperitoneal. Fraktur pelvis terbuka juga berhubungan dengan angka mortalitas yang melebihi 50 %.

Lakukan pemeriksaan rektal dan pelvis vagina untuk mengidentifikasi kemungkinan perdarahan atau cedera.

Lakukan pemeriksaan sensorik dari dada dan abdomen untuk mengevaluasi kemungkinan terjadinya cedera saraf tulang belakang. Cedera saraf tulang belakang dapat dinilai dengan akurat dari abdomen melalui berkurangnya atau hilangnya persepsi nyeri.

Distensi abdomen dapat merupakan akibat dari dilatasi sekunder gaster yang berhubungan dengan ventilasi atau menelan udara

Tanda-tanda peritonitis segera setelah cedera memberi kesan adanya kebocoran isi usus. Peritonitis karena perdarahan intraabdominal dapat berkembang setelah beberapa jam6.  Perkusi

 Perkusi regio thoraks bagian bawah bisa normal, redup, atau timpani.

(34)

Tes undulasi atau shifting dullness bisa positip maupun negatip6.

4. Kriteria Diagnosis 1.Anamnesis 2.Pemeriksaan fisik 3.Pemeriksaan penunjang 5. Diagnosis Kerja Trauma tumpul abdomen 6. Diagnosis Banding

-7. PemeriksaanPenunjang 1. Pemeriksaan laboratorium ( glukosa darah,

complete blood count (CBC), kimia darah, amylase serum, urinalisis, pemeriksaan koagulasi, tipe golongan darah, etanol darah, analisa gas darah, dan tes kehamilan (untuk wanita-wanita usia reproduksi)).

2. Pemeriksaan radiologi (foto polos abdomen, DPL, USG, CT-Scan.

8. Terapi A. Primary Survey a. Airway

Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan bernafas dgn bebas ?

Jika ada obstruksi, lakukan :  Chin lift/ Jaw thrust  Suction

 Guedel Airway  Intubasi trakea b. Breathing

Bila jalan nafas tidak memadai, lakukan :  Beri oksigen

c. Circulation

Menilai sirkulasi/peredaran darah

Hentikan perdarahan external bila ada

Segera pasang dua jalur infus dgn jarum

besar (14-16G)

Beri infus cairan.

B. Secondary survey.

a. Disability

 Nilai kesadaran dengan menilai GCS.  Nilai pupil (diameter, simetris, RC) b. Exposure

Periksa bagian tubuh lain secara cepat (nyeri/jejas di dada, perut, tungkai, panggul, leher).

C. Bila kondisi pasien telah stabil, persiapkan pasien untuk di rujuk ke RS yang memiliki fasilitas untuk menangani kasus trauma abdomen (pemeriksaan penunjang maupun manajemen pasien selanjutnya).

9. Edukasi Informasikan kepada pasien dan keluarga pasien, bahwa pada kasus trauma tumpul abdomen membutuhkan pemeriksaan penunjang, maka dari itu

(35)

pasien harus dirujuk untuk pemeriksaan penunjang tersebut dan penanganan lebih lanjut.

10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad bonam/malam Ad Sanationam : dubio ad bonam/malam Ad fungsionam : dubio ad bonam/malam 11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis 1. dr. Putu Santy Erawati 2. dr. A A Sg kumala Ningrat. 3. dr. I Ketut Aryawan. 4. dr. A. A. Ifan Distya Jaya. 5. dr. Ida Ayu Gede Oktarini. 6. dr. Ni Made Ayu Wulandari. 14. Indikator Medis - Keadaan pasien membaik.

