IMPLEMENTASI PROGRAM KARTU INDONESIA PINTAR DI KELURAHAN PEKAN GEBANG KECAMATAN GEBANG KABUPATEN
LANGKAT
SKRIPSI
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Strata 1 (S-1) Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program Studi IImu Administrasi Negara OLEH:
NIM: 130903143 Kristina Anggelina
DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2017
ABSTRAKSI
IMPLEMENTASI PROGRAM KARTU INDONESIA PINTAR DI KELURAHAN PEKAN GEBANG KECAMATAN GEBANG KABUPATEN
LANGKAT Nama : Kristina Anggelina Sitanggang NIM : 130903143
Departemen : Ilmu Administrasi Negara
Pembimbing : Prof. Dr. Marlon Sihombing, M.A
Penelitian ini ditujukan Untuk mengetahui tentang Program Kartu Indonesia Pintar Khususnya pada Kelurahan Pekan Gebang, memahami bagaimana Implementasi Program Kartu Indonesia Pintar Khususnya pada Kelurahan Pekan Gebang dan mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Pemerintah dalam pengimplementasian Program Kartu Indonesia Pintar Khususnya pada Kelurahan Pekan Gebang.
Adapun sumber data yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah dengan melakukan wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif dengan analisa kualitatif.
Dari penelitian yang dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa Implementasi Program Kartu Indonesi Pintar sudah cukup baik berdasarkan beberapa faktor, yakni komunikasi yang terdiri dari transmisi, kejelasan dan konsistensi. Sumber daya yang terdiri dari staf (sumber daya manusia), informasi, wewenang dan fasilitas kemudian disposisi serta struktur birokrasi, dinilai sudah cukup baik. Walaupun terdapat hambatan dalam pendistribusian terdapat keluhan dari masyarakat yang merasa bahwa pembagian yang tidak merata dan adil. Serta ketidaktahuan pembagian tugas yang jelas antara kelurahan dan sekolah.
Kata Kunci: Implementasi Kartu Indonesia Pintar, Kelurahan, Sekolah
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan Kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah menyertai penulis sepanjang proses pengerjaan hingga dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu yang telah direncanakan.
Penulis juga mengucapkan terimaksih kepada kedua orang tua penulis tersayang yaitu Arta Br. Siregar dan T.Sitanggang atas kesabaran dan kasih sayangnya yang telah mendidik, mengasuh dan memberikan dukungan baik materil maupun moril serta selalu mendoakan penulis hingga saat ini.
Dan penulis tidak dapat memungkiri bahwa telah banyak pihak yang memberikan pengaruh serta bantuan, baik moril maupun materil. Maka dari itu, penulis juga ingin mengucapkan banyak terimakasih yang tidak terhingga kepada orang-orang yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung, kepada yang terhormat :
1. Bapak Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sumatera Utara Bapak Muriyanto Amin, M.Si
2. Bapak Drs. Rasudyn Ginting, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Marlon Sihombing, M.A selaku Dosen Pembimbing yang telah sabar membimbing dan mengarahkan penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.
4. Kepada dosen-dosen Ilmu Administrasi Negara FISIP USU yang telah memberikan begitu banyak ilmu kepada penulis selama masa perkuliahan.
5. Terimakasih kepada Lurah, Kepala Lingkungan kelurahan Pekan Gebang dan Kepala sekolah serta guru-guru SD 054942 Tegal Rejo, SMPN 1 Gebang, dan SMAN 1 Gebang yang memberikan saya izin untuk melakukan penelitian.
6. Kepada masyarakat kelurahan Pekan Gebang khususnya masyarakat penerima Manfaat KIP, untuk memberikan informasi berkaitan dengan skripsi ini.
7. Kepada kakak dan adik-adik saya, Yunita Ornella, Suhelen Siparingga, Mita Sani, dan Richo Satria, terimakasih telah mendoakan, mendukung dan memotivasi penulis. Semangat kita ya banggain mama dan bapak.
8. Untuk My Special Girls, Erni Yoesry, Eviyona Barus, Tiurma Rosdiana, terimakasih atas dukungan yang luar biasa, suka duka dari SMA kita lalui bersama, selalu ada disaatku membutuhkan kalian, yang suka ngerepotin tapi nyenengi yang sudah bertransformasi menjadi gadis hits. Terimakasih untuk rekomendasi hiburan terbaiknya untuk melihat mimi peri. Tetap gila dan berbahaya ya.
9. Terimakasih kepada, Yenny Silitonga (amaya), Lorensia Sitanggang (oyen) tim cerdas cermat serta Vivi Valentin (bijens ‘butski’), Raja Putri Arini (mput) atas pengalaman yang luar biasa mantap dan ditambah Naomi Elisabeth (Overprotektif ‘cobel’), Dwi Patricia (Geleng), Susana Tandika (Susu) dan Wilona Baretha (etha ‘penetral’) yang selalu membuat kelucuan yang tak berarti tapi menghibur. Saran dan masukkan yang membangun serta membantuku menyelesaikan masalah yang dihadapi selama perkuliahan.
Banyak hal yang kita lewati bersama selama perkuliahan sampe ngakak gak jelas, ngebahas yang penting sampe gak pentingpun terbahas, tapi makasih
banyak buat pelajaran hidup dan share kehidupan bersama sampai ku tahu detail luar dalam kalian. Terimakasih untuk kalian yang selalu mendukung dan memotivasi penulis untuk tidak mager mengerjakan skripsi ini. sukses kita yaa!
10. Kepada personil menuju puncak, sudah termasuk personil diatas ditambah Taufik Bewaomasi (pejabat nias selatan), M.Thaher (bupati madina), Guntur Joyo (pangerannya Raja) yang telah memberikan motivasi dan penghiburan untuk penulis agar tidak stress dalam menyelesaikan skripsi ini. tetap menjadi yang terbaik!
11. Kepada Sahabatku dari semester awal yang tiada mengenal siapapun hanya kalianlah orang yang pertama kaliku kenal dan selalu bersama, yaitu Yuli Isma, Novita Sari, Glori Simbolon, Annysa Pratiwi dan Putri Royan Sari, terimaksih banyak sudah mendukung saya dari awal hingga akhir.
12. Kepada SINAMAN Squad, Vivi, Yenny, Naomi, Dwi, Lorensia, Raja (mereka lagi), Rahmat Aulia, Daniel Gurusinga, Dessy, Zarrisva, Dedek Apriyanti terimakasih buat pengalaman dan kerjasama yang luar biasa hebat selama di Desa Sinaman.
13. Terimakasih untuk Jessica Theresia twini terbaikku dan tetap menjadi yang terbaik yang mendengarkan keluh kesahku dan menasehatiku. I love you, twin. Tetap semangat buat kedepannya Godbless. Dan terimakasihku kepada kakak angkatku, Luthfi AM yang setia mendengarkan curhatan adekknya dan memotivasi saya, sukses ya bg!
14. Terimakasih kepada Yenny (lagi) dan Jefri Sihotang atas petualangannya, semoga segala wacana-wacana yang direncanakan tidak menjadi hoax. Tetap apa adanya dan semangat terus, ntar udah suskses harus mendaki bareng!!!!
15. Terimakasih untuk teman-teman Ilmu Administrasi Negara 2013
16. Kepada Yayasan Karya Salemba Empat atas dukungan finansial, pelatihan dan pengalamannya selama 1 tahun terakhir ini. Terimakasih atas kesempatan yang luar biasa menjadi bagian dari salah satu bagian dari KSE.
17. Kepada Aksi Indonesia Muda (AIM) Medan, buat kesempatan dan pengalaman untuk menjadi bagian dari AIM yanng sesuai dengan jargonnya Action, Inspire, and impactful. Terimaksih untuk Positive Vibes yang penulis dapatkan selama di AIM. Terus mengabdi dan berikan yang terbaik.
18. kak Dian S.E dan kak Mega Haloho, selaku bagian pendidikan Ilmu Administrasi Negara, FISIP USU yang selalu membantu penulis dalam urusan administratif selama perkuliahan, hingga pada pemenuhan syarat- syarat beasiswa;.
