• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan. Program Studi Pendidikan Biologi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan. Program Studi Pendidikan Biologi."

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

PADA PAKAN DAUN TOMAT SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Biologi

Disusun oleh : Silvia Gokok NIM : 131434058

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

UJI TOKSISITAS BIOINSEKTISIDA EKSTRAK METANOL BUAH BINTARO (Cerbera odollam L.)TERHADAP MORTALITAS ULAT GRAYAK (Spodoptera

litura) PADA PAKAN DAUN TOMAT SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Biologi

Disusun oleh : Silvia Gokok NIM : 131434058

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

Yeremia 17 : 7

Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh

harapannya pada TUHAN”

Kupersembahkan karya ini untuk :

Tuhan Yang Maha Esa

Kedua orang tua saya: Bapak Andreas dan Ibu Elizabeth

Dosen Pembimbing

Kakak dan Adik saya

Sahabat dan Teman-teman yang selalu mendukung

Almamaterku Universitas Sanata Dharma

(6)
(7)
(8)

vii

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karuni-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Uji Toksisitas Ekstrak Metanol Buah Bintaro (Cerbera odollam L.) terhadap Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura) pada Pakan Daun Tomat”. Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Biologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu, sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya, khususnya kepada :

1. Orang tua saya Bapak Andreas dan Ibu Elizabeth atas segala pengorbanan, doa serta dukungan yang telah diberikan.

2. Kakak dan Adik saya Sisilia dan Rafael yang telah memberikan semangat dan doa

3. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

4. Ibu Puspita Ratna Susilawati, M.Sc. selaku dosen Pembimbing

5. Bapak Ibu Dosen serta seluruh staf pada Program Pendidikan BIologi Sanata Dharma Yogyakarta

6. Emi, April, Desi, Ajeng, Sonya, Alola, Yuna, Maria, Nisa, Pak Slamet yang telah membantu dan menemani selama penelitian serta memberikan dukungan doa

7. Teman-teman mahasiswa pendidikan Biologi Universitas Sanata Dharma angkatan 2013 atas kerja sama dan bantuanya, serta semua pihak yang tidak dapat disebutka satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca di terima terbuka demi perbaikan skripsi ini sehingga menjadi lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak.

(9)

viii

(Spodoptera litura) PADA PAKAN DAUN TOMAT Silvia Gokok

131434058 Abstrak

Buah bintaro merupakan salah satu tumbuhan tahunan yang banyak digunakan sebagai penghias kota, penghijauan, pestisida nabati dan bahan baku kerajinan tangan. Bintaro termasuk ke dalam familiApocynaceae yang memiliki ciri akan mengeluarkan getah jika dilukai. Bintaro merupakan tumbuhan berbahaya karena mengandung cerberinterutama pada bagian buah yang termasuk dalam golongan alkaloid dan flavonoid yang bersifat toksik. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pengaplikasian bioinsektisida ekstrak methanol buah bintaro terhadap mortalitas S. litura dan mencari nilai LC50-96 jambioinsektisidaekstrak metanol buah bintaro terhadap S. litura.

Penelitian ini menggunakan metode maserasi untuk mendapatkan ekstrak buah bintaro dengan menngunakan metanol sebagai pelarutnya dengan perbandingan 1:2, dan metode pencelupan daun sebagai cara pengaplikasian ekstrak buah bintaro. Konsentrasi ekstrak buah bintaro yang digunakan adalah 0%, 1%, 1,5%, 2% dan 2,5%, dengan pengulangan sebanyak tiga kali. Parameter yang diamati yaitu siklus hidup dan mortalitas S. litura. Data dianalisis menggunakan uji regresi linier untuk mencari nilai LC50-96 jam.

Hasil penelitian, yang diperoleh yaitu ekstrak metanol buah bntaro memberikan efek terhadap mortalitas Spodoptera litura. Semakin tinggi konsentrasi yang digunakan maka semakin tinggi pula mortalitas Spodoptera litura. Nilai LC50-96 jam bioinsektisida ekstrak methanol buah bintaro terhadap mortalitas ulat grayak yaitu 1,31%.

Kata kunci : toksisitas, bionsektisida, ekstrak metanol, buah bintaro, ulat grayak (Spodoptera litura), LC50-96 jam

(10)

ix

(Spodoptera litura) MORTALITY ON TOMATO LEAF FEED Silvia Gokok

131434058 Abstract

Bintaro fruit is one of the annual plants are widely used as a plant decorative city, greening, vegetable pesticide and raw materials handicraft. Bintaro including to the Apocynaceae family which has the characteristic of issue sap if injured. Bintaro is a hazardous plant becausecontains cerberin especiallyon the fruit that belongs to the toxic alkaloid and flavonoid group. The purpose of this study were to analysis the bioinsecticide toxicity of bintaro fruit methanol extract toward S. litura mortality and to find the LC50-96 jam value of bintaro fruit methanol extract toward S. litura.

Research use the maceration method to obtain bintaro fruit extract by using methanol as a solvent with ratio of 1 : 2, and leaf immersion method as a way to apply bintaro fruit extract. The concentration of bintaro fruit extract used were 0%, 1%, 1,5%, 2% and 2,5%, with three times repetition. Parameters observed were life cycle andmortality of Spodoptera litura. Data were analyzed using literature regression test to find LC50-96 jam value.

The result of this research was found that bintaro fruit methanol extract showed the effect toward S. litura mortality. The higher the concentration of the extract could improve the S. litura mortality. The LC50-96 jam value of methanol extract on Spodoptera litura mortality was 1,31%.

Keywords: toxicity, bioinsecticide, methanol extract, bintaro fruit, grayak caterpillar (Spodoptera litura), LC50-96 jam

(11)

x

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PENYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA... 8

A. Bintaro ... 8

1. Morfologi Tumbuhan ... 8

2. Kandungan Zat Kimia ... 11

3. Bagian Tanaman yang Dimanfaatkan ... 14

B. Pestisida ... 15

C. Ulat Grayak ... 18

1. Sistematika Ulat Grayak ... 18

2. Ulat Grayak ... 18

3. Tanaman Inang ... 20

4. Gejala Serangga ... 21

5. Pengendalian Hama ... 22

D. LC50 ... 23

E. Hasil Penelitian yang Relevan ... 25

F. Kerangka Berpikir ... 28

(12)

xi

B. Batasan Penelitian ... 30

C. Alat dan Bahan Penelitian ... 31

1. Bahan Penelitian... 31

2. Alat Penelitian ... 32

D. Cara Kerja Penelitian ... 32

1. Perbanyakan dan Pemeliharaan Larva S. litura ... 32

2. Pembuatan Ekstrak Buah Bintaro ... 34

3. Uji Fitokimia Senyawa Alkaloid dan Flavonoid ... 35

4. Aplikasi Ekstrak Buah Bintaro pada Ulat Grayak ... 37

E. Parameter Pengamatan ... 39

F. Metode Analisis Data ... 39

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

A. Uji Fitokimia Senyawa Alkaloid dan Flavonoid pada Ekstrak Metanol Buah Bintaro ... 41

B. Siklus Hidup Ulat Grayak ... 43

C. Mortalitas Ulat Grayak ... 46

D. Hambatan, Kendala dan Keterbatasan Penelitian ... 59

BAB V : APLIKASI HASIL PENELITIAN TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN ... 61

BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN ... 63

A. Kesimpulan ... 63

B. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64

(13)

xii

Tabel 2.1 : Mortalitas rayap kayu kering pada perlakuan ekstrak bintaro ... 14

Tabel 2.2 : Hasil Penelitian yang Relevan ... 25

Tabel 4.1 : Kandungan alkaloid dan flavonoid dalam ekstrak methanol buah bintaro ... 41

(14)

xiii

Gambar 2.1 : Pohon Bintaro ... 8

Gambar 2.2 : Buah Bintaro ... 9

Gambar 2.4 : A. Daging Buah Bintaro ... 10

B. Biji Buah Bintaro ... 10

Gambar 2.3 : Daun Bintaro ... 11

Gambar 2.5: Ulat Grayak ... 18

Gambar 2.6 : Diagram Kerangka Berpikir ... 29

Gambar 3.1 : A. Ulat grayak diambil di persawahan tanaman tomat ... 32

B. Toples Pemeliharaan Ulat Grayak ... 32

Gambar 3.2 : Larva Instar 3 Ulat Grayak ... 33

Gambar 3.3: A. Buah Bintaro yang digunakan ... 35

B. Buah Bintaro dalam Bentuk Simplisia ... 35

C. Ekstrak Buah Bintaro ... 35

Gambar 3.4: A. Ekstrak Buah Bintaro yang telag dilarutkan ... 38

B. Daun Tomat Sebagai Pakan Ulat Grayak... 38

Gambar 4.1 : Siklus Hidup Ulat Grayak ... 43

Gambar 4.2 : Siklus Hidup Larva Instar satu sampai lima ... 45

Gambar 4.3 : Analisis LC50 Ekstrak Buah Bintaro terhadap Ulat Grayak ... 51

(15)

xiv

Lampiran 1: Silabus Mata Pelajaran Biologi ... 69

Lampiran 2: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ... 77

Lampiran 3: Media Gambar Pembelajaran ... 88

Lampiran 4: Lembar Kerja Siswa Cabang Ilmu Biologi dan Manfaatnya... 89

Lampiran 5: Lembar Kerja Siswa Metode Ilmiah... 90

Lampiran 6: Jurnal Ilmiah ... 93

Lampiran 7: Kisi-kisi Soal Ruang Lingkup Biologi ... 95

Lampiran 8: Soal Evaluasi Cabang Ilmu Biologi dan Manfaatnya... 96

Lampiran 9: Panduan Skoring Soal Evaluasi Cabang Ilmu Biologi dan Manfaatnya ... 104