15. Kepustakaan 1. AGD 118 Jakarta, Basic Trauma and Cardiac Life Support, 2004

2. Emergency nursing Asociation. Trauma Nursing Care Course (4th).

3. Pedoman Pelayanan Gadar di Rumah Sakit Dir. Kep. Medik Dirjen Bidang Pelayanan Medik Jakarta.

(36)

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) TATA LAKSANA KASUS

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI 2014-2016

GLAUKOMA AKUT (ICD 10:H40.2 )

1. Pengertian (definisi) Suatu peningkatan tekanan bola mata yang mendadak akibat tertutupnya sudut bilik mata depan oleh cairan humor aquos / vitreus.

2. Anamnesis 1. Penglihatan kabur mendadak

2. Nyeri hebat pada mata sampai ke kepala 3. Mual, muntah, pusing

4. Kadang melihat halo / pelangi di sekitar obyek 3. Pemeriksaan Fisik 1. Visus sangat menurun

2. TIO meningkat / tinggi (60-80 mmHG), pada perabaan bola mata terasa keras.

3. Mata merah (injeksi silier) 4. Kornea odem dan keruh

5. Pupil lebar dan kurang bereaksi terhadap sinar 6. COA dangkal

7 . Diskus optikus terlihat merah dan bengkak 4. Kriteria Diagnosis 1. Nyeri hebat pada mata

2. Visus menurun mendadak 3. TIO tinggi (60-80 mmHG) 4. Pupil lebar

5. Kornea odem / keruh 5. Diagnosis Kerja Glaucoma akut

6. Diagnosis Banding 1. Keratitis 2. Uveitis 3. Ulkus kornea

7. PemeriksaanPenunjang 1. Pemeriksaan funduskopi. 2. Pemeriksaan TIO.

8. Terapi 1. Pasien diobservasi bila perlu opname

2. Segera berikan obat Acetazolamid 500 mg (2 tablet) sekaligus kemudian lanjutkan 1 tablet @ 6 jam

3. Gliserin AA (1 cc / kgBB dicampur air sama banyak diminum sekaligus) perhari selama 3 hari 4. Apabila obat diatas tidak menolong, dapat

diberikan Manitol 10-20 mg / kgBB, iv atau perinfus 60 tts / mnt. Dapat pula diberikan Morphin injeksi.

5. Untuk local dapat diberikan Pilocarpin 2-4% TM diberikan tiap 30 mnt selama 6 jam kemudian

(37)

dilanjutkan 6x sehari.

6. Apabila tekanan bola mata menurun sampai 30 mmHG segera lakukan operasi filtrasi di kamar operasi oleh dokter spesialis mata. (Perifer iridektomi, iridenclisis, trabekulektomi).

9. Edukasi 1. Pasien dianjurkan untuk control secara teratur setiap 6 bulan sekali untuk menilai tekanan bola mata dan lapang pandang..

10. Prognosis Ad bonam jika segera ditangani, Ad vitam jika tidak segera tertangani.

11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis 1. dr. Putu Santy Erawati 2. dr. A A Sg kumala Ningrat. 3. dr. I Ketut Aryawan. 4. dr. A. A. Ifan Distya Jaya. 5. dr. Ida Ayu Gede Oktarini. 6. dr. Ni Made Ayu Wulandari. 14. Indikator Medis - Nyeri pada mata berkurang.

- TIO menurun..

15. Kepustakaan 1. Sidarta, Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Cet. 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ;

2. Wijana,Nana S,Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke VI 1993

(38)

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) TATA LAKSANA KASUS

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI 2014-2016

HYPHEMA TRAUMATICA (ICD 10:S05.1)

1. Pengertian (definisi) Perdarahan pada bilik mata depan (COA) yang berasal dari iris atau badan siliar akibat trauma tumpul mata yang dapat menyebabkan penurunan penglihatan / kebutaan.

