• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsekuensi-konsekuensi praktis dari Trinitarianisme

Apakah konsekuensi-konsekuensi dari Kristologi trinitaris? Dengan menuhankan Kristus menjadi setara dengan Allah, “Kristus” dan “Allah” sekarang memiliki arti yang sama. Akibatnya, berdoa dan menyembah Yesus adalah berdoa dan menyembah Allah. Allah Bapa dikurangi menjadi salah satu dari tiga, dan itu pun bukan yang utama. Begitu sang Bapa dipinggirkan, terbukalah pintu untuk menjadikan pribadi-pribadi lain sebagai sasaran utama dari doa dan pengabdian kita. Akibatnya, Yesus menjadi sentral dalam Protestanisme “aliran utama”; dalam Pantekostalisme pula Roh menjadi yang utama; sedangkan untuk sebagian besar Katolikisme Roma, Perawan Maria menggantikan ‘pribadi-pribadi’ ilahi tersebut, setelah diangkat statusnya ke tingkatan yang serupa.

Seandainya mereka diminta berhenti berdoa dan beribadah kepada sosok-sosok yang telah mereka tuhankan itu, mereka akan merasa begitu bingung sehingga tidak tahu harus berbuat apa. Tampaknya jelas bahwa, setelah disesatkan oleh trinitarianisme,

mereka nyaris tidak tahu bagaimana harus berdoa dan beribadah seandainya mereka harus berhenti menyembah allah pilihan mereka sendiri. Mereka telah begitu disesatkan sehingga mereka akan merasa kesulitan berdoa kepada sang Bapa, sebab itu akan terasa seperti berdoa kepada sosok yang asing.

Ajaran Perjanjian Baru sama sekali berbeda. PB jelas mengajarkan bahwa Allah Bapa (bukan dalam arti trinitaris) selalu menjadi sasaran utama dari doa dan ibadah kita. Begitulah persisnya cara Yesus berdoa, dan ia mengajar murid-muridnya untuk berbuat hal serupa. Ia selalu mengajar kita untuk berdoa kepada Bapa, yang seharusnya sudah jelas dari “Doa Bapa Kami”. Tujuan utama dari pelayanannya adalah untuk membawa kita kepada suatu hubungan langsung dengan Bapa yang dikenal dan dikasihi olehnya. Ia ingin kita berdoa kepada “Abba, Bapa” sama seperti yang ia lakukan. Ini terlihat dari ajarannya, dari kematiannya (untuk membuka jalan kepada perdamaian dengan Dia), dan dari pengutusan Roh guna menginspirasi serta menguatkan kita untuk berdoa kepada Abba.

Kristus sudah pasti akan merasa ngeri melihat ajarannya dicampakkan oleh sebuah doktrin yang meminggirkan sang Bapa atas namanya. Alih-alih mengikuti ajaran dan teladannya, murid-muridnya telah menaruh dia di tengah-tengah, dan dengan demikian telah memindahkan sang Bapa dari kedudukan yang jelas dimiliki-Nya dalam PB secara keseluruhan—dan lagi pula, semuanya ini dilakukan dengan mengabaikan ajaran Yesus sendiri. “Mengapa kamu berseru kepadaku: Tu[h]an, Tu[h]an, padahal kamu tidak melakukan apa yang aku katakan?” (Luk.6:46; bdk. Mat.7:21-23)

Jadi apakah menjadi soal jika kita terus berpegang pada doktrin Trinitas? Akankah hal itu mempengaruhi keselamatan kita? Tidak—

jika tidak menjadi soal apakah kita mendengarkan dan menaati

ajaran Yesus. Barangkali kita tidak pernah mengira bahwa kata-kata Yesus di Matius 7:21-23 mungkin berlaku kepada kita. Namun alangkah baiknya kalau kita mencamkan nasihat Paulus untuk

mengerjakan “keselamatanmu dengan takut dan gentar”, sesuatu yang diyakinkan kepada kita oleh gereja Injili bahwa hal itu tidak perlu. Kata mereka, “takut dan gentar” (2Kor.7:15; Flp.2:12) mencerminkan kurangnya iman yang, menurut mereka, sebagai iman yang berjalan dalam keberanian kudus! Paulus bisa mendapatkan sebuah pelajaran iman dari para pengkhotbah yang berani ini!

Mungkinkah kita juga “mendengar tetapi tidak mengerti”? Apakah hati kita telah dikeraskan karena kita telah berada di bawah kuasa penipuan? Dapatkah kita melihat ajaran Yesus dalam keempat Injil itu dan tidak menangkap maksudnya? “Kerajaan Allah”, sebagaimana kita seharusnya sudah tahu sekarang, adalah unsur utama dalam pengajaran Yesus. Kerajaan itu pertama dan terutama adalah kerajaan milik Allah, sang Allah yang disapa oleh Yesus sebagai “Bapa”. Namun, kita ditipu oleh trinitarianisme yang mengatakan kepada kita bahwa itu adalah kerajaan milik Yesus, karena ia adalah Allah.

Nah, memang benar bahwa dalam arti tertentu itu adalah kerajaan Yesus. Dalam arti apa? Dalam arti bahwa Allah telah mengangkat dia sebagai raja dalam kerajaan-Nya, dalam arti yang sama seperti ketika Daud, bapa Yesus (“anak Daud” merupakan gelar yang disandangkan kepada Yesus dalam Injil), diurapi menjadi raja Israel yang, sebagai kerajaan teokrasi, adalah kerajaan milik Allah. Campuran kebenaran dan kepalsuan macam inilah yang dimanfaatkan oleh trinitarianisme untuk mencengkram orang. Akan tetapi, setiap orang yang membaca Inijl tanpa prasangka niscaya akan tahu bahwa ketika Yesus mengumumkan Kerajaan itu, ia sedang mengumumkan kerajaan Allah, bukan kerajaannya sendiri.

