• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERMASALAHAN DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN K. docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERMASALAHAN DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN K. docx"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PERMASALAHAN DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIKAN SEKOLAH MENENGAH DI KOTAMADYA

PADANG SUMATERA BARAT (2008-2009)

Festiyed*)

Jurusan Pendikan Fisika FMIPA UNP Padang Hp.08126742403 dan E-mail festiyed@ymail.com

Syakbaniah*)

Jurusan Pendiikan Fisika FMIPA UNP Padang

Abstrak

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran utuh yang terkait dengan sejauh mana tenaga pendidik telah menjabarkan dokumen kurikulum, dan kemampuannya melaksanakan kegiatan pembelajaran. Untuk mencapai tujuan tersebut telah dilakukan penelitian tahun 2008/2009 dengan pendekatan

deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan dua tahap yang diawali dengan studi literatur dalam bentuk survey awal kebaikan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dan dilanjutkan dengan konfirmasi pelaksanaannya melalui

seminar/pertemuan dengan kepala sekolah, guru dan komite. Hasil survey awal dapat disimpulkan bahwa KTSP ini secara teoritis sesungguhnya lebih mudah, karena

pendidik diberi kebebasan untuk mengembangkan kompetensi siswanya sesuai dengan lingkungan dan kultur daerahnya. KTSP juga tidak mengatur secara rinci kegiatan pembelajaran di kelas, tetapi guru dan sekolah diberi keleluasaan untuk

mengembangkannya sendiri sesuai dengan kondisi murid dan daerahnya. Di samping itu yang harus digaris bawahi adalah yang dikeluarkan oleh BNSP bukanlah kurikulum tetapi Pedoman Penyusunan Kurikulum 2006. Namun dari hasil konfirmasi pelaksanaan KTSP di kodya Padang Sumatera Barat, secara umum dapat disimpulkan: hanya 10% yang telah menjalankan KTSP, sedang sekolah lainnya 90 % hanya mencontoh dari sekolah yang telah melaksanankan tersebut.

*)**) Dosen Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Padang

(2)

PENDAHULUAN

Upaya peningkatan mutu pendidikan telah dilakukan oleh pemerintah salah satunya membuat suatu kebijakan yang tertuang di dalam Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Standar nasional pendidikan dimaksudkan sebagai k riteria minimal tentang sistem pendidikan yang berlaku di seluruh wilayah hukum negara kesatuan republik indonesia yang mencakup: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian

pendidikan. Dalam rangka pengembangan, pemantauan, dan pelaporan pencapaian standar nasional pendidikan, dibentuklah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Badan tersebut berkedudukan di jakarta yang menjalankan tugas dan fungsinya secara mandiri dan profesional hasilnya dipertanggungjawabkan kepada Mendiknas.

Kebijakan pemerintah tersebut terlaksana melalui penyempurnaan kurikulum (Aljufri B. S., 1986; M. Ansyar,1989; Zais, 1976), pengadaan buku ajar, peningkatan mutu guru , peningkatan menejemen pendidikan dan peningkatan kesejahteraan guru (Fasli Jalal, 2006: Tilaar, 2004). Masalah kurikulum kita jauh tertinggal bila

dibandingkan dengan kurikulum negara lain termasuk kurikulum yang digunakan di Balai Latihan Kerja (BLK) dan Kursus Latihan Kerja (KLK) (Sumiyarno, 2004). Sebagai akibatnya, ketika masuk ke dunia kerja, pengetahuan dan keterampilan tenaga kerja ini harus diformat ulang (On the job training) agar sesuai dengan bidang yang akan dikerjakan.

Meskipun sudah ada upaya untuk memecahkan masalah tersebut, seperti juga yang telah dilakukan MGMP dalam mengembangkan dan pelaksanaan kurikulum.

Pengembangan perangkat pembelajaran berorientasi life skill (Festiyed dan Murtiani, 2007), pengembangan silabus integrasi CD multimedia dengan perangkat pembelajaran (Syakbaniah dan Festiyed, 2008), tetapi belum menyelesaikan masalah secara

keseluruhan. Hal inilah yang menyebabkan belum berhasilnya upaya peningkatan kualitas proses dan hasil belajar selama ini.

