• Tidak ada hasil yang ditemukan

FORMULASI DAN UJI AKTIVITAS SEDIAAN NANOEMULSI DARI EKSTRAK BAWANG DAYAK (Eleutherine palmifolia (L.) Merr.)) SEBAGAI ANTI-AGING SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FORMULASI DAN UJI AKTIVITAS SEDIAAN NANOEMULSI DARI EKSTRAK BAWANG DAYAK (Eleutherine palmifolia (L.) Merr.)) SEBAGAI ANTI-AGING SKRIPSI"

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)

FORMULASI DAN UJI AKTIVITAS SEDIAAN NANOEMULSI DARI EKSTRAK BAWANG DAYAK (

PROGRAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FORMULASI DAN UJI AKTIVITAS SEDIAAN NANOEMULSI DARI EKSTRAK BAWANG DAYAK (Eleutherine palmifolia (L.) Merr.

SEBAGAI ANTI-AGING

SKRIPSI

OLEH:

LEARNITA SINURAT NIM 141501115

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

FORMULASI DAN UJI AKTIVITAS SEDIAAN NANOEMULSI DARI Eleutherine palmifolia (L.) Merr.))

(2)

FORMULASI DAN UJI AKTIVITAS SEDIAAN NANOEMULSI DARI EKSTRAK BAWANG DAYAK (

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

PROGRAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FORMULASI DAN UJI AKTIVITAS SEDIAAN NANOEMULSI DARI EKSTRAK BAWANG DAYAK (Eleutherine palmifolia (L.) Merr.

SEBAGAI ANTI-AGING

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara OLEH:

LEARNITA SINURAT NIM 141501115

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

FORMULASI DAN UJI AKTIVITAS SEDIAAN NANOEMULSI DARI Eleutherine palmifolia (L.) Merr.))

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan anugerah dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Formulasi dan Uji Aktivitas Sediaan Nanoemulsi dari Ekstrak Bawang Dayak (Eleutherine Palmifolia (L.) Merr.)) sebagai Anti-Aging”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi dari Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Ekstrak bawang dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr.)) merupakan tanaman yang mengandung senyawa flavonoid yang mempunyai sifat antioksidan dimana senyawa ini berperan sebagai penangkap radikal bebas yang berperan besar dalam proses penuaan. Nanoemulsi sangat menarik untuk diaplikasikan dalam kosmetik dikarenakan memungkinkan penghantaran yang efektif dari bahan aktif pada kulit, dengan tujuan untuk mengetahui efektivitas anti-aging dari nanoemulsi dan dibandingkan dengan bentuk sediaan emulsinya. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa sediaan nanoemulsi ekstrak bawang dayak memberikan aktivitas anti-aging yang lebih baik dibandingkan sediaan emulsinya.

Harapan saya, hasil dari penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk pengembangan bentuk sediaan farmasi dan memberikan informasi tentang sediaan nanoemulsi ekstrak bawang dayak sebagai anti-aging.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar- besarnya kepada Ibu Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi, Ibu Prof. Dr. Anayanti Ariato, M.Si., Apt., selaku pembimbing yang telah membimbing dengan penuh kesabaran, tulus dan ikhlas selama penelitian

(5)

hingga menyelesaikan penulisan skripsi ini. Ibu Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt., selaku penasehat akademik yang memberikan motivasi dan bimbingan kepada penulis selama perkuliahan. Bapak Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt., dan Ibu Juanita Tanuwijaya, M.Si., Apt., selaku dosen penguji dan Ibu Prof. Dr. Anayanti Arianto, M.Si,. Apt., selaku ketua dan Ibu Dra. Nazliniwaty, S.Farm., M.Si., Apt.

selaku sekretaris Departemen Teknologi Formulasi Fakultas Farmasi yang telah memberikan masukan, arahan, kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini dan seluruh dosen dan staf pengajar Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Penulis mempersembahkan rasa terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda St. Jasmen Sinurat dan Ibunda Herlina Sinaga, serta abang, kakak, dan adik-adik yang tiada hentinya berdoa dan berkorban dengan tulus ikhlas memberikan dukungan baik moril maupun materil selama perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Januari 2019 Penulis,

Learnita Sinurat NIM 141501115

(6)
(7)

FORMULASI DAN UJI AKTIVITAS SEDIAAN NANOEMULSI DARI EKSTRAK BAWANG DAYAK (Eleutherine palmifolia (L.) Merr.))

SEBAGAI ANTI-AGING ABSTRAK

Latar Belakang: Ekstrak bawang dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr.)) merupakan tanaman yang mengandung senyawa flavonoid yang mempunyai sifat antioksidan dimana senyawa ini berperan sebagai penangkap radikal bebas yang berperan besar dalam proses penuaan. Nanoemulsi sangat menarik untuk diaplikasikan dalam kosmetik dikarenakan nanoemulsi lebih stabil, viskositas yang rendah, aspek visual yang transparan, dan ukuran partikel lebih kecil sehingga luas permukaan tinggi yang memungkinkan penghantaran yang efektif dari bahan aktif pada kulit. Dalam penelitian ini dibuat sediaan anti aging ekstrak bawang dayak dalam bentuk nanoemulsi.

Tujuan: Formulasi ekstrak bawang dayak dalam bentuk sediaan nanoemulsi yang stabil secara fisik serta untuk mengetahui efektivitas anti-aging dari nanoemulsi dan dibandingkan dengan bentuk sediaan emulsinya.

Metode penelitian: Penelitian meliputi formulasi sediaan nanoemulsi menggunakan 36% Tween 80 sebagai surfaktan dan 30% etanol 96% sebagai kosurfaktan dengan variasi ekstrak bawang dayak yaitu F1(1%), F2 (1,5%) , dan F3(2%). Pengujian sediaan meliputi uji tipe emulsi, homogenitas, bobot jenis, tegangan permukaan, ukuran partikel, stabilitas fisik penyimpanan selama 12 minggupengamatan pada variasi suhu, pH, viskositas, sentrifugasi. Pada formula F1 dilakukan cycling test, uji iritasi pada kulit, dan uji aktivitas anti-aging menggunakan alat skin analyzer.

Hasil: Nanoemulsi F1, F2, dan F3 ekstrak bawang dayak masing-masing mempunyai ukuran rata-rata globulyaitu 61 nm, 104 nm, dan 104 nm. Formula dengan ukuran globul terkecil yaitu F1. Ketiga formula nanoemulsi berwarna merah, jernih, dan transparan, berbau khas, tipe emulsi m/a, homogen, bobot jenis 0,94-1,01 g/mL, tegangan permukaan 32,4-33,8 dyne/cm, pH 6,3-6,5, viskositas 33,5-50 cp. Hasil uji sentrifugasi semua formula nanoemulsi tidak menunjukkan adanya pemisahan, creaming, dan keruh tetapi pada emulsi menunjukkan adanya pemisahan. Hasil uji cycling test menunjukkan tidak adanya pemisahan, creaming, dan keruh tetapi adanya peningkatan ukuran globul dari 61 nm menjadi 330 nm.

Nanoemulsi F1, F2, dan F3 stabil dalam penyimpanan selama 12 minggu pengamatan pada suhu kamar, suhu tinggi, dan suhu rendah sedangkan pada emulsi terjadi pemisahan fase setelah masa penyimpanan 5 minggu pada suhu kamar. Hasil aktivitas anti-aging nanoemulsi menunjukkan bahwa nanoemulsi meningkatkan kadar air, mengecilkan ukuran pori, mengurangi banyak noda, dan kerutan lebih cepat dibandingkan sediaan emulsinya.

Kesimpulan: Ekstrak bawang dayak dapat diformulasikan dalam bentuk sediaan nanoemulsi sebagai anti-aging dan stabil secara fisik dalam masa penyimpanan selama 12 minggu pengamatan pada suhu kamar, suhu tinggi, dan suhu rendah.

Hasil aktivitas anti aging dari nanoemulsi F1 lebih baik dibandingkan dengan bentuk sediaan emulsinya.

Kata kunci: bawang dayak, nanoemulsi, anti-aging.

(8)

FORMULATION AND ACTIVITY TEST OF DAYAK ONION (Eleutherinepalmifolia (L.) Merr.)) NANOEMULSION AS ANTI-AGING

ABSTRACT

Background: The extract of dayak onion (Eleutherinepalmifolia (L.) Merr.)) is a plant that contains flavonoid which have antioxidant properties.Flavonoid acts as free radical catchers that play a major role in aging process. Nanoemulsion is very interesting to apply in cosmetics because nanoemulsion is more stable, low viscosity, visual aspects are transparent, and particle size is smaller so that a high surface area that allows effective delivery of active ingredients on the skin. In this study an anti-aging preparation of dayak onion extract is made in the form of nanoemulsion.

Objective: Formulation of dayak onion extract in form of stable nanoemulsion, determined the anti-aging effectiveness of nanoemulsion and compared with the emulsions.

Methods: The study included formulations of nanoemulsion preparations using 36% Tween 80 as surfactant and 30% ethanol96% as cosurfactant with variations of dayak onion extract, namely F1 (1%), F2 (1.5%), and F3 (2%). The preparation test included emulsion type test, homogeneity, specific gravity, surface tension, particle size, physical stability of storage for 12 weeks of observation on variations in temperature, pH, viscosity, centrifugation. In F1 formula carried out cycling test, skin irritation test, and anti-aging activity test using skin analyzer.

