• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TEORI PENUNJANG. 8 Unversitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. TEORI PENUNJANG. 8 Unversitas Kristen Petra"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

8

Unversitas Kristen Petra

2.1. Wireless Local Area Network (WLAN)

Wireless Local Area Network (WLAN) merupakan teknologi jaringan lokal atau Local Area Network (LAN) yang menggunakan teknologi radio sebagai basis untuk menghubungkan komputer. (Reid dan Seide, 2003, p.4). Local Area Network atau LAN merupakan sistem jaringan komputer yang memiliki konsep tentang jaringan konvensional atau penggunaan kabel UTP sebagai media perantara antar komputer. Jenis Penggunaan atau tipe LAN dapat dibagi menjadi 2 yaitu Peer to Peer dan Server Based (Priyambodo dan Heriadi, 2005, p.7). Peer to Peer adalah sebuah jaringan yang didalamnya tidak ada yang bertindak sebagai server atau client, semuanya berlaku pada workstation atau komputer. Sedangkan pada Server Based, didalam jaringan ada yang bertindak sebagai server dan client.

WLAN atau Wireless Local Area Network adalah teknologi jaringan lokal nirkabel yang mampu beroperasi atau bekerja secara efektif melalui sinyal gelombang radio dengan kapasitas transfer data antara satu hingga dua Mbps (Megabyte per seconds) (Rogers dan Edwards, 2003). Didorong oleh kemajuan teknologi dan tuntutan pengguna komputer, WLAN dikembangkan oleh para insinyur di IEEE selama tujuh tahun dan telah menghasilkan jaringan lokal yang lebih cepat. Kemajuan yang dicapai diaplikasikan melalui standar IEEE 802.11 dan terus dikembangkan hingga saat ini diperoleh empat spesifikasi standar, yaitu standar IEEE 802.11a, IEEE 802.11b, IEEE 802.11g, dan IEEE 802.11n

2.1.1. Wireless Fidelity (Wi-Fi)

Wi-Fi atau kependekan dari Wireless Fidelity yang memiliki pengertian sebagai sekumpulan standar yang digunakan untuk jaringan lokal nirkabel (WLAN – Wireless Local Area Network) yang didasari pada spesifikasi IEEE 802.11. Wi- Fi merupakan koneksi tanpa kabel yang menggunakan teknologi radio sehingga penggunanya dapat mentransfer data dengan cepat dan aman. (Muchlas, 1). Wi-Fi merupakan teknologi berbasis internet terbaru yang dikembangkan dari standar WLAN oleh sekelompok insinyur di Amerika Serikat yang bekerja pada suatu

(2)

Universitas Kristen Petra

institut yang bernama Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE) pada tahun 1990 (Rogers dan Edwards, 2003).

Wi-Fi beroperasi dengan menggunakan spesifikasi dasar IEEE 802.11.

Pada spesifikasi ini, Wi-Fi menggunakan spesifikasi-spesifikasi yang berbeda pada setiap komputer, laptop, maupun peralatan elektronik lainnya dengan tujuan untuk menggunakan frekuensi kecepatan transfer data yang berbeda. Pada standar IEEE 802.11a memiliki kecepatan transfer data sebesar 54 mbps yang menggunakan gelombang frekuensi 5 GHz, IEEE 802.11b memiliki kecepatan kecepatan transfer data sebesar 11 mbps yang menggunakan gelombang frekuensi 2.4 GHz, IEEE 802.11g memiliki kecepatan kecepatan transfer data sebesar 54 mbps yang menggunakan gelombang frekuensi 2.4 GHz, dan IEEE 802.11n memiliki kecepatan kecepatan transfer data sebesar 100 mbps yang menggunakan gelombang frekuensi 2.4 GHz (Muchlas, 2007)

Menurut sebuah situs internet di Wikipedia, dengan semakin tinggi tingkat animo para pengguna internet, teknologi Wi-Fi merupakan pilihan utama bagi para pengguna karena akses Wi-Fi memberikan keuntungan kemudahan dalam mengakses internet yang disebabkan karena pengguna internet didalam satu area dapat menggunakan fasilitas sambungan internet secara bersamaan dan tidak perlu merepotkan diri untuk menyambung kabel untuk menggunakan internet.

