• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rintangan-rintangan yang menghadapi kita ketika mempertimbangkan Monoteisme Alkitabiah

(1) Perlunya membereskan setumpukan prakonsepsi yang disebab-kan oleh indoktrinasi: Misalnya, kita yang berbahasa Inggris berbicara tentang Roh dengan memakai kata ganti “he”, karena ketika kita membaca Perjanjian Baru kita mendapati Roh disebut seperti itu. Kebanyakan orang Kristen, karena tidak mengenal bahasa Yunani, tidak mengetahui bahwa kata untuk Roh, pneuma, adalah kata yang berjenis netral, dan oleh sebab itu harus diterjemahkan dengan kata ganti “it”. Bahkan setelah mempelajari bahasa Yunani pun kita masih tetap berbicara tentang Roh sebagai “he” karena menurut doktrin trinitaris, Roh itu adalah pribadi yang terpisah dan berbeda, yang setara dengan kedua pribadi lainnya dalam Trinitas, yaitu Bapa dan Anak. Inilah sebabnya mengapa semua terjemahan Inggris menerjemahkan kata pneuma yang berjenis netral sebagai “he”. Hal ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan tatabahasa yang tepat tetapi berkaitan sepenuhnya dengan dogma Kristiani.

Hal yang sama juga berlaku untuk gagasan “Trinitas”. Di India terdapat sejumlah besar dewa, tetapi ada tiga dewa yang menduduki tempat teratas. Ketiga dewa itu saling berbagi “hakikat” kedewaan yang sama; kalau tidak mereka tidak akan dianggap dewa sama sekali. Jika orang-orang di India yang menyembah ketiga dewa tertinggi ini disebut orang politeis oleh umat Kristen, lalu dalam hal apa konsep trinitaris Kristiani berbeda dari konsep trinitaris orang India? Apakah hanya karena ketiga pribadi dalam Trinitas Kristiani itu lebih dekat hubungannya satu sama lain, misalnya, antara “Bapa”

dan “Anak” (bagaimana dengan “Roh”)? Indoktrinasi memiliki pengaruh kuat yang membuat kita bersikeras bahwa trinitarianisme mewakili monoteisme—sesuatu yang ditolak oleh orang-orang monoteis sejati seperti umat Yahudi dan umat Muslim. Jika dalam diri kita masih tersisa sedikit akal logis kita akan segera melihat bahwa seandainya Allah-Bapa, Allah-Anak, dan Allah-Roh itu ada, maka menurut dogma ini jelas nyata ada tiga Allah. Akan tetapi, tampaknya kita tidak mampu menghadapi fakta gamblang ini secara jujur! Di sini kita melihat daya indoktrinasi dan kemampuannya untuk mengalahkan pemikiran logis.

Bagi mereka yang pernah melihat cara kerja indoktrinasi, ini bukanlah hal baru. Hal seperti ini sudah terjadi bahkan dalam sejarah baru-baru ini: idealisme gila seperti Nazisme dan impiannya untuk membangun sebuah utopia seribu tahun, yaitu sebuah cita-cita yang antara lain mewajibkan pembasmian bangsa Yahudi, yang dianggap sebagai sampah kemanusiaan yang menjangkiti ras manusia, atau paling tidak ras Arya. Hanya indoktrinasi melalui propaganda besar-besaran yang dapat membujuk orang berpikir segila itu.

Banyak pula orang yang pernah mengalami proses cuci-otak yang diperkenalkan oleh komunisme Stalin. Mereka hanya diperbolehkan berpikir dengan pola yang sudah ditetapkan sebelumnya; yang lain akan mendatangkan hukuman berat, termasuk pengurungan dan hukuman mati.

Ketika berbicara tentang membatasi pikiran bebas, gereja sendiri mempunyai sejarah panjang yang gelap. Begitu gereja menetapkan doktrinnya, seperti Syahadat Nikea dan Khalkedon pada abad ke-4, perbedaan pendapat tidak diperbolehkan dan akan diganjar dengan ekskomunikasi, yang sebenarnya berarti mengutuk orang itu ke dalam neraka. Tidak ada yang lain lebih serius dari itu, kematian jasmaniah pun tidak. Penindasan gerejawi macam ini berkembang menjadi penyiksaan badani yang kejam, kerapkali berpuncak pada

kematian, selama masa Inkuisisi yang dikenakan gereja kepada orang-orang yang telah dikutuk sebagai bidat.

