IV. PETA SOSIAL KAMPUNG ADAT CIREUNDEU
4.1. Lokasi
Kampung Cireundeu merupakan salah satu lokasi yang berada di wilayah Kelurahan Leuwigajah Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi dan terletak di antara perbatasan Kota Cimahi dengan Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung Barat. Jarak kampung Cireundeu ke kantor Kelurahan Leuwigajah kurang lebih tiga kilometer, empat kilometer ke kecamatan serta enam kilometer ke kota atau ke pusat Pemerintah Kota Cimahi; dengan keadaan topografi datar, bergelombang sampai berbukit.
Wilayah kampung adat Cireundeu dikelilingi oleh gunung Gajah Langu dan Gunung Jambul di sebelah Utara, Gunung Puncak Salam di sebelah Timur, Gunung Cimenteng di sebelah Selatan serta Pasir Panji, TPA Leuwigajah dan Gunung Kunci di sebelah Barat. Dari ketinggian Gunung Gajah Langu ± 890 meter dpl tersebut, selayang pandang terlihat jelas panorama Kota Cimahi, Kotamadya Bandung dan Kabupaten Bandung yang berada pada cekungan dan hamparan telaga yang terbentuk dari sejak zaman purba.
Keadaan tanah di kampung Cireundeu dan sekitarnya diantaranya jenistanah Latosol dan podsolik merah kuning, dengan topografi datar, bergelombang sampai berbukit. Luas areal tanah yang biasa dipakai kegiatan budidaya tanaman singkong dan tanaman jenis lainnya oleh masyarakat kampung Cireundeu sekitar 25 Ha. Di samping itu areal tanah di sepanjang bukit mulai dari Pasir Panji, Gunung Jambul, Gunung Gajah Langu, Gunung Puncak Salam, Gunung Cimenteng sampai berbatasan dengan Kecamatan Batujajar diperkirakan seluas 800 Ha, luas areal yang dipakai perumahan masyarakat sekitar 5 Ha (Diskopindagtan 2009) sedangkan kepemilikan tanah di wilayah ini dimiliki oleh individu dan pemerintah.
Secara administratif Kampung Cireundeu berada dalam wilayah RT 02, 03 dan 05 dari lima RT di RW 10 Kelurahan Leuwigajah, sedangkan 2 RT lainnya merupakan perkampungan biasa dimana warganya mencari nafkah sebagai pemulung ketika TPA masih berfungsi. Jalan utama menuju kampung adat Cireundeu sepanjang 800 meter dengan kondisi cukup baik, prasarana
transportasi berupa jalan kampung selebar kurang lebih satu meter yang menghubungkan antar rumah warga. Sarana transportasi umum yang utama untuk mobilitas warga keluar kampung adalah angkot dan ojeg. Waktu tempuh menuju lokasi dan sarana penting dari kelurahan Leuwigajah dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 5 Orbitasi, Jarak dan Waktu Tempuh Kampung Cireundeu
No Orbitasi Jarak Waktu Tempuh
1 Ke Kelurahan 3 km 8 menit
2 Ke Kota Cimahi 5,5 km 15 menit
3 Ke Pasar 2 km 3 menit
4 Ke Puskesmas 1,8 km 3 menit
5 Ke RSUD Cibabat 4 km 10 menit
Sumber : Data primer (2008) diolah
Berdasarkan uraian dan data tabel di atas, bisa diketahui bahwa jarak fisik dan sosial dari pusat pertumbuhan baik kota Cimahi, kecamatan maupun pasar tidaklah jauh, sehingga memudahkan segala jenis informasi dan akses dari pihak masuk ke wilayah Kampung Cireundeu.