(3)

berlanjut jika sistem pendidikan tidak memberikan bekal kemampuan yang andal kepada lulusannya, dan jika orientasi lulusan yang mengandalkan bekerja hanya dalam lapangan kerja yang ada (terbuka) tidak segera diubah. Muatan lokal dalam kurikulum nampaknya perlu diisi dan diperkaya dengan materi yang dapat

menumbuh-kembangkan sikap dan kemampuan tersebut

Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuh kembangkan potensi Sumber Daya Manusia (SDM). Ada dua buah konsep kependidikan yang berkaitan dengan lainnya, yaitu belajar ( learning ) dan pembelajaran ( intruction ). Konsep belajar berakar pada pihak peserta didik dan konsep pembelajaran berakar pada pihak pendidik. Dan

implikasi pendidikan yang utama adalah mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan masyarakat

Terciptanya lulusan sekolah yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat ditentukan berbagai faktor, misalnya kompetensi guru, kemampuan siswa, sarana, fasilitas,

kurikulum, proses pembelajaran, alat-bahan, manajemen sekolah, lingkungan (iklim) kerja dan kerjasama industri, dan lain-lain. Dalam konteks ini kurikulum memegang peranan penting. Kurikulum merupakan salah satu komponen pendidikan yang cukup berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan pendidikan. Kurikulum dikatakan efektif manakala kurikulum tersebut mampu menyiapkan lulusan sesuai kepentingan masyarakat. Hal ini penting diupayakan mengingat kurikulum merupakan jantungnya aktivitas dan proses pendidikan.. Kurikulum memiliki tiga dimensi utama, yaitu: kurikulum yang dimaksudkan (intended curriculum) yang berkaitan dengan tujuan dan rencana; kurikulum yang diimplementasikan (implemented curriculum) yang berkaitan dengan proses belajar mengajar dan pengaturan institusional; dan kurikulum yang diperoleh (attained curriculum) dimana peserta didik memperoleh pengalaman pendidikan (Schmidt, 1996).

Kurikulum direncanakan dan disusun untuk dilaksanakan di sekolah dalam mencapai sejumlah tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Menurut Nurgiyantoro (1988:215) kurikulum betapapun baiknya, jika tidak atau belum dilaksanakan di sekolah belum mempunyai arti apa-apa dalam hal pencapaian tujuan pendidikan itu.

Pelaksanaan kurikulum disekolah dalam bentuk kegiatan belajar mengajar merupakan kunci berhasil tidaknya tujuan pendidikan yang ingin dicapai.

(4)

merupakan pihak yang paling mengerti dan bertanggungjawab terhadap kegiatan pembelajaran yang dilakukannya. Apa dan bagaimana kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru dan siswa di kelas, akan sangat menentukan berhasilnya pencapaian tujuan pendidikan. Oleh sebab itu, sudah selayaknya pendidik mempersiapkan kegiatan pembelajarannya sebaik mungkin dengan mengikuri prosedur yang direncakanan mulai dari persiapan, pelaksanaan dan penilaian. Menurut Pratt (1980) dalam Nurgiyantoro (1988:11), pengembangan kurikulum menunjuk pada kegiatan menghasilkan kurikulum, yang bersifat konseptual daripada material. Bentuk kegiatan dalam pengembangan kurikulum antara lain; penyusunan, pelaksanaan, penilaian, dan penyempurnaan (Surakhmad dalam Nurgiyantoro, 1988:11).

Menurut Ahmad (1998:63) pengembangan kurikulum merupakan bagian yang esensial dalam proses pendidikan. Sasaran yang ingin dicapai bukan semata-mata memproduksi bahan pelajaran, melainkan lebih dititikberatkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Proses dalam pengembangan kurikulum didasari atas banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Misalnya pertimbangan; (1) falsafah hidup bangsa, (2) harapan, kebutuhan, dan permintaan masyarakat akan produk pendidikan, (3) kesesuaian kurikulum dengan kondisi peserta didik, sebab pada dasarnya kurikulum adalah untuk peserta didik, (4) kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni yang tidak dapat dipungkiri.

Sejalan dengan telah dilaksanakannya otonomi daerah, kebijakan pengembangan kurikulum juga menganut azas desentralisasi karena pendekatan sentralistik sulit mengadaptasikan kurikulum sesuai kebutuhan lingkungan. Pendidikan seharusnya relevan dengan kebutuhan peserta didik, sehingga program pendidikan haruslah merefleksikan kebutuhannya agar ia layak dan cukup inteligen hidup dalam lingkungannya. Dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di jenjang pendidikan dasar dan menengah, mengindikasikan adanya upaya pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada daerah, sekolah, dan guru untuk menentukan sendiri pengalaman belajar yang akan diberikan kepada siswa , atau lebih menekankan pada sumber daya manusia (siswa) berdasarkan bakat dan minat masing-masing. Pemandirian ini tentunya memberikan peluang bagi daerah untuk mengenali potensi diri, potensi alam, dan arah pengembangan yang akan dilakukan di masa

(5)

Pemberlakuan KTSP, sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan SI(standar isi) dan SKL (standar kompetensi lulusan), ditetapkan oleh kepala sekolah setelah memperhatikan pertimbangan dari komite sekolah. Dengan kata lain, pemberlakuan KTSP sepenuhnya diserahkan kepada sekolah, dalam arti tidak ada intervensi dari Dinas Pendidikan atau Departemen Pendidikan Nasional. Penyusunan KTSP selain melibatkan guru dan karyawan juga melibatkan komite sekolah serta bila perlu para ahli dari perguruan tinggi setempat. Dengan keterlibatan komite sekolah dalam penyusunan KTSP maka KTSP yang disusun akan sesuai dengan aspirasi masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat

Dengan ini, seluruh potensi setempat diharapkan dapat didayagunakan demi pengembangan setempat. Dalam lingkup satuan pendidikan atau sekolah, paradigma yang sama juga ingin diberlakukan, yakni Satuan pendidikan menjadi mandiri dan diberi kesempatan mengerahkan seluruh potensi demi kemajuan pendidikan yang kontekstual, meski harus disadari, hal ini tidak mudah dilaksanakan.

