• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. APLIKASI EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) SEBAGAI PENGAWET MIE BASAH. Oleh ELVINA YOHANA F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI. APLIKASI EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) SEBAGAI PENGAWET MIE BASAH. Oleh ELVINA YOHANA F"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

APLIKASI EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) SEBAGAI PENGAWET MIE BASAH

Oleh

ELVINA YOHANA F24102127

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Elvina Yohana. F24102127. APLIKASI EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium

sativum Linn.) SEBAGAI PENGAWET MIE BASAH. Di bawah bimbingan Lilis

Nuraida dan Nuri Andarwulan. 2007.

RINGKASAN

Mie basah, baik mentah atau matang, sudah sejak lama dikonsumsi oleh

masyarakat Indonesia. Mie basah di Indonesia umumnya terbuat dari tepung terigu

(gandum) dan termasuk alkaline noodle karena menggunakan garam alkali dalam

pembuatannya. Mie basah berumur relatif singkat, sehingga untuk memperpanjang

umur simpannya digunakan berbagai zat dan bahan kimia untuk mengawetkannya.

Seringkali, zat yang digunakan sebagai pengawet tersebut bukanlah bahan tambahan

pangan yang diizinkan dan sifatnya membahayakan kesehatan, seperti formalin.

Penggunaan formalin dalam makanan membahayakan karena formalin bukan

pengawet makanan yang diijinkan dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan.

Penggunaan formalin pada produk pangan, khususnya mie basah, perlu digantikan

oleh zat atau bahan yang tidak berbahaya dan harganya yang terjangkau.

Rempah-rempah memiliki potensi untuk dipakai sebagai pengawet makanan karena umumnya

memiliki sifat antimikroba. Sifat antimikroba rempah-rempah tersebut diharapkan

dapat menghambat pertumbuhan mikroba pada mie basah sehingga dapat

memperpanjang umur simpan mie basah. Bawang putih merupakan rempah-rempah

yang menurut penelitian terdahulu memiliki sifat antimikroba. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui kemampuan ekstrak segar dan ekstrak rebus bawang

putih dalam meningkatkan umur simpan mie basah.

Tahapan penelitian dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pembuatan ekstrak

bawang putih, aplikasi ekstrak bawang putih ke dalam adonan mie, dan aplikasi

ekstrak terpilih. Jenis ekstrak bawang putih yang dibuat adalah ekstrak rebus dan

ekstrak segar dengan konsentrasi 10, 20, 30, 50, 100% yang dicampur dengan air

dalam adonan mie. Konsentrasi tersebut dihitung dari jumlah air yang diperlukan

dalam adonan mie.

Pada tahapan aplikasi ekstrak ke dalam adonan mie, pengamatan dilakukan

secara subjektif hingga mie menjadi rusak. Indikator kerusakan berupa bau asam, bau

tengik (pada mie matang) dan lendir. Ekstrak yang mampu memberikan umur simpan

maksimum adalah ekstrak segar 1:1 dan 2:1 konsentrasi 100%, dengan umur simpan

54 dan 57 jam untuk mie mentah, dan 42 jam untuk mie matang. Konsentrasi tersebut

kemudian digunakan dalam tahap penelitian selanjutnya, yaitu aplikasi ekstrak

terbaik. Dalam tahap ini dilakukan analisis mutu mie lebih lanjut, seperti total

mikroba, total kapang khamir, total koliform, pH, a

w

, warna, dan uji sensori. Untuk

uji total mikroba, total kapang khamir, pH, dan warna dilakukan setiap 12 jam sekali

selama 60 jam. Uji koliform, a

w

dan sensori dilakukan pada jam ke-0.

Berdasarkan total mikroba, umur simpan mie mentah yang dibuat dengan

100% ekstrak segar 1:1 dan 2:1 adalah 24-36 jam. Meskipun demikian, pengamatan

subjektif menunjukkan umur simpan hingga 54-57 jam. Perbedaan umur simpan

tersebut disebabkan karena jumlah mikroba pada 24-36 jam belum menimbulkan bau

(3)

asam atau lendir. Bau asam atau lendir umumnya terdeteksi setelah jumlah mikroba

melebihi 10

8

cfu/g.

Total mikroba mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1

melampaui batas SNI-01-2987-1992 setelah 12 jam, dan mie matang yang dibuat

dengan 100% ekstrak segar 2:1 setelah 24 jam. Pengamatan subjektif menunjukkan

bahwa kedua jenis mie matang tersebut dikatakan rusak setelah 42 jam. Mie basah

yang dikatakan rusak secara mikrobiologis belum dikatakan rusak jika diamati secara

visual.

Mie basah mentah, yang dibuat dengan ekstrak segar bawang dan kontrol,

memiliki jumlah mikroba total 5.6 x 10

6

- 1.2 x 10

8

cfu/g pada saat dinyatakan rusak

secara subjektif. Mie basah matang dengan ekstrak segar dan mie kontrol memiliki

jumlah mikroba total 1.8 x 10

7

- 1.7 x 10

8

cfu/g pada saat dinyatakan rusak secara

subjektif.

Mie mentah kontrol memiliki a

w

sebesar 0.907, sementara mie mentah yang

dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 dan 2:1 sebesar 0.891 dan 0.894. Mie matang

kontrol memiliki a

w

sebesar 0.970, dan mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak

segar 1:1 dan 2:1 sebesar 0.938 dan 0.955. Berdasarkan hasil tersebut, penambahan

ekstrak segar bawang putih tidak berpengaruh terhadap nilai a

w

.

Nilai pH mie mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 saat mie

menjadi rusak secara mikrobiologis (setelah 36 jam) adalah sebesar 8.66, dan pada

saat rusak secara subjektif (setelah 54 jam) sebesar 8.13. Mie mentah yang dibuat

dengan ekstrak segar 2:1 saat rusak secara mikrobiologis (setelah 36 jam) memiliki

pH sebesar 8.32, dan saat rusak secara subjektif (setelah 57 jam) sebesar 8.16.

Perubahan pH yang terjadi pada mie mentah dengan ekstrak bawang putih tidak

terlalu besar. Mie mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama

penyimpanan (60 jam) kisaran pH-nya antara 8.72-8.13, serta mie mentah yang

dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 antara 8.26-8.16. Saat mie mentah dengan

ekstrak segar menjadi rusak, baik secara subjektif maupun mikrobiologis, perubahan

pH yang terjadi tidak drastis, cenderung stabil. Berbeda dengan mie mentah kontrol,

dimana selama penyimpanan (60 jam), memiliki pH antara 8.91-7.56. Ekstrak segar

bawang relatif dapat mempertahankan pH mie mentah selama penyimpanan.

Mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 memiliki pH sebesar

6.88 pada saat mie menjadi rusak secara subjektif (setelah 42 jam), dan sebesar 8.47

saat mie menjadi rusak secara mikrobiologis (setelah 12 jam). Mie matang yang

dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 saat rusak secara subjektif (setelah 42 jam)

memiliki pH sebesar 7.19, dan secara mikrobiologis (setelah 24 jam) sebesar 8.12.

Nilai pH mie matang dengan ekstrak segar pada saat rusak mengalami penurunan

namun tidak sampai pH asam. Nilai pH mie matang yang dibuat dengan 100%

ekstrak segar mengalami penurunan lebih besar dibandingkan mie mentah. Kisaran

pH mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama penyimpanan

antara 8.58-6.64, mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 antara

8.50-6.60, dan mie matang kontrol antara 9.02-5.55. Ekstrak segar bawang putih dapat

menurunkan laju penurunan pH mie matang selama penyimpanan.

Penambahan ekstrak bawang putih pada mie mentah dapat menekan

pertumbuhan kapang khamir. Hal ini dapat dilihat pada jumlah kapang khamir mie

(4)

mentah dengan ekstrak segar yang tidak melebihi batas 10

4

cfu/g selama

penyimpanan (60 jam), berbeda dengan mie mentah kontrol yang melebihi 10

4

cfu/g

setelah 48 jam. Hal tersebut juga berbeda dengan mie matang, dimana kapang pada

mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 dan 2:1 melebihi batas 10

4

cfu/g setelah 60 jam. Mie matang kontrol tidak melebihi 10

4

cfu/g selama

penyimpanan (60 jam). Uji total koliform pada mie mentah dan matang pada awal

penyimpanan (0 jam) menunjukkan hasil negatif. Hal tersebut membuktikan bahwa

kebersihan dan sanitasi selama pembuatan mie berlangsung baik.

Perubahan warna lebih terlihat pada mie mentah dibandingkan pada mie

matang. Hal itu terlihat pada perubahan ketajaman warna (nilai L) dan golongan

warna (º Hue) mie. Kerusakan mie, baik secara visual maupun mikrobiologis, kurang

berpengaruh terhadap warna mie mentah dan matang. Pada mie mentah, nilai L

cenderung menurun, sedangkan pada mie matang relatif tetap. Nilai ºHue pada mie

mentah dan matang selama penyimpanan mengalami penurunan, tetapi tidak sampai

mengubah golongan warna mie. Golongan warna mie, mentah dan matang, selama

penyimpanan tetap yellow red.

Uji sensori diujikan terhadap atribut warna, aroma, teksur, rasa dan

keseluruhan mie. Uji sensori secara keseluruhan menunjukkan bahwa mie mentah dan

matang tanpa penambahan ekstrak bawang masih lebih disukai dibandingkan mie

dengan ekstrak bawang. Mie dengan ekstrak bawang kurang disukai karena aroma

bawang yang menyengat dan teksturnya kurang baik.

Harga mie basah dengan penambahan ekstrak segar dihitung berdasarkan

harga dasar mie basah di pasaran dan harga ekstrak segar bawang. Hasil perhitungan

menunjukkan harga mie yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 adalah sebesar

Rp 6,447.93/kg untuk mie mentah dan Rp 3,370.86/kg untuk mie matang. Mie

mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 berharga Rp 7,766.48/kg dan mie

matang yang dibuat dengan 100% ekstrak 2:1 sebesar Rp 4,298.79/kg.

Pada penelitian ini penambahan ekstrak bawang putih tidak efektif dalam

meningkatkan umur simpan mie basah. Secara subjektif dan mikrobiologis, umur

simpan mie dengan penambahan ekstrak segar tidak berbeda dengan mie kontrol.

(5)

Elvina Yohana. F24102127. APLIKASI EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) SEBAGAI PENGAWET MIE BASAH. Di bawah bimbingan Lilis Nuraida dan Nuri Andarwulan. 2007.

RINGKASAN

Mie basah, baik mentah atau matang, sudah sejak lama dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Mie basah di Indonesia umumnya terbuat dari tepung terigu (gandum) dan termasuk alkaline noodle karena menggunakan garam alkali dalam pembuatannya. Mie basah berumur relatif singkat, sehingga untuk memperpanjang umur simpannya digunakan berbagai zat dan bahan kimia untuk mengawetkannya. Seringkali, zat yang digunakan sebagai pengawet tersebut bukanlah bahan tambahan pangan yang diizinkan dan sifatnya membahayakan kesehatan, seperti formalin.

Penggunaan formalin dalam makanan membahayakan karena formalin bukan pengawet makanan yang diijinkan dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Penggunaan formalin pada produk pangan, khususnya mie basah, perlu digantikan oleh zat atau bahan yang tidak berbahaya dan harganya yang terjangkau. Rempah-rempah memiliki potensi untuk dipakai sebagai pengawet makanan karena umumnya memiliki sifat antimikroba. Sifat antimikroba rempah-rempah tersebut diharapkan dapat menghambat pertumbuhan mikroba pada mie basah sehingga dapat memperpanjang umur simpan mie basah. Bawang putih merupakan rempah-rempah yang menurut penelitian terdahulu memiliki sifat antimikroba. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan ekstrak segar dan ekstrak rebus bawang putih dalam meningkatkan umur simpan mie basah.

Tahapan penelitian dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pembuatan ekstrak bawang putih, aplikasi ekstrak bawang putih ke dalam adonan mie, dan aplikasi ekstrak terpilih. Jenis ekstrak bawang putih yang dibuat adalah ekstrak rebus dan ekstrak segar dengan konsentrasi 10, 20, 30, 50, 100% yang dicampur dengan air dalam adonan mie. Konsentrasi tersebut dihitung dari jumlah air yang diperlukan dalam adonan mie.

Pada tahapan aplikasi ekstrak ke dalam adonan mie, pengamatan dilakukan secara subjektif hingga mie menjadi rusak. Indikator kerusakan berupa bau asam, bau tengik (pada mie matang) dan lendir. Ekstrak yang mampu memberikan umur simpan maksimum adalah ekstrak segar 1:1 dan 2:1 konsentrasi 100%, dengan umur simpan 54 dan 57 jam untuk mie mentah, dan 42 jam untuk mie matang. Konsentrasi tersebut kemudian digunakan dalam tahap penelitian selanjutnya, yaitu aplikasi ekstrak terbaik. Dalam tahap ini dilakukan analisis mutu mie lebih lanjut, seperti total mikroba, total kapang khamir, total koliform, pH, aw, warna, dan uji sensori. Untuk uji total mikroba, total kapang

khamir, pH, dan warna dilakukan setiap 12 jam sekali selama 60 jam. Uji koliform, aw dan sensori dilakukan pada jam ke-0.

Berdasarkan total mikroba, umur simpan mie mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 dan 2:1 adalah 24-36 jam. Meskipun demikian, pengamatan subjektif menunjukkan umur simpan hingga 54-57 jam. Perbedaan umur simpan tersebut disebabkan karena jumlah mikroba pada 24-36 jam belum menimbulkan bau asam atau lendir. Bau asam atau lendir umumnya terdeteksi setelah jumlah mikroba melebihi 108 cfu/g.

(6)

Total mikroba mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 melampaui batas SNI-01-2987-1992 setelah 12 jam, dan mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 setelah 24 jam. Pengamatan subjektif menunjukkan bahwa kedua jenis mie matang tersebut dikatakan rusak setelah 42 jam. Mie basah yang dikatakan rusak secara mikrobiologis belum dikatakan rusak jika diamati secara visual.

Mie basah mentah, yang dibuat dengan ekstrak segar bawang dan kontrol, memiliki jumlah mikroba total 5.6 x 106 - 1.2 x 108 cfu/g pada saat dinyatakan rusak secara subjektif. Mie basah matang dengan ekstrak segar dan mie kontrol memiliki jumlah mikroba total 1.8 x 107 - 1.7 x 108 cfu/g pada saat dinyatakan rusak secara subjektif.

Mie mentah kontrol memiliki aw sebesar 0.907, sementara mie mentah

yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 dan 2:1 sebesar 0.891 dan 0.894. Mie matang kontrol memiliki aw sebesar 0.970, dan mie matang yang dibuat dengan

100% ekstrak segar 1:1 dan 2:1 sebesar 0.938 dan 0.955. Berdasarkan hasil tersebut, penambahan ekstrak segar bawang putih tidak berpengaruh terhadap nilai aw.

Nilai pH mie mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 saat mie menjadi rusak secara mikrobiologis (setelah 36 jam) adalah sebesar 8.66, dan pada saat rusak secara subjektif (setelah 54 jam) sebesar 8.13. Mie mentah yang dibuat dengan ekstrak segar 2:1 saat rusak secara mikrobiologis (setelah 36 jam) memiliki pH sebesar 8.32, dan saat rusak secara subjektif (setelah 57 jam) sebesar 8.16. Perubahan pH yang terjadi pada mie mentah dengan ekstrak bawang putih tidak terlalu besar. Mie mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama penyimpanan (60 jam) kisaran pH-nya antara 8.72-8.13, serta mie mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 antara 8.26-8.16. Saat mie mentah dengan ekstrak segar menjadi rusak, baik secara subjektif maupun mikrobiologis, perubahan pH yang terjadi tidak drastis, cenderung stabil. Berbeda dengan mie mentah kontrol, dimana selama penyimpanan (60 jam), memiliki pH antara 8.91-7.56. Ekstrak segar bawang relatif dapat mempertahankan pH mie mentah selama penyimpanan.

Mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 memiliki pH sebesar 6.88 pada saat mie menjadi rusak secara subjektif (setelah 42 jam), dan sebesar 8.47 saat mie menjadi rusak secara mikrobiologis (setelah 12 jam). Mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 saat rusak secara subjektif (setelah 42 jam) memiliki pH sebesar 7.19, dan secara mikrobiologis (setelah 24 jam) sebesar 8.12. Nilai pH mie matang dengan ekstrak segar pada saat rusak mengalami penurunan namun tidak sampai pH asam. Nilai pH mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar mengalami penurunan lebih besar dibandingkan mie mentah. Kisaran pH mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama penyimpanan antara 8.58-6.64, mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 antara 8.50-6.60, dan mie matang kontrol antara 9.02-5.55. Ekstrak segar bawang putih dapat menurunkan laju penurunan pH mie matang selama penyimpanan.

Penambahan ekstrak bawang putih pada mie mentah dapat menekan pertumbuhan kapang khamir. Hal ini dapat dilihat pada jumlah kapang khamir mie mentah dengan ekstrak segar yang tidak melebihi batas 104 cfu/g selama penyimpanan (60 jam), berbeda dengan mie mentah kontrol yang melebihi 104

(7)

cfu/g setelah 48 jam. Hal tersebut juga berbeda dengan mie matang, dimana kapang pada mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 dan 2:1 melebihi batas 104 cfu/g setelah 60 jam. Mie matang kontrol tidak melebihi 104 cfu/g selama penyimpanan (60 jam). Uji total koliform pada mie mentah dan matang pada awal penyimpanan (0 jam) menunjukkan hasil negatif. Hal tersebut membuktikan bahwa kebersihan dan sanitasi selama pembuatan mie berlangsung baik.

Perubahan warna lebih terlihat pada mie mentah dibandingkan pada mie matang. Hal itu terlihat pada perubahan ketajaman warna (nilai L) dan golongan warna (º Hue) mie. Kerusakan mie, baik secara visual maupun mikrobiologis, kurang berpengaruh terhadap warna mie mentah dan matang. Pada mie mentah, nilai L cenderung menurun, sedangkan pada mie matang relatif tetap. Nilai ºHue pada mie mentah dan matang selama penyimpanan mengalami penurunan, tetapi tidak sampai mengubah golongan warna mie. Golongan warna mie, mentah dan matang, selama penyimpanan tetap yellow red.

Uji sensori diujikan terhadap atribut warna, aroma, teksur, rasa dan keseluruhan mie. Uji sensori secara keseluruhan menunjukkan bahwa mie mentah dan matang tanpa penambahan ekstrak bawang masih lebih disukai dibandingkan mie dengan ekstrak bawang. Mie dengan ekstrak bawang kurang disukai karena aroma bawang yang menyengat dan teksturnya kurang baik.

Harga mie basah dengan penambahan ekstrak segar dihitung berdasarkan harga dasar mie basah di pasaran dan harga ekstrak segar bawang. Hasil perhitungan menunjukkan harga mie yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 adalah sebesar Rp 6,447.93/kg untuk mie mentah dan Rp 3,370.86/kg untuk mie matang. Mie mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 berharga Rp 7,766.48/kg dan mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak 2:1 sebesar Rp 4,298.79/kg.

Pada penelitian ini penambahan ekstrak bawang putih tidak efektif dalam meningkatkan umur simpan mie basah. Secara subjektif dan mikrobiologis, umur simpan mie dengan penambahan ekstrak segar tidak berbeda dengan mie kontrol.

(8)

APLIKASI EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) SEBAGAI PENGAWET MIE BASAH

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

ELVINA YOHANA F24102127

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si Dosen Pembimbing II INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

APLIKASI EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) SEBAGAI PENGAWET MIE BASAH

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh ELVINA YOHANA F24102127 Tanggal lulus : 2 Februari 2007 Disetujui, Bogor, Februari 2007 Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah Ketua Departemen ITP

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 10 Mei 1984 dan merupakan anak satu-satunya dari pasangan Ella Tatuil dan Albert Makiwawu. Penulis menyelesaikan pendidikan dasarnya pada tahun 1996 di SD Santo Paulus Jakarta, kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Santo Paulus Jakarta hingga tahun 1999. Penulis menamatkan pendidikan menengah atas di SMU Kristen 3 BPK Penabur pada tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Insitut Pertanian Bogor Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian melalui Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2002.

Selama menjalani studi di IPB, penulis aktif di berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, diantaranya menjadi anggota Food Chat Club, Ketua Panitia The 4th National Student’s Paper Competition on Food Issues, serta berbagai kepanitiaan lainnya, seperti Kepanitian Lepas Landas Sarjana tahun 2003 dan Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan tahun 2004. Penulis melaksanakan tugas khusus selama dua bulan pada bulan Juni hingga Juli 2005 di Curtin University of Technology, Perth, Australia dengan topik “Canola Meal Protein Isolation and Lupin Softening”. Sebagai tugas akhir, penulis mengambil penelitian dengan judul “Aplikasi Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum Linn) Sebagai Pengawet Alami Mie Basah” di bawah bimbingan Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc dan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M,Si.

(11)

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat, anugerah dan pimpinan-Nya selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:

1. Papa, Mama dan seluruh keluarga yang saya kasihi atas doa, kasih sayang, kepercayaan dan dukungannya selama ini.

2. Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc, selaku dosen pembimbing pertama atas segala bimbingan dan nasihat yang telah diberikan kepada penulis selama menjadi mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan

3. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si selaku dosen pembimbing kedua atas bimbingan dan saran selama penelitian dan penulisan skripsi

4. Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc selaku dosen penguji atas kebersediaannya menguji pada ujian skripsi.

5. Teman-temanku satu kontrakan selama kurang lebih 3 tahun, Dora, Tissa, Farah, Ina, Nuy, Ratry, Fany Nene atas persahabatan dan kebersamaan yang telah terjalin indah.

6. Teman-teman senasib, sependeritaan dan sepenanggungan di lab, Meilina, Karen, Inggrid, Dhenok, Pretty atas semua bantuan, keceriaan dalam suka dan duka, toleransi, dan kebersamaannya selama ini.

7. Para laboran dan staf semuanya, Pak Koko, Teh Ida, Pak Gatot, Bu Rubiyah, Pak Rojak, Pak Sobirin, Mas Edi, Pak Wahid, Bu Sri, Pak Sidik, Pak Mul dan Pak Solihin atas semua bantuan dan nasehat selama saya menjalani penelitian.

8. Staf dan karyawan AJMP atas bantuannya selama ini dalam mengurus segala urusan administrasi.

9. Para pemain kartu, Adjeng, Didin, Dadik, Papang, Randy, Ribka, Kiki, Irwan, Ulik, Aponk, Vivi, dan Prasna.

(12)

10. TPG’39 yang berdomisili di lab-lab lainnya. Untuk Herold, Mohung, Risna, Yulizar Ijal, Eva, Rohana, AnSor, Boyon, Ribka, Woro, Nanda, Randy, Manginar, Manto, Steisi, Temin, Evrin, Julia, Hana, dan Hanna Hansib.

11. Teman-teman kos Palem Merah, Aline, Emma, Mbak Nana, Mbak Santi, Mbak Shinta, Tin-tin, Mbak Yona, Mbak Stany atas kebersamaan singkat yang indah.

12. Teman-teman ITP’40, 41, 42 atas bantuan dan kerjasamanya. 13. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu

Penulis berharap bahwa skripsi ini dapat berguna bagi siapapun yang membutuhkan, khususnya bagi mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Penulis mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan dalam penulisan karya tulis ini.

Bogor, Januari 2007

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... .. viii

DAFTAR LAMPIRAN ... .. ix

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN PENELITIAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. MIE BASAH ... 3

1. Jenis Mie Basah ... 4

2. Proses Pengolahan Mie Basah ... 6

3. Umur Simpan dan Kerusakan Mie Basah ... 9

B. BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn) ... 11

1. Klasifikasi Bawang Putih ... 11

2. Sifat Antimikroba Bawang Putih ... 12

a. Alisin ... 14

b. Ajoene ... 17

III. BAHAN DAN METODE A. BAHAN DAN ALAT ... 20

1. Bahan ... 20

2. Alat ... 20

B. METODE ... 20

1. Pembuatan Ekstrak Bawang Putih ... 21

2. Aplikasi Ekstrak ke Dalam Adonan Mie ... 22

3. Aplikasi Konsentrasi Jenis dan Ekstrak Terpilih ke Dalam Adonan Mie ... 24

C. PENGAMATAN ... 24

(14)

2. Pengukuran Rendemen Ekstrak ... 24

3. Total Mikroba Ekstrak Bawang Putih dan Mie Basah ... 25

4. Total Kapang Khamir ... 26

5. Total Koliform ... 26

6. pH Ekstrak dan Mie ... 27

7. Nilai aw ... 27

8.Warna ... 28

9. Uji Sensori ... 29

10. Analisis Harga Mie ... 29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMBUATAN EKSTRAK BAWANG PUTIH ... 31

1. Kadar Air Bawang Putih ... 31

2. Rendemen Ekstrak Bawang ... 31

3. Total Mikroba Ekstrak Bawang ... 32

4. Nilai pH Ekstrak Bawang ... 33

B. APLIKASI PENDAHULUAN EKSTRAK BAWANG PUTIH KE DALAM ADONAN MIE ... 33

C. APLIKASI JENIS DAN KONSENTRASI EKSTRAK TERBAIK KE DALAM ADONAN MIE ... 37

1. Total Mikroba Mie Basah Selama Penyimpanan ... 37

2. Total Kapang Khamir Mie Basah Selama Penyimpanan ... 44

3. Total Koliform ... 48

4. Nilai aw ... 49

5. Nilai pH ... 51

6. Warna ... 55

a. Nilai L (ketajaman warna) ... 56

b. Derajat Hue ... 60 7. Uji Sensori ... 63 a. Warna ... 63 b. Aroma ... 66 c. Tekstur ... 69 d. Rasa ... 72

(15)

e. Keseluruhan (overall) ... 74

8. Analisis Harga Mie ... 76

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

A. KESIMPULAN ... 79

B. SARAN ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 81

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Tahap-tahap pembuatan mie basah... 7

Gambar 2. Struktur kimia alisin... 14

Gambar 3. Reaksi pembentukan alisin... 15

Gambar 4. Bawang putih yang digunakan dalam penelitian... 19

Gambar 5. Diagram alir penelitian... 20

Gambar 6. Proses pembuatan mie basah mentah dan matang... 22

Gambar 7. Total mikroba mie basah mentah selama penyimpanan... 37

Gambar 8. Total mikroba mie basah matang selama penyimpanan... 40

Gambar 9. Total kapang khamir mie basah mentah selama penyimpanan.. 43

Gambar 10. Total kapang khamir mie basah matang selama penyimpanan.. 45

Gambar 11. Perubahan nilai pH mie basah mentah selama penyimpanan.... 49

Gambar 12. Perubahan nilai pH mie basah matang selama penyimpanan... 52

Gambar 13. Perubahan nilai L pada pengukuran warna mie basah mentah selama penyimpanan... 54

Gambar 14. Perubahan nilai L pada pengukuran warna mie basah matang selama penyimpanan... 56 Gambar 15. Perubahan nilai °Hue pada perubahan warna mie basah mentah selama penyimpanan... 61

Gambar 16. Perubahan nilai °Hue pada perubahan warna mie basah matang selama penyimpanan... 62

Gambar 17. Hasil uji hedonik terhadap warna mie mentah dan mie mentah yang dimatangkan... 64 Gambar 18. Hasil uji hedonik terhadap warna mie matang... 65

Gambar 19. Hasil uji hedonik terhadap aroma mie mentah dan mie mentah yang dimatangkan ... 67

(17)

Gambar 20. Hasil uji hedonik terhadap aroma mie matang... 68

Gambar 21. Hasil uji hedonik terhadap tekstur mie mentah dan mie mentah yang dimatangkan... 70

Gambar 22. Hasil uji hedonik terhadap tekstur mie matang... 71

Gambar 23. Hasil uji hedonik terhadap rasa mie matang dan mie mentah yang dimatangkan... 73

Gambar 24. Hasil uji hedonik terhadap keseluruhan mie mentah dan mie

mentah yang dimatangkan... 74

(18)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Syarat mutu mie basah (SNI-01-2987-1992) ... 3

Tabel 2. Komposisi nilai gizi mie basah... 5

Tabel 3. Komposisi bawang putih per 100 gram umbi... 12

Tabel 4. Jenis dan konsentrasi ekstrak yang ditambahkan ke adonan... 22

Tabel 5. Formula dasar pembuatan mie basah.skala laboratorium... 23

Tabel 6. Rendemen jenis ekstrak bawang putih... 31

Tabel 7. Jumlah mikroba awal ekstrak segar bawang putih... 32

Tabel 8. Nilai pH ekstrak bawang... 33

Tabel 9. Umur simpan mie basah dengan penambahan ekstrak bawang putih segar... 34

Tabel 10. Umur simpan mie basah dengan penambahan ekstrak rebus bawang putih... 36

Tabel 11. Perbandingan umur simpan mie basah secara pengamatan subjektif dan mikrobiologis... 43

Tabel 12. Nilai aw sampel mie basah ... 43

Tabel 13. Persen rendemen mie mentah dan matang dengan penambahan ekstrak segar... 77

Tabel 14. Perhitungan harga mie basah dengan penambahan ekstrak segar bawang putih... 78

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1a. Hasil perhitungan kadar air bawang putih ... 85

Lampiran 1b. Rendemen ekstrak bawang putih ... 85

Lampiran 1c Nilai pH ekstrak rebus bawang putih ... 85

Lampiran 1d. Nilai pH ekstrak segar bawang putih ... 85

Lampiran 2a. Total mikroba ekstrak bawang putih rebus ... 86

Lampiran 2b. Total mikroba ekstrak bawang putih segar ... 86

Lampiran 3a. Umur simpan mie basah mentah yang dibuat dengan ekstrak rebus bawang putih ... 87

Lampiran 3b. Umur simpan mie basah yang dibuat dengan ekstrak segar bawang putih ... 87

Lampiran 4a. Hasil analisis ragam umur simpan mie basah mentah yang dibuat dengan ekstrak segar 1:1 ... 88

Lampiran 4b. Hasil analisis ragam umur simpan mie basah matang yang dibuat dengan ekstrak segar 1:1 ... 88

Lampiran 5a. Hasil analisis ragam umur simpan mie basah mentah yang dibuat dengan ekstrak segar 2:1... 89

Lampiran 5b. Hasil analisis ragam umur simpan mie basah matang yang dibuat dengan ekstrak segar 2:1 ... 89

Lampiran 6a. Hasil analisis ragam umur simpan mie basah matang yang dibuat dengan ekstrak rebus 1:3, waktu perebusan 1 menit 90 Lampiran 6b. Hasil analisis ragam umur simpan mie basah matang yang dibuat dengan ekstrak rebus 1:3, waktu perebusan 5 menit 90 Lampiran 7. Hasil analisis total mikroba mie basah mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama penyimpanan ... ... 91

Lampiran 8. Hasil analisis total mikroba mie basah matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama penyimpanan... 92

(20)

Lampiran 9. Hasil analisis total mikroba mie basah mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 selama penyimpanan... 93

Lampiran 10. Hasil analisis total mikroba mie basah matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 selama penyimpanan... 94

Lampiran 11. Persamaan regresi linear dari kurva pertumbuhan mie basah mentah... 95

Lampiran 12. Persamaan regresi linear dari kurva pertumbuhan mie basah matang... 96

Lampiran 13. Hasil analisis total kapang khamir mie basah mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama penyimpanan ... 97

Lampiran 14. Hasil analisis total kapang khamir mie basah matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama penyimpanan ... 98

Lampiran 15. Hasil analisis total kapang khamir mie basah mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 selama penyimpanan ... 99

Lampiran 16. Hasil analisis total kapang khamir mie basah matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 selama penyimpanan ... 100

Lampiran 17. Hasil analisis warna terhadap mie basah mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama penyimpanan... 101

Lampiran 18. Hasil analisis warna terhadap mie basah matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama penyimpanan... 102

Lampiran 19. Hasil analisis warna terhadap mie basah mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 selama penyimpanan... 103

Lampiran 20. Hasil analisis warna terhadap mie basah matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 selama penyimpanan... 104

Lampiran 21a. Hasil analisis ragam nilai L jam ke-0 untuk mie basah mentah ... 105

(21)

Lampiran 21b. Hasil analisis ragam nilai L jam ke-0 untuk mie basah matang ... 105

Lampiran 22. Nilai aw sampel mie basah mentah,mie basah matang dan

kontrol ... 106

Lampiran 23a. Nilai pH mie basah mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama penyimpanan ... 107

Lampiran 23b. Nilai pH mie basah matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama penyimpanan ... 107

Lampiran 24a. Nilai pH mie basah mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1selama penyimpanan ... 108

Lampiran 24b. Nilai pH mie basah matang yang dibuat dengan 10% ekstrak segar 2:1 selama penyimpanan ... 108

Lampiran 25. Form kuisioner uji hedonik mie basah mentah ... 109

Lampiran 26. Form kuisioner uji hedonik mie basah matang ... 110

Lampiran 27. Hasil uji hedonik terhadap mie basah mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1... 111

Lampiran 28. Hasil uji hedonik terhadap mie basah mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1... 112

Lampiran 29. Hasil uji hedonik terhadap mie basah mentah kontrol (tanpa penambahan ekstrak)... 113

Lampiran 30. Hasil uji hedonik terhadap mie basah mentah pasar ... 114

Lampiran 31. Hasil analisis ragam untuk parameter warna mie basah mentah ... 115

Lampiran 32. Hasil analisis ragam untuk parameter aroma mie basah mentah ... 116

Lampiran 33. Hasil analisis ragam untuk parameter tekstur mie basah mentah ... 117

Lampiran 34. Hasil analisis ragam untuk parameter keseluruhan mie basah mentah ... 118

Lampiran 35. Hasil uji hedonik terhadap mie basah matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1... 119

(22)

Lampiran 36. Hasil uji hedonik terhadap mie basah matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1... 120

Lampiran 37. Hasil uji hedonik terhadap mie basah matang kontrol (tanpa penambahan ekstrak) ... 121

Lampiran 38. Hasil uji hedonik terhadap mie basah matang pasar... 122

Lampiran 39. Hasil analisis ragam untuk parameter warna mie basah matang ... 123

Lampiran 40. Hasil analisis ragam untuk parameter aroma mie basah matang ... 124

Lampiran 41. Hasil analisis ragam untuk parameter tekstur mie basah matang ... 125

Lampiran 42. Hasil analisis ragam untuk parameter rasa mie basah matang ... 126

Lampiran 43. Hasil analisis ragam untuk parameter keseluruhan mie basah matang ... 127

Lampiran 44. Hasil uji hedonik terhadap mie basah mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 yang dimatangkan... 128

Lampiran 45. Hasil uji hedonik terhadap mie basah mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 yang dimatangkan... 129

Lampiran 46. Hasil uji hedonik terhadap mie basah mentah kontrol yang dimatangkan ... 130

Lampiran 47. Hasil uji hedonik terhadap mie basah mentah pasar yang dimatangkan... 131

Lampiran 48. Hasil analisis ragam untuk parameter warna mie basah mentah yang dimatangkan ... 132

Lampiran 49. Hasil analisis ragam untuk parameter aroma mie basah mentah yang dimatangkan ... 133

Lampiran 50. Hasil analisis ragam untuk parameter tekstur mie basah mentah yang dimatangkan ... 134

(23)

Lampiran 51. Hasil analisis ragam untuk parameter rasa mie basah mentah yang dimatangkan ... 135

Lamipran 52. Hasil analisis ragam untuk parameter keseluruhan mie basah mentah yang dimatangkan ... 136

Lampiran 53. Contoh perhitungan harga mie basah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar... 137

(24)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Oleh karena itu, perkembangan ilmu pangan dan penemuan dalam bidang pangan dan teknologinya terus berkembang. Pada saat ini masyarakat tidak hanya menghendaki pangan yang lezat dan enak, namun juga pangan yang bergizi dan aman bagi kesehatan. Keamanan pangan menjadi sangat penting dewasa ini dikarenakan semakin banyaknya makanan yang menggunakan pengawet atau zat berbahaya lainnya. Salah satu produk pangan yang banyak disorot karena penggunaan zat berbahaya formalin sebagai pengawet adalah mie basah.

Mie basah, baik mentah atau matang, sudah sejak lama dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Jenis mie basah di Indonesia umumnya terbuat dari tepung terigu (gandum) dan termasuk alkaline noodle karena menggunakan garam alkali dalam pembuatannya. Tingkat konsumsi masyarakat terhadap mie basah cukup tinggi karena harganya yang cukup murah dan mudah diolah menjadi berbagai macam masakan. Mie basah berumur relatif singkat, yaitu selama 50- 60 jam (Hoseney, 1998). Menurut Chamdani (2005), mie basah mentah memiliki umur simpan antara 24-36 jam dan menurut Pahrudin (2006), umur simpan mie basah matang antara 24-30 jam.

Penggunaan formalin dalam makanan bersifat membahayakan karena formalin bukan pengawet makanan yang diijinkan dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan, baik bagi konsumen dan produsen mie basah. Salah satu alasan mengapa penggunaan formalin masih marak digunakan adalah harganya yang murah dan daya awetnya yang lama, dan mutu mie yang dihasilkan lebih bagus (Astawan, 2006). Penggunaan formalin pada produk pangan, khususnya mie basah, perlu digantikan oleh zat atau bahan yang tidak berbahaya dan harganya yang terjangkau.

(25)

Rempah-rempah memiliki potensi untuk dipakai sebagai pengawet makanan karena umumnya memiliki sifat antimikroba. Sifat antimikroba rempah-rempah tersebut diharapkan dapat menghambat pertumbuhan mikroba pada mie basah sehingga dapat memperpanjang umur simpan mie basah. Ketersediaan rempah di Indonesia boleh dibilang cukup karena Indonesia merupakan salah satu negara penghasil rempah-rempah terbesar di dunia. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa rempah seperti cengkeh, bawang putih, jahe, kunyit, lengkuas, daun salam, kecombrang memiliki sifat antibakteri dan antifungi. Sifat antimikroba tersebut disebabkan kandungan senyawa aktif pada rempah, seperti eugenol pada cengkeh dan alisin pada bawang putih.

Aplikasi rempah sebagai pengawet atau bahan tambahan pada makanan perlu mempertimbangkan berbagai segi, seperti warna, aroma atau tekstur. Pemilihan bawang putih untuk diteliti lebih lanjut mengenai pengaruhnya pada umur simpan mie basah disebabkan ketersediaan bawang putih yang cukup, harganya terjangkau dan terutama karena sifatnya dalam menghambat mikroba sudah diketahui. Meski telah banyak penelitian menerangkan sifat antimikroba bawang putih, namun belum ada yang khusus meneliti aplikasi sifat antimikroba bawang putih pada produk pangan, khususnya mie basah.

B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan ekstrak rebus dan ekstrak segar bawang putih (Allium sativum Linn.) dalam meningkatkan umur simpan mie basah, baik mie basah mentah maupun mie basah matang. Mie basah yang dibuat dengan ekstrak rebus dan ekstrak segar bawang putih dibandingkan umur simpannya dengan mie basah tanpa ekstrak bawang putih.

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. MIE BASAH

Mie adalah salah satu produk utama olahan terigu. Di Indonesia, jenis tepung yang paling banyak digunakan untuk pembuatan mie adalah tepung terigu (gandum). Berdasarkan SNI 01-2987-1992 tentang mie basah, mie adalah produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie. Syarat mutu mie basah berdasarkan SNI dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Syarat mutu mie basah (SNI-01-2987-1992)

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan: 1.1 Bau - Normal 1.2 Rasa - Normal 1.3 Warna - Normal 2 Kadar air % b/b 20-35

3 Kadar abu (dihitung atas

dasar bahan kering) % b/b Maks. 3

4 Kadar protein (dihitung

atas dasar bahan kering) % b/b Min. 3

5

Bahan tambahan pangan

5.1 Boraks dan asam borat Tidak boleh ada

5.2 Pewarna

Sesuai SNI-0222-M dan Permenkes No. 722/Menkes/Per/IX/88

5.3 Formalin Tidak boleh ada

6

Cemaran logam:

6.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 1.0

6.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10.0

6.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40.0

6.4 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0.05

7 Arsen (As) mg/kg Maks. 0.05

8

Cemaran mikroba:

8.1 Angka lempeng total Koloni/g Maks. 1.0 x 106

8.2 E. coli APM/g Maks. 10

(27)

Mie diperkirakan berasal dari Cina dan dibawa masuk ke Indonesia oleh pendatang dan imigran Cina. Menurut Pagani (1985), mie merupakan produk pasta yang berbahan baku beras dan tepung kacang-kacangan yang pertama kali ditemukan oleh bangsa Cina, sedangkan menurut Hoseney (1998), mie adalah jenis pasta yang secara umum terbuat dari tepung, bukan semolina atau farina, dan mengandung garam sebagai tambahan pada tepung dan air.

1. Jenis Mie Basah

Menurut Winarno dan Rahayu (1994), berdasarkan kadar air dan tahap pengolahannya, mie gandum dapat dibagi menjadi lima golongan, yaitu: (1) mie mentah/segar dengan kadar air 35% yang dibuat langsung dari proses pemotongan lembaran adonan, (2) mie basah dengan kadar air 52%, adalah mie mentah yang sebelum dipasarkan mengalami perebusan dalam air mendidih lebih dahulu, (3) mie kering dengan kadar air 10%, adalah mie mentah yang langsung dikeringkan, (4) mie goreng, adalah mie mentah yang sebelum dipasarkan lebih dahulu digoreng, dan (5) mie instan (mie siap hidang), yang di Jepang disebut sokusekimen, adalah mie mentah yang telah mengalami pengukusan dan dikeringkan sehingga menjadi mie instan kering atau digoreng sehingga menjadi mie instan goreng. Mie basah dengan bahan baku tepung terigu dapat digolongkan dalam dua kategori berdasarkan cara pembuatannya, yaitu mie basah mentah dan mie basah matang. Perbedaan kedua jenis mie basah tersebut adalah adanya tahapan perebusan dan penambahan minyak pada proses pembuatan mie basah matang sehingga kadar airnya meningkat menjadi 52%, sedangkan pada mie basah mentah tidak melewati tahapan tersebut sehingga kadar airnya berkisar 35% (Astawan, 2005).

Mie basah yang terdapat di Indonesia, menurut Hou dan Kruk (1998), termasuk jenis Chinese wet noodle. Mie jenis ini termasuk mie segar (fresh noodle) yang umum dikonsumsi dalam jangka waktu 24 jam setelah produksi dikarenakan diskolorasi yang cepat terjadi. Umur simpan dapat diperpanjang menjadi 3-5 hari jika disimpan pada suhu refrigerator. Chinese wet noodle mengandung protein sebesar 11.0-12.5% dan kadar abu

(28)

sebesar 0.40-0.45%. Mie basah jenis Chinese noodles umumnya terbuat dari tepung gandum keras, dicirikan oleh warna kuning terang atau putih krem dan tekstur yang kuat. Karakteristik khusus dari Chinese wet noodles adalah penambahan kan-sui (garam alkali) yang menyebabkan warna kuning khas, flavor basa, pH tinggi dan tekstur yang baik (Hou dan Kruk, 1998).

Mie basah merupakan bahan pangan yang tinggi kadar karbohidratnya, karena terbuat dari hampir 95% tepung terigu. Mie basah juga mengandung senyawa lainnya, seperti protein, lemak dan vitamin. Komposisi nilai gizi mie basah dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi nilai gizi mie basah*

zat gizi mie basah

Energi (kkal) 86 Protein (g) 1 Lemak (g) 3 Karbohidrat (g) 14 Kalsium (mg) 14 Fosfor (mg) 13 Besi (mg) 1 Vitamin A (SI) 0 Vitamin B1 (mg) 0 Vitamin C (mg) 0 Air 80.0 *Direktorat Gizi Depkes, 1979

Warna alami pada mie basah disebabkan oleh senyawa flavon yang terkandung dalam tepung dan pengaruh penambahan garam alkali. Miskelly (1996) menyebutkan bahwa senyawa flavon yang terlepas dari pati yang disebut apigenin glikosida berubah menjadi kuning pada suasana basa. Miskelly juga menyebutkan bahwa kekuningan (yellowness) dan kecerahan (brightness) mie tidak hanya dipengaruhi alkali tapi juga oleh kadar bran tepung, protein spesifik tepung, enzim protease dan polifenol oksidase, tingkat kerusakan pati, ukuran partikel tepung, dan penambahan senyawa pemutih tepung, telur atau pewarna makanan.

(29)

Senyawa flavon yang terkandung dalam tepung adalah pigmen tepung. Pigmen flavonoid ini berasal dari kontaminasi bran terhadap tepung, dimana flavonoid tidak rusak oleh zat pemutih (bleaching agent) yang umum digunakan. Pada pH asam, senyawa flavonoid relatif stabil dan tidak berwarna, namun akan memberikan warna kuning jika pH menjadi tinggi. Senyawa flavonoid inilah sumber penyebab warna kuning pada mie basah yang mengandung garam-garam alkali (Hoseney, 1998). Menurut Hou dan Kruk (1998), kriteria warna dari mie basah mentah (Chinese raw noodle) adalah terang dan agak putih, serta mengalami sedikit perubahan warna dalam 24 jam. Mie basah matang (Chinese wet noodle) mempunyai kriteria warna kuning terang serta terjadi sedikit perubahan warna dalam selang 24 jam.

2. Proses Pengolahan Mie Basah

Bahan-bahan pembuat mie basah umumnya sama seperti bahan pembuat mie lainnya, yang terdiri atas tepung terigu, garam dapur, air, dan garam karbonat (Anonim, 2005). Tepung terigu adalah bahan yang jumlahnya paling banyak digunakan dan berfungsi sebagai bahan dasar dan sumber karbohidrat. Garam berguna untuk memberikan rasa, memperkuat tekstur, membantu reaksi gluten dan karbohidrat, serta mengikat air. Garam karbonat yang dapat terdiri atas kalium karbonat atau natrium karbonat berfungsi untuk meningkatkan pH, menyebabkan warna sedikit kuning dengan flavor yang lebih baik. Secara khusus, natrium karbonat berperan untuk kehalusan tekstur, sedangkan kalium karbonat untuk meningkatkan kekenyalan. Air berfungsi untuk melarutkan garam dapur dan garam karbonat, serta membantu pembentukan gluten (Winarno dan Rahayu, 1994).

Warna unik dari mie kuning (yellow noodles) disebabkan penambahan garam alkali, lebih dikenal dengan nama kan-sui atau air basa. Jumlah penambahan biasanya sebesar 1% atau bahkan 1.5% untuk karbonat dan 0.3% untuk natrium hidroksida, walaupun jumlah 1% kadang digunakan. Penambahan alkali memberikan karakteristik aroma dan flavor, warna

(30)

kuning dan tekstur yang kuat dan elastis pada mie. Jumlah alkali yang ditambahkan berhubungan erat dengan nilai pH mie (Miskelly, 1996).

Proses pembuatan mie basah secara umum meliputi tahap-tahap pencampuran bahan, pengadukan, pembentukan lembaran, pengistirahatan, penipisan lembaran, pemotongan pita-pita mie, perebusan dan pelumuran minyak (untuk mie basah matang). Proses pembuatan mie basah yang digunakan dalam penelitan berdasarkan penelitian Pahrudin (2006) dan tahap-tahap proses pembuatannya dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Tahap-tahap pembuatan mie basah (Pahrudin, 2006)

Tahap pertama adalah pencampuran bahan-bahan, seperti terigu, air, dan garam alkali yang selanjutnya dilakukan pengadukan agar bahan-bahan tersebut tercampur dengan rata dan homogen. Tahap pencampuran dan pengadukan juga bertujuan untuk menghidrasi tepung dengan air dan membentuk adonan dari jaringan gluten sehingga adonan menjadi elastis dan halus. Campuran yang diharapkan adalah campuran yang lunak, lembut, tidak lengket, halus, elastis dan mengembang dengan normal (Gracecia, 2005). Pencampuran bahan-bahan Pengadukan Pembentukan lembaran Pengistirahatan Penipisan lembaran

Pembentukan dan pemotongan pita-pita mie

Pelumuran tapioka Perebusan

(31)

Penambahan air pada tahap pencampuran bahan terbatas, biasanya 35% dari bobot terigu. Jumlah air tersebut tidak cukup untuk membentuk adonan pada awalnya, sehingga terbentuk gumpalan-gumpalan tepung. Pengadukan berguna untuk menghancurkan gumpalan-gumpalan tersebut menjadi bentuk yang lebih kecil. Pengadukan biasanya berlangsung selama 5-10 menit dengan tujuan utama keseragaman distribusi air (Hoseney, 1998).

Pembentukan lembaran mie dilakukan dengan melalukan adonan di antara dua rol besi. Ketebalan lembaran mie yang diharapkan kira-kira sebesar 1 cm. Lembaran mie tersebut dilalukan kembali di antara dua rol besi dengan jarak yang makin kecil sehingga dihasilkan lembaran dengan ketebalan 1-2 mm. Fungsi pembentukan lembaran adalah untuk membentuk lembaran adonan dengan ketebalan seragam dan pembentukan gluten. Karena adonan mie selalu dibentuk melalui arah yang sama, fibril gluten terbentuk sejajar dengan arah pembentukan lembaran yang memberikan mie kekuatan yang lebih pada bentuk yang panjang (Hoseney, 1998).

Menurut Badrudin (1994), faktor yang mempengaruhi pembentukan lembaran adalah suhu dan jarak rol. Suhu yang baik adalah sekitar 37°C, jika kurang dari suhu tersebut adonan akan menjadi kasar dan pecah-pecah sehingga mie mudah patah. Sedangkan menurut Hoseney (1998), dua faktor penting dalam pembentukan lembaran adalah kecepatan pembentukan lembaran dan perbandingannya. Kecepatan pembentukan lembaran adalah kecepatan rol, atau berapa cepat adonan melewati rol. Perbandingan pembentukan lembaran adalah ketebalan adonan setelah dibentuk menjadi lembaran dengan ketebalan adonan sebelum dibentuk menjadi lembaran. Kedua faktor ini harus diperhatikan untuk mendapatkan mie yang bagus.

Pengistirahatan lembaran adonan mie biasanya dilakukan selama 15 menit. Hal ini bertujuan agar pembentukan gluten dalam adonan berjalan dengan baik dan seragam. Proses penipisan lembaran berguna dalam penyebaran gluten yang lebih baik dan memperkuat tekstur serta kekuatan mie. Mie dengan tekstur halus dan ketebalan tipis yang dihasilkan kemudian dipotong-potong menjadi pita-pita mie. Proses tersebut dilakukan dengan melalukan lembaran adonan mie di antara dua rol pemotong.

(32)

Pelumuran tapioka untuk mie basah mentah bertujuan agar pita-pita mie tidak saling lengket. Tepung tapioka yang digunakan dapat menjadi sumber kontaminasi mikroba karena pada umumnya tepung tapioka memiliki jumlah mikroba awal yang cukup tinggi, yaitu sebesar 2.51 x 105 cfu/g. Berbeda dengan mie basah mentah, mie basah matang terlebih dahulu harus melewati proses perebusan. Oleh karena itu, mie basah matang memiliki kadar air yang lebih tinggi daripada mie basah mentah dan lebih cepat rusak. Proses perebusan mie basah matang menginaktifkan enzim polifenol oksidase yang terdapat pada tepung sehingga mie basah matang tidak berubah menjadi coklat seperti mie basah mentah. Pelumuran minyak pada mie basah matang sama dengan pelumuran tapioka pada mie basah mentah, yaitu bertujuan agar pita-pita mie tidak saling lengket. Menurut Miskelly (1996), minyak yang dapat digunakan antara lain adalah minyak kelapa atau minyak kacang.

3. Umur Simpan dan Kerusakan Mie Basah

Umur simpan mie basah mentah berbeda dengan mie basah matang. Perbedaan tersebut terutama disebabkan adanya perbedaan proses pembuatan. Perebusan yang dialami mie basah matang menyebabkan tingginya kadar air sehingga lebih mudah rusak. Menurut Nugrahani (2005), kadar air rata-rata mie basah matang adalah sebesar 64.17% dan mie basah mentah sebesar 31.25%. Kadar air tinggi memudahkan mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang biak.

Menurut Hoseney (1998), mie basah mentah tidak dimasak sebelum dijual dan mengandung 35% air. Sebab itu, mie basah mentah dengan cepat rusak kecuali disimpan pada suhu lemari es. Setelah 50-60 jam pada suhu lemari es, mie menjadi gelap dan berkapang. Pada suhu ruang, mie basah mentah hanya dapat bertahan maksimal dua hari (48 jam). Mie basah matang direbus sebelum dijual. Setelah direbus, mie basah matang mempunyai kadar air sebesar 52% sehingga memiliki umur simpan relatif singkat (40 jam pada suhu ruang). Perebusan mendenaturasi enzim polifenol

(33)

oksidase sehingga mie tidak berubah warna menjadi coklat selama penyimpanan.

Menurut Chamdani (2005), mie basah mentah memiliki umur simpan antara 24-36 jam. Pahrudin (2006) menyebutkan bahwa umur simpan mie basah matang adalah antara 24-30 jam. Hasil-hasil tersebut didapat berdasarkan jumlah mikroba total mie basah mentah yang melebihi standar SNI, yaitu sebesar 106 cfu/g.

Penerimaan konsumen untuk mie basah mentah akan baik jika mie berwarna putih atau kuning muda. Pencoklatan warna selama penyimpanan disebabkan enzim polifenoloksidase (PPO) yang menyebabkan browning pada buah (Hoseney, 1998). Proses pencoklatan dilaporkan terjadi lebih cepat pada mie kuning basa (yellow alkaline noodle) dibandingkan dengan mie putih asin (Miskelly, 1996).

Kerusakan yang umum terjadi pada mie basah adalah bau asam, bau tengik, timbulnya lendir dan perubahan warna. Bau asam terjadi pada mie basah mentah dan matang sebagai akibat aktivitas mikroba. Bau tengik hanya terjadi pada mie basah matang sebagai hasil degradasi minyak oleh mikroba. Bau asam dan bau tengik adalah indikator kerusakan mie pada tahap awal, sedangkan lendir umumnya merupakan indikator kerusakan lanjut.

Mikroba pada mie basah sebagian besar berasal dari tepung dan bahan-bahan penyusunnya. Menurut Christensen (1974), bakteri yang biasa terdapat pada tepung adalah Pseudomonas, Micrococcus, Lactobacillus serta beberapa spesies Achromobacterium. Kapang yang ditemukan pada tepung antara lain Aspergillus, Rhizopus, Mucor, Fusarium, dan Penicillium.

Menurut Priyatna (2005), mie mentah dan mie matang memiliki kadar air yang berbeda sehingga ciri kerusakan utama yang terjadi juga berbeda. Kerusakan pada mie mentah terutama disebabkan oleh kapang karena kadar air mie mentah yang relatif rendah. Kerusakan tersebut ditandai dengan timbulnya jamur pada permukaan mie. Ciri-ciri kerusakan mie mentah lainnya adalah hancur/patah-patah, keras/kering, bau asam, berlendir, lembek, dan perubahan warna mie mentah menjadi lebih pucat. Tekstur mie

(34)

mentah yang kering/keras, hancur/patah-patah dapat disebabkan karena kadar airnya berkurang akibat penguapan air selama penyimpanan sehingga elastisitas mie menurun. Kerusakan pada mie matang terutama disebabkan oleh bakteri karena kadar air mie matang relatif tinggi. Kerusakan pada mie matang yang disebabkan oleh bakteri antara lain lembek, kempal (menyatu), bau asam, berlendir, hancur dan kurang kenyal. Namun sebagian besar ciri kerusakan pada mie matang adalah mie menjadi kempal (menyatu) dan lembek.

B. BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.)

Bawang putih (Allium sativum Linn.) merupakan satu dari 600 jenis genus Allium. Bawang putih terkait erat dengan bawang bombay (Allium cepa), daun bawang (Allium porum), bawang merah (Allium ascalonicum), rocambole, dan chives. Bawang putih telah digunakan sejak lama, baik dalam masakan atau untuk tujuan kesehatan. Asal bawang putih diperkirakan dari Asia Tengah (Whitmore dan Naidu, 2000).

1. Klasifikasi Bawang Putih

Bawang putih (Allium sativum) termasuk genus afflum dan famili Liliaceae. Bawang putih termasuk klasifikasi tumbuhan terna berumbi lapis atau siung yang bersusun. Bawang putih tumbuh secara berumpun dan berdiri tegak sampai setinggi 30 -75 cm, mempunyai batang semu yang terbentuk dari pelepah-pelepah daun. Helaian daunnya mirip pita, berbentuk pipih dan memanjang. Akar bawang putih terdiri dari serabut-serabut kecil yang berjumlah banyak dan setiap umbi bawang putih terdiri dari sejumlah anak bawang (siung) yang setiap siungnya terbungkus kulit tipis berwarna putih. Bawang putih yang semula merupakan tumbuhan daerah dataran tinggi, sekarang di Indonesia, jenis tertentu dibudidayakan di dataran rendah (Anonima, 2005).

Berdasarkan SNI nomor 01-3190-1992 tentang bawang putih, bawang putih adalah umbi tanaman bawang putih (Allium sativum L.) yang terdiri dari siung-siung bernas, kompak dan masih terbungkus oleh kulit luar, bersih

(35)

dan tidak berjamur. Bawang putih tersusun atas beberapa senyawa kimia dimana air adalah komponen dengan jumlah terbesar. Komposisi kimia bawang putih selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi bawang putih per 100 gram umbi

Protein 4.5 g Lemak 0.20 g Karbohidrat 23.10 g Vitamin B1 0.22 mg Vitamin C 15 mg Kalori 95 kal Fosfor 134 mg Kalsium 42 mg Besi 1 mg Air 71 g * Anonima (2005)

Di Indonesia, bawang putih yang umum ditanam oleh para petani dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu bawang putih dataran rendah dan bawang putih dataran tinggi. Bawang putih dataran rendah termasuk varietas lumbu putih, Bagor, Nganjuk, Sanur, Jatibarang dan Sumbawa (Anonimb, 2006). Bawang putih ternyata juga dapat mengobati berbagai jenis penyakit, seperti hipertensi, asma, batuk, masuk angin, sakit kepala, sakit kuning, sesak nafas, busung air, ambeien, sembelit, luka memar, abses, luka benda tajam, gigitan serangga, cacingan, insomnia(Anonima, 2005).

2. Sifat Antimikroba Bawang Putih

Bawang putih (Allium sativum Linn.) termasuk salah satu rempah-rempah yang telah terbukti dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Komponen bawang putih yang telah terbukti dapat menghambat mikroba adalah alisin atau asam dialil tiosulfinat. Alisin digambarkan sebagai minyak yang tidak berwarna, berbau tajam yang

(36)

mencirikan bau dasar dan rasa bawang putih dan bawang bombay. Bawang putih juga terbukti dapat menghambat pertumbuhan dan respirasi fungi patogenik. Daya antimikroba tinggi yang dimiliki bawang putih dan bawang bombay dikarenakan kandungan alisin yang tinggi dan senyawa sulfida lain yang terkandung dalam minyak atsiri bawang putih dan bombay (Whitmore dan Naidu, 2000). Daya antimikroba bawang putih inilah yang membuatnya berpotensi dijadikan sebagai pengawet bahan pangan.

Pengujian aktivitas antimikroba bawang putih pertama kali dilakukan oleh Cavalito dan Bailey pada tahun 1944. Pengujian dilakukan dengan menggunakan metode lempeng silinder (cylinder plate method). Dialil sulfida dan dialil polisulfida, komponen flavor utama bawang putih, tidak menunjukkan aktivitas antimikroba. Namun alisin menunjukkan aktivitas penghambatan bagi pertumbuhan bakteri Gram positif dan Gram negatif (Hirasa dan Takemasa, 1998).

Noda et al., (1984) seperti yang dikutip Hirasa dan Takemasa (1998), meneliti tentang aktivitas antifungi bawang putih terhadap fungi Saccharomyces cerevisiae dan Aspergillus oryzae. Hasilnya adalah kemampuan antifungi bawang putih sangat berkurang ketika dipanaskan yang menonaktifkan enzim yang berperan dalam pembentukan alisin. Jus bawang putih pada konsentrasi 0.5% dapat menonaktifkan thypoid bacillus secara keseluruhan dalam 5 menit, serta mampu menghambat pertumbuhan semua jenis mikroorganisme pada konsentrasi 3.0%. Namun jus bawang putih juga dilaporkan dapat memacu pertumbuhan E. coli. Senyawa pada bawang putih yang dapat memacu pertumbuhan E. coli adalah scordinin (Hirasa dan Takemasa, 1998).

Golongan senyawa yang dinilai memiliki aktivitas antimikroba pada bawang putih, seperti alisin, ajoene, dialil sulfida dan dialil disulfida, termasuk ke dalam golongan senyawa tiosulfinat. Tiosulfinat adalah golongan senyawa organik yang mengandung dua atom belerang yang saling berikatan, dimana salah satunya berikatan rangkap dengan atom oksigen, seperti alisin (Ganora, 2006).

(37)

Struktur kimia alisin dapat dilihat pada Gambar 3. Kestabilan senyawa tiosulfiant tergantung dari pelarut, suhu, konsentrasi dan kemurnian. Tiosulfinat mengalami beberapa perubahan yang tergantung pada suhu, pH dan kondisi pelarut untuk membentuk senyawa-senyawa yang lebh stabil, seperti disulfida, trisulfida, alilsulfida, vinil dithiins, ajoene dan merkaptosistein (Nagpurkar et al., 2000).

Gambar 2. Struktur kimia alisin

a. Alisin

Alisin (dialil tiosulfinat) pertama kali ditemukan oleh Cavalito dan Bailey pada tahun 1944. Sifat-sifat antara lain tidak stabil terhadap panas, stabil dalam asam atau basa pada konsentrasi rendah, larut air (2.5% pada 10°C), tidak larut dalam larutan karbon alifatik (n-heksan) (Whitmore dan Naidu, 2000). Sementara Harrison (2005), menyatakan bahwa alisin adalah cairan kuning berminyak, berbau tajam bersifat sangat reaktif, sedikit larut air, larut dalam alkohol dan oksidator kuat. Menurut Nagpurkar et al., (2000), alisin larut dalam pelarut organik, terutama pelarut polar, namun kurang dapat larut dalam air. Senyawa-senyawa turunan alisin yang larut minyak antara lain senyawa sulfida, dialil sulfida, dialil disulfida, dialil trisulfida, alil metil, trisulfida, dithiins, dan ajoene. Sementara yang larut air adalah senyawa turunan sistein, seperti S-alilsistein, S-alil merkaptosistein, dan S-metil sistein. Komponen larut air dari alisin lebih stabil dibandingkan komponen larut minyaknya.

Alisin terbentuk dari reaksi hidrolisis senyawa alliin (+S-alil-L-sistein-S-oksida) dengan bantuan enzim alliinase. Enzim alliinase mengkatalisis beberapa perubahan senyawa sulfur dalam bawang putih, salah satunya perubahan alliin menjadi alisin. Dalam hal ini, alliin berfungsi sebagai prekursor alisin. Enzim alliinase menghidrolisis alliin

(38)

menjadi asam 2-propensulfinat. Asam 2-propensulfinat tersebut kemudian berdimerisasi dan membentuk alisin (Whitmore dan Naidu, 2000).

Dua macam aktvitas alliinase telah diketahui terdapat dalam bawang putih. Salah satunya spesifik untuk alliin dan isoalliin, dan yang lainnya untuk methiin. Aktivitas alliinase untuk alliin dan isoalliin memiliki pH optimum 4.5 dan membelah 97% substratnya dalam 0.5 menit pada 23°C. Aktivitas terhadap methiin memiliki pH optimal 6.5, membelah 97% substratnya dalam 5 menit. Aktivitas alliinase tergantung pada pH dan suhu, serta dapat dideaktivasi secara ireversibel pada pH 1.5-3.0. Enzim ini terdapat lebih banyak 10 kali di siung dibandingkan pada daun, dan menyusun sekitar 10% total protein siung bawang putih (Nagpurkar et al., 2000).

Reaksi pembentukan alisin terjadi apabila bawang putih dirusak atau mengalami proses pengolahan seperti diiiris atau dipotong. Senyawa-senyawa yang berperan dalam pembentukan alisin, alliin dan enzim alliinase terdapat dalam kompartemen berbeda dalam sel bawang putih sehingga tidak dapat bereaksi. Ketika bawang putih dipotong atau dirusak, kompartemen tersebut ikut rusak dan memungkinkan adanya reaksi antara alliin dan enzim alliinase.

(39)

Menurut Block (1985) seperti yang dikutip Whitmore dan Naidu (2000), enzim alliinase membutuhkan kofaktor, yaitu piridoksal fosfat, yang bereaksi pada substrat, membentuk kompleks dengan enzim. Ikatan kompleks ini juga termasuk interaksi elektrostatis dari substrat dengan ion logam. Gugus alkali dari enzim memindahkan proton dalam substrat yang menyebabkan disolusi substrat dan melepaskan asam 2-propensilfonat, amonia dan piruvat. Reaksi pembentukan alisin secara singkat dapat dilihat pada Gambar 4.

Amagase et al., (2001) mengemukakan bahwa alisin hanyalah sebuah senyawa transisi yang mudah terdekomposisi menjadi senyawa-senyawa sulfida lainnya, seperti ajoene dan dithiin. Dekomposisi alisin dapat membentuk ajoene, dimana tiga molekul alisin membentuk dua molekul ajoene (Whitmore dan Naidu, 2000).

Barone dan Tansey (1977) seperti yang dikutip Feldberg et al., (1977), mengemukakan bahwa bawang putih dan alisin mengganggu metabolisme sel Candida albicans dengan cara inaktivasi protein, penghambatan kompetitif dari senyawa sulfidril, atau dengan penghambatan non-kompetitif dari fungsi enzim melalui oksidasi. Hipotesis yang dikemukakan adalah pada level statis atau sidal, alisin mengganggu metabolisme sel dalam Candida dengan menonaktifkan protein melalui oksidasi senyawa tiol esensial menjadi disulfida. Hal ini menghambat secara kompetitif aktivitas senyawa sulfidril melalui interaksi dengan glutation atau sistein. Penghambatan non-kompetitif dari fungsi enzim disebabkan oksidasi terhadap gugus SH pada lokasi allosterik enzim. Feldberg et al., (1988) menyatakan alisin dapat mempengaruhi replikasi selular yang melibatkan sintesis DNA atau RNA. Hal yang juga mungkin terjadi adalah alisin mempengaruhi RNA polimerase atau menghambat degradasi mRNA dan sintesis RNA.

b. Ajoene

Yoshida et al., (1987) melaporkan aktivitas antimikroba dari enam fraksi hasil dekomposisi alisin. Ajoene memiliki aktivitas tertinggi dari

(40)

senyawa-senyawa tersebut. Pertumbuhan Aspergillus niger dan C. albicans dihambat oleh ajoene pada konsentrasi tidak kurang dari 20μg/ml. Pengaruh ajoene dan DAD (dialil disulfida) pada fungi dan bakteria juga dipelajari dan didapatkan hasil bahwa pengaruh antimikroba disebabkan keberadaan ikatan disulfida dan gugus sulfinil pada tiap senyawa tersebut.

Ajoene juga menunjukkan spektrum luas dari aktivitas antimikroba. Bakteri Gram positif yang pertumbuhannya dapat dihambat oleh ajoene antara lain Bacillus cereus, Bacillus subtilis, Mycobacterium smegmatis, dan Streptomyces griceus. Sementara pertumbuhan bakteri Gram negatif yang dapat terhambat oleh ajoene adalah E. coli, Klebsiella pneumoniae dan Xanthomonas maltophilia. Pertumbuhan khamir juga dihambat pada konsentrasi dibawah 20μg/ml. Ikatan disulfida pada ajoene tampaknya penting bagi aktivitas antimikroba ajoene, karena reduksi oleh sistein yang bereaksi dengan ikatan disulfida, menghilangkan aktivitas antimikroba ajoene (Yoshida et al., 1987).

Lee et al., (2003) meneliti tentang aktivitas antibakteri dari sayur dan jus, salah satunya adalah bawang putih. Jus bawang putih dan sayuran lainnya dibuat dengan menggunakan alat pembuat jus komersil. Ekstrak jus tersebut kemudian dicampurkan bersama TS (trypticase soy) broth kekuatan ganda (double strength). Inokulum bakteri kemudian dimasukkan ke dalam media broth. Hasil yang didapat menunjukkan bawang putih dan teh memiliki aktivitas antimikroba tertinggi dan aktif terhadap bakteri patogen, termasuk methicillin-resistant Staphylococcus aureus, methicillin-resistant S. Epidermidis, vancomycin-resistant enterokoki, dan ciprofloxacin-resistant Pseudomonas aeruginosa. Jus bawang putih juga menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap bakteri seperti E.coli O157:H7, S. marcescens dan Klebsiella pneumoniae.

Aktivitas antibakteri dari jus bawang putih tetap stabil hingga tiga minggu selama pengujian mingguan ketika disimpan pada suhu 4°C. Lee et al., (2003) juga menyebutkan bawang putih memiliki sifat antifungi, antiviral

(41)

dan antiparasit. Mekanisme yang menyebabkan semua sifat tersebut dipercaya akibat alisin dan reaksi kimianya dengan gugus tiol dari beberapa enzim.

Suharti (2004) meneliti tentang sifat antibakteri bawang putih terhadap bakteri Salmonella typhimurium. Hasilnya adalah serbuk bawang putih dengan konsentrasi 5% dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang setara dengan tetrasiklin 100 μg/ml.

Penelitian Safithri (2004) menunjukkan bahwa ekstrak air dan ekstrak etanol bawang putih dapat menghambat pertumbuhan bakteri S.agalactie, S.aureus, dan E.coli. Ekstrak air bawang putih dengan konsentrasi 20% mempunyai aktivitas antibakteri yang sama dengan ampicillin 5 μg terhadap bakteri S.agalactie, S.aureus, dan E.coli. Ekstrak etanol bawang putih pekat mempunyai aktivitas antibakteri lebih lemah dari ampicillin 5 μg terhadap S.agalactie, S.aureus, dan E.coli. Ekstrak air dan ekstrak etanol yang dipakai menggunakan serbuk bawang putih yang dilarutkan dalam air dan etanol.

Hal yang bertentangan diamati oleh Onyeagba et al., (2004) yang melaporkan bahwa ekstrak air dan ekstrak etanol dari bubuk bawang putih tidak menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap bakteri Bacillus spp, Staphylococcus aureus, E.coli, Salmonella spp. Ekstrak kasar bawang putih yang diterapkan secara tunggal tidak menunjukkan penghambatan in-vitro pada pertumbuhan mikroba uji. Ekstrak air dan ekstrak etanol dibuat dari bubuk bawang yang telah dikeringkan. Whitmore dan Naidu (2000) mengemukakan bahwa alisin dalam bawang putih dibutuhkan dalam jumlah lebih banyak untuk menghambat mikroba pada medium cair dibandingkan pada medium padat.

(42)

III. BAHAN DAN METODE

A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bawang putih (Allium sativum. Linn) yang diperoleh dari Pasar Laladon sebagai bahan baku utama. Bawang putih yang digunakan adalah bawang putih dengan siung jamak, bukan bawang putih tunggal (Gambar 4). Bahan-bahan untuk ekstraksi bawang putih adalah larutan Na-hipoklorit (200 ppm) dan akuades. Terigu Cakra Kembar, Segitiga Biru, garam alkali (Na2CO3),

garam dapur, dan air keran mentah digunakan sebagai bahan-bahan pembuat mie basah. Bahan-bahan untuk analisis adalah media Plate Count Agar (PCA), Potato Dextrose Agar (PDA), Brilliant Green Lactose Bile Broth (BGLBB), asam tartarat,, NaCl 0.85%, alkohol 90%, akuades, NaCl jenuh, mie mentah dan mie matang dari Pasar Merdeka.

Gambar 4. Bawang putih yang digunakan dalam penelitian

2. Alat

Alat-alat yang digunakan untuk penelitian terdiri dari alat untuk membuat mie basah, yaitu timbangan, wadah, pengaduk, mesin pembuat mie (noodle machine), panci, pisau, gelas ukur, gelas piala, dan blender. Alat untuk membuat ekstrak bawang putih adalah waring blender, panci dan kain saring. Alat-alat yang digunakan untuk analisis mikrobiologi, fisik, dan kimia antara lain desikator, oven vakum, mikropipet, cawan petri,

(43)

tabung Durham, inkubator, bunsen, tabung reaksi, erlenmeyer, gelas ukur, hot plate, desikator, pipet, otoklaf, oven, pH-meter, chromameter dan aw

-meter.

B. METODE

Secara garis besar, penelitian dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu pembuatan ekstrak bawang putih, aplikasi ekstrak ke dalam adonan mie, dan aplikasi konsentrasi ekstrak terpilih ke dalam adonan mie. Tiap tahap penelitian tersebut memiliki analisis yang berbeda. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Diagram alir penelitian

1. Pembuatan Ekstrak Bawang Putih

Jenis ekstrak bawang putih yang digunakan adalah ekstrak segar dan ekstrak rebus. Bawang putih yang digunakan untuk pembuatan ekstrak segar terlebih dulu direndam dalam larutan Na-hipoklorit 200 ppm selama 5 menit. Bawang putih kemudian di-blender dengan waring blender bersama dengan air pada perbandingan 1:1 dan 2:1. Jus bawang yang didapatkan kemudian disaring dengan kain saring sehingga didapatkan ekstrak segar bawang putih yang berwarna kuning keruh.

Pembuatan ekstrak bawang putih

Aplikasi ekstrak ke dalam adonan mie

Aplikasi jenis dan konsentrasi ekstrak terpilih ke adonan mie

Perhitungan pertambahan harga mie

Analisis: kadar air bawang

putih, rendemen ekstrak, pH ekstrak, TPC ekstrak

Analisis: pengamatan subjektif

Analisis: total mikroba, total

kapang khamir, total koliform, aw, pH, warna, uji sensori

Gambar

Tabel 1. Syarat mutu mie basah (SNI-01-2987-1992)
Tabel 3. Komposisi bawang putih per 100 gram umbi
Gambar 3. Reaksi pembentukan alisin (Schmidt, 1994)
Gambar 4. Bawang putih yang digunakan dalam penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Laporan tugas akhir dengan judul “ PARALEL INVERTER 1 FASA UNTUK MEMPERBAIKI KUALITAS KELUARAN “ diajukan untuk memenuhi sebagian dari persyaratan dalam memperoleh gelar

pembelajaran di kelas terutama dalam mata pelajaran IPS sebab tanpa memiliki tanggung jawab yang tinggi terhadap pembelajaran IPS, tujuan pembelajaran yang

Atas dasar deskripsi tersebut, tujuan penelitian ini untuk membandingkan konsentrasi Total Partikulat Tersuspensi (TSP) dan sulfur dioksida (SO 2 ) yang diemisikan dari tanur

Alternatif pilihan jawaban pada skala kecerdasan emosional yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi empat pilihan jawaban yaitu Alternatif pilihan jawaban

Laboran serta pihak yang bekerja pada Laboratorium Biologi Farmasi, Teknologi Farmasi, dan Laboratorium Kimia Analisis Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang telah

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui (1) interaksi sosial dalam pembelajaran matematika yang terjadi di kelas VIII SMP N 2 Ponjong, (2) sikap siswa terhadap interaksi

TPA di Kabupaten Kediri adalah TPA Sekoto yang berada di Desa Sekoto Kecamatan Badas. Sedangkan persebaran TPS dapat dilihat pada

Diarahkan sebagai pengeluaran/ belanja pemerintah daerah yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam jenis belanja pegawai (1) s.d hibah (7) seperti belanja tidak tersangka