4.2. Kependudukan
Penduduk Kelurahan Leuwigajah pada Desember 2006 tercatat berjumlah 35.553 orang dan pada Desember 2007 berjumlah 39.570 orang, terdiri dari 20.004 laki-laki dan 19.566 perempuan dengan jumlah KK sebanyak 10.211KK. Terdapat angka pertambahan penduduk sebanyak 4.017 orang dalam satu tahun. Angka pertambahan sebesar ini di antaranya disebabkan oleh migrasi masuk yang tinggi ke Kelurahan Leuwigajah, faktor penyebabnya adalah banyaknya industri tekstil dan garmen di kelurahan-kelurahan yang berbatasan dengan Leuwigajah dan banyak menyerap tenaga kerja pendatang dari luar, sehingga para pendatang ini masuk menjadi penduduk dengan KTP Leuwigajah. Sedangkan Jumlah komunitas Adat Cireundeu sendiri menurut data RW 10 tahun 2008 terdiri dari 56 KK. Adapun jumlah penduduk usia kerja (15 sampai 64 thn) di wilayah Leuwigajah sebanyak 26.196 orang atau 66,20 persen dari jumlah penduduk.
Sedangkan kepadatan penduduk Kelurahan Leuwigajah sudah mencapai 1233 jiwa/km2 (BPS Kota Cimahi, 2007).
Gambar 2 Grafik Penduduk Kelurahan Leuwigajah Berdasar Kelompok Umur Tahun 2007
Sumber : Monografi Kelurahan Leuwigajah tahun 2007 (diolah)
Penduduk beragama Islam 35.198 orang, Katolik 47 orang, Kristen Protestan 111 orang, Hindu 25 orang, Budha 113 orang dan penganut Kepercayaan 47 orang dari sekitar 56 KK atau lebih kurang 200 jiwa warga kampung adat Cireundeu. Penganut kepercayaan yang dimaksud adalah kepercayaan Sunda Wiwitan atau biasa juga disebut agama Madrais.
0 500 100015002000 2500 300035004000 0 - 4 5 – 9 10 – 14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – Keatas
Tingkat Pendidikan di Kelurahan Leuwigajah bisa dilihat pada sebagai berikut :
Tabel 6 Komposisi Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan
NO TK PENDIDIKAN JUMLAH (JIWA)
1 Usia 7 – 45 Tidak Sekolah 251
2 Tidak tamat SD 401 3 Tamat SD 2697 4 SMP 6967 5 SMA 13893 6 Diploma 3472 7 S-1 3466 Jumlah 31147
Sumber : Monografi Kelurahan Leuwigajah tahun 2007 (diolah)
Dari data tersebut bisa diketahui bahwa tingkat melek huruf sebagai salah satu indikator IMH Kelurahan Leuwigajah sudah cukup baik yaitu mencapai angka 78 persen dari jumlah penduduk 39.570 jiwa.
4.3. Sistem Ekonomi
Mata pencaharian utama penduduk Kelurahan Leuwigajah adalah sebagai pegawai/buruh industri yang tersebar disekitar wilayah kelurahan dan wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung. Jumlah industri besar/sedang paling banyak berada di wilayah kecamatan Cimahi Selatan. Pabrik-pabrik ini umumnya berusaha dalam industri tekstil dan garment dimana hasil produksinya turut mendukung Jawa Barat sebagai pengekspor tekstil terbesar di Indonesia. Jumlah Jenis pekerjaan berikutnya yang dimiliki oleh penduduk adalah sebagai PNS/TNI - POLRI sedangkan jenis-jenis pekerjaan lain bisa dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 7 Komposisi Penduduk berdasarkan Jenis Mata Pencaharian
NO MATA PENCAHARIAN JUMLAH (JIWA)
1 Buruh/Swasta 6191 2 PNS/TNI-POLRI 2285 3 Pengusaha/Pedagang 161 4 Pengrajin/Tukang 126 5 Peternak 25 6 Dokter 15 7 Sopir 234 8 Lain-lain 442 Jumlah 9479
Sumber : Monografi Kelurahan Leuwigajah tahun 2007 (diolah)