Lampiran 10: Kunci Jawaban Soal Evaluasi Cabang Ilmu Biologi dan Manfaatnya ... 105

Lampiran 11: Soal Evaluasi Metode Ilmiah ... 106

Lampiran 12: Panduan Skoring SoalEvaluasi Metode Ilmiah ... 107

Lampiran 13: Rubrik Penilaian SoalEvaluasi Metode Ilmiah ... 108

Lampiran 14: Kunci Jawaban Soal Evaluasi Metode Ilmiah ... 109

Lampiran 15: Lembar dan Rubrik Penilaian Presentasi Kelompok ... 111

Lampiran 16: Lembar dan Rubrik Penilaian Portofolio ... 114

Lampiran 17: Mortalitas Ulat Grayak selama 4 hari ... 118

Lampiran 18 : Data Pakan selama 4 hari ... 118

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Keberadaan hama dapat menjadi sebuah masalah dalam melakukan usaha untuk meningkatkan kualitas produk pangan (Leatemi, dkk. 2011). Salah satu hama yang cukup berbahaya dan sangat mempengaruhi pertumbuhan suatu tanaman adalah ulat grayak (Spodoptera litura). Ulat grayak merupakan hama yang merugikan karena dapat memakan semua bagian daun dengan waktu yang cepat. Ulat grayak bersifat polifag (makan semua bagian daun) yang dapat menyerang semua bagian daun pada tanaman berdaun lunak seperti tanaman tomat, cabai, kubis, brokoli dan hanya meninggalkan tulang daun pada tanaman tersebut. Ulat grayak sering mengakibatkan penurunan produktivitas bahkan hingga kegagalan panen suatu tanaman karena menyebabkan daun menjadi terpotong-potong, robek dan berlubang. Serangan ulat grayak ini pernah terjadi di daerah Bantul yang menyerang ratusan hektar tanaman cabai. Ulat grayak menyerang semua tanaman cabai, hingga menyebabkan sekitar 30-40% daun yang terdapat di tubuh tanaman cabai berlubang dan mulai mengering. Hal ini membuat para petani khawatir karena jumlah panenan cabai mengalami penurunan yang signifikan dan yang paling penting petani mengalami kerugian materi yang besar (Linangkung, 2015).

Ulat grayak merupakan hama yang tidak mudah untuk diketahui atau diidentifikasi keberadaannya pada suatu tanaman. Hal ini karena ulat grayak tersebut hanya aktif di malam hari dan tidak tampak bila pada siang hari.

(17)

Umumnya ulat grayak ini akan bersembunyi di tempat-tempat yang teduh seperti di bawah batang dekat leher akar. Pada malam hari, ulat grayak baru akan bekerja menyerang dan memakan daun pada tanaman inangnya. Biasanya keberadaan ulat grayak dalam menyerang suatu tanaman adalah bergerombol atau dalam jumlah banyak (Marwoto dan Suharsono, 2008).

Salah satu cara pengendalian ulat grayak yang sudah umum dilakukan adalah dengan menggunakan insektisida yang berasal dari senyawa kimia sintesis. Menurut Sulistiyono (2004), pengunaan insektisida yang dilakukan oleh petani hortikultural pada umumnya tidak lagi mengindahkan aturan dosis atau konsentrasi yang dianjurkan. Penggunaan insektisida sintentik telah menimbulkan dampak ekologis yang sangat serius. Dampak ekologis yang ditimbulkan antara lain adalah timbulnya resurgensi hama, ledakan hama sekunder, matinya musuh alami dan timbulnya resistensi hama utama. Salah satu kerusakan ekologis terjadi di Lembang, Jawa Barat, yaitu kondisi tanah telah tercemar dan rusak karena penggunaan insektisida sintentik yang cukup sering dan dalam waktu lama. Hal ini menyebabkan tanah di daerah Lembang mengandung residu organoklorin yang cukup tinggi, sehingga dapat menurunkan populasi hewan tanah, menyebabkan tanah menjadi tidak subur dan rusak. Selain itu insektisida sintentik akan mencemari hasil panen yang bila dikonsumsi oleh manusia dalam jangka waktu lama dan terus-menurus maka akan menyebabkan karsinogenik hingga yang paling parah dapat menyebabkan kematian (Rimantho, 2007).

(18)

Pemilihan insektisida yang digunakan harus lebih diperhatikan lagi. Apabila masih tetap memerlukan insektisida sebagai pengendali hama maka dapat dipilih insektisida yang berasal dari bahan-bahan yang ramah lingkungan. Bioinsektisida merupakan salah satu solusi ramah lingkungan dalam rangka menekan dampak negatif akibat penggunaan insektisida sintentik yang berlebihan. Saat ini bioinsektisida telah banyak dikembangkan di masyarakat khususnya para petani. Namun belum banyak petani yang menjadikan bioinsektisida sebagai pengendali hama penyakit untuk tujuan mempertahankan produksi. Penggunaan bioinsektisida lebih aman bila dibandingkan dengan penggunaan insektisida sintentik, karena insektisida kimia akan berpengaruh terhadap tanaman maupun kesuburan tanah pada lahan tersebut (Kartimi, 2015).

Berbagai jenis tumbuhan telah diketahui berpotensi sebagai insektisida nabati karena mengandung senyawa bioaktif antara lain saponin, tanin, alkaloid, flavonoid dan terpenoid. Beberapa tumbuhan diketahui dapat memberikan efek mortalitas terhadap serangga, sehingga tumbuhan tersebut dapat digunakan sebagai alternatif insektisida nabati. Penggunaan insektisida nabati dapat dijadikan alternatif pengendalian hama yang relatif lebih murah dan aman terhadap lingkungan (Balfas dan Willis, 2009). Di Indonesia terdapat 50 famili tumbuhan yang dianggap sebagai sumber potensial insektisida alami antara lain Meliaceae, Annonaceae, Apocynaceae, Asteraceaea, Piperaceae

dan Rutaceae. Selain bersifat sebagai insektisida, jenis-jenis tumbuhan tersebut

(19)

mitisida maupun rodentisida (Setiawati dkk, 2008). Salah satu contoh bioinsektisida adalah ekstrak tanaman mahoni (Swietenia mahagoni) yang merupakan familia dari Meliaceae yang dapat digunakan sebagai insektisida nabati. Biji mahoni mengandung senyawa flavonoid, saponin, alkaloid, steroid, terpenoid dan senyawa sweitenin (Sianturi, 2001). Senyawa sweitenin yang terdapat pada biji mahoni termasuk dalam senyawa limonoid yang bersifat sebagai antifeedant dan penghambat pertumbuhan (Dadang dan Ohsawa, 2000).

Bintaro (Cebera odollam) merupakan salah satu jenis tumbuhan tergolong familia Apocynaceae yang diyakini bisa dimanfaatkan sebagai insektisida nabati. Senyawa kimia yang terdapat di dalam ekstrak bintaro adalah senyawa metabolit sekunder seperti saponin, polifenol dan alkaloid yang bersifat polar sehingga dapat larut dalam pelarut polar atau semipolar, seperti pelarut metanol (Utami, 2010). Masing-masing senyawa metabolit sekunder mempunyai daya kerja yang berbeda sebagai insektisida dengan berbagai mekanisme. Bintaro dapat dimanfaatkan sebagai alternatif insektisida nabati untuk mengurangi kerugian produk pertanian akibat serangan hama terutama pada tanaman pangan (Ningrum, 2012). Penelitian menggunakan larva ulat grayak instar dua dan daun bintaro sebagai ekstrak kasar, dimaserasi menggunakan metanol selama 24 jam. Kemudian analisis yang digunakan adalah analisis statistik dengan Anova yang dilakukan uji lanjutan dengan Uji

(20)

bintaro dapat memberikan efek signifikan terhadap mortalitas rayap tanah (Coptotermes sp.) dengan konsentrasi ekstrak sebesar 10%.

Sebelumnya bintaro telah diteliti sebagai bioinsektisida untuk menangani beberapa hama. Dari penelitian Utami (2003) dengan menggunakan daun bintaro sebagai bioinsektisida terhadap S. litura dengan menggunakan konsentrasi tanaman bintaro sebanyak 0,04%, 0,08%, 0,16%, 0,32% dan 0,64%. Dengan metode maserasi menggunakan metanol selama 24 jam dan pengujian senyawa secara kualitatif dengan metode tetes. Namun pada penelitian ini konsentrasi yang digunakan berbeda, waktu maserasi yang dilakukan pun berbeda serta pengujian senyawa yang terkandung di dalam ekstrak buah bintaro pun dilakukan berbeda.