19. Terimakasih kepada partner hidupku selama perkuliahan “RANGER” PAQ, terus menemai dan membantu tanpa menimbulkankan masalah padaku, makasih rangerku sudah setia menemaniku kemana saja, tetap kuat walaupun tarik 3, kepada fasilitas lainnya, YA (mobil oyen), dan ZE (mobil geleng) yang selalu setia menemani saya dan teman menju puncak kemana saja.
20. Kepada Paguyuban KSE USU terkhusus divisi Event Organizer tetap menjadi divisi terbaik dan menyenangkan yes!
21. Dan terimakasih buat setiap orang yang sudah pernah bekerjasama dengan saya baik dalam kelompok belajar maupun organisasi IKAMA Medan,
SAHIVA USU, IMDIAN, Paguyuban KSE USU serta seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan, baik dari isinya maupun dari segi bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Medan, Maret 2017 Penulis
Kristina Anggelina
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah ... 1
1.2.Rumusan Masalah ... 8
1.3.Tujuan Penelitian ... 8
1.4.Manfaat Penelitian ... 9
1.5 Kerangka Teori ... 10
1.5.1. Deskripsi Teori ... 10
1.5.2. Konsep Kebijakan Publik ... 10
1.5.2.1 Pengertian Kebijakan Publik ... 10
1.5.2.2 Pengertian Implementasi Kebijakan ... 14
1.5.2.3 Model-model Implementasi Kebijakan ... 18
1.5.3 Pengertian Program ... 30
1.5.3.1 Faktor Pendorong dan Faktor Penghambat Implementasi Program ... 32
1.5.4 Konsep Pendidikan Gratis ... 34
1.5.4.1 Pengertian Pendidikan ... 34
1.5.4.2 Pengertian Pendidikan Gratis ... 35
1.5.5 Program Indonesia Pintar ... 36
1.5.5.1 Program Kartu Indonesia Pintar ... 37
1.5.5.2 Dasar Hukum Program Indonesia Pintar ... 41
1.5.6 Kelurahan ... 44
1.5.7 Kerangka Pemikiran ... 45
1.5.8 Defenisi Konsep ... 47
BAB II METODE PENELITIAN 2.1 Bentuk Penelitian ... 49
2.2 Lokasi Penelitian ... 49
2.3 Informan Penelitian ... 49
2.4 Teknik Pengumpulan Data ... 52
2.5 Teknik Analisis Data ... 53
BAB III DESKRIPSI LOKASI 3.1 Sejarah Singkat Kelurahan Pekan Gebang ... 54
3.2 Kondisi Geografis ... 55
3.3 Gambaran Demografi ... 56
3.3.1 Jumlah Penduduk ... 56
3.3.2 Pendidikan ... 58
3.3.3 Sarana Prasarana Kelurahan ... 59
3.3.4 Visi dan Misi Kelurahan ... 60
3.3.5 Struktur Organisasi ... 61
3.4 Kondisi Sosial Budaya ... 62
3.5 Gambaran Umum Sekolah Di Kelurahan Pekan Gebang ... 62
3.5.1 SDN 054942 Tegal Rejo ... 62
3.5.1.1 Visi dan Misi SD 054942 Tegal Rejo ... 63
3.5.1.2 Struktur Organisasi SD 054942 Tegal Rejo ... 64
3.5.2 SMPN 1 Gebang ... 64
3.5.2.1 Visi dan Misi SMPN 1 Gebang ... 65
3.5.2.2 Struktur Organisasi SMPN 1 Gebang ... 66
3.5.3 SMAN 1 Gebang ... 66
3.5.3.1 Visi dan Misi SMAN 1 Gebang ... 67
3.5.3.2 Struktur Organisasi SMAN 1 Gebang ... 67
BAB VI PENYAJIAN DATA 4.1 Identitas Informan ... 69
4.2 Keadaan Pendidikan ... 74
4.3 Kebijakan Program Kartu Indonesia Pintar ... 75
4.3.1 Prinsip Pelaksanaan PIP ... 78
4.3.2 Tujuan Program Indonesia Pintar ... 79
4.3.3 Mekanisme Pelaksanaan Program Indonesia Pintar ... 81
4.4 Implementasi Program Kartu Indonesia Pintar di Kelurahan Pekan Gebang ... 94
4.4.1 Struktur Birokrasi ... 95
4.4.2 Komunikasi ... 104
4.4.3 Sumber Daya ... 110
4.4.4 Disposisi ... 117
BAB V ANALISIS DATA 5.1 Analisis Variabel ... 121
5.1.1 Struktur Birokrasi ... 121
5.1.2 Komunikasi ... 123
5.1.3 Sumber Daya ... 125 5.1.4 Disposisi ... 127 5.1.5 Hubungan Antar Variabel ... 128 BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan ... 128 6.2 Saran ... 129
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL Tabel
1.1 Jumlah Sasaran PIP berdasarkan Jenjang Pendidikan ... 39
3.1 Batas Wilayah Pekan Gebang ... 55
3.2 Daftar Jumlah Penduduk Kelurahan Pekan Gebang ... 56
3.3 Distribusi Penduduk Berdasarkan Usia ... 56
3.4 Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencarian ... 57
3.5 Distribusi Penduduk Berdasarkan Etnis ... 57
3.6 Distribusi Penduduk Berdasarkan Agama ... 58
3.7 Distribusi Pendidikan Formal ... 59
3.8 Distribusi Pendidikan Formal Keagamaan ... 59
3.9 Iventaris Kantor ... 60
4.1 Daftar Identitas Informan kunci ... 69
4.2 Distribusi data informan berdasarkan Jenis Kelamin ... 70
4.3 Distribusi data Informan berdasarkan Pendidikkan ... 71
4.4 Distribusi data informan berdasarkan Jenis Kelamin ... 71
4.5 Distribusi data Informan berdasarkan Usia ... 72
4.6 Distribusi data Informan berdasarkan Pendidikan ... 72
4.7 Distribusi data Informan berdasarkan Pekerjaan ... 73
4.8 Daftar dokumen yang dibawa sesuai klasifikasi jenjang pendidikan ... 90
4.9 Distribusi data penerima KIP Kelurahan Pekan Gebang berdasarkan lingkungan ... 114
4.10 Distribusi data penerima KIP di sekolah ... 116
DAFTAR GAMBAR
Gambar
1.1 Skema Kebijakan Publik ... 18
1.2 Skema Kerangka Pemikiran ... 46
3.1 Kantor Kelurahan Pekan Gebang ... 59
3.2 Struktur Organisasi Kelurahan Pekan Gebang ... 61
3.3 Struktur Organisasi SDN 054942 Tegal Rejo ... 64
3.4 Sturktur Organisasi SMPN 1 Gebang ... 66
3.5 Strukrur Organisasi SMAN 1 Gebang ... 67
4.1 Tampilan Website Resmi TNP2K ... 76
4.2 Website Resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ... 77
4.3 Tampilan Informasi Program Indonesia Pintar di Website Resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ... 77
4.4 Tampilan Website Resmi Laporan Pengaduan Program Kartu Indonesia Pintar ... 78
4.5 Tujuan Pelakasanaan PIP sesuai Inpres RI No.2 Tahun 2014 ... 80
4.6 Detail Desain Kartu Indonesia Pintar ... 80
4.7 Alur diagram mekanisme pelaksanaan PIP (bagi peserta didik dari keluarga pemegang KPS/KKS/KIP) ... 85
4.8 Alur diagram mekanisme pelaksanaan PIP (bagi peserta didik bukan dari keluarga pemegang KPS/KKS/KIP) ... 87
4.9 Skema Mekanisme Alur PIP 2015 ... 88
4.10 Tampilan Kartu Keluarga Penerima Manfaaat ... 103
4.11 Tampilan Kartu Indonesia Pintar Penerima Manfaat ... 103
4.12 Surat Edaran Tentang Percepatan Penyaluran KIP dan Penerimaan Dana
PIP Tahun Pelajaran 2016/2017 ... 109 4.13 Tabel Tahapan Sasaran PIP 2015 Kemendikbud ... 113 4.14 Skema Alur pendistribusian dikelurahan ... 115
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan sangat dibutuhkan bagi setiap insan untuk berkembang dan meningkatkan kemampuan diri. Pendidikan selalu dikaitkan dengan peluang pekerjaan yang pada zaman ini tidak sedikit lowongan pekerjaan menetapkan batasan minimal tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan yang rendah yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja akan menyebabkan penganguran semakin meningkat, hal itu akan menyebabkan beban tanggungan keluarga meningkat.