Untuk bidang pertanian, bukan merupakan jenis mata pencaharian utama karena Leuwigajah lebih merupakan daerah penyangga dari industri-industri disekitarnya, sehingga pertanian di Leuwigajah tidak masuk ke dalam jenis mata pencaharian yang pilih masyarakat. Daerah pertanian hanya terdapat di RW 10 terutama di RT 02, RT 03 dan RT 05 dimana pertanian di sini dimiliki dan dikelola oleh komunitas kampung adat Cireundeu, jenis tanaman utama adalah singkong yang merupakan bahan pangan pokok mereka, jagung dan sayuran lain ditanam sebagai tanaman tumpang sari di ladang singkong. Singkong ditanam di bukit-bukit yang menurut istilah mereka “dipelak di gunung”, perjalanan ke kebun singkong ini ditempuh dalam satu jam berjalan kaki. Hasil panen singkong tidak dijual tetapi diolah untuk dijadikan ”rasi”, yaitu ampas singkong yang masih mengandung sedikit tapioka yang kemudian dijemur dan setelah kering digiling kasar menjadi berbentuk butiran seperti beras. Rasi ini tahan disimpan sampai enam bulan sebagai persediaan bahan pangan mereka. Untuk hasil pertanian lainnya; kacang tanah, jagung dan sayuran dijual kepasar, termasuk tapioka dan kulit singkong yang diolah menjadi kerupuk.
Mata pencaharian yang lain dari komunitas adat Cireundeu adalah beternak domba dan kambing dalam skala rumah tangga. Cara pemeliharaan ternak adalah dikandangkan dan diberi makan campuran rumput-rumputan dan
daun singkong. Ternak-ternak ini biasanya secara rutin dijual menjelang hari raya Idul Adha tetapi secara insidental dijual apabila ada orang yang datang ke kampung membeli ternak untuk keperluan acara keluarga atau keperluan pribadi lainnya. Sedangkan warga RT 01dan RT 04 mayoritas bekerja sebagai pemulung di lokasi TPA Leuwigajah, ketika TPA belum ditutup. Setelah TPA ditutup karena bencana longsor sampah, maka para pemulung ini sekarang menganggur dan hanya kurang lebih 20 orang yang bisa bekerja menjadi tenaga honorer Dinas PLK sebagai pengangkut sampah di Kota Cimahi.
4.4. Struktur Komunitas Kampung Adat Cireundeu
Warga Komunitas Adat Cireundeu merupakan warga asli penduduk Kelurahan Leuwigajah dan menikah dengan sesama warga adat Cireundeu. Seiring dengan berjalannya waktu terjadi pernikahan dengan orang di luar komunitas, baik warga seputar Kota Cimahi ataupun dengan warga lainnya. Perkembangan selanjutnya terjadi pencampuran adat kebiasaan antara warga adat dengan warga non adat.
Dari sisi pelapisan sosial, dikatakan bahwa pelapisan sosial dalam suatu komunitas dapat terbentuk secara alami dalam proses pertumbuhan komunitas, atau melalui pembentukan oleh komunitas itu sendiri untuk tujuan tertentu. Pelapisan sosial dapat pula terbentuk berdasarkan garis keturunan, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, kekayaan yang dimiliki, dan unsur-unsur lain yang menjadi pertimbangan dalam komunitas. Pelapisan sosial dalam kehidupan sehari-hari secara nyata dalam komunitas adat Cireundeu terlihat mulai memudar, walaupun pada dasarnya pelapisan tersebut masih ada dan diakui. Pelapisan sosial yang terjadi di kampung adat Cireundeu ini didasarkan pada :
1. Keturunan
Dalam Komunitas Kampung Adat Cireundeu, keturunan menjadi faktor pembentuk pelapisan sosial. Hal ini karena warga yang merupakan keturunan dari sesepuh atau ketua adat terdahulu, walaupun tidak satu keturunan langsung biasanya akan meneruskan jabatan tersebut di kampung ini. Oleh karenanya warga di Kampung Adat Cireundeu memandang lebih tinggi keturunan dari para sesepuh adat.
