• Tidak ada hasil yang ditemukan

THE ONLY TRUE GOD - Sebuah Kajian Monoteisme Alkitabiah (Edisi PDF)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "THE ONLY TRUE GOD - Sebuah Kajian Monoteisme Alkitabiah (Edisi PDF)"

Copied!
560
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

The Only

True God

Sebuah Kajian

Monoteisme Alkitabiah

Eric H.H. Chang

(4)

“The Only True God” Edisi PDF

uku yang ditulis oleh Eric H.H. Chang ini, aslinya diterbitkan sebagai buku cetak (Borobudur Publishing ISBN 978-979-25-2709-4), sekarang dirilis sebagai ebook PDF gratis. Sekalipun gratis, ebook ini masih dilindungi hak cipta, dan belum dilepas ke domain umum. Oleh karena itu, ebook ini tidak boleh didistribusikan kecuali dengan ketentuan berikut: (i) tidak dikenakan biaya; (ii) file PDF-nya tidak diubah dengan cara apapun dari bentuk aslinya seperti yang dirilis oleh website Cahaya Pengharapan Ministries.

Untuk mengunduh salinan resmi yang terbaru, silakan mengunjungi http://cahayapengharapan.org/ (Di website ini, Anda akan menemukan materi Alkitabiah yang lain.)

Edisi PDF ini, untuk sementara waktu, mengandung hanya Bab 1 sampai Bab 6 dari buku asli. Bab-bab selanjutnya (7-10), yang mengkaji Yohanes 1:1,14 dengan rinci, masih ditahap pengerjaan dan akan dirilis nanti. Para pembaca yang ingin mendapatkan edisi lengkap ini bisa mengecek website kami dari waktu ke waktu, atau meninggalkan alamat email di cpm@cahayapengharapan.org.

Para pembaca yang merasa tidak nyaman membaca dari komputer tablet atau laptop, bisa membeli edisi cetaknya dari website ini.

Buku ini dirilis ke publik dengan kerinduan yang sama yang selalu dimiliki Eric Chang, yaitu demi kemuliaan Allah dan pembangunan umat-Nya dalam Yesus Kristus.

Cahaya Pengharapan Ministries Juni 2016

(5)

book PDF ini mengandung teks yang sama seperti buku cetak yang asli, dengan beberapa perubahan: (i) font dan format yang baru; (ii) penerjemahan yang lebih jelas; (iii) beberapa kesalahan pengetikan telah diperbaiki; (iv) bookmark PDF telah ditambahkan.

Selain perbaikan umum yang disebut di atas, terdapat juga tiga perbaikan khusus yang dilakukan untuk menyelaraskannya dengan subjek buku, yaitu monoteisme Alkitabiah. Hal ini dilakukan demi menghindari salah paham.

Yang pertama menyangkut terjemahan kata Lord untuk Yesus. Kata bahasa Inggris Lord yang sering dipakai untuk menyapa Yesus, yang sekaligus menjadi gelar kehormatan Yesus seperti dalam “the

Lord Jesus Christ”, merupakan terjemahan dari kata Yunani kurios.

Siapa saja yang mengenal bahasa Inggris dan bahasa Yunani akan tahu bahwa kata Lord dan kurios memiliki makna yang luas dan paling tepat diterjemahkan sebagai “Tuan”, tetapi “Tuhan” bukanlah salah satu maknanya. “Tuan” merupakan sebuah kata yang bebas diterapkan kepada manusia biasa dalam bahasa apa pun.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti utama bagi “Tuhan” adalah sesuatu yg diyakini, dipuja dan disembah oleh

manusia sebagai yg Mahakuasa, Mahaperkasa, dsb. Arti

sekundernya didefinisikan sebagai sesuatu yg dianggap sbg Tuhan. Ini bukan maknanya Lord dalam bahasa Inggris maupun kurios dalam bahasa Yunani. Padanan Yunani untuk definisi yang diberikan oleh KBBI adalah theos bukan kurios. Dengan kata lain,

kurios adalah salah satu gelar yang dipakai bagi theos tetapi itu tidak

berarti semua yang disebut kurios itu adalah “Tuhan”.

E

(6)

Atas pertimbangan ini, dan juga demi keselarasan dengan isi dan maksud buku ini, kata “Tuhan” yang diterapkan pada Yesus dalam Alkitab Indonesia akan ditulis sebagai “Tu[h]an”.

Yang kedua menyangkut pronomina untuk Yesus. Demi membedakan Yesus dari Allah, semua pronomina untuk Yesus akan ditulis dalam huruf kecil sesuai dengan tulisan penulis dan juga kutipan-kutipan dari Alkitab. Hanya pronomina untuk Allah saja yang akan ditulis dalam huruf besar. Akan tetapi, apabila buku ini mengutip dari buku-buku karya orang lain, tidak ada perubahan akan dilakukan pada pronominanya.

Terakhir, nama “Yahweh” akan dikembalikan kepada kutipan Perjanjian Lama yang mengandung tetragramaton, YHWH. Semua kutipan Kitab Suci dalam buku ini diambil dari ALKITAB © LAI 2001 (TB) atau Perjanjian Baru TB Edisi 2 © LAI 1998 (TBR), kecuali dinyatakan lain.

Selain TB dan TBR, Alkitab yang banyak juga dikutip ialah Kitab Suci Indonesian Literal Translation (KS-ILT Edisi-2). Kutipan dari Alkitab ini akan ditandai dengan (ILT). Alkitab ini mengandung beberapa ciri khas, dan salah satunya ialah pemakaian kata Ibrani yang tidak diterjemahkan, tetapi ditransliterasikan, Elohim. Mengingat kata Elohim masih terdengar asing di telinga masyarakat, kami menghindar dari memakai istilah tersebut dengan mengutip Alkitab versi ini yang tersedia di program SABDA Version 4.30 sebagai Modified Indonesian Literal Translation. Kutipan dari program SABDA ini akan ditandai dengan (MILT).

Chuah SC 20 Juni 2016

(7)

Buku Sekuel

“The Only Perfect Man” adalah lanjutan dan pasangan dari karya Eric H.H. Chang yang sebelumnya, “The Only True God”. Sementara karya yang sebelumnya berpusat pada Yahweh sebagai “satu-satunya Allah yang benar”

(Yoh.17:3), karya baru ini berpusat pada Yesus Kristus, Anak Allah dan satu-satunya manusia sempurna yang pernah hidup di muka bumi ini. Lebih dari itu, Allah telah meninggikan dia di sebelah kanan-Nya sebagai wakil-mutlak-Nya. Oleh karena itu, sub judul buku ini, “Kemuliaan Allah pada Wajah Yesus Kristus” (2Kor.4:6).

Untuk mendapatkan lebih banyak informasi tentang buku ini, silakan mengunjungi http://cahayapengharapan.org/id/toko-buku/.

(8)

The Only True God: Sebuah Kajian Monoteisme Alkitabiah Eric H.H. Chang

Copyright © 2011, 2016

Eric H.H. Chang dan Christian Disciples Church

Edisi 1.0 adalah edisi cetak 2011 yang asli yang diterbitkan oleh Borobudur Publishing

Edisi 1.1 adalah edisi ebook PDF Juli 2016 Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan ISBN: 978-979-25-2709-4

Desain Sampul by Chris Chan

Pemberitahuan Hak Cipta untuk Edisi 1.0

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penulis/penerbit sesuai dengan Undang-undang Hak Cipta.

Pemberitahuan Hak Cipta untuk Edisi 1.1

Dilarang memodifikasi atau mengubah ebook PDF ini dalam cara apa pun dari bentuk aslinya yang dirilis oleh website Cahaya Pengharapan Ministries. Dilarang mendistribusi file PDF ini kecuali dengan ketentuan berikut: (i) tidak dikenakan biaya; (ii) file PDF-nya ada dalam bentuk asli.

Untuk mengunduh salinan resmi yang terbaru, silakan mengunjungi http://cahayapengharapan.org/.

(9)

D

EDIKASI

Hormat dan kemuliaan sampai

selama-lamanya bagi Raja segala zaman, Allah yang

kekal, yang tidak nampak dan yang esa!

(1Timotius 1.17)

(10)

Ucapan Terima Kasih

engan rasa penghargaan dan terima kasih yang mendalam, saya ingin mengakui kelimpahan dorongan (secara langsung atau tidak langsung) dari ratusan rekan sekerja dalam jemaat-jemaat kami di seluruh dunia. Meskipun mereka terheran-heran dan malah terkagum-kagum ketika saya mulai menguraikan Kitab Suci di dalam cahaya monoteisme Alkitabiah, mereka tetap berpandangan terbuka dan suportif, serta bertekad bulat mencari kebenaran menurut Kitab Suci. Keterbukaan pikiran yang demikian, atau apa yang dapat digambarkan sebagai “keterbukaan hati”, sungguh-sungguh bukan sesuatu yang boleh dianggap enteng, khususnya di antara mereka (termasuk diri saya) yang sejak semula telah diasuh dalam trinitarianisme. “Keterbukaan hati” di sini berarti: saya melihat di dalam diri mereka bukan hanya keterbukaan pikiran secara mental atau intelektual saja, tetapi juga suatu keterbukaan rohaniah yang lebih dalam terhadap firman Allah dan, di atas segalanya, Allah yang hidup. Bagi saya, kiranya tidak ada keterangan memadai atas sikap luar biasa ini, kecuali kenyataan bahwa anugerah satu-satunya Allah yang benar melimpah ke atas mereka dan memenuhi mereka dengan kasih supernal (dari atas) kepada Dia dan kebenaran-Nya.

Saya berhutang terima kasih juga kepada Bentley Chan. Ia merupakan salah satu contoh dari orang-orang yang saya rujuk di atas. Dengan tidak tanggung-tanggung ia mencurahkan segenap tenaganya selama proses penerbitan buku saya yang terdahulu,

Becoming a New Person. Sekarang, lebih dari semua itu, sekali lagi

saya diberi kehormatan memperoleh partisipasinya yang cakap dan kompeten dalam mempersiapkan buku ini untuk penerbit. Dengan

D

(11)

pengoreksian bacaan, pengaturan format, pemberian saran-saran bermanfaat, dan penyusunan Indeks Kitab Suci. Siapakah yang dapat sepenuhnya membalas dia kecuali Tuhan sendiri?

