17
Bab ini akan dikaitkan dengan Teori Perubahan Kelembagaan.
Perubahan kelembagaan bisa pula muncul dari perubahan tuntutan
pemilih (demand of constituents) atau perubahan kekuasaan pemosok kelembagaan (suppliers of insitutions), yaitu aktor pemerintah. Tuntutan pemilih tersebut dapat mengubah kelembagaan dengan
berbagai alasan.1 Dengan begitu, kelembagaan pasti akan berubah sesuai dengan tantangan atau kondisi zaman. Pada titik ini, perubahan
kelembagaan memiliki perubahan konfigurasi antara pelaku ekonomi
akan memicu terjadinya perubahan kelembagaan (institutional
change).2
Salah satu hubungan hukum yang selalu tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat yaitu dalam bidang perekonomian. Sri Redjeki
Hartono3 mengemukakan bahwa kegiatan ekonomi dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi, baik orang perorangan yang menjalankan
1 Ahmad Erani Yustika, Op. Cit., h. 162. 2 Ibid., h. 160.
perusahaan maupun badan-badan usaha yang mempunyai kedudukan
sebagai badan hukum atau bukan badan hukum. Berbagai hubungan
hukum dalam bidang perekonomian pada umumnya didasarkan pada
perjanjian. Dengan berkembangnya masyarakat, hukum perjanjian pun
senantiasa berkembang, terlebih lagi dengan makin pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta munculnya era
globalisasi, yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian,
khususnya di bidang bisnis. Salah satu perjanjian yang banyak
diperhatikan oleh masyarakat adalah perjanjian dalam bidang
pembiayaan untuk penyediaan barang modal.4
Sesuai dengan itu maka dalam pembahasan Bab II ini penulis
akan mengemukakan argument tersebut dimulai dengan menjelaskan
lebih dahulu sejarah jelas mengenai tentang beberapa konsep sewa
guna usaha atau yang di kenal dengan istilah leasing yang di kemukakan oleh beberapa pendapat yang penulis akan uraikan. Hal ini
akan di uraikan tentang sistem pengaturan leasing seperti apa, sejarah
leasing dan mekanisme dan syarat-syarat apa saja dalam sewa guna
usaha (leasing). Untuk melihat bahwa salah satu alternative pembiayaan untuk memperkuat struktur finansial atau memperluas
usaha barang modal dengan menggunakan jasa lembaga pembiayaan.
Dalam hal ini kegiatan sewa guna usaha atau leasing yang merupakan salah satu solusi yang akan membantu dalam kebutuhan modal kerja
khususnya pengadaan barang-barang modal yang akan datang. Penulis
akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian dan pengaturan,
keunggulan dan kelemahan, serta unsur-unsur sewa guna usaha, serta
syarat-syarat dan mekanisme dalam sewa guna usaha (leasing).
A.
Konsep Kelembagaan
Kelembagaan, institusi, pada umumnya lebih di arahkan kepada
organisasi, wadah atau pranata. Organisasi berfungsi sebagai wadah
atau tempat, sedangkan pengertian lembaga mencakup juga aturan
main, etika, kode etik, sikap dan tingkah laku seseorang atau suatu
organisasi atau suatu sistem. Kelembagaan berasal dari kata lembaga,
yang berarti aturan dalam organisasi atau kelompok masyarakat untuk
membantu anggotanya agar dapat berinteraksi satu dengan yang lain
untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selain itu lembaga juga dapat
diartikan sebagai aturan dalam sebuah kelompok social yang sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor social, politik dan ekonomi.5
Kelembagaan adalah sebagai aturan main (rule of the game) dalam masyarakat. Aturan main tersebut mencakup regulasi yang
memaparkan masyarakat untuk melakukan interaksi. Kelembagaan
dapat mengurangi ketidakpastian yang inheren dalam interaksi manusia
melalui penciptaan pola prilaku. Termaksud dalam kelembagaan adalah
efektivitas penegakan hak kepemilikan (property right), kontrak dan jaminan formal, trademarks, limited liability, regulasi kebangkrutan, organisasi koperasi besar dengan struktur tata kelola yang membatasi
persoalan-persoalan agency.6
5 http://mardianpratama10.blogspot.co.id/, di kunjungi pada tanggal 19 juli pukul 10. 29.
Sebagai abstraksi, Challen mengungkapkan beberapa karakteristik umum dari kelembagaan, yaitu:7
a. Kelembagaan secara social diorganisasi dan di dukung (Scott,
1989), yang biasanya kelembagaan membedakan setiap rintangan-rintangan atas perilaku manusia, misalnya halangan
biologis (biological constraints) dan rintangan fisik (physical
constraints).
b. Kelembagaan adalah aturan-aturan formal dan konvensi
informal, serta tata perilaku (codes of behavior) (North, 1990). c. Kelembagaan secara perlahan-lahan berubah atas
kegiatan-kegiatan yang telah dipandu maupun dihalangi.
d. Kelembagaan juga mengatur larangan-larangan (prohibitions) dan persyaratan-persyaratan (conditional permissions) (North, 1990)
Ada berbagai konsep kelembagaan yang disampaikan oleh ahli dari
berbagai bidang lembaga adalah:8
a. Aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi
yang memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk
membantu mereka dengan harapan di mana setiap orang dapat
bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk
mencapai tujuan bersama yang diinginkan (Ruttan dan
Hayami, 1984) aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk
7Ibid., h. 27.
mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling
tergantung satu sama lain.
b. Penataan institusi (institutional arrangements) dapat ditentukan oleh beberapa unsur: aturan operasional untuk
pengaturan pemanfaatan sumber daya, aturan kolektif untuk
menentukan, menegakkan hukum atau aturan itu sendiri dan
untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan
kewenangan organisasi (Ostrom, 1985; 1986).
c. Suatu himpunan atau tatanan norma-norma dan tingkah laku
yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani
tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Institusi di
tekankan pada norma-norma prilaku, nilai budaya dan adat
istiadat (Uphoff, 1986).
d. Sekumpulan batasan atau faktor pengendali yang mengatur
hubungan perilaku antara anggota atau antar kelompok.