2. Kemampuan Ekonomi
Secara umum warga komunitas adat Cireundeu mempunyai tingkat pendapatan yang cukup untuk pemenuhan kebutuhan minimal rumah tangga. Beberapa dari anggota komunitas memiliki pendapatan yang tinggi dan tercermin dari asset yang dimiliki dan seringkali menjadi penyandang dana bagi kegiatan kemasyarakatan dalam komunitas, sehingga sebagian dari warga mampu ini kemudian menjadi disegani dan menjadi tokoh masyarakat di kampung adat Cireundeu.
3. Aktivitas dalam Masyarakat
Dalam perkembangannya Kampung Adat Cireundeu merupakan wilayah terbuka yang banyak dikunjungi oleh berbagai kelompok masyarakat di luar komunitas. Dalam interaksinya dengan dunia luar, disamping sesepuh adat secara alamiah tampil juru bicara atau aktifis yang menjembatani komunitas dengan tamu atau pihak luar, sehingga warga yang menjadi juru bicara ini menjadi penting dan didengar apa pendapatnya. Orang yang menjadi aktivis dalam komunitas ini berpendidikan lebih tinggi dari pendidikan rata-rata warga komunitas kampung adat Cireundeu.
Sistem pelapisan sosial dalam komunitas kampung adat Cireundeu dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 3 Sistem Pelapisan Sosial dalam Komunitas Adat Cireundeu
Sumber : Data primer (2008), diolah
Aktivitas dalam Masyarakat Kemampuan Ekonomi
Pelapisan Sosial dalam komunitas kampung adat Cireundeu menempatkan sesepuh adat pada strata yang tertinggi. Jabatan sesepuh adat pada masa lalu akan diteruskan oleh keturunannya jika sesepuh adat yang memimpin saat itu wafat. Tetapi pada saat sekarang sesepuh atau pemimpin adat dipilih atau ditunjuk berdasarkan dedikasi yang bersangkutan dalam komunitas. Kewenangan sesepuh adat dalam pengambilan keputusan membuat sosok sesepuh dijadikan sebagai panutan yang disegani warga komunitas. Kemudian pelapisan sosial yang terjadi ada kaitannya dengan tingkat ekonomi atau pendapatan warga, dimana warga yang mempunyai harta kekayaan lebih banyak menjadi disegani oleh anggota komunitas lainnya.
Pola pemukiman warga kampung adat Cireundeu seperti pada umumnya masyarakat Sunda pada masa lalu berkumpul pada satu perkampungan yang saling berdekatan, sedangkan lahan pertanian utama yaitu persawahan berada di satu blok yang lain. Pada saat sekarang pola itu tidak berubah, hanya saja jarak antar satu rumah dengan rumah lainnya sangat dekat tanpa pembatas lahan kosong di antaranya, demikian pula jarak ke kebun menjadi semakin dekat. Untuk rumah tinggal, bentuk bangunan rumah berevolusi dari model rumah panggung berbahan kayu menjadi rumah-rumah modern berbahan batu.
4.5. Organisasi dan Kelembagaan 4.5.1. Organisasi
Dalam komunitas kampung adat Cireundeu terdapat beberapa organisasi yang bersifat formal seperti PKK tingkat RW yang keanggotaannya mencakup sebagian ibu-ibu warga komunitas kampung adat Cireundeu dan dipimpin oleh seorang ketua, yaitu istri ketua RW. Anggota PKK tingkat RW ini aktif mengikuti berbagai kegiatan yang diselenggarakan dan diturunkan dari lembaga tingkat atasnya seperti PKK tingkat Kelurahan, PKK tingkat Kota atau dari Pemerintah Kota Cimahi. Ragam kegiatan yang dilaksanakan Organisasi PKK berkisar pada perbaikan dan peningkatan kesejahteraan keluarga, seperti modifikasi bahan pangan singkong kedalam berbagai bentuk pangan yang lebih beragam dan menarik. Organisasi lainnya adalah kelompok usaha penerima berbagai bantuan kegiatan pengembangan ekonomi. Kelompok ini merupakan suatu organisasi
yang dalam beberapa tahun terakhir melembaga dan melaksanakan berbagai usaha ekonomi seperti misalnya pertanian dan peternakan. Kedua organisasi di atas adalah organisasi formal yang dibentuk oleh pemerintah sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang diberikan oleh pemerintah.