Para pengguna internet cukup membawa perangkat komputer yang memiliki kemampuan Wi-Fi menuju hotspot atau ketempat yang terdapat access point (“Wi-Fi”). Pada gambar 2.1. dapat dilihat bagaimana ilustrasi koneksi Wi-Fi.

Gambar 2.1. Ilustrasi Hotspot

*Sumber : Muchlas, 2007

(3)

Universitas Kristen Petra

Wibisono et al. (2007, p.143 ) menyebutkan bahwa teknologi yang berpengaruh adalah teknologi yang mampu memberikan kondisi yang (i) lebih murah dalam penggunaan input; (ii) lebih cepat dalam proses utilisasi; (iii) lebih baik dalam kinerja dan hasil. Dengan kata lain teknologi yang harus diadaptasi dan digunakan adalah teknologi yang cost effective dan efficient. Teknologi Wi-Fi menurut Wibisono et al. telah memenuhi ketiga persyaratan teknologi yang efektif dan efisien, karena teknologi Wi-Fi menawarkan layanan internet yang bervariatif, memiliki kemampuan transfer data yang cepat dan murah. (2007)

Untuk dapat melihat dan merasakan tingkat kualitas layanan akses Wi- Fi, Wibisono et al. (2007, p.245) menyebutkan bahwa kunci kesuksesan suatu jaringan nirkabel memiliki tiga aspek antara lain adalah harga, waktu, dan skalabilitas. Ketiga kunci kesuksesan dalam suatu sistem jaringan dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Harga.

Besarnya harga yang ditawarkan kepada pengguna sangat dipengaruhi oleh besarnya biaya investasi dan biaya operasional untuk menyelenggarakan suatu layanan. Yang dimaksud harga dalam layanan akses Wi-Fi adalah sistem pembayaran yang dapat dikategorikan menjadi dua yaitu sistem billing dan non-billing. Sistem billing adalah suatu sistem pembayaran yang digunakan untuk melakukan aktifasi Wi-Fi, sedangkan sistem non-billing adalah suatu sistem dimana dalam melakukan aktifasi atau penggunaan Wi-Fi tidak dikenakan biaya penggunaan.

2. Waktu.

Suatu produk akan sukses dipasarkan apabila produk yang dibutuhkan tersedia pada saat itu, selain itu ketepatan fungsi yang dibawa oleh suatu sistem yang ditawarkan dapat mendorong suksesnya implementasi jaringan nirkabel.

Ketepatan fungsi dan waktu dalam layanan akses Wi-Fi dapat dirasakan dalam hal kecepatan transfer data dan akses ke internet, stabilitas koneksi atau sambungan layanan akses Wi-Fi yang berarti tidak sering putus, dan sulit atau tidaknya koneksi Wi-Fi.

(4)

Universitas Kristen Petra

3. Skalabilitas.

Skalabilitas adalah kecocokan jenis perangkat terhadap jaringan yang tersedia.

Jenis perangkat yang dimaksud adalah perangkat end-user atau perangkat elektronik seperti komputer, laptop, PDA, dan handphone.

2.2. Kualitas Layanan (Service Quality)

Service atau pelayanan merupakan segala macam bentuk aksi dan reaksi yang dirasakan oleh konsumen terhadap sesuatu yang sudah konsumen beli (Lovelock, 1984, p. 3). Service adalah suatu pengalaman kepada konsumen, tampilan kinerja server, dalam hal ini bersifat intangible atau tidak terlihat. Suatu kualitas layanan yang baik hanya akan dirasakan oleh konsumen dan oleh karena itu kualitas dari suatu pelayanan haruslah tidak memiliki tingkat kesalahan atau zero defect (Powers dan Barrows, 2003, p. 591).

