KAIDAH
AL-‘A>DAT MUH}AKKAMAH
PERSPEKTIF
TAQI> AL-DI>N AL-NABHA>NI>
(StudiKritikNalarHukumTentang
Al-‘A>dat
SebagaiSumberHukum)
TESIS
DiajukanUntukMemenuhiSyarat
MemperolehGelar Magister Dalam Program StudiIlmuKeislaman KonsentrasiShari’ah
Oleh:
IKA KHUSNIA ANGGRAINI
NIM. F02411010
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
Kata Kunci : Al-‘A>dat, Taqi> Al-Di>n Al-Nabha>ni>, SumberHukum
Islam hadir dengan membawa seperangkat norma shara’ dan memilah tradisi-tradisi yang ada. Sebagian selaras dan sebaliknya ada yang bertentangan dengan hokum shara’. Terbukti dengan diakomodasinya adat dan tradisi sebagai bagian dari sumber hukum yang disebut al-‘a>dat dan al-‘urf ,lalu hadir pula kaidah al-‘a>dat muh}akkamah sebagai bentuk implementasi dari kajian al-‘a>dat. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran Islam dipahami dengan nilai-nilainya yang member harapan kepada semua kelompok sosial yang hidup dalam wilayah sosio-budaya tertentu dan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan local masyarakat di dalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa mengubah hokum inti agama. Taqi> Al-Di>n Al-Nabha>ni>, sosok pencetus lahirnya Hizb al-Tahri>r memiliki pendapat yang berbeda. Menurutnya, adat dan tradisi tidak bias dijadikan factor determinan yang dapat mengubah hukum-hukum Islam karena tradisi tidak memiliki kekuatan untuk mengubah hukum.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan dengan pendekatan kualitatif. Data atau obyek penelitian diambil dari khazanah kepustakaan atau literatur yakni melalui kajian mendalam terhadap argumentasi Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni dengan mengeksplorasi beberapa kitab-kitab karyanya dan beberapa karya penunjang lainnya.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
PERNYATAAN KEASLIAN...ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...iii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI...iv
MOTTO ...v
ABSTRAK... ... vi
KATA PENGANTAR... ... vii
TRANSLITERASI ARAB KE LATIN... ... ix
DAFTAR ISI... ..xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang...1
B. Rumusan Masalah...6
C. Tujuan Penelitian...6
D. Manfaat Penelitian...7
E. Penelitian Terdahulu...7
F. Metode Penelitian...12
BAB IIDISKURSUS KAIDAH AL-‘A<DAT MUH}AKKAMAH: MERANGKAI UNIVERSALITAS DALAM LOKALITAS...17
A. Pengertian Al-‘A>datMuh}akkamah...17
2. Al-‘A<datMenurut ‘Ulama’ Klasik. ...22
3. Al-‘A>datMenurut ‘Ulama’ Modern...24
4. Beberapa Kaidah al-‘A<dat Muh}akkamah ... 27
B. Posisi Al-‘A>dat dan Al-‘Urf Dalam Struktur Bangunan Hukum Islam...30
C. Al-‘A>dat Nalar Hukum Universalitas dalam Lokalitas...34
1. Al-‘Adat: Perangkat Us}u>l Fikih Berdimensi Kearifan Lokal...34
2. Al-‘Adat :Lokalitas Sebagai Interpretasi Keagamaan ...39
BAB III TAQI< AL-DI><N AL-NABHA<NI<> DAN EPISTEMOLOGI NALAR HUKUM... 46
A. Biografi Taqi> al-Di>n Al-Nabha>ni>...46
1. Riwayat Hidup danBackground Intelektual Taqi> al-Di>n Al-Nabha>ni>...46
2. Hizb al-Tahri>r : WadahAktualisasiPemikiran Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni...50
3. Karya-KaryaTaqi> al-Di>n al-Nabha>ni> ...51
B. Epistemologi Nalar Hukum Taqi> al-Di>n Al-Nabhani> ...54
1. Seruan dan Kewajiban Ijtihad...54
2. Sumber Hukum ...59
3. Metode Ijtihad...65
a. Tahqi>q al-Mana>t} (Identifikasi dan verifikasi substansi objek hukum) ...65
b. Mengkaji Nas}Shar’i> Dengan Realitas yang Terkait...68
c. Analisis Baya>ni> (linguistik) /Menggali Makna Nas} Sesuai Informasi Bahasa Arab ...72
BAB IVAL-‘A<DAT MUH}AKKAMAH ANTARA ABSURDITAS DAN KENISCAYAAN SEBAGAI SUMBER HUKUM ... 76
1. Ontologis Al-’A>dat Muh}akkamah...76
2. Epistemologis Al-’A>dat Muh}akkamah... 78
a. Literal : Penyesuaian Realitas Terhadap Nas ...78
b. Penafian Unsur Historisitas Nas} ...80
c. Anti Rasionalitas : Keraguan Terhadap Kemampuan Akal ...82
d. Infiltrasi Budaya (S}aqa>fah) Barat dan Lokal yang Menyimpang..83
e. Arabisasi Islam Melalui Ide Daulah Khila>fah...86
f. Dakwah Non-Kompromistis ...88
3. Beberapa Contoh Implementasi Hukum Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni tentang Penolakan Al-’A>datMuh}akkamah ...89
a. Kepemimpinan Perempuan...90
b. Jihad Ofensif dan Difensif ...91
c. Hukum Pidana Islam...92
B. Kritik Epistemologi Taqi> al-Din tentang Al-‘A<dat Muh}akkamah; Meraih Universalitas dalam Lokalitas...93
1. Kritik terhadap epistemologi Al-‘A<dat Muhakkamah ...93
a. Otoritarianisme dan Menolak Intervensi Nalar ...93
b. Meniadakan Historisitas Nas}, Kontekstualisasi, dan Anti Realitas...96
2. Universalitas Islam Dalam Beranda Nas} ...98
3. Al-‘A>dat: Dialektika Perubahan Sebuah Sintesa Universalitas dalam Lokalitas...101
BAB V PENUTUP...107
A. Kesimpulan... ...107
B. Saran-Saran ...108
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam lahir tidak dari ruang hampa maupun lembaran kosong. Dalam hal ini, al-Qur’an sebagai sebuah representasi kalam Allah telah hadir dalam wajahnya yang berbahasa Arab. Sehingga kalam Allah yang meta-historis bertransformasi menjadi sekumpulan abjad yang berdimensi lokal dan partikular sebagai wilayah historis. Keberadaan wilayah historis ini otomatis meniscayakan adanya situasi sosial yang melingkupi, sehingga menjadikan al-Qur’an memiliki hubungan dialektis dengan realitas dalam lingkup wilayah historis Arab. Dari sifatnya itulah nilai-nilai universalistiknya mengalir ke dalam ruang dan waktu ( li kulli zama>n wa al-maka>n ) yang berbeda. Sehingga meniscayakan tradisi keagamaan Islam dapat berubah sesuai dengan konteks sosial-budaya suatu masyarakat ditempat dan zaman yang berbeda.1
Jika menilik kembali pada masa pra-Islam di dunia Arab, dimana sesungguhnya telah berlaku norma yang mengatur kehidupan bermuamalah yang telah berlangsung lama. Kemudian Islam datang dengan seperangkat norma shara’ dan memilah tradisi-tradisi yang ada. Mengambil sebagian yang selaras dan sebaliknya membuang tradisi yang bertentangan dengan hukum shara’.2
1Chafid Wahyudi, Nahdlatul Ulama &Civil Religion : Melacak Akar Civil Religion dalam
Keagamaan NU, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2013), 51.
2
Fakta ini memunculkan pemahaman bahwa kehadiran Islam dengan nilai-nilainya yang dibawanya dapat memberikan harapan kepada semua kelompok sosial yang hidup di dalam wilayah sosio-budaya tertentu untuk meneguhkan identifikasi diri mereka kepada lokalitas-nya secara kritis, selalu mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal masyarakat di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum inti agama. Sementara ajaran-ajaran Islam yang substantif dihadirkan sebagai kontrol konstruktif terhadap kebengkokan-kebengkokan lokalitas. Misalnya tradisi lokal yang mempraktikkan kehidupan yang zalim, hegemonik, dan penuh ketidak-adilan, maka lokalisme menjawab dengan kritik-kritiknya.3 Penggabungan Islam dan lokalitas budaya atau yang disebut sebagai akulturasi Islam dengan budaya setempat ini merupakan manifestasi dari gagasan Islam yang universal.