Organisasi lainnya adalah Lingkung Seni Purwa Wirahma cabang Cireundeu yang bergiat dalam pelestarian kesenian etnis masyarakat Sunda seperti Angklung Buncis ( Budaya Ciri Sunda), Kacapi Suling, Karinding dan Gamelan Sunda. Lingkung Seni ini muncul atas prakarsa beberapa tokoh masyarakat Cireundeu sebagai antisipasi kian menyusutnya apresiasi anggota komunitas terhadap kesenian Sunda, padahal di sisi lain kesenian Sunda merupakan bagian dari ritual keagamaan komunitas. Keanggotaan organisasi sangat beragam mulai dari anak-anak, pemuda sampai orang dewasa. Lingkung Seni sangat jarang melaksanakan pentas di luar komunitas, walau demikian latihan rutin tetap dilaksanakan sebagai wujud apresiasi terhadap kesenian tersebut; dalam istilah komunitas kegiatan ini disebut “ngamumule”.
Dengan keragaman latar belakang penduduk Leuwigajah terdapat proses
assosiatif terutama di wilayah RW 10, antara warga RT 02, RT 03 Kampung
Adat Cireundeu dengan warga RT 01, RT 04 dan RT 05, misalnya pantangan memasak beras dan memakan hasil olahannya sekarang sudah bergeser, mereka masih tetap tidak memakan olahan beras dan beras ketan tetapi sudah mau mengolahnya terutama bila hajatan atau membantu warga lain di luar warga kampung yang sedang hajatan, tetapi dengan sikap masih tetap amat menghormati beras, seperti diceritakan oleh ibu R apabila mereka menemukan sebutir beras jatuh maka akan segera dipungut sambil mengatakan “deudeuh teuing” ( sayang sekali).
4.5.2. Kelembagaan Adat
Kelembagaan masyarakat adat sebagai suatu entitas sosial memiliki aturan
dan norma hukum yang mengikat seluruh komunitas di dalamnya. Menurut Tony (2003), kelembagaan sosial merupakan himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat.
Kelembagaan mengarah pada seperangkat norma dan nilai yang diyakini masyarakat sebagai suatu tatanan dalam berperilaku untuk memenuhi kebutuhannya.
Berkaitan dengan hal tersebut menurut Lammers seperti diacu oleh Tonny (2003) kelembagaan sosial berfungsi untuk: (1) memberi pedoman berperilaku pada individu/masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi masalah di dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan; (2) menjaga keutuhan dengan adanya pedoman yang diterima bersama; (3) memberi pedoman kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial dalam hal pengawasan terhadap tingkah laku anggotanya; (4) memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Dengan demikian kelembagaan bersifat suatu konsepsi dan bukan sesuatu yang kongkrit. Hal ini membedakan kelembagaan dari lembaga (organisasi) yang sifatnya lebih kongkrit dengan struktur yang dibentuk dan disusun dengan sengaja untuk kelompok-kelompok tertentu.
Kelembagaan lain adalah “bale”, secara etimologis bale berarti balai-balai yang biasanya merupakan ruang terbuka tempat orang-orang berkumpul, tetapi dalam konteks yang lebih luas bale merupakan symbol yang melembaga dan menjadi representasi kehidupan komunitas. Dalam “bale” dibicarakan dan diputuskan berbagai hal penting yang menyangkut kepentingan komunitas, seperti misal urusan internal dan eksternal komunitas. Kelembagaan adat “bale” dalam komunitas adat kampung Cireundeu lebih terfokus pada penanganan masalah yang berkaitan dengan kehidupan warga sehari-hari, dan kegiatan yang berkaitan dengan masalah ritual serta adat istiadat/tradisi setempat.