Dengan definisi ini kebanyakan organisasi umumnya adalah
institusi karena organisasi umumnya mempunyai aturan yang
mengatur hubungan antar anggota maupun dengan orang lain
di luar organisasi itu (Nabli dan Nugent, 1989).
e. Aturan main di dalam suatu kelompok sosial dan sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik.
Institusi dapat berupa aturan formal atau dalam bentuk kode
etik informal yang disepakati bersama. North membedakan
antara institusi dari organisasi dan mengatakan bahwa institusi
adalah aturan main sedangkan organisasi adalah pemainnya
f. Mencakup penataan institusi (institutional arrangement) untuk memadukan organisasi dan institusi. Penataan institusi adalah
suatu penataan hubungan antara unit-unit ekonomi yang
mengatur cara unit-unit ini apakah dapat bekerjasama dan atau
berkompetisi. Dalam pendekatan ini organisasi adalah suatu
pertanyaan mengenai aktor atau pelaku ekonomi di mana ada
kontrak atau transaksi yang dilakukan dan tujuan utama
kontrak adalah mengurangi biaya transaksi (Williamson, 1985).
g. Umumnya definisi lembaga mencakup konsep pola perilaku
sosial yang sudah mengakar dan berlangsung terus menerus
atau berulang. Dalam hal ini sangat penting diperhatikan
bahwa perilaku sosial tidak membatasi lembaga pada peraturan
yang mengatur perilaku tersebut atau mewajibkan orang atau
organisasi untuk harus berpikir positif ke arah norma-norma.
b. Kelembagaan, institusi, pada umumnya lebih di arahkan
kepada organisasi, wadah atau pranata. Organisasi berfungsi
sebagai wadah atau tempat, sedangkan pengertian lembaga
mencakup juga aturan main, etika, kode etik, sikap dan
tingkah laku seseorang atau suatu organisasi atau suatu
sistem. Kelembagaan berasal dari kata lembaga, yang berarti
aturan dalam organisasi atau kelompok masyarakat untuk
membantu anggotanya agar dapat berinteraksi satu dengan
yang lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selain itu
kelompok social yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor
social, politik dan ekonomi.9
c. Kelembagaan adalah sebagai aturan main (rule of the game) dalam masyarakat. Aturan main tersebut mencakup regulasi
yang memaparkan masyarakat untuk melakukan interaksi.
Kelembagaan dapat mengurangi ketidakpastian yang inheren
dalam interaksi manusia melalui penciptaan pola prilaku.
Termaksud dalam kelembagaan adalah efektivitas penegakan
hak kepemilikan (property right), kontrak dan jaminan formal, trademarks, limited liability, regulasi kebangkrutan, organisasi koperasi besar dengan struktur tata kelola yang
membatasi persoalan-persoalan agency.10
Kelembagaan, adalah Organisasi berfungsi sebagai wadah atau
tempat, sedangkan pengertian lembaga mencakup juga aturan main,
(rule of the game) dalam masyarakat. Aturan main tersebut mencakup
regulasi yang memaparkan masyarakat untuk melakukan interaksi.
Dalam konteks yang lebih spesifik yaitu setiap peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang leasing. Pengertian leasing sebagai lembaga hukum sewa guna usaha (leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara finance lease maupun operating lease untuk digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.
Sewa guna usaha merupakan suatu kontrak atau persetujuan
sewa-menyewa antara lessor dengan lessee.
9 http://mardianpratama10.blogspot.co.id/, di kunjungi pada tanggal 19 juli pukul 10. 29.
B.
Konsep Sewa Guna Usaha (Leasing)
Konsep leasing yang di pergunakan di sini adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan atau
menyewakan barang-barang modal untuk digunakan oleh
perusahaan lain dalam jangka waktu tertentu dengan kriteria sebagai
pembiayaan perusahaan pembayaran sewa dilakukan secara berkala,
penyediaan barang-barang modal, disertai dengan hak pilih atau hak
opsi dan adanya nilai sisa yang disepakati.11
Berbicara mengenai leasing, maka tentu akan diperhadapkan pula tentang apa itu leasing. Pengertian mengenai leasing sangat pula berbeda-beda, hal ini didasari dari berbagai perbedaan pengertian
tentang leasing oleh banyak ahli. Walaupun secara sederhana apabila melihat dalam konteks yang terjadi di Indonesia sekarang bahwa
leasing merupakan suatu lembaga pembiayaan.