Results: Nanoemulsion F1, F2, and F3 onion dayak extract each had an average globul size of 61 nm, 104 nm, and 104 nm. Formula with the smallest size of globules F1. The three nanoemulsion formulas was red, clear, and transparent, smell distinctive, type of emulsion was o / w, homogeneous, specific gravity was 0.94-1.01 g / mL, surface tension was32.4-33.8 dyne / cm, pH 5.4-6.5, viscosity 33.5-50 cp. Centrifugation and cycling test results showed no separation, creaming, and turbidity. Result of cycling test nanoemulsion F1 showed an increase in globul size from 61 nm to 330 nm. Nanoemulsion F1, F2, and F3 were stable in storage for 12 weeks of observation at room temperature, high temperature, and low temperature whereas in the emulsion phase separation occured after a storage period of 5 weeks at room temperature. The results of anti- aging nanoemulsion activity showed that nanoemulsion increased water content, reduced pore size, reduced spot, and wrinkles faster than emulsions.

Conclusion: Dayak onion extract can be formulated in the form of nanoemulsion as an anti-aging and physically stable during storage for 12 weeks of observation at room temperature, high temperature and low temperature. The anti-aging activity of F1 nanoemulsion is better than the emulsion.

Keywords: dayak onion, nanoemulsion, anti-aging.

(9)

DAFTAR ISI

JUDUL ... ...i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

KATA PENGANTAR ...iv

SURAT PERNYATAAN...vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesis ... 5

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Uraian tumbuhan ... 6

2.1.1 Sistematika tumbuhan ... 6

2.1.2 Nama daerah ... 6

2.1.3 Morfologi Tumbuhan ... 6

2.1.4 Khasiat tumbuhan ... 7

2.2 Ekstraksi ... 7

2.3 Kulit ... 9

2.3.1 Gambaran umum kulit ... 9

2.3.2 Anatomi dan fisiologi kulit ... 10

2.3.2.1 Epidermis ... 10

2.3.2.2 Dermis ... 12

2.3.2.3 Hipodermis ... 13

2.3.3 Fungsi Biologik Kulit ... 13

2.3.4 Klasifikasi kulit ... 14

2.4 Skin Aging (Penuaan Kulit) ... 15

2.4.1 Tanda-tanda penuaan ... 16

2.4.2 Usaha menghambat proses skin aging (penuaan kulit) ... 17

2.5 Skin Anti-Aging (Anti Penuaan Kulit) ... 18

2.5.1 Fungsi dan manfaat skin anti-aging ... 18

2.6 Nanoemulsi ... 18

BAB III METODE PENELITIAN ... 25

3.1 Alat dan Bahan ... 25

(10)

3.1.1 Alat - alat ... 25

3.1.2 Bahan - bahan ... 25

3.2 Sukarelawan ... 26

3.3 Prosedur Penelitian ... 26

3.3.1 Sampel Tumbuhan ... 26

3.3.1.1 Pengambilan Sampel ... 26

3.3.1.2 Identifikasi tumbuhan ... 26

3.3.1.3 Pembuatan simplisia ... 27

3.3.1.4 Karakteristik Simplisia ... 27

3.3.1.5 Pemeriksaan makroskopik simplisia ... 27

3.3.1.6 Pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia ... 27

3.3.1.7 Penetapan kadar air ... 27

3.3.1.8 Penetapan kadar abu total ... 28

3.3.1.9 Penetapan kadar abu tidak larut asam ... 28

3.3.1.10 Penetapan kadar sari larut air ... 29

3.3.1.11 Penetapan kadar sari larut etanol ... 29

3.3.2 Skrining Fitokimia ... 29

3.3.2.1 Pemeriksaan alkaloid ... 29

3.3.2.2 Pemeriksaan glikosida ... 30

3.3.2.3 Pemeriksaan saponin ... 30

3.3.2.4 Pemeriksaan flavonoid ... 31

3.3.2.5 Pemeriksaan tanin ... 31

3.3.2.6 Pemeriksaan triterpenoid/steroid ... 31

3.3.3 Pembuatan ekstrak sampel ... 31

3.3.4 Formulasi sediaan nanoemulsi ... 32

3.3.5 Formulasi sediaan emulsi ... 34

3.3.6 Evaluasi sediaan ... 36

3.3.6.1 Penentuan tipe emulsi sediaan ... 36

3.3.6.2 Uji homogenitas ... 36

3.3.6.3 Penentuan bobot jenis ... 36

3.3.6.4 Pengukuran tegangan permukaan ... 37

3.3.7 Uji stabilitas... 37

3.3.7.1 Penyimpanan pada suhu rendah ... 37

3.3.7.2 Penyimpanan pada suhu kamar ... 37

3.3.7.3 Penyimpanan pada suhu tinggi ... 38

3.3.8 Penentuan ukuran partikel ... 38

3.3.9 Pengamatan stabilitas sediaan... 38

3.3.10 Penentuan pH sediaan... 38

3.3.11 Pengukuran viskositas... 39

3.3.12 Uji sentrifugasi... 39

3.3.13 Cycling test... 39

3.3.14 Uji iritasi terhadap sukarelawan... 39

3.4 Pengujian aktivitas anti-aging ... 40

(11)

3.5 Analisis data ... 40

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

4.1 Hasil identifikasi tumbuhan ... 41

4.2 Hasil karakterisasi simplisia dan ekstrak etanol bawang dayak ... 41

4.3 Hasil skrining fitokimia ... 42

4.4 Formulasi nanoemulsi ... 43

4.5 Formulasi emulsi ... 45

4.6 Hasil evaluasi sediaan ... 46

4.6.1 Hasil penentuan tipe emulsi sediaan ... 46

4.6.2 Hasil pemeriksaan homogenitas ... 47

4.6.3 Hasil pengukuran bobot jenis ... 47

4.6.4 Hasil pengukuran tegangan permukaan ... 48

4.6.5 Hasil uji stabilitas ... 48

4.6.5.1 Penyimpanan pada suhu rendah, suhu kamar,dan suhu tinggi ... 48

4.6.5.1.1 Hasil pengamatan ukuran partikel nanoemulsi ... 49

4.6.5.1.2 Hasil pengamatan stabilitas sediaan ... 53

4.6.5.1.3 Hasil pengukura pH sediaan ... 59

4.6.5.1.4Hasil pengukuran viskositas ... 63

4.6.5.1.5 Hasil uji sentrifugasi ... ... 68

4.6.5.1.6 Hasil uji cycling test ... 69

4.7 Hasil uji iritasi terhadap sukarelawan ... 70

4.8 Hasil penetuan aktivitas anti-aging terhadap sukarelawan ... 72

4.8.1 Kadar air (moisture) ... 72

4.8.2 Pori (pore) ... ... 75

4.8.3 Noda (spot) ... 78

4.8.4 Kerutan (wrinkle) ... 80

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 84

5.1 Kesimpulan ... 84

5.2 Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85

LAMPIRAN ... 88

(12)

DAFTAR TABEL

3.1 Persentase komposisi bahan formula nanoemulsi menurut Utami (2012) ... 32

3.2 Persentase komposisi bahan dalam nanoemulsi yang mengandung ekstrak bawang dayak dengan variasi konsentrasi ekstrak... 33

4.1 Hasil karakterisasi simplisia bawang dayak ... 42

4.2 Hasil skrining fitokimia simplisia dan ekstrak etanol bawang dayak ... 42

4.3 Data pengukuran tegangan permukaan nanoemulsi dan emulsi ... 48

4.4 Data penentuan distribusi ukuran partikel nanoemulsi variasi ekstrak ... 49

4.5 Data penentuan rata-rata ukuran partikel nanoemulsi variasi formula ... 49

4.6 Data pengamatan stabilitas nanoemulsi selama 12 minggu pengamatan penyimpanan suhu kamar ... 54

4.7 Data pengamatan stabilitas emulsi selama 12 minggu pengamatan penyimpanan suhu kamar ... 55

4.8 Data pengamatan stabilitas nanoemulsi selama 12 minggu pengamatan penyimpanan suhu rendah ... 56

4.9 Data pengamatan stabilitas nanoemulsi selama 12 minggu pengamatan penyimpanan suhu tinggi ... 57

4.10 Data pengukuran pH nanoemulsi selama 12 minggu pengamatan penyimpanan suhu kamar ... 59

4.11 Data pengukuran pH emulsi ekstrak bawang dayak selama penyimpanan 12 minggu pada suhu kamar ... 60

4.12 Data pengukuran pH nanoemulsi F1 ekstrak bawang dayak selama penyimpanan 12 minggu pada suhu rendah... 61

4.13 Data pengukuran pH nanoemulsi F1 ekstrak bawang dayak selama penyimpanan 12 minggu pada suhu tinggi ... 62

4.14 Data pengukuran viskositas nanoemulsi ekstrak bawang dayak selama 12 minggu pengamatan pada suhu kamar (dalam cP) ... 64