4.6. Sumber Daya Lokal
Sumber daya lokal adalah seluruh potensi yang dimiliki suatu daerah/wilayah dan merupakan modal sosial yang dapat digunakan dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Dalam kaitan dengan sumber daya maka kampung adat Cireundeu memiliki sumber daya lokal berupa sumber daya alam dan sumber daya manusia. Dalam komunitas kampung adat Cireundeu sumber daya yang tersedia khususnya sumber
daya alam, belum dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan pendapatan sehari-hari warga komunitas.
Luas areal tanah yang biasa dipakai kegiatan budidaya tanaman singkong dan tanaman jenis lainnya oleh masyarakat kampung Cireundeu sekitar 28 Ha dengan jenis tanaman palawija di antaranya singkong, ubi jalar, kacang tanah dan jagung. lahan yang dipergunakan untuk tanaman singkong sekitar 25 Ha, untuk tanaman jagung 3 Ha, sedangkan tanaman kacang tanah dan ubi jalar biasanya dibudidayakan dengan sistem tumpang sari. Keadaan tanaman pertanian yang biasa dibudidayakan di kampung Cireundeu adalah jenis tanaman palawija diantaranya singkong, ubi jalar, kacang tanah dan jagung. Luas lahan yang dipergunakan untuk tanaman singkong sekitar 25 Ha, untuk tanaman jagung 3 Ha, sedangkan tanaman kacang tanah dan ubi jalar biasanya dibudidayakan dengan sistem tumpang sari. Budidaya singkong di kampung Cireundeu sudah intensif dilakukan baik dari segi budidaya maupun pengolahannya, pemeliharaan singkongnya pun sangat mudah sehingga setiap orang dapat memeliharanya. Hasil pengolahan sebagian dijual dengan cara konsumen datang ke lokasi atau hasil olahan dikirim sesuai pesanan. Tanaman hortikultura seperti sawi, tomat, cabe dan jenis tanaman buah-buahan biasanya ditanam dalam rangka pemanfaatan lahan pekarangan saja (Diskopindagtan, 2009).
Di bidang peternakan masyarakat adat kampung Cireundeu mengusahakan ternak domba dan ayam. Populasi ternak di kampung Cireundeu yang paling dominan adalah ternak domba yakni sekitar 380 ekor, sedangkan ternak ayam ayam hanya sekitar 100 ekor. Hal ini karena ternak domba dapat digunakan untuk pemanfaatan limbah singkong berupa kulit singkong dan daun singkong sebagai makanannya (Diskopindagtan, 2009).
4.6.1. Analisis Terhadap Sumber Daya Alam
Komunitas kampung adat Cireundeu berada pada rangkaian alam yang berbukit dan berlembah, untuk wilayah pertanian berada pada bukit-bukit kecil yang mereka sebut gunung sedangkan perumahan tersebar di kaki bukit dan lembah. Untuk mencapai kebun di atas bukit membutuhkan waktu kurang lebih
satu jam perjalanan dari perkampungan dengan melewati jalan setapak. Wilayah tempat tinggal komunitas adat Cireundeu merupakan perkampungan padat, sehingga rata-rata anggota komunitas tidak memiliki cukup lahan untuk diversifikasi pertanian yang diharapkan bisa meningkatkan pendapatan mereka. Prasarana jalan dalam lingkungan perkampungan berukuran kecil yang hanya bisa dilalui sepeda motor dengan kondisi jalan baik.
TPA Leuwigajah berada di sisi kiri atas perkampungan dan hanya terhalang oleh jalan lingkungan. Di sekitar bagian bawah TPA terdapat lahan pertanian berupa sawah, dimana sebagian sawah tersebut dimiliki oleh warga Kampung Adat Cireundeu. TPA ini pernah mengalami bencana longsor yang menimbulkan korban jiwa dan rusaknya lahan pertanian yang ada di sekitar TPA. Bencana longsor sampah tersebut merupakan bencana ekologi yang sedikit banyak telah mempengaruhi kehidupan dan budaya anggota komunitas.