2. Anamnesis 1. Ada riwayat trauma tumpul

2. Nyeri pada mata disertai berair / epifora 3. Penglihatan kabur / menurun

3. Pemeriksaan Fisik 1. Adanya perdarahan di COA bisa sebagian / penuh

2. Visus menurun

3. Tekanan bola mata bisa meningkat

4. Blefarospasme (klpk mata berkedip tak terkendali)

5. Odem palpebra

6. Kadang iridoplegi (pupil midriasis), pupil anisokor, iridodialisis.

4. Kriteria Diagnosis 1. Adanya perdarahan di COA 2. Penurunan visus

3. Riwayat trauma tumpul 5. Diagnosis Kerja Hyfema

6. Diagnosis Banding 1. Hyphema karena trauma tumpul. 2. Hyphema post operatif.

3. Hyphema dengan penyulit (glaucoma sekunder, uveitis, hemosiderosis).

7. PemeriksaanPenunjang 1. Slit lamp biomicroscopy 2. Tonometri

3. Opthalmoscopy 4. USG mata 5. CT-Scan Orbita

6. Pemeriksaan lapang pandang

8. Terapi 1. Pasien diopname

2. Tirah baring dengan posisi kepala lebih tinggi 30 3. Istirahatkan mata dengan bebat mata

4. Bila perlu pada anak-anak diberikan obat penenang

5. Antibiotika tetes mata bila ada tanda infeksi, Acetacolamid bila terjadi peningkatan TIO. 6. Tindakan operatif (Parasintesa) atau

pengeluaran darah dari bilik mata depan dikerjakan bila:

(39)

- Ada tanda-tanda kenaikan TIO

- Hyfema yg tetap (tidak berkurang > 5 hari) - Hyfema penuh dengan berwarna hitam - Hemosiderosis pada endotel kornea 7. Operasi parasintesa ini dikerjakan oleh dokter

spesialis mata di kamar operasi. 9. Edukasi

1. Tirah baring

2. Tidak menyentuh, menggosok, menekan mata karena bisa terjadi infeksi

3. Jangan oleskan obat / salep mata

4. Hindari penggunaan obat Aspirin, Ibuprofen, NSAID karena dapat mengencerkan darah. 5. Kompres dingin untuk mengurangi sakit /

pembengkakan. 10. Prognosis Dubius Ad Bonam 11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis 1. dr. Putu Santy Erawati 2. dr. A A Sg kumala Ningrat. 3. dr. I Ketut Aryawan. 4. dr. A. A. Ifan Distya Jaya. 5. dr. Ida Ayu Gede Oktarini. 6. dr. Ni Made Ayu Wulandari.

14. Indikator Medis Perdarahan hilang / berkurang, visus membaik, TIO normal.

15. Kepustakaan 1. Sidarta, Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Cet. 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ;

2. Wijana,Nana S,Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke VI 1993

(40)

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

TATA LAKSANA KASUS

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

2014-2016

TRAUMA KIMIA PADA KORNEA (ICD 10:S05.8)

1. Pengertian (definisi) Trauma yang diakibatkan oleh zat kimia yang bersifat asam / basa yang berbahaya, dapat berbentuk cair, gas, atau padat.

2. Anamnesis 1. Mata merah, perih, sakit, dan berair

2. Ada riwayat terpapar zat kimia (asam / basa) 3. Penglihatan kabur

3. Pemeriksaan Fisik 1. Hiperemi konjungtiva 2. Kornea keruh

3. Lensa keruh

4. Tekanan bola mata bisa meningkat

5. Hipotoni bila ada kerusakan pada badan silier 6. Mata kering akibat kerusakan kelenjar air mata 7. Terdapat nekrosis & iskemi ringan pada

konjungtiva dan kornea 8. Tukak kornea

9. Visus menurun

4. Kriteria Diagnosis 1. Ada riwayat terkena zat kimia pada mata 2. Hiperemi konjungtiva

3. Kornea keruh / erosi 5. Diagnosis Kerja Trauma kimia pada mata 6. Diagnosis Banding 1. Konjungtivitis

2. Konjungtivitis hemoragik akut 3. Keratokonjungtivitis Sicca 4. Ulkus kornea

7. PemeriksaanPenunjang 1. Slit lamp 2. Opthalmoscop 3. Tonometri

8. Terapi 1. Anamnesa singkat untuk menentukan jenis zat yang terpapar

2. Teteskan anastesi topical TM 2% (Pantokain TM) yang bisa diulang tiap menit selama 5 menit. 3. Lakukan tindakan irigasi cairan fisiologis pada