4.15 Data pengukuran viskositas emulsi ekstrak bawang dayak selama 12 minggu pengamatan pada suhu kamar ... 65

4.16 Data pengukuran viskositas nanoemulsi F1 ekstrak bawang dayak selama 12 minggu pengamatan pada suhu rendah ... 66

4.17 Data pengukuran viskositas nanoemulsi F1 ekstrak bawang dayak selama 12 minggu pengamatan pada suhu tinggi ... 67

4.18 Data uji sentrifugasi nanoemulsi dan emulsi ekstrak bawang dayak ... 69

4.19 Data hasil uji iritasi nanoemulsi ekstrak bawang dayak terhadap sukarelawan ... 71

4.20 Data hasil pengukuran kadar air (moisture) pada kulit wajah sukarelawan ... 73

4.21 Hasil pengukuran pori (pore) pada kulit wajah sukarelawan ... 75

4.22 Hasil pengukuran noda (spot) pada kulit wajah sukarelawan ... 78

4.23 Hasil pengukuran kerutan (wrinkle) pada kulit wajah sukarelawan ... 81

(13)

DAFTAR GAMBAR

2.1 Struktur kulit ... 10

2.2 Rumus bangun Tween 80 ... 20

2.3 Rumus bangun etanol 96% ... 20

2.4 Rumus bangun propilen glikol ... 21

2.5 Rumus bangun metil paraben ... 21

2.6 Rumus bangun propil paraben ... 22

2.7 Rumus bangun butil hidroksitoluen ... 22

4.1 Sediaan nanoemulsi variasi konsentrasi ekstrak ... 45

4.2 Sediaan emulsi ekstrak bawang dayak 1% ... 46

4.3 Hasil penentuan tipe emulsi sediaan ... 46

4.4 Hasil uji homogenitas... 47

4.5 Rata-rata ukuran partikel nanoemulsi F1 pada 0 minggu penyimpanan suhu kamar ... 49

4.6 Rata-rata ukuran partikel nanoemulsi F1 pada 6 minggu penyimpanan suhu kamar ... 50

4.7 Rata-rata ukuran partikel nanoemulsi F1 pada 12 minggu penyimpanan suhu kamar ... 50

4.8 Rata-rata ukuran partikel nanoemulsi F2 pada 0 minggu penyimpanan suhu kamar ... 50

4.9 Rata-rata ukuran partikel nanoemulsi F2 pada 6 minggu penyimpanan suhu kamar ... 51

4.10 Rata-rata ukuran partikel nanoemulsi F2 pada 12 minggu penyimpanan suhu kamar ... 51

4.11 Rata-rata ukuran partikel nanoemulsi F3 pada 0 minggu penyimpanan suhu kamar ... 51

4.12 Rata-rata ukuran partikel nanoemulsi F3 pada 6 minggu penyimpanan suhu kamar ... 52

4.13 Rata-rata ukuran partikel nanoemulsi F3 pada 12 minggu penyimpanan suhu kamar ... 52

4.14 Pengaruh lama penyimpanan terhadap ukuran partikel nanoemulsi F1, F2, dan F3 ... 52

4.15 Sediaan emulsi dan nanoemulsi F1, F2, F3 pada saat sebelum penyimpanan pada suhu kamar ... 55

4.16 Sediaan emulsi dan nanoemulsi F1, F2, F3 pada saat setelah 12 minggu pengamatan penyimpanan pada suhu kamar ... 56

4.17 Sediaan nanoemulsi F1 pada saat sebelum penyimpanan 12 minggu pada berbagai variasi suhu ... 57

4.18 Sediaan nanoemulsi F1 pada saat setelah penyimpanan 12 minggu pada berbagai variasi suhu ... 57

4.19 Pengaruh lama penyimpanan terhadap pH nanoemulsi ekstrak bawang dayak ... 60

(14)

4.20 Pengaruh lama penyimpanan terhadap pH emulsi ekstrak bawang dayak.... 60

4.21 Pengaruh lama penyimpanan terhadap pH nanoemulsi F1 ekstrak bawang dayak selama penyimpanan 12 minggu pada suhu rendah ... 61

4.22 Pengaruh lama penyimpanan terhadap pH nanoemulsi F1ekstrak bawang dayak selama 12 minggu pengamatan pada suhu tinggi ... 62

4.23 Pengaruh lama penyimpanan terhadap viskositas nanoemulsi ekstrak bawang dayak ... 64

4.24 Pengaruh lama penyimpanan terhadapviskositas emulsi ekstrak bawang dayak ... 65

4.25 Pengaruh lama penyimpanan terhadap viskositas nanoemulsi F1 ekstrak bawang dayak selama 12 minggu pengamatan penyimpanan pada suhu rendah... 66

4.26 Pengaruh lama penyimpanan terhadap viskositas nanoemulsi F1 ekstrak bawang dayak selama 12 minggu pengamatan penyimpanan pada suhu tinggi ... 67

4.27 Hasil uji sentrifugasi sediaan sebelum (a) dan sesudah (b) ... 68

4.28 Hasil uji cycling test sebelum (a) dan setelah (b) penyimpanan selama 6 siklus ... 70

4.29 Grafik hasil pengukuran kadar air (moisture) selama 4 minggu ... 73

4.30 Grafik hasil pengukuran pori (pore) selama 4 minggu ... 76

4.31 Grafik hasil pengukuran noda (spot) selama 4 minggu ... 79

4.32 Grafik hasil pengukuran kerutan (winkle) selama 4 minggu ... 81

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil identifikasi tumbuhan ... 88

2. Gambar bawang dayak ... 89

3. Gambar mikroskopik serbuk simplisiaumbibawangdayak ... 90

4. Perhitungan pemeriksaan karakterisasi simplisia bawangdayak. ... 91

5. Gambar bahan dan alat. ... 94

6. Bagan kerja penelitian ... 96

7. Bagan pembuatan nanoemulsi ekstrak bawang dayak ... 97

8. Bagan pembuatan emulsi ekstrak bawang dayak ... 98

9. Pengujian aktivitas anti-aging sediaan nanoemulsi dan emulsi... 100

10. Data hasil uji statistik . ...124

11. Distribusi ukuran partikel nanoemulsi ekstrak bawang dayak...128

12. Sertifikat analisis VCO ... 138

13. Hasil uji iritasi……… 141

14. Lembar persetujuan sukarelawan………. 142

15. Surat Ethical Clearence……….. 148

16. Gambar wajah sukarelawan………. 149

(16)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kulit merupakan “selimut” yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki fungsi sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan luar.

Fungsi perlindungan ini terjadi melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus menerus (keratiniasi dan pelepasan sel- sel yang sudah mati), respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat, dan pembentukan pigmen melanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultraviolet matahari, sebagai peraba, dan perasa, serta pertahanan terhadap tekanan dan infeksi dari luar. Selain itu kulit merupakan suatu kelenjar holokrin yang besar (Tranggono dan Latifah, 2007).

Penuaan kulit pada dasarnya terbagi atas 2 proses besar, yaitu penuaan kronologi (chronological aging) dan “photo aging . Penuaan kronologi ditunjukkan dari adanya perubahan struktur, dan fungsi serta metabolik kulit seiring berlanjutnya usia. Proses ini termasuk, kulit menjadi kering dan tipis, munculnya kerutan halus, adanya pigmentasi kulit (age spot). Sedangkan proses

“photo aging adalah proses yang menyangkut berkurangnya kolagen serta serat elastin kulit akibat dari paparan sinar UV yang berlebihan. Paparan sinar UV yang berlebihan, dapat menyebabkan kerusakan kulit akibat munculnya enzim proteolisis dari radikal bebas yang terbentuk. Enzim ini selanjutnya memecahkan kolagen serta jaringan penghubung di bawah kulit dermis (Tranggono dan Latifah, 2007).

Radikal bebas terbukti memiliki peran besar dalam proses penuaan.

Antioksidan dapat berperan untuk menurunkan laju perubahan akibat penuaan.

(17)

Antioksidan merupakan molekul yang mampu menstabilkan atau menonaktifkan radikal bebas sebelum menyerang sel, juga dapat menghambat ataupun menunda oksidasi. Antioksidan memiliki fungsi preventif dan proteksi terhadap penyakit terkait usia. (Muliyawan dan Suriana, 2013).

Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr.)) familia Iridaceae, sering disebut dengan nama bawang sabrang, bawang mekah, bawang hutan, bawang kambe, atau bawang berlian. Bawaiing dayak adalah salah satu jenis tanaman yang berkhasiat bagi kesehatan. Tanaman ini banyak ditemukan di daerah Kalimantan. Penduduk lokal di daerah tersebut sudah menggunakan tanaman ini sebagai obat tradisional. Bagian yang dapat dimanfaatkan pada tanaman ini adalah umbi, daun, akar dan bunganya. Secara tradisional khasiat dari tanaman bawang dayak di antaranya sebagai antikanker payudara, pengobatan kista, mencegah penyakit jantung, immunostimulant, antinflamasi, antitumor serta mencegah pendarahan (Nur, 2011).

Senyawa bioaktif sepeerti fenol, flavonoid, tanin, glikosida, steroid, alkaloid terdapat pada bawang dayak (Situmeang, 2017). Senyawa – senyawa aktif tersebut dapat dipisahkan dari tanamannya dengan menggunakan proses ekstraksi. Salah satu faktor yang menentukan kualitas hasil ekstraksi adalah jenis pelarut dan lama waktu ekstraksi (Thoo et al., 2009).