Tingkat pengganguran yang tinggi dapat menyebabkan kemiskinan.
Kemiskinan dan tingkat pendidikan tidak dapat dilepaskan satu sama lain, adanya hubungan yang sangat erat antara kedua hal tersebut sering sekali orang mengistilahkan bahwa berpendidikan rendah identik dengan kemiskinan.
Kemiskinan menjadi masalah utama yang harus segera ditangani oleh negara Indonesia dalam upaya memajukan kesejahteraan umu sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Penanganan dan pendekatan memerlukan langkah yang sistematik, terpadu dan menyeluruh, dalam rangka mengurangi beban dan memenuhi hak-hak dasar warga negara secara layak melalui pembangunan inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan untuk mewujudkan kehidupan yang bermartabat. Dan dalam mempercepat penangulangan kemiskinan, pemerintah menetapkan program perlindungan sosial agar warga masyarakat yang mengalami maslah sosial tetap terpenuhi hak-hak dasarnya sebagai warga negara dan mendapatkan layanan dan askes dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Salah satu hak dasar warga negara adalah mendapatkan
pendidikan dan hal ini menjadi kewajiban pemerintah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Peningkatan askes dan mutu pendidikan kepada seluruh warga masyarakat terus dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang merupakan faktor penting dalam pelaksanaan pembangunan diberbagai bidang kehidupan serta untuk memajukan bangsa dan negara agar tercapai masyarakat yang terdidik, cerdas dan berakhlaq mulia.
Pendidikan juga merupakan intrumen penting yang menentukan dalam kontribusi terhadap kemajuan satu bangsa dan merupakan sarana dalam membangun watak bangsa. Dengan adanya pendidikan diharapkan akan terjadi proses transmisi ilmu pengetahuan, keyakinan, nilai-nilai, keterampilan dan aspek-aspek penting lainnya dari generasi ke generasi, sehingga dapat menghasilkan masyarakat yang cerdas dan mandiri. Masyarakat bangsa yang demikian merupakan investasi besar dalam menunjang proses pembangunan di suatu negara, baik dari aspek budaya, aturan dasar (hukum), sosial, politik, ekonomi, serta lingkungan. Terbentuknya kualitas pendidikan yang dapat mengantarkan masyarakat pada kecerdasan dan kemandirian yang akan melepaskan masyarakat dari kemiskinan. Pendidikan juga dipandang sebagai sarana paling strategis untuk mengangkat harkat dan martabat suatu bangsa.
Mengingat begitu pentingnya peran pendidikan bagi kehidupan masayarakat, maka pemerintah dewasa ini sangat memperhatikan segala aspek pendidikan yang ada untuk ditingkatkan, termasuk peningkatan mutu produktivitas guru.
Harapannya adalah agar pendidikan di Indonesia bangkit dari keterpurukan dan menjadi garda terdepan dalam pembangunan bangsa. Bentuk perhatian ini, secara khusus tercermin dalam kebijakan pemerintah, antara lain: berupa pemenuhan
sarana perundang-undangan, peningkatan anggaran pendidikan, sampai pada upaya penyempurnaan berbagai regulasi yang berlaku untuk memajukan pendidikan nasional. (Subandowo, 2009:109-110).
Pendidikan yang mahal juga membuat mayarakat enggan memiliki pendidikan. Biaya tersebut belum termasuk biaya peralatan dan perlengkapan penunjang pendidikan itu sendiri. Hal itu lah yang tejadi di Indonesia, problema pendidikan yang hingga sampai saat ini masih saja kompleks. Biaya pendidikan yang cukup mahal menjadikan masalah bagi sebagian masyarakat Indonesia yang kurang mampu untuk mengeyam pendidikan sampai level yang cukup tinggi.
Mahalnya pendidikan di Indonesia menjadi sebagian masyarakat Indonesia terjebak dalam kemiskinan struktural. Untuk memberantas kemiskinan di Indonesia jalan yang tepat adalah membuka peluang masyarakat Indonesia untuk mengenyam pendidikan sampai level yang paling tinggi. Namun kenyataan di Indonesia pendidikan yang cukup mahal hanya untuk masyarakat yang tergolong mampu. Ironis bahwa kebodohan terjadi di tengah melimpah ruahnya kekayaaan alam di Indonesia ini, karena masyarakat miskin lebih mementingkan untuk menyambung hidup mereka dengan mempergunakan uang merekaa untuk membeli kebutuhan primer daripada membayar biaya untuk pendidikan.
Menyadari hal tersebut pemerintah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan akses pendidikan kepada masyarakat khususnya bagi siswa yang berasal dari keluarga yang kurang mampu, sehingga terjadinya pemerataan yang akan mewujudkan nilai dasar Pancasila yang terkandung pada sila ke 5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa harapan pendidikan yang berkualitas tinggi dan merata di Indonesia masih sangat
jauh dari yang diharapkan, hal ini dapat dilihat dari data Kemendikbud tahun 2011/2012 tercatat sekitar 300 ribu anak putus sekolah dari 30 juta murid SD/MI, kemudian 180 ribu anak dari 12 juta murid putus sekolah di SMP/MTs. Penyebab tingginya angka putus sekolah tersebut sebagian besar (60%) karena persoalan ekonomi. Saat ini pemerintah kembali membuat upaya agar dapat menurunkan angka tersebut. Salah sau upaya yang dilakukan pemerintah tercantum pada RPJMN 2015-2019 Indonesia pada poin meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia yaitu (1) pembangunan kependudukan dan keluarga berencana; (2) pembangunan pendidikan khususnya pelaksanaan Program Indonesia Pintar; (3) pembangunan kesehatan khususnya pelaksanaan Program Indonesia Sehat; dan (4) peningkatan kesejahteraan rakyat marjinal melalui pelaksanaan Program Indonesia Kerja.
Arah pembangunan tersebut mendukung kebijakan yang telah dibuat oleh Pemerintah Indonesia. Terkhususnya pada pembangunan pendidikan yang terwujud dalam bentuk program Indonesia Pintar. Pada Perpres 166 Tahun 2014 tentang program percepatan penanggulangan kemiskinan, pemerintah mengeluarkan program yang mempercepat penanggulangan kemiskinan yang dalam satu program tersebut adalah Program Indonesia Pintar melalui Kartu Indonesia Pintar. Program Indonesia Pintar adalah salah satu program nasional (tercantum dalam RPJMN 2015-2019) yang bertujuan untuk:
1. Meningkatkan angka partisipasi pendidikan dasar dan menengah.
2. Meningkatkan angka keberlanjutan pendidikan yang ditandai dengan menurunnya angka putus sekolah dan angka melanjutkan.
3. Menurunnya kesenjangan partisipasi pendidikan antar kelompok masyarakat, terutama antara penduduk kaya dan penduduk miskin, antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan, antara wilayah perkotaan dan perdesaan, dan antar daerah.