Dalam penelitian ini digunakan tanaman bintaro sebagai ekstrak bioinsektisida dari semua bagian buah karena buah bisa didapatkan dengan mudah dan memiliki kandungan toksik paling tinggi (Utami, 2010). Bila pada penelitian sebelumnya tanaman bintaro yang sering digunakan adalah bagian daun muda, namun pada penelitian ini digunakan buah karena memiliki nilai mortalitas yang cukup tinggi pada hama (Utami, 2010). Kemudian pada penelitian sebelumnya analisis dengan uji Anova yang dilakukan uji lanjutan dengan Uji Duncan Multiple Range Test, sehingga belum ada penelitian yang berkaitan dengan penggunaan buah bintaro terhadap mortalitas ulat grayak dengan melihat LC50.

Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menguji potensi bioinsektisida yang berasal dari ekstrak buah bintaro

(21)

terhadap larva S. litura dengan menggunakan Regresi Linier Sederhana yang bertujuan untuk nilai mencari LC50 pada mortalitas S. litura, kemudian melakukan pengujian senyawa yang terkandung dalam ekstrak buah bintaro secara kuantitatif dan kualitatif sehingga didapatkan informasi senyawa yang bersifat toksik bagi ulat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dari penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana pengaruh pengaplikasian bioinsektisida ekstrak metanol buah bintaro (Cebera odollam) terhadap mortalitas ulat grayak (Spodoptera

litura) ?

2. Berapakah nilai LC50-96jam bioinsektisida ekstrak metanol buah bintaro (Cebera odollam) terhadap mortalitas ulat grayak (Spodoptera litura) ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, tujuan utama dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui pengaruh pengaplikasian bioinsektisida ekstrak metanol buah bintaro (Cebera odollam) terhadap mortalitas ulat grayak (Spodoptera litura).

2. Mengetahui nilai LC50-96jam bioinsektisida ekstrak metanol buah bintaro (Cebera odollam) terhadap mortalitas ulat grayak (Spodoptera litura).

(22)

D. Manfaat Penelitian Bagi Peneliti

Dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang manfaat bioinsektisida buah bintaro yang dapat dijadikan sebagai pengendalian hama ulat grayak. Bagi Masyarakat

1. Memberi informasi bahwa pemanfaatan bioinsektisida buah bintaro dapat dijadikan sebagai bioinsektisida yang ramah lingkungan dan dapat digunakan untuk mengurangi populasi hama ulat grayak.

2. Memberikan informasi ilmiah tentang alternatif pemanfaatan buah bintaro dalam bentuk bioinsektisida sebagai alternatif insektisida pembunuh ulat grayak.

Bagi Pendidikan

Memberikan informasi untuk dijadikan sebagai referensi pembelajaran Biologi SMA kelas X yaitu pada materi Ruang Lingkup Biologi.

(23)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Bintaro (Cerbera odollam)

Bintaro adalah tumbuhan bernama latin Cerbera odollam, merupakan bagian dari ekositem hutan mangrove. Tanaman bintaro banyak terdapat di sekitar wilayah pesisir pantai. Bintaro termasuk dalam familia Apocynaceae yakni berkerabat dengan kamboja, cirinya jika dilukai pasti banyak mengeluarkan getah. Nama lainnya adalah Pong-pong tree atau Indian

suicide tree termasuk tumbuhan berbahaya karena mengandung racun.

Bintaro dikenal sebagai salah satu tanaman tahunan yang banyak digunakan untuk penghijauan, penghias kota, tanaman pot, pestisida nabati, dan sekaligus sebagai bahan baku kerajinan bunga kering (Kartimi, 2015).

1. Morfologi Tumbuhan

Klasifikasi tanaman bintaro sebagai berikut : Divisio : Spermatophyta

Sub Divisio : Angiospermae Classis : Dicotyledoneae Sub Classis : Sympetalae

Ordo : Apocynales Familia : Apocynacea

Genus : Cerbera

Spesies : Cerbera odollam L. (Tjitrosoepomo, 2007)

Sumber : Kompasiana Gambar 2.1 Pohon Bintaro

(24)

Tumbuhan bintaro mempunyai ciri-ciri ketinggian mencapai 4-6 meter dengan batang tegak berkayu banyak percabangan, bentuk bulat dan berbintil-bintil hitam, kulit batangnya tebal dan berkerak. Daun bintaro merupakan daun tunggal dengan duduk daun tersebar, bangun bulat telur terbalik sampai lanset, permukaan licin, pertulangan daun menyirip, dengan panjang 15-20 cm, lebar 3-5 cm. Daun bintaro biasanya berjejalan di ujung cabang, dan bunganya berwarna putih, berbau harum, dan terletak di ujung batang. Bunga tanaman ini berbentuk terompet, terdapat pada ujung pedikel samosa dengan lima petal yang sama dan korola berbentuk tabung. Bunga bintaro merupakan bunga majemuk berkelamin dua (hermaprodit), dengan panjang tangkai putik 2-2,5 cm, kepala sari bagian bunga berwarna cokelat, sedangkan kepala putiknya hijau keputih-putihan. Buah bintaro merupakan buah drupa (berbiji) dengan serat lignoselulosa yang menyerupai buah kelapa dan berbentuk bulat, berwarna hijau pucat saat masih muda dan berwarna merah saat sudah masak (Gambar 2.2).

Sumber : Tani Sejahtera Gambar 2.2 Buah Bintaro

(25)

Biji bintaro berbentuk pipih, panjang, berakar tunggang, dan berwarna cokelat. Seluruh bagian tanaman bintaro mengandung getah berwarna putih seperti susu (Steenis, 2005).

Sumber : Wikipedia

Gambar 2.4 Daging buah bintaro (A) dan biji bintaro (B)

Seluruh bagian dari pohon bintaro memiliki kegunaan dan masih terus dikembangkan hingga saat ini berbagai manfaatnya.

Berikut adalah beberapa dari manfaat pohon bintaro: a. Akar

Salah satu manfaat dari bagian akar adalah untuk melancarkan buang air besar atau sebagai obat pencahar.

b. Batang

Selain akar, kulit batang pohon bintaro bermanfaat juga sebagai obat pencahar. Kulit batang ini juga mengandung zat kimia yaitu flavonoid dan steroid.

c. Daun

Ekstrak metanol daun bintaro memiliki kandungan kimia yang dapat berguna sebagai antikanker payudara dan ovarium berupa 17βH–neriifolin. Selain itu, bermanfaat juga sebagai obat pencahar.

A B

(26)

Kandungan lain yang terdapat dalam daun ini yaitu saponin, steroid, dan flavonoid.

Sumber : Kompasiana

d. Daging buah dan biji

Biji bintaro termasuk bagian yang paling beracun dibandingkan bagian yang lainnya. Zat kimia yang terkadung, yaitu steroid, triterpenoid, saponin, dan alkaloid yang terdiri dari cerberin (0,6%), sererosida dan nerifolin. Senyawa alkaloid ini memiliki karakter toksin, repellent, dan antifeedant pada serangga. Biji bintaro mengandung minyak. Minyak bintaro digunakan sebagai obat kudis dan membunuh kutu kepala. Minyak bintaro berpotensi sebagai bahan baku biodiesel dan merupakan salah satu alternatif energi pada masa depan.

2. Kandungan Zat Kimia

Berdasarkan penelitian, tanaman ini memiliki berbagai efek seperti antifungi, insektisida, antioksidan dan antitumor. C. odollam mengandung beberapa senyawa metabolit sekunder, seperti saponin, polifenol, terpenoid dan alkaloid. Senyawa ini bersifat polar karena

(27)

mengandung nitrogen dan senyawa golongan fenol sehingga larut dalam pelarut polar atau semipolar (Sa’diyah dkk, 2013).

Pada buah bintaro terdapat senyawa enolide, cerberin, dan

neriifolin yang memiliki potensi kardioksitas. Cerberin merupakan

senyawa monoasetil neriifolin, selain itu cerberin termasuk ke dalam golongan alkaloid atau glikosida yang berperan terhadap kematian larva. Senyawa cerberin dapat menyebabkan toksisitas pada larva (Lepidoptera, Coleoptera, Diptera) sehingga menggangu pertumbuhan dan perkembangan larva. Cerberin termasuk ke dalam golongan alkaloid yang dapat berperan terhadap kematian larva. Cerberin merupakan senyawa monoasetil neriifolin. Cerberin dapat mempengaruhi detak jantung larva dan menganggu saluran ion kalsium di miokard (Utami, 2010).

Pada analisis fitokimia ditemukan beberapa zat yang berada pada buah bintaro yaitu saponin, steroid dan senyawa fenol (flavonoid dan tanin). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak buah bintaro memiliki sifat antibakteri, sitotoksik dan sebagai depresan sistem saraf pusat karena adanya zat alkaloid dan saponin (Ahmed et al, 2008).