Meskipun sudah ada upaya untuk memecahkan masalah tersebut, seperti: yang telah dilakukan MGMP dalam mengembangkan dan melaksanakan kurikulum; memanfaatkan hasil penelitian tetapi belum menyangkut masalah secara keseluruhan, hanya secara parsial, sehingga masih terdapat beberapa kelemahan. Jika hal ini terus dibiarkan dan tidak ada upaya untuk mencari akar permasalahan dan perbaikannya, maka proses pembelajaran tidak akan berjalan menurut semestinya seperti tertuang dalam kurikulum. Hal inilah yang menyebabkan kegagalan upaya peningkatan kualitas proses dan hasil pembelajaran.

METODE PENELITIAN

Telah dilakukan penelitian tahun 2008/2009 dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan dua tahap yang diawali dengan studi literatur dalam bentuk survey awal kebaikan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dan dilanjutkan dengan konfirmasi pelaksanaannya melalui seminar/pertemuan dengan kepala sekolah, guru dan komite. Populasinya adalah 4697 orang guru dari 114 sekolah menengah tingkat atas yang dikelola oleh pemerintah dan swasta (Diknas, Depag dan

(6)

Tabel 2 Jumlah sekolah, dan guru SMU/MA dan SMK Negeri dan Swasta di kota PadangKondisi

N SMU/MA SMK Jumlah

Negeri Swasta Negeri Swasta

Sekolah 16/3 32/5 12 48 114

Guru 1.198 1.127 949 1423 4697

Pengambilan populasi di kota Padang dikarenakan 30% jumlah guru dan siswa Sumatera Barat berada dikota Padang, dan sekolahnya juga dapat dikelompokkan berdasarkan daerah urban dan rural. Dari

Sampel diambil 25% dari masing-masing kelompok populasi berdasarkan daerah urban dan rural , dimana gurunya mengampu mata pelajaran yang berbasis teori dan praktikum menggunakan teknik stratified random sampling.

Sample juga mempertimbangkan sekolah yang telah menerapkan KTSP, dan lingkungan sekolah serta hasil belajar berupa nilai UN, juga mempertimbangkan:

1. Jumlah sekolah kelompok rural (adalah sekolah yang muridnya sebagian besar siswa nya lebih 80 % dari golongan tertentu, homogen dan variasi gangguan belajar kecil) dan urban (adalah sekolah yang siswanya berasal dari berbagai golongan, hampir tidak ada golonngan yang mendominasi dan tinngkat gangguan belajar tinggi, misalnya tingkat kebisingan tinggi, pengaruh diluar lingkunagan sekolah, rokok,narkoba dan lainnya) untuk tingkat satuan SMA/MA, SMK negeri dan swasta di kota Padang

2. Matapelajaran berpraktikum (Teori+Praktikum) yang merupakan mata pelajaran inti di jurusan masing-masing

Dari pertimbangan tersebut diperoleh 16 sekolah sebagai samplenya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Survey awal sehubungan dengan KTSP

(7)

1. Mendorong terwujudnya otonomi sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu bentuk kegagalan pelaksanaan kurikulum di masa lalu adalah adanya penyeragaman kurikulum di seluruh Indonesia, tidak melihat kepada situasi riil di lapangan, dan kurang menghargai potensi keunggulan lokal. Dengan adanya penyeragaman ini, sekolah di kota sama dengan sekolah di daerah pinggiran maupun di daerah pedesaan. Penyeragaman kurikulum ini juga berimplikasi pada beberapa kenyataan bahwa sekolah di daerah pertanian sama dengan sekolah yang daerah pesisir pantai, sekolah di daerah industri sama dengan di wilayah pariwisata.

Oleh karenanya, kurikulum tersebut menjadi kurang operasional, sehingga tidak memberikan kompetensi yang cukup bagi peserta didik untuk mengembangkan diri dan keunggulankhas yang ada di daerahnya. Sebagai implikasi dari penyeragaman ini akibatnya para lulusan tidak memiliki daya kompetitif di dunia kerja dan berimplikasi pula terhadap meningkatnya angka pengangguran. Untuk itulah kehadiran KTSP diharapkan dapat memberikan jawaban yang konkrit terhadap mutu dunia pendidikan di Indonesia.