Menurut Subektiyang mengartikan leasing adalah “Perjanjian
sewa-menyewa yang telah berkembang di kalangan pengusaha, di mana lessor (pihak yang menyewakan, yang sering merupakan perusahaan leasing) menyewakan suatu perangkat alat perusahaan (mesin-mesin) termasuk servis, pemeliharaan dan lain-lain kepada lessee (penyewa) untuk jangka waktu
tertentu.”12
Berdasarkan pengertian leasing di atas, Subekti
menginstruksikan leasing tersebut sebagai berikut:13
1. Leasing sama dengan sewa-menyewa;
11 Sigit Triandaru dan Totok Budisantoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Jakarta Salemba Empat, 2006, h.190.
12 Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Bandung, Alumni, 1985, h. 55.
2. Subjek hukum yang terkait dalam perjanjian tersebut adalah
pihak lessor dan lessee;
3. Objeknya perangkat perusahaan termasuk pemeliharaan dan
lain- lain;
4. Adanya jangka waktu sewa.
Sedangkan menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan
mengatakan bahwa leasing adalah “suatu perjanjian
dimana si penyewa barang modal (lessee) menyewakan barang modal untuk usaha tertentu, untuk jangka waktu tertentu dan jumlah angsuran tertentu.”14
Defenisi yang dikemukakan oleh Sri Soedewi Masjchoen Sofwan memandang bahwa institusi leasing merupakan suatu kontrak atau perjanjian antara pihak lesse dan pihak lessor. Oleh kerena itu antara pihak lessor dan lesse terdapat hubungan hukum sewa menyewa. Objek yang disewa adalah barang modal. Jangka
waktu dan jumlah angsuran ditentukan oleh para pihak.
Lembaga pembiayaan diatur dalam Keputusan Presiden Nomor
61 Tanggal 20 Desember 1988, dan dijabarkan lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 Tanggal 20
Desember 1988 junc to Keputusan Menteri Keuangan Nomor 468/KMK.017/1995 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan
Lembaga Pembiayaan.15
Menurut pasal 1 ayat (2) Keputusan Presiden Tahun 1988, yang
di maksudkan dengan Lembaga Pembiayaan adalah:
14 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perjanjian, Gadjah Mada, Yogyakarta, 1988, h. 28.
“Badan Usaha yang melakukan kegiatann pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat.”16
Kata leasing berasal dari kata lease (bahasa inggris) yang berarti meyewakan. Oleh karena itu, maka yang di maksudkan dengan leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk
penyediaan atau menyewakan barang-barang modal untuk digunakan
oleh perusahaan lain dalam jangka waktu tertentu dengan kriteria
sebagai berikut.17
1. Pembayaran sewa dilakukan secara berkala;
2. Masa sewa guna usaha ditentukan minimal 1,3 tahun untuk
barang modal golongan II dan III dan minimal 7 tahun untuk
barang modal bangunan. Golongan jenis barang modal
tersebut sesuai ketentuan Pajak Penghasilan;
3. Disertai dengan hak opsi, yaitu hak dari persuahaan pengguna
barang modal untuk mengembalikan atau membeli barang
modal yang disewa pada akhir jangka waktu perjanjian
leasing.
Dari pengertian di atas, ada beberapa pihak yang terkait dengan
leasing ini, yaitu:18
1. Lesse, yaitu perusahaan pengguna barang;
16 Pasal 1 ayat (2) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 tahun 1988 tentang Pembiayaan.
2. Lessor, yaitu perusahaan lembaga pembiayaan atau penyandang dana;
3. Supplier, perusahaan penyedia barang; dan juga perusahaan
asuransi;
4. Perusahaan asuransi.
Secara umum sewa guna usaha merupakan suatu equipment
funding, yaitu suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk peralatan atau
barang modal pada perusahaan untuk digunakan dalam proses produksi.
Mengenai definisi sewa guna usaha ini ada banyak pendapat, berikut ini
adalah kutipan dari beberapa pendapat tersebut. The Equipment Leasing
Association di London, Inggris sebagaimana disitir oleh Amin Widjaja
Tunggal dan Arif Djohan Tunggal (1994, hlm.8) memberikan definisi sebagai berikut:19
“Leasing adalah perjanjian (kontrak) antara lessor dan
lesee untuk menyewa suatu jenis barang modal tertentu yang di pilih/ditentukan oleh lesse. Hak atas pemilikan barang modal tersebut ada pada lessor, Adapun lesee hanya menggunakan barang modal tersebut berdasarkan pembayaran uang sewa yang telah ditentukan dalam suatu jangka waktu tertentu.”20
Menurut Pasal 1 ayat (1) Surat Keputusan Bersama Menteri
Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan No. 122,
No. 32, No. 30 Tahun 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing, ditentukan bahwa yang dimaksud dengan leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang modal untuk
digunakan oleh suatu perusahaan dalam jangka waktu tertentu,
berdasrkan pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (opsi) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang modal yang
bersangkutan, atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasrkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.21
Adapun dalam Pasal 1 angka (9) Keppres No. 61 Tahun 1988
tentang Lembaga Pembiayaan ditentukan, bahwa perusahaan sewa
guna usaha (leasing company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara
finance lease maupun operating lease untuk digunakan oleh penyewa
guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasrkan pembayaran
secara berkala.22
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dalam pengertian sewa
guna usaha terkandung enam unsur, yaitu:23
d. Pembiayaan perusahaan. Pembiayaan di sini tidak dilakukan
dalam bentuk sejumlah dana, tetapi dalam bentuk peralatan atau
barang modal yang akan digunakan dalam proses produksi;
e. Penyedian barang modal. Peralatan atau barang modal ini
biasanya disedikan oleh pabrikan atau supplier atas biaya dari
lesser untuk di pergunakan oleh lesse;
f. Pembayaran sewa secara berkalah. lessee membayar harga barang modal kepada lessor secara angsuran, sebagai imbalan
penggunaan barang modal berdasarkan perjanjian sewa guna
usaha;
g. Jangka waktu tertentu, yaitu lamanya waktu sewa guna usaha
yang dimulai sejak diterimanya barang modal oleh lessee sampai dengan perjanjian sewa guna usaha;
h. Adanya hak pilih (opsi) bagi lessee. Pada akhir masa leasing,
lessee mempunyai hak untuk menentukan apakah dia ingin
membeli barang modal tersebut, memperpanjang perjanjian
sewa guna usaha ataukah menembalikan barang modal tersebut
kepada lessor;
i. Nilai sisa (residual value), yaitu nilai barang modal pada akhir masa sewa guna usaha yang telah disepakati oleh lessor dengan
lessee pada awal masa sewa guna usaha.
