• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Konflik di Suriah yang berlangsung sejak Maret 2011 lalu telah menelan korban lebih dari 100.000 jiwa dan membuat ribuan warga Suriah mengungsi ke negara lain untuk menyelamatkan diri. Konflik antara pemerintah dengan kelompok oposisi yang merupakan rakyatnya sendiri tersebut telah banyak mendapat respon dari masyarakat internasional karena sikap pemerintah Suriah yang menggunakan kekerasan untuk menyerang rakyat nya sendiri. Salah satu negara yang bereaksi atas apa yang terjadi di Suriah adalah Amerika Serikat. Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Barack Obama periode kedua sejak awal mengambil sikap yang jelas yakni tidak mendukung Bashar al Assad untuk tetap memimpin Suriah.

Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa tindakan yang dilakukan oleh Amerika Serikat, misalnya dalam pidatonya pada Agustus 2011 lalu, Presiden Obama menyatakan bahwa sudah saatnya Presiden Assad untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden dan masa depan Suriah harus ditentukan oleh rakyat Suriah sendiri.1 Sebelum itu, tepatnya pada bulan April, Mei dan Agustus 2011, Presiden Obama telah mengeluarkan Executive Order (E.O) yang berisi perintah untuk membekukan semua asset Pemerintah Suriah yang berada di wilayah yurisdiksi Amerika Serikat dan melarang warga Amerika Serikat untuk melakukan investasi, mengekspor barang ke Suriah, mengimpor produk petroleum dari Suriah, serta melakukan transaksi bisnis lainnya dengan Suriah.

Melalui forum Dewan Keamanan (DK) PBB, pada bulan Oktober 2011 dan Juli 2012 lalu, Amerika Serikat juga mendukung draf resolusi yang berisi kecaman terhadap tindak kekerasan yang dilakukan oleh Pemerintahan Bashar al Assad dan pemberian sanksi terhadap Suriah, tapi gagal diadopsi karena diveto oleh Rusia dan China. Di lapangan, Amerika Serikat memberikan bantuan non-lethal aid kepada kelompok oposisi Free Syrian Army (FSA) berupa obat-obatan, makanan, dan alat komunikasi. Hal ini dilakukan agar kelompok oposisi tetap bisa berjuang melawan Pemerintah Suriah yang mendapat dukungan dari Rusia dan Iran.

1

M. Phillips, ‘Presiden Obama: “The future of Syria must be determined by its people, but Presiden Bashar al Assad is standing in their way”’, The White House Blog (online), August 18, 2011,

http://www.whitehouse.gov/blog/2011/08/18/president-obama-future-syria-must-be-determined-its-people-president-bashar-al-assad, diakses pada 19 Mei 2014

(2)

2 Melalui forum The Group of Friends of the Syrian people atau biasa disebut Friends

of Syria, Amerika Serikat bersama negara-negara lain yang mendukung transisi ke demokrasi

di Suriah melakukan pertemuan rutin untuk membahas perkembangan situasi di Suriah dan mengambil langkah-langkah konkrit sebagai respon terhadap perkembangan tersebut. Sejak pertemuan kali pertama nya di Tunisia pada tahun 2012 lalu hingga tahun 2014 ini, Friends

of Syria telah mengadakan beberapa kali pertemuan. Dari pertemuan tersebut dicapai

berbagai kesepakatan penting seperti pengakuan kelompok oposisi yang secara resmi dianggap sebagai perwakilan rakyat Suriah, dukungan terhadap perjuangan kelompok oposisi, pemberian bantuan keuangan kepada kelompok oposisi yang diakui, dan pemberian sanksi ekonomi kepada pemerintah Bashar al Assad.