Dengan semangat otonomi itu, sekolah bersama dengan komite sekolah dapat secara bersama-sama merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi lingkungan sekolah. Sebagai sesuatu yang baru, sekolah mungkin mengalami kesulitan dalam penyusunan KTSP. Oleh karena itu, jika diperlukan, sekolah dapat berkonsultasi baik secara vertikal maupun secara horizontal. Secara vertikal, sekolah dapat berkonsultasi dengan Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten atau Kota, Dinas Pendidikan Provinsi, Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan secara horizontal, sekolah dapat bermitra dengan stakeholder pendidikan dalam merumuskan KTSP. Misalnya, dunia industri, kerajinan, pariwisata, petani, nelayan, organisasi profesi, dan sebagainya agar

kurikulum yang dibuat oleh sekolah benar-benar mampu menjawab kebutuhan di daerah di mana sekolah tersebut berada.

2. Mendorong para guru, kepala sekolah, dan pihak manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan kreativitasnya dalam penyelenggaraan program-program pendidikan.

Dengan berpijak pada panduan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang dibuat oleh BNSP, sekolah diberi keleluasaan untuk merancang, mengembangkan, dan mengimplementasikan kurikulum sekolah sesuai dengan situasi, kondisi, dan potensi keunggulan lokal yang bisa dimunculkan oleh sekolah. Sekolah bisa mengembangkan standar yang lebih tinggi dari standar isi dan standar kompetensi lulusan. Keuntungan yang bisa diraih guru dengan Kurikulum 2006 ini adalah

(8)

Diharapkan guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya. Sekolah dipacu untuk dapat menyusun program pendidikan sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia. Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004

dideskripsikan kompetensi dasar, dijabarkan indikator, dan bahkan dipetakan pula materi pokok pelajaran. Dalam Kurikulum 2006 hanya dideskripsikan standar

kompetensi dan kompetensi dasar. Guru sendiri yang mesti menentukan indikator dan materi pokok pelajaran, disesuaikan dengan situasi daerah dan minat anak didik Sebagaimana diketahui, prinsip pengembangan KTSP adalah

(1) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya;

(2) Beragam dan terpadu;

(3) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (4) Relevan dengan kebutuhan kehidupan;

(5) Menyeluruh dan berkesinambungan; (6) Belajar sepanjang hayat;

(7) Dan seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.

Berdasarkan prinsip-prinsip ini, KTSP sangat relevan dengan konsep desentralisasi pendidikan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) yang mencakup otonomi sekolah di dalamnya. Pemerintah daerah dapat lebih leluasa berimprovisasi dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Di samping itu, sekolah bersama komite sekolah diberi otonomi menyusun kurikulum sendiri sesuai dengan kebutuhan di lapangan.

3. KTSP sangat memungkinkan bagi setiap sekolah untuk menitik beratkan dan mengembangkan mata pelajaran tertentu yang akseptabel bagi kebutuhan siswa.

Sesuai dengan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional yang tertuang dalam Peraturan Mendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) dan Peraturan Mendiknas No. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL), sekolah diwajibkan menyusun kurikulumnya sendiri. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) itu memungkinkan sekolah menitikberatkan pada mata pelajaran tertentu yang dianggap paling dibutuhkan siswanya. Sebagai contoh misalnya, sekolah yang berada dalam kawasan pariwisata dapat lebih memfokuskan pada mata pelajaran bahasa Inggris atau mata pelajaran di bidang kepariwisataan lainnya.

(9)

KTSP ini sesungguhnya lebih mudah, karena guru diberi kebebasan untuk

mengembangkan kompetensi siswanya sesuai dengan lingkungan dan kultur daerahnya. KTSP juga tidak mengatur secara rinci kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas, tetapi guru dan sekolah diberi keleluasaan untuk mengembangkannya sendiri sesuai dengan kondisi murid dan daerahnya. Di samping itu yang harus digarisbawahi adalah bahwa yang akan dikeluarkan oleh BNSP tersebut bukanlah kurikulum tetapi tepatnya Pedoman Penyusunan Kurikulum 2006.

4. KTSP akan mengurangi beban belajar siswa yang sangat padat dan memberatkan kurang lebih 20%.

Dengan diberlakukannya KTSP itu nantinya akan dapat mengurangi beban belajar sebanyak 20% karena KTSP tersebut lebih sederhana. Di samping jam pelajaran akan dikurangi antara 100-200 jam per tahun, bahan ajar yang dianggap memberatkan siswa pun akan dikurangi. Meskipun terdapat pengurangan jam pelajaran dan bahan ajar, KTSP tetap memberikan tekanan pada pengembangan kompetensi siswa.