C.
Sejarah Sewa Guna Usaha (Leasing) Di Indonesia
Kegiatan sewa guna usaha (leasing) diperkenalkan untuk pertama kalinya di Indonesia pada Tahun 1974 dengan dikeluarkannya Surat
Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan
Menteri Peridustrian No. Kep-122/MK/2/1974, No. 32/M/SK/2/1974
dan No. 30 /KPB/I/74 Tanggal 7 Pebruari 1974 tentang “Perijinan Usaha Leasing”. Sejak saat itu dan khususnya sejak tahun 1980 jumlah perusahaan sewa guna usaha dan transaksi sewa guna usaha makin
bertambah dan meningkat dari tahun ke tahun untuk membiayai
penyediaan barang-barang modal dalam dunia usaha. Dalam
usaha pelayanan, sebut saja antara lain lembaga pembiayaan yang
dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 9
tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
Munculnya lembaga leasing ini merupakan suatu alternatif yang menarik bagi para pengusaha karena saat ini memang sulit didapat dana
rupiah untuk jangka waktu menengah dan panjang. Sedangkan melalui
leasing mereka bisa memperoleh dana untuk membeli barang-barang
modal dengan jangka pengembalian antara 3 tahun hingga 5 tahun atau
lebih. Di samping hal tersebut para pengusaha juga memperoleh
keuntungan dari adanya peraturan yang berlaku di mana untuk
kepentingan pajak transaksi leasing diperuntukkan sebagai operating
leas sehingga leas rental dianggap sebagai biaya yang bisa
mengurangi pendapatan kena pajak.24
Lembaga pembiayaan merupakan lembaga keuangan
bersama-sama dengan lembaga perbankan. Lembaga pembiayaan (financing
institution), kegiatan usahanya lebih menekankan pada fungsi
pembiayaan ini kegiatan usahanya lebih menekankan pada fungsi
pembiayaan, yaitu dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal
dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat.25
Meski demikian, perusahaan pembiayaan juga mampu
berkembang cukup mengesankan. Hingga saat ini leasing di Indonesia telah ikut berkiprah dalam pembiayaan perusahaan. Jenis barang yang
dibiayai pun terus meningkat. Jika sebelumnya hanya terfokus pada
24 http://www.wacaan.co.vu/2013/04/sejarah-leasing-di-indonesia.html, di kunjungi pada tanggal 09 Juni 2016, pukul 12.47.
pembiayaan transportasi, kini berkembang pada keperluan kantor,
manufaktur, konstruksi dan pertanian. Hal ini mengindikasikan multi
finance kian dikenal pelaku usaha nasional.26
Ada beberapa hal menarik jika kita mencermati konsentrasi dan
perkembangan perusahaan leasing. Pada era 1989, misalnya, industri ini di Indonesia cenderung berupaya memperbesar asset. Perburuan
asset tersebut diantaranya disebabkan tantangan perekonomian
menuntut mereka tampil lebih besar, sehat dan kuat. Perusahaan yang
tidak beranjak dari skala semula, tampak terguncang-guncang dana
akhirnya tutup sama sekali.27
Dengan asset dan skala usaha yang besar, muncul anggapan
perusahaan lebih andal dibandingkan yang lain. Bagi yang kapasitasnya
memang terbatas, mereka berupaya agar tetap tampil megah dan gagah.
Maka, di mulailah saling lirik dan penjajakan di antara sesamanya.
Skenario selanjutnya, banyak perusahaan leasing yang melakukan penggabungan menjadi satu grup. Tampaknya, langkah ini
membuahkan hasil positif. Selain modal dan asset menggelembung,
kredibilitas dan penguasaan pasar pun ikut terdongkrak.28
Namun gairah menggelembungkan asset tersebut
berangsur-angsur mulai pudar. Karena pada tahun berikutnya (1990), industri
26 http://hukumperbankan.blogspot.co.id/2009/04/sejarah-leasing.html, di kunjungi pada tanggal 09 Juni 2016 pukul 12.50.
leasing mulai kembali pada prinsip dasar ekonomi. mereka lebih mengutamakan keuntungan yang sebesar-besarnya.29
D.
Perbedaan Leasing dengan Jenis Perjanjian Lain
1.