Flavonoid mempunyai sifat antioksidan dimana senyawa ini berperan sebagai penangkap radikal karena mengandung gugus hidroksil. Karena bersifat reduktor, flavonoid dapat bertindak sebagai donor hidrogen terhadap radikal bebas. Flavonoid dapat membentuk kompleks (kelat) dengan ion logam transisi, misalnya besi, alumunium, sehingga tidak lagi bertindak sebagai prooksidan.

Dengan demikian, oksidasi dapat dicegah (Silalahi, 2006).

(18)

Dari penelitian sebelumnya (Situmeang, 2017) diperoleh hasil bahwa ekstrak etanol bawang dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr.)) memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai IC50 51,75 µg/ml dan masuk ke dalam kategori kuat sebagai antioksidan.

Nanoemulsi atau biasa disebut miniemulsi merupakan dispersi halus minyak dalam air atau air dalam minyak yang memiliki ukuran droplet 50-1000 nm dan biasanya berada dalam kisaran 100-500 nm (Shah, 2010). Nanoemulsi merupakan teknik nanoteknologi dengan sistem pembawa (carrier) dimana pada teknik ini obat akan dienkapsulasi sehingga selain mampu meningkatkan luas permukaan juga terjadi peningkatan stabilititas (Rao dan Shao, 2008). Nanoemulsi sangat berguna sebagai produk kosmetik dengan bentuk fisiknya yang transparan atau translucent. Terlebih lagi, nanoemulsi tidak mengalami creaming atau pengendapan karena gaya Brown dari tetesan dispersi berukuran submikron dapat mengimbangi efek gravitasi, dan menghasilkan produk kosmetik yang lebih tahan lama. Nanoemulsi sangat menarik untuk diaplikasikan dalam kosmetik dikarenakan sifat estetika dari nanoemulsi yang lebih stabil, viskositas yang rendah, dan aspek visual yang trasparan, serta luas permukaan yang tinggi memungkinkan penghantaran yang efektif dari bahan aktif untuk kulit (Rhein, 2007).

Nanoemulsi dibuat dengan mencampur fase minyak dan fase air dengan bantuan surfaktan dan kosurfaktan untuk menurunkan tegangan permukaan.

Penambahan surfaktan dalam larutan akan menyebabkan turunnya tegangan permukaan larutan. Surfaktan cenderung berkumpul pada antarmuka, dan diadsorbsi pada antarmuka minyak-air, sebagai lapisan-lapisan monomolekular.

Jika konsentrasi nya cukup tiggi, surfaktan membentuk suatu lapisan yang kaku

(19)

yang bertindak sebagai suatu penghalang mekanik, baik terhadap adhesi maupun menggabungnya tetesan-tetesan emulsi. Surfaktan membantu memecahkan bola- bola besar menjadi bola-bola kecil, yang kemudian mempunyai kecendrungan untuk bersatu yang lebih kecil daripada lazimnya (Ansel, 2008; Lachman dkk., 1994).

Pada penelitian ini, diformulasikan ekstrak bawang dayak (Eluetherine palmifolia L. (Merr.)) dalam bentuk sediaan nanoemulsi dengan penambahan dari tween 80 sebagai surfaktan dan etanol 96% sebagai kosurfaktan. Penelitian ini menggunakan ekstrak bawang dayak, yaitu sebagai bahan aktif anti-aging.

Selanjutnya dilakukan evaluasi terhadap sediaan tersebut sebagai anti-aging.

Pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji kestabilan sediaan dan pengukuran aktivitas anti-aging dan dibandingkan dengan bentuk sediaan emulsinya.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah ekstrak bawang dayak dapat diformulasikan dalam sediaan nanoemulsi?

2. Apakah sediaan nanoemulsi ekstrak bawang dayak stabil secara fisik dalam penyimpanan variasi suhu selama 12 minggu?

3. Apakah sediaan nanoemulsi ekstrak bawang dayak memiliki aktivitas anti- aging?

(20)

1.3 Hipotesis Penelitian

Adapun Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Ekstrak bawang dayak dapat diformulasikan dalam sediaan nanoemulsi.

2. Sediaan nanoemulsi ekstrak bawang dayak stabil dalam penyimpanan variasi suhu.

3. Sediaan nanoemulsi ekstrak bawang dayak memiliki aktivitas anti-aging.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui ekstrak bawang dayak dapat diformulasikan dalam sediaan nanoemulsi.

2. Untuk mengetahui sediaan nanoemulsi ekstrak bawang dayak stabil secara fisik dalam penyimpanan suhu kamar, suhu tinggi, dan suhu rendah.

3. Untuk mengetahui sediaan nanoemulsi ekstrak bawang dayak memiliki aktivitas anti-aging.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian dapat memberikan manfaat untuk pengembangan bentuk sediaan farmasi dan dapat memberikan informasi tentang sediaan nanoemulsi ekstrak bawang dayak sebagai anti-aging.

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan 2.1.1 Sistematika tumbuhan

Sistematika tumbuhan bawang dayak adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoanae Ordo : Liliales

Famili : Iridaceae Genus : Eleutherine

Spesies : Eleutherine palmifolia (L) Merr (Depkes, 2001).

2.1.2 Nama daerah

Nama daerah dari tumbuhan ini adalah bawang sabrang, bawang mekah, bawang hutan, bawang kambe, bawang berlian, bawang tiwei, bawang kapal, bawang siyem, luluwan sapi (Indrawati, 2013).

2.1.3 Morfologi Tumbuhan

Tanaman yang tumbuh subur di daerah berpasir karena perbanyakan umbi di tanah yang liat akan menghambat pembesaran umbi. Daun bawang dayak seperti daun ilalang dengan garis-garis yang searah dengan bentuk tulang daun menyerupai palem berbentuk pita sepanjang 15-20 cm dan lebar 3-5 cm. Umbi bawang dayak menyerupai umbi bawang merah. Bentuk umbi bawang dayak berlapis-lapis, tetapi tiap lapisan memiliki ketebalan yang berbeda. Tanaman

(22)

bawang dayak berakar serabut dan mempunyai bunga seperti pada anggrek tanah yang berwarna putih, mungil, dan berkelopak lima (Indrawati, 2013).

2.1.4 Khasiat tumbuhan

Walaupun dikenal sebagai bawang dayak, di daerah Jawa Barat (Sunda), tanaman ini juga dikenal dengan nama daerah yaitu babawangan beureum. Hasil penapisan fitokimia pada bagian umbi menunjukkan adanya kandungan metabolit sekunder antara lain : alkaloid, glikosida, flavanoid, fenolik, kuinon, steroid, zat tanin dan minyak atsiri. Bagian daun dan akar mengandung flavonoida dan polifenol (Heyne, 1987).

Khasiat dari tanaman bawang dayak di antaranya sebagai antikanker payudara, mencegah penyakit jantung, immunostimulant, antinflamasi, antitumor serta anti pendarahan .Secara empiris diketahui tanaman ini dapat menyembuhkan penyakit kanker usus, kanker payudara, diabetes melitus, hipertensi, menurunkan kolesterol, obat bisul, stroke, sakit perut sesudah melahirkan (Galingging 2009).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut cair. Struktur kimia yang berbeda-beda akan mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawa-senyawa tersebut terhadap pemanasan, udara, cahaya, logam berat dan derajat keasaman. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Depkes RI, 2000).

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut

(23)

yang sesuai yang diperoleh melalui beberapa cara, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan diperoleh massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 2000).

Beberapa metode ekstraksi : 1. Cara dingin

a. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrasian simplisia dengan menggunakan pelarut beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperature ruangan (kamar). Remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama (Depkes RI, 2000).

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi sempurna yang umumya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahapan maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampung ekstrak) secara terus menerus sampai diperoleh perkolat (Depkes RI, 2000).

2. Cara panas a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000).

b. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang dilakukan dengan alat khusus (soklet) sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut

(24)

relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000).

c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi daripada temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50⁰C (Depkes RI, 2000).

d. Infundasi

Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur 90⁰C selama 15 menit) (Depkes RI, 2000).

e. Dekoktasi

Dekoktasi adalah proses penyarian (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih) pada temperatur 90⁰C selama 30 menit) (Depkes RI, 2000).

2.3 Kulit

2.3.1 Gambaran umum kulit

Kulit adalah jaringan terluar dari tubuh dan organ terbesar dalam hal berat dan luas permukaan. Kulit ini memiliki luas sekitar 16.000 cm2 untuk orang dewasa dan mewakili sekitar 8% dari berat badan. Kulit memiliki struktur yang sangat kompleks yang terdiri dari banyak komponen. Kulit juga elastis, dan sensitif, serta bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, dan ras (Igarashi, 2005;

Wasitaatmadja,1997).

2.3.2 Anatomi dan fisiologi kulit

Kulit terdiri atas tiga bagian besar dengan fungsi yang berbeda-beda, yaitu lapisan kulit ari (epidermis), lapisan kulit jangat (dermis), dan lapisan hipodermis (subkutan) (Putro, 1997).