Tingkat kualitas dari layanan yang diberikan oleh insan hospitality menurut Marsum terletak pada dua unsur sukses yaitu kesopanan-kebaikan dan efisiensi. Kesopanan-kebaikan harus berpangkal dari sifat dasar asli dari staf restoran untuk berkelakuan yang layak untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Efisiensi adalah bagaimana cara staf restoran untuk mengorganisasikan operasi pelayanan makanan untuk menjual atau mengantarkan suatu makanan atau minuman (1999, p. 14).

Menurut Hoffman dan Bateson (1997, p. 298) kualitas layanan adalah suatu perilaku yang terbentuk karena evaluasi jangka panjang dari suatu performa perusahaan. Menurut Lovelock dan Wirtz (2004, p. 407) kualitas layanan memiliki lima perspektif yang didefinisikan oleh David Garvin sebagai berikut:

1. Pandangan lebih terhadap kualitas yang berarti melakukan segalanya dengan lebih dengan nilai standar yang lebih dan dengan nilai perolehan yang tinggi.

Pandangan ini melihat pada performa suatu pelayanan dan pelayanan visual.

2. Pendekatan yang didasarkan pada produk yang melihat kualitas ketepatan dan variabel yang diukur. Perbedaan kualitas melihat pada perbedaan jumlah dari suatu bahan atau atribut dari suatu produk.

3. Definisi yang berdasarkan pada konsumen atau pengguna, dimana definisi kualitas layanan dapat dilihat melalui apa yang telah disajikan dan disediakan

(5)

Universitas Kristen Petra

kepada konsumen. Definisi ini mengukur kualitas dengan kepuasan maksimum.

4. Pendekatan yang berdasar pada manufaktur produk, yaitu berdasarkan pada penyediaan barang yang dianggap penting dengan adanya tenaga ahli dan pelatihan.

5. Definisi yang berdasarkan pada nilai yang mendefinisikan kualitas dalam hal harga dan nilai kegunaan suatu produk.

Dalam kualitas layanan, pengukuran skala kualitas layanan memiliki lima dimensi yang dikemukakan oleh Zeithaml, Parasuraman dan Berry (1990) antara lain:

1. Tangibles atau fasilitas fisik 2. Reliability atau keterandalan 3. Responsiveness atau ketanggapan 4. Assurance atau jaminan

5. Empathy atau empati

2.2.1. Tangibles

Dimensi tangibles atau dimensi fisik adalah penafsiran terhadap kualitas layanan yang dilakukan oleh suatu perusahaan dalam menangani tampilan fisiknya (Hoffman dan Bateson, 1997, p. 307). Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1990, p. 26) mendefinisikan dimensi Tangible berdasarkan dari tampilan luar dari suatu fasilitas fisik, peralatan, penampilan karyawan dan material yang digunakan perusahaan.

Pengukuran kepuasan konsumen dalam dimensi tangibles yang dapat dilihat adalah tampilan fisik kafe (desain kafe, pencahayaan, kebersihan kafe), peralatan pendukung operasional (kebersihan peralatan, keutuhan peralatan), karyawan (kerapian, kebersihan) , dan sarana-sarana fasilitas fisik pendukung yang digunakan (buku menu, media informasi, fax, printer, dan fotocopy)

(6)

Universitas Kristen Petra

2.2.2. Reliability

Secara keseluruhan, reliability mencerminkan konsistensi dan ketergantungan terhadap performa suatu perusahaan (Hoffman dan Bateson, 1997, p. 307). Menurut Tjiptono dan Chandra (2005, p.133), reliabilitas berkaitan dengan kemampuan perusahaan untuk memberikan layanan yang akurat sejak pertama kali tanpa membuat kesalahan apapun dan menyampaikan jasanya sesuai dengan waktu yang disepakati.

Dalam pengukuran dimensi keterandalan atau reliability terhadap kafe, konsumen diharapkan dapat memberikan penilaian terhadap ketepatan waktu pelayanan yang dijanjikan, kemampuan pemecahan masalah oleh karyawan, konsistensi pelayanan semenjak pertama kali, keakuratan pelayanan atau kesesuaian yang dijanjikan karyawan terhadap suatu produk, dan karyawan suatu perusahaan menyampaikan suatu pelayanan secara benar.