Perbedaannya Dengan Sewa Menyewa
30a. Pada leasing, masalah jangka waktu perjanjiannya merupakan fokus uatama karena dengan berakhirnya jangka waktu, lessee diberikan hak opsi. Sementara itu, pada sewa menyewa,
masalah waktu bukan fokus utama sehingga pihak penyewa
dapat saja menyewa barang dalam jangka waktu yang tidak
dibatasi.
b. Sewa menyewa merupakan jenis perjanjian nominatif, yaitu
suatu jenis perjanjian yang sudah diatur dalam KUHPerdata.
Sementara itu, leasing adalah suatu jenis perjanjian innominatif, yang disebut sebagai salah satu lembaga
pembiayaan badan usaha.
c. Para pihak dalam leasing adalah badan usaha, sedangkan dalam sewa menyewa, para pihaknya bisa perorangan.
d. Pada leasing biasanya dibutuhkan jaminan-jaminan tertentu, sedangkan pada sewa menyewa tidak diperlukan jaminan.
29 Ibid.
e. Pada leasing disertai dengan hak opsi, sedangkan pada sewa menyewa hak opsi tidak diperlukan.
2.
Perebedaannya Dengan Sewa Beli
31a. Dalam sewa beli, peralihan hak milik pasti terjadi setelah
berakhir masa sewa, sedangkan dalam leasing, peralihan hak milik terjadi jika lessee mempergunakan hak opsinya.
b. Leasing merupakan salah satu jenis lembaga pembiayaan,
sedangkan sewa beli suatu jenis perjanjian innominatif yang
tidak termasuk lembaga pembiayaan.
c. Dalam leasing ada tiga pihak yang terlibat, yaitu lesse, lessor,
dan supplier, sedangkan pada sewa beli hanya ada dua pihak.
3.
Perbedaan Dengan Jual Beli
32a. Penyerahan/peralihan hak milik pada jual beli pasti terjadi
setelah pembeli membayar harga barang yang dibeli,
sedangkan pada leasing, peneyerahan/peralihan hak milik terjadi apabila lesse mempergunakan hak opsinya.
b. Sama halnya dengan sewa menyewa, jual beli adalah suatu
jenis perjanjian normonatif yang bukan merupakan jenis
lembaga pembiayaan, sedangkan leasing adalah jenis perjanjian innominatif yang merupakan lembaga pembiayaan.
E.
Keunggulan dan Kelemahaan Sewa Guna Usaha
Sewa guna usaha sebagai alternative sumber pembiayaan
memiliki beberapa keunggulan dan kelemahan dibandingkan dengan
sumber pembiayaan lainnya terutama bank. Menurut Munir Fuady
(1995 hlm. 33) keunggulan atau kelebihan dari sewa guna usaha yang
pertama adanya fleksilitas, terutama dalam hal dokumentasi jaminna,
struktrur kontraknya, besar dan jangka waktu pembayaran angsuran
oleh lessee, nilai residu, dan hak opsi bagi lessee. Yang kedua biaya relative murah, dalam sewa guna usaha relative tidak memerlukan biaya yang besar, karena prosedur dalam sewa guna usaha relative
sederhana. 33
Dalam praktik biasanya semua biaya diakumulasikan ke dalam
sutu paket, antara lain meliputi biaya konsultan, biaya pengadaan dan
pemasangan barang, dan biaya asuransi. Yang ketiga penghematan pajak, sistem perhitungan pajak untuk sewa guna usaha yang meringankan, sehingga pembayaran pajaknya lebih hemat. Yang ke
empat pengaturannya tidak terlalu kompleks sebagaimana terhadap
kredit bank ini sangat menguntungkan bagi lessor, mengingat perusahaan pembiayaan tidak perlu harus melaksanakan banyak hal,
seperti diwajibkan untuk suatu bank.Yang kelima kriteria lessee yang longgar, di bandingkan dengan fasilitas kredit bank, persyaratan dalam sewa guna usaha bagi lessee lebih longgar. Yang keenam resiko pemutusan kontrak, lessee diberi hak berupa kemudahan untuk memutuskan kontrak, tetapi lessor juga dapat menjual barang modal
kapan saja dengan harga yang dapaat menutupi bahkan melebihi dari
sisa utang lessee.34
Dengan demikian, tidak hanya resiko bagi lessor maupun lessee jika terjadi pemutusan kontrak di tengah jalan.Yang ketujuh pembukan yang lebih mudah, pembukaan dalam sewa guna usaha lebih mudah dan menguntungkan bagi perusahaan lessee. Bahkan cukup reasonable pula jika transaksi leasing ini dimasukan sebagai pembiayaan secara off
balance sheet. Yang kedelapan pembiayaan penuh, tidak jarang pula
pembiayaan sewa guna usaha diberikan sampai dengan 100% (seratus
persen) (full pay out). Hal ini akan sangat membantu bagi perusahaan
lessee yang baru berdiri. Yang terakhir perlindungan dampak kemajuan
teknologi. Lessee dapat terhindar dari kerugian akibat barang yang disewa mengalami ketinggalan model karena pesatnya kemajuan
teknologi. Dalam kontrak sewa guna usaha bisa dicantumkan klausul
bahwa barang modal dapat ditukar dengan barang modal yang sama
lebih canggih jika di kemudian hari ada penemuan baru yang lebih
unggul. Disamping itu keunggulan di atas, sebagaimana juga pada
lembaga bisnis lain, sewa guna usaha juga mempunyai beberapa
kelemahan.35
Di antara kelemahan tersebut adalah yang pertama biaya bunga yang tinggi, karena perusahaan sewa guna usaha juga memperoleh biaya dari bank, maka kedudukan lessor hanyalah sebagai perantara saja bagi lessee. Untuk itu lessor akan mendapatkan keuntungan margin tertentu. Konsekuensinya, perhitungan bunga ataupun
kompensasi terhadap bunga dalam transaksi sewa guna usaha relative
lebih tinggi. Yang kedua biaya marginal tinggi, kedudukan lessor sebagai perantara antara penyedia dana (bank) dengan pihak lessee, menyebabkan mata rantai distribusi dana menjadi lebih panjang.