Bahkan dewasa ini pun tidak sedikit orang Kristen yang mengira bila mereka memiliki semacam hak ilahi untuk mencap orang Kristen yang tidak sepaham dengan pandangan doktrinal mereka dengan sebutan “sesat”, “sekte” atau, seperti sebelumnya, “bidat”. Dengan demikian, orang-orang yang mengangkat dirinya sebagai pembela iman ini melanjutkan tradisi panjang gereja non-Yahudi dengan konflik-konflik doktrinal yang saling mematikan, yang di mata dunia nyaris bukan demi kemuliaan Allah, belum lagi bagaimana Allah memandang semua ini.

Namun terlepas dari tekanan-tekanan luar yang memaksa kita menuruti dogma tertentu adalah kenyataan bahwa kita sendiri telah diyakinkan bahwa doktrin itu benar. Sepanjang kehidupan Kristen kita, kita telah belajar untuk membaca Alkitab dengan cara tertentu yang diyakini sebagai satu-satunya cara yang tepat untuk mema-haminya. Jadi, sekarang Alkitab dipahami hanya dengan cara itu dan, sebaliknya, apa saja yang kita baca semakin meyakinkan kita bahwa cara yang diajarkan kepada kita itu adalah cara yang tepat. Dengan demikian, kita sendiri telah memperkuat iman kepercayaan kita ke dalam doktrin tertentu itu, terutamanya di saat kita sendiri menjadi guru dan mengajarkan doktrin itu kepada orang lain, malah dengan berusaha mencari keterangan yang lebih meyakinkan ketimbang keterangan yang sudah diajarkan kepada kita. Di sini saya berbicara dari pengalaman pribadi sebagai seorang guru.

Akibat dari semua ini adalah ketika saya membaca Perjanjian Baru, mau tidak mau saya membaca setiap nas dengan cara yang sudah diajarkan kepada saya, yang selanjutnya diperkuat dengan argumen-argumen baru yang telah saya kembangkan sendiri. Sebagaimana seorang guru yang rajin, saya berusaha membuat perkara trinitaris ini semeyakinkan mungkin. Saya sudah mempelajari dan mengajarkan Alkitab sebagai sebuah kitab

trinitaris; jadi bagaimanakah mungkin saya sekarang memahaminya di dalam cahaya monoteisme?

Ambillah, sebagai contoh, Filipi 2:6-11, teks terkenal yang selalu digunakan oleh trinitarian untuk membuktikan bahwa Kristus adalah Allah-Anak. Prof. M. Dods merangkum teks itu sebagai berikut: “Kristus digambarkan [dalam nas ini] meninggalkan kemuliaan yang semula dinikmatinya dan kembalinya setelah tugasnya di bumi selesai dan sebagai buah hasil kerja itu” (The

Gospel of John, The Expositor’s Greek NT, hlm.841). “Kemuliaan”

yang ditinggalkan oleh Kristus itu adalah “kemuliaan ilahi”, sebagaimana dinyatakan dalam kalimat Dods yang berikut.

Itulah caranya kita semua memahami teks ini sebagai trinitarian. Tidak pernah terpikirkan oleh kita bahwa interpretasi ini adalah hasil dari terlalu banyak membacakan ke dalam teks apa yang tak tertulis di situ. Kata “kemuliaan”, misalnya, tidak muncul di manapun dalam teks ini (atau bahkan dalam pasal ini) sehubungan dengan Kristus, apalagi istilah “kemuliaan ilahi”. Istilah “kemuliaan ilahi” di sini bukan berarti kemuliaan Allah Bapa (lih. Flp 2:11), melainkan “Allah-Anak”, suatu istilah yang tidak muncul di manapun dalam Kitab Suci. Sekali lagi, kata-kata kunci seperti “meninggalkan” dan “kembali” juga tidak ada dalam nas tersebut, tetapi dibacakan kedalamnya. Untuk mengatakan Yesus “tidak menganggap bahwa menjadi setara dengan Allah adalah sesuatu yang harus dirampas”, seperti dikatakan di Filipi 2:6 (MILT), sama sekali berbeda dari mengatakan “meninggalkan kemuliaan ilahi”-nya.