2.2.3. Responsiveness.

Responsiveness atau ketanggapan adalah suatu kesediaan dan kemampuan para karyawan untuk membantu para pelanggan dan menanggapi permintaan konsumen, serta menginformasikan kapan jasa akan diberikan dan kemudian memberikan jasa secara cepat (Tjiptono dan Chandra, 2005, p.134).

Menurut Hoffman dan Bateson (1997, p. 308) ketanggapan merupakan suatu komitmen suatu perusahaan untuk memberikan pelayanan dalam tata urutan waktu.

Pengukuran ketanggapan dalam suatu kafe dapat dilihat melalui bagaimana karyawan suatu kafe dapat memberikan pelayanan yang cepat, karwayan dapat menginformasikan waktu suatu pelayanan yang diperlukan dengan tepat seperti dalam hal pembuatan makanan dan minuman, karyawan selalu dapat menunjukkan keinginan untuk membantu, dan selalu dapat menanggapi permintaan konsumen.

2.2.4. Assurance

Dimensi assurance menurut Hoffman dan Bateson (1997, p. 309) adalah suatu pengukuran yang didasarkan pada kompetensi suatu perusahaan, keramahan

(7)

Universitas Kristen Petra

terhadap konsumen dan kenyamanan. Tjiptono dan Chandra menyebutkan bahwa perilaku karyawan mampu menumbuhkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan dan perusahaan dapat menciptakan rasa aman bagi pelanggannya.

Jaminan juga berarti bahwa para karyawan selalu bersikap sopan dan menguasai pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menangani setiap pernyataan atau masalah pelanggan (2005, p. 134). Zeithaml, Parasuraman dan Berry (1988) menyederhanakan beberapa dimensi kualitas layanan seperti kompetensi, kesopanan, kredibilitas dan keamanan menjadi satu kedalam dimensi assurance.

Dalam dimensi ini, pengukuran terhadap jaminan pelayanan memiliki tolok ukur terhadap tingkatan jaminan kepuasan konsumen terhadap suatu produk yang ditawarkan, jaminan kepuasan terhadap suatu pelayanan yang disampaikan, tingkat keramahan karyawan terhadap konsumen, dan jaminan kenyamanan suatu pelayanan yang diberikan oleh karyawan kepada konsumen sehingga konsumen tidak merasa terganggu dan ‘aman’.

2.2.5. Empathy

Empati menurut Hoffman dan Bateson (1997, p. 310) adalah suatu kemampuan perusahaan untuk menempatkan diri kedalam posisi atau keadaan yang dialami konsumen. Sedangkan menurut Tjiptono dan Chandra, empati berarti perusahaan memahami masalah para pelanggannya dan bertindak demi kepentingan pelanggan, serta memberikan perhatian personal kepada para pelanggan dan memiliki jam operasional yang nyaman (2005, p. 134). Dimensi akses, komunikasi, dan kemampuan memahami pelanggan oleh Zeithaml, Parasuraman dan Berry diintegrasikan kedalam dimensi empati (1998).

Untuk mengukur besarnya empati karyawan kafe, maka dapat dilihat melalui perhatian individual atau perhatian personal yang diberikan oleh karyawan kepada konsumen, jam operasional kafe yang nyaman, kesediaan karyawan dalam memberikan bantuan, karyawan memahami kebutuhan konsumen, kafe memiliki kebijakan yang mau mengerti kebutuhan dan keinginan konsumen.