Konsekuensinya tentu biaya akan menjadi lebih tinggi mengingat
perantara juga memerlukan fee sebagai kompensasi atas jasa-jasanya. Yang ketiga kurangnya perlindungan hukum, pengaturan sewa guna usaha masih kurang memadai disbanding dengan sektor perbankan.
Perlindungan hukum bagi para pihak hanya sebatas pada itikad baik
dari masing-masing pihak tersebut. 36
Selanjutnya ssesuai dengan hukum pasar, maka pihak yang
kedudukannya lemah akan kurang terlindungi hak atau kepentingannya.
Akibat lain dari pengaturan yang masih kurang memadai ini adalah
kurang terjaminnya unsur fairness, tidak predictable dan kurang adanya kepastian hukum. Dan yang terakhir proses eksekusi yang sulit, dalam
hal pembayaran cicilan macet, tidak ada suatu prosedur yang khusus
untuk eksekusi sewa guna usaha, sehingga jika terjadi sengketa harus
diselesaikan lewat pengadilan. Ini tentu saja akan banyak
menghabiskan waktu dan biaya serta hasilnya tidak predictable yang bagi perusahaan sewa guna usaha sangat riskan. Selama sengketa,
barang modal berada pada status quo (setelah adanya sita revindikator), yang berarti barang modal masih dikuasai oleh lessee dan nilai ekonomisnya akan terus turun sebagai akibat terjadinya proses
amortisasi.37
36 Sunaryo, Loc. Cit.
F.
Pihak-pihak Dalam Sewa Guna Usaha dan Syarat,
Mekanisme Sewa Guna Usaha
Kegiatan sewa guna usaha dilakukan dalam bentuk penyediaan
barang modal oleh lessor bagi lessee untuk menjalankan usahanya. Dengan demikian, dalam transaksi sewa guna usaha pada umumnya
ada 3 (tiga) pihak utama di dalamnya yaitu lessor, lessee, dan supplier sebagai pihak penjual atau penyedian barang modal. Namun, karena
pembiayaan ini terkadang memerlukan dana yang besar serta
mengandung resiko, maka tidak jarang oula dalam suatu transaksi sewa
guna usaha melibatkan pihak bank, dan perusahaan asuransi.38
1.
Pihak
–
Pihak yang Terlibat
a. Lessor yaitu Perusahaan leasing yang memberikan jasa
pembiayaan kepada lessee dalam bentuk barang modal;
b. Lessee yaitu Perusahaan/pihak yang memperoleh
pembiayaan dalam bentuk barang modal dari lessor; c. Pemasok/supplier yaitu Pihak yang mengadakan barang
untuk dijual kepada lessee dengan pembayaran secara
tunai oleh lessor;
d. Bank yaitu Dalam perjanjian/kontrak leasing, pihak bank
tidak terlibat secara langsung dalam kontrak tersebut,
namun pihak bank memegang peranan dalam hal
penyediaan dana kepada lessor, terutama dalam
9 4
8
1
6 3
2 6
7
mekanisme leverage lease dimana sumber dana
pembiayaan lessor diperoleh melalui kredit bank.
Gambar 1. Bagan Pihak – Pihak yang Terlibat
Keterangan
1. Lessee menghubungi pemasok untuk pemilihan
dan penentuan jenis barang, spesifikasi harga,
jangka, waktu penagihan, dan jaminan purna jual
atas barang yang akan disewa;
2. Lessee melakukan negosiasi dengan lessor
mengenai kebutuhan pembiayaan barang modal;
3. Lessor mengirimkan letter of offer/comitmen
letter kepada lessee yang berisi syarat-syarat
pokok persetujuan lessor untuk membiayai barang modal yang dibutuhkan lessee
Lessor
menandatangani dan mengembalikannya kepada
lessor;
4. Penandatanganan kontrak leasing setelah persyaratan dipenuhi oleh lessee;
5. Pengiriman order beli kepada pemasok disertai
instruksi pengiriman barang kepada lessee sesuai dengan tipe dan spesifikasi barang yang telah
disetujui;
6. Pengiriman barang dan pengecekan barang oleh
lessee sesuai pesanan serta menandatangani surat
tanda terima perintah bayar yang selanjutnya
diserahkan kepada pemasok;
7. Penyerahan dokumen oleh pemasok kepada
lessor termasuk faktur dan bukti kepemilikan
barang lainnya;
8. Pembayaran oleh lessor kepada pemasok;
9. Pembayaran sewa secara berkala oleh lessee kepada lessor selama massa leasing yang seluruhnya mencakup pengembalian jumlah
yang dibiayai beserta bunganya.39
2.