Pengurangan jam belajar siswa tersebut merupakan rekomendasi dari BNSP. Rekomendasi ini dapat dikatakan cukup unik, karena selama bertahun-tahun beban belajar siswa tidak mengalami perubahan, dan biasanya yang berubah adalah metode pengajaran dan buku pelajaran semata. Jam pelajaran yang biasa diterapkan kepada siswa sebelunya berkisar antara 1.000-1.200 jam pelajaran dalam setahun. Jika biasanya satu jam pelajaran untuk siswa SD, SMP dan SMA adalah 45 menit, maka rekomendasi BNSP ini mengusulkan pengurangan untuk SD menjadi 35 menit setiap jm pelajaran, untuk SMP menjadi 40 menit, dan untuk SMA tidak berubah, yakni tetap 45 menit setiap jam pelajaran. Total 1.000 jam pelajaran dalam satu tahun ini dengan asumsi setahun terdapat 36-40 minggu efektif kegiatan belajar mengajar.dan dalam seminggu tersebut meliputi 36-38 jam pelajaran.

Alasan diadakannya pengurangan jam pelajaran ini karena menurut pakar-pakar pendidikan anak bahwa jam pelajaran di sekolah-sekolah selama ini terlalu banyak. Apalagi kegiatan belajar mengajar masih banyak yang terpaku pada kegiatan tatap muka di kelas. Sehingga suasana yang tercipta pun menjadi terkesan sangat formal. Dampak yang mungkin tidak terlalu disadari adalah siswa terlalu terbebani dengan jam pelajaran tersebut. Akibat lebih jauh lagi adalah mempengaruhi perkembangan jiwa anak.

Persoalan ini lebih dirasakan untuk siswa SD dan SMP. Dalam usia yang masih anak-anak, mereka membutuhkan waktu bermain yang cukup untuk mengembangkan kepribadiannya. Suasana formal yang diciptakan sekolah, ditambah lagi standar jam pelajaran yang relatif lama, tentu akan memberikan dampak tersendiri pada psikologis anak. Banyak pakar yang menilai sekolah selama ini telah merampas hak anak untuk mengembangkan kepribadian secara alami.

(10)

memangkas sekian jam frekwensi siswa berhubungan dengan mata pelajaran di kelas. Melainkan memotong sedikit, atau menghilangkan titik kejenuhan siswa terhadap mata pelajaran dalam sehari akibat terlalu lama berkutat dengan pelajaran itu.

Dapat dikatakan bahwa perberlakuan KTSP ini sebagai upaya perbaikan secara kontinuitif. Sebagai contoh, kurikulum 1994 dapat dinilai sebagai kurikulum yang berat dalam penerapannya. Ketika diberlakukan Kurikulum 1994 banyak sekolah yang terlalu bersemangat ingin meningkatkan kompetensi iptek siswa, sehingga muatan iptek pun dibesarkan. Tetapi yang patut disayangkan adalah SDM yang tersedia belum siap, sehingga hasilnya hanya sekitar 30% siswa yang mampu menerapkan kurikulum tersebut.

5. KTSP memberikan peluang yang lebih luas kepada sekolah-sekolah plus untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan.

Pola kurikulum baru (KTSP) akan memberi angin segar pada sekolah-sekolah yang menyebut dirinya nasional plus. Sekolah-sekolah swasta yang kini marak bermunculan itu sejak beberapa tahun terakhir telah mengembangkan variasi atas kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Sehingga ketika pemerintah kemudian justru mewajibkan adanya pengayaan dari masing-masing sekolah, sekolah-sekolah plus itu jelas akan menyambut gembira. Sekarang semua bentuk improvisasi dibebaskan asal tidak keluar panduan yang telah ditetapkan dalam KTSP. Dengan ini, seluruh potensi setempat diharapkan dapat didayagunakan demi pengembangan setempat. Dalam lingkup satuan pendidikan atau sekolah, paradigma yang sama juga ingin diberlakukan, yakni Satuan pendidikan menjadi mandiri dan diberi kesempatan mengerahkan seluruh potensi demi kemajuan pendidikan yang kontekstual, meski harus disadari, tapi hal ini tidak mudah dilaksanakan

6. Harga ketuntasan sebuah KD (Kompetensi Dasar) ditetapkan oleh masing-masing sekolah

Indikator-indikator yang dipilih atau digunakan dalam Kompetensi Dasar pada Standar Isi . Analisis harga SKM (Standar Kompetensi Minimal) per Indikator yang digunakan pada KKM tersebut di atas.

7. RPP (Rancangan Paket Pembelajaran) dan penilaian dapat bervariasi :

(11)

Setiap Guru (mungkin) akan berbeda gaya/stylenya dalam menyusun paket

pembelajarannya masing-masing sesuai dengan hak otonominya. Namun dalam hal ini, yang tidak akan berbeda adalah KD (Kompetensi Dasar) yang telah ditetapkan

berdasarkan perhitungan Analisis dari sejumlah indikator yang dipilih oleh MGMP Sekolah yang bersangkutan. Harga KD sebuah mata pelajaran tidak berubah oleh perbedaan atau jumlah atau tipe paket pembelajaran yang dirancang oleh guru (perorangan).

