• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIFAT PELAKSANAAN PERSIDANGAN YANG TERTUTUP UNTUK UMUM PADA PERKARA TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SIFAT PELAKSANAAN PERSIDANGAN YANG TERTUTUP UNTUK UMUM PADA PERKARA TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

SIFAT PELAKSANAAN PERSIDANGAN YANG TERTUTUP UNTUK UMUM PADA PERKARA TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Oleh : Rizqi Nurul Awaliyah, S.H (NIP 199412152017122001)

I. PENDAHULUAN

Negara pada dasarnya telah mengatur tentang perlindungan terhadap korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (selanjutnya disebut dengan KDRT) berikut dengan seperangkat pengaturan pelaksananya untuk melaksanakan pencegahan, perlindungan serta penindakan pelaku KDRT sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Indonesia Tahun 1945. Dalam Pasal 28G ayat (1) disebutkan bahwa Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan Hak Asasi.

Penanganan perkara pidana KDRT masuk dalam kompetensi wilayah peradilan umum. Dewasa ini, jumlah perkara pidana KDRT yang dilaporkan ke kepolisian dan diteruskan hingga sampai pada proses pemeriksaan di pengadilan terus meningkat. Salah satu agenda yang wajib ada dalam persidangan adalah proses pembuktian di pengadilan yang bertujuan untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan. Dalam pelaksanaan proses pembuktian persidangan tersebut menjadi permasalahan oleh sebagian besar Hakim sehubungan apakah persidangan tersebut dilaksanakan secara terbuka atau tertutup. Hal ini dikarenakan perkara pidana KDRT sangat berhubungan erat dengan ranah privasi antara suami dan istri (dan dalam hal ini seringkali berhubungan dengan anak dari yang bersangkutan) sedangkan pada dasarnya suatu persidangan haruslah dilaksanakan secara terbuka kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. Dalam Undang-Undang yang mengatur yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak mengatur secara jelas tentang pelaksanaan persidangan perkara pidana KDRT yang mana menimbulkan persepsi pengaturan dalam Undang-Undang tersebut menyeret persoalan private ke ranah publik.

Berdasarkan permasalahan tersebut, Penulis beranggapan perlu membahas tentang bagaimana pelaksanaan persidangan perkara pidana KDRT yang ideal di pengadilan sehingga memenuhi rasa keadilan serta sesuai dengan tujuan Undang-Undang yang bertujuan untuk melindungi martabat dan kehormatan seseorang.

(2)

2

II. PERMASALAHAN

Permasalahan yang akan dibahas oleh Penulis dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana aturan umum mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga?

b. Bagaimana Sifat Pelaksanaan Persidangan Yang Tertutup Untuk Umum Pada

Perkara Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga?

III. PEMBAHASAN

A. Aturan Umum mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Definisi Kekerasan menurut Kamus Bahasa Indonesia diartikan dengan perihal yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik. Menurut pendapat Arif Gosita

dalam bukunya1, bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah “berbagai macam

tindakan yang menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial pada para anggota keluarga oleh sesama anggota keluarga (anak/menantu/ibu/ayah/istri/suami)”. Berdasarkan definisi tersebut dapat diartikan bahwa KDRT merupakan tindakan yang dilakukan oleh anggota keluarga (dalam hal ini bisa suami, istri, ayah, ibu, atau anak) kepada anggota keluarga lain yang menimbulkan penderitaan, baik penderitaan fisik maupun psikis.

Pengaturan tentang KDRT sendiri sebenarnya telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (selanjutnya disebut dengan UU KDRT) serta Peraturan Pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Definisi KDRT sendiri diatur dalam Pasal 1 UU KDRT yang berisi bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Berdasarkan definisi KDRT tersebut di atas dapat diketahui bahwa jenis-jenis KDRT-pun terbagi menjadi beberapa bentuk, yaitu

a. kekerasan fisik;

b. kekerasan psikis;

1 Syadri Adnansyah, Skripsi: “Pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Terjadi di Kota

Pare Pare (Studi Putusan No. 54/Pid.Sus/2014/PN.Parepare” (Makasar: Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, 2015, hlm 43.

(3)

3

c. kekerasan seksual; dan

d. penelantaran rumah tangga.