(8)

Universitas Kristen Petra

2.3. Proses Pembelian

Menurut Kotler, Bowen, Makens (1999, p.201), pendekatan proses pembelian oleh konsumen terdiri dari lima tahap:

Gambar 2.2. Model Lima Tahap Proses Pembelian

*Sumber: Kotler, Bowens, Makens, 1999, p.201

1. Pengenalan Kebutuhan

Tahap pengenalan kebutuhan merupakan tahap awal dari langkah proses pembelian. Dalam tahap ini, manusia menemukan keinginan dan kebutuhan yang harus segera dipenuhi. Keinginan konsumen dapat timbul dari rangsangan didalam diri konsumen seperti pengalaman terdahulu, maupun dari faktor eksternal (lingkungan).

2. Pencarian Informasi

Setelah manusia mengenali kebutuhannya, manusia cenderung mencari informasi tentang apa yang dibutuhkan. Dalam pencarian informasi, menurut Kotler, Bowen & Makens, (1999, p.201) dapat diperoleh dari, antara lain:

a. Sumber pribadi seperti keluarga, teman, tetangga.

b. Sumber-sumber komersial.

c. Sumber-sumber publik.

3. Evaluasi Alternatif

Menurut Kotler, Bowen, dan Makens (1999, p.203) walupun konsumen tiba pada keputusan pembelian, tetapi tidak dapat diketahui bagaimana konsumen menentukan pilihan atas alternatif yang ada. Terdapat beberapa konsep dasar yang dapat membantu untuk memahami tahap evaluasi konsumen ini, antara lain:

a. Diasumsikan bahwa konsumen melihat suatu produk sebagai satu kesatuan atribut produk.

(9)

Universitas Kristen Petra

b. Konsumen menyatukan tingkat kepentingan yang berbeda untuk setiap atribut suatu produk yang bergantung pada keinginan mereka.

c. Kecenderungan konsumen untuk membuat suatu kepercayaan tentang suatu produk yang berdasarkan kepada merek dagang.

4. Keputusan Pembelian

Setelah konsumen menentukan suatu produk dari alternatif yang timbul, pada umumnya konsumen akan membeli produk tersebut. Keputusan pembelian suatu konsumen terkadang melalui serangkaian aktivitas yang melibatkan orang lain sehingga hal ini mengakibatkan keputusan pembelian akan dipengaruhi oleh orang lain. Selain itu, keputusan pembelian juga disebabkan oleh faktor situasi yang tak terduga dan diluar kendali.

5. Perilaku Pasca Pembelian

Dengan terbelinya suatu barang, bukan berarti bahwa proses pembelian berakhir. Dengan adanya pembelian, maka tingkat kepuasan konsumen baru akan dimulai. Faktor yang menyebabkan kepuasan konsumen terletak pada barang atau jasa yang diterima oleh konsumen dirasakan sesuai dengan keinginannya atau tidak sesuai. Jika produk yang diterima sesuai dengan ekspektasi konsumen maka pada saat itu juga konsumen merasa terpuaskan, tetapi, ketika suatu produk yang diterima tidak sesuai dengan harapan konsumen maka akan terjadi ketidakpuasan konsumen. Ketika konsumen merasa terpuaskan, konsumen cenderung menjadi konsumen yang setia dan akan mengulang proses pembelian tersebut dan cenderung menyarankan kepada orang lain, tetapi ketika konsumen merasa tidak puas maka hal ini akan mempengaruhi produk karena konsumen tidak akan mengulang proses pembelian dan menyarankan kepada orang lain untuk tidak membelinya.

2.3.1. Keinginan Pembelian

Keinginan pembelian merupakan salah satu bagian dari proses pembelian yang terletak antara tahap evaluasi pembelian dan keputusan pembelian. Didalam tahap evaluasi, konsumen mengurutkan merek dagang dan timbul suatu niat untuk mengingini produk tersebut. Pada umumnya, konsumen akan memilih untuk

(10)

Universitas Kristen Petra

membeli produk yang memiliki merek yang paling disukai (Kotler & Armstrong, 2004, p. 200). Dalam proses untuk membeli, terdapat dua faktor yang mungkin dapat memberikan suatu perubahan terhadap keinginan pembelian konsumen (gambar 2.4.). Kedua faktor tersebut adalah perilaku orang lain dan faktor dari situasi yang tak terduga (Kotler & Armstrong, 1994, p. 169).