Sebagai sebuah gambaran bahwa melalui proses panjang dan berliku, Islam perlahan diterima oleh sejumlah besar penduduk dunia termasuk Indonesia. Proses dakwah Islam di Jawa misalnya, ketika Sunan Kalijaga menggunakan pendekatan budaya melalui seni pewayangan untuk menentang feodalisme kerajaan Majapahit. Melalui seni pewayangan, ia berusaha menggunakan unsur-unsur lokal sebagai media dakwahnya dengan mengadakan perubahan-perubahan lakon juga bentuk fisik dari alat-alatnya. Begitu pula dengan cara dakwah para wali lainnya di tanah Jawa, beliau-beliau ini telah berusaha mengintegrasikan substansi ajaran Islam ke dalam
3M. Jadul Maula, “Syari’at (kebudayaan) Islam; lokalitas dan universalitas” dalam Makalah
3
verbalisme simbol lokal untuk mempermudah transformasi ajaran Islam ke alam pikiran masyarakat setempat.4
Pada akhirnya hal ini mengantarkan Islam menemui puncak keberhasilannya. Perjuangan para wali di tanah jawa ini secara konkret berwujud dengan terbangunnya situs Islam kerajaan Demak Bintara, dan secara bertahap mengeliminasi pengaruh agama Hindu maupun Budha dalam kepercayaan masyarakat Jawa. Selanjutnya mulailah ditabuh genderang reformasi kepercayaan berupa akulturasi dan asimilasi antara budaya Islam dan budaya setempat.5
Adanya akulturasi timbal balik antara Islam dengan budaya lokal, dalam hukum Islam secara metodologis sebagai sesuatu yang memungkinkan diakomodasi eksistensinya. Sifat akomodatif Islam ini dapat kita temukan dalam kaidah fikih yang menyatakan al-‘a>dat muh}akkamah (adat itu bisa menjadi hukum), atau kaidah al-‘a>dat shari>’atun muh}kamah (adat adalah shari>’at yang dapat dijadikan hukum). Kaidah ini bersumber dari sabda Rasulullah SAW bahwa “ Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka disisi Allah pun baik” (HR. Ahmad). Yang dikatakan baik disini adalah ketika tidak ada nas} yang menetapkannya, maka ditentukan oleh penilaian akal dan kemudian diterima oleh masyarakat setempat.6
4Chafid Wahyudi, Nahdlatul Ulama &Civil Religion…, 52.
5Muhammad Irfan Riyadi, “Konsep Kebatinan Islam Jawa, Tinjauan Theosofis Terhadap Serat
Dewa Ruci”,dalam Jurnal Dialogia Vol. 4 No. 1 Januari – Juni 2004, 108.
4
Hal ini tentu sejalan dengan paparan sebelumnya bahwa nilai-nilai Islam dipahami untuk mangakomodir kebutuhan-kebutuhan lokal masyarakat di dalam merumuskan hukum-hukum agama sekaligus dihadirkan sebagai kontrol konstruktif .
Akan tetapi setelah diadopsi dan diakomodasi, wajah Islam yang tampil dalam bingkai budaya lokal seringkali mendapat respon tidak dikenali bahkan disalahpahami oleh banyak kalangan, diantaranya dari kalangan atau kelompok-kelompok yang memiliki orientasi gerakan kembali kepada fundamen-fundamen shar’iy>ah al-h}ukm. 7Sebut saja Hizb al-Tahri<r, sebagai
salah satu dari gerakan politik Islam yang memiliki prinsip tersebut.
Membincang tentang Hizb al-Tahri<r, maka tidak akan lepas dari sosok Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni>, seorang penggagas sekaligus pendiri lahirnya Hizb al-Tahri<r. Pemikiran-pemikiran Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni> senantiasa menjadi acuan serta pedoman bagi seluruh anggota Hizb al-Tahri<r diberbagai aspek, salah satunya dalam ber-manhaj hukum.
Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni memiliki pandangan bahwa penafsiran terhadap shari>’ah Islam tidak seharusnya mengutamakan penyesuaian nas}-nas} al-Qur’an dengan perkembangan ruang dan waktu. Menurutnya,
seharusnya masyarakatlah yang diubah agar sesuai dengan shari>’ah Islam, bukan sebaliknya. Hal itu ia pertegas terhadap penolakan akan adanya kaidah: ”Tidak ditolak adanya perubahan terhadap hukum, dengan adanya perubahan zaman”. Kaidah yang sama juga ditolaknya: ”Adat-istiadat dapat
5
dijadikan patokan hukum.”8 Maka dengan begitu, menurut Taqi> Di>n
al-Nabha>ni, nas}-nas} shari>’ah merupakan sumber-sumber hukum yang dengannya realitas disesuaikan. Dengan kata lain, hukum-hukum shari>’ah tidak bisa berubah meskipun realitas mengalami perubahan.
Karena alasan itu pula Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni juga menolak perbedaan budaya bisa dijadikan faktor determinan yang dapat mengubah hukum-hukum Islam. Baginya, budaya tidak memiliki kekuatan untuk mengubah hukum karena ‘illah (motif diberlakukan hukum) dan sumber hukum, bahkan banyak produk budaya yang justru bertentangan dengan shari>’ahIslam.9Sebagai konsekuensi dari pandangan di atas, Taqi> Di>n
al-Nabha>ni melalui gerakan Hizb al-Tahri<r-nya dengan hati-hati memanfaatkan prinsip kemaslahatan yang sering digunakan pijakan dalam menentukan suatu hukum suatu persoalan.10
Oleh karenanya diperlukan kajian mendalam tentang hal-hal yang mendasari pemikiran serta epistemologi Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni dalam memutuskan untuk menolak adat dan budaya sebagai salah satu pertimbangan hukum. Hal ini dianggap kontradiktif dengan pemahaman bahwa Islam merupakan agama bagi seluruh manusia di dunia ( rahmatan li
al-’a<lami<n ), wataknya yang adaptif sehingga Islam dituntut untuk selalu akomodatif dan kompatibel dengan perubahan sosial yang akan terus bergulir dari waktu ke waktu.
8Syamsul Arifin, Ideologi dan praksis Gerakan Sosial kaum fundamentalis: Pengalaman Hizbut
al-Tahrir Indonesia (Malang: UMM Press, 2005),98. 9Ibid., 244.
6
B. Rumusan Masalah
Untuk memudahkan pemahaman dan pembahasan penelitian ini, maka rumusan masalah akan dijabarkan dalam poin-poin sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni tentang kaidah al-‘a<dat
muh}akkamah ?
2. Bagaimana kerangka berpikir Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni dalam memandang
kaidah al-’a>dat muh}akkamah?
3. Bagaimana relevansi pandangan Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni tentang kaidah
al-‘a<dat muh}akkamah dengan prinsip universalitas Islam?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan apa yang terdapat dalam rumusan masalah di atas, maka tujuan umum penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan pandangan Taqi> al-Di>n al-Nabha>nitentang kaidah al-‘a<dat
muh}akkamah
2. Mendeskripsikan kerangka berpikir Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni dalam
memandang kaidah al-’a>dat muh}akkamah
4. Mendeskripsikan relevansi Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni tentang kaidah al-‘a<dat
7
D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan pemahaman secara rinci mengenai kaidah al-‘a<dat
muh}akkamahdari sisi normatif, teoritis maupun empiris.
2. Memberikan penjelasan terkait hhal yang mendasari penolakan Taqi>
al-Di>n al-Nabha>ni terhadap kaidah al-‘a<dat muh}akkamah.
3. Memberikan pemahaman terkait pendapat Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni
tentang kaidah al-‘a<dat muh}akkamah dan relevansinya dengan prinsip-prinsip dalam universalitas Islam.
E. Penelitian Terdahulu
Sebagai fenomena kontemporer, kajian tentang gerakan Islam fundamentalis sangat menarik perhatian semua kalangan yakni agamawan, politikus, akademisi, bahkan masyarakat awam, terutama pasca tragedi pengeboman gedung WTC di New York AS 11 September 2001 dan berbagai peristiwa terror bom di tanah air. Berbagai sisi Islam fundamentalis diteliti dan dibahas, mulai dari pengertian, karakteristik, ideologi, doktrin, latar belakang kemunculan, tujuan, motif dan orientasi gerakan, sampai berbagai bentuk organisasi Islam fundamentalis itu sendiri dengan serba-serbi pemikirannya.
8
menarik sepanjang faktor-faktor sosial pencetus gerakan sosial terus bermunculan, khususnya adalah Hizb al-Tahri<r yang kali ini akan bertindak sebagai objek penelitian melalui pemikiran sosok penggagasnya yakni Taqi>
al-Di>n al-Nabha>ni.
Meskipun sudah banyak kajian dan penelitian tentang Hizb al-Tahri<r
maupun pemikiran Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni atas nama individunya, tetapi dari pelacakan yang peneliti lakukan terhadap penelitian yang sudah ada ternayata belum banyak yang mengulas tentang nalar hukumnya, terutama yang secara spesifik membahas tentang penolakan mereka terhadap konsep al-‘a>datsebagai salah satu pertimbangan hukum.
