• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anak Allah, raja Mesianik Israel

ahwa gelar “anak Allah” merupakan gelar yang terkenal bagi sang Mesias terlihat dari ayat-ayat berikut yang menunjukkan bahwa kedua gelar “Kristus” (atau “Mesias”) dan “anak Allah” kerapkali dipakai bersama: Mat.16:16; 26:63; Mrk.1:1 (“anak Allah” tidak ditemukan dalam dua teks Yunani purba yang penting, yang disebut unsial); Luk.4:41; Yoh.11:27; 20:31; Rm.1:4; 1Kor.1:9; 2Kor.1:19; Gal.2:20; Ef.4:13; 1Yoh.5:20; 2Yoh.1:3,9—semuanya 14 kali (atau 13 jika Mrk 1:1 tidak termasuk).

Dari ayat-ayat ini, terutama ayat-ayat Injil di mana “Kristus” dan “anak Allah” diucapkan bersama-sama sebagai dua bagian dari satu gelar yang sama, semestinya amat jelas sekarang bahwa sang Mesias disebut “anak Allah”, berdasarkan “anak-Ku engkau” di Mazmur 2:7 yang diucapkan kepada raja keturunan Daud. Mengenai ayat ini, Robert Alter, Professor of Hebrew and Comparative Literature dari

University of California, Berkeley, baru-baru ini menulis, “adalah hal

biasa di Timur Dekat purba, hal yang mudah diadopsi oleh bangsa Israel, untuk membayangkan raja sebagai anaknya Allah” (The Book

of Psalms, A Translation with Commentary, Norton, 2007; tentang

Mzm.2 sehubungan dengan gelar “anak Allah” lihat pembahasan lebih lengkap di Lampiran 1).

Untuk mempertimbangkan arti gelar “anak Allah” dengan lebih seksama, saya mengutip dari artikel James Stalker dalam

International Standard Bible Encyclopedia (ISBE):

Dalam Kitab Suci gelar itu diberikan kepada bermacam orang untuk pelbagai alasan. Pertama, gelar itu diterapkan kepada para malaikat, seperti di Ayub 2:1 dikatakan “datanglah anak-anak Allah menghadap Yahweh”; mereka boleh jadi disebut demikian karena mereka adalah makhluk ciptaan Allah, atau karena, sebagai makhluk rohani, mereka menyerupai Allah yang adalah roh. Yang kedua, di Lukas 3:38 gelar itu diterapkan kepada manusia pertama; dan dari perumpamaan Anak yang Hilang bisa diperdebatkan kalau gelar itu berlaku kepada semua orang. Yang ketiga, gelar itu diterapkan kepada bangsa Ibrani, seperti di Kel.4:22, Yahweh berkata kepada Firaun, “Israel ialah anak-Ku, anak-Ku yang sulung,” alasannya karena Israel adalah sasaran dari kasih dan pilihan Yahweh yang istimewa. Yang keempat, gelar itu diterapkan kepada raja-raja Israel, sebagai perwakilan dari bangsa yang terpilih. Dengan demikian, di 2Sam.7:14, Yahweh berkata tentang Salomo, “Aku akan menjadi Bapanya, dan ia akan menjadi anak-Ku”; dan, di Mzm.2:7, penobatan seorang raja diumumkan dalam sebuah ramalan dari surga, yang berkata, “Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.”

Akhirnya, dalam Perjanjian Baru, gelar tersebut diterapkan

kepada semua orang kudus, seperti di Yoh.1:12, “Tetapi semua orang yang menerimanya diberinya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam namanya;”

Karena gelar itu memiliki jangkauan aplikasi seluas ini, maka jelaslah bahwa Keilahian Kristus tidak dapat disimpulkan hanya dari fakta bahwa ia diterapkan kepada Yesus’

(Penebalan huruf ditambahkan demi kejelasan; cetak miring dari saya).

Akan tetapi, sebagai seorang trinitarian, Stalker tidak akan bersedia untuk mengakui apa yang dinyatakan di kalimat terakhir dari petikan ini. Sesungguhnya, sebagaimana dapat diduga, ia tidak akan

menyimpulkan artikelnya sampai ia bisa menemukan jalan untuk membalikkan “anak Allah” menjadi “Allah-Anak”. Untuk mencapai hal ini, banyak argumentasi semu yang menyertainya.