Gambar 2.3. Langkah Antar Evaluasi Alternatif dan Keputusan Pembelian.

*Sumber: Kotler & Armstrong, 1994, p. 169

Perilaku orang lain adalah besarnya kekuatan perilaku seseorang yang dapat bersifat persuasif untuk mempengaruhi perubahan niatan atau keinginan pembelian seseorang terhadap suatu barang. Sedangkan faktor situasi yang tak terduga adalah faktor keinginan pembelian konsumen yang berdasarkan faktor yang telah diperkirakan dapat berubah karena adanya faktor yang diluar kendali, perubahan niat membeli konsumen dapat berupa pemilihan merek lain atau pembatalan serta penundaan, tergantung pada tingkat resiko (perceived risk) (Kotler & Armstrong, 1994, p. 170).

Menurut Engel, Blackwell dan Miniard, proses pembelian merupakan fungsi dari dua determinan, yaitu keinginan dan pengaruh lingkungan dan individual (1990, p. 537). Kedua faktor yang mempengaruhi proses pembelian ini termasuk dalam keinginan pembelian terhadap suatu barang yang sudah direncanakan sebelumnya. Engel, Blackwell dan Miniard juga menambahkan bahwa setiap produsen suatu barang menghadapi dilema untuk mengatasi keputusan pembelian yang tidak terencana. Dengan kata lain konsumen sebelum memutuskan untuk membeli suatu barang keinginannya timbul pada saat yang tidak diduga atau direncanakan karena konsumen melihat produk yang ditawarkan

Evaluasi alternatif

Keinginan untuk membeli

Faktor situasi yang tak terduga

Keputusan pembelian Perilaku

orang lain

(11)

Universitas Kristen Petra

dan timbul rasa ketertarikan yang juga dikenal sebagai impulse purchase atau pembelian secara mendadak. Dalam impulse purchase terdapat empat karakteristik yaitu (1990, p. 538):

1. Spontanitas. Hal ini tidak terduga ketika konsumen termotivasi untuk membeli sekarang juga.

2. Kekuatan dan Intensitas. Terdapat motivasi untuk mengesampingkan semua hal dan melakukan pembelian sekarang juga.

3. Stimulasi dan Kesenangan. Suatu keinginan mendadak yang datang bersamaan dengan emosi dengan karakteristik ‘menyenangkan’, ‘menarik’ dan tidak terkontrol.

4. Mengesampingkan konsekuensi. Dorongan yang tidak tertahankan sehingga konsekuensi potensial yang negatif diacuhkan dan diabaikan.

Dalam keinginan pembelian, konsumen cenderung melakukan pembelian terhadap suatu barang apabila konsumen telah memperoleh tingkat kepuasan yang diharapkan (Assael, 1992, p. 53). Konsumen yang memutuskan untuk membeli dipengaruhi oleh faktor tingkat keinginan terhadap suatu barang, menurut Assael, perubahan keinginan dalam membeli oleh konsumen sangat tidak diharapkan oleh produsen karena melibatkan faktor ketidak sesuaian dan faktor bujukan dari orang lain. (1992, p. 230). Dalam mempelajari hubungan antara keinginan pembelian dengan perilaku pembelian konsumen, ditemukan faktor- faktor yang menahan konsumen untuk melakukan pembelian yang dikarenakan oleh perubahan keinginan (Assael, 1984). Faktor-faktor penghambat konsumen untuk melakukan pembelian antara lain:

1. Harga. Sebuah kenaikan harga suatu produk akan menghambat suatu barang untuk dibeli (pembatalan niat) atau membatasi jumlah barang yang dibeli dan dapat menyebabkan perubahan keinginan terhadap barang tersebut dengan cara konsumen beralih ke produk dengan merek yang sama atau produk pengganti.

2. Ketersediaan Jumlah Barang. Ketidak tersediaan suatu barang akan mengarahkan konsumen untuk membeli suatu barang dengan merek lain dengan tidak merubah niat atau keinginan membelinya.