Berdasarkan UU KDRT tersebut, dijelaskan bahwa maksud dari kekerasan fisik adalah perbuatan seseorang yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6). Kekerasan psikis seperti yang diatur dalam Pasal 7 adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan hilangnya rasa percaya diri seseorang, hilangnya kemampuan seseorang untuk bertindak serta rasa tidak berdaya hingga penderitaan psikis berat pada seseorang.

Lebih lanjut dalam UU KDRT tersebut diatur dalam Pasal 8 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah:

a. pemaksaaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam

lingkup rumah tangga tersebut; dan

b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah

tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Penjelasan dari Pasal tersebut adalah bahwa yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah berarti bahwa setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu2.

Dan selanjutnya bentuk kekerasan yang terakhir adalah penelantaran dalam rumah tangga. Dalam Pasal 9 UU KDRT dijelaskan bahwa bentuk penelantaran dalam rumah tangga adalah termasuk dalam jenis KDRT yakni meliputi:

a. menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, yang padahal menurut hukum

yang berlaku baginya ataupun karena perjanjian maupun persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Hal ini berarti bahwa tidak memberi nafkah istri dalam jangka waktu tertentu hingga membuat keluarganya terlantar adalah merupakan kekerasan dalam rumah tangga, termasuk didalamnya adalah tidak mengurus dan merawat serta memperlakukan anak sebagaimana mestinya;

2 Makarao, Mohammad Taufik, Weny Bukamo dan Syaiful Azri. 2013. Hukum Perlindungan Anak dan

(4)

4

b. menelantarkan anggota keluarga yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi

dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut. Hal ini berarti bahwa melarang istri bekerja untuk ikut membantu suami padahal kondisi keluarga dalam keadaan kekurangan adalah termasuk ke dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Karena bisa jadi dengan adalanya pelarangan ini menimbulkan jiwa istri tertekan karena harus pintar membagi uang nafkah dari suami agar kebutuhan keluarga tercukupi padahal jumlah nafkah tersebut jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak anak atau anggota keluarga lain.

Dalam Pasal 2 ayat (1) UU KDRT sendiri dijelaskan bahwa lingkup rumah

tangga dalam UU KDRT tersebut meliputi anggota keluarga yang terdiri dari3:

a. suami, isteri, dan anak (anak dalam perkara ini adalah termasuk anak angkat dan

anak tiri);

b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana

dimaksud pada huruf a tersebut dikarenakan hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga (yang dimaksud dengan hubungan perkawinan dalam ketentuan ini misalnya mertua, menantu, ipar dan besan); dan

c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga

tersebut. Pada ayat (2) dijelaskan bahwa orang yang bekerja dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkuan.

Sehingga berdasarkan isi Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam perkara KDRT tidak hanya melulu antar suami, istri dan anak, melainkan unsur keluarga lain yang berada/tinggal dalam rumah tersebut.

B. Pelaksanaan Persidangan Yang Tertutup Untuk Umum Pada Perkara Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Pada dasarnya, semua persidangan pengadilan terbuka untuk umum. Dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP diatur bahwa untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua

3 Makarao, Mohammad Taufik, Weny Bukamo dan Syaiful Azri. 2013. Hukum Perlindungan Anak dan

(5)

5

sidang membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau apabila terdakwanya anak-anak. Berdasarkan ayat tersebut, dapat dijelaskan bahwa pada saat majelis hakim hendak membuka sidang, hakim harus menyatakan “sidang terbuka untuk umum” dan setiap orang yang hendak mengikuti jalannya persidangan dapat hadir memasuki ruangan sidang, pintu dan jendela ruangan pun terbuka. Terbukanya persidangan tersebut tentu dengan memperhatikan prinsip agar persidangan dilaksanakan secara tertib. Kecuali untuk untuk pemeriksaan perkara kesusilaan atau perkara yang terdakwanya anak-anak, sidang dilakukan dengan pintu tertutup. Pelanggaran atas prinsip ini mengakibatkan “batalnya putusan” demi hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 153

ayat (4) KUHAP.4 Maksud dengan pintu tertutup adalah bahwa persidangan tidak

dapat diikuti oleh masyarakat umum, kecuali pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian perkara pidana. Makna lainnya adalah bahwa detail materi persidangan dilarang untuk dipublikasikan ke publik.

Tak hanya diatur dalam KUHAP, dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga mengatur tentang persidangan terbuka untuk umum, yaitu:

1. Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali

undang-undang menentukan lain.

2. Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan

dalam sidang terbuka untuk umum.

3. Tidak dipenuhinya ketentuan tersebut diatas mengakibatkan putusan batal demi

hukum.

Pengaturan sidang pengadilan yang harus terbuka untuk umum dengan pembatasan perkara yang dikecualikan tersebut menjadi permasalahan tersendiri terhadap pelaksanaan persidangan perkara pidana KDRT. Dalam UU KDRT tidak terdapat pengaturan secara jelas bagaimana seharusnya pelaksanaan pemeriksaan dalam sidang perkara KDRT apakah harus tertutup ataukah terbuka untuk umum, termasuk didalamnya adalah Peraturan Pelaksananya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga tidak ada satupun Pasal yang menjelaskan adanya keharusan pelaksanaan pemeriksaan sidang harus terbuka atau tertutup.

4 M Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, edisi kedua, cetakan ke-10, Sinar

(6)

6

Hal ini menjadi masalah tatkala ketika dikembalikan pada asasnya yakni dalam Pasal 153 ayart (3) KUHAP yang menyatakan sidang yang dilaksanakan harus terbuka kecuali untuk perkara kesusilaan dan anak.

Pengertian delik kesusilaan sendiri menurut Barda Nawawi Arief adalah delik yang berhubungan dengan (masalah) kesusilaan. Sedangkan batas-batas kesusilaan cukup luas dan dapat berbeda-beda menurut pandangan dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Pada dasarnya setiap delik atau tindak pidana mengandung pelanggaran terhadap nilai-nilai kesusilaan, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu

sendiri merupakan nilai-nilai kesusilaan yang minimal.5

Sedangkan menurut R. Soesilo dijelaskan bahwa arti kesusilaan (perbuatan asusila) memiliki keterkaitan dengan norma kesopanan, perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah dada perempuan, meraba tempat kemaluan perempuan, memperlihatkan anggota kemaluan,

mencium.6

Berdasarkan penjelasan diatas, salah satu bentuk KDRT yakni kekerasan seksual seharusnya merupakan termasuk dalam larangan persidangan dilakukan secara terbuka karena itu merupakan sebuah privat dalam keluarga yang tabu untuk diungkapkan ke publik serta berhubungan dengan kesusilaam. Perkara pidana KDRT sangat erat kaitannya dengan ranah privat seseorang atau keluarga dan substansinya hampir tidak mempunyai perbedaan dengan sidang kasus perceraian yang dalam persidangan membicarakan masalah intern suatu kelaurga yang tidak jarang termasuk didalamnya membicarakan atau memperdengarkan aib keluarga di hadapan majelis Hakim, sedangkan dalam hal ini perkara perceraian dilaksanakan secara tertutup. Hal ini sesuai dengan Pasal 80 ayat (2) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang memerintahkan bahwa Pemeriksaan gugatn perceraian dilakukan dalam sidang tertutup. Selain itu dalam Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup, dan dalam penjelasan dijelaskan juga bahwa pemeriksaan

5 Barda Nawawi Aref, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, edisi Kedua cetakan ke-4, Kencana, Jakarta,

2014, hlm 251.

6

(7)

7

sidang tertutup ini berlaku juga bagi pemeriksaan Saksi-Saksi. Hal ini secara jelas diartikan bahwa pelaksanaan persidangan perkara perceraian baik di Pengadilan Negeri maupun di Pengadian Agama dilaksanakan secara tertutup.

Berdasarkan hal tersebut, maka sudah seharusnya pemeriksaan persidangan perkara pidana KDRT dilaksanakan secara tertutup. Selain dikarenakan masalah privasi/aib sebuah kelaurga, hal tersebut juga dapat menimbulkan tekanan psikologis baik untuk korban KDRT maupun anggota keluarga lain terutama anak dalam keluarga tersebut yang apabila sidang dilaksanakan terbuka, maka anggota kelaurga akan malu dengan hal-hal yang kemungkinan akan terungkap di persidangan pada saat agenda pembuktian karena hal-hal yang seharusnya menjadi privasi kelaurga tersebut dapat keluar menjadi konsumsi publik.