permukaan kornea, konjungtiva bulbi, fornik superior & inferior. Untuk trauma asam, irigasi bisa sampai 30 menit, sedangkan trauma basa bisa sampai 1 jam ( cairan 1-2 lt) atau sampai tercapai PH normal.

4. Tes kertas lakmus secara berkala, dilakukan diantara tindakan irigasi untuk mengetahui

(41)

apakah Ph permukaan bola mata sudah normal. 5. Setelah irigasi dianggap cukup, berikan tetes

mata siklopegik jangka panjang “Atropin 2%” dan tetes mata antibiotika. Untuk trauma basa bisa diberikan tambahan steroid tetes mata karena zat basa lebih bersifat korosif.

6. Selanjutnya pemeriksaan & pengobatan difinitif dilakukan oleh dokter spesialis mata termasuk adanya indikasi rawat inap atau pasien disarankan untuk control ke poli mata.

9. Edukasi

1. Informasikan pada pasien, bila terkena cairan kimia segera membasuh mata dengan air mengalir.

2. Hindari mata dari debu.

3. Bila terdapat perburukan pada mata setelah pengobatan awal, segera menghubungi sarana kesehatan.

4. Kontrol poliklinik mata.

10. Prognosis Dubius ad bonam bila penanganan segera dilakukan. 11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi C

13. Penelaah Kritis 1. dr. Putu Santy Erawati 2. dr. A A Sg kumala Ningrat. 3. dr. I Ketut Aryawan. 4. dr. A. A. Ifan Distya Jaya. 5. dr. Ida Ayu Gede Oktarini. 6. dr. Ni Made Ayu Wulandari. 14. Indikator Medis Tercapai PH normal pada mata

15. Kepustakaan 1. Sidarta, Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Cet. 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ;

2. Wijana,Nana S,Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke VI 1993

(42)

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

TATA LAKSANA KASUS

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

2014-2016

APPENDISITIS AKUT (ICD 10:K35.8)

1. Pengertian (definisi) suatu radang yang timbul secara mendadak pada apendiks dan merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui

2. Anamnesis 1. Nyeri epigastrium atau regio umbilicus disertai mual dan anorexia.

2. Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5 - 38,5C.

3. Nyeri berpindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik Mc Burney, nyeri tekan, nyeri lepas dan adanya defans muskuler.

4. Nyeri rangsangan peritoneum tak langsung nyeri kanan bawah pada tekanan kiri (Rovsing’s Sign) nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg’s Sign).

3. Pemeriksaan Fisik 1. Inspeksi

- Tidak ditemukan gambaran spesifik

- .Kembung sering terlihat pada komplikasi perforasi.

- Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses periapendikuler. - Tampak perut kanan bawah tertinggal pada

pernafasan 2. Palpasi

- nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri tekan lepas.

- Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.

3. Perkusi

- Pekak hati menghilang jika terjadi perforasi usus.

4. Auskultasi

- Biasanya normal.

- Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata

5. Rectal Toucher

- Tonus musculus sfingter ani baik. - Ampula kolaps.

- Nyeri tekan pada daerah jam 9 dan 12. - Terdapat massa yang menekan rectum

(jika ada abses). 6. Uji Psoas

(43)

hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menepel di m. poas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.

7. Uji Obturator

Digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m. obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada apendisitis pelvika. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks

8. Indeks Alvarado

Characteristic

Score

M = Migration of pain to the RLQ 1

A = Anorexia

1

N = Nausea and vomiting

1

T = Tenderness in RLQ

2

R = Rebound pain

1

E = Elevated temperature

1

L = Leukocytosis

2

S = Shift of WBC to the left

1

Total

10

Interpretasi:

1.