4. Meningkatkan kesiapan siswa pendidikan menengah untuk memasuki pasar kerja atau melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Kebijakan pendidikan di Indonesia mendasar pada pasal 31 UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran, pemerintah mengusahakan dan menyelengarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang. Pada asas pemerataan tersebut pula peran pemerintah daerah tidak terlepas dari kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Saling koordinasi satu dengan yang lain dengan harapan dapat tercapainya tujuan bersama. Seperti pada pemerintahan daerah Kabupaten Langkat yang Pemerintah kabupaten Langkat menyatakan bahwa Program wajib belajar 9 tahun sepenuhnya menunjukkan keberhasilan, keadaan ini dapat dilihat dari jumlah penduduk partisipasi sekolah menurut kelompok umur 7 - 12 tahun baru mencapai angka 96,61 % pada tahun 2005. Angka ini menurun dari tahun sebelumnya sebesar 97,47 % namun untuk kelompok umur 13-15 tahun meningkat dari tahun 2004 sebesar 89,39% menjadi 89,49% pada tahun 2005. Pada sisi lain angka buta huruf di Kabupaten Langkat pada Tahun 2005 sebesar 3,56 %, angka ini masih berada diatas Propinsi Sumatera Utara sebesar 2,95% sedangkan Nasional sebesar 10 %. Dibanding dengan tahun 2005 pada tahun 2015 menurut Badan Pusat Statistik bahwa Angka Partisipasi Murni (APM) untuk SD 94,22 % sedangkan SMP 78,05% dan SMA 52,76% Angka ini
menunjukkan penurunan selama 10 tahun terakhir. APM menunjukkan seberapa banyak penduduk usia sekolah yang sudah dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan sesuai pada jenjang pendidikannya. Jika APM = 100, berarti seluruh anak usia sekolah dapat bersekolah tepat waktu.
Dengan adanya Program Kartu Indonesia Pintar ini akan mendukung dan meningkatkan angka partisipasi masyarakat dalam pendidikan dan meciptakan pemerataan pendidikan bagi seluruh masyarakat Indonesia, yang kemudian disertai dengan visi dan misi dari RPJPD kabupaten Langkat pun mendukung adanya pemerataan terhadap pendidikan dan meningkatkan kualitas masyarakat.
Progam Indonesia Pintar yang ditetapkan oleh pemerintah dilaksanakan melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP), pada dasarnya masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui hal ini. Serta penyaluran yang masih tumpang tindih antara kelurahan dan sekolah formal maupun informal. Pendaftaran dan pendistribusian KIP sendiri masih simpang siur. Sosialisasi yang dilakukan masih belum maksimal. Hal ini sebabkan pada saat peluncuran fase petama Kartu Indonesia Pintar pada bulan November 2014, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan melaksanakan mekanisme pendistribusian melalui kelurahan ataupun desa.
Kelurahan/desa mendistribusikan KIP kepada keluarga penerima manfaat KIP.
Dengan acuan data BPS, yang Masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa Program Indonesia Pintar Ini sama dengan BSM (Bantuan Siswa Miskin), yang sebenarnya memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan PIP melalui KIP yaitu, BSM hanya di tujukan pada pendidikan formal sedangkan KIP ditujukan pada sekolah formal maupun informal yang berusia 6-21 tahun.
Melalui web resmi yaitu SIPINTAR (sistem informasi program indonesia pintar) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memperlihatkan hasil distribusi dari KIP dari tahun 2015-2016. Pada tahun 2016 ada 19.193.883 siswa yang mendapat KIP dan hanya 68,10% yang mendapatkan manfaat dari KIP. Dari angka tersebut dapat terlihat bahwa terdapat berbagai hambatan dalam pendistribusian KIP salah satunya data yang didapatkan dalam kriteria penerima manfaat KIP sendiri masih menjadi pertanyaan besar hingga saat ini. Hal itu tampak pada pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengusulkan adanya perubahan mekanisme penyaluran Kartu Indonesia Pintar (KIP). Soalnya KIP yang sudah tersalur sekitar 60 persen selama ini menurutnya belum semua tepat sasaran. Jika selama ini disalurkan melalui desa-desa, ke depan Muhadjir ingin penyaluran 40 persen KIP yang belum tersalur akan langsung disalurkan ke sekolah-sekolah sesuai data pokok pendidikan. Penyaluran KIP selama tidak tersalurkan dengan baik karena tidak menggunakan data terbaru.
Data yang dipakai masih data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011 dan diperbarui dari data 2012. Namun, tidak semuanya diperbarui sehingga tidak tepat sasaran.
Masalah administrasi masih saja menjadi kendala dalam pengimplementasian suatu kebijakan. Pada PIP sendiri sebagai penanda dan syarat untuk mendapatkan KIP maka orangtua ataupu keluarga anak harus terdaftar sebagai PKH (Program Keluarga Harapan) ataupu keluarga Pemegang KPS/KKS.
Yang sering sekali data tidak tepat sasaran seperti pada Desa Padang Genting, Kecamatan Talawi, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara yang masih merujuk pada database di Bappenas hasil sensus sosial 2010 dan 2011 yang mengakibatkan banyaknya warga yang sehsaruskan mendapatkan manfaat dari KIP tidak
menerima apapun karena ketidaktepatan data, data yang tidak update sehingga program KIP tidak tepat sasaran. belum lagi sosialisasi yang masih belum maksimal. Dengan kata lain Program ini dijalankan tidak diiringi dengan kesiapan sekolah dan kelurahan sebagai sumber data penerima manfaat dari PIP.
Terlebih pada kelurahan Pekan Gebang merupakan salah satu kelurahan yang ada di kecamatan Gebang, Kabupaten Langkat yang kelurahan ini berada tepat di jalan lintas provinsi antara provinsi Sumatera utara dengan Aceh, yang rawan akan kriminalitas dan angka putus sekolah anak. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di kabupaten Langkat khususnya pada Kelurahan Pekan Gebang.
1.2 Rumusan Masalah
Merujuk dari uraian latarbelakang permasalahgan penelitian maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Implementasi Program Kartu Indonesia Pintar Pada Kelurahann Pekan Gebang Kecamatan Gebang Kab.Langkat ?”.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini yaitu
1. Untuk mengetahui tentang Program Kartu Indonesia Pintar Khususnya pada Kelurahan Pekan Gebang.
2. Untuk memahami bagaimana Implementasi Program Kartu Indonesia Pintar Khususnya pada Kelurahan Pekan Gebang.
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Pemerintah dalam pengimplementasian Program Kartu Indonesia Pintar Khususnya pada Kelurahan Pekan Gebang.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah :
1. Secara subyektif, bermanfaat bagi peneliti dalam melatih dan mengembangkan kemampuan berfikir ilmiah, dan sistematis dalam mengembangkan kemampuan penulis dalam karya ilmiah.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan yang berguna bagi instansi terkait.
a) Secara akademis, peneliti diharapkan dapat memberikan kontribusi dan sebagai bahan perbandingan bagi mahasiswa yang ingin melakukan penelitian dibidang yang sama.
1.5 KERANGKA TEORI 1.5.1 Deskripsi Teori
Deskripsi teori menjelaskan tentang teori-teori dan atau konsep yang dipergunakan dalam penelitian yang sifatnya utama, tidak tertutup kemungkinan untuk bertambah seiring dengan pengambilan data di lapangan (Fuad dan Nugroho, 2012:56). Deskripsi teori menjadi pedoman dalam penelitian ini dan untuk menenerjemahkan fenomena-fenomena sosial yang ada dalam penelitian.
Teori yang relevan peneliti kaji sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya.
Penelitian mengenai Implementasi Program Indonesia Pintar di Kelurahan dikaji dengan beberapa teori dalam ruang lingkup administrasi negara konsentrasi kebijakan publik, yaitu: Implementasi Kebijakan, Konsep Pendidikan Gratis, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Inpres Nomor 07 Tahun 2014 Tentang Program Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar, dan Program Indonesia Sehat. Dan untuk melengkapinya peneliti lampirkan penelitian terdahulu yang juga menjadi bahan kajian dalam penelitian ini.
1.5.2 Konsep Kebijakan Publik
1.5.2.1 Pengertian Kebijakan Publik
Kebijakan Publik merupakan aturan-aturan dan merupakan bagian dari keputusan politik yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik, maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas publik, yakni menerima mandat dari publik atau orang banyak, setelah melalui proses pemilihan yang berlaku sesuai dengan amanat yang tercantum dalam konstitusi.
Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang dijalankan oleh birokrasi pemerintah.
Dalam kehidupan masyarakat yang ada di wilayah hukum suatu negara sering terjadi berbagai permasalahan. Oleh karena itu dalam rangka menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayanan publik dengan dibarengi hak menarik pajak dan retribusi, pemerintah memegang penuh tanggung jawab pada kehidupan rakyatnya dan harus mampu menyelesaikan berbagai permasalahan permasalahan tersebut. Kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan untuk mengatasi berbagai permasalahan dan isu-isu yang ada dan berkembang di masyarakat.
