• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pergeseran Halus dari Monoteisme ke Triteisme Trinitaris

Kita sudah memperhatikan fakta sejarah bahwa sejak masa Kristus hingga ke masa Syahadat Nikea terdapat selang waktu 300 tahun lamanya. Selama tiga abad itu gereja mengalami perubahan funda-mental yang lambat tetapi pasti, yaitu perpindahan dari monoteisme ke politeisme. Alasan historis bagi perubahan ini tidak sulit dipahami. Ketika jemaat awal, dengan kuasa Roh Allah, memproklamirkan Injil yang monoteistik secara dinamis ke seluruh

dunia Yunani-Romawi yang politeistik dan banyak orang datang kepada Tuhan, banyak orang beriman non-Yahudi yang datang ke gereja tidak sepenuhnya menanggalkan cara berpikir mereka yang politeistis. Dengan berkembangnya jemaat di seluruh dunia, orang non-Yahudi mulai menguasai gereja, hingga akhirnya orang Yahudi hanya menjadi kaum minoritas di kebanyakan gereja di luar Palestina. Menjelang paro abad ke-2, ketika Kekristenan berpisah dengan Yudaisme, perpisahan dengan monoteisme Alkitabiah menjadi kenyataan dalam faktanya jika bukan dalam namanya.

Menjelang awal abad ke-3 M sulit menemukan satu saja nama orang Yahudi di antara para pemimpin gereja daerah (waktu itu disebut “uskup”). Gereja sekarang kokoh berada di bawah kepemimpinan orang-orang non-Yahudi. Para pemimpin ini telah bertumbuh dalam lingkungan agama dan budaya di mana terdapat “banyak ilah dan banyak tuhan” (1Kor.8:5), dan “ilah-ilah” serta “tuhan-tuhan” agama orang Yunani dan Romawi pada dasarnya adalah manusia-manusia yang diagungkan oleh orang banyak sebagai pahlawan. “Jadi, jiwa-jiwa yang lebih baik akan melewati masa peralihan dari manusia menjadi pahlawan dan dari pahlawan menjadi setengah dewa; dan dari setengah dewa, beberapa di antaranya, setelah jangka pemurnian yang panjang, akan sepenuhnya saling berbagi dalam keilahan” (Plutarch [c. 46-120 M], dikutip dalam Greek-English Lexicon, BDAG, θεότης). Aleksander Agung dan beberapa kaisar Romawi dihormati sebagai ilah.2

2 Dalam kenyataannya, sebagaimana dikenal luas, sebagian orang Romawi

juga tidak keberatan memasukkan Yesus sebagai satu ilah di antara banyak ilah di kuil Romawi. Hal yang membuat mereka marah ialah penolakan orang Kristen mula-mula untuk mengakui kaisar sebagai ilah. Hal ini berakibat kepada beberapa peristiwa penganiayaan terhadap orang Kristen, karena penolakan mereka untuk menyembah kaisar dianggap sebagai bukti ketidaksetiaan kepada pemerintahan Romawi. Namun, di pihak mereka, orang Kristen sudah tentu, tidak terlalu merasa senang dengan sebagian orang

Apapun alasan-alasan lain yang menyebabkan gereja secara berangsur menyimpang dari monoteisme (bdk. Jews and Christians:

the parting of the ways AD 70 to 135, ed. James D.G. Dunn), dengan

diresmikannya Syahadat Nikea dan Syahadat Konstantinopel tiga abad sesudah masa Kristus, jelaslah bahwa Kristus sekarang dinyata-kan sebagai Allah, setara dan kekal bersama dengan dua pribadi lain dalam Ke-Allahan (Godhead). Allah bukan lagi satu Jatidiri yang personal tetapi sebuah kelompok yang terdiri dari tiga pribadi yang sama-sama setara. Ini berarti makna kata “Allah” telah berubah dari satu Pribadi ilahi menjadi tiga pribadi ilahi yang berbagi satu “hakikat” ilahi (Latin, substantia; Yunani: hupostasis; juga, ousia3). Oleh sebab itu, proklamasi Alkitabiah yang fundamental untuk iman Alkitabiah baik dalam PL maupun PB, yang diungkapkan dengan jelas dalam kata-kata: “Dengarlah hai Israel, TUHAN (Yahweh) Allah kita, TUHAN (Yahweh) itu Esa” (Ul.6:4; Mrk.12:29) pada hakikatnya telah diubah menjadi: “Dengarlah, hai Gereja, Tuhan Allahmu itu TIGA.”

Dengan adanya perubahan ini maka seluruh ciri dari Monoteisme Alkitabiah, yang menyatakan satu Allah yang personal, berubah menjadi suatu “monoteisme” yang mana “Allah” bukan lagi satu pribadi melainkan suatu “hakikat” yang dibagi bersama oleh tiga pribadi.