Di antaranya penelitian- penelitian yang sudah ada tentang Hizb
al-Tahri<r diantaranya sebagian besar mengulas dari sisi ideologi politiknya, seperti yang dilakukan oleh Sirajuddin M. Dengan judul Resolusi Konflik Ideologi : menimbang politik hukum Hizbut Tahri<r Indonesia dalam
paradigma ijtiha>d kontemporer. Tulisan ini bertujuan melakukan kritik
terhadap ideologi politik hukum Hizb al-Tahri<rIndonesia atau disingkat HTI, yang utopis dan tidak realistis dari paradigm ijtihad kontemporer. Paradigma ijtihad HTI yang hendak mendirikan khila>fah Isla>miyyahtidak bisa diterima
9
tidak bisa diterima dan diterapkan di Indonesia, bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia. 11
Penelitian berikutnya ditulis oleh Siti Zulaichah dalam skripsinya yang berjudul Pemikiran Politik Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni. Dalam pandangan Taqi>
al-Di>n al-Nabha>ni, politik dibagi ke dalam kategori yaitu : Islam sebagai salah satu
ideologi politik setelah sosialis dan kapitalis. Islam dijadikan sebagai ’aqi>dah
’aqliyyah (ikatan yang sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan peraturan
hidup uang menyeluruh dan inilah yang disebut ideologi. Ideologi adalah ’aqi>dah
’aqliyyah yang melahirkan peraturan.
Ia berpendapat bahwa Islam tidak hanya dipandang sebagai sebuah
agama tetapi Islam juga merupakan solusi bagi seluruh persoalan yang ada. Islam sebagai ideologi komprehensif ia tuangkan ke dalam bukunya konsepsi politik Hizb al-Tahri<r dan Nizha>mul Isla>m. Ia mengungkapkan bahwa ideologi yang diemban harus sesuai tuntutan dan ajaran Rasul dan juga solusi yang menyeluruh dengan mendirikan daulah Isla>miyyah.12
Penelitian ketiga oleh Ainur Rofiq al-Amin dengan judul Demokrasi Perspektif Hizbut Tahrir Versus Religious Mardomsalari Ala Muslim Iran.
Disini dipaparkan tentang penolakan Hizb al-Tahri<rterhadap demokrasi yang diakibatkan model pemahaman yang rigit dan kaku, demokrasi dimaknai sedemikian rupa tanpa bias diotak-atik, stagnan tanpa perubahan. Sementara dalam Islam politik hendaknya bersikap fleksibel dengan menyerap
11Sirajuddin M.,Resolusi Konflik Ideologi : menimbang politik hukum Hizbut Tahri<r Indonesia
dalam paradigm ijtihad kontemporer, Jurnal Analisis 12, Nomor 2, Desember 2012.
10
perkembangan dan tren kemodernan, tanpa meninggalkan akar tradisi Islam (al-muha>faz}ah ‘ala> al-qadi>m al-s{a>lih wa al-akhdu bi al-jadi>d al-as{la>h). Sikap
seperti ini yang diperlukan untuk mengakomodasi dan mengantisipasi perkembangan zaman. Dalam hal ini, ada contoh seperti yang dikenalkan Republik Islam Iran yang memasukkan al-dimuqra>tiyyah al-di>niyyah ( religious democracy/ religious mardomsalary) ke dalam sistem politik Islamnya yang sering disebut dengan wila>ya>t al-faqi>h. Karena Hizb al-Tahri<r
bersikap kaku, konsekuensi politiknya kelompok ini akan sulit mengakomodasi dan mengantisipasi perkembangan dan perubahan konstalasi politik global yang jika tidak segera disadari akan mirip dengan Taliban.13
Penelitian selanjutnya memasuki ranah hukum Islam dengan pendekatan kajian fikih perempuan sebagai obyek penelitiannya, sebagaimana yang diteliti oleh Umi Chaidaroh dengan judul Fikih Perempuan Hizb al-Tahri>r. Penelitian ini mengkaji fikih perempuan Hizb
al-Tahri<r untuk melihat bagaimana Hizb al-Tahri<r mengkonstruksi hukum mengenai peran perempuan. Penelitian ini berangkat dari kegelisahan Umi Chaidaroh terhadap paradoks yang ada pada Islam fundamentalis, khususnya
Hizb al-Tahri<r. Di satu sisi, dijumpai bahwa para perempuan Hizb al-Tahri<r
memainkan peranan aktif untuk mencapai tujuan partai. Mereka melakukan perjuangan intelektual dan politik, termasuk menyeru kepada para penguasa muslim untuk bangkit melawan penindasan. Di sisi lain, gerakan
13Ainur Rofiq al-Amin dengan judul Demokrasi Perspektif Hizbut Tahri>r Versus Religious
11
fundamentalis Islam telah lama diasosiasikan dengan penindasan terhadap perempuan. Berangkat dari kegelisahan ini, meneliti Hizb al-Tahri<rdari aspek fikih perempuannya penting dilakukan. Penelitian pustaka dengan pendekatan gender ini menghasilkan temuan konstruksi fikih perempuan
Hizb al-Tahri<rr didasarkan dan disandarkan pada metode ijtihad yang bersifat tekstual, atau literal methods. Kalau meminjam al-Jabi>ri>, model ijtihad Hizb
al-Tahri<r masuk dalam ranah berfikir baya>ni>. Penelitian ini juga menghasilkan kesimpulan bahwa fikih perempuan yang dibangun oleh Hizb
al-Tahri<rrelatif fleksibel, tidak rigid pada banyak aspeknya. Hal ini terbukti dengan pemberian peran publik terhadap perempuan.14
Penelitian terakhir masih dalam frame kajian hukum Islam yakni dengan objek penelitian tentang jihad dalam perspektif Taqi> Di>n al-Nabha>ni>. Penelitian ini merupakan skripsi yang ditulis oleh Suwardi dengan judul Konsep Jihad Dalam Hukum Islam (Studi Komparasi Pemikiran Yusuf Qard}awi dan Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni>). Hasil penelitian ini mengantarkan
pada kesimpulan yang cukup merepresentasikan gambaran umum tentang komparasi kedua arus tokoh tersebut.
Yusuf Qard}awi cenderung berpandangan lebih inklusif (terbuka) dan moderat (tawa>sut), cenderung ke arah jalan tengah dalam memaknai jihad itu sendiri. Sementara Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni di pihak lain yang cenderung berpandangan eksklusif (tertutup) dan ekstrem dalam memahami dan
12
mendefinisikan jihad yang dimaknai sebagai upaya mengangkat senjata untuk memerangi orang kafir.15
Selaras dengan penelitian sebelumnya, Nuraidah dengan skripsinya yang berjudul Jihad Menurut Hizbut Tahri>r, yang mana jihad dimaknai dengan makna shar’i> yaitu perang untuk menyebarkan risalah Islam. Aktualisasi Jihad Hizb al-Tahri<r dilakukan dengan melihat kondisi dimana terjadi ancaman terhadap kaum muslimin. Realisasi jihad Hizb al-Tahri<r
terwujud dalam bentuk-bentuk jihad defensif (pertahanan) dan jihad ofensif (penyerangan).16
F. Metode Penelitian
Secara filosofis, apa yang dinamakan dengan metodologi penelitian adalah bagian dari ilmu pengetahuan yang mempelajari kerangka kerja dalam mencari kebenaran. Kerangka kerja mencari kebenaran dalam filsafat dikenal sebagai filsafat epistemologi.17 Kualitas kebenaran yang diperoleh dalam berilmu pengetahuan terkait langsung dengan kualitas akan kerangka kerjanya.
15Suwardi, Konsep Jihad Dalam Hukum Islam ; Studi Komparatif Yusuf Qard}awi dan Taqi>
al-Di>n al-Nabha>ni,(Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009)
13
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan dengan pendekatan kualitatif dalam rangka memahami aspek “dalam” yang tidak dapat diakses oleh instrumen survey anonim.18 Karena jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan ( library research ), sehingga data atau obyek penelitian diambil dari khazanah kepustakaan atau literatur. Sedangkan sifat penelitiannya sendiri adalah deskriptif-analisis. Bersifat deskriptif karena tulisan ini akan memaparkan tentang nalar hukum yang digunakan Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni didalam argumentasinya tentang al-‘a>datdengan kaidah fikihnya yang berbunyi “al-‘a>dat muh}akkamah” .
Dalam mengadakan analisis, pendekatan yang dipakai adalah pendekatan historis-interpretatif, karena bagaimanapun eksistensi konsep al-‘a>dat dengan kemunculan kaidah al-‘a>dat muh}akkamah sebagai sarana
legalitasnya tidak terlepas dari dialog dengan dinamika zaman dan background social, budaya, intelektual yang melingkupinya. Sedangkan
bentuk ( form ) berpikir yang dipergunakan adalah induksi, yaitu berusaha menggali pemikiran atau nalar hukum Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni dalam memahami konsep al-‘adat, kemudian hasilnya dinilai dengan parameter prinsip-prinsip pembentukaan hukum Islam dan juga epistemologi keilmuan yang relevan.
14
5. Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif, strategi pengumpulan data dapat dipilah menjadi dua cara pokok yaitu metode non-interaktif dan interaktif. Metode non-interaktif mencangkup dokumentasi, sedang metode interaktif meliputi wawancara dan pengamatan peran serta.19 Pada penelitian ini hanya akan menggunakan metode non-interaktif yang diwujudkan melalui hasil riset pustaka terhadap dokumentasi.