Untuk pengolahan dan pemanfaatan lahan, warga Cireundeu melakukannya bersama-sama mulai dari mengatur pola tanam, mengolah tanah, menanam, memanen, dan mengolah singkong untuk disimpan lama, menyimpan dan membaginya. Sistem penguasaan lahan/tanah di Kelurahan Leuwigajah di miliki oleh perorangan dan secara umum memiliki dokumen kepemilikan yang sah menurut hukum. Sumber daya agraria kurang termanfaatkan secara optimal oleh warga Leuwigajah termasuk warga kampung Cireundeu, terlihat dari pilihan profesi warga yang lebih banyak memilih bekerja di luar sektor pertanian.
4.6.2. Analisis Terhadap Sumber Daya Manusia
Dilihat dari tingkat pendidikan sebagian besar warga komunitas kampung adat Cireundeu berpendidikan tidak tamat SD, lainnya SMP dan SMA serta satu atau dua orang berpendidikan perguruan tinggi. Secara konseptual rendahnya pendidikan akan berpengaruh secara signifikan terhadap pengetahuan dan keterampilan. Tetapi konsep tersebut tidak seluruhnya tepat diterapkan dalam komunitas adat Cireundeu, rendahnya pengetahuan dan keterampilan warga diimbangi oleh life skill anggota komunitas yang secara alamiah muncul di dalam kehidupan komunitas, keterbatasan sumberdaya alam dan dekatnya komunitas
dengan budaya kota juga turut membentuk karakter anggota komunitas untuk bisa memanfaatkan segala sumber yang ada.
Tetapi sisi lainnya, respon yang diberikan warga terhadap upaya progam pemberdayaan yang dilaksanakan tidak menunjang keberlanjutan program tersebut. Warga komunitas mau turut serta dalam suatu kegiatan apabila kegiatan tersebut dianggap menguntungkan secara finansial. Sikap warga komunitas yang kurang responsif terhadap suatu kegiatan kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan warga, yang menimbulkan kekurang pahaman warga terhadap manfaat dari suatu kegiatan. Penyebab lainnya adalah pengaruh budaya kota, yang ekses negatif nya membuat warga komunitas menjadi bersikap individualistis.
4.7. Masalah Sosial.
Sumber daya lokal adalah sebagian dari dukungan kehidupan yang dapat disediakan oleh lingkungan untuk mahluk hidup yang berada diatasnya. Daya dukung ekologis terhadap kepadatan populasi di wilayah kelurahan Leuwigajah mulai berkurang, hal ini bisa dilihat dari munculnya beberapa masalah klasik perkotaan seperti sampah yang melebihi kapasitas tempat pembuangan, sanitasi lingkungan, alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman, dan kepemilikan lahan yang berkurang.
Secara luas masalah dapat diartikan sebagai perbedaan antara harapan dan kenyataan. Suatu masalah merupakan masalah sosial bila masalah tersebut dirasakan oleh banyak orang dan menuntut pemecahan melalui aksi sosial secara kolektif. Berikut hasil kajian mengenai beberapa masalah sosial yang dirasakan oleh komunitas kampung adat Cireundeu.
4.7.1. Lokasi TPA ( Tempat Pembuangan Akhir ) Sampah Leuwigajah
Keberadaan lokasi TPA di sekitar perkampungan tempat komunitas kampung adat bermukim menimbulkan masalah sosial bagi seluruh masyarakat di sekitar TPA. Keberadaannya selalu menjadi bahan pertentangan baik di dalam komunitas maupun antara komunitas dengan masyarakat lain dan pemerintah daerah. Di satu sisi keberadaan TPA Leuwigajah secara nyata sangat dibutuhkan
oleh seluruh masyarakat Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kota Bandung, tetapi di sisi lain menimbulkan polusi udara, masalah kesehatan masyarakat sekitar TPA dan terakhir menimbulkan bencana longsor yang menimbulkan korban jiwa. Bencana longsor sampah yang terjadi pada tahun 2005 silam dan menimbulkan ratusan korban jiwa telah menyisakan trauma bagi warga Kampung Cireundeu sehingga wacana pembukaan kembali TPA oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat menimbulkan reaksi beragam.