(12)

Universitas Kristen Petra

3. Perubahan Kondisi Pasar. Pengenalan terhadap suatu produk baru atau pengenalan terhadap produk yang sama akan mempengaruhi keinginan atau niat membeli konsumen.

4. Siklus Pembelian. Konsumen akan mengurangi atau mengurangi keinginannya terhadap suatu barang apabila siklus pembelian suatu barang terlalu rumit atau lama.

5. Kurangnya Fungsi. Konsumen tidak akan menginginkan suatu produk yang memiliki keterbatasan fungsi.

Dalam suatu model yang memiliki implikasi terhadap strategi perubahan perilaku untuk mengatasi perubahan terhadap keinginan, Assael menampilkan fungsi-fungsi yang dikemukakan oleh Katz mengenai teori fungsional terhadap perilaku (Assael, 1992, p. 232), antara lain:

a. Perubahan perilaku melalui fungsi yang berfaedah. Untuk mempengaruhi perubahan sikap yang positif dalam suatu produk adalah dengan menunjukkan bahwa produk tersebut dapat memberikan faedah yang berguna yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh konsumen.

b. Perubahan perilaku melalui fungsi dari perasaan. Hal ini dilakukan dengan cara mengkomunikasikan kepada konsumen terhadap suatu produk dengan mengambil nilai-nilai perasaan yang melibatkan emosi konsumen.

c. Perubahan perilaku melalui fungsi pertahanan ego. Dalam merubah perilaku konsumen kearah yang positif, produsen harus mampu menerima sikap egois konsumen daripada merubahnya. Menurut Katz, semakin tinggi tingkat pertahanan ego seseorang terhadap sikapnya, maka semakin susah untuk mempengaruhi perubahan sikapnya.

d. Perubahan perilaku melalui fungsi pengetahuan. Fungsi dari pengetahuan adalah pengorganisasian dan mengklasifikasikan informasi. Meskipun pemasar dapat memfasilitasikan informasi untuk konsumen, pemasar tidak boleh menyediakan informasi yang menyesatkan atau yang ambigu terhadap produknya untuk memperoleh tingkat perilaku yang diinginkan. Suatu makna yang ambigu dapat mengakibatkan kurangnya tingkat suatu produk dalam pasar melalui tahap pengevaluasian.

(13)

Universitas Kristen Petra

Menurut Kotler, Bowen dan Maken, (2001, p. 207) dalam menjalankan keinginan untuk membeli konsumen dapat mengambil keputusan pembelian ketika konsumen telah melalui lima tahapan pertimbangan kemudian konsumen dapat memutuskan untuk melakukan keputusan pembelian atau tidak. Lima tahapan pertimbangan tersebut adalah:

b. A Brand Decision. Konsumen harus memutuskan pilihan merek dan jenis barang yang akan dibeli.

c. Vendor Decision. Konsumen memutuskan dengan siapa, lokasi atau tempat transaksi dilakukan.

d. Quantity Decision. Konsumen memutuskan jumlah barang yang akan dibeli.

e. Timing Decision. Keputusan terhadap periode pembelian terhadap suatu barang.

f. Payment-method Decision. Konsumen memutuskan terhadap jenis pembayaran yang dilakukan.

2.4. Hubungan Antara Layanan Akses Wi-Fi, Kualitas Layanan dan Keinginan Pembelian Konsumen

Sonnen Cafe memiliki beberapa keunggulan yang ditawarkan dan dapat dirasakan oleh konsumen yang berupa layanan akses Wi-Fi dan kualitas layanan.

Layanan akses Wi-Fi atau jaringan lokal nirkabel adalah sistem jaringan lokal yang mampu bekerja secara efektif melalui sinyal gelombang radio untuk melakukan pemindahan atau transfer data melalui internet. Wi-Fi telah dikembangkan oleh IEEE di Amerika Serikat yang menggunakan frekuensi radio 802.11 dan kemudian dalam pengaplikasiannya digunakan empat standarisasi dengan seri IEEE 802.11 a/b/g/n.