Pada dataran riset pustaka digunakan peneliti untuk menyelesaikan dua level masalah sekaligus, yakni masalah teoritik dan masalah empirik. Artinya, peneliti berusaha mengumpulkan data-data dokumenter baik yang bersifat teoritik maupun empirik. Teknik ini terutama berguna dalam upaya menyusun kerangka teoritik maupun memperkaya data empirik yang berkenaan dengan konsep al-’a>dat dari sumber fikih klasik khususnya kitab-kitab ushul fikih dan kitab-kitab karya Taqi> al-Di>n al-Nabha>ni yang mengulas tentang nalar hukum Hizb al-Tahri<r.
6. Analisa Data
Konsep dasar adanya analisa data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data ke dalam pola, katagori dan satuan uraian dasar
15
sehingga ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja atas pembacaan terhadap data.20
Untuk memenuhi konsep dasar analisa data ini peneliti mengikuti saran Mathew B. Miles dan A. Michael Huberman, yang menawarkan metode analisis interaktif, yakni melakukan analisa data secara simultan dan terus menerus sejak pengumpulan data dilakukan hingga selesainya pengumpulan data dalam waktu tertentu melalui proses reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) dan penarikan kesimpulan (conclution: drawing/verifying).21
Dalam proses reduksi data (data reduction), peneliti akan merangkum, memilih hal-hal yang pokok dari data yang sementara diperoleh untuk kemudian dicari tema atau kategorisasi. Dengan proses ini, akan didapatkan gambaran yang lebih jelas untuk menentukan langkah pengumpulan data selanjutnya bahkan sampai menentukan cara mengumpulkannya.22
Proses selanjutnya berupa penyajian data(data display, yakni data penelitian yang sudah direduksi, dilakukan proses penarasian data dalam bentuk teks.23 Pada saat display data inipun peneliti akan melakukan analisis data dan dibangun teori-teori yang telah siap untuk diuji
20 Konsep dasar akan pengertian analisa data ini merupakan sintesis yang dilakukan Lexy J. Moleong terhadap definisi Patton maupun Bogdan dan Taylor. Lihat Lexy J. Moleong,
Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosdakarya, 2002), 103.
21Mathew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep Rohendi Rohidi (Jakarta: UI Press, 1992), 20. Lihat juga: Sugiyono, Memahami Metode Penelitian Kualitatif(Bandung: Alphabeta, 2005), 91-93.
16
kebenarannya dengan tetap mengacu pada kerangka teori yang telah disusun.24 Langkah berikutnya berupa penarikan kesimpulan (conclution: drawing/verifying) yang bersifat sementara. Sebab dari kesimpulan
sementara ini akan ditindaklanjuti dengan proses verifikasi dengan mengumpulkan data yang kurang, reduksi, display dan penarikan kesimpulan lagi. Proses ini akan berlangsung secara berurutan, berulang-ulang, terus menerus sampai penelitian ini sampai pada tingkatan jenuh dan akurat. Setelah dirasa hasil penelitian telah akurat, barulah disusun sebuah teks naratif dari keseluruhan hasil penelitian.
24Ahmad Syafi’i Mufid, “Penelitian Kualitatif Untuk Penelitian Agama,” dalam Menuju
17
BAB II
DISKURSUS KAIDAH AL-‘A<DAT MUH}AKKAMAH: MERANGKAI
UNIVERSALITAS DALAM LOKALITAS
A. Pengertian Al-‘A>dat Muh}akkamah
Di dalam us}u>l al-fiqh terdapat sebuah kaidah asasi al-‘a>dat
muhakkamat (adat dapat menjadi pertimbangan hukum) atau al-‘a>dat
shari>’ah muhakkamat (adat merupakan syariat yang dihukumkan). Kaidah
tersebut bersumber dari sabda Rasulullah SAW;
ﻦﺴ ﷲ ﺪﻨ ﻮﮭﻓ ﺎﻨﺴ نﻮ ﺴ ا ىأر ﺎ
Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka disisi Allah pun baik. ( H.R. Ahmad )1
Atas dasar itulah adat kebiasaan yang berlaku pada masyarakat Islam
serta tidak melanggar dengan ketentuan shari>’ah dapat ditetapkan sebagai
sumber hukum yang berlaku. Sebaliknya jika menyimpang dari shari>’ah
meskipun telah berlaku di sebagian besar masyarakat maka tidak dapat
dijadikan sumber hukum. Hadis di atas memiliki predikat h}asanan (baik),
yang sudah barang tentu menurut ukuran shari>’ah dan logika. Sesuatu
dikatakan baik, jika tidak ada nas} yang menetapkannya maka ditentukan
oleh penilaian akal dan diterima masyarakat.2
1 Al-Suyuthi>, al-Ashbah wa al-Naz}a>ir fi al-furu>’, (Singapura, Jeddah, Indonesia: al-Haramain,
tth.), 63.
2Mukhtar Yahya dkk., Dasar- dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1986),
18
Dengan dirumuskannya kaidah al-‘a>dat muh}akkamah, maka semakin
melekatkan peran dan fungsi adat (tradisi) sebagai bagian dari hukum Islam.
Adat (tradisi) di sini merupakan variabel sosial yang mempunyai otoritas
hukum (hukum Islam). Al-‘a>dat bisa mempengaruhi materi hukum, secara
proporsional. Hukum Islam tidak memposisikan al-‘a>dat sebagai faktor
eksternal non-implikatif, sebaliknya memberikan ruang akomodasi bagi
al-‘a>dat. Kenyataan sedemikian inilah antara lain yang menyebabkan hukum
Islam bersifat fleksibel. Karakter hukum Islam yang akomodatif terhadap
al-‘a>dat (tradisi) amat bersesuaian dengan fungsi Islam sebagai agama
universal (untuk seluruh dunia). 3
Dalam literatur ilmu us}u>l al-fiqh, al-’adat memiliki nama lain yakni
al-’Urf yang kajiannya memiliki peranan penting dan cukup signifikan. Dari
sini terdapat keterkaitan yang erat antara al-’a>dat dan al-’urf sebagai
sebuah wilayah kajian dalam us}u>l al-fiqh. Sementara kaidah al-’a>dat
muh}akkamah sebagai bagian dari implementasinya berupa kaidah dasar yang
menjadi pedoman dalam penetapan hukum di setiap peristiwa fiqhiyyah,
baik yang telah ditunjuk oleh nas} s}ari>h} maupun yang belum ada nas}-nya
sama sekali.
1. Sintesa Al-’Adat dan Al-’Urf: Sebuah Pengertian
Kata al-’a>dat berasal dari kata ’a>d yang mempunyai derivasi kata
al-’a>dat yang berarti sesuatu yang diulang-ulang (kebiasaan). Sedangkan
‘urf berasal dari kata‘araf yang mempunyai derivasi kata al-ma‘ru>f yang
3 Rijal Mumazziq Zionis, Posisi Al-‘Urf dalam Struktur Bangunan Hukum Islam, dalam Jurnal
19
berarti sesuatu yang dikenal atau diketahui.4Dalam pengertian lain al-’urf
adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah
menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau
kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu.
Menurut ahli shara’, al-’urf itu sendiri bermakna adat dengan kata
lain al-’urf dan al-’a>dat itu tidak ada perbedaan. Al-’urf tentang
perbuatan manusia misalnya, seperti jual beli yang dilakukan berdasarkan
saling pengertian dengan tidak mengucapkan sighat. Untuk al-’urf yang
bersifat ucapan atau perkataan, misalnya saling pengertian terhadap
pengertian al-walad, yang lafaz} tersebut mutlak berarti anak laki-laki dan
bukan anak wanita.5
Karena itu, menurut sebagian besar ulama, al-’a>dat dan al-’urf
secara terminologis tidak memiliki perbedaan prinsipil.6 Tegasnya,
diantara keduanya tidak mengandung perbedaan yang signifikan dengan
konsekensi hukum yang tidak berbeda pula. Misalnya dalam kitab fikih
terdapat ungkapan ha>z|a> s|a>bit bi al-’urf wa al-’a>dat (ketentuan ini
berlandaskan al-’urf dan al-‘a>dat), maka makna yang dimaksud keduanya
adalah sama. Penyebutan al-’a>dat setelah kata al-’urf pada ungkapan
tersebut hanya berfungsi sebagai penguat (ta’ki>d) saja, bukan kalimat
tersendiri yang mengandung makna berbeda (ta’si>s).7
4Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu 2001), 363. 5Abdul Wahab Khalaf, Ilm Us}ul al-Fiqh, (Qahirah: Dar al-Qalam, tt), 88. 6Ibid., 89.