Syarat Dan Mekanisme Sewa Guna Usaha
Perusahaan sewa guna usaha (lessor) merupakan lembaga pembiayaan yang melakukan kegiatan berupa penyediaan barang
modal bagi penyewa guna usaha (lessee). Sebagaimana lembaga pembiayaan lainnya, lessor dalam menjalankan kegiatan juga memiliki resiko atas barang modal yang disewagunausahakan
kepada lessee oleh karena itu, guna memperlancar sekaligus mengamankan kegiatan pembiayaannya lessor menetapkan beberapa syarat dan prosedur yang harus dipenuhi oleh lessee.40
Adapun mekanisme transaksi sewa guna usaha secara rinci
dilakukan melalui tahapan sebagai berikut.41
a. Tahap permohonan
Setiap permohonan pembiayaan sewa guna usaha,
lessee harus mengisi formulir aplikasi yang telah
disediakan oleh lessor untuk diisi dengan lengap dan ditandatangani oleh lessee.
b. Tahap pengecekan/desk research checking
Berdasarkan aplikasi pemohon, lessor akan melakukan pengecekan atas kebenaran dari
pengisian formulir aplikasi tersebut.
c. Tahap audit checkin/pemeriksaan lapangan
Apabila tahap pengecekan/desk research checking hasilnya cukup baik, maka proses permohonan
dilanjutkan dengan pemeriksaan lapangan atau
audit ke calon lessee.
d. Tahap pembuatan customer profile
Berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan, lessor akan membuat customer profile yang isinya
memuat tentang nama perusahaan costomer, nama
pemilik, alamat dan nomor telepon, contact person,
kondisi pembiayaan yang diajukan lessee, jenis dan tipe barang modal, dan lain-lain.
e. Tahap pengajuan proposal kepada kredit komite
Selanjutnya marketing department di lessor akan mengajukan proposal atas permohonan yang di
ajukan oleh lessee kepada kredit komite.
f. Tahap pengajuan keputusan kredit komite
Keputusan kredit komite merupakan dasar bagi
lessor untuk melakukan pembiayaan atau tidak.
Apabila permohonan lessee ditolak, harus diberitahukan melalui surat penolakan, sedangkan
mempersiapkan surat penawaran kepada calon
lessee.
g. Tahap pengiriman surat penawaran
Setelah proposal memperoleh persetujuan dari
kredit komite, marketing depertement
mempersiapkan surat penawaran kepada lessee. Surat penawaran wajib ditandatangani oleh lessee dan dokumen ini biasanya akan dijadikan surat
penerimaan (letter of acceptance).
h. Tahap pengikatan
Berdasarkan surat penawaran yang telah
ditandatangani oleh lessee, oleh bagian legal akan mempersiapkan pengikatan sebagai berikut.
a) Perjanjian sewa guna usaha beserta
lampirannya;
b) Jaminan pribadi (jika ada);
c) Jaminan pribadi (jika ada);
d) Jaminan perusahaan (jika ada).
Pengikatan kontrak sewa guna usaha dapat
dilakukan secara bawah tangan, dilegalisir oleh
notaris, atau secara notarial.
Setelah proses pendatangan kontrak dilakukan oleh
kedua belah pihak selanjutnya lessor akan melakukan:
a) Pemesanan barang modal kepada supplier.
Pesanan ini dituangkan dalam penegasan
pemesanan pembelian/confirm purchase order dan bukti pengiriman dan surat tanda
penerimaan barang.
b) Penerimaan pembayaran dari lessee kepada
lessor (dapat melalui supplier atau dealer).
j. Tahap Pembayaran kepada supplier
Setelah barang modal diserahkan oleh supplier kepada lessee, selanjutnya supplier akan melakukan penagihan kepada lessor.
k. Tahap penagihan/monitoring pembayaran
Setelah seluruh pembayaran kepada supplier/dealer dilakukan, proses selanjutnya adalah pembayaran
sewa oleh lessee kepada lessor.
l. Tahap Pengambilan Jaminan
a) Jaminan (BPKB, dan/atau sertifikat dan/atau
faktur/ invoice);
b) Pemberitahuan atas pelaksanaan hak opsi;
c) Dokumen lainnya, jika ada.
G.
Penggolongan Perusahaan Leasing
Perusahaan leasing dalam menjalankan kegiatan usahanya dapat digolongkan ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu :42
1.
Independent Leasing Company
Perusahaan leasing jenis ini mewakili sebagian besar dari industri leasing. Perusahaan tipe ini berdiri sendiri atau independent dari supplier yang mungkin dapat sekaligus sebagai pihak produsen barang dan dalam memenuhi
kebutuhan barang modal nasabahnya (lessee). Perusahaan dapat membelinya dari berbagai supplier atau produsen kemudian
di lease kepada pemakai. Lembaga keuangan yang terlibat
dalam kegiatan usaha leasing, misalnya bank-bank, dapat pula disebut sebagai lessor independent. Banyak lembaga keuangan yang bertindak sebagai lessor tidak hanya memberikan pembiayaan leasing kepada lessee tetapi juga memberikan pendanaan kepada perusahaan leasing. Di samping itu lessor
independen dapat pula memberikan pembiayaan kepada supplier
(manufacturer) yang sering disebut dengan vendor program.43
2.
Captive Lessor
Captive lessor akan tercipta apabila supplier atau
produsen mendirikan perusahaan leasing sendiri untuk membiayai produk-produknya. Hal ini dapat terjadi apabila
pihak supplier berpendapat bahwa dengan menyediakan pembiayaan leasing sendiri akan dapat meningkatkan kemampuan penjualan melebihi tingkat penjualan dengan
menggunakan pembiayaan tradisional. Captive lessor ini sering pula disebut dengan two-party lessor. Pihak pertama terdiri atas perusahaan induk dan anak perusahaan leasing (subsidiary) dan pihak kedua adalah lessee atau pemakai barang.44
3.