Unsur pokok lainnya dalam pelayanan Yesus, mengingat dekatnya Kerajaan tersebut (ditekankan dalam Sinoptik), adalah membawa orang ke dalam suatu hubungan yang menyelamatkan dengan Allah yang harus berpangkal dari pertobatan. Begitu ada

pertobatan, Yesus memanggil mereka ke langkah berikutnya: sebuah hubungan yang penuh kepercayaan dan akrab dengan Bapa sebagai “Abba”. Di Injil Yohanes, Yesus mengajarkan murid-muridnya bahwa keakraban ini didasari oleh keberdiaman timbal-balik (“aku di dalam mereka dan Engkau di dalam aku”, Yoh.17:23, dst.). Dari semuanya ini seharusnya mutlak jelas, terutamanya dari pengajaran Yesus dalam Injil Yohanes, bahwa Bapa adalah yang utama dalam pelayanan Yesus.

Sentralitas sang Bapa dalam Injil Yohanes (dan juga dalam tulisan Paulus dan sisa PB) membuat kita berhenti sejenak dan merenungkan doktrin umum tentang Allah (“theology proper”) dalam teologi Kristiani dewasa ini, dan semenjak abad ke-4. Allah diajarkan pertama dan terutama sebagai suatu Sosok transenden, di mana transendensi berarti “eksistensi di atas dan terpisah dari dunia material” (Encarta). Allah Bapa, dalam doktrin trinitaris, sudah tentu adalah transenden; sedangkan Anak Allah sepertinya adalah imanen, setidaknya berkaitan dengan pelayanan bumiahnya. Dalam doktrin ini Bapa dan Anak benar-benar berfungsi dalam ranah yang berbeda.

Hal yang perlu dipahami adalah bahwa doktrin transendensi ini berasal dari filsafat Yunani (Plato dan Aristoteles) dan bukan dari Alkitab Ibrani. Gagasan Yunani tentang transendensi ilahiah ini dihancurkan oleh pengajaran Yesus di Injil Yohanes, ketika ia menjelaskan bahwa sang Bapa terlibat secara intim dalam setiap aspek kehidupan dan pekerjaannya (Yesus), dan dalam seluruh karya keselamatan umat manusia.

Hal ini juga muncul dalam ketiga Injil Sinoptik, di mana Kerajaan Allah bukan sesuatu yang ada di surga semata-mata atau hanya di masa depan, tetapi sesuatu yang sudah beroperasi di dunia sekarang ini dan, pada akhirnya, akan menang atas segala kuasa musuh di bumi. Hal ini juga diajarkan oleh Paulus; dan perspektifnya hampir sama dengan perspektif Yohanes. Kitab Wahyu menaruhnya

demi-kian, “Pemerintahan atas dunia dipegang oleh Tu[h]an kita dan dia yang diurapi-Nya, dan ia akan memerintah sebagai raja sampai selama-lamanya” (Why.11:15). Namun, gagasan Yunani tentang Allah, sang Bapa, sebagai sepenuhnya transenden dan tidak peduli dengan urusan-urusan dunia, adalah tidak sesuai dengan Kitab Suci, dan secara efektif mengasingkan Dia dari kita sebagai Sosok yang jauh dan sulit didekati.

Tidak heran, kita tidak benar-benar beridentifikasi dengan 1Yohanes 1:3, “Dan persekutuan kami adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-Nya, Yesus Kristus”. Mengingat jauhnya Bapa seperti yang tersirat dalam ajaran Kristen yang telah kita terima, bagaimana kita dapat bersekutu dengan sang Bapa? Oleh karena itu, hampir seluruh umat Kristen Injili sekarang ini bersekutu dengan sang Anak sambil sesekali berbasa basi (pay lip service) dengan Bapa sebagai sikap sopan terhadap Dia. Semuanya ini lahir dari kegagalan kita dalam memahami ajaran Kitab Suci tentang imanensi Bapa dan keterlibatan-Nya yang mendalam di dalam keselamatan kita. Akibatnya, kehidupan rohaniah kita tidak lagi seimbang dan malah menyimpang bila dinilai dalam terang firman Allah. Jika suatu hari nanti kita, berkat kasih-karunia, dianugrahi kehormatan diizinkan masuk Surga, barangkali kita akan langsung menuju kepada Yesus, dan menyembah dia dengan rasa syukur dan pujian, dan tidak akan (seperti seluruh kumpulan orang banyak surgawi yang berulang-kali dilukiskan dalam Kitab Wahyu) menyembah Bapa yang duduk di atas takhta. Betapa tidak sesuainya kita dengan seluruh kumpulan orang banyak itu di surga—termasuk Tu[h]an kita Yesus Kristus!

Dan apa tujuan dari salib, yaitu, kematian Yesus? Apakah tujuan utama Yesus untuk mendamaikan dunia dengan dirinya? Apakah pengorbanan “Anak Domba Allah” itu untuk mendamaikan umat manusia dengan Anak Domba alih-alih dengan Allah? Menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu sama saja seperti menjawabnya,

setidaknya bagi orang yang memiliki sedikit pemahaman akan Kitab Suci. Lantas, apa yang begitu membutakan kita sehingga apa yang seharusnya sangat jelas menjadi tidak jelas? Semoga Tuhan memberikan rahmat.