Lagipula, nas di Filipi 2:6-11 itu sama sekali tidak berkata apa-apa tentang Kristus yang “kembali” kepada “kemuliaan yang semula dinikmatinya” (Dods). Yang dikatakan adalah sesuatu yang sangat berbeda, yang seharusnya dapat dilihat sendiri: “Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan dia dan mengaruniakan kepadanya nama di atas segala nama” (Flp.2:9). Di sini sama sekali tidak ada gagasan

kalau ia hanya sekadar menerima kembali apa yang pernah dimilikinya semula; untuk berkata demikian artinya membuat tidak bermakna fakta bahwa ia “sangat ditinggikan” Allah.

Dengan demikian rangkuman Dods atas teks Filipi ini benar-benar tidak memuat apapun yang berasal dari teks itu sendiri! Tanpa malu-malu trinitarianisme telah dibacakan ke dalamnya. Namun sebagai orang trinitarian kita tidak memperhatikan ketidaksesuaian yang serius antara penafsiran kita dengan teks-teks Alkitabiah yang semestinya kita tafsirkan. Ini dikarenakan kita tidak tahu cara mem-baca teks selain dengan cara yang telah diajarkan kepada kita. Di sini kita tidak akan mengkaji Filipi 2 dengan rinci, tetapi beberapa poin yang terdapat dalam nas terkenal ini akan dipakai sebagai contoh dari fakta bahwa membaca Alkitab dengan kacamata trinitaris telah menjadi kebiasaan kita.

Terlepas dari tugas sulit mempelajari kembali cara membaca Alkitab di dalam cahaya yang baru, yaitu cahaya monoteisme, ada lagi faktor lain yang menurunkan motivasi, yaitu faktor tekanan-tekanan luar seperti dijuluki “bidat”, hal yang menakutkan bagi kebanyakan orang Kristen. Hanya karena menyatakan bahwa Alkitab bersifat monoteistik karena Alkitab adalah firman dari “satu-satunya Allah yang benar” orang lantas bisa dijuluki “bidat” oleh gereja menunjukkan betapa jauhnya gereja telah menyimpang dari firman Allah.

Hanya keberanian dari Allah untuk menghadapi kebenaran, sesungguhnya, untuk mencintai kebenaran di atas segala-galanya, yang akan memampukan kita mengenal Dia yang disebut “Allah yang benar”. Dengan demikian, saya akan mengakhiri bagian ini dengan kata-kata dari Yesaya 65:16, “Siapa yang memberkati dirinya sendiri di bumi, akan memberkati dirinya sendiri dalam Allah yang

benar, dan siapa yang dilaknat di bumi, akan di ambil sumpah oleh Allah yang benar, karena kesesakan yang dahulu telah dilupakan,

(2) Terlepas dari masalah-masalah serius dari indoktrinasi dan tekanan sebaya, ada masalah lain yang tak kalah seriusnya, yakni, kita tidak lagi memiliki gagasan-gagasan dan konsep-konsep yang dikenal baik oleh orang-orang yang pertama membaca PB: konsep-konsep umum seperti Logos atau Memra, Syekinah, dan terutamanya Nama Allah, Yahweh. Semuanya itu telah menjadi asing bagi kebanyakan orang Kristen. Untuk memahami Alkitab, konsep-konsep ini perlu dipelajari dan bagi kebanyakan orang hal itu sendiri merupakan sebuah tantangan.