Roma yang tidak keberatan memuliakan Yesus sebagai ilah di samping ilah-ilah mereka yang lain. Dan jika para pemuja berhala saja rela mengakui keagungan Yesus dengan memberikannya tempat di antara ilah-ilah mereka, mengapa orang Kristen (non-Yahudi) tidak rela memuliakan dia dengan cara yang sama, yaitu, sebagai Allah? Hal ini membantu membuka jalan untuk trinitarianisme.

3 “Hupostasis dan ousia pada mulanya adalah sinonim, kata yang pertama

Stoa dan yang terakhir Platonis, yang artinya, eksistensi nyata atau esensi, dari suatu benda.” J.N.D. Kelly, Early Christian Doctrines, hlm.129.

Sejak permulaan abad ke-3, Origenes, “bapa” terkemuka Gereja Yunani dan guru di sekolah katekismus di Aleksandria, sudah mendeklarasikan, “Kami tidak takut berbicara tentang dua Allah dalam satu pengertian, dan satu Allah dalam pengertian lain” (J.N.D. Kelly, Early Christian Doctrines, hlm.129). “Kami tidak takut berbicara... tentang dua Allah”: Betapa beraninya, atau mestikah kita berkata, betapa lancangnya?! Pintu air politeisme (dibalik samaran selubung tipis “monoteisme trinitaris”) sekarang telah terbuka lebar. Dalam kurun waktu kurang dari 200 tahun semenjak masa Kristus, gereja non-Yahudi dengan berani telah menentang monoteisme Alkitabiah, dan memulai tradisi panjang menggunakan gaya bahasa ambigu (bermakna-ganda, taksa): “dalam satu pengertian... dalam pengertian lain”. Pengertian yang mana? Allah orang Kristen non-Yahudi, dari segi pribadi, ada dua (atau tiga, resmi sejak 381 M); dari segi hakikat: satu. Namun, biarlah dipahami dengan jelas bahwa sejauh menyangkut penyingkapan Alkitabiah, entah dalam Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru, tidak ada dua Allah (atau tiga) dalam pengertian apa pun. Orang-orang yang peduli dengan kebenaran Alkitabiah akan menolak gaya bicara trinitaris yang ambigu, karena merasakan adanya kebohongan di situ. Hanya ada

satu Allah yang benar, dan Nama-Nya adalah Yahweh! Siapa saja

yang mengabarkan Allah lain di samping Dia pasti harus mempertangggung-jawabkan perbuatannya pada Hari itu.

Meskipun sengaja mengubah cara kata “Allah” didefinisikan dan difahami merupakan perkara yang teramat serius, keseriusan perkara itu tidak berakhir di situ. Dalam kenyataannya, deklarasi trinitaris itu sama sekali bertolak-belakang dengan pernyataan ilahi bahwa “Yahweh (TUHAN) itu ESA”, Ul.6:4. Yahweh adalah satu Jatidiri, satu Entitas, satu Pribadi, sebagaimana jelas terlihat dalam Alkitab Ibrani; dan dalam Perjanjian Baru pun tidak ada bedanya, sebagaimana akan kita lihat. Oleh sebab itu, makna keesaan Allah

dalam Alkitab bukanlah sesuatu yang bisa ditawar-tawar atau dikompromikan.

Makna keesaan Yahweh didefinisikan dengan kejelasan mutlak, dan tidak menerima kompromi yang mengusulkan bahwa keesaan-Nya adalah “kesatuan di dalam keragaman” yang membuka kemungkinan mencakup satu atau dua pribadi lain di samping Yahweh. Kitab Suci dengan tegas menyatakan: “Tuhanlah Allah;

tidak ada yang lain kecuali Dia” (Ul.4:35). Atau, dengan kata-kata

Yahweh sendiri, “tidak ada Allah selain dari pada-Ku, Allah yang adil dan Juruselamat; tidak ada yang lain kecuali Aku. Berpalinglah kepada-Ku dan biarkanlah dirimu diselamatkan, hai ujung-ujung bumi! Sebab Akulah Allah, dan tidak ada yang lain” (Yes.45:21,22). Dalam dua ayat ini saja “tidak ada yang lain” diulang sebanyak tiga kali. Frasa itu diulang berkali-kali lagi di bagian lain Kitab Suci; kita akan memiliki kesempatan untuk kembali kepada nas-nas tersebut dalam kajian ini.

Paling khususnya, deklarasi trinitaris ini mentah-mentah membantah penegasan Yesus sendiri atas Ulangan 6:4 bahwa Yahweh itu esa. Pada kesempatan ketika seorang ahli Taurat bertanya, “Perintah manakah yang paling utama?” Yesus menjawab, “Perintah yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhanlah Allah kita, Tuhan itu Esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu, dan dengan segenap kekuatanmu.” (Mrk.12:28-30) Siapa yang diacu sebagai “Tuhan Allahmu” benar-benar jelas; dalam Perjanjian Lama frasa yang muncul lebih dari 400 kali itu merupakan bentuk rujukan standar kepada Yahweh.

