• Tidak ada hasil yang ditemukan

uku ini membahas tiga tema utama dalam Alkitab yang paling berkepentingan bagi umat manusia:

(1) Ada satu, dan hanya satu, Allah yang benar, yang adalah Pencipta segala yang ada. Penyataan diri dari Allah ini tercatat bagi kita pertama-tama dalam Alkitab Ibrani (yang disebut “Perjanjian Lama” oleh umat Kristen), dan berikutnya dalam Perjanjian Baru. Jemaat Kristen lahir di Yerusalem, dan kelahirannya dilukiskan dalam kitab Kisah Para Rasul. Jemaat itu adalah jemaat Yahudi, dan oleh kare-nanya, bersifat monoteistik yang tidak mengenal kompromi. Namun, jemaat Kristen non-Yahudi, yang tidak mempunyai komitmen demikian kepada monoteisme, dan yang sejak sekitar pertengahan abad ke-2 telah lepas dari induk Yahudinya, mulai mengembangkan suatu doktrin yang menyatakan bahwa ada lebih dari satu pribadi yang adalah Allah. Gereja non-Yahudi telah mengambil langkah pertama yang besar untuk menjauhi monoteisme ketika di Nikea pada 325 M mereka mendeklarasikan bahwa doktrin ini mewakili iman gerejanya. Buku ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa, baik dalam Perjanjian Lama maupun

B

Baru, sama sekali tidak ada dasar untuk kompromi ini dengan politeisme, yang menyamar sebagai semacam “monoteisme”.

(2) “Satu-satunya Allah yang benar”, sebagaimana Yesus memanggil Dia (Yoh.17:3), merupakan Allah yang sangat mempedulikan ciptaan-Nya, khususnya manusia dan kesejahteraannya. Ia menciptakan umat manusia dengan suatu rencana kekal. Oleh karena itu, sejak awal penciptaan manusia kita melihat Dia terlibat secara intim dengan manusia. Keterlibatan-Nya yang luar biasa dalam penyelamatan satu umat yang terjerat dalam kesengsaraan perbudakan di Mesir; dan pemeliharaan-Nya akan segala kebutuhan mereka selama 40 tahun mengembara di padang gurun Sinai yang mengerikan, merupakan sebuah kisah yang diceritakan berulang-ulang, bukan saja di Israel tetapi di seluruh dunia. Dalam kisah tersebut kita juga mendapati Allah sendiri tinggal bersama dengan umat Israel, hadirat-Nya diam di antara mereka dalam kemah yang lebih dikenal dengan sebutan “tabernakel” (atau “Kemah Suci”) (bdk. Yoh.1:14, “berdiam”, “berkemah”). Ia hadir bersama mereka dan memimpin mereka melewati padang gurun dalam tiang awan pada siang hari dan tiang api pada waktu malam. Melalui semua ini Ia telah menunjukkan bahwa Ia bukan Allah yang transenden dalam arti Ia menjaga jaraknya dari manusia, tetapi sebaliknya melibatkan diri-Nya secara sangat “bersahaja” (down to earth).

Tentu saja, Allah sebagai Pencipta seluruh umat manusia tidak hanya peduli dengan bangsa Israel tetapi dengan seluruh umat manusia. Oleh sebab itu, terdapat isyarat-isyarat penting, terutamanya diberikan melalui nabi-nabi Perjanjian Lama, bahwa Allah akan datang pada suatu saat sedemikian rupa sehingga “seluruh umat manusia akan melihatnya bersama-sama” (Yes.40:1-5). Bahkan lebih mengagumkan lagi, Ia akan datang ke dunia dalam rupa seorang manusia. Ini tampak jelas terungkapkan dalam pernyataan profetis yang dimasyhurkan oleh kartu-kartu Natal

(Yesaya 9:5, “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putra telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebut orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.”).