Berdasarkan penjelasan diatas, selain bentuk KDRT berupa kekerasan seksual yang harusnya dilaksanakan secara tertutup, terdapat juga bentuk KDRT lain yang perlu diperhatikan dan ditinjau ulang yakni kekerasan fisik, kekerasan psikis dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan fisik yang mempunyai arti suatu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat baiknya dilakukan secara tertutup dikarenakan hampir dapat dipastikan asal muasal dari adanya kekerasan fisik tersebut adalah dikarenakan adanya masalah privasi keluarga yang menyangkut aib seseorang. Sehubungan dengan hal tersebut, pernah terjadi dalam sidang di Pengadilan Negeri Bekasi pada sekitar tahun 2012 yang dalam keterangan Korban sebagai Saksi enggan menuturkan secara rinci pertanyaan yang diajukan oleh Hakim dikarenakan penjelasan tersebut memuat aib dirianya dan istrinya dan saat

persidangan tersebut dihadiri oleh anak-anaknya serta pihak lain7, sehingga dengan

adanya rasa enggan tersebut dinilai dapat mengganggu jalannya persidangan.

Selain dalam bentuk kekerasan fisik, juga terdapat bentuk KDRT dengan kekerasan psikis yang berhubungan erat dengan kondisi kejiwaan seseorang. Ada kalanya korban kekerasan psikis saat menjalani persidangan dalam kondisi dengan penderitaan psikis berat sehingga butuh ketenangan serta rasa nyaman dalam menyampaikan keterangannya dalam persidangan. Begitu juga dengan bentuk kekerasan penelantaran rumah tangga yang seringkali berkaitan dengan kondisi ekonomi sebuah keluarga ada kalanya berhubungan erat juga dengan pengasuhan anak dan tidak dipenuhinya nafkah batin suami atau istri, sehingga maka dari itu

7Inu. Hakim Terjebak Perkara KDRT. https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f9566d006adf/hakim-terjebak-perkara-kdrt . Diakses tanggal 19 Februari 2019 pukul 14.48.

(8)

8

persidangan perkara pidana KDRT baiknya dilaksanakan secara tertutup apapun bentuknya.

Pelaksanaan sidang perkara pidana KDRT yang dilakukan secara tertutup juga termasuk merupakan implementasi dari Pasal 10 UU KDRT yang menyebutkan bahwa hak-hak korban KDRT diantaranya adalah perlindungan dari pengadilan serta penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban. Dengan adanya sidang perkara pidana KDRT yang dilakukan secara tertutup maka kerahasiaan korban pun bakal terjamin. Selain itu, dengan adanya pelaksanaan sidang perkara pidana secara tertutup juga akan memudahkan advokat dalam memberikan perlindungan dan pelayanan seperti yang dimaksud dalam Pasal 25 UU KDRT yaitu mendampingi korban di tingkat pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban secara lengkap memaparkan kekerasan rumah tangga yang dialaminya.

Dalam Pasal 54 UU KDRT disebutkan bahwa pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam UU KDRT tersebut, sehingga Penulis memandang perlu agar UU KDRT untuk ditinjau ulang agar dilakukan perubahan dengan menambahkan pengaturan tentang pelaksanaan sidang KDRT di pengadilan yang dilaksanakan secara tertutup.

IV. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan Penulis tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tidak adanya pengaturan yang jelas tentang sidang perkara pidana KDRT dilaksanakan secara terbuka atau tertutup menjadi permasalahan tersendiri terhadap pelaksanaan pemeriksaan dalam persidangan perkara pidana KDRT di pengadilan. Dalam UU KDRT berserta peraturan pelaksananya tidak terdapat pengaturan secara jelas bagaimana pelaksanaan persidangan KDRT apakah harus tertutup ataukah terbuka. Sidang perkara pidana KDRT seharusnya merupakan termasuk dalam sidang yang diatur secara khusus agar persidangan dilakukan secara tertutup karena hal perkara KDRT merupakan sebuah masalah privat dalam keluarga yang tabu untuk diungkapkan ke publik. Perkara pidana KDRT sangat erat kaitannya dengan ranah privat seseorang atau keluarga dan substansinya hampir tidak mempunyai perbedaan dengan sidang perceraian yang membicarakan masalah intern suatu kelaurga yang tidak jarang termasuk didalamnya membicarakan atau memperdengarkan aib keluarga

(9)

9

di hadapan majelis Hakim yang mana dalam hal ini perkara perceraian dilaksanakan secara tertutup.