20
Akan tetapi bila diperhatikan dari segi penggunaan dan akar
katanya, terkuak perbedaan antara keduanya. Akar kata al-‘a>dat, yaitu
‘a>da, ya’u>du, yang berarti pengulangan. Karena itu, sesuatu yang baru
dilakukan satu kali, belumlah dinamakan al-‘a>dat. Adapun kata ‘urf,
pengertiannya tidaklah melihat dari segi berulangkalinya suatu perbuatan
dilakukan, akan tetapi, apakah suatu perkataan, perbuatan itu dikenal atau
tidak oleh orang banyak. Tegasnya, al-‘a>dat adalah sesuatu yang
berulangkali, sedangkan‘urf adalah sesuatu yang dikenal.8
Terhadap bentuk perbedaan itu, menurut Amir Syarifuddin
tidak ada perbedaan yang prinsip, karena kedua kata itu pengertiannya
sama, yaitu: suatu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan
menjadi dikenal dan diakui orang banyak. Sebaliknya, karena perbuatan
itu sudah dikenal dan diakui orang banyak, maka perbuatan itu
dilakukan orang secara berulang kali.
Dengan demikian, meskipun dua kata tersebut dapat
dibedakan akan tetapi perbedaannya tidak menunjukkan pengertian
berarti. Lebih lanjut Amir Syarifuddin juga melihat perbedaan al-‘urf
dan al-‘a>dat, dari segi kandungan artinya. Al-‘a>dat hanya memandang
dari segi berulangkalinya suatu perbuatan dan tidak meliputi penilaian
mengenai segi baik dan buruknya perbuatan tersebut. Tegasnya, kata
al-‘a>dat, berkonotasi netral, sehingga ada al-‘a>dat yang baik dan ada pula
21
yang buruk.9 Jika kata al-‘a>dat mengandung konotasi netral, lebih
lanjut Amir menjelaskan, al-‘urf tidaklah demikian. Kata al-‘urf
digunakan dengan memandang pada kualitas perbuatan yang dilakukan
yaitu diakui, diketahui dan diterima oleh orang banyak. Dengan
demikian, kata al-‘urf itu mengandung konotasi baik.10
Hal ini tampak dengan definisi al-‘urf yang dirumuskan oleh
Badran, sebagaimana dikutip oleh Amir bahwa segala sesuatu yang
dibiasakan dan diikuti oleh orang banyak, baik dalam bentuk ucapan
atau perbuatan, berulang-ulang dilakukan, sehingga berbekas dalam
jiwa mereka dan diterima baik oleh akal mereka.11 Amir juga
menguraikan pendapat Must}a>fa> Shalabi yang berpendapat bahwa
perbedaan ‘urf dan al-‘a>dat tidaklah terletak pada kandungan artinya
(netral atau tidak netral), melainkan pada ruang lingkup
penggunaannya. Kata ‘urf selalu digunakan untuk jama’ah atau
golongan, sedangkan kata ‘adat dapat digunakan untuk sebagian orang
di samping berlaku pula untuk golongan. Apa yang telah dilakukan
(menjadi kebiasaan) seseorang, maka perbuatan itu dapat dikatakan
sebagai ‘a>dat orang itu, namun tidak dapat dikatakan ‘urf orang itu.12
Meskipun demikian, terlepas dari perbedaan pemaknaan,
sebagaimana uraikan di atas, dalam penerapannya sebagai metode
istinbat} hukum, para ulama menyamakan kedua term tersebut. Baik
9Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2, (Jakarta: Logos, 2001), 364.
10Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), 416. 11Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2, 364.
22
’a>dat maupun al-’urf dipahami sebagai sebuah kebiasaan, yang dikenal
oleh masyarakat dan mengandung kearifan demi kemaslahatan bersama
di lingkungan mereka.
2. Al-‘Adat Menurut ‘Ulama’ Klasik
Pada dasarnya, shari’ah Islam dari masa awal banyak
menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam
masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah. Jadi kedatangan Islam bukan menghapuskan sama
sekali tradisi yang telah menyatu dalam masyarakat.13
Para Imam maz|hab dalam membina hukum fikih banyak sekali
memperhatikan ’urf setempat. Imam Malik, misalnya dalam membina
maz|habnya lebih dititikberatkan kepada ’amaliyah ulama’ fuqaha>’
Madinah. Lalu fatwa Imam Abu Hanifah berbeda dengan
fatwa-fatwa dari murid-muridnya lantaran perbedaan kebiasaan mereka
masing-masing. Imam Shafi’i setelah pindah ke Mesir mengganti
fatwanya sesuai adat kebiasaan yang berlaku dan dipraktekkannya di
negara baru ini, hingga fatwa-fatwa beliau ini dapat dibedakan antara
sewaktu berada di Baghdad dalam qaul qadi>mnya dengan fatwa beliau
sesudah pindah ke Mesir dalam qaul jadi>dnya.14
Dari sini maka tidak diragukan lagi bahwa di masa ulama’
maz|hab, masing-masing kota memiliki adat yang berbeda yang
23
menyebabkan masing-masing Imam itu memelihara ’urf negeri yang
didiami tersebut. Dan sejauh hal-hal yang tidak diperoleh dari nas}
meskipun menyalahi ’urf negeri lain. Sebagai contoh pada masa itu
sebagian ulama’ membolehkan mengambil upah dari hasil pengajaran
al-Qur’an, karena di negeri itu tidak diperoleh guru-guru mengaji yang
mau mengajar dengan tidak berharap upah sama sekali. Sedangkan
golongan ulama’ lain yang tidak membenarkan demikian lantaran di
daerahnya ada guru yang mengajar karena Allah semata tanpa
mengharap upah.15
Dan tidak sedikit jumlah masa>’il fiqhiyyah yang bersumber dari
adat kebiasaan yang berlaku pada masa dan situasi setempat. Apalagi
jika shari’ah menyebutkan suatu ketentuan secara mutlak tanpa
pembatasan dari nash itu sendiri maupun dari segi pemakaian bahasa.
Untuk ketentuan yang demikian ini, para ulama’ ahli us}u>l membuat
suatu kaidah yang berbunyi : “Setiap ketentuan yang dikeluarkan oleh
shara’ secara mutlak dan tidak ada pembatasannya dalam shara’ dan
dalam ketentuan bahasa, maka dikembalikan kepada ’urf.”16
Misalnya istilah hirzu (penyimpanan) salah satu unsur mencuri
dan sa>riq (pencuri), yang keduanya berlaku dalam hukum pidana Islam
(jari>mah Isla>miyyah), tafarruq (berpisah) dan qabdhi> (penerimaan)
dalam hukum jual beli dan haid (menstruasi) dalam hukum muna>kaha>t.
15 Hasbi Ash-Shiddieqi, Pengantar Ilmu Perbandingan madzhab, ( Jakarta : Penerbit Bulan
Bintang, 1975 ), 81.
24
Istilah-istilah tersebut tidak diterangkan pengertiannya secara otentik
oleh Sha>ri’. Karena itu semuanya diserahkan kepada adat kebiasaan
dalam memberikan batasan dan interpretasi.17
Menurut hasil penelitian al-T}ayyib H}ud}ari al-Sayyid, guru besar
Ushul Fikih di Universitas Al-Azhar Mesir dalam karyanya al-Ijtiha>d fi>
ma> la> nassa fi>h, bahwa maz|hab yang dikenal banyak menggunakan ’urf
sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyyah dan kalangan
Malikiyyah, selanjutnya diikuti oleh kalangan Hanabilah dan kalangan
Shafi’iyyah. Masih menurutnya, pada prinsipnya maz|hab-maz|hab besar
fikih tersebut sepakat menerima al-’a>dat sebagai landasan pembentukan
hukum, meskipun dalam jumlah dan rinciannya terdapat perbedaan
diantara mereka, sehingga ’urf dimasukkan kelompok dalil-dalil yang
diperselisihkan di kalangan ulama’.18
3. Al-‘A>dat Menurut ‘Ulama’ Modern
Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan ‘urf sebagai sesuatu
yang dikenal oleh manusia dan berlaku kepadanya, baik berupa
perkataan, perbuatan atau meninggalkan sesuatu.19 Bila dikatakan
bahwa si Fulan lebih dari yang lain dari segi ‘urf-nya, ini maksudnya
adalah bahwa si Fulan lebih dikenal dibandingkan dengan yang lain.
17Ibid. 18Ibid., 155.
25
Pengertian “dikenal” ini lebih dekat kepada pengertian “diakui oleh
orang lain”.
Sementara pada dataran aplikasinya, menurut Yusuf Qard}awi
bahwa ‘urf yang ditetapkan sebagai hukum bertujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan dan kemudahan terhadap kehidupan
manusia. Dengan berpijak pada kemaslahatan ini pula manusia
menetapkan segala sesuatu yang mereka senangi dan mereka kenal.
Adat kebiasaan seperti ini telah mengakar dalam suatu masyarakat
sehingga sulit sekali ditinggalkan karena terkait dengan berbagai
kepentingan hidup mereka.
Sekalipun demikian, tidak semua kebiasaan masyarakat diakui
dan diterima dengan alasan dibutuhkan masyarakat. Suatu kebiasaan
baru diterima manakala tidak bertentangan dengan nas} atau ijma>’ yang
jelas-jelas terjadi di kalangan ulama’. Disamping itu, suatu kebiasaan
dapat diakui Islam bila tidak akan mendatangkan dampak negatif
berupa kemud}haratan bagi masyarakat di kemudian hari.