Skor >8 : Kemungkinan besar menderita

apendisitis. Pasien ini dapat langsung diambil

tindakan pembedahan tanpa pemeriksaan lebih

lanjut. Kemudian perlu dilakukan konfirmasi

dengan pemeriksaan patologi anatomi.

2.

Skor 2-8 : Tingkat kemungkinan sedang untuk

terjadinya apendisitis. Pasien ini sebaiknya

dikerjakan pemeriksaan penunjang seperti foto

polos abdomen ataupun CT scan.

3.Skor <2 : Kecil kemungkinan pasien ini

menderita apendisitis. Pasien ini tidak perlu

untuk di evaluasi lebih lanjut dan pasien dapat

dipulangkan dengan catatan tetap dilakukan

follow up pada pasien ini.

4. Kriteria Diagnosis 1. Ada riwayat nyeri epigatrium yang berpindah ke region kanan bawah (Mc Burney sign).

2. Nyeri perut kanan bawah pada pemeriksaan fisik. 3. Alvarado score > 7 poin

(44)

2. PID

3. Ulcus pepticum. 4. Dyspepsia.

7. PemeriksaanPenunjang 1. Pemeriksaan laboratorium. 2. Foto polos abdomen. 3. USG Abdomen.

9. Terapi 1. Stabilisasi keadaan umum pasien.

2. Setelah pasien dalam keadaan stabil, persiapkan pasien untuk di rujuk ke RS yang memiliki fasilitas untuk menangani pasien dengan appendicitis akut.

10. Edukasi

1. Informasikan kepada keluarga pasien bahwa pasien dengan appendicitis akut butuh penanganan segera untuk mencegah terjadinya perforasi.

11. Prognosis Dubius ad bonam bila penanganan segera dilakukan. 12. Tingkat Evidens IV

13. Tingkat Rekomendasi C

14. Penelaah Kritis 1. dr. Putu Santy Erawati 2. dr. A A Sg kumala Ningrat. 3. dr. I Ketut Aryawan. 4. dr. A. A. Ifan Distya Jaya. 5. dr. Ida Ayu Gede Oktarini. 6. dr. Ni Made Ayu Wulandari. 15. Indikator Medis Nyeri pada pasien menghilang.

16. Kepustakaan 1. Craig Sandy, Lober Williams. Appendicitis, Acute. Diakses dari www.emedicine.com, tanggal 4 Juli 2014.

2. Katz S Michael, Tucker Jeffry. Appendicitis. Diakses dari: www.emedicine.com, tanggal 4 NJuli 2014.

(45)

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

TATA LAKSANA KASUS

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

2014-2016

SINDROM STEVENS - JOHNSON (ICD 10: L51.1 ) 1. Pengertian

(definisi) Sindrome Stevens-Johnson merupakan sindrome yangmengenai kulit, selaput lendir di orifisium mulut dan anogenital, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat yang disebabkan karena reaksi hipersensitifitas baik karena obat mapun infeksi

2. Anamnesis Adanya riwayat menggunakan obat secara sistemik atau kontak obat pada kulit yang terbuka pada jangka waktu penggunaan obat yang tidak terlalu lama.

3. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan umum biasanya bervariasi, dari baik hingga buruk

2. Adanya kelainan kulit antara lain : eritema, vesikel, papul, erosi, ekskoriasi, krusta kehitaman, kadang purpura dan kelainan selaput lendir terutama orifisium mulut dan anogenital serta kelainan mata.