(25)

Gambar 2.1 Struktur Kulit (Pope dkk., 2010) 2.3.2.1 Epidermis

Epidermis merupakan jaringan epitel berlapis pipih, dengan sel epitel yang mempunyai lapisan tertentu. Unsur utamanya adalah sel-sel tanduk (keratinosit) dan sel melanosit. Lapisan epidermis tumbuh terus karena lapisan sel induk yang berada dilapisan bawah bermitosis terus-menerus, sedangkan lapisan paling luar epidermis akan mengelupas dan gugur. Epidermis dibina oleh sel-sel dermis terutama serat-serat kolagen dan sedikit serat elastis. Dari sudut kosmetik, epidermis merupakan bagian kulit yang menarik karena kosmetik dipakai pada epidermis itu. Meskipun ada beberapa jenis kosmetik yang digunakan sampai ke dermis, namun tetap penampilan epidermis menjadi tujuan utama. Ketebalan epidermis berbeda-beda pada berbagai tubuh, yang paling tebal berukuran 1 milimeter, misalnya pada telapak kaki dan telapak tangan, dan lapisan yang tipis berukuran 0,1 milimeter terdapat pada kelopak mata, pipi, dahi, dan perut (Tranggono dkk., 2007). Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang berfungsi sebagai lapisan pelindung dari pengaruh eksternal. Epidermis tersusun atas lima lapisan (Baki dan Alexander, 2015).

(26)

a. Stratum korneum

Lapisan ini terdiri atas banyak lapisan sel tanduk (keratinasi), gepeng, kering, dan tidak berinti. Lapisan tanduk hampir tidak mengandung air karena adanya penguap air, elastisnya kecil, dan sangat efektif untuk pencegahan penguapan air dari lapisan yang lebih dalam (Syaifuddin, 2009). Permukaan lapisan ini dilapisi oleh lapisan pelindung yang lembab, tipis, dan bersifat asam yang disebut mantel asam kulit. Umumnya, pH fisiologis mantel asam kulit berkisar antara 4,5-6,5 (Tranggono dkk., 2007).

b. Stratum Lusidum

Lapisan bening (stratum lucidum) disebut juga lapisan barrier, terletak tepat di bawah lapisan tanduk, dan dianggap sebagai penyambung lapisan tanduk dengan lapisan berbutir. Lapisan bening terdiri dari protoplasma sel-sel jernih yang kecil- kecil, tipis dan bersifat translusen sehingga dapat dilewati sinar (tembus cahaya). Lapisan ini sangat tampak jelas pada telapak tangan dan telapak kaki. Proses keratinisasi bermula dari lapisan bening (Kusantati dkk., 2008).

c. Lapisan berbutir (stratum granulosum) tersusun oleh sel-sel keratinosit berbentuk kumparan yang mengandung butir-butir di dalam protoplasmanya, berbutir kasa dan berinti mengkerut. Lapisan ini tampak paling jelas pada kulit telapak tangan dan telapak kaki (Kusantati dkk., 2008).

d. Lapisan bertaju (stratum spinosum) disebut juga lapisan malphigi terdiri atas sel-sel yang saling berhubungan dengan perantaraan jembatan-jembatan protoplasma berbentuk kubus. Jika sel-sel lapisan saling berlepasan, maka seakan- akan selnya bertaju. Setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang terdiri atas serabut protein (Kusantati dkk., 2008).

(27)

e. Lapisan benih (stratum germinativum atau stratum basale) merupakan lapisan terbawah epidermis, dibentuk oleh satu baris sel torak (silinder) dengan kedudukan tegak lurus terhadap permukaan dermis. Alas sel-sel torak ini bergerigi dan bersatu dengan lamina basalis di bawahnya. Lamina basalis yaitu struktur halus yang membatasi epidermis dengan dermis. Pengaruh lamina basalis cukup besar terhadap pengaturan metabolisme demo-epidermal dan fungsi-fungsi vital kulit. Di dalam lapisan ini sel-sel epidermis bertambah banyak melalui mitosis (Kusantati dkk., 2008).

2.3.2.2 Dermis

Dermis biasanya 40 kali lebih tebal dari epidermis dan tersusun dari bahan mukopolisakarida. Pada dermis terdapat sel-sel mast dan fibroblast. Fibroblast mensintesis komponen penunjang struktural dari kulit (yaitu: serat-serat elastik, kolagen, dan serat retikulum). Dermis terdiri atas 2 lapisan yaitu lapisan atas (stratum papilaris) dan lapisan bawah (stratum retikularis). Kedua lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar yang tersusun dari serabut yaitu serabut kolagen, elastik, dan serabut retikulus. Pada dasarnya dermis terdiri atas sekumpulan serat- serat elastis memberikan kelenturan kulit yang dapat membuat kulit berkerut akan kembali ke bentuk semula. Serabut elastis tersebut saling beranyaman dan masing-masing memiliki fungsi berbeda. Serat-serat kolagen disebut juga jaringan penunjang, memberikan kekuatan pada kulit karena fungsinya dalam membentuk jaringan-jaringan kulit yang menjaga kekeringan dan kelenturan kulit.

Berkurangnya protein kolagen ini akan menyebabkan kulit menjadi kurang elastis dan mudah mengendur hingga timbul kerutan. Serat retikulus terutama di sekitar kelenjar serta folikel rambut memberikan kekuatan pada lapisan tersebut (Pratami dkk., 2014; Kusantati dkk., 2008).

(28)

2.3.2.3 Hipodermis

Lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak. Sel lemak merupakan sel bulat, besar dengan inti terdesak ke pinggir karena sitoplasma lemak yang bertambah. Lapisan sel lemak disebut penikulus adiposus berfungsi sebagai cadangan makanan. Pada lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan saluran getah bening. Jaringan ikat bawah kulit berfungsi sebagai bantalan atau penyangga benturan bagi organ-organ tubuh bagian dalam membentuk kontur tubuh. Ketebalan dan kedalaman jaringan lemak bervariasi sepanjang kontur tubuh, paling tebal di daerah pantat dan paling tipis terdapat di kelopak mata. Jika usia menjadi tua, kinerja liposit dalam jaringan ikat bawah kulit juga menurun. Bagian tubuh yang sebelumnya berisi banyak lemak, lemaknya berkurang sehingga kulit akan mengendur serta makin kehilangan kontur (Wasiaatmadja, 1997; Kusantati dkk., 2008).

2.3.3 Fungsi biologik kulit

Menurut Mitsui (1997), kulit terdiri dari beberapa fungsi, yaitu:

a. Proteksi

Serabut elastis pada dermis serta jaringan lemak subkutan berfungsi mencegah trauma mekanik langsung terhadap tubuh bagian dalam. Lapisan tanduk menjaga kadar air dengan mencegah masuknya air dari luar tubuh danmencegah penguapan air, serta sebagai barrier terhadap racun dari luar.

b. Termoregulasi

Temperatur tubuh diatur dengan mekanisme dilatasi dan konstriksi pembuluh kapiler dan melalui respirasi. Vasokonstriksi terjadi saat temperatur badan menurun, sedangkan vasodilatasi terjadi saat temperatur badan meningkat

(29)

sehingga penguapan menjadi lebih banyak dan mengakibatkan tubuh terasa dingin.

c. Persepsi sensoris

Kulit memiliki tanggung jawab sebagai indera terhadap adanya rangsangan dari luar yang diterima oleh reseptor-reseptor kemudian diteruskan ke sistem saraf pusat yang selanjutnya diinterpretasi oleh korteks serebri. Reseptor- reseptor yang berperan terhadap adanya rangsangan tersebut, antara lain Meissner sebagai reseptor raba, Pacini sebagai reseptor tekanan, Ruffini dan Krauss sebagai reseptor suhu, dan Nervus End Plate sebagai reseptor nyeri.

d. Absorbsi

Absorbsi pada kulit dapat melalui epidermis dan melalui kelenjar sebasea.

Penetrasi ke dalam kulit, dapat melalui antara sel-sel stratum corneum, dinding- dinding saluran folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea, dan menembus sel-sel stratum corneum. Bahan-bahan yang mudah larut dalam lemak akan lebih mudah diabsorbsi dibandingkan dengan air ataupun bahan yang dapat larut dalam air.

e. Fungsi lain

Kulit mampu berfungsi sebagai alat untuk menggambarkan status emosional seseorang dengan memerah, memucat maupun kontraksi otot penegak rambut.

2.3.4 Klasifikasi kulit

Menurut Tranggono dan Latifah (2007), pada umumnya, keadaan kulit dibagi menjadi 3 jenis kulit yaitu:

a. kulit kering b. kulit normal

(30)

c. kulit berminyak

Kulit kering merupakan kulit dengan kadar air kurang, kulit normal adalah kulit dengan kadar air yang tinggi dan kadar minyak rendah sampai normal, sedangkan kulit berminyak adalah kulit dengan kadar minyak dan air yang tinggi (Tranggono dan Latifah, 2007).

Ciri-ciri yang terlihat pada kulit kering yaitu kulit kusam, bersisik, mulai tampak kerutan-kerutan , dan pori-pori tidak kelihatan. Ciri-ciri yang terlihat pada kulit normal yaitu kulit tampak segar dan cerah, cukup tegang dan bertekstur halus, pori-pori kelihatan, tetapi tidak terlalu besar, dan kadang kelihatan berminyak di daerah dahi, dagu, dan hidung. Ciri- ciri yang terlihat pada kulit berminyak yaitu tekstur kulit kasar dan berminyak, pori-pori besar, dan mudah kotor dan berjerawat (Tranggono dan Latifah, 2007).