Dalam paragraf berikutnya, Stalker menulis (agaknya dengan sedikit nada tidak setuju) “adalah wajar untuk berasumsi bila pene-rapan gelar itu kepada Yesus berasal dari salah satu pemakaiannya [empat] di Perjanjian Lama; dan yang hampir secara universal dite-tapkan oleh kesarjanaan modern sebagai pemakaian yang keempat yang disebut di atas—yaitu kepada raja-raja Yahudi.” Namun, apakah Stalker bersedia mengambil pendirian (yang mustahil baginya) bahwa gelar “anak Allah” sebagaimana diterapkan kepada Yesus tidak berakar dalam PL? Karena terburu-buru ingin membuktikankeilahian Kristus ia tidak memberitahu kita!

Sebagai contoh argumentasi semu saya hanya akan mengutip yang berikut:

“Ketika Yesus membangkitkan pengakuan besar dari kedua belas muridnya di Filipi Kaisaria, pengakuan itu diberikan dalam bentuk sederhana oleh dua penulis Sinoptik, ‘Engkaulah Mesias!’ (Mrk.8:29; Luk.9:20); tetapi Matius menambahkan, ‘Anak Allah yang hidup’ (Mat.16:16). Kerapkali dikatakan bahwa paralelisme Ibrani memaksa kita menganggap kata-kata ini hanya sebagai padanan untuk gelar ‘Mesias.’ Namun, ini bukan sifat dari paralelisme, yang umumnya memasukkan ke dalam istilah kedua dari istilah paralelnya sesuatu yang melebihi apa yangdiungkapkan dalam istilah pertama. Adalah cukup sesuai dengan sifat paralelisme jika istilah kedua menyediakan alasan untuk istilah pertama. Artinya, Yesus adalah sang Mesias oleh karena Ia adalah Anak Allah.”

Argumentasi Stalker terdiri dari dua langkah. Pertama, ia membuat pernyataan, “Kerapkali dikatakan bahwa paralelisme Ibrani

memaksa kita menganggap kata-kata ini hanya sebagai padanan untuk gelar ‘Mesias’”. Stalker menerima paralelisme ini, tetapi itu tidak membawanya terlalu jauh. Ia ingin mengatakan bahwa “Anak Allah” berarti lebih dari “Mesias”. Seberapa lebihnya? Jelas, ia ingin mengatakan bahwa gelar itu artinya “Allah-Anak”; dan sekalipun ia tidak memakai istilah trinitaris ini, ia berulang-kali berbicara tentang “keilahian” Kristus. Jadi, bagaimana membuat “Anak Allah” berarti lebih dari “Mesias (Kristus)”? Itulah langkahnya yang berikut.

Langkah Stalker yang kedua adalah mengklaim secara dogmatis bahwa paralelisme Ibrani “umumnya memasukkan ke dalam istilah kedua dari istilah paralelnya sesuatu yang melebihi apa yang diungkapkan dalam istilah pertama”, tetapi gagal memperlengkapi pembacanya dengan setidaknya satu referensi Alkitabiah untuk memperkuat pernyataan tersebut. Bagaimanapun juga, ini adalah sebuah “ensiklopedi”, jadi, tidaklah terlalu berlebihan untuk mengharapkan adanya sebuah referensi pendukung.

Kita harus mempertanyakan keabsahan pemahaman Stalker akan “sifat paralelisme (Ibrani)”. Pertama, dua gelar yang disebut secara berturutan (seperti di Mat.16:16) tidak dengan sendirinya memben-tuk “paralelisme”. Paralelisme adalah sebuah fitur dalam puisi Ibrani, dan untuk membentuk paralelisme puitis memerlukan lebih dari sekadar menempatkan dua gelar secara berturutan. Stalker ternyata tidak pernah berkonsultasi kepada karya standar atas subjek ini, seperti karya E.W. Bullinger, Figures of Speech used in the Bible (hlm.349-362), yang dapat menyelamatkan dia dari konsepsi-kon-sepsi yang salah tentang paralelisme Alkitabiah. Namun, sekalipun tanpa mempelajari contoh-contoh dari paralelisme PL, seandainya saja Stalker mengecek bukti PB akan gelar-gelar Yesus bila digunakan secara berturutan, ia akan melihat bahwa tidak ada “istilah kedua” yang melebihi “istilah pertama” untuk dibicarakan: Dalam surat-surat Paulus, misalnya, gelar “anak Allah” disebut