Mayoritas warga komunitas kampung Adat Cireundeu menolak keberadaan TPA dan sebagian lagi menerima dengan syarat dan kompensasi. Dua sikap yang berbeda ini menimbulkan friksi sehingga mengganggu harmoni kehidupan komunitas secara keseluruhan. Di tengah pertentangan antara reaksi dua kelompok tersebut terdapat pihak-pihak tertentu yang berusaha mengambil keuntungan, seperti menjadi makelar tanah dan memprovokasi masyarakat pemilik sawah agar mendapatkan ganti rugi tanah atau sawah dengan harga setinggi-tinggi nya.
4.7.2. Mudahnya Aksessibilitas
Kampung Adat Cireundeu merupakan komunitas adat yang hidup di tengah kota, akses fisik dan non fisik ke dalam dan keluar komunitas sangat mudah. Lokasi Perkampungan cukup ditempuh dengan perjalanan 15 menit dari pusat Kota Cimahi dan 45 menit dari Kota Bandung menggunakan kendaraan bermotor. Prasarana komunikasi dan informasi juga merambah sampai ke perkampungan sehingga warga komunitas menjadi familiar dengan bentuk-bentuk kehidupan modern dengan segala ekses negatifnya.
Keberadaan komunitas adat Cireundeu di dalam wilayah masyarakat kota juga menjadi faktor penarik yang membuat warga masyarakat lain datang silih berganti mengunjungi komunitas tersebut, mulai dari unsur pemerintahan berbagai wilayah Indonesia seperti asosiasi bupati, kelompok organisasi kemasyarakatan, akademisi, sampai kepada warga masyarakat biasa. Tujuan kedatangan kelompok masyarakat ini adalah untuk melihat keunikan komunitas kampung adat Cireundeu yang mengkonsumsi singkong atau ubi kayu sebagai bahan pangan
utamanya. Persentuhan dengan para tamu dan budayanya secara intens menimbulkan perubahan dalam pola pikir dan cara pandang komunitas.
Kemudahan akses ini pelan-pelan menimbulkan pengaruh negatif terhadap kelestarian budaya hidup komunitas, pengaruh- pengaruh budaya luar atau budaya kota sedikit banyak sudah mewarnai kehidupan komunitas. Semangat materialisme menjadi warna tersendiri dalam komunitas, mereka familiar dengan merk-merk kendaraan terbaru, telepon seluler, dan benda-benda konsumtif lainnya. Masalah yang kemudian muncul adalah dengan kemampuan ekonomi yang terbatas benda-benda konsumtif tersebut merusak tatanan kehidupan yang seimbang.
4.7.3. Rendahnya Produksi Pangan
Mata pencaharian utama warga komunitas adalah bertani sedangkan jenis tanaman utamanya adalah singkong atau ubi kayu, tanaman lain yang menjadi pelengkap adalah jagung, kacang tanah serta beternak domba. Singkong atau ubi kayu di tanam di ladang di perbukitan dengan jumlah lahan terbatas serta tidak semua anggota komunitas memiliki lahan pertanian. Dengan situasi seperti ini produksi singkong sebagai bahan pangan utama menjadi terbatas. Hal lain yang menjadi permasalahan adalah serangan virus pada umbi tanaman singkong sehingga produksi pangan semakin berkurang dan dikhawatirkan tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan komunitas. Virus tanaman singkong ini semakin menjadi masalah bila dikaitkan dengan keinginan komunitas dan pemerintah Kota Cimahi untuk mengembangkan makanan khas komunitas kampung adat Cireundeu berbahan dasar singkong dan memproduksinya dalam jumlah besar dan menjualnya keluar Cimahi bahkan keluar Indonesia sebagai produk unggulan dengan ”bench mark” Kampung Adat Cireundeu Cimahi.