Menurut Qard}awi, perlu digaris bawahi bahwa hukum yang
ditetapkan berdasarkan ‘urf akan berubah seiring dengan perubahan
masa dan tempat. Beliau mengambil pendapat Sha>t}ibi> yang
mengemukakan contoh ‘urf yang berubah karena perubahan tempat dan
masa. Perubahan ‘urf karena perubahan tempat dapat diamati dalam
masalah membuka tutup kepala. Menurut Sha>t}ibi>, masalah menutup
26
Bagi masyarakat di daerah-daerah timur, membuka tutup kepala
dipandang sebagai sesuatu yang kurang baik. Sementara di
Negara-negara barat, membuka tutup kepala merupakan suatu hal yang biasa.20
Selaras dengan pendapat Qard}awi, Wahbah al-Zuhaili>,
memberi contoh tentang diperbolehkannya akad istis}na’, demi
memenuhi hajat masyarakat, meskipun transaksi itu dilakukan atas
sesuatu yang tidak ada (ma’du>m).21 Yakni diperbolehkannya jual beli
buah-buahan yang masih berada di pohon, apabila kedua belah pihak,
khususnya pembeli, telah melihat secara langsung kondisi buah yang
akan dibeli. Seluruh atau sebagian dari pohon yang sama. Semua itu
didasarkan pada penggunaan ‘urf.22
Wahbah al-Zuhaili> sebelum menjelaskan secara komprehensif
akad istis}na>’ juga memberikan pengantar bahwa Islam menghendaki
kemudahan bagi umatnya. Shari’ah dibentuk tak lain adalah upaya
untuk menuntut umat Islam dalam memenuhi hajatnya, meraih
kemaslahatan. Oleh karena itu, sangat diperlukan ijtihad dalam rangka
menghasilkan konstruksi hukum yang sesuai dengan hajat tersebut. Hal
itu sesuai dengan kaidah h}a>jat tanzi>lu mana>zila d}aru>riyyah dan
al-Isla>m di>nu al-yusra> la ‘usra>.23
20 Yusuf Qard}a>wi, Awa>milu al-Sa>’ati wa al-Muru>nati fi al-Shari>’ah al-Isla>miyyah, Terj. Alim
Bazemool, ( Jakarta : Pustaka Mantiq, 1993 ), 42.
21Wahbah al-Zuhaili, al-Waji>z fi Ushu>l al-Fiqh, (Damaskus: Dar al- Fikr, 1990), 99. 22Ibid., 100.
23 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu, Jilid 5, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1995),
27
Dari sini maka disinyalir bahwa para ulama shari’at di
berbagai aliran dari dulu hingga sekarang menerima dan menjadikan
‘a>dat sebagai dasar hukum. Dalam kitab al-tanqi>h yang dikarang oleh
al-Qarafi disebutkan bahwa ‘a>dat sudah menjadi titik temu antara
aliran-aliran. Dalam kitab al-Ashbah yang dikarang Ibnu Najim juga
disebutkan bahwa ‘a>dat hadir dalam banyak permasalahan fiqih.24
4. Beberapa Kaidah al-‘A<dat Muh}akkamah
Di antara kaidah-kaidah cabang dari kaidah al-‘adah
muhakkamah adalah sebagai berikut:
ﺒ
ﺎَِ َُﻤَ ﺒ ُ َِﳚ ٌﺔﱠﺠُﺣ ِسﺎﱠﻨﺒ ُلﺎَﻤﺸِﺸﺳ
Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/argument/dalil) yang wajib diamalkan
Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan
di masyarakat, menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat
menaatinya.25
ﺸ َََ وَﺒ ﺸتَدَﺮَ ﺸﺿﺒ ﺒَذِﺒ ُةَدﺎَ ﺒ ُﺮَـَﺸُـ ﺎَﱠﳕِﺒ
Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum.
24Jamal al-Banna, Manifesto Fiqih Baru 3 Memahami Paradigma Fiqih Moderat, terj. Hasibullah
Satrawi dkk. ( Jakarta : Penerbit Erlangga, 1997), 340.
25A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
28
Dalam masyarakat suatu perbuatan atau perkataan yang dapat
diterima sebagai adat kebiasaan, apabila perbuatan atau perkataan
tersebut sering berlakunya, atau dengan kata lain sering berlakunya itu
sebagai suatu syarat (salah satu syarat) bagi suatu adat untuk dapat
dijadikan sebagai dasar hukum.26
ِرِدﺎﱠﻨ ِ َﻻ ِِﺋ ﺎﱠ ﺒ ِ ِﺎَِ ُةَﺮﺸـِ ﺒ
Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi.
Ibnu Rusydi menggunakan ungkapan lain, yaitu:
ﱠﻨﺒ ﺎِ َﻻِد ﺎَﺸُﳌ ﺎِ ُﻢﺸُﳊﺒ ِرِدﺎ
Hukum itu dengan yang biasa terjadi bukan dengan yang jarang terjadi.
ﺎً ﺸﺮَ ِطﺸوُﺮﺸ َﻤﺸﺎَ ﺎَﺸﺮُ ُفﺸوُﺮﺸَﳌﺒ Sesuatu yang telah dikenal ‘urf seperti yang disyaratkan dengan suatu syarat.
Maksudnya adat kebiasaan dalam bermuamalah mempunyai daya
ikat seperti suatu syarat yang dibuat.27
ﺸﻢُﻬَـﻨﺸـﻴَـ ِطﺸوُﺮﺸ َﻤﺸﺎَ ِرﺎﱠُﲡ َﺸﲔَـ ُفﺸوُﺮﺸَﻤﺸﺒ
Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat di antara mereka.
29
Sesuatu yang menjadi adat di antara pedagang, seperti
disyaratkan dalam transaksi.28
ﺺﱠﻨ ﺎِ ِﺸﲔِﻴﺸﱠـ ﺎَ ِفﺸﺮُﺸِﺎ ُﺸﲔِﻴﺸﱠـﺒ
Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan yang disandasarkan pada nash.
Penetapan suatu hukum tertentu yang didasarkan pada ‘urf dan
telah memenuhi syarat-syarat sebagai dasar hukum, maka kedudukannya
sama dengan penetapan suatu hukum yang didasarkan pada nash.29
ًﺔَﻘﺸـﻴِﻘَﺣ َِﻨَـﺸﻤُﻤﺸﺎَ ًةَدﺎَ َُﻨَـﺸﻤُﳌﺒ
Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan.
Maksud kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi
berdasarkan adat kebiasaan secara rasional, maka tidak mungkin terjadi
dalam kenyataannya.30
ِةَدﺎَ ﺒ ِﺔََﻻَﺪِ ُكَﺮﺸـُـ ُﺔَﻘﺸـﻴِﻘَﳊﺒ
Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat”
ﻰِﻈﺸَ ﺒ ِنﺸذِﻻﺎَ ِفﺸﺮُ ﺒ ُنﺸذِﻻﺒ
28 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002), 157.
30
Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut ucapan.
B. Posisi Al-‘Adat dan Al-‘Urf Dalam Struktur Bangunan Hukum Islam
Bila merujuk pada fakta historis masa awal (pada masa Rasulullah
dan para sahabat) dalam tashri'> al-Islam, posisi al-‘a>dat dan al-’urf menjadi
faktor penting dalam pembangunan Hukum Islam, bahkan menjadi pengiring
lahirnya wahyu al-Qur’an yang diturunkan melalui Muhammad SAW.
Namun demikian, sejak pasca sahabat, ijtihad hukum di kalangan umat Islam
mulai mengurangi memasukkan al-‘a>dat dan al-’urf sebagai sumber hukum
Islam. Kalaulah para ulama menggunakan al-‘a>dat dan al-’urf sebagai
sumber Hukum Islam, itu pun dengan syarat-syarat yang begitu rumit.
Dengan tingkat kerumitan itu maka dapat dibayangkan bahwa pada saat itu
baik al-Qur’an maupun Sunnah dipahami secara harfiah, rigid, dan sangat
normatif sesuai dengan kepentingan atau pemahaman penguasa pada masa
itu.31
Al-Qur’an dan Sunnah yang diyakini menjadi landasan dan inspirasi
tunggal rah}matan li al-a>lami>n . Jika hanya dipahami dengan menggunakan
logika hukum positif, pada tataran ini maka yang akan lahir bukanlah
hukum-hukum yang berperikemanusiaan, melainkan hukum-hukum yang
tereduksi dan tidak kurang memiliki sentuhan rah}matan li al-alami>n.
Sebagian para ulama telah menjadikan metodologi hukum Islam dan
persyaratan diterimanya al-‘a>dat dan al-’urf sebagai sesuatu yang suci
31
setelah al-Qur’an. Padahal al-‘a>dat dan al-’urf pada dirinya merupakan fakta
sosiologis, antropologis, serta psikologis suatu masyarakat pada zamannya.
Padanya pula terdapat nilai-nilai moral (moral values) yang sangat mungkin
secara esensial mempunyai makna serta maksud yang sama dengan al-Qur’an
dan Sunnah.