Wi-Fi merupakan teknologi yang mampu bekerja secara efektif dan efisien, yang memiliki kemampuan pemrosesan data lebih cepat, murah dan memiliki kinerja yang baik. Kunci keberhasilan atau kesuksesan layanan akses Wi-Fi dapat dilihat melalui tiga faktor yaitu harga, waktu atau ketepatan fungsi, dan skalabilitas.

Kualitas layanan adalah suatu perilaku yang terbentuk karena evaluasi jangka panjang dari suatu kinerja perusahaan. Dalam penyampaian layanan,

(14)

Universitas Kristen Petra

konsumen dapat merasakan baik atau tidak suatu kualitas terhadap layanan yang diberikan. Menurut Zeithaml, Parasuraman, dan Berry (1990) kualitas layanan yang dirasakan oleh konsumen dapat diukur melalui dimensi tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy. Dengan mengembangkan kelima dimensi tersebut maka suatu perusahaan yang bergerak dalam bidang layanan mampu meningkatkan kualitas yang diberikan kepada konsumen.

Dengan adanya layanan akses Wi-Fi, dan kualitas layanan yang diberikan oleh Sonnen Cafe, maka dapat dilihat apakah konsumen memiliki keinginan membeli produk yang berupa makanan atau minuman yang ditawarkan atau tidak. Keinginan pembelian konsumen dapat timbul karena adanya keinginan konsumen untuk menggunakan layanan akses Wi-Fi atau karena konsumen ingin merasakan kualitas layanan yang diberikan oleh Sonnen Cafe atau karena keduanya.

(15)

Universitas Kristen Petra

2.5. Kerangka Berpikir

(16)

Universitas Kristen Petra

2.6.Hipotesis

Dari hasil wawancara informal yang dilakukan oleh penulis dengan konsumen dan dari saran-saran yang diberikan oleh konsumen kepada pihak kafe maka dapat ditarik beberapa hipotesis dalam penelitian ini, antara lain:

1 : Diduga layanan akses Wi-Fi dan kualitas layanan (tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy) memberikan pengaruh positif terhadap keinginan pembelian konsumen.

2 : Diduga layanan akses Wi-Fi memiliki pengaruh yang paling dominan terhadap keinginan pembelian konsumen.

Gambar

Gambar 2.1. Ilustrasi Hotspot
Gambar 2.3. Langkah Antar Evaluasi Alternatif dan Keputusan Pembelian.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian Zeithaml, Parasuraman dan Berry (Zeithaml et.al., 1990) mengindikasikan bahwa umumnya persepsi manajemen terhadap ekspektasi pengguna jasa mengenai

Secara umum, gerombol yang terbentuk memiliki nilai deskriptif yang sama dalam gerombol dan setiap gerombol yang terbentuk didominasi oleh beberapa kecamatan,

Menurut Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (dalam Fandy Tjiptono, 1997:14) terdapat lima dimensi pokok yang berkaitan dengan kualitas jasa/pelayanan, yaitu tangibles yaitu

Sedangkan menurut Grewal&Levy (2008), loyalty program bertujuan untuk menciptakan ikatan secara emosional antara perusahaan dengan pelanggan, serta untuk memenuhi

Reaksi pasar tidak hanya ditunjukkan dengan adanya perubahan harga saham yang tercermin dari abnormal return, indikator kedua yang dapat digunakan dalam melihat

Restoran yang menerapkan metode table service memberikan servis kepada pelanggan dengan cara membawakan makanan dan minuman yang dipesan oleh pelanggan ke meja makan dan

Kertajaya dalam Putri dan Astuti (2012) mendefinisikan Experiential Marketing sebagai suatu konsep pemasaran yang bertujuan membentuk pelanggan yang loyal dengan cara

Menurut Prasuraman, Zeithaml, dan Berry dalam Nawawi dan Puspitowati yang menjadi dimensi kualitas layanan terdiri dari lima dimensi diantaranya, bukti fisik (sarana