Berhembusnya kabar bahwa pemerintah Suriah menggunakan senjata kimia untuk menyerang kelompok oposisi pada awal tahun 2013 lalu menyebabkan Presiden Obama memikirkan untuk mengintervensi langsung konflik di Suriah dan mempersenjatai kelompok oposisi. Menurut Presiden Obama, penggunaan senjata kimia dapat menjadi “game changer” bagi sikap Amerika Serikat terhadap konflik di Suriah. Amerika Serikat telah menentukan garis merah (red line) dalam konflik Suriah dimana saat ditemukan bukti penggunaan senjata kimia oleh pemerintah Suriah, berarti garis merah telah dilanggar dan Amerika Serikat akan mengambil langkah yang lebih tegas. Pada Kamis, 13 Juni 2013, Amerika Serikat membuktikannya, Amerika Serikat mengumumkan akan mengirimkan bantuan senjata kepada kelompok pemberontak/oposisi setelah Amerika Serikat meyakini dan memiliki bukti bahwa Presiden Assad menggunakan senjata kimia untuk melawan kelompok oposisi.2 Senjata yang akan dikirim adalah senjata kecil, amunisi, dan mungkin senjata anti-tank. Selain mempersenjatai kelompok oposisi, Presiden Obama juga merencanakan limited

military strike terhadap Suriah sebagai bentuk hukuman atas penggunaan senjata kimia

terhadap rakyatnya sendiri. Namun, kemudian Presiden Obama meminta kongres untuk menunda voting terkait pemberian kewenangan untuk mengintervensi Suriah secara militer. Hal ini karena Presiden Obama setuju dengan usulan Rusia terkait pengambilalihan dan penghancuran senjata kimia Suriah di bawah monitoring internasional serta menempuh upaya perundingan damai antara kelompok oposisi dengan pemerintah Suriah.

2 Associated Press, ‘UN chief opposes US arms to Syria rebels, says on site probe must confirm

chemical weapon use’, Fox News (online), 14 Juni 2013, < http://www.foxnews.com/world/2013/06/14/un-chief-opposes-us-arms-to-syria-rebels-says-on-site-probe-must-confirm/>, diakses pada 20 Mei 2014

(3)

3 Sikap Amerika Serikat dalam konflik di Suriah ini menarik untuk diteliti setidaknya karena tiga alasan, yaitu pertama, minimnya dukungan publik Amerika Serikat terhadap keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik di Suriah, apalagi sampai mempersenjatai mereka dan melakukan serangan militer terhadap Suriah. Berdasarkan survei pada bulan Mei 2013 yang dilakukan oleh beberapa media ternama di Amerika Serikat seperti seperti The New

York Times, menunjukkan 61% responden berpendapat bahwa AS tidak memiliki

tanggungjawab untuk terlibat dalam konflik Suriah, 28% menyatakan punya, dan 10% menjawab tidak yakin. Survei yang digelar Fox News menghasilkan 68% responden berpendapat bahwa AS tidak seharusnya lebih jauh terlibat walaupun terdapat krisis kemanusiaan di Suriah sekalipun, 23% menyatakan AS untuk lebih terlibat, dan 9% menjawab tidak yakin. Terkait mempersenjatai kelompok oposisi, Huffington Post menayangkan hasil surveinya yang menunjukkan 51% warga AS berpikir pemerintah AS tidak seharusnya mempersenjatai kelompok oposisi, 12% menjawab setuju, dan 37% menjawab tidak yakin.3

Alasan kedua adalah pengalaman sejarah di masa lalu saat Amerika Serikat mempersenjatai kelompok mujahidin Afganistan untuk membantu mengusir tentara Uni Soviet yang menduduki Afganistan di tahun 1979. Bantuan Amerika Serikat pada waktu itu memang terbukti berhasil membuat Uni Soviet kewalahan dan akhirnya memutuskan untuk menarik pasukannya dari Afghanistan di tahun 1981. Akan tetapi, mempersenjatai mujahidin Afganistan ternyata memiliki efek samping yang buruk. Veteran perang di Afghanistan berubah menjadi kader gerakan islam ekstrimis di Mesir, Algeria, West Bank, dan tempat lainnya. Sebagian dari mereka telah terlibat dalam insiden teror anti barat, termasuk pengeboman World Trade Center.4