4. Kriteria Diagnosis Diagnosis berdasarkan keadaan klinis dan histopatologis umtuk menegakkan diagnosa dan faktor penyebabnya

5. Diagnosis Kerja Sindroma Stevens-Johnson 6. Diagnosis Banding Nekrolisis Epidermal Toksik 7. Pemeriksaan

Penunjang

1. Darah rutin : Bila leukositosis penyebabnya kemungkinan infeksi, bila eosinofilia kemungkinan karena alergi

2. Pemeriksaan imunogik : IgG dan IgM dapat meninggi 3. Biopsi kulit : untuk pemeriksaan histopatologis dengan

gambaran eritema multiforme yang bervariasi

4. Pemeriksaan elektolit, glukosa, dan bikarbonate untuk menentukan tingkat keparahan dan level dehidrasi

8. Terapi Non Medikamentosa :

1. Pasien diminta menghentikan obat yang dicurigai 2. Berikan kartu alergi bila pasien sembuh dari gejala

yang diderita

3. Berikan daftar jenis obat yang harus dihindari pasien Medikamentosa :

1. Hentikan obat

2. Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednison 30-40 mg perhari 3. Atasi keadaan umum, terutama pada yang berat untuk

life saving pada penekanan airway, breathing dan sirkulasi. Penderita harus dirawat inapkan untuk life saving, pencegahan infeksi, dan pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi

4. Penatalaksanaan multidisiplin terutama bila dicurigai terdapat kelainan sistemik dan komplikasi dan bila terdapat gambaran seperti luka bakar yang menyeluruh perlu untuk dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai

(46)

9. Edukasi 1. Memberitahukan pada pasien tentang obat-obatan yang dapat membuat alergi pada diri pasien.

2. Kontrol kembali bila keluhan semakin memberat atau kontrol luka bila sudah dipulangkan dalam keadaan baik.

3. Jaga higienitas lingkungan dan perorangan. 10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad malam

Ad Sanationam : dubio ad malam Ad fungsionam : dubio ad malam 11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi

C

13. Penelaah Kritis 1. dr. Putu Santy Erawati 2. dr. A A Sg kumala Ningrat. 3. dr. I Ketut Aryawan. 4. dr. A. A. Ifan Distya Jaya. 5. dr. Ida Ayu Gede Oktarini. 6. dr. Ni Made Ayu Wulandari. 14. Indikator Medis 1. Keadaan umum membaik

2. Tanda – tanda lesi lama mengalami involusi dan tidak timbul lesi baru

3. Tidak adanya penyulit yang timbul terutama tanda-tanda vital

15. Kepustakaan 1. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi ketiga.

2. www.patient.co.uk/doctor/stevens-johnson syndrome. 3. www.merckmanuals.com/home/skin_disorders/hyper- sensitivity_and_inflamantory_skin_disorders/stevens-johnson_syndrome_sjs_and toxic_epidermal_necrolysis. html

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

TATA LAKSANA KASUS

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

2014-2016

(47)

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

SYOK HYPOVOLEMIK (ICD 10:R57.1 )

1. Pengertian (definisi)

Syok hipovolemik adalah salah satu jenis syok yang

disebabkan oleh inadekuatnya volume intravaskuler

dengan volume darah di vaskuler

2. Anamnesis 1. Adanya riwayat trauma yang menyebabkan perdarahan, misalnya trauma thorax, dan trauma abdomen.

2. Adanya riwayat kehamilan ektopik terganggu,

3. Adanya riwayat trauma yang menyebabkan fraktur pada tulang besar, misalnya fraktur femur dan fraktur humerus. 4. Adanya luka bakar luas.

5. Adanya riwayat gangguan gastrointestinal, misalnya pada peritonitis dan gastroenteritis.

3. Pemeriksaan Fisik

1. Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat

penurunan pengisian kapiler selalu berkaitan dengan

berkurangnya perfusi jaringan.

2. Takhikardia: peningkatan laju jantung dan

kontraktilitas adalah respons homeostasis penting

untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran

darah ke mikrosirkulasi berfungsi mengurangi

asidosis jaringan.

3. Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk

resistensi pembuluh darah sistemik dan curah

jantung, vasokonstriksi perifer adalah faktor yang

esensial dalam mempertahankan tekanan darah.

Autoregulasi aliran darah otak dapat dipertahankan

selama tekanan arteri turun tidak di bawah 70 mmHg.

4. Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang

pada syok hipovolemik. Oligouria pada orang dewasa

terjadi jika jumlah urin kurang dari 30 ml/jam.

4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesa (riwayat trauma).

2. Tanda-tanda dehidrasi. 3. Takikardia.

4. Hipotensi. 5. Oliguria. 5. Diagnosis Kerja Syok hypovolemik. 6. Diagnosis Banding 1. Syok kardiogenik.

2. Syok septic. 3. Syok neurogenik. 7. Pemeriksaan

Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium hematologi 8. Terapi A. Primary Survey

a. Airway

Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan bernafas dgn bebas ?

Jika ada obstruksi, lakukan :  Chin lift/ Jaw thrust  Suction

(48)

b. Breathing

Bila jalan nafas tidak memadai, lakukan :  Beri oksigen

c. Circulation

Menilai sirkulasi/peredaran darah

Hentikan perdarahan external bila ada

Segera pasang dua jalur infus dgn jarum besar (14-16G)

Beri infus cairan.

B. Secondary survey.

d. Disability

 Nilai kesadaran dengan menilai GCS.  Nilai pupil (diameter, simetris, RC) e. Exposure

Periksa bagian tubuh lain secara cepat (nyeri/jejas di dada, perut, tungkai, panggul, leher).

C. Bila kondisi pasien telah stabil, persiapkan pasien untuk di rujuk ke RS yang memiliki fasilitas untuk menangani kasus syok hypovolemik (pemeriksaan penunjang maupun manajemen pasien selanjutnya).

9. Edukasi Informasikan kepada keluarga pasien bahwa keadaan syok hypovolemeik merupakan keadaan yang emergency dan harus segera di rujuk ke pusat pelayanan yang lebih memadai.

10. Prognosis Ad Vitam : dubio ad malam Ad Sanationam : dubio ad malam Ad fungsionam : dubio ad malam 11. Tingkat Evidens IV

12. Tingkat Rekomendasi

C

13. Penelaah Kritis 1. dr. Putu Santy Erawati 2. dr. A A Sg kumala Ningrat. 3. dr. I Ketut Aryawan. 4. dr. A. A. Ifan Distya Jaya. 5. dr. Ida Ayu Gede Oktarini. 6. dr. Ni Made Ayu Wulandari. 14. Indikator Medis 1. Keadaan umum membaik

2. Tanda-tanda syok menghilang.

15. Kepustakaan 1. Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta.

RUMAH SAKIT INDERA

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

TATA LAKSANA KASUS

RUMAH SAKIT INDERA PROVINSI BALI

2014-2016

Referensi

Dokumen terkait

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis keluhan pasien berupa gatal terutama pada sela jari, dan pergelangan tangan, terutama

Diagnosis kasus intoksikasi Gramoxone terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. DIAGNOSIS (KASUS)

Diagnosis OA sendi lutut dekstra pada pasien ini dapat ditegakkan berdasarkan kriteria ACR berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan kriteria radiologis, yakni

Kriteria inklusi yaitu pasien terdiagnosis epilepsi yang terbukti dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan dieksklusi jika informasi di rekam medis pasien yang

Diagnosis dapat ditegakkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik serta.. dapat dibantu dengan

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan  bakteriologi serta pemeriksaan pemenunjang lainnya maka dapat ditetapkan diagnosis awal pasien

a) Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medik untuk menentukan diagnosis utama dan diagnosis banding. b) Memberikan tindakan stabilisasi sesuai

Rujuk ke pelayanan kesehatan sekunder untuk diagnosis definitif bila tidak dapat ditegakkan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama Peralatan 1 Laboratorium untuk pemeriksaan