B. Konfirmasi permasalahan melalui seminar/pertemuan dengan guru dan kepala sekolah (24-25 Juni 2009)

Hasil seminar dan pertemuan dengan kepala sekolah, guru dan komite (24-25 Juni 2009), secara umum dapat disimpulkan: Sekolah di kodya Padang hanya 10% yang telah menjalankan KTSP, sedang sekolah lainnya 90 % hanya mencontoh dari sekolah yang telah melaksanankan, ini disebabkan:

1. Kurangnya SDM yang diharapkan mampu menjabarkan KTSP pada kebanyakan satuan pendidikan yang ada.

Masih banyak guru dan sekolah yang belum memahami KTSP secara komprehensif baik konsepnya, penyusunannya maupun prakteknya di lapangan. Masih minimnya guru memberikan kontribusi pemikiran dan ide-ide kreatif untuk menjabarkan panduan kurikulum itu (KTSP), selain disebabkan oleh rendahnya kualifikasi, juga disebabkan pola kurikulum lama yang terlanjur mengekang kreativitas guru. Masih rendahnya kuantitas guru yang diharapkan mampu memahami dan menguasai KTSP dapat disebabkan karena pelaksanaan sosialisasi masih belum terlaksana secara menyeluruh. Jika tahapan sosialisasi tidak dapat tercapai secara menyeluruh, maka pemberlakuan KTSP secara nasional yang targetnya hendak dicapai paling lambat tahun 2009 tidak memungkinkan untuk dapat dicapai.

2. Kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana pendukung sebagai kelengkapan dari pelaksanaan KTSP.

Ketersediaan sarana dan prasarana yang lengkap dan representatif merupakan salah satu syarat yang paling urgen bagi pelaksanaan KTSP. Sementara kondisi di lapangan menunjukkan masih banyak satuan pendidikan yang minim alat peraga, laboratorium serta fasilitas penunjang yang menjadi syarat utama pemberlakuan KTSP.

(12)

Penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) akan menambah persoalan di dunia pendidikan. Selain menghadapi ketidaksiapan sekolah berganti kurikulum, KTSP juga mengancam pendapatan para guru. Sebagaimana diketahui rekomendasi BSNP terkait pemberlakuan KTSP tersebut berimplikasi pada pengurangan jumlah jam mengajar. Hal ini berdampak pada berkurangnya jumlah jam mengajar para guru. Akibatnya, guru terancam tidak memperoleh tunjangan profesi dan fungsional.

Untuk memperoleh tunjangan profesi dan fungsional semua guru harus mengajar 24 jam, jika jamnya dikurangi maka tidak akan bisa memperoleh tunjangan. Sebagai contoh, pelajaran Sosiologi untuk kelas 1 SMA atau kelas 10 mendapat dua jam pelajaran di KTSP maupun kurikulum sebelumnya. Sedangkan di kelas 2 SMA atau kelas 11 IPS, Sosiologi diajarkan selama lima jam pelajaran di kurikulum lama. Namun di KTSP Sosiologi hanya mendapat jatah tiga jam pelajaran. Hal yang sama terjadi di kelas 3 IPS. Pada kurikulum lama, pelajaran Sosiologi diajarkan untuk empat jam pelajaran tapi pada KTSP menjadi tiga jam pelajaran. Sementara itu masih banyak guru yang belum mengetahui tentang ketentuan baru kurikulum ini. Jika KTSP telah benar-benar diberlakukan, para guru sulit memenuhi ketentuan 24 jam mengajar agar bisa memperoleh tunjangan. Disisi lain ketentuan 24 jam mengajar menyebabkan tidak adanya waktu guru untuk persiapan pembuatan perangkat pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran yang bervariasi.

4. Penerapan KTSP yang merekomendasikan standar proses dengan asesmen berbasis kelas belum dilaksanakan secara utuh

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa asesmen berbasis kelas seperti: Asesmen porto folio ( Portofolio assessment); Asesmen kinerja ( Performance

assessment); Asesmen penugasan ( Project assessment); Asesmen tertulis ( Paper &

Pencil assessment ) ; dan Asesmen hasil kerja ( Productassessment) belum

dilaksanakan sebagaimana mestinya. Proses asesmen yang dilakukan selama ini hanya menekankan pada penguasaan konsep. Asesmen hanya meliputi ranah kognitif belum sampai pada C6 (kreasi), kebanyakan bentuk asesmen tertulis berupa memilih jawaban atau mensuplai jawban. Keadaan ini mendorong peserta didik untuk menghafal

sewaktu akan diadakan tes harian atau tes hasil pembelajaran. Asesmen yang ada belum dapat mengungkap secara terpadu aspek kognitif, efektif dan psikomotor. Hal ini juga disebabkan penentu kelulusan anak atau kenaikan kelas sangat ditentukan oleh hasil UAS (ujian akhir sekolah) dan UAN (ujian akhir nasional).