Atas permintaan saya, dua rekan sekerja saya, Agnes S.L. Lim dan Lee Sen Siou, dengan senang hati menerima tugas sulit memeriksa setiap pemunculan kata “Memra” (“Firman”) dalam Targum-targum Aram dari Pentateukh (“kelima kitab Musa”). Atas jerih-payah mereka, saya ingin menyatakan rasa penghargaan yang sepenuh hati. Bahasa Aram merupakan bahasa yang digunakan di Tanah Suci pada masa Yesus dan jemaat awal. Oleh karena itu, penting untuk kita mengetahui bagaimana orang-orang zaman itu mengerti kata “Firman” supaya kata “Firman” yang terdapat dalam Yohanes 1:1,14 bisa dimengerti dengan lebih baik. Kedua ayat ini amat kritis untuk kajian kita ini. Namun, karena seluruh hasil penelitian itu terlalu besar untuk dicakupkan sepenuhnya dalam buku ini, hanya kitab Kejadian dan Keluaran saja yang dimasukkan. Itupun harus dengan mengeluarkan teks asli Aramnya. Karya mereka ditemukan dalam Lampiran 12. Bentley menyumbangkan bagian pendahuluannya yang mudah diikuti dan informatif.

Adalah sebuah kealpaan jika saya tidak memaktubkan rasa terima kasih dan penghargaan atas dukungan ketabahan doa istri saya hari demi hari. Saya kira hanya di alam baka saja saya baru akan mengetahui seberapa besar hutang budi saya atas doa syafaat yang ia panjatkan dengan tiada putus. Tentu saja, dukungan ini diberikan dengan limpah dalam kehidupan rumah-tangga kami sehari-hari, antara lain, dalam hal menyiapkan makanan. Ketika waktunya makan, seringkali saya hanya dapat datang setelah makanannya dingin, oleh karena upaya merampungkan sebagian naskah. Namun, tidak sekali pun ia menunjukkan kejengkelan karena harus menghangatkan makanan itu kembali. Saya bersyukur karena

(12)

anugerah-Nya yang ditampakkan dalam kehidupan istri saya bagi kemuliaan-Nya.

Akhirnya, seluruh proses penulisan buku ini, dari awal hingga akhir, telah menjadi suatu pengalaman luar biasa akan Allah yang hidup. Hari demi hari, sesudah dianugerahi tidur yang lelap dan segera setelah terjaga (terkadang dimulai sebelum sepenuhnya terjaga), saya akan diberi sesuatu yang dapat digambarkan sebagai “sebuah aliran pemikiran” tentang apa yang harus saya tulis pada hari itu. Selanjutnya, saya akan menghabiskan sebagian besar sisa hari itu untuk menuangkannya ke dalam tulisan. Hal seperti ini tidak terjadi setiap hari, tetapi saya rasa benar terjadi 50% atau lebih selama masa penulisan yang sekitar satu tahun lamanya ini. Di samping itu, pada beberapa kesempatan saya dituntun pada penemuan materi yang penting bagi karya ini (yang membawa sukacita besar bagi saya), materi yang tanpa saya sadari telah tersedia sebelumnya. Meskipun saya telah dianugerahi kehormatan khusus mengalami Allah berulang-kali dalam pelbagai situasi dalam kehidupan saya, proses penulisan buku ini, meskipun seringkali melelahkan secara mental dan fisik (saya juga masih harus melaksanakan tanggung jawab administratif selama periode itu), terutamanya telah menjadi suatu pengalaman yang sungguh-sungguh unik akan Allah yang hidup. Kepada Dia, TUHAN Allah, saya di sini ingin memaktubkan pujian dan pemujaan sepenuh hati.

(13)

Teks Alkitab Terjemahan Baru (TB) © LAI 1974 dan Teks Perjanjian Baru (TB) Edisi 2 © LAI 1997 merupakan versi yang paling banyak dipakai dalam buku ini. Bila ada versi lain yang dipakai, versinya akan tercantum. Versi yang dipakai dalam Lampiran 12 adalah Kitab Suci Indonesian Literal Translation (ILT).

ILT – Indonesian Literal Translation (Edisi 2)

MILT – Modified Indonesian Literal Translation 2008 KSKK – Kitab Suci Komunitas Kristiani 2002

BIS – Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari 1985 ITL – Alkitab Terjemahan Lama 1958

(14)

Daftar Isi

Ucapan Terima Kasih 10

Prakata 16

Pendahuluan 18

Bab 1 Monoteisme Yesus dan Rasul-rasulnya yang Eksplisit

72

Bab 2 Hanya Manusia Sempurna Dapat

Menjadi Juruselamat Dunia 196 Bab 3 Menilai Kembali Pemahaman

Kristen akan Manusia 281

Bab 4 Penuhanan Trinitaris akan Kristus 349 Bab 5 Yahweh dalam Alkitab Ibrani 451 Bab 6 Kekristenan telah Kehilangan Akar

Yahudinya – Konsekuensi Serius 517 Bab 7 Asal Usul “Firman” dalam

Yohanes 1:1 dari Perjanjian Lama -

Bab 8 “Firman” adalah “Memra” -

Bab 9 Memandang Lebih Dekat Yohanes 1:1 - Bab 10 Yahweh “turun” dan “tinggal di -

(15)

Lampiran 1 Pentingnya Mazmur 2 guna memahami gelar “Anak Allah”

-

Lampiran 2 Yohanes 8:58 -

Lampiran 3 Apakah Paulus menolak Hukum Taurat

dan kebenarannya? -

Lampiran 4 Beberapa pengamatan tentang Targum - Lampiran 5 Catatan eksegesis atas Yohanes 12:41 - Lampiran 6 “Firman Allah” dalam Wahyu 19:13 - Lampiran 7 Kesejajaran antara “Firman itu adalah

Allah” dengan 2Korintus 3:17 - Lampiran 8 Filipi 2:6,7 – Lebih banyak bukti dari

Alkitab Ibrani -

Lampiran 9 Mazmur 107:19,20 -

Lampiran 10 Beberapa pemikiran tentang kelahiran Yesus dari Perawan

-

Lampiran 11 Konflik Kristologis di antara umat

Trinitarian -

Lampiran 12 Memra dalam Targum -

(16)

Prakata

uku ini ditulis bagi pembaca umum. Oleh sebab itu, istilah-istilah teologis dan teknis sedapat mungkin dihindari. Tujuan karangan ini adalah untuk mengkaji monoteisme dalam Alkitab, dengan perhatian khusus kepada ayat-ayat atau teks-teks yang digunakan untuk menyangga doktrin trinitaris, guna melihat apa sebenarnya yang dikatakan oleh teks-teks ini bila tidak memasukkan gagasan-gagasan ataupun memaksakan doktrin-doktrin kedalamnya. Untuk mengerjakan hal ini dengan baik, biasanya kita perlu mengkaji Kitab Suci dalam bahasa-bahasa aslinya, dan bukan hanya melalui berbagai terjemahan saja, karena sebuah terjemahan tidak dapat sepenuhnya mengeluarkan makna dan nuansa teks asli.

Ketika membahas teks asli dalam bahasa Ibrani dan Yunani, setiap upaya akan dilakukan untuk menolong para pembaca yang tidak terbiasa dengan bahasa tersebut supaya dapat memahami alur pembahasannya. Kata-kata Ibrani dan Yunani akan ditransliterasikan (kecuali jika kata-kata itu ada dalam teks karya referensi yang dikutip dalam buku ini) sehingga sang pembaca mempunyai sedikit gambaran tentang pelafalannya. Namun, eksegesis yang bersifat teknis sejauh mungkin akan dihindari bila hal itu dipandang sulit diikuti oleh pembaca umum. Namun, hal ini kadang-kadang tidak dapat dihindari karena para sarjana, dan orang lain yang lebih memahami Kitab Suci, juga memerlukan materi yang relevan untuk melihat keabsahan eksegesis yang disajikan. Sebagian dari materi ini barangkali terlalu teknis bagi pembaca biasa, yang

B

(17)

selanjutnya. Catatan kaki akan dibuat seminimal mungkin.

Bagi mereka yang memiliki wawasan yang lebih luas dalam bidang Studi Alkitab, mungkin berguna jika saya menyatakan bahwa pada umumnya saya sependapat dengan karya Prof. James D.G. Dunn dari Durham, Inggris. Komitmennya kepada akurasi dalam eksegesis, bersama dengan penolakannya untuk membiarkan dogma menguasai eksegesis, merupakan komitmen saya juga. Oleh sebab itu, tidak heran jika kesimpulan saya sering kali tidak jauh berbeda dari kesimpulannya. Meskipun saya belum membaca semua buku karangannya, materi yang relevan untuk buku ini dapat ditemukan terutamanya dalam karangannya Christology in the Making dan The

Theology of Paul the Apostle. Akan tetapi, pernyataan di atas

semata-mata menyangkut metodologi, dan sama sekali tidak bermaksud menyiratkan persetujuan total dalam intisari. Prof. Dunn tidak melihat naskah ini sebelum diterbitkan.

Ketika frekuensi statistik dari kata tertentu diberikan, statistik tersebut selalu berdasarkan bahasa Ibrani atau Yunani dari teks aslinya, dan bukan terjemahan Inggrisnya.

Akhirnya, penulis ini menganggap kajian ini sebuah kajian atas Alkitab sebagai Firman dari Allah, bukan kajian tentang gagasan dan pendapat dari para pengarang keagamaan zaman purba semata-mata. Oleh sebab itu, keyakinannya adalah: Allah berbicara kepada umat manusia melalui orang-orang yang dipilih-Nya, yang dengan setia menyampaikan pesan dan kebenaran-Nya. Dan hal ini bersandar pada keyakinan (yang berakar dari pengalaman pribadi) bahwa Allah itu nyata, dan bahwa Ia terlibat secara pribadi dan aktif dalam ciptaan-Nya. Keterlibatan dan kegiatan-Nya yang personal terungkapkan dengan sepenuhnya dan secara unik di dalam Yesus Kristus, baik dalam perkataan maupun perbuatan.

(18)

Pendahuluan

ebelum kita mulai mengkaji lebih lanjut monoteisme dalam Alkitab, baiklah kiranya dinyatakan dari awal bahwa monoteisme merupakan hal yang sentral di dalam hati dan pikiran Yesus–monoteismelah yang diajarkan Yesus, monoteismelah yang

mendasari ajarannya. Sebenarnya, kata “monoteisme” muncul

dalam Alkitab dari perkataan Yesus sendiri, yang ia ucapkan dalam doanya kepada Allah, sang Bapa, “Inilah hidup yang kekal, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus” (Yoh.17:3). Kata “monoteisme” terdiri dari dua kata Yunani: “monos” (“hanya, sendiri”, dan sebagaimana dijelaskan dalam Leksikon Yunani-Inggris BDAG: “dengan fokus sebagai satu-satunya”), dan “theos” (“Allah”). Kedua kata inilah yang ditemukan dalam perkataan Yesus yang diucapkan kepada Bapa, “satu-satunya (monos) Allah (theos) yang benar”.