Senyawa saponin yang terdapat pada buah bintaro bersifat toksik pada serangga, dapat menghambat aktivitas makan serangga (Utami, 2010). Aktivitas makan dapat dihambat karena saponin menyebabkan penurunan enzim pencernaan serta menghambat absorbsi makanan (Haditomo, 2010). Saponin dapat menyebabkan degradasi kutikula

(28)

bahkan dapat menghilangkannya sehingga cairan tubuh larva banyak yang keluar dan masuk melalui saluran pernafasan sehingga tubuh larva akan rusak (Kuddus, 2011). Saponin juga menggangu pertumbuhan larva dengan cara menghambat pengelupasan eksoskeleton larva sehingga tidak dapat berkembang ke fase selanjutnya (Chaieb, 2010). Selain itu saponin dapat mengikat sterol yang berperan sebagai prekusor bagi hormon ekdison. Hormon ekdison adalah hormon yang memicu pergantian kulit. Selain merangsang pergantian kulit hormon ekdison juga mendorong perkembangan karakteristik perubahan ulat menjadi kupu-kupu, sehingga apabila terdapat gangguan pada hormon ini, maka serangga akan terganggu proses perkembangannya. Pada akhirnya akan mengakibatkan gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan larva.

Steroid yang terkandung dalam buah bintaro dapat menghambat proses pergantian kulit pada larva sehingga menggangu perkembangannya. Hal ini dikarenakan steroid mempunyai struktur yang mirip dengan hormon ekdison yang berperan dalan pergantian kulit pada serangga (Yunita, dkk. 2009).

Senyawa fenol (tanin dan flavonoid) yang terkandung di dalam buah bintaro dapat menghambat proses pencernaan makanan karena menganggu penyerapan dengan mengikat protein di saluran cerna sehingga pertumbuhan dan perkembangan terganggu karena kurangnya

(29)

nutrisi yang dibutuhkan terutama protein. Hal ini terjadi karena tanin dapat menurunkan aktifivas enzim digestif seperti protease dan amilase.

3. Bagian Tanaman yang Dimanfaatkan

Seluruh bagian dari tanaman bintaro beracun dan dapat digunakan sebagai insektisida. Salah satu potensi tanaman bintaro adalah anti rayap. Secara umum ekstrak biji buah bintaro dan daging buah bintaro memberikan efek signifikan terhadap mortalitas rayap Coptotermes sp. Biji yang terdapat pada dinding buah (perikarpium) yang berserat sangat bersifat racun. Biji mengandung cerberin yang merupakan glikosida bebas N yang bekerja sebagai racun jantung yang sangat kuat. Berikut merupakan tabel penelitian terhadap bagian tanaman bintaro yang digunakan untuk mengendalikan hama (Tarmadi, dkk. 2007).

Tabel 2.1. Mortalitas rayap kayu kering pada perlakuan ekstrak biji, daging buah, daun dan ranting bintaro selama 1 hari pengamatan

Konsentrasi (%)

Mortalitas rayap kayu kering (%)

Biji Daging buah Daun Ranting

0 0,00 0,00 0,00 0,00

1 36,67 24,44 28,89 27,78 5 53,33 44,44 43,34 48,89 10 70,00 61,11 47,77 55,56 15 84,44 78,89 75,55 74,44

(30)

B. Pestisida

Pestisida adalah bahan kimia untuk membunuh hama, insekta, jamur, maupun gulma, sehingga pestisida dikelompokkan menjadi: insektisida (pembunuh insekta), fungisida (pembunuh jamur) dan herbisida (pembunuh tanaman lain/gulma). Pestisida telah secara luas digunakan untuk tujuan memberantas hama dan penyakit tanaman dalam bidang pertanian. Dewasa ini bermacam-macam jenis pestisida telah diproduksi dengan usaha mengurangi efek samping yang dapat menyebabkan toksisitas pada manusia. Bila dihubungkan dengan pelestarian lingkungan maka penggunaan pestisida perlu diwaspadai karena akan membahayakan kesehatan bagi manusia maupun mahluk hidup lainnya (Djunaedy, 2009).

Menurut Djojosumarto (2008), pengolonggan pestisida berdasarkan sifat dan cara kerja racun yaitu:

 Racun Kontak

Pestisida ini bekerja dengan masuk ke dalam tubuh serangga melalui kutikula, lalu disebarkan ke seluruh bagian tubuh serangga tempat pestisida aktif bekerja, seperti pada saluran pernapasan atau saluran pencernaan. Pada bioinsektisida ekstrak metanol buah bintaro terdapat senyawa saponin dan alkaloid yang berperan sebagai racun kontak dalam membunuh ulat grayak.

 Racun Pernapasan

Pestisida ini bekerja masuk melalui saluran pernapasan serangga. Pada bioinsektisida ekstrak metanol buah bintaro terdapat senyawa

(31)

flavonoid yang berperan sebagai racun pernapasan dalam membunuh ulat grayak.

 Racun Lambung

Pestisida yang membunuh serangga sasaran jika termakan oleh serangga sasaran dan masuk ke dalam organ pencernaan. Pada bioinsektisida ekstrak metanol buah bintaro terdapat senyawa tanin yang berperan sebagai racun pernapasan dalam membunuh ulat grayak.

 Racun Sistemik

Pestisida yang bekerja setelah disemprotkan pada tanaman, kemudian diserap oleh bagian tubuh tanaman melalui akar atau daun, sehingga dapat membunuh hama yang terdapat pada jaringan tanaman seperti jamur maupun bakteri. Pada penggunaan pestisida sistemik, serangga akan mati setelah memakan atau menghisap cairan tanaman yang telah disemprot.

 Racun Metabolisme

Pestisida yang bekerja membunuh serangga dengan cara mengganggu proses metabolisme. Pada bioinsektisida ekstrak metanol buah bintaro terdapat senyawa flavonoid yang berperan sebagai racun pernapasan dalam membunuh ulat grayak.

 Racun Protoplasma

Pestisida yang bekerja menganggu fungsi sel karena protoplasma sel dirusak.

(32)

Pestisida tidak hanya menggunakan bahan kimia, sekarang sudah banyak tanaman yang dapat digunakan sebagai pengendali serangan hama dan penyakit pada tanaman. Namun di samping itu terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan dari bahan alami yang digunakan, antara lain:

Kelebihan-kelebihan dari penggunaan pestisida alami adalah sebagai berikut:

a. Toksisitas yang lebih rendah terhadap hewan dan relatif lebih aman bagi manusia yang menggunakan

b. Mudah terurai di alam sehingga tidak mencemari lingkungan serta relatif aman bagi manusia dan hewan peliharaan karena residunya mudah hilang

c. Mempunyai sifat cara kerja (mode of action) yang unik, yaitu tidak meracuni (non toksik)

d. Pengurai dan penguapan pestisida yang relatif cepat oleh sinar matahari

e. Memiliki fitotoksitas rendah, yaitu tidak meracuni dan merusak tanaman (Asmaliyah dan Musyafa, 2010)

Kerugian dari penggunaan pestisida alami adalah sebagai berikut:

a. Daya kerja yang relatif lambat sehingga pengaplikasian pada tanaman harus lebih sering

b. Pestisida yang dibuat tidak tahan bila disimpan dan digunakan dalam waktu yang lama

(33)

c. Produksi belum dapat dilakukan dalam jumlah yang besar

d. Pembuatan dapat dilakukan saat bahan tersedia, sehingga dirasa masih kurang praktis dalam proses pembuatan atau produksi (Nurhidayati, dkk. 2008)

Pestisida alami merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu dari tanaman baik dari daun, biji atau akar yang memiliki senyawa atau metabolit sekunder dan memiliki sifat racun terhadap hama dan penyakit tertentu (Djunaedy, 2009).

C. Ulat Grayak (Spodoptera litura)

1. Sistematika Ulat Grayak (Spodoptera litura)

Menurut Nugroho (2013) ulat grayak dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Classis : Insecta Ordo : Lepidoptera Familia : Noctuidae Genus : Spodoptera

Spesies : Spodoptera litura F.

2. Ulat Grayak (Spodoptera litura F.)

Ulat grayak (S. litura) berkembang biak dengan cara bertelur dan mengalami metamorfosis sempurna. Metamorfosis terjadi melalui

Sumber : Dok. Pribadi Gambar 2.5 Ulat Grayak

(34)

empat tahapan, mulai dari telur, larva, pupa dan terakhir imago berupa ngengat. Ngengat betina meletakkan telur di permukaan daun secara berkelompok, satu kelompok dapat berisi 25-500 butir telur. Telur ngenat berbentuk hampir bulat dengan bagian datar melekat pada daun. Telur tertutup oleh bulu seperti beludru berwarna kekuning-kuningan dan akan menetas menjadi larva (ulat) setelah 2-4 hari (Sudarmo, 1991).

Stadium larva terdiri atas lima instar, larva instar pertama ditandai dengan tubuh berwarna kuning dengan bulu-bulu halus, kepala hitam dengan lebar 0,2-0,3 mm. Larva instar kedua tubuhnya berwarna hijau dengan panjang 3,75-10 mm, tidak terlihat adanya bulu, muncul garis hitam pada ruas pertama abdomen dan pada toraks terdapat garis putih memanjang. Larva instar tiga memiliki garis zig-zag berwarna putih pada bagian abdomen dan bulatan hitam di sepanjang tubuhnya. Larva instar tiga ini mempunyai panjang tubuh 8-15 mm dengan lebar kepala 0,5-0,6 mm, berlangsung selama 4 hari. Instar empat mempunyai warna tubuh yang bervariasi yaitu hijau, keputihan, hijau kekuningan dan hijau keunguan. Sementara panjang tubuhnya adalah 13-20 mm dan berlangsung selama 4 hari, sedangkan pada instar terakhir pertumbuhannya sudah sempurna, berwarna hijau gelap dengan garis punggung berwarna gelap memanjang, dan ulat sudah hidup berpencar. Ulat yang telah memasuki instar lima memiliki panjang 50 mm. Total

(35)

keseluruhan stadium larva terjadi selama 20-26 hari, kemudian akan bermetamorfosis menjadi pupa (Sudarmo, 1991).