Pengertian tentang apa itu kebijakan telah banyak didefinisikan oleh para ahli dan sumber. Menurut Robert Eyestone dalam Budi Winarno, 2012: 20 bahwa secara luas kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Sedangkan Thomas R. Dye dalam Budi Winarno, 2012: 20 mengatakan bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Sementara itu definisi kebijakan publik menurut Chief J.O (1981) dalam Abdul Wahab, 2005:5 merupakan Suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada tujuan tertentu yang diarahkan pada suatu masalah tertentu yang saling berkaitan yang mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat.
Kebijakan publik adalah sebuah fakta integritas daripada fakta politis ataupun teknis. Sebagai sebuah strategi, dalam kebijakan publik sudah terangkum preferensi-preferensi politis dari para aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, khususnya pada proses perumusan. Selanjutnya Nugroho
(2008:54) mendefinisikan Kebijakan Publik adalah keputusan yang dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan. Kebijakan Publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada masyarakat yang dicita-citakan.
Satu hal yang harus diingat dalam mendefinisikan kebijakan adalah bahwa pendefinisian kebijakan tetap harus mempunyai pengertian mengenai apa yang sebenarnya dilakukan, ketimbang apa yang diusulkan dalam tindakan mengenai suatu persoalan tertentu. Definisi kebijakan publik akan lebih tepat bila definisi tersebut mencakup pula arah tindakan atau apa yang dilakukan dan tidak semata- mata menyangkut usulan tindakan. Berkaitan dengan hal tersebut, James Anderson dalam Budi Winarno, 2012 mendefinisikan kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.
Berdasarkan pengertian-pengertian tentang Kebijakan sebagaimana dijelaskan diatas penulis dapat simpulkan bahwa kebijakan publik adalah yang dipilih pemerintah untuk melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan berkaitan dengan pencapaian tujuan yang diinginkan ataupun penyelesaian masalah di suatu negara. Adapun sebuah kebijakan mempunyai tahap- tahap.
Tahap-tahap kebijakan publik yang sebagaimana dikemukakan oleh William Dunn (1999) dalam Budi Winarno, 2012: 35-37 yaitu:
1. Tahap Penyusunan Agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan.
2. Tahap Formulasi Kebijakan
Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan. Masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk menyelesaikan masalah.
3. Tahap Adopsi Kebijakan
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsesnsus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.
4. Tahap Implementasi Kebijakan
Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia. Pada tahap ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana (implementators), namun beberapa yang lain mungkin akan di tentang oleh pelaksana
5. Tahap Evaluasi Kebijakan
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, untuk melihat sejauh mana kebijakan kebijakan yang dibuat telah mampu menyelesaikan masalah.
Dalam penelitian ini peneliti mengangkat mengenai masalah implementasi suatu kebijakan yang berupa Program Indonesia Pintar melalui Kartu Indonesia Pintar, khususnya di Kelurahan Pekan Gebang, Kecamatan Gebang Kabupaten Langkat.
1.5.2.2 Pengertian Implementasi Kebijakan
Suatu implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar suatu kebijakan dapat mencapai tujuannya. Oleh karena itu disadari bahwa dengan mempelajari implementasi kebijakan sebagai suatu konsep akan dapat memberikan kemajuan dalam upaya-upaya pencapaian tujuan yang telah diputuskan.
Implementasi merupakan tahap yang sangat menentukan di dalam proses kebijakan, karena tanpa implementasi yang efektif maka keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilaksanakan. Guna memperoleh pemahaman yang baik mengenai implementasi kebijakan publik kita jangan hanya menyoroti perilaku lembaga-lembaga administrasi atau badan-badan yang bertanggung jawab atas suatu program beserta pelaksananya terhadap kelompok-kelompok yang menjadi sasaran, tetapi juga perlu memperhatikan berbagai jaringan kekuatan politik, sosial, ekonomi, yang langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku dari berbagai pihak yang terlibat dalam suatu program yang pada akhirnya membawa dampak pada program tersebut. Eugene dalam Agustino, 2006:153 mengungkapkan kerumitan dalam proses implementasi adalah cukup
untuk membuat sebuah program dan kebijaksanaan umum yang kelihatannya bagus diatas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan- slogan yang kedengarannya mengenakan bagi telinga para pemimpin dan pemilih yang mendengarnya. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk yang memuaskan semua orang.
Kebijakan-kebijakan dapat dimodifikasi untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan- kebutuhan kelompok dan individu, yang dengan demikian tujuan umum dari kebijakan tersebut dapat saja dibelokan. Mengingat bahwa dalam banyak kasus para pelaksana kebijakan-kebijakan publik tersebut adalah administrator publik, maka tidak heran apabila kemudian mereka pulalah yang paling sibuk memodifikasi kebijakan itu sendiri demi kepentingan rezim. Grindle dalam Abdul Wahab, 2008:221 mengikhtisarkan keadaan tersebut dengan menyatakan hingga derajat yang paling besar bila dibandingkan dengan sistem- sistem politik di Amerika Serikat dan Eropa Barat, proses implementasi kebijakan publik di negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin adalah merupakan pusat partisipasi politik dan persaingan politik.
Beberapa definisi implementasi kebijakan publik menurut Jenkins dalam Parsons, 2006:463 studi implementasi adalah studi perubahan, bagaimana perubahan terjadi, bagaimana kemungkinan perubahan bisa dimunculkan.
Pendapat lain dari Maxmanian dan Sabatier dalam Agustino, 2006:139 Implementasi kebijakan adalah Pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang- undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan- keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan.
Keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan
secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya.
Sedangkan, Van Meter dan Van Horn dalam Agustino, 2006:139 mendefinisikan implementasi kebijakan publik sebagai Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok- kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.
Tindakan-tindakan yang dimaksud dalam hal ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan- keputusan.
Menurut Van Meter dan Van Horn ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan tipologi kebijakan publik yakni : pertama, kemungkinan implementasi yang efektif akan bergantung sebagian pada tipe kebijakan yang dipertimbangkan. Kedua, faktor-faktor tertentu yang mendorong realisasi atau non realisasi tujuan-tujuan program akan berbeda dari tipe kebijakan yang satu dengan tipe kebijakan yang lain. Suatu implementasi akan sangat berhasil bila perubahan marginal diperlukan dan konsensus tujuan tinggi.
Sebaliknya bila perubahan besar ditetapkan dan konsensus tujuan rendah maka prospek implementasi yang efektif akan sangat diragukan. Hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Lester dan Stewart dalam Agustino, 2006:139 bahwa Implementasi sebagai suatu proses dan suatu hasil (output), maka keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan
pencapaian tujuan akhir (output) yaitu tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.
Berikut juga tidak bertentangan dengan yang dikemukakan oleh Grindle dalam Agustino, 2006:154 bahwa pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu melihat pada action program dari individual projects dan yang kedua apakah tujuan program tersebut tercapai.
Dari beberapa definisi implementasi dapat disimpulkan bahwa implementasi dapat diartikan sebagai proses pelaksanaan dari kebijakan yang telah dirumuskan sebelumnya dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Perlu pula ditambahkan bahwa proses implementasi untuk sebagian besar dipengaruhi oleh macam tujuan-tujuan yang ingin dicapai dan oleh cara tujuan-tujuan itu dirumuskan. Dengan demikian benar implementasi merupakan tahap yang sangat menentukan di dalam proses kebijakan, karena melalui tahap ini keseluruhan prosedur kebijakan dapat dipengaruhi tingkat keberhasilan atau tidaknya pencapaian tujuan kebijakan tersebut.
Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut.