Penting pula diperhatikan dengan seksama bahwa perkataan Yesus di Yohanes 17:3 bertalian dengan hidup kekal, dan hal ini

S

(19)

mencakup dua komponen penting: (1) “bahwa mereka mengenal

Engkau, satu-satunya Allah yang benar” dan (2) “Yesus Kristus yang

telah Engkau utus”. Memiliki hidup kekal bukanlah sekadar perkara “percaya pada Yesus”, seperti yang sering dikatakan oleh banyak penginjil. Yesus sendiri mengatakan bahwa seseorang pertama-tama harus mengenal satu-satunya Allah yang benar, dan berikutnya mengenal dia (Yesus) juga sebagai yang diutus oleh satu-satunya Allah itu. Perhatikan pula, Yesus tidak berkata apa-apa tentang soal “percaya” (yang oleh banyak penginjil didefinisikan dengan bebas sesuka hati mereka). Kata yang dipakai adalah “mengenal”, yang mengandung makna jauh lebih kuat daripada “percaya”.

Secara statistik, kata “mengenal” (ginōskō) merupakan kata kunci dalam Injil Yohanes (muncul 58 kali), hampir tiga kali lebih banyak daripada Injil Matius (20 kali), hampir lima kali lebih banyak daripada Injil Markus (12 kali), dan lebih dari dua kali lipat lebih banyak daripada Injil Lukas (28 kali). Leksikon Perjanjian Baru Yunani-Inggris standar (BDAG) memberi definisi primer atas

ginōskō sebagai berikut: “sampai kepada pengetahuan akan

seseorang atau sesuatu, tahu, tahu tentang, berkenalan dengan.” Berkenalan dengan seseorang berarti menjalin suatu hubungan personal dengan orang itu. Berapa banyakkah orang Kristen yang bisa berkata bahwa mereka memiliki hubungan semacam ini dengan satu-satunya Allah yang benar, dan dengan Yesus Kristus? Menurut perkataan Yesus, hidup kekal bergantung sepenuhnya kepada hal ini. Oleh karena itu, “percaya” (kata kunci lain dalam Injil Yohanes) harus didefinisikan dalam istilah “mengenal” Allah dan Yesus Kristus. Demikian pula, orang-orang yang mengira bahwa monoteisme Alkitabiah tidak esensial untuk keselamatan sebaiknya membaca kembali Yohanes 17:3 dengan lebih teliti.

Perkataan Yesus begitu terang hingga tidak perlu dijelaskan dengan menggunakan teknik-teknik linguistik yang rumit. Yesus menyatakan dengan gamblang bahwa hanya ada satu Allah, yang dia

(20)

panggil “Bapa”, dan dia menyuruh murid-muridnya memanggil Dia dengan cara yang sama (“Bapa kami di surga”). Yesus mengakui dirinya sebagai orang yang diutus oleh “satu-satunya Allah yang benar”. Oleh karena itu, seharusnya jelas nyata kepada siapa saja yang betul-betul mendengarkan ucapan Yesus bahwa jika sang Bapa adalah satu-satunya Allah yang benar, maka tidak ada yang lain yang dapat eksis sebagai Allah di samping-Nya. Dari perkataan Yesus seharusnya jelas nyata bahwa ia secara pasti mengecualikan dirinya dari klaim keilahian (deity) melalui kata “monos” atau “satu-satunya” yang merujuk kepada sang Bapa. Namun kita dicegah dari mendengarkan dia karena kita telah terbenam dalam trinitarianisme seumur hidup kita. Umat Kristen sudah mencapai kondisi rohani di mana kita memanggil Yesus “Tu[h]an, Tu[h]an” tetapi tidak mendengar ataupun melakukan apa yang dikatakannya (Luk.6:46, bdk. Mat.7:21,22). Kita sudah menjadi terbiasa memaksakan doktrin kita sendiri ke dalam ajarannya, dan ketika doktrin-doktrin tersebut tidak sesuai dengan perkataan Yesus, kita mengabaikan saja apa yang dikatakan olehnya. Namun, suka atau tidak, monoteisme merupakan bagian paling akar dari kehidupan dan pengajaran Yesus. Itulah kenyataannya, dan kita akan mempertimbangkan hal ini dengan lebih matang dalam bagian berikut.

Yesus (di Mrk.12:29) juga secara eksplisit mengesahkan deklarasi yang sentral kepada iman bangsa Israel: “Dengarlah, hai orang Israel: Yahweh itu Allah kita, Yahweh itu esa!” (Ul.6:4). Perkataan ini mengungkapkan monoteisme iman Israel yang tidak mengenal kompromi tersebut. Ini segera diikuti oleh perintah, “Kasihilah Yahweh, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” (Ul.6:5). Kata “segenap”

rangkap tiga ini mencakup pengabdian total manusia terhadap

Allah, menjadikan Dia satu-satunya sasaran penyembahan dan cinta kasih. Menariknya, di bibir Yesus, kata “segenap” itu menjadi

(21)

rangkap empat: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu

dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu” (Mrk.12:30); “dengan segenap akal budimu” ditambahkan, dengan demikian mempertinggi intensitas pengabdian terhadap Yahweh Allah. Yesus menggambarkan perintah ini (Ul.6:4,5) sebagai perintah yang “terutama” atau “paling penting” (Mrk.12:29,31). Perintah ini menjadikan Yahweh satu-satunya sasaran pengabdian total. Memang, dalam prakteknya, kita tidak mungkin mengasihi lebih dari satu pribadi dengan keseluruhan diri kita.

Konsisten dengan hal ini, hendaknya dicatat bahwa dalam ajaran

Yesus, ia tidak pernah menjadikan dirinya sendiri fokus pengabdian yang maha-melingkupi, sebab itu akan bertentangan dengan

ajaran-nya bahwa haajaran-nya Yahweh saja yang patut diberi dedikasi tunggal. Kehidupan Yesus sendiri sepenuhnya mengikhtisarkan dan menela-dankan pengabdian yang total terhadap Yahweh. Kehidupannya selalu konsisten dengan pengajarannya. Yesus pasti kecewa dan sedih karena para pengikutnya yang kemudian telah gagal menghayati teladan dan ajarannya, dan justru malah menjadikan dia pusat peribadahan dan penyembahan, dan mengira dengan berbuat demikian mereka telah menghormati dan menyenangkan hatinya.

Monoteisme Yesus juga diungkapkan dengan jelas di Yohanes 5:44, “Bagaimana kamu dapat percaya, kamu yang menerima hormat seorang dari yang lain dan yang tidak mencari hormat yang datang dari Allah (theos) yang Esa (monos)?”

Para penulis Perjanjian Baru, sebagai murid-murid Yesus yang sejati, dengan setia menegaskan monoteismenya. Demikian Rasul Paulus berkata di 1Timotius 1:17, “Hormat dan kemuliaan sampai selama-lamanya bagi Raja segala zaman, Allah (theos) yang kekal, yang tidak nampak dan yang esa (monos)! Amin.” Roma 16:27, “bagi Dia, satu-satunya (monos) Allah (theos) yang penuh hikmat, melalui Yesus Kristus: Segala kemuliaan sampai selama-lamanya! Amin.”

(22)

Demikian pula dalam surat Yudas: “Allah (theos) yang esa (monos), Juruselamat kita melalui Yesus Kristus, Tu[h]an kita, bagi Dialah kemuliaan, kebesaran, kekuatan dan kuasa sebelum segala abad dan sekarang dan sampai selama-lamanya. Amin.” (Yud.1:25) Jemaat awal mengungkapkan iman monoteistiknya dalam doksologi-doksologi yang amat indah, atau dalam puji-pujian di muka umum yang dipersembahkan kepada Allah.

Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa Alkitab sama sekali bersifat monoteistik, dan hal yang terutamanya signifikan bagi umat Kristen adalah fakta bahwa Yesus sendiri hidup dan mengajar sebagai seorang monoteis. Meskipun musuh-musuhnya berusaha keji menghancurkannya dengan tuduhan palsu bahwa ia telah berhujat (yang mendatangkan hukuman mati di Israel) oleh karena mengklaim kesetaraan dengan Allah, fakta yang tercantum dalam kisah-kisah Injil adalah: tidak sekali pun ia pernah mengklaim

dirinya setara dengan Allah. Sesungguhnya, bukti Injil menunjukkan

bahwa musuh-musuhnya mengalami kesulitan besar membuat Yesus secara terbuka mengakui dirinya sebagai Mesias, yaitu raja Mesianik yang dinanti-nantikan itu, apalagi sebagai Allah! Sebagaimana dinyatakan di Filipi 2:6, ia “tidak menganggap bahwa menjadi setara dengan Allah adalah sesuatu yang harus dirampas” (MILT). Namun anehnya, inilah tepatnya yang dilakukan oleh para trinitarian atas nama Yesus! Kita bersikeras memaksakan kepadanya apa yang ia sendiri tolak! Namun, masalah dasariah yang ditimbulkan dengan mengangkat Yesus ke tingkat keilahian adalah terciptanya situasi di mana paling sedikit ada dua pribadi yang sama-sama Allah; ini membawa trinitarianisme ke dalam konflik dengan monoteisme Alkitab.

Perkara untuk monoteisme Alkitabiah itu seteguh batu karang dan tidak memerlukan pembelaan sama sekali. Trinitarianismelah yang berada dalam posisi bagaikan telur di ujung tanduk, sehingga tidak heran apabila buku demi buku bersubjek Trinitas telah

(23)

diterbitkan dalam usaha untuk menemukan semacam pembenaran dari Kitab Suci. Untuk memeras doktrin trinitaris dari Alkitab monoteistik, para trinitarian membutuhkan sebanyak mungkin peranti hermenetis (sebagaimana dapat dilihat dari buku-buku itu), karena itu merupakan suatu usaha membuat Alkitab mengatakan apa yang tidak dikatakannya. Saya tahu—saya sudah melakukan hal ini hampir sepanjang hidup saya oleh karena trinitarianisme yang telah ditanamkan ke dalam diri saya sejak masa bayi rohani, yang telah saya telan mentah-mentah. Berikut ini kita akan memeriksa argumen-argumen trinitaris yang utama di dalam cahaya Kitab Suci. Lebih penting lagi, kita akan melihat apakah ajaran trinitaris telah mengakibatkan hilangnya ajaran Alkitabiah yang benar tentang Allah dan keselamatan manusia, sebab kekeliruan selalu dipertahankan dengan mempertaruhkan kebenaran. Hanya setelah kita melepaskan apa yang batil barulah kita dapat mulai melihat apa yang benar.