Dewasa ini hanya sedikit orang Kristen yang tahu akan hal semendasar seperti fakta bahwa Nama Allah dalam Alkitab Ibrani adalah “Yahweh”, yang dibacakan “Adonai” oleh orang Yahudi kare-na rasa takzim, yang artinya “Tuan”. Biasanya kata ini diterje-mahkan sebagai “LORD” dalam kebanyakan Alkitab Inggris (dengan pengecualian New Jerusalem Bible, yang memakai “Yahweh”). Nyaris tak satu pun orang Kristen yang tahu berapa kali Nama “Yahweh” muncul dalam Alkitab Ibrani. Mereka terkejut ketika diberitahu bahwa Nama itu muncul 6828 kali. Bila bentuk pendek dari Nama itu juga dihitung (seperti kata Haleluyah, di mana ‘Yah’ mewakili Yahweh dan Haleluyah berarti “Puji Yahweh”), jumlah pemunculan-nya melonjak menjadi sekitar 7000 kali. Tidak ada nama lain yang menyaingi frekuensi pemunculan ini dalam Alkitab. Jelas sekali ini menunjukkan bahwa Yahweh melingkupi baik pusat maupun lingkar Alkitab; pada hakekatnya, Ia adalah “semua dalam semuanya” (1Kor.15:28).

Perlu pula dicatat bahwa kata “Yahweh” juga ditemukan dalam PB, terutamanya dalam pelbagai tempat yang mengutip PL. Kata “Adonai” (metonim Yahudi untuk “Yahweh”) muncul 144 kali dalam Complete Jewish Bible. Dalam Salkinson-Ginsburg Hebrew

Namun, perkaranya jauh melampaui frekuensi statistik Nama Yahweh dalam Alkitab. Keindahan karakter Yahweh yang luar biasa sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab merupakan hal yang teramati oleh sedikit orang Kristen. Keindahan karakter-Nya yang terlihat dari belas kasihan-Nya, hikmat-Nya, dan kuasa-Nya yang dipakai untuk keselamatan manusia, sudah dinyatakan dalam kitab Kejadian, di mana kita dapat mengamati tingkat keintiman yang mengejutkan dari interaksi-Nya dengan Adam dan Hawa, yang tampaknya dikunjungi-Nya secara teratur “pada waktu hari sejuk” (Kej.3:8) di Taman Eden, yang telah Ia “buat” (Kej.2:8) untuk mereka. Setelah mereka berbuat dosa, Ia malah membuatkan pakaian untuk menutupi mereka (Kej.3:7,21).

Kasih sayang dan kuasa penyelamatan Yahweh terlihat dalam skala besar ketika Ia menyelamatkan orang Israel dari perbudakan di Mesir. Ia memimpin sekitar 2.000.000 orang Israel melalui padang gurun yang mengerikan hingga tiba di tanah Kanaan, dan menyediakan segala kebutuhan mereka selama 40 tahun. Kita akan mempertimbangkan hal-hal tersebut dengan lebih menyeluruh dalam bab 5; di sini kita hanya menyebutkan bahwa kualitas-kualitas yang sama dari karakter Yahweh dinyatakan lagi dalam Injil melalui kehidupan dan perbuatan Yesus Kristus, yang dalam dirinya seluruh kepenuhan Yahweh diam. (Kol.1:19; 2:9)

(3) Berbicara tentang “Allah” pun malah menjadi persoalan karena bagi orang trinitarian kata itu bisa merujuk kepada salah satu dari ketiga pribadi, atau ketiganya sekaligus. Dengan demikian, Allah itu tiga serangkai, yaitu, sebuah kelompok yang terdiri dari tiga entitas atau pribadi. Kita bahkan tidak bisa berbicara tentang Allah sebagai Bapa tanpa disertai asumsi trinitarian bahwa kita sedang berbicara tentang sepertiga dari Trinitas yang dipanggil “Allah Bapa”, atau bahkan tentang Yesus sebagai “Bapa”, karena banyak orang Kristen juga menyandangkan gelar ini kepadanya. Lantas, bagaimana

caranya kita bisa berbicara tentang “satu-satunya Allah yang benar” tanpa disalah-pahami oleh orang trinitarian? Tampaknya jalan keluar satu-satunya ialah dengan memakai nama yang diwahyukan oleh-Nya sendiri: “Yahweh”, atau bahkan dengan “Yahweh Allah” (YHWH Elohim), istilah yang muncul 817 kali dalam PL.