Diantara beberapa persyaratan yang diumumkan oleh para ulama’
us}u>liyyi>n bahwa tidak semua al-‘a>dat bisa dijadikan sebagai dalil untuk
menetapkan hukum Islam kecuali apabila memenuhi syarat sebagai berikut:32
1. Suatu ‘a>dat dan ‘urf,33 baik yang khusus dan umum maupun yang ‘amali>
dan qauli>, berlaku secara umum. Artinya, ‘a>dat itu berlaku dalam
kebanyakan kasus yang terjadi dalam masyarakat dan keberlakuannya
dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut.
2. Suatu ‘a>dat dan ‘urf, yang akan dijadikan sebagai dalil hukum Islam
adalah adat yang telah berjalan sejak lama di suatu masyarakat ketika
persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya, adat yang
akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang
akan ditetapkan hukumnya. Dalam kaitan ini, ulama us}u>l al-fiqh dapat
32Musthafa Ahmad al-Zarqa’, Al-Madkha>l al-Fiqhi> al-‘A>m Jilid I dan II, (Damaskus: Dar al-Fikr,
1978), 873-881.
33Adapun dari segi bentuknya, ulama us}ul al-fiqh membagi ‘urf menjadi tiga macam ; pertama,
dari segi objeknya dibagi menjadi dua, yaitu: ‘urf qauli/ lafdzi (kebiasaan yang menyangkut perkataan/ ungkapan) dan ‘urf fi’li> (kebiasaan yang berbentuk perbuatan). Kedua, dari segi
cakupannya terbagi atas: ‘urf ‘a>m (kebiasaan yang bersifat umum) dan ‘urf kha>s} (kebiasaan yang bersifat khusus). Ketiga, dari segi keabsahannya dari pandangan shara’, terbagi
32
menjadikannya sebagai sandaran hukum dalam menyelesaikan kasus
hukum yang telah terjadi.
3. Suatu ‘a>dat dan ‘urf, yang akan dijadikan sebagai dasar penetapan hukum
tidak bertentangan dengan yang diungka>pkan secara jelas oleh para pihak
dalam masalah yang sedang dilakukan. Sebagai contoh, antara penjual
dan pembeli ketika melakukan transaksi jual-beli telah menyepakati
bahwa dengan kesepakatan secara jelas bahwa barang yang dibeli akan
dibawa sendiri oleh pembeli ke rumahnya. Padahal ‘adat yang berlaku
adalah barang yang dibeli akan diantarkan penjualnya ke rumah pembeli.
Ini berarti bahwa ada pertentangan antara ‘adat dan yang diungkapkan
secara jelas dalam transaksi tersebut. Bila demikian keadaannya, maka
‘a>dat yang berlaku di masyarakat tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk
menetapkan hukum dalam jual beli tersebut.
4. Suatu ‘a>dat dan ‘urf, dapat diterima sebagai dasar hukum Islam manakala
tidak ada nas} yang mengandung hukum dari permasalahan yang dihadapi.
Artinya, bila suatu permasalahan sudah ada nas}nya, maka adat itu tidak
dapat dijadikan sebagai dalil hukum Islam.
Selanjutnya, dengan perkembangan dewasa ini banyak persoalan
yang harus dihadapi oleh umat Islam, baik secara individual maupun
kelompok. Kehadiran ulama yang mempunyai kepekaan antropologis dan
kecerdasan sosiologis sangat diharapkan. Karena hal itu dimungkinkan
menjadi faktor penting dalam menerima ‘a>dat dan ‘urf, secara konseptual
33
oleh karenanya solusi yang ditawarkannya pun sekurang-kurangnya sesuai
dengan konsep dan materi yang ada.
Tegasnya, ke depan peran ‘a>dat dan ‘urf, sebagai sumber dalam
pembangunan Hukum Islam sangat signifikan. Munculnya
persoalan-persoalan kontemporer seperti humanism, democratization, pluralism, gender
equality, cross-cultural, inter-religious faith, religious issues and science, dan
multiculturalism, tidak bisa diselesaikan dengan tanpa melibatkan ‘a>dat dan
‘urf,.34 Selain itu, beberapa persyaratan penggunaan al-‘a>dat dan al-‘urf
yang ditawarkan oleh para ulama fiqh maupun ulama us}ul fiqh, tidak
selamanya harus menjadi acuan utama. Selama antara nas}-nas} al-Qur’an dan
Sunnah dengan realitas al-‘a>dat dan al-‘urf mempunyai kesamaan makna
dan maksud, maka penghormatan terhadap al-‘a>dat dan al-‘urf sama seperti
halnya penghormatan terhadap al-Qur’an dan Sunnah.
Kaidah al-‘a>dat muhakkamah merupakan kaidah asas atau qawa>id
kulliya>t al-kubra>, yang memiliki fungsi yang sangat penting dalam
menetapkan hukum fikih. Sama halnya dengan hakikat dari qawa>id
al-fiqhiyyah pada umumnya, yaitu “are theoretical abstractions in the form
usually of short epithetic statements that are expressive, often in a few
words, of the goals and objectives of Shari‘ah”.35 Ungkapan singkat al-‘adat
muh}akkamah, tanpa keraguan memiliki makna yang cukup luas dalam
mengungkapkan maksud dan tujuan shari’ah.
34Rijal Mumazziq Zionis, Posisi Al-‘Urf dalam .., 136
34
Mahmud Must}afa al-Zuhaili menulis, “sesungguhnya kaidah ini ingin
menegaskan bahwa baik kebiasaan (al-‘a>dat) yang bersifat umum maupun
khusus, bisa dijadikan sebagai dasar penetapan hukum (li is}ba>ti hukmin
shar’iyyin) terhadap aspek-aspek yang tidak diatur oleh nas} secara khusus.”36
Nas} tetap menjadi acuan, namun segala sesuatu yang berkaitan dengan sosial
kemasyarakatan yang tidak dijelaskan oleh nas}, maka kebiasaan atau al-‘a>dat
bisa dijadikan dasar dalam menetapkan hukum. Terlebih peristiwa hukum,
muncul ketika ia bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku umum
di suatu masyarakat. Baik yang telah diundangkan, maupun yang belum.
C. Al-‘Adat Nalar Hukum Universalitas dalam Lokalitas
1. Al-‘Adat: Perangkat Us}u>l Fikih Berdimensi Kearifan Lokal
Ilmu us}u>l al-fiqh dikenal sebagai the queen of islamic science;
primadona ilmu-ilmu keislaman.37 Pengertian etimologis us}u>l al-fiqh,
memberikan penjelasan bahwa us}u>l al-fiqh merupakan ilmu yang
mempelajari dasar-dasar, metode-metode, pendekatan-pendekatan, dan
kunci untuk bisa terbukanya pintu memahami ilmu-ilmu keislaman yang
lainnya. Tidak hanya persoalan hukum, bahkan untuk memahami seluruh
aspek kehidupan sosial masyarakat, penguasaan terhadap bidang us}u>l
al-fiqh adalah keniscayaan yang tak dapat ditawar-tawar.
36Mahmu>d Must}afa> al-Zuhaili>, al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah wa that}bi>qa>tiha fi al-maz|hab al-arba’ah,
Juz 1, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2006), 298.
37Addiarrahman , Kritik Nalar Perbankan Syari’ah: Perspektif Legal Maxim, dalam Jurnal
35
Melalui ilmu ini, akal manusia dituntun secara metodis,
sistematis, dalam rangka memahami ayat-ayat Allah baik kauniyah
maupun qauliyah. Ia menjadi dasar, asal, fondasi (us}u>l) bagi suatu
pemahaman, pemaknaan, interpretasi yang mendalam (al-fiqh).
Mempelajari dan memahami ilmu us}u>l al-fiqh, memudahkan kita
memahami fenomena Islam, baik normatif maupun empiris.38
Kaidah ‘a>dat muh}akkamah maupun‘urf dalam ilmu us}u>l
al-fiqh, dibahas sebagai sebuah metode yang mempertimbangkan faktor
empiris suatu masyarakat. Meskipun terkesan diperdebatkan posisinya
sebagai sebuah metode istinba>t} hukum, para ‘ulama’ tidak pernah bisa
melepaskan diri dari pertimbangan ‘urf di suatu tempat di mana ia
berhadapan dengan persoalan hukum. Misalnya, Imam Malik
mempertimbangkan Amal Ahl Madinah dengan mengedepankan aspek
masalahah dalam proses berijtihad. Imam Hanafi menggunakan istihsa>n
dan al-‘urf dalam pertimbangan hukumnya. Imam Shafi’i memiliki hasil
ijtihad yang berbeda, qaul qadi>m dan qaul jadi>d, atas dasar perbedaan
tempat dan kondisi sosial masyarakat. Serta ulama-ulama lain, juga
melakukan hal yang sama.