2.4 Skin Aging (Penuaan Kulit)

Seiring bertambahnya usia, manusia pasti akan mengalami penuaan.

Proses penuaan ini terlihat pada terbentuknya kerutan atau keriput pada kulit atau terjadinya kemunduran kondisi dan fungsi kulit. Proses penuaan dapat terjadi secara alami dan penuaan akibat kerusakan baik anatomi maupun fisiologi pada semua organ tubuh, mulai dari pembuluh darah hingga kulit (Tranggono dan Latifah, 2007).

Aging (penuaan) adalah proses yang dialami oleh tubuh dimana fungsi bagian-bagian tubuh semakin berkurang, misalnya kulit yang semakin menipis dan kemudian muncul keriput (Waluyo dan Putra, 2010).

Penuaan kulit merupakan proses alami yang tidak dapat dihindari oleh semua makhluk hidup. Perubahan akibat proses penuaan yang terjadi pada kulit

(31)

dapat dibagi atas perubahanan anatomis, fisiologis, serta kimiawi. Perubahan anatomis terlihat langsung pada hilangnya elastisitas dan fleksibilitas kulit sehingga menyebabkan timbulnya keriput dan kerut, epidermis kering dan pecah- pecah, penebalan kulit, hiperpigmentasi, tumor kulit, dan sebagainya (Tranggono dan Latifah, 2007).

Banyak faktor luar yang mempengaruhi penuaan kulit, yang paling utama ialah sinar matahari (sinar UV). Paparan sinar matahari yang berlebihan merupakan salah satu faktor penyebab menurunnnya produksi kolagen dalam dermis kulit, karena paparan sinar matahari yang berlebihan pada kulit menyebabkan munculnya enzim proteolisis dari radikal bebas yang terbentuk.

Enzim inilah yang selanjutnya akan merusak kulit, menghancurkan kolagen, dan jaringan penghubung yang ada dibawah kulit dermis. Sehingga paparan cahaya UV yang berlebihan menyebabkan proses penuaan pada kulit berlangsung cepat (Muliyawan dan Suriana, 2013).

Menurut Tranggono dan Latifah (2007), kulit yang sering terpapar sinar matahari cenderung lebih cepat kering, keriput, dan kasar. Kulit kering disebabkan oleh menurunnya fungsi kelenjar minyak kulit (kelenjar sebasea).

Keriput disebabkan oleh berkurangnya kadar air kulit dan mengeringnya serabut kolagen serta elastin. Penurunan kecepatan metabolisme sel basal dan proses keratinisasi mengakibatkan regenerasi sel-sel epidermis menjadi lambat.

2.4.1 Tanda-tanda penuaan

Menurut Wasitaatmadja (1997), tanda-tanda penuaan kulit yaitu:

1. Kulit menjadi kering akibat dari berkurangnya aktivitas kelenjer minyak dan keringat kulit serta penurunan kemampuan kulit untuk menahan air didalam sel kulit (sawar kulit).

(32)

2. Kulit menjadi tipis akibat berkurangnya kemampuan untuk membentuk sel baru di lapisan kulit.

3. Kulit terasa kasar, kusam dan bersisik akibat berkurangnya kemampuan kulit untuk melepaskan sel kulit lama untuk diganti sel kulit baru.

4. Kulit menjadi kendor dan tidak elastis akibat menurunnya kemampuan serat kulit terutama kolagen, sehingga menimbulkan kerut dan gelambir.

5. Warna kulit bercak-bercak akibat berkurangnya daya pigmentasi sel melanosit dan daya distribusi melanin keseluruh lapisan kulit.

6. Terjadinya kelainan kulit, bila gangguan tersebut terjadi lebih banyak dan lebih jelas.

7. Pori-pori membesar akibat penumpukan sel kulit mati (Noormindhawati, 2013).

2.4.2 Usaha menghambat proses skin aging (penuaan kulit)

Proses penuaan kulit dapat diperlambat sehingga menyebabkan sebagian orang berusaha melakukan berbagai upaya untuk menghambat penuaan kulit.

Menurut Wasitaatmadja (1997), berbagai usaha dapat dilakukan untuk menghambat/memperlambat terjadinya penuaan kulit, yaitu:

1. Melakukan perawatan kulit secara baik dan benar.

2. Melindungi kulit terhadap faktor-faktor penyebab kulit menua salah satunya terhadap sinar UV dengan menggunakan tabir surya dan hindari pajanan sinar matahari.

3. Memberikan suplemen vitamin dan mineral yang diperkirakan dapat mengikat gugus radikal bebas misalnya vitamin A, B, C, E, dan mineral.

4. Melakukan kegiatan olah raga, agar proses metabolisme sel dalam tubuh bisa terus berjalan lancar.

(33)

2.5 Skin Anti-Aging (Anti Penuaan Kulit)

Skin anti-aging atau anti penuaan kulit adalah sediaan yang berfungsi menghambat proses kerusakan pada kulit (degeneratif), sehingga mampu menghambat timbulnya tanda-tanda penuaan pada kulit. Produk-produk yang popular digunakan untuk menghambat proses penuaan dini adalah produk skin anti-aging (Muliyawan dan Suriana, 2013).

2.5.1 Fungsi dan manfaat skin anti-aging

Fungsi dari produk skin anti-aging adalah menyuplai antioksidan bagi jaringan kulit, menstimulasi proses regenerasi sel-sel kulit, menjaga kelembapan dan elastisitas kulit, merangsang produksi kolagen, dan UV-protection melindungi kulit dari radiasi ultraviolet sehingga kulit jauh dari tanda-tanda penuaan dini (Muliyawan dan Suriana, 2013).

Manfaat dari produk skin anti-aging adalah mencegah kulit dari kerusakan degeneratif, kulit tampak lebih sehat, cerah, dan awet muda, dan kulit tampak kenyal, elastis, dan jauh dari tanda-tanda penuaan dini seperti kurangnya kelembapan kulit, pori-pori membesar, terdapat noda hitam diwajah dan terlihat keriput/kerutan diwajah (Muliyawan dan Suriana, 2013).

2.6 Nanoemulsi

Nanoemulsi disebut sebagai emulsi dengan ukuran globul yang sangat kecil. Nanoemulsi memiliki ukuran kurang dari 1000 nm. Nanoemulsi dapat memiliki stabilitas kinetik yang tinggi dan transparan serta memiliki stabilitas lebih dari beberapa bulan atau bahkan lebih dari beberapa tahun karena adanya misel surfaktan sebagai penstabil (Fanun, 2010; Patel dkk., 2013).

(34)

Ukuran globul nanoemulsi yang sangat kecil menyebabkan sediaan terlihat transparan. Biasanya nanoemulsi encer, sedikit tanda ketidakstabilan dapat dengan mudah terlihat. Ukuran globul yang sangat kecil menyebabkan penurunan gaya gravitasi yang besar dan gerak brown yang dapat mencegah terjadinya sedimentasi atau creaming sehingga dapat meningkatkan stabilitas fisik. Ukuran globul yang kecil pun dapat mencegah flokulasi. Nanoemulsi dapat menghasilkan tegangan permukaan yang sangat rendah dan luas permukaan yang besar antara fase minyak dan air (Fanun, 2010).

Jenis dan konsentrasi surfaktan dalam fase air dipilih untuk memberikan stabilitas yang baik untuk mencegah koalesen. Umumnya sediaan nanoemulsi memiliki komponen eksipien yang digunakan seperti minyak, surfaktan, dan kosurfaktan. Pemilihan eksipien pada nanoemulsi tidak boleh mengiritasi dan sensitif terhadap kulit. Minyak adalah komponen penting dalam formulasi nanoemulsi karena dapat melarutkan bahan aktif lipofilik. Surfaktan non ionik umumnya digunakan karena memiliki toksisitas yang rendah dibandingkan dengan surfaktan ionik. Penggunaan surfaktan saja tidak cukup untuk mengurangi tegangan antarmuka antara minyak-air, sehingga perlu kosurfaktan untuk membantu menurunkan tegangan antamuka. Kosurfaktan juga dapat meningkatkan mobilitas ekor hidrokarbon sehingga penetrasi minyak pada bagian ekor menjadi lebih besar (Gupta dkk., 2010).

Pembentukan nanoemulsi memerlukan pemasukkan energi. Energi tersebut diperoleh dari peralatan mekanik ataupun potensi kimiawi yang terdapat dalam komponen (Solan dkk., 2005). Emulsi akan terbentuk secara spontan pada penambahan minyak dan surfaktan ke dalam air karena tegangan antarmuka yang rendah akibat jumlah surfaktan yang besar. Sistem yang

(35)

terbentuk secara spontan merupakan sistem yang stabil secara termodinamika (Gupta dkk., 2010). Berikut adalah bahan-bahan yang digunakan dalam formulasi dasar nanoemulsi yang dilakukan oleh peneliti:

Tween 80

Gambar 2.2 Rumus bangun tween 80 (Rowe dkk., 2009).