Pupa serangga ini berwarna kemerah-merahan dengan panjang kurang lebih 16 mm. Biasanya pupa berada di dalam tanah atau pasir. Lama stadium pupa adalah 8-11 hari (Sudarmo, 1991). Fase pupa berada di dalam tanah sedalam 7-8 cm dari permukaan, dengan ruangan pupa panjangnya mencapai 22,5 cm dan lebarnya 9 cm (Baehaki, 1993). Setelah fase pupa sempurna, memasuki fase terakhir yaitu imago. Stadium imago dikenal dengan sebutan ngengat, berwarna cokelat lembayung gelap. Sayap depannya berwarna cokelat atau keperak-perakan, sedangkan sayap belakangnya berwarna keputih-putihan dengan noda hitam. Ngengat jantan berukuran 17 mm, sedangkan ngengat betina berukuran 15,7 mm, ngengat betina dapat menghasilkan telur sebanyak 2000-3000 butir, dengan masa peletakan telur 2-6 hari. Total perkembangan S. litura sejak dari telur sampai dewasa berkisar antara 30-61 hari (Sudarmo, 1991).

3. Tanaman Inang

Tanaman inang adalah tanaman yang dapat memenuhi kebutuhan serangga baik yang berhubungan dengan perilaku maupun dengan kebutuhan gizi serangga. Hubungan antara tanaman inang dan serangga merupakan serangkaian proses interaksi antara lain mekanisme pemilihan tanaman inang. Pemanfaatan tanaman tersebut sebagai

(36)

sumber makanan serta tempat berlindung dan tempat bertelur. Serangga berkembang biak lebih cepat pada tanaman inang yang sesuai dan sebaliknya perkembangan serangga menjadi lebih lambat pada tanaman inang yang kurang sesuai. Perbedaan tingkat kesesuaian dapat terjadi baik pada tanaman yang sama maupun pada tanaman yang berbeda spesiesnya. Tanaman yang biasa dijadikan inang oleh hama ini diantaranya tanaman cabai, tomat, kubis, kentang, padi, tembakau dan tanaman pertanian lainnya. Tidak kurang dari 120 spesies tanaman dari jenis tanaman pangan, sayuran, perkebunan, tanaman hias, bahkan tanaman pelindung diserang oleh hama ini. Rami, teh, kapas, jarak, lada dan tembakau adalah di antara komoditas perkebunan yang termasuk inangnya (Sudarmo, 2005).

4. Gejala Serangan

Fase hidup yang paling merugikan dari S. litura adalah fase larva dalam bentuk ulat. Ulat memakan daun pada waktu malam hari sedangkan pada siang hari bersembunyi. Fase larva awal, ulat akan makan secara berkelompok pada malam hari dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas dan tulang daunnya saja, sehingga dari kejauhan terlihat berwarna putih transparan (Balitbang, 2006). Pada serangan parah, tanaman akan gundul kehabisan daun. Jika populasinya sangat tinggi, larva pada stadium akhir dapat menghabisi seluruh daun tanaman hanya dalam waktu semalam (Kurnianti, 2013). Serangan

(37)

berat pada umumnya terjadi pada musim kemarau dan menyebabkan defoliasi yang sangat berat (Marwoto dan Suharsono, 2008).

Saat menetas dari telur, ulat hidup dengan bergerombol di sekitar tempat menetas sampai dengan instar ke-2, pada fase ini ulat memakan hingga menyebabkan daun transparan. Pada instar ke-3 ulat menyebar ke bagian tanaman lainnya atau ketanaman sekitarnya (Sudarmo, 1991). Selain pada daun, ulat dewasa makan polong muda dan tulang daun muda, sedangkan pada daun tua, tulang-tulangnya akan tersisa. Selain menyerang kedelai, ulat grayak juga menyerang jagung, kentang, tembakau, kacang hijau, tomat, bayam dan kubis (Balitbang, 2006).

5. Pengendalian Hama

Prinsip pengendalian hama tanaman adalah menekan jumlah populasi hama yang menyerang tanaman sampai pada tingkat populasi yang tidak merugikan. Komponen pengendalian hama yang dapat diterapkan untuk mencapai sasaran tersebut antara lain pengendalian hayati, pengendalian secara fisik dan mekanik, pengendalian secara kultur teknis dan pengendalian secara kimiawi.

Pengendalian yang opimal dapat dilakukan dengan membersihkan sekitar tanaman dari gulma sehingga tidak ada inang sementara bagi ulat grayak. Kemudian dapat dilakukan pengendalian hama dengan membuat perangkap untuk kupu-kupu jantan dengan sex pheromone. Dengan cara ini dapat mengurangi kupu-kupu jantan, yang dapat

(38)

menekan produksi telur, juga kupu-kupu betina akan berkurang, cara pengendalian ini akan efektif apabila diterapkan sejak awal.

Setelah memasuki tahap larva, ulat grayak dapat dikendalikan secara mekanis, hayati maupun kimia. Pengendalian ulat grayak secara mekanis adalah dengan mengumpulkan dan memusnahkan ulat grayak yang tertangkap. Secara hayati dilakukan dengan aplikasi agensia hayati berbahan aktif. Secara kimia pengendalian ulat grayak dilakukan dengan menyemprotkan insektisida secara berseling. Pengendalian secara kultur teknis adalah pengendalian serangga hama dengan memodifikasi kegiatan pertanian agar lingkungan pertanian menjadi tidak menguntungkan bagi perkembangan hama. Usaha-usaha tersebut mencakup sanitasi, pengolahan tanah, pergiliran tanaman, pemupukan berimbang, penggunaan mulsa, penggunaan tanaman perangkap.

D. LC50

LC50 merupakan konsentrasi yang menyebabkan kematian sebanyak 50% dari organisme uji yang dapat dilihat dan diketahui melalu grafik dan perhitungan. Pada suatu waktu pengamatan tertentu, misalnya LC50 72 jam,

LC50 96 jam sampai waktu hidup hewan uji. Uji toksisitas diklasifikasi sebagai berikut: klasifikasi menurut waktu, yaitu uji hayati jangka pendek, jangka menengah dan uji hayati jangka panjang. Klasifikasi menurut metode penambahan larutan atau cara aliran larutan, yaitu uji hayati statika, pergantian larutan, mengalir. Klasifikasi menurut maksud dan tujuan

(39)

penelitian adalah pemantauan kualitas air limbah, uji bahan atau satu jenis senyawa kimia, penentuan toksisitas serta daya tahan dan pertumbuhan organisme uji (Rossiana, 2006). Untuk mengetahui kandungan kimia dalam daun bintaro terhadap siklus hidup ulat grayak, sehingga perlu dilakukan suatu uji toksisitas kandungan kimia terhadap ulat grayak dalam bentuk

Lethal Concentration (LC50). Jadi uji toksisitas ini digunakan untuk mengevaluasi besarnya konsentrasi toksikan dan durasi pemaparan yang dapat menimbulkan efek toksik pada jaringan biologis hewan uji (Pratiwi dkk, 2012).

Menurut Sumantri (1996), semakin tinggi LC50 yang dihasilkan, maka semakin rendahnya toksisitas dan semakin rendah LC50 mencerminkan tingginya tingkat toksisitas. Tingkat toksisitas tersebut dapat diartikan sebagai potensi aktivitasnya sebagai antikanker, karena semakin rendah harga LC50 maka senyawa tersebut semakin toksik dan semakin berpotensi sebagai antikanker. Menurut Meyer dalam Kurniawan, dkk (2016), suatu ekstrak dianggap sangat toksik apabila memiliki nilai LC50 di bawah 30 ppm, dianggap toksik pada LC50 30-1000 ppm dan dianggap tidak toksik bila nilai LC50 di atas 1000 ppm.

Daya racun atau toksisitas pestisida terhadap tubuh dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan, seperti toksisitas terhadap susunan saraf. Insektisida organoklorin merangsang sistem saraf dan menyebabkan parestesia, peka terhadap perangsangan, dan kejang-kejang. Insektisida organofosfat dan karbamat dapat menghambat

(40)

asetilkolinesterase sehingga menyebabkan tremor, inkordinasi, dan kejang-kejang (Nugroho,1995).

Penelitian terhadap ekstrak metanol daun kesum (Polygonum minus) menunjukkan harga LC50 sebesar 137,465 µg/mL atau ppm. Berdasarkan nilai LC50 yang diperoleh, dapat dikatakan bahwa ekstrak metanol daun kesum pada percobaan ini memiliki potensi toksisitas akut menurut metode

Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) yaitu pada perlakuan dengan hewan

coba larva Artemia salina (Kurniawan, dkk. 2016).

E. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan merupakan penelitian yang hampir serupa dengan penelitian yang dilakukan. Di bawah ini ada beberapa penelitian yang relevan yaitu:

Tabel 2.2. Hasil penelitian yang relevan

No Referensi Penelitian Hasil Penelitian

1 Hasnah, dkk. (2012)

Penelitian ekstrak rimpang jeringau terhadap

mortalitas ulat grayak dan siklus hidup ulat grayak

- Aplikasi ekstrak rimpang jeringau berpengaruh terhadap mortalitas larva, pupa yang terbentuk, imago yang muncul, dan lama hidup imago ulat grayak

- Pada konsentrasi 2% ekstrak rimpang jeringau dapat

mematikan 50% larva S. litura. - Konsentrasi 3% merupakan

konsentrasi yang sudah efektif untuk mengendalikan hama ulat grayak

2 Lestari, dkk. (2016)

Pengaruh pemberian ekstrak daun sirsak

terhadap kesintasan ngenat

- Pemberian ekstrak daun sirsak berpengaruhi terhadap

(41)

No Referensi Penelitian Hasil Penelitian ulat grayak pada parameter morfologi,

mortalitas, biomassa dan fertilitas

- Konsentrasi ekstrak daun sirsak yang berpengaruh optimal untuk menurunkan kesintasan ngengat ulat grayak pada konsentrasi 8% - Konsentrasi ekstrak daun sirsak

8%, memberikan pengaruh terhadap mortalitas ngengat sebesar 35,00±6,42% pada konsentrasi 8% ekstrak daun sirsak mempengaruhi biomassa ngengat sebesar 0,059±0,005g 3 Prayuda (2014) Efikasi ekstrak biji bintaro

sebagai larvasida pada larva Aedes aegypti

- Hasil analisis probit didapatkan hasil LC50 pada konsentrasi 0,99%

- Jumlah mortalitas larva tertinggi pada konsentrasi 1,25% dengan rerata 15 ekor (60%)

- Konsentrasi ekstrak biji bintaro berpengaruh terhadap mortalitas larva Aedes aegypti instar III selama 48 jam diperoleh LC50 1,3339% dan LC99 2,424% 4 Agus dan

Widianto (2004)

Uji efektifitas berbagai konsentrasi pestisida nabati bintaro terhadap hama ulat grayak pada tanaman kedelai

- Dari berbagai bagian tanaman bintaro yang digunakan, daun tua yang mengakibatkan mortalitas tertinggi 40% - Perlakuan ekstrak daun tua

bintaro (100g/l) dapat

menurunkan aktivitas makan hama hingga 43%

Pada penelitian Hasnah (2012), ekstrak yang digunakan adalah rimpang jeringau dengan hewan uji S. litura. Metode ekstrasi yang

(42)

digunakan dengan maserasi menggunakan pelarut metanol selama 3 hari. Kemudian hewan uji yang digunakan adalah S. litura instar 2. Pengaplikasian ekstrak dilakukan dengan teknik pencelupan daun, sedangkan pada penelitian Lestari, dkk. (2016) ekstrak yang digunakan adalah ekstrak daun sirsak dan usia hewan uji yang digunakan adalah larva instar 2.

Pada kedua penelitian tersebut, terdapat persamaan yaitu hewan uji yang digunakan adalah S. litura. Kemudian untuk mendapatkan ekstrak dilakukan metode maserasi dengan pelarut metanol. Metode pengaplikasian yang digunakan dengan cara pencelupan pakan untuk hewan uji.

Pada penelitian Prayuda (2014) menggunakan ekstrak biji bintaro dan hewan uji Aedes aegypti. Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi dengan menggunakan etanol 96%. Pada penelitian ini dicari nilai LC50, sedangkan pada penelitian Agus dan Widianto (2004), menggunakan berbagai bagian tanaman bintaro yang dijadikan pestisida dan menentukan bagian yang paling berkhasiat untuk pestisida. Dari kedua penelitian di atas, terdapat persamaan yaitu ekstrak yang digunakan adalah bintaro namun dengan bagian yang berbeda. Pada penelitian ini bagian buah keseluruhan yang digunakan, serta metode ekstraksi yang digunakan adalah metode maserasi dengan menggunakan pelarut metanol 96% selama 96 jam. Penelitian ini mencari nilai LC50 dengan menggunakan perhitungan regresi

(43)

F. Kerangka Berpikir

Ulat grayak merupakan salah satu hama yang dapat menimbulkan kerugian yang cukup tinggi pada tanaman. Serangan ulat grayak yang cepat dan bergerombol membuat para petani kewalahan dalam menghadapi hama tersebut. Dalam satu malam saja ulat grayak dapat menghabiskan daun dan hanya menyisakan tulang daun pada tanaman. Keberadaan ulat grayak yang sulit diketahui merupakan salah satu kendala untuk membasmi hama ini. Untuk itu perlu adanya penanganan segera yang dapat menekan pertumbuhan ulat grayak baik secara mekanis, hayati maupun kimia. Penangan kimia dengan menggunakan pestisida alami yaitu ekstrak daun bintaro. Pada buah bintaro terdapat senyawa kimia yang dapat mempengaruhi daya makan, pertumbuhan, daya reproduksi dan pada akhirnya menyebabkan kematian pada hama. Selain itu daun bintaro dipilih karena keberadaanya mudah untuk ditemukan dan tidak memerlukan biaya untuk mendapatkannya, sehingga hal tersebut dapat dijadikan salah satu alternatif petani untuk menangani keberdaan ulat grayak yang menganggu tanaman. Tanaman pertanian pun akan terhindar dari ulat grayak dan menghasilkan hasil panen dengan kualitas baik. Maka untuk mengetahui kebenaran dilakukan uji pengaruh terhadap ekstrak buah bintaro sebagai bioinsektisida terhadap mortalitas hama ulat grayak dengan menggunakan konsentrasi yang berbeda.

(44)

Adapun kerangka berpikir dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 2.6 Diagram Kerangka Berpikir G. Hipotesis

1. Pengaplikasian bioinsektisida ekstrak metanol buah bintaro memberikan pengaruh terhadap mortalitas ulat grayak

2. Nilai LC50-96jam ekstrak buah bintaro terhadap mortalitas ulat grayak adalah 2%

Buah Bintaro

Alkaloid

Flavonoid

Ekstrak Buah

Bintaro

S. litura

Pengendalian

hama

Bioinsektisida

Mortalitas

LC

50

Hama tanaman cabai,

kubis, padi, jagung,

tomat, tembakau, kapas,

bawang merah dan

kentang.

(45)

30 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 konsentrasi 0%, l%, l,5%, 2% dan 2,5%. Setiap konsentrasi diulang sebanyak 3 kali sehingga didapatkan 15 unit perlakuan.

Penelitian eksperimen yang dilakukan selalu berkaitan dengan variabel. Variabel merupakan faktor yang ikut menentukan perubahan, dalam penelitian ini terdapat 3 variabel yang meliputi variabel bebas, variabel terikat dan variabel kontrol. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsentrasi ekstrak buah bintaro. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah siklus hidup dan mortalitas S. litura. Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah jenis pakan dan jumlah pakan yang diberikan pada S.

litura.

B. Batasan Penelitian

Penelitian tentang pengaruh penggunaan ekstrak buah bintaro terhadap mortalitas ulat grayak memiliki beberapa batasan yaitu :

1. Buah bintaro (C. odollam) yang digunakan adalah buah muda berwarna hijau yang meliputi daging buah dan biji

2. Ekstrasi buah bintaro (C. odollam) dilakukan dengan metode maserasi dengan pelarut metanol 96%.

(46)

3. Bioinsektisida dari ekstrak buah bintaro (C. odollam) yang digunakan dalam penelitian ini akan diberikan dalam konsetrasi yang berbeda, yaitu:

a. Konsentrasi 0% = 0% ekstrak buah bintaro dalam 20 ml air b. Konsentrasi 1% = 1% ekstrak buah bintaro dalam 20 ml air c. Konsetrasi 1,5% = 1,5% ekstrak buah bintaro dalam 20 ml air d. Konsentrasi 2% = 2% ekstrak buah bintaro dalam 20 ml air e. Konsentrasi 2,5% = 2,5% ekstrak buah bintaro dalam 20 ml air 4. Aktivitas toksis ekstrak buah bintaro (C. odollam) terhadap mortalitas

ulat grayak dinyatakan dengan LC50-96 jam 5. S. litura yang digunakan larva instar 3.

6. Parameter yang diamati dalam penelitian ini yaitu: a. Siklus hidup S. litura

b. Mortalitas S. litura

C. Alat dan Bahan Penelitian 1. Bahan Penelitian

Buah bintaro (C. odollam), larva S. litura, madu, daun tomat, pelarut metanol 96%, akuades, kertas saring, kain kasa, kertas label, kapas, tisu, karet gelang.

(47)

2. Alat Penelitian

Oven listrik, neraca analitik Acis C-5000, neraca analitik Acis

AD-600i, lemari es, blender, corong gelas, labu ukur 100 ml, gelas

ukur 100 ml, gelas beker 500 ml, erlenmeyer 1000 ml, batang pengaduk, kotak pemeliharaan serangga, kotak kaca/kardus, kipas angin, spatula, pinset, pipet tetes, toples, mangkuk kaca, gunting, kuas dan spidol.