Melihat kesejarahan para ulama dalam menentukan istimbath
hukum yang selaras dengan dimensi tempatan tersebut adalah
38Thaha Jabir al-Alwani menjelaskan bahwa “ushu>l al-fiqh is rightly considered to be the most
36
keniscayaan jika kaidah al-‘a>dat Muh}akkamah tidak lain merawat
kearifan lokal sebagai bagian dalam merumuskan hukum. Secara
definitif kearifan lokal dapat dimaknai sebagai gagasan-gagasan
setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik,
yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dengan kata
lain, yang dimaksud dengan kearifan lokal adalah “pandangan hidup dan
ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud
aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab
berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka”. Istilah ini
dalam bahasa Inggris dikonsepsikan sebagai local wisdom (kebijakan
setempat) atau local knowledge (pengetahuan setempat) atau local
genious (kecerdasan setempat).39
Selanjutnya kearifan lokal atau yang dikenal dengan istilah (local
genius/local wisdom) merupakan pengetahuan lokal yang tercipta dari
hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang
dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal dengan
demikian merupakan pengetahuan lokal yang digunakan oleh
masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungannya yang
menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan
di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.
Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Adapun
kearifan budaya lokal ialah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian
39Agung Setiyawan, “Budaya Lokal Dalam Perspektif Agama: Legitimasi Hukum Adat (‘Urf)
37
menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya, serta
diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu
yang lama, maka kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan
secara spesifik dengan budaya tertentu (budaya lokal) dan
mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu (masyarakat lokal).
Dengan kata lain, kearifan lokal bersemayam pada budaya lokal (local
culture).
Melalui kaidah al-‘a>dat muh}akkamah (‘urf) dapat menemukan
sisi Islam yang tidak pernah membeda-bedakan budaya rendah dan
budaya tinggi, budaya kraton dan budaya akar rumput yang dibedakan
adalah tingkat ketakwaannya. Disamping perlu terus menerus
memahami al-Quran dan Sunnah secara benar, perlu kiranya umat Islam
merintis cross cultural understanding (pemahaman lintas budaya) agar
kita dapat lebih memahami budaya bangsa lain. Meluasnya Islam ke
seluruh dunia tentu juga melintas aneka ragam budaya lokal. Islam
menjadi tidak “satu”, tetapi muncul dengan wajah yang berbeda-beda.
Karenanya, tidak ada lokasi tunggal ataupun budaya seragam yang
identik dengan Islam. Dengan demikian, tidak ada Islam yang
monolitik.” Demikian papar Bruce B. Lawrence.40
Apa yang dikemukan oleh Bruce B. Lawrence adalah
keniscayaan wujud dari shari>’ah Islam yang dinamis dan elastis. Hal
yang demikian bisa terimplementasi jika landasan hukum yang dalam
40Bruce B. Lawrence, Islam Tidak Tungggal: Melepaskan Islam Dari Kekerasan,terj. Harimukti
38
us}u>l fiqih dinamakan al-‘a>dat muhakkamah (‘urf), yakni sesuatu yang
menjadi kebiasaan dan dijalankan oleh manusia, baik berupa perbuatan
yang terlakoni diantara mereka atau lafadz yang biasa mereka ucapkan
untuk makna khusus yang tidak dipakai (yang sedang baku). Dengan
begitu Islam memandang budaya, tradisi atau adat yang ada di
masyarakat sebagai hal yang memiliki kekuatan hukum.
Perlu diketahui bersama bahwa teori al-‘a>dat muh}akkamah (‘urf)
ini diambil dari adanya realitas sosial kemasyarakatan bahwa semua cara
hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai
norma kehidupan, sedang setiap individu dalam bermasyarakat dalam
melakukan sesuatu itu karena sesuatu tersebut dianggap bernilai,
sehingga dalam komunitas mereka memiliki pola hidup dan kehidupan
mereka sendiri secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati
bersama. Oleh sebab itu, jika ditemukan suatu masyarakat meninggalkan
perbuatan yang selama ini sudah biasa dilakukan, maka mereka sudah
dianggap telah mengalami pergeseran nilai, dan nilai-nilai seperti inilah
yang dikenal degan sebutan adat-istiadat, budaya, tradisi dan
sebagainya. Oleh karena itulah kebudayaan itu bisa dianggap sebagai
perwujudan aktifitas nilai-nilai dan hasilnya.
Islam dalam berbagai bentuk ajaran yang ada di dalamnya,
menganggap adat-istiadat atau ‘urf sebagai patner dan elemen yang
harus diadopsi secara selektif dan proporsional, sehingga bisa dijadikan
39
landasan hukum yuridis yang berdiri sendiri dan akan melahirkan produk
hukum baru, akan tetapi ia hanya sebagai suatu ornament untuk
melegitimasi hukum-hukum shara’ sesuai dengan perspektifnya yang
tidak bertentangan dengan nas
}
-nas} shara’.41Berangkat dari pembacaan di atas itulah kemudian tercetus teori
yang obyek pembahasannya terfokus hanya kepada kasus-kasus adat
kebiasaan atau tradisi, yaitu teori ‘urf sebagai berikut:
فﺮ ا
ﻲﻓ
هرﺎﺒﺘ ا ﮫ عﺮ ا
ﺔ ﯾﺮ فﺮ ا
ﺔ ﻜ
‘Urf menurut shara’ itu memiliki suatu penghargaan (bernilai hujjah) dan kaidah ‘urf merupakan dasar hukum yang telah dikokohkan.
2. Al-‘Adat : Lokalitas Sebagai Interpretasi Keagamaan
Islam tidak lahir dari ruang hampa yang kosong. Al-Qur’an yang
merupakan sumber pedoman dan representasi Islam meski secara fakta
bahwa kesinambungannya beranjak dari kalam (ide) Allah yang
meta-historis, namun telah hadir dalam bentuk bahasa Arab yang berdimensi
lokal dan partikular sebagai wilayah historis.42 Adanya wilayah historis
41Agung Setiyawan, “Budaya Lokal Dalam Perspektif Agama...” 213.
42Sekurang-kurangnya empat argumen: Pertama,Tuhan telah memilih bahasa manusia –dalam hal
40
ini otomatis meniscayakan adanya situasi sosial yang melingkupi. Hal itu
menjadikan al-Qur’an memiliki hubungan dialektis dengan realitas.
Karena sifatnya yang berdialektika dengan realitas itulah nilai-nilai
universalistiknya mengalir ke dalam ruang dan waktu yang berbeda.
Sehingga meniscayakan tradisi keagamaan Islam dapat berubah sesuai
dengan konteks sosial-budaya suatu masyarakat.
Gagasan ajaran terhadap nilai-nilai Islam seperti itu memberi
harapan (antropologi wahyu) kepada semua kelompok sosial yang hidup
di dalam wilayah sosio-budaya tertentu untuk meneguhkan identifikasi
diri mereka kepada lokalitas-nya secara kritis, mengelola
perbedaan-perbedaan yang muncul sebagai konsekuensinya dan mengarahkan
berbagai kelompok berbeda tersebut untuk selalu melihat cita-cita yang
lebih jauh untuk pemenuhan ketinggian harkat kemanusiaan mereka
sendiri.43 Artikulasi untuk mencapai cita-cita itu adalah selalu
menurut Komaruddin Hidayat berlangsung dalam dua level; 1). Proses pengungkapan dalam bahasa Arab. 2). Penafsiran atas al-Qur’an yang kemudian disebut hadis. Lihat Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), 16. Ketiga, sejak turunnya, al-Qur’an telah berdialog dengan realitas. Banyak sekali peristiwa yang mengiringi turunnya sebagai jawaban atas peranyaan-pertanyaan umat waktu itu. Dengan kata lain, sangat sedikit ayat-ayat yang diturunkan tanpa ada sebab eksternal. Jika kita mengikuti perkembangan al-Qur’an, maka itu berarti juga kita mengikuti perkembangan hidup Nabi Muhammad SAW dan perkembangan komunitas di sekelilingnya. Keempat; firman Tuhan itu telah direkam dalam bentuk catatan atau teks. Pencatatan ini mempunyai sejarahnya sendiri, bermula dari tulisan-tulisan parsial berserakan sampai pada penetapan Official Closed Corpus
(korpus resmi tertutup) yan dilakukan khalifah ketiga, Ustman bin Affan, sebagai satu-satunya model pembakuan al-Qur’an pada abad 4 H/10 M. sejak saat itulah terjadi peralihan al-Qur’an dari tradisi lisan ke tradisi tulisan. Peralihan ini telah mengindikasikan sejak saat itu umat Islam telah memasuki tahapan logosentrisme, yaitu sebuah tahapan yang mengacu pada teks-teks suci yang ada dalam al-Qur’an untuk memperoleh jawaban dari berbagai situasi dan kondisi yang terus berkembang, tidak lagi mengacu kepada tradisi Islam. Lihat Johan Hendrik Meuleman ”Pengantar” dalam Mohammed Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru,terj. Rahayu S. Hidayat (Jakarta; INIS 1994), 23-28.
43M. Jadul Maula, ”Syari’at (kebudayaan) Islam; lokalitas dan universlitas,” dalam makalah