5. Penerapan KTSP akan berhasil jika standar nasional pendidikan terpenuhi secara utuh, tetapi belum ada sekolah yang bisa memenuhi ke 8 standar tersebut.

(13)

pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan, tetapi belum ada sekolah yang telah memenuhi ke delapan criteria tersebut.

6. Penetapan indikator sebagai pencapaian kompetensi belum

mempertimbangkan kriteria ketuntasan minimal yang harus dicapai siswa. Setiap sekolah berdasarkan otonomi yang dijamin oleh Undang-undang Pendidikan, berhak memilih dan/atau membuat indikator-indikator pencapaian Kompetensi Dasar yang telah ditetapkan oleh Kurikulum. Dengan demikian sekolah diperbolehkan membuat sendiri indikator yang menurut sekolah (dalam hal ini sekelompokguru MGMP) yang cocok (sesuai) sebagai penunjuk (indikator) untuk mencapai Kompetensi Dasar dimaksud dalam Standar kompetensiIndikator yang dibuat oleh sekolah harus dihitung (dianalisis) berdasarkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang terdiri atas 3 (tiga) variable, yaitu :

1. Variabel Kompleksitas, merujuk pada tingkat kesulitan pencapaian kompetensi 2. Variabel Daya Dukung Sekolah, yang terdiri dari 4 buah sub-variabel yaitu :

a. Alat Peraga (optional) b. Laboratorium (optional) c. Kompetensi Guru (wajib) d. Perpustakaan (wajib)

3. Variabel Intake Siswa (untuk mata pelajaran Intra Kurikuler adalah wajib, sedangkan untuk Ekstra-Kurikuler dan Mulok tidak diperhitungkan).

(14)

KESIMPULAN DAN SARAN

Penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) di setiap sekolah, akan membuat guru semakin pintar, karena mereka dituntut harus mampu merencanakan sendiri materi pelajarannya untuk mencapai kompetensi yang telah ditetapkan. Guru dapat melakukan upaya-upaya kreatif serta inovatif dalam bentuk penelitian tindakan terhadap berbagai teknik atau model pengelolaan pembelajaran yang mampu

menghasilkan lulusan yang kompeten. Kurikulum yang selama ini dibuat dari pusat, menyebabkan kreativitas guru kurang terpupuk, tetapi dengan KTSP, kreativitas guru bisa berkembang.

Semangat otonomi dan desentralisasi, KTSP memberi keleluasaan sekolah untuk mengembangkan kurikulum sendiri. KTSP sebenarnya positif, sebab sekolah diberikan otonomi untuk berdiskusi terkait dengan standar kompetensi yang dikembangkan. Hanya saja, sebagian besar guru belum terbiasa untuk mengembangkan model-model kurikulum. Selama ini mereka diperintah untuk melaksanakan kewajiban yang sudah baku, yakni kurikulum yang dibuat dari pusat.

Implementasi KTSP sebenarnya membutuhkan penciptaan iklim pendidikan yang memungkinkan tumbuhnya semangat intelektual dan ilmiah bagi setiap guru, mulai dari rumah, di sekolah, maupun di masyarakat. Hal ini berkaitan adanya pergeseran peran guru yang semula lebih sebagai instruktur dan kini menjadi fasilitator pembelajaran.

Penerapan KTSP tersebut berimplikasi pada bertambahnya beban bagi guru. Penerapan KTSP mengandaikan guru bisa membuat kurikulum untuk tiap mata

pelajaran, padahal, selama ini guru sudah terbiasa mengikuti kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Belum lagi mengingat kualitas guru yang kurang merata, ini artinya, KTSP menghadapi kendala daya kreativitas dan beragamnya kapasitas guru untuk membuat sendiri kurikulum. Pemberdayaan guru belum dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah daerah (pemda). Misalnya, pemda belum melakukan evaluasi pendidikan yang baik dan benar, termasuk evaluasi guru. Ini yang kerap terjadi, sehingga penerapan KTSP pun bisa melambat. Karena itu, pemda sebaiknya agresif dalam melakukan percepatan penerapan KTSP. Disisi lain ketentuan 24 jam mengajar menyebabkan tidak adanya waktu guru untuk persiapan pembuatan perangkat pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran yang bervariasi

Pemberdayaan guru dalam KTSP ini akan lebih baik, karena guru harus memikirkan perencanaan penyampaian materinya, setelah selama ini hanya mengajar sesuai

(15)

prinsip diversivikasi. Kurikulum harus disesuaikan dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Meski sekolah memiliki kewenangan luas, acuan tetap pada BSNP sesuai standar isi dan kompetensi lulusan. Untuk mengoptimalkan pemberdayaan guru dalam menyusun kurikulum tersebut, harus didukung sejumlah sarana dan fasilitas seperti ketersediaan buku teks yang beragam. Setiap guru butuh banyak pengetahuan untuk penyempurnaan kurikulum yang disusunya, dan memerlukan banyak sumber seperti buku, dan internet