D. Cara Kerja Penelitian

A. Perbanyakan dan Pemeliharaan larva S. litura

Perbanyakan serangga uji dilakukan dengan mengumpulkan larva S. litura dari persawahan tanaman tomat, Klaten kemudian dilakukan pemeliharaan. Toples yang telah diisi pakan disiapkan yang telah diisi pakan (daun tomat), kemudian larva S. litura diletakkan di atas pakan lalu toples ditutup dengan penutup toples atau kain kasa. Pemeliharaan serangga uji dilakukan dengan mengganti pakan setiap hari dan kotoran dibersihkan dengan menggunakan kuas. Berikut merupakan gambar toples pemeliharaan ulat grayak dan lapangan tempat pengambilan ulat grayak:

A

B

Sumber : Dok. Pribadi

Gambar 3.1 Ulat grayak diambil di persawahan tanaman tomat, Klaten (A), toples pemeliharaan ulat grayak (B)

(48)

Setiap hari dilakukan pengamatan perkembangan S. litura. Saat

S. litura telah menjadi pupa, pupa diletakkan dalam wadah toples lain

yang lebih besar dan beralaskan kertas saring. Setelah ± 11 hari pupa yang telah menjadi imago (ngengat) diberi pakan madu 10% yang diserapkan pada kapas. Pakan madu 10% dibuat dengan cara menyiapkan 2 ml akuades, lalu disiapkan 10% madu dari 2 ml akuadest yaitu 0,2 mg. Madu 0,2 mg dilarutkan dalam 2 ml akuades, dan siap digunakan sebagai pakan imago. Apabila imago sudah menghasilkan telur, maka telur segera dipindahkan ke toples lain. Langkah pertama, kertas saring diletakkan pada bagian bawah toples, kemudian telur diletakkan di bagian atas kertas saring dan toples ditutup dengan kain kasa. Perkembangan larva diikuti setiap hari dan sebagian larva yang siap ganti kulit menjadi instar kedua diletakkan dalam toples terpisah dari larva-larva lain. Larva instar ketiga digunakan untuk pengujian (Asmaliyah dan Musyafa. 2010).

Sumber : Dok. Pribadi

(49)

B. Pembuatan ekstrak buah Bintaro

Untuk pembuatan ekstrak buah bintaro terlebih dahulu dilakukan pengambilan buah tanaman bintaro sebanyak 3 kg dari lapangan. Kemudian buah dicuci bersih menggunakan akuades dan diletakkan di wadah lalu dikeringkan selama 72 jam menggunakan oven dengan suhu 60°C atau di bawah sinar matahari sampai buah bintaro kering. Setelah kering, buah dipotong-potong kecil ± 5 cm dan dihaluskan dengan menggunakan blender selama 5 menit sampai berbentuk serbuk. Serbuk halus kemudian dimaserasi dengan menggunakan pelarut organik yaitu metanol 96% (polar), dengan perbandingan 1:2 selama 72 jam, setiap 24 jam pelarut metanol 96% diganti dengan yang baru. Setelah dilakukan perendaman, rendaman disaring dengan menggunakan corong gelas yang dilapisi kertas saring. Filtrat diletakkan di wadah mangkuk kaca. Kemudian siapkan kotak kaca/kardus, kipas angin dan penutup (kasa). Selanjutnya mangkuk kaca yang berisi filtrat diletakkan di dalam kaca/kardus. Kipas angin diletakkan di dekat kaca/kardus yang berfungsi untuk mempercepat penguapan pelarut metanol. Pengeringan dilakukan hingga ekstrak berbentuk seperti pasta. Ekstrak yang dihasilkan kemudian disimpan dalam lemari es (≤ 4°C) hingga saat digunakan (Ningrum, 2012). Berikut merupakan gambar buah bintaro yang digunakan, buah bintaro dalam bentuk serbuk (simplisia) dan ekstrak buah bintaro:

(50)

C. Uji fitokimia senyawa alkaloid dan flavonoid pada ekstrak metanol buah bintaro

Uji fitokimia senyawa alkaloid dan flavonoid dilakukan di laboratorium Chemix Pratama, Bantul dengan menggunakan metode gravimetri. Analisis gravimetri adalah analisis kuantitatif dengan proses isolasi dan pengukuran berat suatu unsur atau senyawa tertentu. Bagian terbesar dari analisis gravimetri meliputi transformasi unsur atau radikal senyawa murni stabil yang dapat segera diubah menjadi bentuk yang dapat ditimbang dengan teliti. Berat unsur dihitung berdasarkan rumus sanyawa dan berat atom-atom serta unsur-unsur yang menyusunnya. Pemisahan unsur-unsur atau senyawa yang dikandung dilakukan dengan beberapa cara seperti: metode pengendapan, metode penguapan, metode elektroanalisis atau berbagai

A

B

C

Sumber : Dok. Pribadi

Gambar 3.3 Buah Bintaro yang digunakan (A), buah bintaro dalam bentuk simplisia (B), ekstrak buah bintaro (C)

(51)

macam metode lainnya. Pada prakteknya, dua metode pertama yang penting yaitu metode pengendapan dan metode penguapan. Metode gravimetri memakan waktu yang cukup lama, adanya pengotor pada konstituen dapat diuji dan bila perlu faktor-faktor koreksi dapat digunakan. Adapun beberapa tahap dalam analisis gravimetri adalah sebagai berikut:

A. Memilih pelarut sampel

Pelarut yang dipilih harus sesuai sifatnya dengan sampel yang akan di larutkan. Misalnya : HCl, H2SO4 dan HNO3 digunakan untuk melarutkan sampel dari logam-logam.

B. Pengendapan analit

Pengendapan analit dilakukan dengan memisahkan analit dari larutan yuang mengandungnya dengan membuat kelarutan analit semakin kecil dan pengendapan ini dilakukan dengan sempurna. Misalnya : Ca+2 + H2C2O4  CaC2O4 (endapan putih)

C. Pengeringan endapan

Pengeringan dilakukan dengan panas yang disesuaikan dengan analitnya dan dilakukan dengan sempurna.

D. Menimbang endapan

Zat yang ditimbang haruslah memiliki rumus molekul yang jelas. Biasanya reagen R ditambahkan berlebih untuk menekan kelarutan endapan

(52)

Dalam menentukan keberhasilan metode gravimetri ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu:

A. Proses pemisahan hendaknya cukup sempurna sehingga kuantitas analit yang tak terendapkan secara analitis tidak dapat terdeteksi (biasanya 0,1 mg atau kurang dalam menentukan penyusunan utama dalam suatu makro)

B. Zat yang ditimbang hendaknya mempunyai susunan yang pasti dan hendaknya murni, atau sangat hampir murni. Bila tidak akan diperoleh hasil yang galat.

(Day dan Underwood, 2002)

D. Aplikasi ekstrak buah bintaro pada ulat grayak

Pengujian dilakukan dengan metode pencelupan daun (leaf

dipping methods). Larva S. litura yang telah mencapai instar ketiga

dan dalam keadaan sehat disiapkan, lalu diletakkan dalam wadah toples plastik kemudian dilaparkan (aklimatisasi) selama 1-2 jam terlebih dahulu sebelum dilakukan pengujian. Kemudian daun tomat yang akan diberi perlakuan disiapkan, lalu direndam dalam ekstrak. Daun tomat yang digunakan adalah daun tomat yang tidak terkontaminasi pestisida dan diambil dari persawahan tanaman tomat di Klaten, usia daun tomat yang digunakan random atau tidak ada batasan. Pada pengujian digunakan 5 konsentrasi ekstrak yaitu 0%, 1%, 1,5%, 2%, 2,5%. Tahap pertama daun tomat direndam pada

(53)

masing-masing konsentrasi larutan ekstrak selama 3 menit dan dikeringanginkan pada suhu ruang. Daun tomat yang dikenai perlakuan diletakkan dalam toples kecil. Untuk setiap toples, diletakkan 10 g daun tomat dan sepuluh larva S. litura instar 3, dengan pengulangan sebanyak tiga kali untuk tiap konsentrasi. Setiap larva diberi makan dengan daun tomat yang telah direndam pada ekstrak buah bintaro. Setiap 24 jam daun tomat diganti dengan yang baru dengan perlakuan dan cara yang sama. Kotoran dalam toples-toples dibersihkan setiap hari dengan menggunakan kuas. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah larva S. litura yang mati dan siklus hidup. Pengamatan dilakukan pada waktu yang sama setiap harinya selama 4 x 24 jam (96 jam) hingga memasuki stadium larva selanjutnya (Fadlilah, 2012). Berikut merupakan gambar ekstrak buah bintaro dalam 20 ml air dan pakan ulat grayak:

Sumber : Dok. Pribadi

Gambar 3.4 Ekstrak buah bintaro yang telah dilarutkan dalam 20 ml air (A) daun tomat sebagai pakan ulat grayak (B)

(54)