Tentang buku ini

ebagian besar dari kajian ini tersita oleh pembahasan Injil Yohanes, karena Injil tersebut merupakan Injil yang paling diandalkan oleh trinitarianisme untuk mendukung argumen-argumennya. Hal ini benar terutamanya untuk bagian teks yang oleh para pakar dianggap sebagai himne yang tertanam dalam Prolog Injil Yohanes (Yoh.1:1-18), secara khusus ayatnya yang pertama (Yoh.1:1). Nas lain dalam Perjanjian Baru yang oleh beberapa sarjana juga dianggap sebagai kidung tentang Kristus, dan berkepentingan dengan trinitarianisme ditemukan dalam Filipi 2 (ay.6-11). Kolose 1 (terutamanya ay.13-20) dan Ibrani 1 merupakan nas lain yang banyak digunakan oleh para trinitarian. Nas-nas ini dan lainnya akan dibahas lebih singkat karena penafsiran trinitaris atas semua nas-nas ini bergantung secara langsung atau tidak

S

(24)

langsung pada penafsiran Yohanes 1:1. Sekali Yohanes 1:1 terlihat jelas tidak mendukung penafsiran trinitaris, maka akan segera jelas pulalah bahwa teks-teks lainnya pun tidak mendukung trinitarianisme. Namun, kita akan memeriksa beberapa teks bukti kunci, sebelum mengkaji Yohanes 1:1 dengan lebih mendalam dan rinci, untuk menyingkapkan kekeliruan interpretatif dan eksegetisnya.

Mengenai Yohanes 1:1, perkara trinitarisnya bersandar pada

asumsi bahwa “Firman itu” adalah Yesus Kristus (Firman = Yesus

Kristus), dan, karena itu, keberadaan Firman berarti pra-keberadaan Yesus. Anehnya, tak seberkas bukti pun yang disodorkan dari Injil Yohanes untuk membuktikan persamaan atau identifikasi ini. Setelah diteliti lebih dekat, ternyata kegagalan serius dalam menyediakan bukti bagi persamaan tersebut tidaklah mengherankan, sebab memang tidak ada bukti semacam itu, karena tidak terdapat persamaan antara Firman itu dengan Yesus Kristus dalam Injil Yohanes. Persamaan tersebut merupakan sebuah asumsi belaka. Adalah sebuah kejutan besar untuk menyadari bahwa dogma yang selama ini kita genggam dengan begitu erat sebagai trinitarian, sebenarnya bersandar pada sebuah asumsi tak berdasar.

Sesungguhnya, di luar Yohanes 1:1 dan 1:14, “Firman itu” tidak lagi disebut dalam Injil Yohanes, sedangkan “Yesus Kristus” tidak disebutkan sampai 1:17 pada akhir Prolog (ay.1-18). Satu-satunya kaitan antara “Firman itu” dengan Yesus Kristus ditarik dari Yohanes 1:14, “Firman itu telah menjadi manusia (“daging”), dan tinggal di antara kita”. “Daging” dalam Alkitab merupakan suatu cara menggambarkan hidup manusia. Firman itu masuk ke dalam hidup manusia (“menjadi daging”) dan berdiam di antara kita. Namun, hal yang tidak dikatakan oleh ayat ini adalah: “Yesus Kristus menjadi manusia (“daging”)”; dan inilah tepatnya hal yang begitu saja diasumsikan oleh penafsiran trinitaris. Tentu saja, kita tahu bahwa “Yesus” merupakan nama yang diberikan kepadanya pada

(25)

saat kelahirannya (Mat.1:21), tetapi, apakah dasarnya untuk berasumsi bahwa “Kristus yang pra-eksisten telah menjadi daging”? Gagasan “Kristus yang pra-eksisten” ini didasari oleh asumsi bahwa Yesus Kristus dan Firman yang pra-eksisten itu satu dan sama; namun faktanya adalah tidak di manapun dalam Injil Yohanes

Firman itu disamakan dengan Yesus. Dengan kata lain, Yesus dan

Firman itu tidak satu dan sama. Apakah atau siapakah Firman yang pra-eksisten itu? Inilah pertanyaan yang perlu kita kaji dengan cermat.

Jika Yohanes bermaksud mengidentifikasikan Firman itu sebagai Yesus, lalu kenapa ia tidak melakukan identifikasi tersebut? Satu jawaban untuk pertanyaan ini dapat ditemukan dari tujuan yang dipaparkan dalam Injil Yohanes. Injil ini (berbeda dengan trinitarianisme) tidak bertujuan untuk membuat orang mempercayai Yesus sebagai Firman yang pra-eksisten, tetapi sebagai “Kristus”. Hal ini dapat dipastikan dengan mudah karena Injil ini merupakan satu-satunya Injil yang tujuan penulisannya dicatat dengan jelas: “tetapi hal-hal ini telah dicatat, supaya kamu percaya bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya karena percaya, kamu memperoleh hidup dalam namanya” (Yoh.20:31). Gelar “Kristus” adalah padanan Yunani untuk “Mesias”, sebuah gelar yang amat signifikan bagi orang Yahudi, tetapi sayangnya, hampir tidak berarti apa-apa bagi orang non-Yahudi.

“Anak Allah”

“Anak Allah” adalah gelar mesianik lain yang diturunkan dari Mazmur 2 (khususnya ay.7,12), di mana raja Daud yang dijanjikan akan dianugerahi suatu hubungan dengan Allah seperti hubungan antara seorang anak dengan ayahnya. Tepatnya, hubungan yang intim antara Yesus dengan Allah dalam Injil Yohanes memberi bukti yang tak bisa dipungkiri akan dirinya sebagai Mesias; dan

(26)

memper-cayai Yesus sebagai Kristus/Mesias, “Juruselamat dunia” (Yoh.4:42) artinya “memiliki hidup dalam namanya”. Dengan demikian, dari pernyataan tujuan yang dipaparkan dalam Injil Yohanes, jelas sekali bahwa mempercayai Yesus sebagai Firman yang pra-eksisten itu bukanlah tujuan Injil ini. Jadi, kita harus mempertimbangkan dengan seksama apa yang dimaksud dengan “Firman itu”, dan mengapa Injil Yohanes dimulai dengan merujuk kepadanya.

Seseorang mungkin bertanya, “Jika Injil Yohanes ditulis bagi orang-orang non-Yahudi, lalu mengapa istilah seperti ‘Mesias (Kristus)’ dan ‘Anak Allah’ dipakai?” Pertanyaan ini menyatakan asumsi lain, yakni, Injil ini ditulis bagi orang-orang non-Yahudi. Bahkan dengan mengasumsikan tanggal penulisan Injil Yohanes yang jauh kemudian (setelah th. 90 M), hendaknya diingat bahwa jemaat yang bermula sebagai jemaat Yahudi (baca bagian pertama kitab Kisah Para Rasul), secara predominan masih berciri Yahudi menjelang akhir abad pertama, khususnya dalam cara pemikiran

mereka yang monoteistik. Pada suatu waktu, walaupun jauh lebih

awal dari akhir abad pertama, Rasul Paulus perlu memperingatkan orang beriman bukan Yahudi di Galatia agar tidak disunat (Gal.5:2-4, dsb.)! Paulus harus mengingatkan mereka bahwa sunat berkaitan dengan ikatan perjanjian Allah yang terdahulu dengan umat Yahudi, dan oleh karenanya, tidak relevan kepada orang-orang non-Yahudi dan ikatan perjanjian yang baru.

Para penginjil pertama yang memberitakan kabar baik kepada orang-orang kafir adalah orang Yahudi, sama seperti Rasul Paulus. Jadi, mereka pasti sudah pernah menjelaskan arti istilah seperti “Mesias/Kristus” kepada para pendengarnya. Seperti Yohanes, mereka pun pasti pernah menjelaskannya dengan istilah “Juruselamat dunia” (Yoh.4:42), pemberi air hidup (Yoh.4:14) dsb., yang dapat dipahami dengan mudah, baik oleh orang Yahudi maupun non-Yahudi. Namun, sejalan dengan waktu dan dengan meluasnya jemaat-jemaat ke seluruh penjuru dunia, dan jemaat

(27)

Kristen hampir secara eksklusif telah menjadi jemaat bukan Yahudi,

arti konsep-konsep kunci seperti “Mesias” mulai menjadi kabur, atau malah terlupakan. Banyak orang beriman non-Yahudi, malah sebagian besar dari mereka, menganggap “Kristus” hanya sebagai nama-diri lain dari Yesus. Tiga abad kemudian, gelar Mesianik

“anak Allah” itu dibalik sehingga menjadi gelar ilahi “Allah-Anak”,

sebuah istilah yang sama sekali asing kepada Yohanes atau Paulus atau setiap penulis Perjanjian Baru lainnya!

Hanya dalam sekitar seratus tahun setelah kematian dan kebangkitan Kristus, pertumbuhan pesat jemaat di dunia telah menghasilkan satu hal yang tidak diinginkan: gereja tidak lagi

mempertahankan pertaliannya dengan akar-akar Yahudinya.

Akibatnya, arti istilah-istilah dan konsep-konsep yang dahulu amat dikenal baik oleh orang beriman Yahudi mula-mula, sekarang menjadi kabur atau malah tidak lagi dikenal oleh rata-rata orang Kristen. Selain istilah umum seperti “Kristus”, yang sulit dijelaskan artinya oleh rata-rata orang Kristen dewasa ini, asal-usul dan arti

“Firman itu” kelihatannya telah menghilang dengan cepat.

“Firman itu”

al ini mengakibatkan spekulasi yang nyaris tidak habis-habisnya tentang “Firman itu” (Yunani: “Logos”) dan tentang apakah Yohanes (atau siapa saja yang menulis himne yang digabungkan ke dalam Prolog Injil itu) mengambilnya dari filsafat Yunani atau ajaran Yahudi. Namun, para sarjana trinitarian mendapati semuanya itu tidak menolong, karena baik dari sumber

Yahudi maupun Yunani tidak ditemukan "Firman” atau "Logos” sebagai tokoh ilahi personal yang sesuai dengan "Allah-Anak”.