Tween 80 merupakan salah satu surfaktan non ionik yang pemeriannya berupa larutan minyak berwarna kuning, memiliki nilai HLB 15. Polisorbat stabil pada elektrolit, asam lemah, dan basa. Reaksi penyabunan bertahap dapat terjadi dalam lingkungan pH asam kuat dan basa. Polisorbat biasa digunakan dalam kosmetik, produk makanan, formulasi oral, parenteral, dan topikal dan umumnya dianggap sebagai material yang tidak toksik dan tidak mengiritasi (Rowe dkk.

, 2009).

Etanol 96%

Gambar 2.3 Rumus bangun etanol 96% (Rowe dkk., 2009).

Etanol dari berbagai konsentrasi banyak digunakan dalam formulasi farmasetika dan kosmetik. Meskipun etanol lebih sering digunakan sebagai pelarut, etanol juga bisa digunakan sebagai desinfektan dan juga sebagai pengawet antimikroba. Larutan topikal etanol dikembangkan sebagai peningkat penetrasi sistem penghantaran obat secara transdermal. Etanol juga digunakan sebagai kosurfaktan dalam preparasi sampel transdermal (Rowe dkk., 2009).

(36)

Propilen glikol

Gambar 2.4 Rumus bangun propilen glikol (Rowe dkk., 2009).

Propilen glikol digunakan sebagai humektan, pelarut, stabilizer untuk vitamin, kosolven, plasticizer, desinfektan, dan pengawet. Propilen glikol merupakan pelarut yang lebih baik dibandingkan dengan gliserin dan dapat melarutkan berbagai materi seperti kortikosteroid, fenol, sulfa, barbiturat, vitamin A dan D, alkaloid, obat-obatan anestesi lokal. Aktivitas antiseptiknya setara dengan etanol dan dapat menghambat pertumbuhan jamur. Propilen glikol biasa digunakan dalam formulasi farmasetika dan secara umum dianggap sebagai material yang nontoksik. Konsentrasi propilen glikol sebagai pelarut dan kosolven pada penggunaan topikal ialah 5-80%. Propilen glikol juga dapat digunakan untuk meningkatkan efikasi dari paraben sebagai bahan pengawet (Rowe dkk., 2009).

Metil paraben

Gambar 2.5 Rumus bangun metil paraben (Rowe dkk., 2009).

Metil paraben secara luas digunakan sebagai bahan pengawet antimikroba dalam kosmetik, produk makanan, dan formulasi farmasetika. Metil paraben dapat digunakan baik sendiri atau dalam kombinasi dengan paraben atau dengan agen antimikroba lainnya. Dalam kosmetik, metil paraben adalah pengawet antimikroba yang paling sering digunakan. Metil paraben digunakan pada sediaan

(37)

yang mengandung air. Paraben efektif pada rentang pH yang luas dan memiliki aktivitas spektrum antimikroba yang luas. Kekuatan pengawet dapat meningkat dengan penambahan propilen glikol sebanyak 2-5%, atau dengan menggunakan paraben dalam kombinasi dengan agen antimikroba lainnya seperti imidurea.

Larut 1:2 dalam etanol, 1:400 dalam air, 1:50 dalam air dengan suhu 50oC, 1:30 dalam air dengan suhu 80oC, 1:5 dalam propilen glikol (Rowe dkk., 2009).

Propil paraben

Gambar 2.6 Rumus bangun propil paraben (Rowe dkk., 2009).

Propil paraben digunakan secara luas sebagai pengawet antimikroba pada kosmetik, produk makanan, dan formulasi farmasetika. Dapat digunakan tunggal, kombinasi dengan ester paraben lain umumnya metil paraben, atau antimikroba lain. Pada kosmetik, propil paraben merupakan pilihan kedua yang sering digunakan sebagai pengawet. Penggunaan topikal propil paraben berkisar antara 0,01-0,6%. Sangat larut dalam aseton, larut 1:1,1 dalam etanol, 1:3,9 dalam propilen glikol, 1:2500 dalam air (Rowe dkk., 2009).

Butil Hidroksitoluen (BHT)

Gambar 2.7 Rumus bangun butil hidroksitoluen (Rowe dkk., 2009).

Butil hidroksitoluen (BHT) digunakan sebagai antioksidan dalam kosmetik, makanan, dan sediaan farmasetika. BHT terutama digunakan untuk

(38)

mencegah bau tengik dari oksidasi lemak dan minyak dan untuk mencegah hilangnya aktivitas vitamin yang larut dalam minyak. Konsentrasi penggunaannya dalam sediaan topikal adalah 0,0075-0,1%. Larut dalam aseton, benzena, etanol 95%, eter, metanol, toluena, minyak, dan paraffin cair (Rowe dkk., 2009).

Minyak kelapa sawit

Minyak kelapa sawit diperoleh dari pengolahan buah kelapa sawit. Secara garis besar buah kelapa sawit terdiri dari serabut buah (pericarp) dan inti (kernel).

Serabut buah kelapa sawit terdiri dari tiga lapis yaitu lapisan luar atau kulit buah yang disebut pericarp, lapisan sebelah dalam disebut mesocarp atau pulp dan lapisan paling dalam disebut endocarp. Inti kelapa sawit terdiri dari lapisan kulit biji (testa), endosperm dan embrio. Mesocarp mengandung kadar minyak rata-rata sebanyak 56%, inti (kernel) mengandung minyak sebesar 44%, dan endocarp tidak mengandung minyak. Minyak kelapa sawit seperti umumnya minyak nabati lainnya adalah merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, sedangkan komponen penyusunnya yang utama adalah trigliserida dan nontrigliserida (Pasaribu, 2004). Berdasarkan penelitian dikatakan bahwa minyak kelapa sawit memiliki waktu pecah emulsi yang besar sehingga dapat disimpulkan penggunaan minyak kelapa sawit membuat emulsi lebih stabil daripada penggunaan minyak yang lain (Primahadi, 2006).

VCO (Virgin Coconut Oil).

Virgin Coconut Oil atau VCO merupakan minyak yang dihasilkan dari buah kelapa segar. VCO dihasilkan tidak melalui penambahan bahan kimia atau proses pemanasan tinggi. VCO mengandung banyak asam lemak rantai menengah (Medium Chain Fatty Acid). Kandungan asam lemak rantai menengah yang paling banyak terkandung dalam VCO adalah asam laurat ( Timoti, 2005). VCO dapat

(39)

bermanfaat dalam pengobatan berbagai jenis penyakit berbahaya seperti kanker dan HIV/AIDS, karena di dalam coconut oil terdapat kandungan senyawa penting yaitu Medium Chain Triglycerides (MCT) yang berperan sebagai zat aktif penyerang penyakit (Timoti, 2005).

MCT sangat stabil pada suhu yang sangat rendah dan tinggi. MCT tidak mengalami polimerisasi atau penghitaman (perubahan warna) akibat penambahan panas. Sebaliknya, sebagian besar minyak nabati apabila dipanaskan pada suhu tinggi, akan menjadi kental. Sedangkan MCT masih berwujud cairan jernih dan tidak mengental meskipun pada suhu yang sangat rendah, yaitu 0°C (Syah &

Sumangat, 2005). VCO juga mengandung Medium Chain Fatty Acid (MCFA) dimana MCFA ini dapat merangsang pembentukan kolesterol baik di dalam tubuh, sehingga VCO dapat bermanfaat mengurangi penumpukan kolesterol di dalam darah yang dapat menyebabkan obesitas dan penyakit jantung (Timoti, 2005).

(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang meliputi pengumpulan bahan tumbuhan, pengolahan sampel, identifikasi tumbuhan, skrining fitokimia, karakteristik simplisia, pembuatan ekstrak etanol, formulasi sediaan, evaluasi stabilitas meliputi pengamatan organoleptis, pemeriksaan homogenitas, penentuan pH, penentuan tipe emulsi sediaan, penentuan bobot jenis, penentuan viskositas, uji sentrifugasi, pengukuran tegangan permukaan, penentuan ukuran partikel sediaan nanoemulsi, uji iritasi dan penentuan efektivitas anti-aging dari sediaan terhadap kulit sukarelawan. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fitokimia, Laboratorium Farmasi Fisik, Laboratorium Kosmetologi, Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi dan Laboratorium Sentral Universitas Padjajaran Bandung.

3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat - alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah neraca analitik (Ohrus), magnetic stirrer (WINA Instrument), hotplate (Fisons), sonikator (Branson), viskometer Brookfield DV-E, pH meter (Hanna Instrument), alat sentrifugasi (Hitachi CF 16 R X II), piknometer (Pyrex), tensiometer Du Nouy, Vascoγ , skin analyzer (Aramo SG), moisture checker (Aramo SG), particle size analyzer Beckman Coulter LS 13 320, lumpang dan alu, dan alat-alat gelas laboratorium.

3.1.2 Bahan - bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah ekstrak bawang dayak (Eluetherine palmifolia L. (Merr.)), Tween 80, etanol 96%, metil paraben, propil paraben,

(41)

minyak VCO, minyak kelapa sawit, asam oleat, BHT, aqua destilata, dapar pH asam 4,01 (Hanna Instrument), dapar pH netral 7,01 (Hanna Instrument), span 80, propilen glikol, CMC Na, gliserin.