Akan tetapi, kelompok pemimpin gereja di Nikea itu, yang agaknya mengakui Yesus sebagai “Tu[h]an”, tidak takut (seperti dinyatakan oleh Origenes sebelumnya) menentang tuan mereka dan menuntut gereja harus percaya bahwa Allah itu lebih dari satu pribadi. Ini mengingatkan kita akan kata-kata Yesus, “Dan mengapa

kamu berseru kepadaku: Tu[h]an, Tu[h]an, padahal kamu tidak melakukan apa yang aku katakan?” (Luk.6:46) Bila sang guru mengajarkan bahwa Allah itu esa, bagaimanakah semestinya tang-gapan murid-muridnya yang sejati? Dan jika kita tidak melakukan apa yang ia katakan, tidakkah kita akan mendengar ia berkata, “Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari hadapanku, kamu sekalian yang melakukan kejahatan!” (Mat.7:23). Atau, apakah kita mengira ia akan merasa senang karena kita telah mengangkatnya hingga setara dengan Yahweh, sama seperti orang-orang yang ingin memahkotai dia dan menjadikannya raja dengan paksa di Yohanes 6:15: “Karena Yesus tahu bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa dia dengan paksa untuk menjadikan dia raja, ia menyingkir lagi ke gunung, seorang diri”?

Sebagai umat trinitarian kita meninggikan Yesus hingga setara dengan Yahweh walaupun ia sendiri tidak sekalipun pernah meng-klaim sebagai Allah, seperti dinyatakan di Filipi 2:6 bahwa ia “tidak menganggap bahwa menjadi setara dengan Allah adalah sesuatu yang harus dirampas.” (MILT) Menariknya, kata yang diterjemahkan sebagai “dirampas” dalam ayat ini merupakan kata yang sama yang diterjemahkan sebagai “membawa dengan paksa” (harpazo) di Yohanes 6:15 yang dikutip di atas. Yesus tidak pernah berusaha merebut dengan paksa, atau merampas, kesetaraan dengan Allah. Kita akan kembali ke Filipi 2 dalam kajian ini.

Trinitarianisme juga bersikeras menjadikan Roh Tuhan (Yahweh) pribadi yang terpisah dan berbeda dari Yahweh. Siapapun yang mengenal Perjanjian Lama dengan baik akan mendapati hal ini agak aneh. Umat Yahudi pasti bertanya-tanya apakah umat Kristen sung-guh-sungguh memahami Alkitab atau tidak. Untuk memperdebatkan bahwa Roh Yahweh, adalah pribadi yang berbeda dan terpisah dari-Nya adalah sama seperti memperdebatkan bahwa “roh manusia” (1Kor.2:11; Ams.20:27; Pkh.3:21; Za.12:1) adalah

individu yang terpisah dan berbeda yang hidup di dalam dia, atau hidup dengan dia sebagai pribadi yang lain! Sayangnya, ini bisa dipandang benar untuk orang yang menderita penyakit skizofrenia, tetapi untuk mengemukakan bila demikian halnya dengan Allah adalah kegilaan, atau lebih parahnya, penghujatan.

“Allah itu Roh” (Yoh.4:24) sebagaimana dikatakan Yesus, akan tetapi, tanpa ragu kita menyatakan bahwa Roh Allah, Roh Tuhan, Roh Kudus itu sebenarnya adalah pribadi yang berbeda dari-Nya. Malangnya, sebagai orang trinitarian, kita telah begitu terbiasa dengan pengajaran seperti ini sehingga tidak lagi mampu melihat kekonyolannya (absurdity). Kita meyakinkan diri sendiri bahwa kita tentu tidak sebodoh itu. Masalahnya bukan kebodohan melainkan kebutaan—dan kita mengira hanya orang Yahudi sajalah yang mengalami kebutaan (Ef.4:18; Rm.11:25, khususnya berkenaan dengan Yesus sebagai Mesias)!

Oleh karena Alkitab itu nyata-nyata bersifat monoteistik (sehingga sebuah uraian secara monoteistik atasnya tidak memerlukan pembenaran apapun), maka berikut ini adalah sebuah upaya untuk mempelajari bagaimana memahami Kitab Suci dengan semestinya: secara monoteistik. Ini bukan tugas yang mudah untuk seorang yang telah berkecimpung dalam trinitarianisme seperti diri saya. Akan tetapi, hal ini harus dilaksanakan oleh anugerah Allah, demi menangkap kebenaran-Nya. Sudah saatnya kita “menyelidiki dan memeriksa hidup kita, dan berpaling kepada TUHAN (Yahweh)” (Rat.3:40).