Akhirnya, sebagian sarjana pergi sejauh untuk mengusulkan bahwa Yohanes sendirilah yang telah menciptakan gagasan adanya suatu

Logos personal; usul ini dibuat bermartabat dengan diberi istilah

(28)

cukup keren “sintesis Yohanein” (“the Johannine synthesis”), tetapi tanpa mampu memberi bukti apa-apa atas keabsahannya. Hal ini dapat dilihat dalam buku-buku tafsir atas Injil Yohanes.

Buku ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa kita tidak perlu mengambil tindakan putus asa sampai mengarang-ngarang asal-usul Firman Yohanein seperti ini. Langkah pertama yang perlu kita lakukan adalah dengan mendapatkan sedikit pengetahuan akan jemaat induk berbahasa Aram tempat Yohanes dan para rasul mula-mula berasal. Kita perlu mempelajari fakta-fakta dasar, antara lain,

bahasa Aram merupakan bahasa ibu yang dipakai oleh Yesus, yaitu

bahasa yang umum dipakai di Palestina pada masa Kristus, dan dipakai untuk waktu yang cukup lama, baik sebelum dan sesudah masa Yesus. Itu sebabnya mengapa banyak kata Aram masih ditemukan di dalam Injil (Mrk.5:41 merupakan satu contoh terkenal). Dapat dipastikan bahwa Yesus, dan para rabi pada umumnya, dapat membaca Alkitab Ibrani; tetapi tidak diketahui apakah ia berbahasa Yunani.

Dengan beberapa pengecualian, rata-rata orang Yahudi di Palestina pada masa Yesus tidak berbahasa Ibrani. Alkitab Ibrani harus diterjemahkan ke dalam bahasa Aram (bahasa yang serumpun dengan bahasa Ibrani tetapi berbeda darinya) sewaktu didaraskan di depan orang-orang yang berkumpul di sinagoga setiap minggu. Kata bahasa Aram untuk “terjemahan” adalah “targum”. Hal yang penting bagi kita adalah fakta bahwa “Firman” merupakan istilah yang dikenal baik oleh rakyat Israel pada masa Kristus, karena

“Firman” adalah "Memra” dalam bahasa Aram, dan kata ini sering muncul dalam terjemahan-terjemahan (atau targum-targum) Aram,

yang rutin mereka dengar di sinagoga. Kita akan meneliti kata “Memra” dengan cukup rinci untuk melihat kepentingannya dalam mengerti pesan dari Injil Yohanes.

Yang paling penting, kita akan melihat bahwa sesungguhnya tidak ada cara lain untuk memahami arti “Firman itu” (Logos)

(29)

dengan tepat (yaitu, jika kita tidak berbelok ke filsafat Yunani ataupun versi Yahudi dari filsafat Yunani oleh Filo), selain daripada menemukan artinya dalam Alkitab Ibrani (Perjanjian Lama) dan terjemahan Aramnya, yaitu Targum. Jika kita meneliti Kitab Suci kita akan mendapati bahwa “Firman” di Yohanes 1:1, "Firman”

dalam Perjanjian Lama seperti di Mazmur 33:6, Hikmat dalam kitab Amsal (khususnya Ams.8:30), dan Firman (Memra) dalam Targum, semua pada intinya memiliki arti yang sama—sebagaimana bisa

diduga dari ciri Kitab Suci yang konsisten sebagai Firman Allah. Kitab Suci tidak membiarkan kita dibingungkan oleh arti-arti yang bertentangan dan tidak sepadan.

Kitab-kitab Suci

Mengenai “Kitab Suci” atau “Kitab-kitab Suci”, penting untuk dipahami bahwa kata-kata ini adalah istilah yang digunakan dalam Perjanjian Baru untuk merujuk kepada Alkitab Ibrani, yang disebut “Perjanjian Lama” oleh umat Kristen. Bisa dimaklumi bila kaum Yahudi merasa keberatan Alkitab mereka disebut demikian karena kata “lama” cenderung menyiratkan sesuatu yang antik, dan karena itu kelewahan atau usang. Tentu saja, “lama” bisa juga bermakna “berasal dari zaman purba” dan karena itu harus diperlakukan dengan hormat, akan tetapi ini tidak mengesampingkan makna “lama” lainnya yang lebih kentara. Saya memakai istilah “lama” di sini dengan kesadaran penuh bahwa istilah tersebut memang tidak memadai dan tidak pantas. Saya hanya menggunakannya karena inilah istilah yang secara universal dimengerti oleh umat Kristen, dan juga karena fakta bahwa pada saat ini tidak ada istilah lain yang umum diterima di antara umat Kristen sebagai penggantinya. Jika istilah “Alkitab Ibrani” digunakan tanpa disertai penjelasan lanjutan maka istilah ini bisa dipahami sebagai Alkitab dalam bahasa Ibrani. Dewasa ini istilah “Kitab-kitab Suci” (baik dalam bentuk tunggal

(30)

maupun jamak) dipahami mencakup “Perjanjian Lama” dan “Baru”. Jadi, sebelum ditemukannya terminologi baru, seperti “Kitab-kitab Suci terdahulu” dan “Kitab-kitab Suci kemudian” (yang akan digunakan sekali-sekali dalam buku ini), untuk sementara ini saya terpaksa harus terus mengggunakan terminologi tersebut yang diterima secara umum di antara umat Kristen; dan saya mohon kesabaran para pembaca Yahudi. Menggunakan istilah “Kitab-kitab Suci Yahudi” pun tidak banyak menolong karena “Perjanjian Lama” dan juga sebagian besar dari Perjanjian Baru (kecuali Lukas dan Kisah Para Rasul) ditulis oleh orang Yahudi; ini merupakan sesuatu yang mudah dilupakan oleh orang Kristen.

Jadi, ketidak-pantasan penggunaan istilah “Perjanjian Lama” bukan hanya karena istilah ini tidak bisa diterima oleh umat Yahudi, tetapi juga karena ini bukan cara para penulis Perjanjian Baru merujuk kepada Alkitab Ibrani. Dalam “Perjanjian Baru”, yang “Lama” selalu dirujuk sebagai “Kitab Suci” (mis. Mrk.12:10; Yoh.2:22; Rm.4:3; 1Ptr.2:6; atau “Kitab-kitab Suci”, mis. Mat.21:42; Rm.1:2); istilah ini muncul tidak kurang dari 50 kali. Perlu diingat bahwa “Kitab Suci” merupakan satu-satunya Alkitab yang dimiliki gereja awal. Kitab-kitab Injil dan surat-suratnya baru pertama kali digabungkan ke dalam satu jilid dan dipakai oleh gereja-gereja sekitar 150 tahun setelah masa pelayanan Kristus di muka bumi. Salah satu dari koleksi paling mula-mula ini tercantum dalam Kanon Muratorian (th. 170-180 M), yang masih belum mencakup seluruh karangan Perjanjian Baru seperti yang kita miliki saat ini.

Para sarjana (terutamanya sarjana PL) sudah lama menyadari adanya masalah dengan istilah “Perjanjian Lama”. Jadi, apa yang saya katakan di sini bukanlah sesuatu yang orisinal. Namun hal ini penting sehubungan dengan tema-tema yang akan dibahas karena itu adalah penunjuk lain atas penyimpangan Kekristenan dari akar-akar Alkitabiah dan Yahudinya. Seorang sarjana Kristen yang berpandangan keras akan hal ini adalah Garry Willis, Professor of

(31)

History Emeritus di Northwestern University, yang dalam bukunya

yang terbaru, What Paul Meant, menulis, “Bagi Paulus tidak ada yang namanya ‘Perjanjian Lama’. Seandainya ia tahu kalau karangan-karangannya akan digabungkan menjadi sesuatu yang disebut Perjanjian Baru, ia tidak akan mengakuinya jika sekiranya itu dimaksudkan untuk menolak, atau mengsubordinasikan satu-satunya Kitab Suci yang ia tahu, satu-satu-satunya firman Allah yang ia kenal, Alkitabnya.” (What Paul Meant, Penguin Books, 2006, hlm. 127 dyb.)

Tema-tema dalam kajian ini

uku ini membahas tiga tema utama dalam Alkitab yang paling berkepentingan bagi umat manusia:

(1) Ada satu, dan hanya satu, Allah yang benar, yang adalah Pencipta segala yang ada. Penyataan diri dari Allah ini tercatat bagi kita pertama-tama dalam Alkitab Ibrani (yang disebut “Perjanjian Lama” oleh umat Kristen), dan berikutnya dalam Perjanjian Baru. Jemaat Kristen lahir di Yerusalem, dan kelahirannya dilukiskan dalam kitab Kisah Para Rasul. Jemaat itu adalah jemaat Yahudi, dan oleh kare-nanya, bersifat monoteistik yang tidak mengenal kompromi. Namun, jemaat Kristen non-Yahudi, yang tidak mempunyai komitmen demikian kepada monoteisme, dan yang sejak sekitar pertengahan abad ke-2 telah lepas dari induk Yahudinya, mulai mengembangkan suatu doktrin yang menyatakan bahwa ada lebih dari satu pribadi yang adalah Allah. Gereja non-Yahudi telah mengambil langkah pertama yang besar untuk menjauhi monoteisme ketika di Nikea pada 325 M mereka mendeklarasikan bahwa doktrin ini mewakili iman gerejanya. Buku ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa, baik dalam Perjanjian Lama maupun

B

(32)

Baru, sama sekali tidak ada dasar untuk kompromi ini dengan politeisme, yang menyamar sebagai semacam “monoteisme”.

(2) “Satu-satunya Allah yang benar”, sebagaimana Yesus memanggil Dia (Yoh.17:3), merupakan Allah yang sangat mempedulikan ciptaan-Nya, khususnya manusia dan kesejahteraannya. Ia menciptakan umat manusia dengan suatu rencana kekal. Oleh karena itu, sejak awal penciptaan manusia kita melihat Dia terlibat secara intim dengan manusia. Keterlibatan-Nya yang luar biasa dalam penyelamatan satu umat yang terjerat dalam kesengsaraan perbudakan di Mesir; dan pemeliharaan-Nya akan segala kebutuhan mereka selama 40 tahun mengembara di padang gurun Sinai yang mengerikan, merupakan sebuah kisah yang diceritakan berulang-ulang, bukan saja di Israel tetapi di seluruh dunia. Dalam kisah tersebut kita juga mendapati Allah sendiri tinggal bersama dengan umat Israel, hadirat-Nya diam di antara mereka dalam kemah yang lebih dikenal dengan sebutan “tabernakel” (atau “Kemah Suci”) (bdk. Yoh.1:14, “berdiam”, “berkemah”). Ia hadir bersama mereka dan memimpin mereka melewati padang gurun dalam tiang awan pada siang hari dan tiang api pada waktu malam. Melalui semua ini Ia telah menunjukkan bahwa Ia bukan Allah yang transenden dalam arti Ia menjaga jaraknya dari manusia, tetapi sebaliknya melibatkan diri-Nya secara sangat “bersahaja” (down to earth).