3.2 Sukarelawan

Sukarelawan yang dijadikan panel pada uji iritasi dan anti-aging sediaan berjumlah 6 orang dari kriteria sebagai berikut :

1. Wanita berkulit sehat 2. Usia antara 20-30 tahun

3. Tidak ada riwayat penyakit yang berhubungan dengan alergi saat pengujian 4. Bersedia menjadi sukarelawan (Ditjen POM,1985).

3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Sampel Tumbuhan 3.3.1.1 Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara purposif, yaitu tanpa membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain. Sampel yang digunakan adalah bawang dayak (Eluetherine palmifolia L. (Merr.)) yang diambil dari Desa Sahan Dusun melayang, Kecamatan Seluas, Kabupaten Pas Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat.

3.3.1.2 Identifikasi tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor.

(42)

3.3.1.3 Pembuatan simplisia

Bawang dayak dibersihkan dari kotoran, dicuci dengan air mengalir,ditiriskan, kemudian dipotong menjadi bagian-bagian kecil dan ditimbang sebagai berat basah. Bawang dayak kemudian dikeringkan di lemari pengering pada suhu ±40°C sampai kering (ditandai bila diremas rapuh), lalu ditimbang sebagai berat kering. Sampel yang telah kering dihaluskan dan disimpan dalam wadah plastik untuk mencegah pengaruh lembab dan pengotor lainnya.

3.3.1.4 Karakteristik Simplisia

Karakteristik simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik, mikroskopik, penetapan kadar air (WHO, 1992), penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu tidak larut dalam asam, penetapan kadar sari yang larut dalam air dan penetapan kadar sari yang larut dalam etanol (Depkes RI, 1995).

3.3.1.5 Pemeriksaan makroskopik simplisia

Pemeriksaan makroskopik simplisia bawang dayak dan simplisia yang meliputi pemeriksaan bentuk, ukuran, warna, bau dan rasa.

3.3.1.6 Pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia

Pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia bawang dayak. Serbuk simplisia diletakkan pada objek glass yang telah ditetesi larutan kloralhidrat, ditutup dengan kaca penutup, lalu diamati dibawah mikroskop.

3.3.1.7 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluen).

Alat terdiri dari labu alas bulat 500 ml, alat penampung, pendingin, tabung penyambung dan tabung penerima 10 ml.

(43)

a. Penjenuhan toluen

Sebanyak 200 ml toluen dan 2 ml akuades dimasukkan kedalam labu alas bulat, dipasang alat penampung dan pendingin, didestilasi selama 2 jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama 30 menit, kemudian volume air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 ml.

b. Penetapan kadar air simplisia

Dimasukkan 5 gram simplisia yang telah ditimbang ke dalam labu tersebut, labu dipanaskan selama 15 menit. Toluen mulai mendidih, kecepatan tetesan diatur 2 tetes untuk tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan tetesan dinaikkan sampai 4 tetes untuk tiap detik. Semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan dingin sampai suhu kamar.

Air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml.

Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat di dalam sampel. Kadar air dihitung dalam persen terhadap berat sampel yang telah dikeringkan (WHO, 1992).

3.3.1.8 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 gram serbuk simplisia yang telah digerus, ditimbang, dimasukkan ke dalam kurs porselen yang terlebih dahulu telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Kurs dipijarkan sampai bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995).

3.3.1.9 Penetapan kadar abu tidak larut asam

Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu dididihkan dengan 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut asam dikumpulkan, disaring dengan kertas saring bebas abu, dicuci dengan air panas. Residu dan

(44)

kertas saring dipijar sampai bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995).

3.3.1.10 Penetapan kadar sari larut air

Sebanyak 5 gram serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air hingga 1 liter) menggunakan labu bersumbat sambil dikocok sekali-kali selama 6 jam pertama, dibiarkan selama 18 jam dan disaring. Sebanyak 20 ml filtrat diuapkan dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam air dihitung dalam persen terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

3.3.1.11 Penetapan kadar sari larut etanol

Sebanyak 5 gram serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml etanol(96%) menggunakan labu bersumbat sambil dikocok selama 6 jam pertama, dibiarkan selama 18 jam. Disaring dengan cepat untuk mencegah penguapan etanol. Diambil 20 ml filtrat dan diuapkan dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam etanol dihitung dalam persen terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

3.3.2 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia serbuk simplisia meliputi pemeriksaan senyawa alkaloid, glikosida, saponin, flavonoid, tanin serta triterpenoid/steroid.

3.3.2.1 Pemeriksaan alkaloid

Sebanyak 0,5 gram serbuk simplisia ditimbang, ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml akuades, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan berikut:

(45)

a. diambil 0,5 ml filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer, akan terbentuk endapan berwarna putih/kuning.

b. diambil 0,5 ml filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat, akan terbentuk endapan berwarna coklat sampai kehitaman.

c. diambil 0,5 ml filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff, akan terbentuk endapan berwarna coklat atau jingga kecoklatan.

Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan paling sedikit dua dari tiga percobaan di atas (Depkes RI, 1995).

3.3.2.2 Pemeriksaan glikosida

Sebanyak 3 gram serbuk simplisia ditimbang, disari dengan 30 ml campuran dari 7 bagian etanol 95% dan 3 bagian akuades, ditambahkan asam klorida 2 N hingga pH larutan 2, direfluks selama 10 menit, dinginkan dan disaring. Diambil 20 ml filtrat, kemudian ditambahkan 25 ml akuades dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M dikocok dan didiamkam selama 5 menit, lalu disaring.

Filtrat diekstraksi dengan 20 ml campuran kloroform dan isopropanol (3:2), ini dilakukan sebanyak tiga kali. Kumpulan sari air diuapkan pada temperature tidak lebih dari 50oC, sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Larutan ini digunakan untuk percobaan berikut: larutan sisa dimasukkan ke dalam tabung reaksi, diuapkan di atas penangas air, sisanya ditambah 2 ml air dan 5 tetes pereaksi Molisch kemudian ditambah 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung.

Cincin ungu akan terbentuk menunjukkan adanya gula (Depkes RI, 1995).

3.3.2.3 Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 gram serbuk simplisia dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 ml air panas dan disaring. Larutan atau filtratnya diambil masukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik,

(46)

jika terbentuk buih yang stabil pada tabung reaksi selama tidak kurang dari 10 menit dengan tinggi buih 1-10 cm serta dengan penambahan beberapa tetes asam klorida 2 N buih tidak hilang menunjukkan adanya saponin (Depkes RI, 1995).

3.3.2.4 Pemeriksaan flavonoid

Sebanyak 10 gram serbuk simplisia ditambahkan 10 ml air panas, dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas, ke dalam 5 ml filtrat ditambahkan 0,1 gram serbuk magnesium, 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoid positif jika terjadi warna merah atau kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol (Farnsworth, 1966).

3.3.2.5 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 gram serbuk simplisia ditimbang, disari dengan 10 ml akuades selama 15 menit lalu disaring. Filtrat diencerkan dengan akuades sampai tidak berwarna. Larutan diambil sebanyak 2 ml dan ditambahkan 1-2 tetes larutan pereaksi besi (III) klorida 10%. Larutan akan terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966).

3.3.2.6 Pemeriksaan triterpenoid/steroid

Sebanyak 1 gram serbuk simplisia, direndam dengan 20 ml n-heksana selama 2 jam lalu disaring, filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Sisanya ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard (LB), munculnya warna merah ungu atau hijau biru menunjukkan adanya triterpenoid/steroid (Harborne, 1987).

3.3.3 Pembuatan Ekstrak Sampel

Pembuatan ekstrak bawang dayak (Eluetherine palmifolia L. (Merr.)) dilakukan secara maserasi dengan menggunakan pelarut etanol 96% menurut Ditjen POM RI., (1979). Pembuatan ekstrak dilakukan secara maserasi

Referensi

Dokumen terkait

Khasiat bawang dayak ( Eleutherine palmifolia ) sebagai antibakteri telah dibuktikan oleh Mierza (2011), bahwa ekstrak bawang dayak dengan pelarut etanol menggunakan

Merr sebagai agen antikanker baik secara in vitro, in vivo maupun in silico berfungsi untuk mengetahui efektivitas ekstrak etanol 96% umbi bawang dayak Eleutherine palmifolia L..

Karakterisasi formula SNEDDS Ekstrak Bawang Dayak dengan variasi perbandingan surfaktan, ko-surfaktan dengan minyak pembawa kaprilat, menghasilkan bahwa keseluruhan formula

Kerangka konsep yang akan dilakukan penelitian tentang efektivitas ekstrak umbi bawang dayak (Eleutherine palmifolia merr.) sebagai penghambat jamur Pityrosporum ovale

Pengaruh Ekstrak Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.)Merr.) Terhadap Persentase Kerusakan Pulau Langerhans Pankreas Tikus (Rattus norvegicus strain wistar)

Hasil uji aktivitas antiinflamasi menunjukkan bahwa ekstrak bawang dayak yang memiliki aktivitas antiinflamasi paling tinggi adalah pada ekstrak konsentrasi 0,08% yaitu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa krim yang mengandung zat aktif ekstrak limbah daun bawang dayak dapat digunakan sebagai krim antiaging dengan emulgator anionik dan

Zona hambatan yang terbentuk pada semua kelompok perlakuan ekstrak etanol daun bawang dayak ini menunjukkan bahwa terdapat daya hambat terhadap pertumbuhan