Setiap sekolah berdasarkan otonomi yang dijamin oleh Undang-undang Pendidikan, berhak memilih dan/atau membuat indikator-indikator pencapaian Kompetensi Dasar yang telah ditetapkan oleh Kurikulum. Dengan demikian sekolah diperbolehkan membuat sendiri indikator yang menurut sekolah (dalam hal ini sekelompokguru MGMP) yang cocok (sesuai) sebagai penunjuk (indikator) untuk mencapai Kompetensi Dasar dimaksud dalam Standar kompetensi. Indikator yang dibuat oleh sekolah harus dihitung (dianalisis) berdasarkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang terdiri atas 3 (tiga) variable, yaitu :

1. Variabel Kompleksitas, merujuk pada tingkat kesulitan pencapaian kompetensi 2. Variabel Daya Dukung Sekolah, yang terdiri dari 4 buah sub-variabel yaitu :

e. Alat Peraga (optional) f. Laboratorium (optional) g. Kompetensi Guru (wajib) h. Perpustakaan (wajib)

3. Variabel Intake Siswa (untuk mata pelajaran Intra Kurikuler adalah wajib, sedangkan untuk Ekstra-Kurikuler dan Mulok tidak diperhitungkan).

(16)

Aljufri B. S. 1998. Analisis Kebutuhan Pengembangan Kurikulum FPTK-IKIP Padang dalam menghadapi era Persaingan Global. Disampaikan pada Seminar Lokakarya Kurikulum FPTK IKIP Padang tanggal 27 Juli 1998.

Tilaar, H.A.R. (Ed.). 2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta

Tilaar, H. A. R. 1998. Pendidikan Tinggi di Indonesia Dewasa ini Menghadapi Tantangan Abad XXI, dalam Membangun Daya Saing Bangsa Melalui

Akselerasi Mutu Pendidikan Tinggi. Malang: Merdeka University Press.

Zais, Robertt.S, (1976). Curriculum Principles and Foundations. Thomas Y. Crowell Harper & Row Publishers. New York

Ansyar, Muhamad.(1989) Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Depdiknas, Jakarta

Abdul Muin Sibuea. (2004). Penelitian dan Pengembangan Kurikulum Bidang Studi, Makalah, KONASPI V ISBN 979-445-001-4, UNS

Fasli Jalal (2006). CD Data Guru + HDI + UAN

Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep, Karakteristik, dan

Implementasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Sumiyarno (2004). Kebijakan Pengembangan Kurikulum Dalam Menjawab Tantangan Lokal, Nasional, Dan Global: Berdasarkan Analisis Atas Kualitas Lulusan Pendidikan, Makalah, KONASPI V ISBN 979-445-001-4, UNS

Kunandar. (2007). Guru Profesional, Implementasi Kurikulum Tingkat satuan

Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada

Prayitno. M.Anyar. Aljufri B.Syarif. (2006). Studi Pengembangan Aplikasi Hight-Touch

dan High-Tech dalam Proses Pembelajaran di Sekolah. Laporan Penelitian

Hibah Pasca Sarjana-HPTP III. Program Pasca Sarjana UNP.

Aljufri B. Syarif. (1982). Prediction of Mathematical Achievemant of Junior High

(17)

Gambar

Tabel 2  Jumlah sekolah, dan guru SMU/MA dan SMK Negeri dan Swasta di kota PadangKondisi

Referensi

Dokumen terkait

perempuan, misalnya, hukum adat Karo dengan tegas menyebutkan bahwa perempuan, baik dalam statusnya sebagai anak ataupun janda tidak disebut sebagai ahli waris dan

Air sungai Bengawan Solo mulai dari perbatasan Provinsi Jawa Tengah dengan Provinsi Jawa Timur, sampai Desa Padangan Kecamatan Padangan menurut klasifikasi mutu air

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengatur Pelanggaran Lalu Lintas yang mana merupakan suatu yang bertentangan dengan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) aktivitas amilase dan lipase mulai terdeteksi pada larva umur 1 hari, sedangkan protease mulai terdeteksi pada larva umur 2 hari, (2) pada

dengan struktur kalimat, ejaan maupun tanda baca. Sehingga isi dari tulisannya dapat menarik perhatian pembaca. Karangan narasi adalah jenis karangan yang isinya berupa

Since a large fraction of the scientific work on strong atom–light coupling is carried out where field modes are supported by a cavity with a discrete mode spectrum, we

Dalam asuransi jiwa, model beberapa penyebab kegagalan dapat diterapkan antara lain untuk menyusun tabel beberapa penyebab kegagalan ( multiple decrement table ) dan menentukan besar

Bahan yang diperlukan adalah bibit anggrek phalaenopsis amabilis dalam botol siap pindah tanam (planlet), fungisida dithane, pupuk daun lengkap dengan N tinggi dekastar,