Tentu saja, Allah sebagai Pencipta seluruh umat manusia tidak hanya peduli dengan bangsa Israel tetapi dengan seluruh umat manusia. Oleh sebab itu, terdapat isyarat-isyarat penting, terutamanya diberikan melalui nabi-nabi Perjanjian Lama, bahwa Allah akan datang pada suatu saat sedemikian rupa sehingga “seluruh umat manusia akan melihatnya bersama-sama” (Yes.40:1-5). Bahkan lebih mengagumkan lagi, Ia akan datang ke dunia dalam rupa seorang manusia. Ini tampak jelas terungkapkan dalam pernyataan profetis yang dimasyhurkan oleh kartu-kartu Natal

(33)

(Yesaya 9:5, “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putra telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebut orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.”).

Namun anehnya, gereja non-Yahudi trinitarian telah memutuskan bahwa Ia yang datang ke dunia ini bukanlah Dia yang disebut “satu-satunya Allah yang benar” oleh Yesus (Yoh.17:3), dan yang secara konsisten dipanggilnya “Bapa”, melainkan seorang pribadi lain yang disebut “Allah-Anak”—sebuah istilah yang tidak dapat ditemukan di manapun dalam Alkitab. Tujuan buku ini adalah untuk menunjukkan bahwa sejumlah kecil ayat dalam Perjanjian Baru yang dikemukakan para trinitarian untuk mendukung doktrin mereka itu tidak memberikan bukti eksistensi “Allah-Anak”, atau bahwa Yesus Kristus adalah Allah-Anak. Tidak diragukan sama sekali bahwa para penulis Perjanjian Baru adalah orang-orang monoteis, dan karena itu tidak ada cara yang benar untuk menghasilkan doktrin trinitaris dari karangan-karangan monoteistik—kecuali dengan memaksakan penafsiran secara tidak benar ke dalam teks.

(3) Rencana Allah untuk menyelamatkan manusia dari kesengsaraan (karena kegagalannya mengakui Dia sebagai Allah, Roma 1:21) bu-kanlah sebuah rencana yang dirancang secara mendadak tanpa dipikirkan dahulu, melainkan sesuatu yang telah terpadu ke dalam rencana kekal-Nya bagi seluruh ciptaan menurut pra-pengetahuan-Nya. Ini berarti rencana-Nya untuk menyelamatkan manusia sudah ada “sebelum permulaan zaman” (2Tim.1:9).

Dalam rencana ini tokoh kuncinya ialah seorang manusia yang telah dipilih-Nya yang diberikan-Nya nama “Yesus” (Mat.1:21; Luk.1:31). Nama ini penting karena artinya “Yahweh menyela-matkan” atau “Yahweh adalah keselamatan”. Orang Kristen berbicara seolah-olah Yesus sendiri adalah penyelamat, tetapi

(34)

sebenarnya ia adalah penyelamat karena “Allah ada di dalam Kristus ketika mendamaikan dunia dengan diri-Nya sendiri” (2Kor.5:19, MILT). Yesus sendiri terus mengulangi hal ini dengan berbagai cara dalam Injil Yohanes, yakni, segala sesuatu yang ia katakan dan perbuat sebenarnya dilakukan oleh “sang Bapa” di dalam dia (Yoh.14:10, dsb.). Hal itu dikarenakan Allah hidup di dalam Yesus dengan cara yang belum pernah dilakukan-Nya dalam sejarah manusia. Inilah yang membuat Yesus betul-betul unik dibanding siapa pun yang pernah hidup di muka bumi ini, dan itu juga sebabnya mengapa ia menikmati suatu hubungan spiritual yang intim dan unik dengan Allah seperti hubungan seorang anak dengan ayahnya. Itulah sebabnya ia disebut “anak Allah”, yang dalam Alkitab tidak pernah berarti “Allah-Anak”. Oleh karena hubungannya yang unik dengan sang Bapa, tiga kali dalam Injil Yohanes ia disebut “satu-satunya Anak Allah” atau “Anak Allah yang unik” (Yoh.1:14; 3:16,18).

Dalam hubungan yang tidak pernah terjadi sebelumnya ini, atas ikhtiar Yesus sendiri, ia hidup dalam ketaatan penuh kepada Allah sebagai Bapa, dan memilih menjadi “taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp.2:8). Melalui “ketaatan satu orang banyak orang menjadi orang benar” (Rm.5:19), yang berarti bahwa dia menyelesaikan keselamatan manusia melalui kematiannya di kayu salib. Dengan cara inilah Allah mendamaikan segalanya dengan diri-Nya melalui Kristus. Lagi pula, oleh karena ketaatannya kepada Allah, Allah “sangat meninggikan dia dan mengaruniakan kepadanya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: ‘Yesus Kristus adalah Tu[h]an,’ bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Flp.2:9-11). Allah mengaruniakan kepada Yesus hormat setinggi-tingginya. Itulah sebabnya kita menyebut dia “Tu[h]an”.

(35)

Pergeseran fokus yang serius dalam Gereja non-Yahudi

Akan tetapi, gereja non-Yahudi yang kemudian, telah gagal (sengaja atau tidak) untuk membedakan perbedaan yang signifikan antara kata “Tu[h]an” (“Lord”) yang disandangkan kepada Yesus dan “TU[H]an” (“LORD”) yang disandangkan kepada Allah (sama seperti kata “lord” dalam bahasa Inggris, kata Yunani kurios digunakan dalam kedua kasus), meskipun dalam bahasa Yunani (seperti bahasa Inggris) kata kurios mempunyai beberapa tingkatan makna: bisa digunakan sebagai gelar kesopanan yang artinya kira-kira “tuan”; itulah caranya seorang budak memanggil majikannya, atau seorang istri memanggil suaminya, atau seorang murid gurunya (seperti dalam bahasa Inggris “master” untuk “schoolmaster”), sedangkan dalam Perjanjian Lama Yunani (LXX) kata ini biasa digunakan untuk memanggil Allah. Dengan demikian, gereja non-Yahudi yang kemudian dengan mudah beralih dari berbicara tentang Yesus sebagai “Tu[h]an” menjadi Yesus sebagai “Allah”. Inilah salah satu alasan utama mengapa gereja non-Yahudi pada abad ke-4 tidak mengalami banyak kesulitan dalam memproklamirkan Yesus Kristus sebagai “Allah-Anak”, pribadi kedua dalam “Ke-Allahan” (“Godhead”). Dengan demikian, lahirlah “trinitarianisme” sebagaimana dikenal dewasa ini.

Dari sudut pandang Alkitabiah, konsekuensi yang amat serius dari semua ini adalah bahwa Allah (sang Bapa) telah dikesampingkan atau dipinggirkan oleh penyembahan kepada Yesus sebagai Allah, hal yang telah mendominasi gereja. Sekilas pandang buku-buku pujian Kristiani modern langsung menyingkapkan siapakah sasaran utama dari doa dan penyembahan Kristiani. “Sang Bapa” telah dibiarkan memegang peranan yang relatif sampingan. Yesus telah menggantikan Bapa dalam kehidupan Kristiani sebab, bagi mereka, Yesuslah Allah itu. Rasul Paulus, yang dalam surat-suratnya berulang-kali menulis tentang “Allah dan Bapa Tu[h]an

(36)

kita, Yesus Kristus” (Rm.15:6; 2Kor.1:3, dsb.), akan gemetar dengan pemikiran bahwa gereja Kristen masa depan akan mengganti “Allah Tu[h]an kita Yesus Kristus” sebagai sasaran penyembahan yang utama, dengan menyembah Yesus sendiri sebagai Allah, malah dengan mengutip (atau lebih tepatnya, salah mengutip) surat-suratnya (khususnya Flp.2:6 dyb.)!

Jika Yesus dapat menjadi sasaran penyembahan, lalu mengapa tidak ibunya, Maria, yang dideklarasikan menjadi “bunda Allah” oleh gereja non-Yahudi, dan yang benar-benar disembah oleh sebagian besar gereja Kristen? Sebab, jika Yesus adalah Allah, maka Maria bisa sepantasnya disebut “bunda Allah”. Meskipun Maria belum dideklarasikan menjadi Allah, kelihatannya ini tidak diperlukan mengingat fakta bahwa sebagai “bunda Allah” ia tampak berkedudukan di atas Allah. Di dalam gereja Maria biasanya digambarkan sedang memangku bayi Yesus; gambaran yang mengusulkan bahwa sang ibu lebih besar daripada bayinya, sekalipun bayi itu adalah Allah! Tidak heran bila begitu banyak orang Kristen berdoa kepada Maria sebagai orang yang memiliki pengaruh yang amat besar selaku ibu atas anaknya.

Tujuan buku ini adalah untuk memberi peringatan bahwa gereja Kristen telah menyimpang dari kebenaran yang ditemukan dalam firman Allah, yakni Alkitab. Semua orang yang mengasihi Allah dan kebenaran-Nya akan membaca kembali Kitab-kitab Suci dengan seksama untuk mencari kebenaran bagi diri mereka sendiri, dan dengan demikian kembali kepada “Allah Penyelamat kita”, “yang telah menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan anugerah-Nya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman” (2Tim.1:9). Oleh sebab inilah kita menghormati Yesus sebagai “Tu[h]an”— tetapi selalu sedemikian rupa "bagi kemuliaan Allah, Bapa kita” (Flp.2:11). Prof. Hans Küng mengatakan hal yang sama dengan

(37)

memakai istilah teologis, “kristosentrisitas Paulus tetap berasaskan pada dan mencapai puncaknya lagi dalam teosentrisitas keras” (Christianity, hlm.93 dyb., huruf tebal darinya).

Kesimpulan

ebagai kesimpulannya, maksud tujuan buku ini adalah untuk menangkap makna ajaran Alkitabiah yang terangkum di 1Timotius 3:16 (ILT), yakni, “Dia telah dinyatakan dalam daging” dalam pribadi “manusia Kristus Yesus” (1Tim.2:5). Bahwa rujukan di sini adalah pada Allah yang telah menyatakan diri-Nya di dalam daging terlihat jelas dari fakta berikut: Untuk mengatakan bahwa seorang manusia telah “dinyatakan” dalam daging tidaklah terlalu masuk di akal. Lagipula, Kristus tidak disebut dalam kedua ayat sebelum ini, tetapi Allah disebut dua kali dalam ayat sebelumnya. Jadi, siapa lagi “Dia” di 1Timotius 3:16 kalau bukan Allah? Jika memang Allah yang telah dinyatakan dalam daging, maka ini dengan tepat dapat digambarkan sebagai sebuah “rahasia agung”, seperti yang dikatakan ayat itu.

Tepatnya rahasia inilah bahwa Allah “tinggal di antara kita” (Yoh.1:14) “dalam Kristus” (istilah yang sering sekali muncul dalam karangan Paulus—73 kali, tidak termasuk “dalam dia”, dst., lebih dari 30 kali), sama seperti ketika Ia tinggal di antara umat Israel, yang perlu kita pertimbangkan dengan seksama. Allah melakukan ini “di dalam Kristus ketika mendamaikan dunia dengan diri-Nya

sendiri” (2Kor.5:19, MILT). Tentu saja, trinitarianisme pun percaya

bahwa Allah “telah dinyatakan dalam daging”, tetapi Allah yang telah dinyatakan itu adalah “Allah-Anak”, tanpa mempedulikan fakta bahwa tidak ada pribadi seperti ini di manapun dalam Alkitab. Akibatnya, mereka telah mengesampingkan satu-satunya Allah yang benar, yang oleh Yesus dipanggil “Bapa”, sebagai Dia yang datang ke dunia “dalam Kristus” demi keselamatan kita. Atau, dengan

S

(38)

menggunakan istilah-istilah teologis Prof. Küng, trinitarianisme telah menggantikan “teosentrisitas” Alkitabiah dengan “kristosentrisitas” mereka.

Namun apakah pengertian “Allah (Yahweh) telah dinyatakan di dalam daging” itu benar-benar tepat? Ini betul-betul sebuah pernya-taan mengguncang yang amat menakjubkan, dan sebuah pernyapernya-taan yang perlu kita periksa dengan rinci dalam halaman-halaman berikut.

Apakah kita sungguh-sungguh monoteis?

Kita semua adalah orang-orang monoteis: umat Kristen menganggap dirinya orang monoteis. Kekristenan mengklaim dirinya iman yang monoteistik. Namun kenapa? Bagaimana mungkin agama yang tidak menaruh imannya semata-mata dan secara eksklusif pada satu Allah yang personal, tetapi mempercayai tiga pribadi yang semuanya sama-sama Allah, masih mengklaim dirinya iman yang monoteistik? Dari definisinya, “monoteisme” bermakna “kepercayaan pada Allah yang tunggal: kepercayaan bahwa hanya ada satu Allah” (Encarta Dictionary). Definisi ini sama dalam setiap kamus. Namun, kepercayaan pada tiga pribadi ilahi yang setara bukanlah kepercayaan pada “Allah yang tunggal”, ataupun bahwa “hanya ada satu Allah”.

Sebagaimana telah kita catat, kata “monoteisme” berasal dari kata Yunani “monos” (satu) dan “theos” (Allah). Allah yang telah menyatakan Nya dalam Alkitab Ibrani telah menyatakan diri-Nya dengan Nama agung “YHWH”, yang disetujui oleh para pakar pada umumnya dengan pelafalan “Yahweh”. Makna Nama-Nya selalu menjadi pokok pembahasan, tetapi maknanya kira-kira “Aku adalah Aku”, atau “Aku akan menjadi siapa Aku akan menjadi” (Lih. Kel.3:14), atau menurut PL Yunani (LXX) nama itu mengandung makna “Yang Sudah Ada” (ho ōn), yang mengemukakan bahwa Ia

(39)

ada secara abadi dan bahwa Ia adalah sumber segala yang ada. Perjanjian Lama mengakui adanya satu Allah yang personal saja, yaitu Yahweh, sebagai satu-satunya Allah yang benar. Nama-Nya yang muncul 6828 kali itu adalah sentral kepada keseluruhan Alkitab Ibrani. Namun, kebanyakan umat Kristen tampaknya sama sekali tidak menyadari kenyataan sederhana ini.

Yahweh mutlak adalah satu-satunya (monos) Allah (theos) yang dinyatakan dalam Alkitab. Barangkali ada “banyak ilah dan banyak tuhan” yang dipercayai orang (1Kor.8:5,6), tetapi sejauh wahyu Alkitabiah, Yahweh adalah, menurut Yesus, “satu-satunya Allah yang benar”. Yesus sudah pasti mengajarkan monoteisme, tetapi pertanyaannya adalah: apakah kita sebagai murid-muridnya sungguh-sungguh orang monoteis?

Perlu dipahami dengan jelas bahwa monos bukan kata yang dapat direntangkan maknanya menjadi sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa pribadi, suatu kumpulan yang terdiri dari beberapa entitas, atau suatu golongan yang terdiri dari sejumlah tokoh. Berikut definisi monos menurut Kamus PB Yunani-Inggris BDAG yang berwenang: “1. sebagai satu-satunya entitas dalam suatu golongan,

satu-satunya, sendiri kata sifat a. dengan fokus sebagai satu-satunya.

2. penanda batasan, satu-satunya, sendiri, [monon] jenis netral,

dipergunakan sebagai kata keterangan.”

Kata “Allah” dan istilah “satu-satunya Allah” dalam Perjanjian Baru, tanpa dapat disangsikan selalu merujuk kepada Allah dari PL, Yahweh. Lalu mengapa nama “Yahweh” tidak muncul dalam PB seperti dalam Alkitab Ibrani? Jawaban kepada pertanyaan ini terletak pada dua kenyataan penting:

(1) Dampak yang meluluh-lantakkan dari Pembuangan ke atas Israel sebagai sebuah bangsa akhirnya membuat mereka insaf. Bangsa Israel mulai menyadari bahwa alasan dari pembuangan dahsyat itu dan kehancuran mereka sebagai sebuah bangsa bersandar pada fakta

(40)

bahwa selama ini mereka telah melakukan perzinahan rohaniah dengan bersikeras menyembah ilah-ilah lain di samping Yahweh (salah satunya yang paling dikenal ialah Ba’al). Mereka telah melawan peringatan yang diberikan berulang kali oleh nabi-nabi Yahweh, yang secara jelas menyatakan bahwa Yahweh akan mengirim mereka ke pembuangan karena pemberontakan mereka terhadap-Nya dan penyembahan mereka kepada berhala. Setelah mengalami fakta bahwa Yahweh telah menepati janji-Nya, dan melihat dengan mata mereka sendiri apa yang Ia katakan akan terjadi memang telah terjadi, dan setelah merasakan kerasnya hukuman Allah, mereka kembali ke keruntuhan tanah Israel pasca masa pembuangan sebagai umat terhukum yang mulai saat itu dan seterusnya tidak akan lagi menyembah Allah lain selain Yahweh saja. Mereka menjadi begitu takut akan Dia sehingga mereka menahan diri dari mengucapkan Nama-Nya yang agung. Sejak saat itu mereka menyebut-Nya dengan memakai gelar “Tu[h]an” (adonai).

Lagipula, umat Yahudi tidak akan pernah lagi menyembah Allah lain selain Adonai Yahweh, sekalipun jika Allah itu disebut “Anak” Yahweh (yang tidak disebut di manapun dalam PL), ataupun jika Allah itu disebut “Roh” Yahweh, yang disebut beberapa kali dalam PL tetapi tidak pernah dianggap sebagai pribadi terpisah di samping Yahweh. Itu sebabnya kita bisa memastikan bahwa para penulis PB berkebangsaan Yahudi tidak mungkin orang trinitarian; kita sudah melihat sejumlah contoh dalam PB tentang semangat monoteisme mereka yang begitu berapi-api.1

1 Untuk alasan ini juga, umat Yahudi sejak berabad-abad yang lalu hingga

kini tidak menganggap umat trinitarian sebagai orang-orang monoteis sejati meskipun mereka mencoba untuk sedapat mungkin bersikap damai. (Sebuah contoh bagus dari sikap damai mereka ditunjukkan dalam buku Christianity

in Jewish Terms (diedit oleh Tikva Frymer-Kensky dst., Westview Press,

2000), yang berupa dialog antara para pakar Yahudi dan Kristen. Sulit untuk membayangkan dialog damai yang serupa antara pakar Muslim dan Kristen

(41)

(2) Selama 70 tahun masa pembuangan (disebut Penawanan Babilonia) ke negeri asing yang penduduknya berbahasa Aram, generasi orang Yahudi yang berikut berbahasa Aram setempat, bukan bahasa Ibrani (sama seperti umat Yahudi yang hidup di AS atau Eropa saat ini berbahasa setempat dan pada umumnya tidak bisa berbahasa Ibrani). Para ahli Taurat, para pakar Alkitab, masih membaca Alkitab Ibrani (sama seperti kebanyakan rabi di seluruh dunia saat ini), dan mengajar Alkitab di sinagoga, tetapi kebanyakan orang awam tidak lagi memahami bahasa Ibrani, jadi bagian-bagian Alkitab yang didaraskan di sinagoga harus diterjemahkan ke dalam bahasa Aram. Berikut penjelasan Encarta, “Ketika Penawanan Babilonia berakhir pada abad ke-6 sM, bahasa Aram telah menggantikan bahasa Ibrani sebagai bahasa percakapan umum, maka timbul kebutuhan untuk menjelaskan makna bacaan-bacaan dari Kitab Suci.” (Microsoft Encarta Reference Library 2005. ©

1993-2004 Microsoft)

Untuk kajian kita ini, penting untuk mencamkan fakta bahwa dalam targum-targum (terjemahan-terjemahan) Aram dari Alkitab Ibrani, Nama Allah yang kudus “Yahweh”, oleh karena rasa takzim, telah diganti dengan istilah “Memra”, yang dalam bahasa Aram bermakna “Firman”. Dengan demikian, setiap orang Yahudi Palestina tahu bahwa “Memra” adalah rujukan metonimik (kata yang digunakan ganti orang atau hal yang dimaksudkan sesungguhnya) untuk “Yahweh”. Memra seringkali muncul dalam Targum Aram, sebagaimana dapat dilihat dari Lampiran 12 pada akhir buku ini.

dalam iklim keagamaan saat ini.)

(42)

Monoteisme dalam Alkitab

Monoteisme Alkitab mutlak tidak mengenal kompromi. Saya tidak tahu seorang pun sarjana Alkitab yang menyangkali fakta ini. Oleh sebab itu, kita tidak perlu membenarkan diri sewaktu mengajarkan monoteisme Alkitabiah. Orang yang mempergunakan Alkitab untuk mengajarkan sesuatu selain daripada monoteismelah yang perlu mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka.