Alasan ketiga adalah kelompok oposisi di Suriah yang berjuang untuk menggulingkan Presiden Bashar al Assad memiliki latar belakang dan ideologi perjuangan yang sangat beragam, mulai dari yang moderat hingga ekstrimis. Amerika Serikat perlu mempertimbangkan secara matang keputusannya untuk mengirimkan senjata kepada kelompok oposisi yang diakuinya dan dinilainya moderat, sebab perkembangan situasi di

3

Huffingtonpost, Pollster Update: Polls show opposition to US military involvement in Syria (online), 14 June 2013, < http://www.huffingtonpost.com/2013/06/14/syria-polls_n_3443741.html>, diakses pada 20 Februari 2014

4 T.W. Lippman, ‘Aid to Afghan Rebels Returns to Haunt US’, Washington Post, 26 July 1993, p. A1

dalam T.G. Carpenter, The Unintended Consequences of Afghanistan, World Policy Journal, Vol. 11, No. 1, 1994, hal. 76

(4)

4 lapangan konflik sangat memungkinkan untuk terjadinya perubahan-perubahan yang tidak diinginkan seperti kelompok jihad merebut senjata kelompok FSA atau bahkan anggota kelompok FSA yang membelot dan bergabung dengan kelompok jihad.

Sikap Amerika Serikat dalam konflik di Suriah ini tidak bisa dilepaskan dari beberapa latar belakang seperti hubungan Amerika Serikat dengan Suriah di bawah pemerintahan Presiden Assad yang tidak baik. Hubungan keduanya mulai memburuk saat Amerika Serikat menginvasi Afghanistan tahun 2001 dan Iraq tahun 2003 sebagai bagian dari war on

terrorism. Suriah tidak mendukung invasi tersebut dan justru membantu masyarakat Iraq

loyalis Saddam Hussein untuk melawan pendudukkan tentara Amerika Serikat di Iraq. Selain itu, Suriah yang sudah masuk dalam daftar negara yang mensponsori terorisme Amerika Serikat sejak 19795 ini juga dikategorikan dalam negara axis of evil melalui National Security

Council (NSC) Presidential Directive-17 yang diterbitkan pada Desember 2002 lalu. Dengan

predikat tersebut, bersama Iran, Irak, Korea Utara, dan Libya, Suriah menjadi negara yang dianggap oleh Amerika Serikat sebagai negara yang mensponsori terorisme dan ditengarai mengembangkan senjata pemusnah massal.6 Selain itu, juga karena hubungan Suriah yang semakin memburuk dengan Israel, sekutu utama Amerika Serikat di Timur Tengah, pascaperang 1967 saat Israel berhasil merebut dataran tinggi golan dari Suriah dan mendudukinya sampai sekarang. Amerika Serikat mengalami kesulitan untuk mendamaikan kedua nya karena Suriah dan Israel sama-sama memiliki persyaratan mendasar terkait normalisasi hubungan keduanya. Suriah mengajukan prasyarat pengembalian dataran tinggi Golan dan daerah lain yang direbut Israel dalam perang tahun 1967 untuk mau berdamai dengan Israel, sementara Israel menolak prasyarat yang diajukan Suriah dan mengajukan prasyarat untuk Suriah agar tidak berhubungan dengan Iran, Hezbollah, dan organisasi rakyat Palestina tertentu terutama Hamas. Namun, Suriah pun juga menolaknya. Perdamaian yang belum terwujud diantara kedua negara ini membuat Amerika Serikat khawatir akan keamanan Israel dari serangan kelompok-kelompok militan yang didukung oleh Suriah. Hal lainnya adalah legitimasi politik Presiden Assad saat memerintah Suriah yang cenderung menurun dari tahun ke tahun akibat tiga persoalan utama yakni otoritas (authority), identitas