Kebijakan publik dalam bentuk Undang-Undang atau Perda adalah jenis kebijakan yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Sedangkan kebijakan publik yang bisa langsung dioperasionalkan antara lain Keppres, Inpres, Kepmen, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas, dan lain-lain. Secara umum dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.1 Skema Kebijakan Publik
Sumber: (Nugroho, 2003:159)
Dalam penelitian ini peneliti mengangkat salah satu contoh kebijakan publik yang dijewantahkan dalam bentuk program. Program yang dimaksud disini adalah program Indonesia Pintar (PIP) yang dijalankan oleh Pemerintah Pemerintah khusus nya pada kelurahan Pekan Gebang Kecamatan Gebang Kabupaten Langkat yang dalam bentuk Kartu Indonesia Pintar.
1.5.2.3 Model-Model Implementasi Kebijakan
Dalam literatur ilmu kebijakan terdapat beberapa model implementasi kebijakan publik yang lazim dipergunakan. Pada prinsipnya terdapat dua pemilahan jenis teknik atau model implementasi kebijakan. Pemilahan pertama adalah implementasi kebijakan yang berpola “dari atas ke bawah” (top-bottomer) versus “dari bawah ke atas” (bottom-topper), dan pemilahan implementasi yang berpola paksa (command-and-control), dan mekanisme pasar (economic incentive) (Nugroho, 2003: 165). Namun secara umum model implementasi kebijakan yang dikemukakan para ahli lebih dipandang pemilahan yang pertama,
Kebijakan Publik
Kebijakan Publik Penjelas Program Intervensi
Proyek Intervensi Kegiatan Intervensi
Public/Masyarakat/Beneficiaries
yang lazim disebut model top-down dan bottom-up.
Model top-down berupa pola yang dikerjakan oleh pemerintah untuk rakyat, dimana partisipasi lebih berbentuk mobilisasi. Sebaliknya bottom-up bermakna meski kebijakan dibuat oleh pemerintah, namun pelaksanaannya oleh rakyat. Di antara keduanya ada interaksi pelaksanaan antara pemerintah dengan masyarakat (Nugroho, 2003: 167). Beberapa model implementasi kebijakan dikemukakan oleh para ahli di antaranya model implementasi kebijakan George C. Edward III dengan Direct and Indirect Impact on Implementation, Donald Van Meter dan Carl Van Horn dengan A Model of The Policy Implementation, Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier dengan A Framework for Policy Implementation Analysis, dan Merille S. Grindle dengan Implementation as A Political and Administration Process.
a. Model Implementasi Edward III
Model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Edward III disebut dengan Direct and Indirect Impact on Implementation. Menurut model yang dikemukakan oleh Edward III, ada empat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan, yaitu faktor sumber daya, birokrasi, komunikasi, dan disposisi, dalam Agustino, 2006:156.
a. Faktor Sumber Daya
Faktor sumber daya mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan, karena bagaimanapun dibutuhkan kejelasan dan konsistensi dalam menjalankan suatu kebijakan dari pelaksana kebijakan. Jika para personil yang mengimplementasikan kebijakan kurang bertanggung jawab
dan kurang mempunyai sumber-sumber untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan bisa efektif.
b. Faktor Komunikasi
Komunikasi adalah suatu kegiatan manusia untuk menyampaikan apa yang menjadi pemikiran dan perasaannya , harapan atau pengalamannya kepada orang lain. Faktor komunikasi dianggap sebagai faktor yang amat penting, karena menjembatani antara masyarakat dengan pemerintah dalam pelaksana kebijakan. Sehingga dapat diketahui apakah pelaksanaan kebijakan berjalan dengan efektif dan efisien tanpa ada yang dirugikan.
Implementasi yang efektif baru akan terjadi apabila para pembuat kebijakan dan implementator mengetahui apa yang akan mereka kerjakan, dan hal itu hanya dapat diperoleh melalui komunikasi yang baik.
c. Faktor Disposisi (sikap)
Disposisi ini diartikan sebagai sikap para pelaksana untuk mengimplementasikan kebijakan. Dalam implementasi kebijakan menurut Edward III, jika ingin berhasil secara efektif dan efisien, para implementator tidak hanya harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan dan mempunyai kemampuan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai kemauan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut.
d. Faktor Struktur Birokrasi
Meskipun sumber-sumber untuk mengimplementasikan suatu kebijakan sudah mencukupi dan para implementator mengetahui apa dan bagaimana cara melakukannya, serta mereka mempunyai keinginan untuk
melakukannya, implementasi kebijakan bisa jadi masih belum efektif, karena terdapat ketidakefisienanan struktur birokrasi yang ada. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang.
Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi yang baik.
Menurut Edward III terdapat dua karakteristik yang dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasi ke arah yang lebih baik, yaitu dengan melakukan Standard Operating Prosedures (SOPs) dan melaksanakan fragmentasi.
a) Standard Operating Prosedures (SOPs); adalah suatu kegiatan rutin yang memungkinkan para pegawai atau pelaksana kebijakan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya setiap hari sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
b) Fragmentasi; adalah upaya penyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan dan aktivitas-aktivitas pegawai diantara beberapa unit.
b. Model Implementasi Grindle
Model implementasi kebijakan selanjutnya dikemukakan oleh Grindle ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan hasilnya ditentukan oleh implementability. (Nugroho, 2008: 445) Menurutnya keberhasilan implementasi kebijakan dapat dilihat dari dua hal yaitu:
1. Dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan kebijakan sesuai dengan yang ditentukan (design) dengan merujuk pada aksi kebijakannya.
2. Apakah tujuan kebijakan tercapai. Dimensi ini diukur dengan melihat dua faktor, yaitu:
a. Dampak atau efeknya pada masyarakat secara individu dan kelompok b. Tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok sasaran
dan perubahan yang terjadi.
Keberhasilan implementasi kebijakan juga sangat ditentukan oleh tingkat implementability kebijakan itu sendiri, yaitu yang terdiri dari Content of Policy dan Context of Policy, Grindle dalam Agustino 2006:1168.
1) Content of Policy menurut Grindle adalah
a. Kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi, berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mempengaruhi suatu implementasi kebijakan, indikator ini berargumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti melibatkan banyak kepentingan, dan sejauhmana kepentingan- kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap implementasinya.
b. Jenis manfaat yang bisa diperoleh. Pada poin ini Content of Policy berupaya untuk menunjukan atau menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis manfaat yang menunjukan dampak positif yang dihasilkan oleh pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan.
c. Derajat perubahan yang ingin dicapai. Setiap kebijakan mempunyai target yang hendak dan ingin dicapai. Adapu yang ingin dijelaskan pada
poin ini adalah bahwa seberapa besar perubahan yang hendak atau ingin dicapai melalui suatu implementasi kebijakan harus mempunyai skala yang jelas.
d. Letak pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan, maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang hendak diimplementasikan.
e. Pelaksana program. Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program harus didukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel demi keberhasilan suatu kebijakan. Hal ini harus terdata atau terpapar dengan baik pada bagian ini.
f. Sumber-sumber daya yang digunakan. Pelaksanaan suatu kebijakan juga harus didukung oleh sumber-sumber daya yang mendukung agar pelaksanaanya berjalan dengan baik.
2) Context of Policy menurut Grindle adalah:
a. Kekuasaan, kepentingan-kepentingan dan strategi dari aktor yang terlibat.
Dalam suatu kebijakan perlu diperhitungkan pula kekuatan atau kekuasaan, kepentingan-kepentingan serta strategi yang digunakan oleh para aktor guna memperlancar jalannya pelaksanaan suatu implementasi kebijakan. Bila hal ini tidak diperhitungkan dengan matang, besar kemungkinan program yang hendak diimplementasikan akan jauh panggang dari api.
b. Karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa. Lingkungan dimana
suatu kebijakan dilaksanakan juga berpengaruh terhadap keberhasilannya, maka pada bagian ini ingin dijelaskan karakteristik dari lembaga yang akan turut mempengaruhi suatu kebijakan.
c. Tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana. Hal lain yang dirasa penting dalam proses pelaksanaan suatu kebijakan adalah kepatuhan dan respon dari para pelaksana. Maka yang hendak dijelaskan pada poin ini adalah sejauhmana kepatuhan dan respon dari pelaksana dalam menanggapi suatu kebijakan.