Dengan diaturnya pelaksanaan sidang perkara pidana KDRT secara tertutup apapun bentuknya (baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual serta penelantaran rumah tangga) dapat memenuhi hak-hak korban KDRT berupa perlindungan dari pengadilan serta penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban sesuai Pasal 10 UU KDRT. Selain itu juga akan memudahkan advokat dalam memberikan perlindungan dan pelayanan seperti yang dimaksud dalam Pasal 25 UU KDRT yaitu mendampingi korban di tingkat pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban secara lengkap memaparkan kekerasan rumah tangga yang dialaminya di pengadilan.

B. Saran

Berdasarkan pemaparan dan kesimpulan Penulis, untuk memenuhi memenuhi hak-hak korban KDRT berupa perlindungan dari pengadilan serta penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban serta memudahkan advokat dalam memberikan perlindungan dan pelayanan mendampingi korban di tingkat pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban secara lengkap memaparkan kekerasan rumah tangga yang dialaminya di persidangan serta untuk kelancaran dan kepastian hukum pelaksanaan pemeriksaan sidang perkara pidana secara tertutup, maka perlu adanya penyesuaian peraturan seperti perubahan UU KDRT agar memasukkan klausul bahwa pelaksanaan pemeriksaan persidangan perkara pidana KDRT dilaksanakan secara tertutup. Hal ini dapat dikuatkan dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung yang berisi perintah agar pemeriksaan dalam persidangan perkara pidana dilaksanakan secara tertutup.

Hal tersebut sesuai dengan Pasal 54 UU KDRT yang menyebutkan bahwa pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam UU KDRT tersebut, sehingga Penulis memandang perlu agar UU KDRT dilakukan perubahan dengan menambahkan pengaturan tentang pelaksanaan sidang perkara KDRT yang dilaksanakan secara tertutup.

(10)

10

DAFTAR PUSTAKA a. Buku

Arief, Barda Nawawi. 2014. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana edisi Kedua

cetakan ke-4. Jakarta: Rineka;

Harahap, M Yahya. 2018. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, edisi

kedua, cetakan ke-10. Jakarta: Sinar Grafika;

Makarao, Mohammad Taufik, Weny Bukamo dan Syaiful Azri. 2013. Hukum

Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Jakarta: Rineka Cipta;dan

R.Soesilo. 1996. KUHP serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal.

Bogor: Politea. b. Perundang-undangan

- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP);

- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga;

- Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;

- Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana

telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;

- Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; dan

- Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja

Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. c. Website

- Inu. Hakim Terjebak Perkara KDRT. https:

//www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f9566d006adf/hakim-terjebak-perkara-kdrt . Diakses tanggal 19 Februari 2019 pukul 14.48.

d. Skripsi

- Syadri Adnansyah. 2015. Pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah

Tangga Yang Terjadi di Kota Pare Pare (Studi Putusan No.

54/Pid.Sus/2014/PN.Parepare). Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian, besar kuat tekan pada penggunaan abu ampas tebu dengan kadar 9% merupakan penambahan optimum pada mortar yang direndam larutan kapur jenuh Sedangkan dari

Intisari--- Bengkel bubut adalah salah satu unit usaha jasa yang bergerak dalam bidang otomotif dan berkembang dengan baik. Sebagian besar pengusaha bengkel bubut masih

peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul : “ Meningkatkan Kemampuan naturalis anak melalui pemanfaatan lingkungan alam sekitar “. B.

meningkatkan ekspor, di mana harga barang ekspor di luar negeri akan lebih murah, sedangkan harga barang impor dari luar negeri akan lebih mahal sehingga impor atas

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) mata pelajaran akuntansi yang disusun oleh guru akuntansi di di SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 6 Surakarta sudah sesuai dengan komponen

According to the result and discussion, some conclusion can be drawn with respect to the ob- jectives as following: 1) Nitrate concentration in the groundwater of the study area

Bagi kajian dan penyelidikan akan datang, kami melihat korpus pertuturan dapat dikembang dalam tiga jenis perspektif: (1) Korpus ini ditambah saiznya agar

Dalam hidup anda tidak harus berbuat baik ataupun berbuat hal yang sebenarnya karena hal yang anda anggap benar belum tentu benar dianggap orang lain