E. Parameter Pengamatan

Pengambilan data dilakukan setiap 24 jam setelah pengaplikasian ekstrak buah bintaro pada pakan. Pengamatan dilakukan selama 4 x 24 jam (96 jam) sampai larva memasuki stadium larva selanjutnya. Pengamatan meliputi jumlah larva yang mati pada tiap konsentrasi, mengamati aktivitas ulat setelah pemberian ekstrak buah bintaro. Data yang diambil adalah jumlah kematian ulat grayak. Mortalitas ulat grayak dinyatakan dalam bentuk persentase. Perhitungan presentase mortalitas ulat grayak pada masing-masing pengulangan di setiap perlakuan menggunakan rumus sebagai berikut (Hidayati, dkk. 2013):

P

×

100% Keterangan:

P = Persentase mortalitas ulat grayak

a = Jumlah total ulat grayak yang mati setiap perlakuan b = Jumlah total ulat grayak di setiap perlakuan

F. Metode Analisis Data

Cara menganalisis data dalam penelitian ini menggunakan Regresi Linier Sederhana yang bertujuan untuk mendapatkan nilai LC50 dari penggunaan ekstrak daun bintaro, terhadap mortalitas S. litura. Analisis regresi linier sederhana adalah hubungan secara linier antar satu variabel independen (X) dengan variabel dependen (Y). Analisis ini untuk mengetahui arah hubungan antara variabel independen dengan variabel

(55)

dependen untuk memprediksi nilai dari variabel dependen. Rumus regresi linier sederhana sebagai berikut :

Y = a + bX Keterangan :

Y = Variabel dependen (persentase mortalitas S.litura) X = Variabel independen (konsentrasi ekstrak buah bintaro) a = Konstanta (nilai Y apabila X = 0)

(56)

41 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Uji Fitokimia Senyawa Alkaloid dan Flavonoid pada Ekstrak Metanol Buah Bintaro

Ekstrak buah bintaro dipilih karena berdasarkan penelitian sebelumnya mengandung senyawa metabolit sekunder yaitu alkaloid dan flavonoid. Pada penelitian ini, senyawa alkaloid dan flavonoid yang terkandung dalam ekstrak buah bintaro dihitung secara kuantitatif. Berikut merupakan hasil uji kandungan alkaloid dan flavonoid pada ekstrak buah bintaro.

Tabel 4.1 Kandungan alkaloid dan flavonoid dalam ekstrak metanol buah bintaro

Senyawa Metabolit Sekunder

Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Alkaloid 0.0360% 0.0343% 0.0351% Flavonoid 0.2626% 0.2636% 0.2631%

Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat diketahui bahwa ekstrak buah bintaro mengandung senyawa alkaloid dan flavonoid. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Utami (2010) bahwa buah bintaro memiliki metabolit sekunder yaitu alkaloid dan flavonoid yang memiliki efek toksik yang kuat terhadap S.litura. Selain itu pada penelitian Yudha (2013) menyatakan bahwa bintaro mengandung alkaloid dan flavonoid. Pada penelitian Utami (2010) dan Yudha (2013) analisis fitokimia dilakukan secara kualitatif, sehingga belum diperoleh informasi tentang kadar senyawa secara

(57)

kuantitatif. Menurut Robinson (1991), melakukan analisis fitokimia bertujuan untuk menentukan senyawa aktif penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat yang ditunjukkan oleh ekstrak tumbuhan bila diuji secara biologis. Senyawa alkaloid dan flavonoid pada ekstrak metanol buah bintaro memiliki kadar yang rendah bila dibandingan dengan tanaman beluntas dan alang-alang yang digunakan juga sebagai bioinsektisida. Pada tanaman beluntas kadar alkaloid dan flavonoid yaitu 3,18% dan 1,09% (Muta’ali dan Kristanti, 2015), sedangkan pada daun beluntas senyawa alkaloid dan flavonoid yaitu sebesar 1,07% dan 4,8% (Septiana, 2014). Pada penelitian Syah (2016), kadar flavonoid dalam ekstrak daun belimbing wuluh yaitu 1,76%, hal ini menunjukkan bahwa kadar flavonoid dalam ekstrak buah bintaro lebih rendah. Perbedaan kadar senyawa dalam sebuah ekstrak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah metode ekstraksi yang digunakan.

Pada penelitian Syah (2016) metode yang digunakan adalah maserasi dengan pelarut metanol, namun yang berbeda adalah perbandingan pelarut metanol yang digunakan. Bila pada ekstraksi daun belimbing wuluh menggunakan perbandingan 1:5, sedangkan pada ekstraksi buah bintaro menggunakan perbandingan 1:2. Hal ini merupakan salah satu alasan kadar senyawa flavonoid pada ekstrak buah bintaro lebih rendah, karena semakin rendah perbandingan pelarut yang digunakan, maka senyawa yang terlarut dalam senyawa akan lebih rendah begitu sebaliknya. Perbandingan yang digunakan akan mempengaruhi kondisi pelarut. Apabila perbandingan yang

(58)

digunakan banyak maka pelarut tidak akan mengalami kejenuhan dengan waktu cepat, sebaliknya apabila jumlah perbandingan yang digunakan sedikit maka pelarut akan mengalami kejenuhan dalam waktu singkat dan senyawa yang telarut.

B. Siklus Hidup Ulat Grayak (S. litura)

Pada penelitian ini, dilakukan pengamatan setiap hari meliputi siklus hidup ulat grayak yang berlangsung selama 25-41 hari, dimulai dari telur hingga menjadi ngengat.

Gambar siklus hidup ulat grayak dari telur hingga ngengat dapat dilihat pada gambar 4.1

A

B

C

D

Sumber : Dok. Pribadi

Gambar 4.1 Siklus hidup ulat grayak secara umum: telur (A), larva (B), pupa (C), ngenat (D)

(59)

Pengamatan siklus hidup ulat grayak dimulai saat ngengat menghasilkan telur, telur terletak bergerombol dan tertutup struktur halus menyerupai helaian bulu berwarna kekuning-kuningan, lalu akan menetas menjadi larva setelah 2-4 hari. Selanjutnya memasuki stadium larva yang terdiri dari lima instar, larva instar pertama ditandai dengan badan berwarna hijau muda dengan bulu-bulu halus di permukaan badan dan memiliki kepala berwarna hitam. Pada larva instar satu memiliki panjang badan ± 0,8 - 1,2 cm, stadium larva instar satu berlangsung selama 2-4 hari. Pada tahap ini larva akan hidup secara berkelompok atau bergerombol. Selanjutnya larva akan memasuki stadium instar dua, pada stadium ini larva akan mengalami pertumbuhan yang ditandai dengan bertambahnya ukuran tubuh menjadi 2,1 – 2,6 cm. Selain itu larva akan bertambah besar dan terdapat garis hitam pada ruas abdomen pertama, meningkat pada bagian dorsal terdapat garis putih dan pada toraks terdapat empat buah titik. Pada stadium ini larva akan sangat aktif terutama pada malam hari, stadium ini berlangsung selama 2-5 hari.

Tahap selanjutnya larva akan memasuki stadium instar tiga, pada instar tiga akan terdapat beberapa bulatan hitam yang tersebar di sekitar tubuhnya, terdapat garis kuning yang terletak horizontal pada tubuh yang di kanan kirinya terdapat garis putih (Gambar 4.2 C). Larva mengalami pertumbuhan yang ditandai dengan bertambahnya ukuran tubuh larva menjadi 2,7 – 3,1 cm. Pada stadium ini, larva instar akan digunakan sebagai penelitian. Instar tiga berlangsung selama 2-4 hari. Selanjutnya larva memasuki stadium instar

Gambar

Gambar 2.4 Daging buah bintaro (A) dan biji bintaro (B)  Seluruh bagian dari pohon bintaro memiliki kegunaan dan masih  terus dikembangkan hingga saat ini berbagai manfaatnya
Gambar 2.3 Daun Bintaro
Tabel  2.1.  Mortalitas  rayap  kayu  kering  pada  perlakuan  ekstrak  biji,  daging  buah, daun dan ranting bintaro selama 1 hari pengamatan
Tabel 2.2. Hasil penelitian yang relevan
+7

Referensi

Dokumen terkait

• steps in personal selling process • role of the sales manager.. •

// Berperahu mengelilingi waduk dan mendatangi rumah makan terapung menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.// Mereka dengan mudah juga bisa mendapatkan ragam ikan segar

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang terakhir diubah dengan Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2015 dan Dokumen Pengadaan,

Akor ada banyak sekali jenisnya, yang paling dikenal adalah akor mayor, minor, dan dominant 7.Akor-akor yang digunakan dalam musik tradisi hampir semuanya

11 Periksa pandangan Achmad Sodiki mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (2010-2013) juga sebagai guru besar emeritus Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Jika banyaknya buah yang diambil pada keranjang besar harus tiga kali lebih banyak dari banyaknya buah yang diambil pada keranjang kecil, maka agar dijamin

The division of land (apple garden land and rice lands [ sawah ]) relied on the timing of a child’s marriage, in other words, if a child married it would be given garden land and

asam amino akan membentuk polinukleotida (protein). Melalui protein ini kemungkinan kehidupan paling sederhana muncul. COVID-19 adalah RNA rantai tunggal asam nukleat