Pelaksanaan kebijakan yang ditentukan oleh isi atau konten dan lingkungan atau konteks yang diterapkan, maka akan dapat diketahui apakah para pelaksana kebijakan dalam membuat sebuah kebijakan sesuai dengan apa yang diharapkan, juga dapat diketahui apakah suatu kebijakan dipengaruhi oleh suatu lingkungan, sehingga tingkat perubahan yang diharapkan terjadi.
c. Model Implementasi MAzmania dan Sabaitier
Model implementasi kebijakan publik menurut Mazmanian dan Sabatier dikenal dengan Kerangka Analisis Implementasi (A Framework for Implementation Analysis). Mazmanian dan Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan kedalam tiga variabel (Nugroho, 2003: 169):
1. Variabel Independen, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman obyek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.
2. Variabel Intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber
dana, keterpaduan hierarkis diantara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana dan keterbukaaan kepada pihak luar. Sedangakan variabel diluar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan teknomogi, dukungan publik, sikap dan risorsis dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.
3. Variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan, yaitu pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan obyek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut dan akhirnya mengarah kepada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.
d. Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn
Model implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn (1975) mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan publik, implementator, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik adalah variabel:
1. Ukuran (Standar) dan Tujuan Kebijakan
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika dan hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopis) untuk
dilaksanakan dilevel warga, maka agak sulit merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil.
2. Sumber daya
Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi menurut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Tetapi ketika kompetensi dan kapabilitas dari sumber-sumber daya itu nihil, maka sangat sulit untuk diharapkan.
Tetapi diluar sumber daya manusia, sumber daya lain yang perlu diperhitungkan juga ialah sumber daya finansial dan sumber daya waktu.
Karena mau tidak mau ketika sumber daya manusia yang kompeten dan kapabel telah tersedia sedangkan pencairan dana melalui anggaran tidak tersedia, maka menjadi persoalan pelik untuk merealisasikan apa yang hendak dituju oleh kebijakan publik tersebut. Demikian halnya dengan sumber daya waktu, saat sumber daya manusia giat bekerja dan pencairan dana berjalan dengan lancar tetapi terbentur dengan persoalan waktu yang terlalu ketat, maka hal itu pun dapat menjadi penyebab ketidakberhasilan implementasi kebijakan.
3. Karakteristik Agen Pelaksana
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi non formal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan
publik. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Misalnya implementasi kebijakan publik yang berusaha untuk merubah perilaku atau tingkah laku manusia secara radikal, maka agen pelaksana proyek itu haruslah berkarakteristik keras dan ketat pada aturan serta sanksi hukum. Sedangkan bila kebijakan publik itu tidak terlalu merubah perilaku dasar manusia maka dapat saja agen pelaksana yang diturunkan tidak sekeras dan tidak setegas pada gambaran yang pertama. Selain itu cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana. Maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan. Van Meter dan Van Horn mengemukakan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan:
1) Kompetensi dan ukuran staf suatu badan.
2) Tingkat pengawasan hierarkis terhadap keputusan sub unit dan proses dalam badan-badan pelaksana.
3) Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan diantara anggota legislatif dan eksekutif)
4) Vitalitas suatu organisasi
5) Tingkat komunikasi-komunikasi “terbuka”, yang didefinisikan sebagai jarigan kerja komunikasi horizontal dan vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu diluar organisasi.
6) Kaitan formal dan informal suatu badan dengan “pembuat keputusan”
atau “pelaksana keputusan”.
4. Komunikasi antar organisasi aktivitas pelaksana
Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik. Semakin baik komunikasi dan koordinasi diantara pihak- pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi. Dan begitu pula sebaliknya.
5. Lingkungan ekonomi, sosial, dan politik
Hal lain yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan publik dalam perspektif yang ditawarkan oleh Van Meter dan Van Horn adalah sejauhmana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi penyebab dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Olehnya itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan lingkungan eksternal. Van Meter dan Van Horn juga mengajukan hipotesis bahwa lingkungan ekonomi, sosial, dan politik dari yuridiksi atau organisasi pelaksana akan mempengaruhi karakter badan- badan pelaksana, kecenderungan-kecenderungan para pelaksana dan pencapaian itu sendiri.
Kondisi-kondisi lingkungan dapat mempunyai pengaruh yang penting pada keinginan dan kemampuan yuridiksi atau organisasi dalam mendukung struktur, vitalitas, dan keahlian yang ada dalam badan-badan administrasi maupun tingkat dukungan politik yang dimiliki. Kondisi
lingkungan juga akan berpengaruh pada kecenderungan-kecenderungan para pelaksana. Jika masalah-masalah yang dapat diselesaikan oleh suatu program begitu berat dan para warga negara swasta serta kelompok- kelompok kepentingan di mobilisasi untuk mendukung suatu program maka besar kemungkinan para pelaksana menolak program tersebut.
Van Meter dan Van Horn lebih lanjut menyatakan bahwa kondisi lingkungan mungkin menyebabkan para pelaksana suatu kebijakan tanpa mengubah pilihan-pilihan pribadi mereka tentang kebijakan itu. Namun akhirnya varaiabel-variabel lingkungan ini dipandang mempunyai pengaruh langsung pelayanan publik yang dilakukan. Dengan kata lain, kondisi-kondisi lingkungan mungkin memperbesar atau membatasi pencapaian, sekalipun kecenderungan-kecenderungan para pelaksana dan kekuatan-kekuatan lain dalam model ini juga mempunyai pengaruh terhadap implementasi program.
6. Kecenderungan (disposition) dari para pelaksana/implementor
Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Melainkan kebijakan yang akan implementor laksanakan adalah kebijakan “dari atas ke bawah” (top down) yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan.
1.5.3 Pengertian Program
Program merupakan bagian dari perencanaan. Secara umum program dirtikan sebagai penjabaran dari suatu perencanaan. Program sering pula diartikan sebagai suatu kerangka dasar dari pelaksanaan kegiatan. Untuk lebih memahami mengenai pengertian program, berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi dari para ahli, Sutomo Kayatomo (1985;162) mengemukakan bahwa program adalah rangkaian aktivitas yang mempunyai saat permulaan yang harus dilaksanakan serta diselesaikan untuk mendapatkan suatu tujuan Sedangkan menurut Manullang (1987: 1) yang mengatakan bahwa program sebagai unsur dari suatu perencanaan, program dapat pula dikatakan sebagai gabungan dari politik, prosedur, dan anggaran, yang dimaksudkan untuk menetapkan suatu tindakan untuk waktu yang akan dating. Program menurut Abdul Wahab (2008: 185) adalah kebijakan-kebijakan publik yang pada umumnya masih abstrak diterjemahkan ke dalam program-program yang lebih operasional yang kesemuanya dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan-tujuan ataupun sasaran sasaran yang telah dinyatakan dalam kebijakan tersebut.
Penjabaran suatu program sedikitnya terlihat dari 5 (lima) hal yaitu:
1. Berbagai sasaran konkrit yang hendak dicapai
2. Jangka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkerjaan itu.
3. Besarnya biaya yang diperlukan beserta identifikasi sumbernya.
4. Jenis-jenis kegiatan operasional yang akan dilaksanakan.
5. Tenaga kerja yang dibutuhkan, baik ditinjau dari sudut kualifikasinya maupun ditinjau dari segi jumlahnya.
Suatu program yang baik menurut Bintoro Tjokromidjojo (1987: 181) harus
memiliki ciri-ciri :
1. Tujuan yang dirumuskan secara jelas.
2. Penentuan peralatan yang terbaik untuk mencapai tujuan tersebut.
3. Suatu kerangka kebijaksanaan yang konsisten atau proyek yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan program seefektif mungkin.
4. Pengukuran ongkos-ongkos yang diperkirakan dan keuntungan- keuntungan yang diharapkan akan dihasilkan program tersebut.
5. Hubungan dengan kegiatan lain dalam usaha pembangunan dan program pembangunan lainnya. Suatu program tidak dapat berdiri sendiri.
6. Berbagai upaya dibidang manajemen, termasuk penyediaan tenaga, pembiayaan, dan lain-lain untuk melaksanakan program tersebut. dengan demikian dalam menentukan suatu program harus dirumuskan secara matang sesuai dengan kebutuhan agar dapat mencapai tujuan melalui partisipasi dari masyarakat.