Namun anehnya, gereja non-Yahudi trinitarian telah memutuskan bahwa Ia yang datang ke dunia ini bukanlah Dia yang disebut “satu-satunya Allah yang benar” oleh Yesus (Yoh.17:3), dan yang secara konsisten dipanggilnya “Bapa”, melainkan seorang pribadi lain yang disebut “Allah-Anak”—sebuah istilah yang tidak dapat ditemukan di manapun dalam Alkitab. Tujuan buku ini adalah untuk menunjukkan bahwa sejumlah kecil ayat dalam Perjanjian Baru yang dikemukakan para trinitarian untuk mendukung doktrin mereka itu tidak memberikan bukti eksistensi “Allah-Anak”, atau bahwa Yesus Kristus adalah Allah-Anak. Tidak diragukan sama sekali bahwa para penulis Perjanjian Baru adalah orang-orang monoteis, dan karena itu tidak ada cara yang benar untuk menghasilkan doktrin trinitaris dari karangan-karangan monoteistik—kecuali dengan memaksakan penafsiran secara tidak benar ke dalam teks.

(3) Rencana Allah untuk menyelamatkan manusia dari kesengsaraan (karena kegagalannya mengakui Dia sebagai Allah, Roma 1:21) bu-kanlah sebuah rencana yang dirancang secara mendadak tanpa dipikirkan dahulu, melainkan sesuatu yang telah terpadu ke dalam rencana kekal-Nya bagi seluruh ciptaan menurut pra-pengetahuan-Nya. Ini berarti rencana-Nya untuk menyelamatkan manusia sudah ada “sebelum permulaan zaman” (2Tim.1:9).

Dalam rencana ini tokoh kuncinya ialah seorang manusia yang telah dipilih-Nya yang diberikan-Nya nama “Yesus” (Mat.1:21; Luk.1:31). Nama ini penting karena artinya “Yahweh menyela-matkan” atau “Yahweh adalah keselamatan”. Orang Kristen berbicara seolah-olah Yesus sendiri adalah penyelamat, tetapi

sebenarnya ia adalah penyelamat karena “Allah ada di dalam Kristus ketika mendamaikan dunia dengan diri-Nya sendiri” (2Kor.5:19, MILT). Yesus sendiri terus mengulangi hal ini dengan berbagai cara dalam Injil Yohanes, yakni, segala sesuatu yang ia katakan dan perbuat sebenarnya dilakukan oleh “sang Bapa” di dalam dia (Yoh.14:10, dsb.). Hal itu dikarenakan Allah hidup di dalam Yesus dengan cara yang belum pernah dilakukan-Nya dalam sejarah manusia. Inilah yang membuat Yesus betul-betul unik dibanding siapa pun yang pernah hidup di muka bumi ini, dan itu juga sebabnya mengapa ia menikmati suatu hubungan spiritual yang intim dan unik dengan Allah seperti hubungan seorang anak dengan ayahnya. Itulah sebabnya ia disebut “anak Allah”, yang dalam Alkitab tidak pernah berarti “Allah-Anak”. Oleh karena hubungannya yang unik dengan sang Bapa, tiga kali dalam Injil Yohanes ia disebut “satu-satunya Anak Allah” atau “Anak Allah yang unik” (Yoh.1:14; 3:16,18).

Dalam hubungan yang tidak pernah terjadi sebelumnya ini, atas ikhtiar Yesus sendiri, ia hidup dalam ketaatan penuh kepada Allah sebagai Bapa, dan memilih menjadi “taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp.2:8). Melalui “ketaatan satu orang banyak orang menjadi orang benar” (Rm.5:19), yang berarti bahwa dia menyelesaikan keselamatan manusia melalui kematiannya di kayu salib. Dengan cara inilah Allah mendamaikan segalanya dengan diri-Nya melalui Kristus. Lagi pula, oleh karena ketaatannya kepada Allah, Allah “sangat meninggikan dia dan mengaruniakan kepadanya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: ‘Yesus Kristus adalah Tu[h]an,’ bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Flp.2:9-11). Allah mengaruniakan kepada Yesus hormat setinggi-tingginya. Itulah sebabnya kita menyebut dia “Tu[h]an”.