(identity), dan persamaan (equality)7.Dari segi otoritas, Presiden Assad memang terpilih

5 U.S. Department of State, US Relations with Syria (online), March 20, 2014, http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/3580.htm, diakses pada 23 April 2014

6 A. P. Dobson & S. Marsh, US Foreign Policy Since 1945, 2nd edn, Routledge, New York, 2006, hal. 178 7 Seperti yang dikutip oleh Michael C. Hudson dari A World of Nations: Problems of Political

(5)

5 melalui pemilihan umum, tapi pada saat itu tidak ada calon lain yang selain Bashar al Assad. Sementara dari segi identitas, Bashar al Assad berasal dari kelompok shiah alawiyah yang hanya sebagian kecil dari mayoritas penduduk Suriah yang beragama Islam sunni dan dari segi persamaan, baik ayah maupun anak sama-sama membedakan perlakuan antarmasyarakat yang beragama Islam shiah dan Islam sunni. Ketiga hal itulah yang kemudian membuat rakyat Suriah menginginkan adanya pergantian rezim.

Dengan latar belakang tersebut, menarik untuk diteliti bagaimana Amerika Serikat merespon konflik yang terjadi di Suriah dan alasan mengapa Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Barack Obama bersikap demikian. Jawaban dari pertanyaan itu lah yang akan menjadi topik bahasan utama dalam skripsi ini.

2. Rumusan Masalah

1) Bagaimana sikap Amerika Serikat dalam merespon konflik di Suriah tahun 2011-2014?

2) Mengapa Amerika Serikat merespon dengan mendukung perjuangan kelompok oposisi di Suriah?

3. Landasan Teori

Politik Luar Negeri Amerika Serikat di Timur Tengah

Menurut Yakub Halabi dalam bukunya berjudul US Foreign Policy in the Middle East disebutkan bahwa politik luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah pascatragedi 9/11 adalah mempromosikan demokrasi.8 Menurutnya, Amerika Serikat berusaha menunjukkan bahwa tidak benar jika dikatakan nilai-nilai Islam tidak sesuai dengan demokrasi dan berusaha menanamkan nilai bahwa muslim biasa (ordinary muslim) yang hidup di lingkungan bebas akan enggan untuk bergabung dengan organisasi teroris seperti Al-Qaeda. Lebih lanjut Halabi menjelaskan bahwa tragedi 9/11 telah mengubah mindset pemerintah Amerika Serikat yang semula berasumsi bahwa terorisme disebabkan karena kemiskinan menjadi terorisme disebabkan karena adanya tekanan dari pemerintah yang otoriter terhadap rakyat nya sehingga rakyat tidak memiliki kebebasan untuk berekspresi. Saat Amerika Serikat berasumsi bahwa terorisme berkaitan erat dengan kemiskinan, politik luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah adalah mempromosikan kapitalisme dan liberalisasi otoritas (authority), identitas (identity), dan persamaan (equality). Lihat M.C. Hudson, Arab Politics the search

for legitimacy, Yale University Press, New Haven and London, 1977, hal. 4

8

(6)

6 perdagangan, tapi fakta bahwa Osama bin Laden berasal dari keluarga yang kaya raya, mematahkan asumsi tersebut. Fakta tersebut kemudian membuat para pembuat kebijakan Amerika Serikat menyadari bahwa permasalahan utama tumbuh suburnya kelompok terorisme anti-barat bukan hanya dari kemiskinan, tetapi juga marginalisasi politik atau rakyat yang termarginalkan dalam kehidupan politik di negara-negara Timur Tengah. Menurut laporan United States Institute for Peace (USIP) di tahun 2002, faktor utama tumbuhnya ekstrimisme adalah kegagalan pemerintah di negara-negara muslim untuk bisa menyikapi pesatnya perubahan sosial, demografi, dan ekonomi yang terjadi. Dengan demikian demokrasi harus mulai dipromosikan di Timur Tengah dan berhenti mendukung rezim-rezim yang opresif.9

Ide mempromosikan demokrasi di Timur Tengah ini sangat ketal mewarnai politik luar negeri Amerika Serikat di masa pemerintahan George W. Bush (2001-2009). Penyerangan Afghanistan dan Iraq, masing-masing di tahun 2001 dan 2003, merupakan manifestasi dari politik luar negeri tersebut. Di masa pemerintahan Bush, mempromosikan demokrasi di Timur Tengah sangat ditopang dengan paham neo konservatif yang meyakini bahwa dengan keunggulan yang dimiliki, Amerika Serikat dapat bertindak secara unilateral dan menggunakan kekuatannya secara maksimal. Kelompok neo konservatif inilah yang paling mendukung Amerika Serikat untuk menggunakan kekuatan yang dimilikinya untuk melawan rogue state10 yang ditengarai memiliki hubungan dengan kelompok teroris dan berusaha mengembangkan senjata pemusnah massal.11

Di masa pemerintahan Presiden Barack Obama, mempromosikan demokrasi masih menjadi politik luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah. Hal ini sesuai yang disampaikan dalam pidato kenegaraannya pada bulan Mei 2011 lalu mengenai situasi yang berkembang di Timur Tengah dan Afrika Utara, Presiden Obama menyebutkan bahwa mempromosikan reformasi dan mendukung transisi ke demokrasi merupakan kebijakan Amerika Serikat di kawasan tersebut,”it will be the policy of the United States to promote

9

Ibid, hal. 98

10

Rouge State merupakan istilah yang banyak digunakan oleh para pembuat kebijakan di Amerika Serikat pada tahun 1990an untuk mendeskripsikan Negara yang memiliki senjata pemusnah massal, bersikap agresif terhadap negara lain, dan secara langsung maupun tidak langsung memiliki hubungan dengan terorisme. Lihat Larbi Sadiki, ‘Rogue State’ dalam M.Griffiths (ed), Encyclopedia of International Relations, Routledge, London, 2005, hal. 742

11

(7)

7

reform across the region, and to support transitions to democracy”.12

Hampir mirip dengan kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah pada masa pemerintahan George W. Bush, tapi kebijakan Presiden Obama ini memiliki karakter yang berbeda dengan masa pemerintahan George W. Bush. Presiden Obama lebih mengedepankan soft power daripada kekuatan militer untuk mencapai tujuan politik luar negerinya, dengan cara tersebut Presiden Obama berusaha mengembalikan kredibilitas Amerika Serikat di mata masyarakat internasional setelah apa yang dilakukannya di Afghanistan dan Iraq.13

Teori politik luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah dapat digunakan untuk menghubungkan dua variabel dalam penelitian ini yaitu sikap Amerika Serikat dan konflik yang terjadi di Suriah. Dengan demikian teori ini dapat sangat membantu untuk menjawab pertanyaan dalam penelitian ini.

Kepentingan Nasional Amerika Serikat di Timur Tengah

Menurut Andrew Hewyood dalam bukunya Global Politics, kepentingan nasional didefinisikan sebagai tujuan kebijakan luar negeri atau preferensi kebijakan yang menguntungkan bagi masyarakat suatu negara secara keseluruhan.14 Definisi mengenai kepentingan nasional ini memang masih banyak menuai perdebatan, tapi nampaknya semua setuju jika dikatakan bahwa kepentingan nasional merupakan hal yang sentral dalam pembahasan kebijakan luar negeri suatu negara. Menurut Vesna Danilovic, salah satu kontibutor dalam Encyclopedia of International Relations and Global Politics yang menulis tentang National Interest, setidaknya ada tiga hal yang dapat diketahui tentang politik luar negeri suatu negara dengan melihat pada kepentingan nasionalnya. Ketiga hal tersebut adalah dapat diketahui apa saja sumber preferensi kebijakan luar negeri negara, dapat pula dilakukan evaluasi terhadap strategi atau langkah tertentu yang diambil oleh negara, serta justifikasi atas keputusan yang diambil para pengambil keputusan.15

12

The White House, Remarks by the President on the Middle East and North Africa (online), May 19, 2011, http://www.whitehouse.gov/the-press-office/2011/05/19/remarks-president-middle-east-and-north-africa, diakses pada 24 April 2014

13 S. W. Hook, U.S. Foreign Policy the Paradox of World Power, 3rd ed, CQ Press, Washington DC,

2011, hal. 408

14 A. Hewyood, Global Politics, Palgrave Macmillan, Hampshire, 2011, hal. 130

15 V. Danilovic, ‘National Interest’ dalam M. Griffiths (ed), Encyclopedia of International Relations,

(8)

8 Dalam kaitannya dengan kepentingan nasional Amerika Serikat di Timur Tengah, menurut Robert D. Blackwill16 dan Walter B. Slocombe,17 kepentingan nasional Amerika Serikat di Timur Tengah diantaranya adalah mencegah proliferasi senjata pemusnah masal, terutama senjata nuklir; memerangi terorisme dan ideologi Islam radikal dari asalnya; mempromosikan proses transisi ke demokrasi dan pembangunan ekonomi di kawasan; menghalangi menyebarnya pengaruh Iran dan partner beserta proksinya; memastikan ketersediaan minyak dan gas dengan harga yang masuk akal; menyelesaikan konflik Arab – Israel melalui proses negosiasi; dan melindungi keamanan Israel.18

Dari beberapa kepentingan nasional Amerika Serikat di Timur Tengah yang disebutkan di atas, dapat diidentifikasi beberapa kepentingan Amerika Serikat yang berpotensi terancam dengan adanya konflik di Suriah. Adapun kepentingan tersebut adalah mencegah proliferasi senjata pemusnah masal, memerangi terorisme, menghalangi menyebarnya pengaruh Iran dan Rusia di Suriah, serta menjaga keamanan Israel yang juga berpotensi untuk terganggu dengan adanya pergolakan di Suriah.

4. Argumentasi Utama

Untuk menjawab rumusan masalah yang pertama, penulis mengajukan argumentasi utama sebagai berikut

Sikap Amerika Serikat dalam merespon konflik di Suriah ditunjukkan dengan cara yang beragam, mulai dari pembekuan asset, mendukung draf resolusi DK PBB hingga pemberian senjata kepada kelompok oposisi yang diakuinya di Suriah dan sempat mempertimbangkan untuk melakukan serangan militer ke Suriah. Respon Amerika Serikat yang semakin “keras” ini karena situasi konflik di Suriah yang semakin terekskalasi seiring dengan digunakannya senjata kimia oleh Pemerintah Suriah.

16

Robert D. Blackwill, Henry A. Kissinger senior fellow for U.S. foreign policy at the Council on Foreign

Policy. Di masa pemerintahan George W. Bush, Blackwill menjabat sebagai Duta Besar Amerika Serikat untuk

India dan kemudian sebagai deputi asisten Presiden, deputi penasihat keamanan nasional untuk perencanaan strategis, dan utusan Presiden ke Irak. Lihat R. D. Blackwill & W. B. Slocombe, Israel a strategic assets for the

United States, The Washington Institute for Near East Policy, Washington DC, 2011

17

Walter B. Slocombe adalah pengacara senior di Caplin & Drysdale’s Washington, DC, Office. Di tahun 2003 Slocombe menjabat sebagai penasihat senior untuk keamanan nasional dalam Coalition Provisional

Authority for Iraq. Lihat R. D. Blackwill & W. B. Slocombe, Israel a strategic assets for the United States, The

Washington Institute for Near East Policy, Washington DC, 2011

18 R. D. Blackwill & W. B. Slocombe, Israel a strategic assets for the United States, The Washington

(9)

9

5. Hipotesis

Untuk menjawab rumusan masalah yang kedua, penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut Terdapat dua alasan mengapa Amerika Serikat merespon konflik yang terjadi di Suriah. Pertama, politik luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah pascatragedi 9/11 adalah mendukung dan mempromosikan demokrasi, terutama di negara-negara yang dikategorikan sebagai rogue state.

Kedua, terdapat beberapa kepentingan nasional Amerika Serikat di Timur Tengah yang berpotensi terancam seiring dengan berlangsungnya konflik di Suriah. Adapun kepentingan tersebut adalah mencegah proliferasi senjata pemusnah masal, memerangi terorisme, menghalangi menyebarnya pengaruh Iran dan Rusia di Suriah, serta menjaga keamanan Israel yang juga berpotensi untuk terganggu dengan adanya pergolakan di Suriah.

6. Metode Penelitian

Penulisan skripsi yang membahas sikap Amerika Serikat dalam konflik di Suriah tahun 2011-2014 ini menggunakan metode kualitatif. Metode ini digunakan untuk mengetahui bagaimana sikap Amerika Serikat dalam konflik di Suriah selama ini dan alasan Amerika Serikat bersikap demikian. Metode kualitatif ini digunakan untuk mengumpulkan jenis data kualitatif, sekunder (data yang sudah diolah), dan time-series data atau data berkala melalui studi literatur dari buku, jurnal, artikel internet, media massa baik online maupun cetak. Data yang diperoleh kemudian dikelompokkan ke dalam kategori-kategori tertentu seperti data terkait kronologis konflik di Suriah dari sejak dimulainya konflik pada bulan Maret 2011 hingga bulan Maret 2014 dan tindakan apa saja yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam kurun waktu tersebut. Kemudian, dianalisis hubungan kedua variabel tersebut sehingga dapat menjawab rumusan masalah sekaligus membuktikan asumsi dasar penulis dan menyimpulkannya.

(10)

10

7. Jangkauan Penelitian

Penelitian ini akan difokuskan pada sikap Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Barack Obama periode kedua terhadap konflik yang terjadi di Suriah sejak bulan Maret 2011 lalu. Mengingat konflik di Suriah masih berlangsung hingga saat skripsi ini dibuat, penulis akan mengamati sikap Amerika Serikat hingga Maret 2014 saja. Walaupun demikian, perkembangan terakhir konflik di Suriah dan sikap Amerika Serikat akan tetap dipaparkan di akhir skripsi.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “PENENTU JUMLAH TEMUAN SISTEM PENGENDALIAN

Informasi tentang mekanisme regulasi ekspresi gen yang berkaitan dengan fekunditas dan waktu perkembangan oleh suhu tinggi dapat memperkaya informasi pada bagian

Dalam anime sendiri, pengaruh Shinto dapat dilihat mulai dari hal-hal kecil yang sudah membudaya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang, seperti keberadaan seorang

Akan tetapi, kita dapat melakukan tindakan yang bijaksana terhadap diri kita sendiri, keluarga dan juga masyarakat luas agar  yang bijaksana terhadap diri kita sendiri, keluarga

Dari Grafik pengujian permeabilitas laboratorium untuk campuran 10% abu sekam padi, didapatkan hasil kesimpulkan yang sama bahwa semakin lama waktu pengujian nilai

Tahun 2021 tercatat sebanyak 1.363 mahasiswa aktif dengan dosen tetap berjumlah 45 orang, artinya rasio dosen dan mahasiswa 1 : 30, rasio yang sangat ideal bagi bidang ilmu

Salah satu kasus pembukaan lahan masyarakat dalam kawasan hutan juga terjadi pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas yang berada pada wilayah Propinsi Sulawesi

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Ekstrak Etanolik Herba Ciplukan memberi- kan efek sitotoksik dan mampu meng- induksi apoptosis pada sel kanker payudara MCF-7