Di dalam proses pelaksanaan suatu program sedikitnya terdapat tiga unsur yang penting menurut Syukur Abdullah (1988) antara lain sebagai berikut:
1. Adanya program (kebijaksanaan) yang dilaksanakan.
2. Target group, yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan diharapkan akan menerima manfaat dari program tersebut dalam bentuk perubahan dan peningkatan
3. Unsur pelaksana (implementer) baik organisasi maupun perorangan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan, pelaksanaan dan pengawasan dari proses implementasi tersebut.
Program dalam konteks implementasi kebijakan publik terdiri dari tahap- tahap sebagai berikut:
1. Merancang (design) program beserta perincian tugas dan perumusan tujuan yang jelas, penentuan ukuran prestasi yang jelas serta biaya dan waktu.
2. Melaksanakan (aplication) program dengan mendayagunakan struktur- struktur dan personalia, dan serta sumber-sumber lainnya, prosedur dan metode yang tepat.
3. Membangun sistem penjadwalan, monitoring dan sarana-sarana pengawasan yang tepat guna serta evaluasi (hasil) pelaksanaan kebijakan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa program sengaja dikembangkan guna mewujudkan tujuan-tujuan kebijakan yang kurang lebih sama. Sebelum seuatu program diimplementasikan, terlebih dahulu harus diketahui secara jelas mengenai uraian pekerjaan yang dilakukan secara sistematis, tata cara pelaksanaan, jumlah anggaran yang dibutuhkan dan kapan waktu pelaksanaannya agar program yang direncanakan dapat mencapai target yang diharapkan.
1.5.3.1 Faktor Pendorong dan Faktor Penghambat Implementasi Program
Donald P.Warwick dalam bukunya Syukur Abdullah, (1988:17) mengatakan bahwa dalam tahap implementasi program terdapat dua faktor yang mempengaruhi keberhasilan yaitu faktor pendorong (Facilitating conditions), dan faktor penghambat (Impending conditions).
1. Faktor Pendorong (Facilitating Conditions) Yang termasuk faktor-faktor pendorong adalah:
1) Komitmen pimpinan politik
Dalam prakteknya komitmen dari pimpinan pemerintah sangat diperlukan karena pada hakikatnya tercakup dalam pimpinan politik yang berkuasa.
2) Kemampuan organisasi
Dalam tahap implementasi program pada hakikatnya dapat diartikan sebagai kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas yang seharusnya, seperti yang telah ditetapkan atau dibebankan pada salah satu unit organisasi.
3) Komitmen para pelaksana (implementer)
Salah satu asumsi yang seringkali keliru adalah jika pimpinan telah siap untuk bergerak maka bawahan akan segera ikut untuk mengerjakan dan melaksanakan suatu kebijaksanaan yang telah disetujui amat bervariasi dan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, psikologis, dan birokratisme.
4) Dukungan dari kelompok pelaksana
Pelaksanaan program dan proyek sering lebih berhasil apabila mendapat dukungan dari kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat khususnya yang berkaitan dengan program-program tersebut.
2. Faktor Penghambat (Impending Conditions) Yang termasuk faktor-faktor penghambat terdiri dari:
1) Banyaknya pemain (aktor) yang terlibat
Makin banyak pihak yang harus terlibat dalam mempengaruhi
pelaksanaan program, karena komunikasi akan semakin rumit dalam pengambilan keputusan. Jika rumitnya komunikasi maka makin besar kemungkinan terjadinya hambatan dalam proses pelaksanaan.
2) Terdapatnya komitmen atau loyalitas ganda
Dalam banyak kasus, pihak-pihak yang terlibat dalam menentukan suatu program, telah menyetujui suatu program tetapi dalam pelaksanaannya masih mengalami penundaan karena adanya komitmen terhadap program lain.
3) Kerumitan yang melekat pada program itu sendiri
Sering adanya program mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya karena sifat hakiki dari program itu sendiri. hambatan yang melekat dapat berupa faktor teknis, faktor ekonomi, dan faktor pelaksana maupun masyarakat.
4) Jenjang pengambilan keputusan yang terlalu banyak
Jika semakin banyak jenjang dan tempat pengambilan keputusan yang persetujuannya diperlukan sebelum rencana program dilakukan maka semakin banyak dibutuhkan persiapan pelaksanaan program itu sendiri.
1.5.4 Konsep Pendidikan Gratis 1.5.4.1 Pengertian Pendidikan
Dalam pengertian yang sederhana dan umum, pendidikan diartikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi- potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan. Pendidikan bagi kehidupan manusia
merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka.
Dalam Dictionary of Education menyebutkan bahwa pendidikan adalah proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan sikapdan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat dimana ia hidup, proses sosial dimana orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga dia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimum. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Taman Siswa yang pertama pada tahun 1930, pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak. Tidak boleh dipisah-pisahkan bagian itu agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya (Fuad Ihsan, 2011: 4).
1.5.4.2 Pengertian Pendidikan Gratis
Dalam pandangan secara umum pendidikan gratis diyakini sebagai solusi untuk meretas berbagai permasalahan yang ada di masyarakat. Karena krisis etika dan moral, krisis penegakan hukum, krisis sosial, krisis politik, krisis ekonomi, dan sebagainya bermula dari pendidikan yang tidak berlangsung baik.
Pendidikan gratis adalah program yang dicanangkan oleh Pemerintah sebagai tindak lanjut dari amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dimana dalam pasal 31 disebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran,
pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang. Pasal 31 Undang- Undang (UU) No. 20 Tahun 2003 kemudian menegaskan bahwa setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar, pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
1.5.5 Program Indonesia Pintar
Program Indonesia Pintar adalah salah satu program nasional (tercantum dalam RPJMN 2015-2019) yang bertujuan untuk:
1. Meningkatkan angka partisipasi pendidikan dasar dan menengah.
2. Meningkatkan angka keberlanjutan pendidikan yang ditandai dengan menurunnya angka putus sekolah dan angka melanjutkan.
3. Menurunnya kesenjangan partisipasi pendidikan antar kelompok masyarakat, terutama antara penduduk kaya dan penduduk miskin, antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan, antara wilayah perkotaan dan perdesaan, dan antar daerah.
4. Meningkatkan kesiapan siswa pendidikan menengah untuk memasuki pasar kerja atau melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Program Indonesia Pintar melalui pemberian Kartu Indonesia Pintar (KIP) diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag).
1.5.5.1 Program Kartu Indonesia Pintar
Program Indonesia Pintar melalui KIP adalah pemberian bantuan tunai pendidikan kepada seluruh anak usia sekolah (6-21 tahun) yang menerima KIP, atau yang berasal dari keluarga miskin dan rentan (misalnya dari keluarga/rumah tangga pemegang Kartu Keluarga Sejahtera/KKS) atau anak yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Program Indonesia Pintar melalui KIP merupakan bagian penyempurnaan dari Program Bantuan Siswa Miskin (BSM) sejak akhir 2014. KIP diberikan sebagai penanda/identitas untuk menjamin dan memastikan agar anak mendapat bantuan Program Indonesia Pintar apabila anak telah terdaftar atau mendaftarkan diri (jika belum) ke lembaga pendidikan formal (sekolah/madrasah) atau lembaga pendidikan non formal (Pondok Pesantren, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat / PKBM, Paket A/B/C, Lembaga Pelatihan/Kursus dan Lembaga Pendidikan Non Formal lainnya di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama).
Dengan besarnya sasaran PIP yang mencapai 20,3 juta anak/siswa usia sekolah baik di sekolah/lembaga pendidikan di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (17,9 juta anak/siswa) maupun Kementerian Agama (2,4 juta anak/siswa), diharapkan akan dapat mengatasi rendahnya APK sekaligus sebagai salah satu upaya pemerintah dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan bekal pendidikan dan keterampilan yang lebih baik. (Lampiran Perdirjen PIP tentang Petunjuk Pelaksanaan PIP 2016)
A. Tujuan
Tujuan dari program ini antara lain: