• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum Linn.) Sebagai Pengawet Mie Basah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum Linn.) Sebagai Pengawet Mie Basah"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

APLIKASI EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) SEBAGAI PENGAWET MIE BASAH

Oleh

ELVINA YOHANA F24102127

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Elvina Yohana. F24102127.

APLIKASI EKSTRAK BAWANG PUTIH (

Allium

sativum

Linn.) SEBAGAI PENGAWET MIE BASAH.

Di bawah bimbingan Lilis

Nuraida dan Nuri Andarwulan. 2007.

RINGKASAN

Mie basah, baik mentah atau matang, sudah sejak lama dikonsumsi oleh

masyarakat Indonesia. Mie basah di Indonesia umumnya terbuat dari tepung terigu

(gandum) dan termasuk

alkaline noodle

karena menggunakan garam alkali dalam

pembuatannya. Mie basah berumur relatif singkat, sehingga untuk memperpanjang

umur simpannya digunakan berbagai zat dan bahan kimia untuk mengawetkannya.

Seringkali, zat yang digunakan sebagai pengawet tersebut bukanlah bahan tambahan

pangan yang diizinkan dan sifatnya membahayakan kesehatan, seperti formalin.

Penggunaan formalin dalam makanan membahayakan karena formalin bukan

pengawet makanan yang diijinkan dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan.

Penggunaan formalin pada produk pangan, khususnya mie basah, perlu digantikan

oleh zat atau bahan yang tidak berbahaya dan harganya yang terjangkau.

Rempah-rempah memiliki potensi untuk dipakai sebagai pengawet makanan karena umumnya

memiliki sifat antimikroba. Sifat antimikroba rempah-rempah tersebut diharapkan

dapat menghambat pertumbuhan mikroba pada mie basah sehingga dapat

memperpanjang umur simpan mie basah. Bawang putih merupakan rempah-rempah

yang menurut penelitian terdahulu memiliki sifat antimikroba. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui kemampuan ekstrak segar dan ekstrak rebus bawang

putih dalam meningkatkan umur simpan mie basah.

Tahapan penelitian dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pembuatan ekstrak

bawang putih, aplikasi ekstrak bawang putih ke dalam adonan mie, dan aplikasi

ekstrak terpilih. Jenis ekstrak bawang putih yang dibuat adalah ekstrak rebus dan

ekstrak segar dengan konsentrasi 10, 20, 30, 50, 100% yang dicampur dengan air

dalam adonan mie. Konsentrasi tersebut dihitung dari jumlah air yang diperlukan

dalam adonan mie.

Pada tahapan aplikasi ekstrak ke dalam adonan mie, pengamatan dilakukan

secara subjektif hingga mie menjadi rusak. Indikator kerusakan berupa bau asam, bau

tengik (pada mie matang) dan lendir. Ekstrak yang mampu memberikan umur simpan

maksimum adalah ekstrak segar 1:1 dan 2:1 konsentrasi 100%, dengan umur simpan

54 dan 57 jam untuk mie mentah, dan 42 jam untuk mie matang. Konsentrasi tersebut

kemudian digunakan dalam tahap penelitian selanjutnya, yaitu aplikasi ekstrak

terbaik. Dalam tahap ini dilakukan analisis mutu mie lebih lanjut, seperti total

mikroba, total kapang khamir, total koliform, pH, a

w

, warna, dan uji sensori. Untuk

uji total mikroba, total kapang khamir, pH, dan warna dilakukan setiap 12 jam sekali

selama 60 jam. Uji koliform, a

w

dan sensori dilakukan pada jam ke-0.

(3)

asam atau lendir. Bau asam atau lendir umumnya terdeteksi setelah jumlah mikroba

melebihi 10

8

cfu/g.

Total mikroba mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1

melampaui batas SNI-01-2987-1992 setelah 12 jam, dan mie matang yang dibuat

dengan 100% ekstrak segar 2:1 setelah 24 jam. Pengamatan subjektif menunjukkan

bahwa kedua jenis mie matang tersebut dikatakan rusak setelah 42 jam. Mie basah

yang dikatakan rusak secara mikrobiologis belum dikatakan rusak jika diamati secara

visual.

Mie basah mentah, yang dibuat dengan ekstrak segar bawang dan kontrol,

memiliki jumlah mikroba total 5.6 x 10

6

- 1.2 x 10

8

cfu/g pada saat dinyatakan rusak

secara subjektif. Mie basah matang dengan ekstrak segar dan mie kontrol memiliki

jumlah mikroba total 1.8 x 10

7

- 1.7 x 10

8

cfu/g pada saat dinyatakan rusak secara

subjektif.

Mie mentah kontrol memiliki a

w

sebesar 0.907, sementara mie mentah yang

dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 dan 2:1 sebesar 0.891 dan 0.894. Mie matang

kontrol memiliki a

w

sebesar 0.970, dan mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak

segar 1:1 dan 2:1 sebesar 0.938 dan 0.955. Berdasarkan hasil tersebut, penambahan

ekstrak segar bawang putih tidak berpengaruh terhadap nilai a

w

.

Nilai pH mie mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 saat mie

menjadi rusak secara mikrobiologis (setelah 36 jam) adalah sebesar 8.66, dan pada

saat rusak secara subjektif (setelah 54 jam) sebesar 8.13. Mie mentah yang dibuat

dengan ekstrak segar 2:1 saat rusak secara mikrobiologis (setelah 36 jam) memiliki

pH sebesar 8.32, dan saat rusak secara subjektif (setelah 57 jam) sebesar 8.16.

Perubahan pH yang terjadi pada mie mentah dengan ekstrak bawang putih tidak

terlalu besar. Mie mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama

penyimpanan (60 jam) kisaran pH-nya antara 8.72-8.13, serta mie mentah yang

dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 antara 8.26-8.16. Saat mie mentah dengan

ekstrak segar menjadi rusak, baik secara subjektif maupun mikrobiologis, perubahan

pH yang terjadi tidak drastis, cenderung stabil. Berbeda dengan mie mentah kontrol,

dimana selama penyimpanan (60 jam), memiliki pH antara 8.91-7.56. Ekstrak segar

bawang relatif dapat mempertahankan pH mie mentah selama penyimpanan.

Mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 memiliki pH sebesar

6.88 pada saat mie menjadi rusak secara subjektif (setelah 42 jam), dan sebesar 8.47

saat mie menjadi rusak secara mikrobiologis (setelah 12 jam). Mie matang yang

dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 saat rusak secara subjektif (setelah 42 jam)

memiliki pH sebesar 7.19, dan secara mikrobiologis (setelah 24 jam) sebesar 8.12.

Nilai pH mie matang dengan ekstrak segar pada saat rusak mengalami penurunan

namun tidak sampai pH asam. Nilai pH mie matang yang dibuat dengan 100%

ekstrak segar mengalami penurunan lebih besar dibandingkan mie mentah. Kisaran

pH mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama penyimpanan

antara 8.58-6.64, mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 antara

8.50-6.60, dan mie matang kontrol antara 9.02-5.55. Ekstrak segar bawang putih dapat

menurunkan laju penurunan pH mie matang selama penyimpanan.

(4)

mentah dengan ekstrak segar yang tidak melebihi batas 10

4

cfu/g selama

penyimpanan (60 jam), berbeda dengan mie mentah kontrol yang melebihi 10

4

cfu/g

setelah 48 jam. Hal tersebut juga berbeda dengan mie matang, dimana kapang pada

mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 dan 2:1 melebihi batas 10

4

cfu/g setelah 60 jam. Mie matang kontrol tidak melebihi 10

4

cfu/g selama

penyimpanan (60 jam). Uji total koliform pada mie mentah dan matang pada awal

penyimpanan (0 jam) menunjukkan hasil negatif. Hal tersebut membuktikan bahwa

kebersihan dan sanitasi selama pembuatan mie berlangsung baik.

Perubahan warna lebih terlihat pada mie mentah dibandingkan pada mie

matang. Hal itu terlihat pada perubahan ketajaman warna (nilai L) dan golongan

warna (º Hue) mie. Kerusakan mie, baik secara visual maupun mikrobiologis, kurang

berpengaruh terhadap warna mie mentah dan matang. Pada mie mentah, nilai L

cenderung menurun, sedangkan pada mie matang relatif tetap. Nilai ºHue pada mie

mentah dan matang selama penyimpanan mengalami penurunan, tetapi tidak sampai

mengubah golongan warna mie. Golongan warna mie, mentah dan matang, selama

penyimpanan tetap

yellow red

.

Uji sensori diujikan terhadap atribut warna, aroma, teksur, rasa dan

keseluruhan mie. Uji sensori secara keseluruhan menunjukkan bahwa mie mentah dan

matang tanpa penambahan ekstrak bawang masih lebih disukai dibandingkan mie

dengan ekstrak bawang. Mie dengan ekstrak bawang kurang disukai karena aroma

bawang yang menyengat dan teksturnya kurang baik.

Harga mie basah dengan penambahan ekstrak segar dihitung berdasarkan

harga dasar mie basah di pasaran dan harga ekstrak segar bawang. Hasil perhitungan

menunjukkan harga mie yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 adalah sebesar

Rp 6,447.93/kg untuk mie mentah dan Rp 3,370.86/kg untuk mie matang. Mie

mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 berharga Rp 7,766.48/kg dan mie

matang yang dibuat dengan 100% ekstrak 2:1 sebesar Rp 4,298.79/kg.

(5)

Elvina Yohana. F24102127. APLIKASI EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) SEBAGAI PENGAWET MIE BASAH. Di bawah bimbingan Lilis Nuraida dan Nuri Andarwulan. 2007.

RINGKASAN

Mie basah, baik mentah atau matang, sudah sejak lama dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Mie basah di Indonesia umumnya terbuat dari tepung terigu (gandum) dan termasuk alkaline noodle karena menggunakan garam alkali dalam pembuatannya. Mie basah berumur relatif singkat, sehingga untuk memperpanjang umur simpannya digunakan berbagai zat dan bahan kimia untuk mengawetkannya. Seringkali, zat yang digunakan sebagai pengawet tersebut bukanlah bahan tambahan pangan yang diizinkan dan sifatnya membahayakan kesehatan, seperti formalin.

Penggunaan formalin dalam makanan membahayakan karena formalin bukan pengawet makanan yang diijinkan dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Penggunaan formalin pada produk pangan, khususnya mie basah, perlu digantikan oleh zat atau bahan yang tidak berbahaya dan harganya yang terjangkau. Rempah-rempah memiliki potensi untuk dipakai sebagai pengawet makanan karena umumnya memiliki sifat antimikroba. Sifat antimikroba rempah-rempah tersebut diharapkan dapat menghambat pertumbuhan mikroba pada mie basah sehingga dapat memperpanjang umur simpan mie basah. Bawang putih merupakan rempah-rempah yang menurut penelitian terdahulu memiliki sifat antimikroba. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan ekstrak segar dan ekstrak rebus bawang putih dalam meningkatkan umur simpan mie basah.

Tahapan penelitian dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pembuatan ekstrak bawang putih, aplikasi ekstrak bawang putih ke dalam adonan mie, dan aplikasi ekstrak terpilih. Jenis ekstrak bawang putih yang dibuat adalah ekstrak rebus dan ekstrak segar dengan konsentrasi 10, 20, 30, 50, 100% yang dicampur dengan air dalam adonan mie. Konsentrasi tersebut dihitung dari jumlah air yang diperlukan dalam adonan mie.

Pada tahapan aplikasi ekstrak ke dalam adonan mie, pengamatan dilakukan secara subjektif hingga mie menjadi rusak. Indikator kerusakan berupa bau asam, bau tengik (pada mie matang) dan lendir. Ekstrak yang mampu memberikan umur simpan maksimum adalah ekstrak segar 1:1 dan 2:1 konsentrasi 100%, dengan umur simpan 54 dan 57 jam untuk mie mentah, dan 42 jam untuk mie matang. Konsentrasi tersebut kemudian digunakan dalam tahap penelitian selanjutnya, yaitu aplikasi ekstrak terbaik. Dalam tahap ini dilakukan analisis mutu mie lebih lanjut, seperti total mikroba, total kapang khamir, total koliform, pH, aw, warna, dan uji sensori. Untuk uji total mikroba, total kapang

khamir, pH, dan warna dilakukan setiap 12 jam sekali selama 60 jam. Uji koliform, aw dan sensori dilakukan pada jam ke-0.

(6)

Total mikroba mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 melampaui batas SNI-01-2987-1992 setelah 12 jam, dan mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 setelah 24 jam. Pengamatan subjektif menunjukkan bahwa kedua jenis mie matang tersebut dikatakan rusak setelah 42 jam. Mie basah yang dikatakan rusak secara mikrobiologis belum dikatakan rusak jika diamati secara visual.

Mie basah mentah, yang dibuat dengan ekstrak segar bawang dan kontrol, memiliki jumlah mikroba total 5.6 x 106 - 1.2 x 108 cfu/g pada saat dinyatakan rusak secara subjektif. Mie basah matang dengan ekstrak segar dan mie kontrol memiliki jumlah mikroba total 1.8 x 107 - 1.7 x 108 cfu/g pada saat dinyatakan rusak secara subjektif.

Mie mentah kontrol memiliki aw sebesar 0.907, sementara mie mentah

yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 dan 2:1 sebesar 0.891 dan 0.894. Mie matang kontrol memiliki aw sebesar 0.970, dan mie matang yang dibuat dengan

100% ekstrak segar 1:1 dan 2:1 sebesar 0.938 dan 0.955. Berdasarkan hasil tersebut, penambahan ekstrak segar bawang putih tidak berpengaruh terhadap nilai aw.

Nilai pH mie mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 saat mie menjadi rusak secara mikrobiologis (setelah 36 jam) adalah sebesar 8.66, dan pada saat rusak secara subjektif (setelah 54 jam) sebesar 8.13. Mie mentah yang dibuat dengan ekstrak segar 2:1 saat rusak secara mikrobiologis (setelah 36 jam) memiliki pH sebesar 8.32, dan saat rusak secara subjektif (setelah 57 jam) sebesar 8.16. Perubahan pH yang terjadi pada mie mentah dengan ekstrak bawang putih tidak terlalu besar. Mie mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama penyimpanan (60 jam) kisaran pH-nya antara 8.72-8.13, serta mie mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 antara 8.26-8.16. Saat mie mentah dengan ekstrak segar menjadi rusak, baik secara subjektif maupun mikrobiologis, perubahan pH yang terjadi tidak drastis, cenderung stabil. Berbeda dengan mie mentah kontrol, dimana selama penyimpanan (60 jam), memiliki pH antara 8.91-7.56. Ekstrak segar bawang relatif dapat mempertahankan pH mie mentah selama penyimpanan.

Mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 memiliki pH sebesar 6.88 pada saat mie menjadi rusak secara subjektif (setelah 42 jam), dan sebesar 8.47 saat mie menjadi rusak secara mikrobiologis (setelah 12 jam). Mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 saat rusak secara subjektif (setelah 42 jam) memiliki pH sebesar 7.19, dan secara mikrobiologis (setelah 24 jam) sebesar 8.12. Nilai pH mie matang dengan ekstrak segar pada saat rusak mengalami penurunan namun tidak sampai pH asam. Nilai pH mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar mengalami penurunan lebih besar dibandingkan mie mentah. Kisaran pH mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama penyimpanan antara 8.58-6.64, mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 antara 8.50-6.60, dan mie matang kontrol antara 9.02-5.55. Ekstrak segar bawang putih dapat menurunkan laju penurunan pH mie matang selama penyimpanan.

(7)

cfu/g setelah 48 jam. Hal tersebut juga berbeda dengan mie matang, dimana kapang pada mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 dan 2:1 melebihi batas 104 cfu/g setelah 60 jam. Mie matang kontrol tidak melebihi 104 cfu/g selama penyimpanan (60 jam). Uji total koliform pada mie mentah dan matang pada awal penyimpanan (0 jam) menunjukkan hasil negatif. Hal tersebut membuktikan bahwa kebersihan dan sanitasi selama pembuatan mie berlangsung baik.

Perubahan warna lebih terlihat pada mie mentah dibandingkan pada mie matang. Hal itu terlihat pada perubahan ketajaman warna (nilai L) dan golongan warna (º Hue) mie. Kerusakan mie, baik secara visual maupun mikrobiologis, kurang berpengaruh terhadap warna mie mentah dan matang. Pada mie mentah, nilai L cenderung menurun, sedangkan pada mie matang relatif tetap. Nilai ºHue pada mie mentah dan matang selama penyimpanan mengalami penurunan, tetapi tidak sampai mengubah golongan warna mie. Golongan warna mie, mentah dan matang, selama penyimpanan tetap yellow red.

Uji sensori diujikan terhadap atribut warna, aroma, teksur, rasa dan keseluruhan mie. Uji sensori secara keseluruhan menunjukkan bahwa mie mentah dan matang tanpa penambahan ekstrak bawang masih lebih disukai dibandingkan mie dengan ekstrak bawang. Mie dengan ekstrak bawang kurang disukai karena aroma bawang yang menyengat dan teksturnya kurang baik.

Harga mie basah dengan penambahan ekstrak segar dihitung berdasarkan harga dasar mie basah di pasaran dan harga ekstrak segar bawang. Hasil perhitungan menunjukkan harga mie yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 adalah sebesar Rp 6,447.93/kg untuk mie mentah dan Rp 3,370.86/kg untuk mie matang. Mie mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 berharga Rp 7,766.48/kg dan mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak 2:1 sebesar Rp 4,298.79/kg.

(8)

APLIKASI EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) SEBAGAI PENGAWET MIE BASAH

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

ELVINA YOHANA F24102127

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si Dosen Pembimbing II INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

APLIKASI EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) SEBAGAI PENGAWET MIE BASAH

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

ELVINA YOHANA F24102127

Tanggal lulus : 2 Februari 2007

Disetujui,

Bogor, Februari 2007

Mengetahui,

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 10 Mei

1984 dan merupakan anak satu-satunya dari pasangan Ella

Tatuil dan Albert Makiwawu. Penulis menyelesaikan

pendidikan dasarnya pada tahun 1996 di SD Santo Paulus

Jakarta, kemudian melanjutkan pendidikan menengah

pertama di SMP Santo Paulus Jakarta hingga tahun 1999.

Penulis menamatkan pendidikan menengah atas di SMU

Kristen 3 BPK Penabur pada tahun 2002. Penulis

melanjutkan pendidikan tinggi di Insitut Pertanian Bogor Departemen Ilmu dan

Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian melalui Sistem Penerimaan

Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2002.

Selama menjalani studi di IPB, penulis aktif di berbagai kegiatan dan

organisasi kemahasiswaan, diantaranya menjadi anggota Food Chat Club, Ketua Panitia The 4th National Student’s Paper Competition on Food Issues, serta berbagai kepanitiaan lainnya, seperti Kepanitian Lepas Landas Sarjana tahun 2003

dan Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan tahun 2004. Penulis melaksanakan tugas

khusus selama dua bulan pada bulan Juni hingga Juli 2005 di Curtin University of

Technology, Perth, Australia dengan topik “Canola Meal Protein Isolation and

Lupin Softening”. Sebagai tugas akhir, penulis mengambil penelitian dengan judul

“Aplikasi Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum Linn) Sebagai Pengawet Alami Mie Basah” di bawah bimbingan Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc dan Dr. Ir. Nuri

(11)

SKRIPSI

APLIKASI EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) SEBAGAI PENGAWET MIE BASAH

Oleh

ELVINA YOHANA F24102127

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Elvina Yohana. F24102127.

APLIKASI EKSTRAK BAWANG PUTIH (

Allium

sativum

Linn.) SEBAGAI PENGAWET MIE BASAH.

Di bawah bimbingan Lilis

Nuraida dan Nuri Andarwulan. 2007.

RINGKASAN

Mie basah, baik mentah atau matang, sudah sejak lama dikonsumsi oleh

masyarakat Indonesia. Mie basah di Indonesia umumnya terbuat dari tepung terigu

(gandum) dan termasuk

alkaline noodle

karena menggunakan garam alkali dalam

pembuatannya. Mie basah berumur relatif singkat, sehingga untuk memperpanjang

umur simpannya digunakan berbagai zat dan bahan kimia untuk mengawetkannya.

Seringkali, zat yang digunakan sebagai pengawet tersebut bukanlah bahan tambahan

pangan yang diizinkan dan sifatnya membahayakan kesehatan, seperti formalin.

Penggunaan formalin dalam makanan membahayakan karena formalin bukan

pengawet makanan yang diijinkan dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan.

Penggunaan formalin pada produk pangan, khususnya mie basah, perlu digantikan

oleh zat atau bahan yang tidak berbahaya dan harganya yang terjangkau.

Rempah-rempah memiliki potensi untuk dipakai sebagai pengawet makanan karena umumnya

memiliki sifat antimikroba. Sifat antimikroba rempah-rempah tersebut diharapkan

dapat menghambat pertumbuhan mikroba pada mie basah sehingga dapat

memperpanjang umur simpan mie basah. Bawang putih merupakan rempah-rempah

yang menurut penelitian terdahulu memiliki sifat antimikroba. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui kemampuan ekstrak segar dan ekstrak rebus bawang

putih dalam meningkatkan umur simpan mie basah.

Tahapan penelitian dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pembuatan ekstrak

bawang putih, aplikasi ekstrak bawang putih ke dalam adonan mie, dan aplikasi

ekstrak terpilih. Jenis ekstrak bawang putih yang dibuat adalah ekstrak rebus dan

ekstrak segar dengan konsentrasi 10, 20, 30, 50, 100% yang dicampur dengan air

dalam adonan mie. Konsentrasi tersebut dihitung dari jumlah air yang diperlukan

dalam adonan mie.

Pada tahapan aplikasi ekstrak ke dalam adonan mie, pengamatan dilakukan

secara subjektif hingga mie menjadi rusak. Indikator kerusakan berupa bau asam, bau

tengik (pada mie matang) dan lendir. Ekstrak yang mampu memberikan umur simpan

maksimum adalah ekstrak segar 1:1 dan 2:1 konsentrasi 100%, dengan umur simpan

54 dan 57 jam untuk mie mentah, dan 42 jam untuk mie matang. Konsentrasi tersebut

kemudian digunakan dalam tahap penelitian selanjutnya, yaitu aplikasi ekstrak

terbaik. Dalam tahap ini dilakukan analisis mutu mie lebih lanjut, seperti total

mikroba, total kapang khamir, total koliform, pH, a

w

, warna, dan uji sensori. Untuk

uji total mikroba, total kapang khamir, pH, dan warna dilakukan setiap 12 jam sekali

selama 60 jam. Uji koliform, a

w

dan sensori dilakukan pada jam ke-0.

(13)

asam atau lendir. Bau asam atau lendir umumnya terdeteksi setelah jumlah mikroba

melebihi 10

8

cfu/g.

Total mikroba mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1

melampaui batas SNI-01-2987-1992 setelah 12 jam, dan mie matang yang dibuat

dengan 100% ekstrak segar 2:1 setelah 24 jam. Pengamatan subjektif menunjukkan

bahwa kedua jenis mie matang tersebut dikatakan rusak setelah 42 jam. Mie basah

yang dikatakan rusak secara mikrobiologis belum dikatakan rusak jika diamati secara

visual.

Mie basah mentah, yang dibuat dengan ekstrak segar bawang dan kontrol,

memiliki jumlah mikroba total 5.6 x 10

6

- 1.2 x 10

8

cfu/g pada saat dinyatakan rusak

secara subjektif. Mie basah matang dengan ekstrak segar dan mie kontrol memiliki

jumlah mikroba total 1.8 x 10

7

- 1.7 x 10

8

cfu/g pada saat dinyatakan rusak secara

subjektif.

Mie mentah kontrol memiliki a

w

sebesar 0.907, sementara mie mentah yang

dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 dan 2:1 sebesar 0.891 dan 0.894. Mie matang

kontrol memiliki a

w

sebesar 0.970, dan mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak

segar 1:1 dan 2:1 sebesar 0.938 dan 0.955. Berdasarkan hasil tersebut, penambahan

ekstrak segar bawang putih tidak berpengaruh terhadap nilai a

w

.

Nilai pH mie mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 saat mie

menjadi rusak secara mikrobiologis (setelah 36 jam) adalah sebesar 8.66, dan pada

saat rusak secara subjektif (setelah 54 jam) sebesar 8.13. Mie mentah yang dibuat

dengan ekstrak segar 2:1 saat rusak secara mikrobiologis (setelah 36 jam) memiliki

pH sebesar 8.32, dan saat rusak secara subjektif (setelah 57 jam) sebesar 8.16.

Perubahan pH yang terjadi pada mie mentah dengan ekstrak bawang putih tidak

terlalu besar. Mie mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama

penyimpanan (60 jam) kisaran pH-nya antara 8.72-8.13, serta mie mentah yang

dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 antara 8.26-8.16. Saat mie mentah dengan

ekstrak segar menjadi rusak, baik secara subjektif maupun mikrobiologis, perubahan

pH yang terjadi tidak drastis, cenderung stabil. Berbeda dengan mie mentah kontrol,

dimana selama penyimpanan (60 jam), memiliki pH antara 8.91-7.56. Ekstrak segar

bawang relatif dapat mempertahankan pH mie mentah selama penyimpanan.

Mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 memiliki pH sebesar

6.88 pada saat mie menjadi rusak secara subjektif (setelah 42 jam), dan sebesar 8.47

saat mie menjadi rusak secara mikrobiologis (setelah 12 jam). Mie matang yang

dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 saat rusak secara subjektif (setelah 42 jam)

memiliki pH sebesar 7.19, dan secara mikrobiologis (setelah 24 jam) sebesar 8.12.

Nilai pH mie matang dengan ekstrak segar pada saat rusak mengalami penurunan

namun tidak sampai pH asam. Nilai pH mie matang yang dibuat dengan 100%

ekstrak segar mengalami penurunan lebih besar dibandingkan mie mentah. Kisaran

pH mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama penyimpanan

antara 8.58-6.64, mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 antara

8.50-6.60, dan mie matang kontrol antara 9.02-5.55. Ekstrak segar bawang putih dapat

menurunkan laju penurunan pH mie matang selama penyimpanan.

(14)

mentah dengan ekstrak segar yang tidak melebihi batas 10

4

cfu/g selama

penyimpanan (60 jam), berbeda dengan mie mentah kontrol yang melebihi 10

4

cfu/g

setelah 48 jam. Hal tersebut juga berbeda dengan mie matang, dimana kapang pada

mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 dan 2:1 melebihi batas 10

4

cfu/g setelah 60 jam. Mie matang kontrol tidak melebihi 10

4

cfu/g selama

penyimpanan (60 jam). Uji total koliform pada mie mentah dan matang pada awal

penyimpanan (0 jam) menunjukkan hasil negatif. Hal tersebut membuktikan bahwa

kebersihan dan sanitasi selama pembuatan mie berlangsung baik.

Perubahan warna lebih terlihat pada mie mentah dibandingkan pada mie

matang. Hal itu terlihat pada perubahan ketajaman warna (nilai L) dan golongan

warna (º Hue) mie. Kerusakan mie, baik secara visual maupun mikrobiologis, kurang

berpengaruh terhadap warna mie mentah dan matang. Pada mie mentah, nilai L

cenderung menurun, sedangkan pada mie matang relatif tetap. Nilai ºHue pada mie

mentah dan matang selama penyimpanan mengalami penurunan, tetapi tidak sampai

mengubah golongan warna mie. Golongan warna mie, mentah dan matang, selama

penyimpanan tetap

yellow red

.

Uji sensori diujikan terhadap atribut warna, aroma, teksur, rasa dan

keseluruhan mie. Uji sensori secara keseluruhan menunjukkan bahwa mie mentah dan

matang tanpa penambahan ekstrak bawang masih lebih disukai dibandingkan mie

dengan ekstrak bawang. Mie dengan ekstrak bawang kurang disukai karena aroma

bawang yang menyengat dan teksturnya kurang baik.

Harga mie basah dengan penambahan ekstrak segar dihitung berdasarkan

harga dasar mie basah di pasaran dan harga ekstrak segar bawang. Hasil perhitungan

menunjukkan harga mie yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 adalah sebesar

Rp 6,447.93/kg untuk mie mentah dan Rp 3,370.86/kg untuk mie matang. Mie

mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 berharga Rp 7,766.48/kg dan mie

matang yang dibuat dengan 100% ekstrak 2:1 sebesar Rp 4,298.79/kg.

(15)

Elvina Yohana. F24102127. APLIKASI EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) SEBAGAI PENGAWET MIE BASAH. Di bawah bimbingan Lilis Nuraida dan Nuri Andarwulan. 2007.

RINGKASAN

Mie basah, baik mentah atau matang, sudah sejak lama dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Mie basah di Indonesia umumnya terbuat dari tepung terigu (gandum) dan termasuk alkaline noodle karena menggunakan garam alkali dalam pembuatannya. Mie basah berumur relatif singkat, sehingga untuk memperpanjang umur simpannya digunakan berbagai zat dan bahan kimia untuk mengawetkannya. Seringkali, zat yang digunakan sebagai pengawet tersebut bukanlah bahan tambahan pangan yang diizinkan dan sifatnya membahayakan kesehatan, seperti formalin.

Penggunaan formalin dalam makanan membahayakan karena formalin bukan pengawet makanan yang diijinkan dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Penggunaan formalin pada produk pangan, khususnya mie basah, perlu digantikan oleh zat atau bahan yang tidak berbahaya dan harganya yang terjangkau. Rempah-rempah memiliki potensi untuk dipakai sebagai pengawet makanan karena umumnya memiliki sifat antimikroba. Sifat antimikroba rempah-rempah tersebut diharapkan dapat menghambat pertumbuhan mikroba pada mie basah sehingga dapat memperpanjang umur simpan mie basah. Bawang putih merupakan rempah-rempah yang menurut penelitian terdahulu memiliki sifat antimikroba. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan ekstrak segar dan ekstrak rebus bawang putih dalam meningkatkan umur simpan mie basah.

Tahapan penelitian dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pembuatan ekstrak bawang putih, aplikasi ekstrak bawang putih ke dalam adonan mie, dan aplikasi ekstrak terpilih. Jenis ekstrak bawang putih yang dibuat adalah ekstrak rebus dan ekstrak segar dengan konsentrasi 10, 20, 30, 50, 100% yang dicampur dengan air dalam adonan mie. Konsentrasi tersebut dihitung dari jumlah air yang diperlukan dalam adonan mie.

Pada tahapan aplikasi ekstrak ke dalam adonan mie, pengamatan dilakukan secara subjektif hingga mie menjadi rusak. Indikator kerusakan berupa bau asam, bau tengik (pada mie matang) dan lendir. Ekstrak yang mampu memberikan umur simpan maksimum adalah ekstrak segar 1:1 dan 2:1 konsentrasi 100%, dengan umur simpan 54 dan 57 jam untuk mie mentah, dan 42 jam untuk mie matang. Konsentrasi tersebut kemudian digunakan dalam tahap penelitian selanjutnya, yaitu aplikasi ekstrak terbaik. Dalam tahap ini dilakukan analisis mutu mie lebih lanjut, seperti total mikroba, total kapang khamir, total koliform, pH, aw, warna, dan uji sensori. Untuk uji total mikroba, total kapang

khamir, pH, dan warna dilakukan setiap 12 jam sekali selama 60 jam. Uji koliform, aw dan sensori dilakukan pada jam ke-0.

(16)

Total mikroba mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 melampaui batas SNI-01-2987-1992 setelah 12 jam, dan mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 setelah 24 jam. Pengamatan subjektif menunjukkan bahwa kedua jenis mie matang tersebut dikatakan rusak setelah 42 jam. Mie basah yang dikatakan rusak secara mikrobiologis belum dikatakan rusak jika diamati secara visual.

Mie basah mentah, yang dibuat dengan ekstrak segar bawang dan kontrol, memiliki jumlah mikroba total 5.6 x 106 - 1.2 x 108 cfu/g pada saat dinyatakan rusak secara subjektif. Mie basah matang dengan ekstrak segar dan mie kontrol memiliki jumlah mikroba total 1.8 x 107 - 1.7 x 108 cfu/g pada saat dinyatakan rusak secara subjektif.

Mie mentah kontrol memiliki aw sebesar 0.907, sementara mie mentah

yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 dan 2:1 sebesar 0.891 dan 0.894. Mie matang kontrol memiliki aw sebesar 0.970, dan mie matang yang dibuat dengan

100% ekstrak segar 1:1 dan 2:1 sebesar 0.938 dan 0.955. Berdasarkan hasil tersebut, penambahan ekstrak segar bawang putih tidak berpengaruh terhadap nilai aw.

Nilai pH mie mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 saat mie menjadi rusak secara mikrobiologis (setelah 36 jam) adalah sebesar 8.66, dan pada saat rusak secara subjektif (setelah 54 jam) sebesar 8.13. Mie mentah yang dibuat dengan ekstrak segar 2:1 saat rusak secara mikrobiologis (setelah 36 jam) memiliki pH sebesar 8.32, dan saat rusak secara subjektif (setelah 57 jam) sebesar 8.16. Perubahan pH yang terjadi pada mie mentah dengan ekstrak bawang putih tidak terlalu besar. Mie mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama penyimpanan (60 jam) kisaran pH-nya antara 8.72-8.13, serta mie mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 antara 8.26-8.16. Saat mie mentah dengan ekstrak segar menjadi rusak, baik secara subjektif maupun mikrobiologis, perubahan pH yang terjadi tidak drastis, cenderung stabil. Berbeda dengan mie mentah kontrol, dimana selama penyimpanan (60 jam), memiliki pH antara 8.91-7.56. Ekstrak segar bawang relatif dapat mempertahankan pH mie mentah selama penyimpanan.

Mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 memiliki pH sebesar 6.88 pada saat mie menjadi rusak secara subjektif (setelah 42 jam), dan sebesar 8.47 saat mie menjadi rusak secara mikrobiologis (setelah 12 jam). Mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 saat rusak secara subjektif (setelah 42 jam) memiliki pH sebesar 7.19, dan secara mikrobiologis (setelah 24 jam) sebesar 8.12. Nilai pH mie matang dengan ekstrak segar pada saat rusak mengalami penurunan namun tidak sampai pH asam. Nilai pH mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar mengalami penurunan lebih besar dibandingkan mie mentah. Kisaran pH mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama penyimpanan antara 8.58-6.64, mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 antara 8.50-6.60, dan mie matang kontrol antara 9.02-5.55. Ekstrak segar bawang putih dapat menurunkan laju penurunan pH mie matang selama penyimpanan.

(17)

cfu/g setelah 48 jam. Hal tersebut juga berbeda dengan mie matang, dimana kapang pada mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 dan 2:1 melebihi batas 104 cfu/g setelah 60 jam. Mie matang kontrol tidak melebihi 104 cfu/g selama penyimpanan (60 jam). Uji total koliform pada mie mentah dan matang pada awal penyimpanan (0 jam) menunjukkan hasil negatif. Hal tersebut membuktikan bahwa kebersihan dan sanitasi selama pembuatan mie berlangsung baik.

Perubahan warna lebih terlihat pada mie mentah dibandingkan pada mie matang. Hal itu terlihat pada perubahan ketajaman warna (nilai L) dan golongan warna (º Hue) mie. Kerusakan mie, baik secara visual maupun mikrobiologis, kurang berpengaruh terhadap warna mie mentah dan matang. Pada mie mentah, nilai L cenderung menurun, sedangkan pada mie matang relatif tetap. Nilai ºHue pada mie mentah dan matang selama penyimpanan mengalami penurunan, tetapi tidak sampai mengubah golongan warna mie. Golongan warna mie, mentah dan matang, selama penyimpanan tetap yellow red.

Uji sensori diujikan terhadap atribut warna, aroma, teksur, rasa dan keseluruhan mie. Uji sensori secara keseluruhan menunjukkan bahwa mie mentah dan matang tanpa penambahan ekstrak bawang masih lebih disukai dibandingkan mie dengan ekstrak bawang. Mie dengan ekstrak bawang kurang disukai karena aroma bawang yang menyengat dan teksturnya kurang baik.

Harga mie basah dengan penambahan ekstrak segar dihitung berdasarkan harga dasar mie basah di pasaran dan harga ekstrak segar bawang. Hasil perhitungan menunjukkan harga mie yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 adalah sebesar Rp 6,447.93/kg untuk mie mentah dan Rp 3,370.86/kg untuk mie matang. Mie mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 berharga Rp 7,766.48/kg dan mie matang yang dibuat dengan 100% ekstrak 2:1 sebesar Rp 4,298.79/kg.

(18)

APLIKASI EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) SEBAGAI PENGAWET MIE BASAH

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

ELVINA YOHANA F24102127

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(19)

Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si Dosen Pembimbing II INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

APLIKASI EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) SEBAGAI PENGAWET MIE BASAH

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

ELVINA YOHANA F24102127

Tanggal lulus : 2 Februari 2007

Disetujui,

Bogor, Februari 2007

Mengetahui,

(20)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 10 Mei

1984 dan merupakan anak satu-satunya dari pasangan Ella

Tatuil dan Albert Makiwawu. Penulis menyelesaikan

pendidikan dasarnya pada tahun 1996 di SD Santo Paulus

Jakarta, kemudian melanjutkan pendidikan menengah

pertama di SMP Santo Paulus Jakarta hingga tahun 1999.

Penulis menamatkan pendidikan menengah atas di SMU

Kristen 3 BPK Penabur pada tahun 2002. Penulis

melanjutkan pendidikan tinggi di Insitut Pertanian Bogor Departemen Ilmu dan

Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian melalui Sistem Penerimaan

Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2002.

Selama menjalani studi di IPB, penulis aktif di berbagai kegiatan dan

organisasi kemahasiswaan, diantaranya menjadi anggota Food Chat Club, Ketua Panitia The 4th National Student’s Paper Competition on Food Issues, serta berbagai kepanitiaan lainnya, seperti Kepanitian Lepas Landas Sarjana tahun 2003

dan Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan tahun 2004. Penulis melaksanakan tugas

khusus selama dua bulan pada bulan Juni hingga Juli 2005 di Curtin University of

Technology, Perth, Australia dengan topik “Canola Meal Protein Isolation and

Lupin Softening”. Sebagai tugas akhir, penulis mengambil penelitian dengan judul

“Aplikasi Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum Linn) Sebagai Pengawet Alami Mie Basah” di bawah bimbingan Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc dan Dr. Ir. Nuri

(21)

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas

segala berkat, anugerah dan pimpinan-Nya selama ini sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini

tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis

menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:

1. Papa, Mama dan seluruh keluarga yang saya kasihi atas doa, kasih sayang, kepercayaan dan dukungannya selama ini.

2. Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc, selaku dosen pembimbing pertama atas segala bimbingan dan nasihat yang telah diberikan kepada penulis selama

menjadi mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan

3. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si selaku dosen pembimbing kedua atas bimbingan dan saran selama penelitian dan penulisan skripsi

4. Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc selaku dosen penguji atas kebersediaannya menguji pada ujian skripsi.

5. Teman-temanku satu kontrakan selama kurang lebih 3 tahun, Dora, Tissa, Farah, Ina, Nuy, Ratry, Fany Nene atas persahabatan dan kebersamaan

yang telah terjalin indah.

6. Teman-teman senasib, sependeritaan dan sepenanggungan di lab, Meilina, Karen, Inggrid, Dhenok, Pretty atas semua bantuan, keceriaan dalam suka

dan duka, toleransi, dan kebersamaannya selama ini.

7. Para laboran dan staf semuanya, Pak Koko, Teh Ida, Pak Gatot, Bu Rubiyah, Pak Rojak, Pak Sobirin, Mas Edi, Pak Wahid, Bu Sri, Pak Sidik,

Pak Mul dan Pak Solihin atas semua bantuan dan nasehat selama saya

menjalani penelitian.

8. Staf dan karyawan AJMP atas bantuannya selama ini dalam mengurus segala urusan administrasi.

(22)

10. TPG’39 yang berdomisili di lab-lab lainnya. Untuk Herold, Mohung, Risna, Yulizar Ijal, Eva, Rohana, AnSor, Boyon, Ribka, Woro, Nanda,

Randy, Manginar, Manto, Steisi, Temin, Evrin, Julia, Hana, dan Hanna

Hansib.

11. Teman-teman kos Palem Merah, Aline, Emma, Mbak Nana, Mbak Santi, Mbak Shinta, Tin-tin, Mbak Yona, Mbak Stany atas kebersamaan singkat

yang indah.

12. Teman-teman ITP’40, 41, 42 atas bantuan dan kerjasamanya. 13. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu

Penulis berharap bahwa skripsi ini dapat berguna bagi siapapun yang

membutuhkan, khususnya bagi mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi

Pangan. Penulis mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan dalam

penulisan karya tulis ini.

Bogor, Januari 2007

(23)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... .. viii

DAFTAR LAMPIRAN ... .. ix

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN PENELITIAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. MIE BASAH ... 3

1. Jenis Mie Basah ... 4

2. Proses Pengolahan Mie Basah ... 6

3. Umur Simpan dan Kerusakan Mie Basah ... 9

B. BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn) ... 11 1. Klasifikasi Bawang Putih ... 11

2. Sifat Antimikroba Bawang Putih ... 12

a. Alisin ... 14

b. Ajoene ... 17

III. BAHAN DAN METODE

A. BAHAN DAN ALAT ... 20

1. Bahan ... 20

2. Alat ... 20

B. METODE ... 20

1. Pembuatan Ekstrak Bawang Putih ... 21

2. Aplikasi Ekstrak ke Dalam Adonan Mie ... 22

3. Aplikasi Konsentrasi Jenis dan Ekstrak Terpilih ke Dalam

Adonan Mie ... 24

C. PENGAMATAN ... 24

(24)

2. Pengukuran Rendemen Ekstrak ... 24

3. Total Mikroba Ekstrak Bawang Putih dan Mie Basah ... 25

4. Total Kapang Khamir ... 26

5. Total Koliform ... 26

6. pH Ekstrak dan Mie ... 27

7. Nilai aw ... 27

8.Warna ... 28

9. Uji Sensori ... 29

10. Analisis Harga Mie ... 29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PEMBUATAN EKSTRAK BAWANG PUTIH ... 31

1. Kadar Air Bawang Putih ... 31

2. Rendemen Ekstrak Bawang ... 31

3. Total Mikroba Ekstrak Bawang ... 32

4. Nilai pH Ekstrak Bawang ... 33

B. APLIKASI PENDAHULUAN EKSTRAK BAWANG PUTIH

KE DALAM ADONAN MIE ... 33

C. APLIKASI JENIS DAN KONSENTRASI EKSTRAK TERBAIK

KE DALAM ADONAN MIE ... 37

1. Total Mikroba Mie Basah Selama Penyimpanan ... 37

2. Total Kapang Khamir Mie Basah Selama Penyimpanan ... 44

3. Total Koliform ... 48

4. Nilai aw ... 49

5. Nilai pH ... 51

6. Warna ... 55

a. Nilai L (ketajaman warna) ... 56

b. Derajat Hue ... 60

7. Uji Sensori ... 63

a. Warna ... 63

b. Aroma ... 66

c. Tekstur ... 69

(25)

e. Keseluruhan (overall) ... 74 8. Analisis Harga Mie ... 76

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 79 A. KESIMPULAN ... 79

B. SARAN ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 81

(26)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Tahap-tahap pembuatan mie basah... 7

Gambar 2. Struktur kimia alisin... 14

Gambar 3. Reaksi pembentukan alisin... 15

Gambar 4. Bawang putih yang digunakan dalam penelitian... 19

Gambar 5. Diagram alir penelitian... 20

Gambar 6. Proses pembuatan mie basah mentah dan matang... 22

Gambar 7. Total mikroba mie basah mentah selama penyimpanan... 37

Gambar 8. Total mikroba mie basah matang selama penyimpanan... 40

Gambar 9. Total kapang khamir mie basah mentah selama penyimpanan.. 43

Gambar 10. Total kapang khamir mie basah matang selama penyimpanan.. 45

Gambar 11. Perubahan nilai pH mie basah mentah selama penyimpanan.... 49

Gambar 12. Perubahan nilai pH mie basah matang selama penyimpanan... 52

Gambar 13. Perubahan nilai L pada pengukuran warna mie basah mentah selama penyimpanan... 54

Gambar 14. Perubahan nilai L pada pengukuran warna mie basah matang selama penyimpanan...

56

Gambar 15. Perubahan nilai °Hue pada perubahan warna mie basah

mentah selama penyimpanan... 61

Gambar 16. Perubahan nilai °Hue pada perubahan warna mie basah

matang selama penyimpanan... 62

Gambar 17. Hasil uji hedonik terhadap warna mie mentah dan mie mentah yang dimatangkan...

64

Gambar 18. Hasil uji hedonik terhadap warna mie matang... 65

(27)

Gambar 20. Hasil uji hedonik terhadap aroma mie matang... 68

Gambar 21. Hasil uji hedonik terhadap tekstur mie mentah dan mie mentah yang dimatangkan... 70

Gambar 22. Hasil uji hedonik terhadap tekstur mie matang... 71

Gambar 23. Hasil uji hedonik terhadap rasa mie matang dan mie mentah yang dimatangkan... 73

Gambar 24. Hasil uji hedonik terhadap keseluruhan mie mentah dan mie

mentah yang dimatangkan... 74

(28)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Syarat mutu mie basah (SNI-01-2987-1992) ... 3

Tabel 2. Komposisi nilai gizi mie basah... 5

Tabel 3. Komposisi bawang putih per 100 gram umbi... 12

Tabel 4. Jenis dan konsentrasi ekstrak yang ditambahkan ke adonan... 22

Tabel 5. Formula dasar pembuatan mie basah.skala laboratorium... 23

Tabel 6. Rendemen jenis ekstrak bawang putih... 31

Tabel 7. Jumlah mikroba awal ekstrak segar bawang putih... 32

Tabel 8. Nilai pH ekstrak bawang... 33

Tabel 9. Umur simpan mie basah dengan penambahan ekstrak bawang putih segar... 34

Tabel 10. Umur simpan mie basah dengan penambahan ekstrak rebus

bawang putih... 36

Tabel 11. Perbandingan umur simpan mie basah secara pengamatan subjektif dan mikrobiologis... 43

Tabel 12. Nilai aw sampel mie basah ... 43

Tabel 13. Persen rendemen mie mentah dan matang dengan penambahan ekstrak segar... 77

(29)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1a. Hasil perhitungan kadar air bawang putih ... 85

Lampiran 1b. Rendemen ekstrak bawang putih ... 85

Lampiran 1c Nilai pH ekstrak rebus bawang putih ... 85

Lampiran 1d. Nilai pH ekstrak segar bawang putih ... 85

Lampiran 2a. Total mikroba ekstrak bawang putih rebus ... 86

Lampiran 2b. Total mikroba ekstrak bawang putih segar ... 86

Lampiran 3a. Umur simpan mie basah mentah yang dibuat dengan ekstrak rebus bawang putih ... 87

Lampiran 3b. Umur simpan mie basah yang dibuat dengan ekstrak segar bawang putih ... 87

Lampiran 4a. Hasil analisis ragam umur simpan mie basah mentah yang dibuat dengan ekstrak segar 1:1 ... 88

Lampiran 4b. Hasil analisis ragam umur simpan mie basah matang yang dibuat dengan ekstrak segar 1:1 ... 88

Lampiran 5a. Hasil analisis ragam umur simpan mie basah mentah yang dibuat dengan ekstrak segar 2:1... 89

Lampiran 5b. Hasil analisis ragam umur simpan mie basah matang yang dibuat dengan ekstrak segar 2:1 ... 89

Lampiran 6a. Hasil analisis ragam umur simpan mie basah matang yang dibuat dengan ekstrak rebus 1:3, waktu perebusan 1 menit 90

Lampiran 6b. Hasil analisis ragam umur simpan mie basah matang yang dibuat dengan ekstrak rebus 1:3, waktu perebusan 5 menit 90

Lampiran 7. Hasil analisis total mikroba mie basah mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama penyimpanan ... ... 91

(30)

Lampiran 9. Hasil analisis total mikroba mie basah mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 selama penyimpanan... 93

Lampiran 10. Hasil analisis total mikroba mie basah matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 selama penyimpanan... 94

Lampiran 11. Persamaan regresi linear dari kurva pertumbuhan mie basah mentah... 95

Lampiran 12. Persamaan regresi linear dari kurva pertumbuhan mie basah matang... 96

Lampiran 13. Hasil analisis total kapang khamir mie basah mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama penyimpanan ... 97

Lampiran 14. Hasil analisis total kapang khamir mie basah matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama penyimpanan ... 98

Lampiran 15. Hasil analisis total kapang khamir mie basah mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 selama penyimpanan ... 99

Lampiran 16. Hasil analisis total kapang khamir mie basah matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 selama penyimpanan ... 100

Lampiran 17. Hasil analisis warna terhadap mie basah mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama penyimpanan... 101

Lampiran 18. Hasil analisis warna terhadap mie basah matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama penyimpanan... 102

Lampiran 19. Hasil analisis warna terhadap mie basah mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 selama penyimpanan... 103

Lampiran 20. Hasil analisis warna terhadap mie basah matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 selama penyimpanan... 104

(31)

Lampiran 21b. Hasil analisis ragam nilai L jam ke-0 untuk mie basah matang ... 105

Lampiran 22. Nilai aw sampel mie basah mentah,mie basah matang dan

kontrol ... 106

Lampiran 23a. Nilai pH mie basah mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama penyimpanan ... 107

Lampiran 23b. Nilai pH mie basah matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 selama penyimpanan ... 107

Lampiran 24a. Nilai pH mie basah mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1selama penyimpanan ... 108

Lampiran 24b. Nilai pH mie basah matang yang dibuat dengan 10% ekstrak segar 2:1 selama penyimpanan ... 108

Lampiran 25. Form kuisioner uji hedonik mie basah mentah ... 109

Lampiran 26. Form kuisioner uji hedonik mie basah matang ... 110

Lampiran 27. Hasil uji hedonik terhadap mie basah mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1... 111

Lampiran 28. Hasil uji hedonik terhadap mie basah mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1... 112

Lampiran 29. Hasil uji hedonik terhadap mie basah mentah kontrol (tanpa penambahan ekstrak)... 113

Lampiran 30. Hasil uji hedonik terhadap mie basah mentah pasar ... 114

Lampiran 31. Hasil analisis ragam untuk parameter warna mie basah mentah ... 115

Lampiran 32. Hasil analisis ragam untuk parameter aroma mie basah mentah ... 116

Lampiran 33. Hasil analisis ragam untuk parameter tekstur mie basah mentah ... 117

Lampiran 34. Hasil analisis ragam untuk parameter keseluruhan mie basah mentah ... 118

(32)

Lampiran 36. Hasil uji hedonik terhadap mie basah matang yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1... 120

Lampiran 37. Hasil uji hedonik terhadap mie basah matang kontrol (tanpa penambahan ekstrak) ... 121

Lampiran 38. Hasil uji hedonik terhadap mie basah matang pasar... 122

Lampiran 39. Hasil analisis ragam untuk parameter warna mie basah matang ... 123

Lampiran 40. Hasil analisis ragam untuk parameter aroma mie basah matang ... 124

Lampiran 41. Hasil analisis ragam untuk parameter tekstur mie basah matang ... 125

Lampiran 42. Hasil analisis ragam untuk parameter rasa mie basah matang ... 126

Lampiran 43. Hasil analisis ragam untuk parameter keseluruhan mie basah matang ... 127

Lampiran 44. Hasil uji hedonik terhadap mie basah mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 1:1 yang dimatangkan... 128

Lampiran 45. Hasil uji hedonik terhadap mie basah mentah yang dibuat dengan 100% ekstrak segar 2:1 yang dimatangkan... 129

Lampiran 46. Hasil uji hedonik terhadap mie basah mentah kontrol yang dimatangkan ... 130

Lampiran 47. Hasil uji hedonik terhadap mie basah mentah pasar yang dimatangkan... 131

Lampiran 48. Hasil analisis ragam untuk parameter warna mie basah mentah yang dimatangkan ... 132

Lampiran 49. Hasil analisis ragam untuk parameter aroma mie basah mentah yang dimatangkan ... 133

(33)

Lampiran 51. Hasil analisis ragam untuk parameter rasa mie basah mentah yang dimatangkan ... 135

Lamipran 52. Hasil analisis ragam untuk parameter keseluruhan mie basah mentah yang dimatangkan ... 136

(34)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Oleh

karena itu, perkembangan ilmu pangan dan penemuan dalam bidang pangan

dan teknologinya terus berkembang. Pada saat ini masyarakat tidak hanya

menghendaki pangan yang lezat dan enak, namun juga pangan yang bergizi

dan aman bagi kesehatan. Keamanan pangan menjadi sangat penting dewasa

ini dikarenakan semakin banyaknya makanan yang menggunakan pengawet

atau zat berbahaya lainnya. Salah satu produk pangan yang banyak disorot

karena penggunaan zat berbahaya formalin sebagai pengawet adalah mie

basah.

Mie basah, baik mentah atau matang, sudah sejak lama dikonsumsi

oleh masyarakat Indonesia. Jenis mie basah di Indonesia umumnya terbuat

dari tepung terigu (gandum) dan termasuk alkaline noodle karena menggunakan garam alkali dalam pembuatannya. Tingkat konsumsi

masyarakat terhadap mie basah cukup tinggi karena harganya yang cukup

murah dan mudah diolah menjadi berbagai macam masakan. Mie basah

berumur relatif singkat, yaitu selama 50- 60 jam (Hoseney, 1998). Menurut

Chamdani (2005), mie basah mentah memiliki umur simpan antara 24-36 jam

dan menurut Pahrudin (2006), umur simpan mie basah matang antara 24-30

jam.

Penggunaan formalin dalam makanan bersifat membahayakan

karena formalin bukan pengawet makanan yang diijinkan dan dapat

menyebabkan gangguan kesehatan, baik bagi konsumen dan produsen mie

basah. Salah satu alasan mengapa penggunaan formalin masih marak

digunakan adalah harganya yang murah dan daya awetnya yang lama, dan

mutu mie yang dihasilkan lebih bagus (Astawan, 2006). Penggunaan formalin

pada produk pangan, khususnya mie basah, perlu digantikan oleh zat atau

(35)

Rempah-rempah memiliki potensi untuk dipakai sebagai pengawet

makanan karena umumnya memiliki sifat antimikroba. Sifat antimikroba

rempah-rempah tersebut diharapkan dapat menghambat pertumbuhan mikroba

pada mie basah sehingga dapat memperpanjang umur simpan mie basah.

Ketersediaan rempah di Indonesia boleh dibilang cukup karena Indonesia

merupakan salah satu negara penghasil rempah-rempah terbesar di dunia.

Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa rempah seperti cengkeh,

bawang putih, jahe, kunyit, lengkuas, daun salam, kecombrang memiliki sifat

antibakteri dan antifungi. Sifat antimikroba tersebut disebabkan kandungan

senyawa aktif pada rempah, seperti eugenol pada cengkeh dan alisin pada

bawang putih.

Aplikasi rempah sebagai pengawet atau bahan tambahan pada

makanan perlu mempertimbangkan berbagai segi, seperti warna, aroma atau

tekstur. Pemilihan bawang putih untuk diteliti lebih lanjut mengenai

pengaruhnya pada umur simpan mie basah disebabkan ketersediaan bawang

putih yang cukup, harganya terjangkau dan terutama karena sifatnya dalam

menghambat mikroba sudah diketahui. Meski telah banyak penelitian

menerangkan sifat antimikroba bawang putih, namun belum ada yang khusus

meneliti aplikasi sifat antimikroba bawang putih pada produk pangan,

khususnya mie basah.

B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh

penambahan ekstrak rebus dan ekstrak segar bawang putih (Allium sativum

Linn.) dalam meningkatkan umur simpan mie basah, baik mie basah mentah

maupun mie basah matang. Mie basah yang dibuat dengan ekstrak rebus dan

ekstrak segar bawang putih dibandingkan umur simpannya dengan mie basah

(36)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. MIE BASAH

Mie adalah salah satu produk utama olahan terigu. Di Indonesia, jenis

tepung yang paling banyak digunakan untuk pembuatan mie adalah tepung

terigu (gandum). Berdasarkan SNI 01-2987-1992 tentang mie basah, mie

adalah produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan

bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas

[image:36.612.133.507.306.687.2]

mie. Syarat mutu mie basah berdasarkan SNI dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Syarat mutu mie basah (SNI-01-2987-1992)

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1

Keadaan:

1.1 Bau - Normal

1.2 Rasa - Normal

1.3 Warna - Normal

2 Kadar air % b/b 20-35

3 Kadar abu (dihitung atas

dasar bahan kering) % b/b Maks. 3

4 Kadar protein (dihitung

atas dasar bahan kering) % b/b Min. 3

5

Bahan tambahan pangan

5.1 Boraks dan asam borat Tidak boleh ada

5.2 Pewarna

Sesuai SNI-0222-M dan Permenkes No. 722/Menkes/Per/IX/88

5.3 Formalin Tidak boleh ada

6

Cemaran logam:

6.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 1.0

6.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10.0

6.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40.0

6.4 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0.05

7 Arsen (As) mg/kg Maks. 0.05

8

Cemaran mikroba:

8.1 Angka lempeng total Koloni/g Maks. 1.0 x 106 8.2 E. coli APM/g Maks. 10

(37)

Mie diperkirakan berasal dari Cina dan dibawa masuk ke Indonesia

oleh pendatang dan imigran Cina. Menurut Pagani (1985), mie merupakan

produk pasta yang berbahan baku beras dan tepung kacang-kacangan yang

pertama kali ditemukan oleh bangsa Cina, sedangkan menurut Hoseney (1998),

mie adalah jenis pasta yang secara umum terbuat dari tepung, bukan semolina

atau farina, dan mengandung garam sebagai tambahan pada tepung dan air.

1. Jenis Mie Basah

Menurut Winarno dan Rahayu (1994), berdasarkan kadar air dan tahap

pengolahannya, mie gandum dapat dibagi menjadi lima golongan, yaitu: (1)

mie mentah/segar dengan kadar air 35% yang dibuat langsung dari proses

pemotongan lembaran adonan, (2) mie basah dengan kadar air 52%, adalah

mie mentah yang sebelum dipasarkan mengalami perebusan dalam air

mendidih lebih dahulu, (3) mie kering dengan kadar air 10%, adalah mie

mentah yang langsung dikeringkan, (4) mie goreng, adalah mie mentah yang

sebelum dipasarkan lebih dahulu digoreng, dan (5) mie instan (mie siap

hidang), yang di Jepang disebut sokusekimen, adalah mie mentah yang telah mengalami pengukusan dan dikeringkan sehingga menjadi mie instan kering

atau digoreng sehingga menjadi mie instan goreng. Mie basah dengan bahan

baku tepung terigu dapat digolongkan dalam dua kategori berdasarkan cara

pembuatannya, yaitu mie basah mentah dan mie basah matang. Perbedaan

kedua jenis mie basah tersebut adalah adanya tahapan perebusan dan

penambahan minyak pada proses pembuatan mie basah matang sehingga

kadar airnya meningkat menjadi 52%, sedangkan pada mie basah mentah

tidak melewati tahapan tersebut sehingga kadar airnya berkisar 35%

(Astawan, 2005).

Mie basah yang terdapat di Indonesia, menurut Hou dan Kruk (1998),

termasuk jenis Chinese wet noodle. Mie jenis ini termasuk mie segar (fresh noodle) yang umum dikonsumsi dalam jangka waktu 24 jam setelah produksi dikarenakan diskolorasi yang cepat terjadi. Umur simpan dapat

diperpanjang menjadi 3-5 hari jika disimpan pada suhu refrigerator.

(38)

sebesar 0.40-0.45%. Mie basah jenis Chinese noodles umumnya terbuat dari tepung gandum keras, dicirikan oleh warna kuning terang atau putih krem

dan tekstur yang kuat. Karakteristik khusus dari Chinese wet noodles adalah penambahan kan-sui (garam alkali) yang menyebabkan warna kuning khas, flavor basa, pH tinggi dan tekstur yang baik (Hou dan Kruk, 1998).

Mie basah merupakan bahan pangan yang tinggi kadar karbohidratnya,

karena terbuat dari hampir 95% tepung terigu. Mie basah juga mengandung

senyawa lainnya, seperti protein, lemak dan vitamin. Komposisi nilai gizi

[image:38.612.228.411.289.493.2]

mie basah dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi nilai gizi mie basah*

zat gizi mie basah

Energi (kkal) 86

Protein (g) 1

Lemak (g) 3

Karbohidrat (g) 14

Kalsium (mg) 14

Fosfor (mg) 13

Besi (mg) 1

Vitamin A (SI) 0

Vitamin B1 (mg) 0

Vitamin C (mg) 0

Air 80.0 *Direktorat Gizi Depkes, 1979

Warna alami pada mie basah disebabkan oleh senyawa flavon yang

terkandung dalam tepung dan pengaruh penambahan garam alkali. Miskelly

(1996) menyebutkan bahwa senyawa flavon yang terlepas dari pati yang

disebut apigenin glikosida berubah menjadi kuning pada suasana basa.

Miskelly juga menyebutkan bahwa kekuningan (yellowness) dan kecerahan

(brightness) mie tidak hanya dipengaruhi alkali tapi juga oleh kadar bran

tepung, protein spesifik tepung, enzim protease dan polifenol oksidase,

tingkat kerusakan pati, ukuran partikel tepung, dan penambahan senyawa

(39)

Senyawa flavon yang terkandung dalam tepung adalah pigmen tepung.

Pigmen flavonoid ini berasal dari kontaminasi bran terhadap tepung, dimana flavonoid tidak rusak oleh zat pemutih (bleaching agent) yang umum digunakan. Pada pH asam, senyawa flavonoid relatif stabil dan tidak

berwarna, namun akan memberikan warna kuning jika pH menjadi tinggi.

Senyawa flavonoid inilah sumber penyebab warna kuning pada mie basah

yang mengandung garam-garam alkali (Hoseney, 1998). Menurut Hou dan

Kruk (1998), kriteria warna dari mie basah mentah (Chinese raw noodle)

adalah terang dan agak putih, serta mengalami sedikit perubahan warna

dalam 24 jam. Mie basah matang (Chinese wet noodle) mempunyai kriteria warna kuning terang serta terjadi sedikit perubahan warna dalam selang 24

jam.

2. Proses Pengolahan Mie Basah

Bahan-bahan pembuat mie basah umumnya sama seperti bahan

pembuat mie lainnya, yang terdiri atas tepung terigu, garam dapur, air, dan

garam karbonat (Anonim, 2005). Tepung terigu adalah bahan yang

jumlahnya paling banyak digunakan dan berfungsi sebagai bahan dasar dan

sumber karbohidrat. Garam berguna untuk memberikan rasa, memperkuat

tekstur, membantu reaksi gluten dan karbohidrat, serta mengikat air. Garam

karbonat yang dapat terdiri atas kalium karbonat atau natrium karbonat

berfungsi untuk meningkatkan pH, menyebabkan warna sedikit kuning

dengan flavor yang lebih baik. Secara khusus, natrium karbonat berperan

untuk kehalusan tekstur, sedangkan kalium karbonat untuk meningkatkan

kekenyalan. Air berfungsi untuk melarutkan garam dapur dan garam

karbonat, serta membantu pembentukan gluten (Winarno dan Rahayu,

1994).

Warna unik dari mie kuning (yellow noodles) disebabkan penambahan garam alkali, lebih dikenal dengan nama kan-sui atau air basa. Jumlah penambahan biasanya sebesar 1% atau bahkan 1.5% untuk karbonat dan

0.3% untuk natrium hidroksida, walaupun jumlah 1% kadang digunakan.

(40)

kuning dan tekstur yang kuat dan elastis pada mie. Jumlah alkali yang

ditambahkan berhubungan erat dengan nilai pH mie (Miskelly, 1996).

Proses pembuatan mie basah secara umum meliputi tahap-tahap

pencampuran bahan, pengadukan, pembentukan lembaran, pengistirahatan,

penipisan lembaran, pemotongan pita-pita mie, perebusan dan pelumuran

minyak (untuk mie basah matang). Proses pembuatan mie basah yang

digunakan dalam penelitan berdasarkan penelitian Pahrudin (2006) dan

tahap-tahap proses pembuatannya dapat dilihat pada Gambar 1.

[image:40.612.179.455.251.502.2]

Gambar 1. Tahap-tahap pembuatan mie basah (Pahrudin, 2006)

Tahap pertama adalah pencampuran bahan-bahan, seperti terigu, air,

dan garam alkali yang selanjutnya dilakukan pengadukan agar bahan-bahan

tersebut tercampur dengan rata dan homogen. Tahap pencampuran dan

pengadukan juga bertujuan untuk menghidrasi tepung dengan air dan

membentuk adonan dari jaringan gluten sehingga adonan menjadi elastis dan

halus. Campuran yang diharapkan adalah campuran yang lunak, lembut,

tidak lengket, halus, elastis dan mengembang dengan normal (Gracecia,

2005).

Pencampuran bahan-bahan

Pengadukan

Pembentukan lembaran

Pengistirahatan

Penipisan lembaran

Pembentukan dan pemotongan pita-pita mie

Pelumuran tapioka Perebusan

(41)

Penambahan air pada tahap pencampuran bahan terbatas, biasanya

35% dari bobot terigu. Jumlah air tersebut tidak cukup untuk membentuk

adonan pada awalnya, sehingga terbentuk gumpalan-gumpalan tepung.

Pengadukan berguna untuk menghancurkan gumpalan-gumpalan tersebut

menjadi bentuk yang lebih kecil. Pengadukan biasanya berlangsung selama

5-10 menit dengan tujuan utama keseragaman distribusi air (Hoseney, 1998).

Pembentukan lembaran mie dilakukan dengan melalukan adonan di

antara dua rol besi. Ketebalan lembaran mie yang diharapkan kira-kira

sebesar 1 cm. Lembaran mie tersebut dilalukan kembali di antara dua rol

besi dengan jarak yang makin kecil sehingga dihasilkan lembaran dengan

ketebalan 1-2 mm. Fungsi pembentukan lembaran adalah untuk membentuk

lembaran adonan dengan ketebalan seragam dan pembentukan gluten.

Karena adonan mie selalu dibentuk melalui arah yang sama, fibril gluten

terbentuk sejajar dengan arah pembentukan lembaran yang memberikan mie

kekuatan yang lebih pada bentuk yang panjang (Hoseney, 1998).

Menurut Badrudin (1994), faktor yang mempengaruhi pembentukan

lembaran adalah suhu dan jarak rol. Suhu yang baik adalah sekitar 37°C, jika

kurang dari suhu tersebut adonan akan menjadi kasar dan pecah-pecah

sehingga mie mudah patah. Sedangkan menurut Hoseney (1998), dua faktor

penting dalam pembentukan lembaran adalah kecepatan pembentukan

lembaran dan perbandingannya. Kecepatan pembentukan lembaran adalah

kecepatan rol, atau berapa cepat adonan melewati rol. Perbandingan

pembentukan lembaran adalah ketebalan adonan setelah dibentuk menjadi

lembaran dengan ketebalan adonan sebelum dibentuk menjadi lembaran.

Kedua faktor ini harus diperhatikan untuk mendapatkan mie yang bagus.

Pengistirahatan lembaran adonan mie biasanya dilakukan selama 15

menit. Hal ini bertujuan agar pembentukan gluten dalam adonan berjalan

dengan baik dan seragam. Proses penipisan lembaran berguna dalam

penyebaran gluten yang lebih baik dan memperkuat tekstur serta kekuatan

mie. Mie dengan tekstur halus dan ketebalan tipis yang dihasilkan kemudian

dipotong-potong menjadi pita-pita mie. Proses tersebut dilakukan dengan

(42)

Pelumuran tapioka untuk mie basah mentah bertujuan agar pita-pita

mie tidak saling lengket. Tepung tapioka yang digunakan dapat menjadi

sumber kontaminasi mikroba karena pada umumnya tepung tapioka

memiliki jumlah mikroba awal yang cukup tinggi, yaitu sebesar 2.51 x 105

cfu/g. Berbeda dengan mie basah mentah, mie basah matang terlebih dahulu

harus melewati proses perebusan. Oleh karena itu, mie basah matang

memiliki kadar air yang lebih tinggi daripada mie basah mentah dan lebih

cepat rusak. Proses perebusan mie basah matang menginaktifkan enzim

polifenol oksidase yang terdapat pada tepung sehingga mie basah matang

tidak berubah menjadi coklat seperti mie basah mentah. Pelumuran minyak

pada mie basah matang sama dengan pelumuran tapioka pada mie basah

mentah, yaitu bertujuan agar pita-pita mie tidak saling lengket. Menurut

Miskelly (1996), minyak yang dapat digunakan antara lain adalah minyak

kelapa atau minyak kacang.

3. Umur Simpan dan Kerusakan Mie Basah

Umur simpan mie basah mentah berbeda dengan mie basah matang.

Perbedaan tersebut terutama disebabkan adanya perbedaan proses

pembuatan. Perebusan yang dialami mie basah matang menyebabkan

tingginya kadar air sehingga lebih mudah rusak. Menurut Nugrahani (2005),

kadar air rata-rata mie basah matang adalah sebesar 64.17% dan mie basah

mentah sebesar 31.25%. Kadar air tinggi memudahkan mikroorganisme

untuk tumbuh dan berkembang biak.

Menurut Hoseney (1998), mie basah mentah tidak dimasak sebelum

dijual dan mengandung 35% air. Sebab itu, mie basah mentah dengan cepat

rusak kecuali disimpan pada suhu lemari es. Setelah 50-60 jam pada suhu

lemari es, mie menjadi gelap dan berkapang. Pada suhu ruang, mie basah

mentah hanya dapat bertahan maksimal dua hari (48 jam). Mie basah

matang direbus sebelum dijual. Setelah direbus, mie basah matang

mempunyai kadar air sebesar 52% sehingga memiliki umur simpan relatif

(43)

oksidase sehingga mie tidak berubah warna menjadi coklat selama

penyimpanan.

Menurut Chamdani (2005), mie basah mentah memiliki umur simpan

antara 24-36 jam. Pahrudin (2006) menyebutkan bahwa umur simpan mie

basah matang adalah antara 24-30 jam. Hasil-hasil tersebut didapat

berdasarkan jumlah mikroba total mie basah mentah yang melebihi standar

SNI, yaitu sebesar 106 cfu/g.

Penerimaan konsumen untuk mie basah mentah akan baik jika mie

berwarna putih atau kuning muda. Pencoklatan warna selama penyimpanan

disebabkan enzim polifenoloksidase (PPO) yang menyebabkan browning

pada buah (Hoseney, 1998). Proses pencoklatan dilaporkan terjadi lebih

cepat pada mie kuning basa (yellow alkaline noodle) dibandingkan dengan mie putih asin (Miskelly, 1996).

Kerusakan yang umum terjadi pada mie basah adalah bau asam, bau

tengik, timbulnya lendir dan perubahan warna. Bau asam terjadi pada mie

basah mentah dan matang sebagai akibat aktivitas mikroba. Bau tengik

hanya terjadi pada mie basah matang sebagai hasil degradasi minyak oleh

mikroba. Bau asam dan bau tengik adalah indikator kerusakan mie pada

tahap awal, sedangkan lendir umumnya merupakan indikator kerusakan

lanjut.

Mikroba pada mie basah sebagian besar berasal dari tepung dan

bahan-bahan penyusunnya. Menurut Christensen (1974), bakteri yang biasa

terdapat pada tepung adalah Pseudomonas, Micrococcus, Lactobacillus serta beberapa spesies Achromobacterium. Kapang yang ditemukan pada tepung antara lain Aspergillus, Rhizopus, Mucor, Fusarium, dan Penicillium.

Menurut Priyatna (2005), mie mentah dan mie matang memiliki kadar

air yang berbeda sehingga ciri kerusakan utama yang terjadi juga berbeda.

Kerusakan pada mie mentah terutama disebabkan oleh kapang karena kadar

air mie mentah yang relatif rendah. Kerusakan tersebut ditandai dengan

timbulnya jamur pada permukaan mie. Ciri-ciri kerusakan mie mentah

lainnya adalah hancur/patah-patah, keras/kering, bau asam, berlendir,

(44)

mentah yang kering/keras, hancur/patah-patah dapat disebabkan karena

kadar airnya berkurang akibat penguapan air selama penyimpanan sehingga

elastisitas mie menurun. Kerusakan pada mie matang terutama disebabkan

oleh bakteri karena kadar air mie matang relatif tinggi. Kerusakan pada mie

matang yang disebabkan oleh bakteri antara lain lembek, kempal (menyatu),

bau asam, berlendir, hancur dan kurang kenyal. Namun sebagian besar ciri

kerusakan pada mie matang adalah mie menjadi kempal (menyatu) dan

lembek.

B. BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.)

Bawang putih (Allium sativum Linn.) merupakan satu dari 600 jenis genus Allium. Bawang putih terkait erat dengan bawang bombay (Allium cepa), daun bawang (Allium porum), bawang merah (Allium ascalonicum), rocambole, dan chives. Bawang putih telah digunakan sejak lama, baik dalam masakan atau untuk tujuan kesehatan. Asal bawang putih diperkirakan dari

Asia Tengah (Whitmore dan Naidu, 2000).

1. Klasifi

Gambar

Tabel 1. Syarat mutu mie basah (SNI-01-2987-1992)
Tabel 2. Komposisi nilai gizi mie basah*
Gambar 1. Tahap-tahap pembuatan mie basah (Pahrudin, 2006)
Tabel 3. Komposisi bawang putih per 100 gram umbi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisa akhir bumbu bawang putih didapat bahwa formula X mempunyai kadar air dan kelarutan yang sama dengan sampel target kecuali total mikroba yang lebih besar dari

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji efek antelmintik jus bawang putih segar (JBPS) terhadap Ascarss suum dan menilai potensinya dibandingkan dengan pirantel

Pada penelitian pendahuluan dilakukan pemilihan metode ekstraksi yang sesuai untuk bawang putih, formulasi asam asetat dan ekstrak bawang putih sebagai larutan biang pengawet,

Gambar L2d Zona Hambatan Pertumbuhan Salmonella typhi Oleh Air Perasan Dari Parutan Bawang Putihdan Berbagai Sediaan Ekstrak Bawang Putih Jenis Garlic Powder.. Keterangan :

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari ekstrak serbuk bawang putih, serbuk bawang putih komersial dan bawang putih segar yang dimaserasi dengan

Berdasarkan pembahasan diatas menunjukkan bahwa ekstrak umbi dan kulit umbi bawang putih ( Allium sativum Linn) berpengaruh terhadap pertumbuhan jamur Malassezia

HAMBAT TERHADAP JAMUR Malassezia furfur ANTARA PEMBERIAN EKSTRAK UMBI BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn) DENGAN EKSTRAK KULIT UMBI BAWANG PUTIH (Allium sativum

Terdapat interaksi antara konsentrasi chitosan dan lama penyimpanan mie basah terhadap log total mikroba, tekstur (lendir), penampakan jamur, ketengikan, dan