Umat Kristen trinitaris cenderung mendudukkan diri di antara umat Yahudi dan Muslim sebagai orang monoteis. Masalahnya adalah, baik Yudaisme maupun Islam tidak mengakui Kekristenan trinitaris sebagai agama yang betul-betul monoteistik, tanpa menghiraukan klaim-klaim Kristiani. Apapun artinya “monoteisme” Kristiani itu, baik umat Yahudi maupun Muslim tidak menerima agama tersebut sebagai monoteistik menurut Kitab Suci mereka. Apakah mereka bersikap keterlaluan?

Bagaimana buku ini ditulis

uku ini bukan hasil dari sebuah rencana untuk meniadakan atau menggelincirkan trinitarianisme. Ia mengambil bentuk sebagai hasil dari keprihatian penginjilan yang sungguh-sungguh untuk membawa Injil keselamatan kepada semua bangsa dan kerinduan untuk Tuhan datang kembali. Kedua hal itu dikaitkan dalam perkataan Yesus di Matius 24:24, “Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya.” “Kedatangan yang kedua” dan “akhir zaman” dikaitkan bersama di Matius 24:3, dan kedua peristiwa ini dikaitkan dengan pemberitaan Injil secara universal.

Fakta yang tak terbantahkan adalah bahwa sebagian besar dari dunia belum terjangkau oleh Injil. Umat Muslim saja terdiri lebih dari 1,000,000,000 (satu miliar) orang. Lagipula, Islam adalah agama yang paling pesat bertumbuh di dunia, jadi angka ini akan terus

B

(43)

bertambah di tahun-tahun mendatang. Sebuah laporan BBC pada Desember 2007 mengatakan bahwa pemeluk agama Islam bertambah tiga kali lipat di Eropa selama 30 tahun terakhir. Beberapa waktu yang lalu saya membaca sebuah artikel di koran Church of England yang mengungkapkan pandangan bahwa pada tingkat pertumbuhan Islam pada saat ini, tidak lama lagi Inggris akan menjadi negara Muslim. Apa artinya semua ini? Bukankah ini berarti Matius 24:14 tidak hanya tidak digenapi, tetapi harapan penggenapannya menjadi semakin jauh, dan bersamanya harapan Kedatangan Kedua juga menjadi semakin pudar?

Bukankah ini jelas-jelas berarti bahwa bukan saja gereja telah gagal menggenapi Amanat Agung, tetapi kemungkinan akan penggenapannya juga semakin lama semakin berkurang (oleh karena perkembangan peristiwa-peristiwa di dunia)? Ditambah lagi dengan fakta sejarah bahwa, berkenaan dengan Islam, Kekristenan telah gagal secara menyedihkan untuk membuat dampak injili ke atas Islam selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun semenjak lahirnya agama tersebut. Dimulai pada abad ke-7 dan ke-8, terkejar oleh meluasnya kekuatan-kekuatan Islam, Kekristenan mundur dan kehilangan pusat-pusat pentingnya di seluruh Afrika Utara, Timur Tengah (termasuk Yerusalem dan Tanah Suci), dan yang kini disebut negara Turki (yang sekali waktu adalah pusat Kekristenan yang penting), dan juga daerah-daerah luas ke arah timurnya.

Diperhadapkan dengan realitas yang keras ini, bagaimanakah Amanat Agung (Mat.28:18-20) dapat digenapi? Ditambah lagi dengan pertengkaran internal di antara umat Kristen, baik sepanjang sejarah gereja maupun saat ini. Sebagian umat Kristen merasa seolah-olah adalah urusan mereka untuk mencap orang lain yang tidak sepaham dengan pandangan doktrinal mereka sebagai “orang sesat” atau “bidah”, malah untuk hal-hal seperti “sekali selamat, selalu selamat”, atau “jaminan keselamatan kekal”, seringkali dengan pengertian yang sangat kabur tentang pokok ajaran Kitab Suci atau

(44)

yang berhubungan dengannya. Kita diingatkan akan peristiwa pengepungan Yerusalem, yang bahkan ketika tentara Romawi tengah memperketat cengkeraman besinya atas kota itu pada th. 70 sM, sekelompok orang Yahudi di dalam kota itu masih saling bertengkar, saling berkelahi, malah saling membunuh satu sama lain oleh karena perselisihan pendapat yang begitu runcing atas pelbagai topik, sampai akhirnya prajurit Romawi menerjang masuk dan membakar kota tersebut, dan Bait Suci tempat Yesus dahulu mengajar pun hangus dilalap api!

Jadi, situasi yang ada di dunia dan di dalam gereja saat ini menyisakan rasa optimisme yang sangat kecil akan penggenapan perkataan Yesus di Matius 24:14, jika semuanya dibiarkan tetap berjalan seperti ini. Tepatnya dalam usaha mencari jawaban atas kegagalan gereja untuk menjangkau umat Muslim dengan kabar baik inilah timbul suatu kebutuhan untuk menanyakan apa yang bisa diperbuat, dan juga apakah ada sesuatu yang salah dengan cara kita memahami dan menyajikan kabar baik selama ini.

Riwayat Pribadi

aya menulis sebagai seorang yang dahulunya seorang trinitarian sejak menjadi seorang Kristen di usia 19 tahun—suatu periode yang menjangkau lebih dari lima puluh tahun lamanya. Selama hampir empat dasawarsa melayani sebagai gembala, pemimpin gereja, dan guru banyak orang yang telah melayani purna waktu, saya mengajarkan doktrin trinitaris dengan semangat berapi-api, sebagaimana dapat disaksikan oleh orang-orang yang mengenal saya. Trinitarianismelah yang saya minum bersama dengan susu rohani ketika saya masih seorang bayi rohani. Selanjutnya, dalam studi-studi Alkitabiah dan teologis, minat saya terfokus pada Kristologi yang saya kejar dengan intensitas yang cukup tinggi. Hidup saya terpusat pada Yesus Kristus. Saya mempelajari dan

S

(45)

berupaya mempraktekkan pengajarannya dengan pengabdian sedalam-dalamnya.

Artinya, dalam praktek saya merupakan seorang monoteis yang mengabdi kepada suatu monoteisme yang mana Yesus adalah Tuhan dan Allah saya. Pengabdian yang intens kepada Yesus seperti ini mau tidak mau menyisakan sedikit ruang baik untuk sang Bapa maupun Roh Kudus. Jadi, meskipun dalam teorinya saya percaya akan adanya tiga pribadi, dalam prakteknya sebenarnya hanya ada satu pribadi saja yang sungguh-sungguh penting: Yesus. Saya memang menyembah satu Allah, dan satu Allah itu adalah Yesus. Satu-satunya Allah yang dinyatakan dalam Perjanjian Lama, yaitu Yahweh, dalam prakteknya telah digantikan oleh Allah-Yesus Kristus, Allah-Anak. Sebagian besar umat Kristen berbuat hal yang serupa, jadi mereka dengan mudah dapat memahami apa yang saya katakan.

Sekitar tiga tahun yang lalu saya merenungkan pertanyaan ini: Bagaimanakah kabar baik dapat diperkenalkan kepada umat Muslim? Saya mendapati bahwa iman Kristiani saya disertai oleh semacam prasangka terhadap umat Muslim, yang harus diatasi jika saya ingin memahami dan menjangkau mereka. Namun, segera sesudah itu saya pun menyadari bahwa begitu saya mengatakan sesuatu tentang Trinitas, atau mengatakan bahwa Yesus itu adalah Allah, semua komunikasi dengan orang Muslim akan terputus seketika. Tentu saja, hal yang sama juga berlaku kepada umat Yahudi. Jadi bagaimanakah mereka bisa dijangkau?

Kita sudah melihat kata-kata Yesus, “Injil kerajaan ini harus diberitakan dahulu ke seluruh dunia sebagai kesaksian bagi semua bangsa, dan kemudian akan datang kesudahannya...” (Mat.24:14). Kita hanya perlu memandang situasi di dunia untuk melihat betapa sulitnya memberitakan kabar baik ke negara-negara Muslim yang banyak jumlahnya. Hal yang sama juga benar untuk bangsa Israel. Ini berarti bahwa berdasarkan kata-kata Yesus di Matius 24, akhir

(46)

zaman tidak bisa datang dan Yesus tidak bisa kembali, karena Injil tidak bisa dikabarkan kepada bangsa-bangsa tersebut.

Kebanyakan orang Kristen tampak nyaris tidak menyadari sama sekali, atau pun mempedulikan hal-hal demikian. Oleh sebab itu, nyaris tidak ada keprihatinan untuk menjangkau umat Muslim. Kebanyakan orang Kristen tidak tahu apa-apa tentang agama Islam, selain itu juga tidak tertarik dengan mereka dan keselamatan mereka. Pada umumnya hanya ada sedikit semangat atau nyala api spiritual dalam gereja-gereja. Apakah ada masalah rohaniah yang lebih mendalam di dalam gereja itu sendiri yang terletak pada akarnya?

Jika kita mempertimbangkan hubungan antara Islam dengan Kekristenan dalam sejarah, kita ingat bahwa hanya tiga ratus tahun setelah Syahadat Nikea ditetapkan dalam gereja (yang memprokla-mirkan Allah terdiri dari tiga pribadi alih-alih satu), Islam tampil ke atas pentas sejarah dunia. Sekali lagi Islam memproklamirkan monoteisme radikal yang telah diproklamirkan dalam Alkitab Ibrani. Sejak saat itu dan seterusnya, Kekristenan yang telah tersebar luas dengan cepat ke segala penjuru dunia selama tiga abad pertama, sekarang terdorong mundur ketika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan Islam monoteistik. Adakah pesan rohaniah untuk kita di sini? Jika ada, dapatkah kita melihatnya?

Saya mulai sadar bahwa saya perlu menilai kembali apakah kita orang Kristen sungguh-sungguh adalah orang monoteis. Apakah kita benar-benar telah setia kepada wahyu Alkitabiah? Banyaknya buku-buku yang dikarang oleh para teolog Kristen yang berusaha untuk menerangkan dan membenarkan “monoteisme Kristiani” menandakan adanya persoalan: Mengapa begitu banyak upaya dibutuhkan untuk menerangkan atau membenarkan “monoteisme” macam ini? Pada saat saya sedang memikirkan kembali pertanyaan “monoteisme Kristiani” ini saya membaca ulang sebuah monograf akademis yang saya miliki. Monograf ini adalah koleksi esai para

Referensi

Dokumen terkait