Lease Broker atau Packager
Bentuk akhir dari perusahaan leasing adalah lease broker atau packager. Broker leasing berfungsi mempertemukan calon
lessee dengan pihak lessor yang membutuhkan suatu barang
modal dengan cara leasing. Broker leasing biasanya tidak memiliki barang atau peralatan untuk menangani transaksi
leasing untuk atas namanya. Disamping itu perusahaan broker
leasing memberikan satu atau lebih jasa-jasa dalam usaha
leasing tergantung apa yang dibutuhkan dalam suatu transaksi
leasing.
H.
Bentuk dan Perjanjian Sewa Guna Usaha
Pada Pasal 9 ayat 1 Keputusan Menteri Keuangan No.
1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha ditentukan
bahwa setiap transaksi sewa guna usaha wajib diikat dalam perjanjian
sewa guna usaha. Kemudian pengumuman Direktur Jenderal Moneter
No. Peng.307/DJM/III,1/7/1974 menyebutkan bahwa untuk
kepentingan pengawasan dan pembinaan para pengusaha leasing diharuskan menyampaikan Dirjen Keuangan antara lain kopi kontrak
leasing dan sebagainya. Kedua ketentuan tersebut di atas dapat ditarik
suatu kesimpulan bahwa kegiatan sewa guna usaha merupakan suatu
bentuk perjanjian yang dibuat secara tertulis (kontrak).45
Mengenai isi dari kontrak sewa guna usaha, baik dalam
pengumuman Direktur Jendral Moneter No. 307/DJM/III.1/7/1974
maupun dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991
tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha sudah menetukan hal-hal apakah
yang minimal harus dimuat dalam kontrak sewa guna usaha. Namun
demikian, menurut Eddy P. Soekadi (1990, hlm.154) suatu kontrak
sewa guna usaha yang lengkap memuat hal-hal mengenai subjek
perjanjian, objek perjanjian, jangka waktu, imbalan jasa swa serta cara
pembayaran, hak opsi bagi lessee, kewajiban perpajakan, penutupan
asuransi, tanggung jawab atas objek perjanjian, akibat kejadian lalai,
serta akibat rusak atau hilangnya objek perjanjian sewa guna usaha.46
Mengenai isi dari kontrak sewa guna usaha, harus sudah
menentukan hal-hal dapat dimuat yaitu :47
a. Subjek perjanjian;
b. Objek perjanjian leasing;
c. Jangka waktu perjanjian leasing;
d. Imbalan jasa leasing dan cara pembayarannya; e. Hak opsi;
f. Kewajiban perpajakan;
g. Penutupan asuransi;
h. Tanggung jawab atas objek perjanjian leasing; i. Akibat kejadian lain;
j. Akibat rusak atau hilangnya objek perjanjian leasing.
Sewa guna usaha merupakan suatu equipment funding, yaitu kegiatan pembiayaan yang disediakan oleh lessor dalam bentuk peralatan atau barang modal yang diperlukan oleh lessee guna menjalankan usahanya. Di Indonesia, secara formal keberdaaan sewa
guna usaha di Indonesia masih relative baru, yaitu dengan
dikeluarkannnya Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri
Perindustrian, dan Menteri Perdagangan No. 122, No. 32, No. 30
Tahun 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing.48
Dilihat dari segi pengaturannya, peraturan perundang yang
mengatur tentang sewa guna usaha masih belum memadai. Sampai
sekarang belum ada peraturan setingkat undang-undang yang secara
khusu mengatur tentang sewa guna.Sebagai lembaga bisnis di bidang
pembiayaan, sewa guna usaha bersumber dari berbagai ketentuan
hukum, baik berupa perjanjian (bersifat perdata) maupun
perundang-undangan (bersifat publik) terutama yang relevan dengan kegitan sewa
guna usaha. Meskipun pengaturan sewa guna usaha belum cukup
memadai, namun perkembangan sewa guna usaha di Indonesia relative
cukup pesat. Hal ini tidak terlepas dengan adanya beberapa keunggulan
meskipun tetap saja masih ada kelemahannya, baik ditinjau dari segi
pengaturan, proses, biaya maupun resiko dalam sewa guna usaha.49
Terjadinya transaksi sewa guna usaha dilatarbelakangi karena
tidak cukupnya dan lessee untuk membeli barang modal, sehingga menghubungi lessor untuk membiayainya. Dengan demikian, dalam sewa guna usaha ada tiga pihak utama yang di dalamnya, yaitu lessor sebagai perusahaan pembiayaan, lessee sebagai pihak yang dibiayai dalam memperoleh barang modal, dan supplier sebagai penyedia atau penjual barang modal. Berdasarkan transaksi yang terjadi antara
finance dan lessee ini, maka sewa guna usaha tersebut adalah adanya
hak opsi bagi lesse pada jenis finance lease, Adapun dalam operating
lease. Perbedaan pokok di antara kedua jenis sewa guna usaha tersebut
adalah adanya hak opsi bagi lessee pada jenis finance lease, adapun dalam operating lease tidak ada hak opsi bagi lessee.50
49Ibid.