sebelum gelar “Mesias (Kristus)”. Lihat contohnya di 2Korintus 1:19

(bdk. 1Kor.1:9; Ef.4:13), “Anak Allah, Yesus Kristus (Mesias)”; di sini “Yesus sang Mesias” merupakan “istilah kedua”, yang menurut Stalker mengungkapkan “sesuatu yang melebihi apa yang diungkapkan dalam istilah pertama”, sehingga dengan demikian, (menurut argumennya) akan berlawanan dengan Matius 16:16! Artinya, berdasarkan argumen Stalker, Yesus sang Mesias berarti sesuatu yang lebih dari dirinya sebagai “Anak Allah”!

Barangkali kita bisa dimaafkan karena mengakui sudah cukup jenuh dengan argumentasi tak berdasar yang konyol seperti ini, yang sayangnya, cukup mencirikan trinitarianisme. Saya menyertakannya di sini sebagai contoh untuk menunjukkan bagaimana trinitarian biasanya memperdebatkan perkara mereka.

Akan tetapi, apa yang tidak bisa dipungkiri oleh Stalker adalah adanya persamaan yang nyata antara gelar “Anak Allah” dan “Mesias (Kristus)” dalam Kitab Suci. Namun, ia berupaya sekuat tenaga membuat “anak Allah” berarti sesuatu yang lebih daripada “Mesias”, barangkali karena pemahaman yang tidak memadai akan gelar “Mesias” dalam Kitab Suci, tetapi terlebih lagi karena ia ingin berusaha membuat “anak Allah” berarti “Allah-Anak” sesuai dengan dogma trinitaris. Akan tetapi, ia seharusnya bisa melihat bahwa sekalipun jika benar bahwa istilah kedua dalam sebuah paralelisme mengungkapkan “lebih” (daripada apa yang ada dalam istilah pertama), yang “lebih” itu tidak akan pernah dapat membalikkan “anak Allah” menjadi “Allah-Anak”. Namun, sayangnya, eksegesis dibuat takluk kepada dogma dan ditekan untuk berbicara bahasa trinitarianisme. Dengan demikian, segala cara dihalalkan demi mencari bukti.

Seorang sarjana lain, James Crichton, dalam artikelnya tentang “Mesias” di International Standard Bible Encyclopedia menulis,

“Tidak diragukan bahwa ‘Anak Allah’ dipakai sebagai sebuah gelar Mesianik oleh umat Yahudi pada masa Tu[h]an kita. Imam besar di hadapan Sanhedrin mengenalinya sebagai itu (Mat.26:63). Gelar itu diterapkan juga dalam arti resminya kepada Yesus oleh murid-muridnya: Yohanes Pembaptis (Yoh.1:34), Natanael (Yoh.1:49), Maria (Yoh.11:27), Petrus (Mat.16:16, meskipun tidak dalam paralel). Pemakaian Mesianik ini berdasarkan Mzm.2:7; bandingkan 2Sam.7:14.”

Crichton, seperti Stalker, adalah seorang trinitarian (kalau tidak artikelnya tidak akan diterbitkan oleh ISBE) dan, sebagaimana dapat diduga, mempertahankan bahwa Yesus “setara dengan Bapa”, tetapi ia melihat bahwa bukti PB mengharuskan pengakuan bahwa “anak Allah” merupakan sebuah gelar Mesianik.

Untuk menyimpulkan dan meringkas bagian ini, saya mengutip kesimpulan pembahasan Dr. Karl-Joseph Kuschel, seorang teolog sistematis Jerman, mengenai hubungan antara gelar “anak Allah” dan gagasan Kristus yang pra-eksisten atau ilahi. Kuschel menulis:

“Sekarang apa artinya semua ini untuk pertanyaan mengenai hubungan antara menjadi Anak Allah dan pra-eksistensi Kristus? Di sini kita juga dapat menetapkan sebuah konsensus di luar batasan pengakuan [denominasi].

“1. Sepadan dengan asal-usul Yahudinya (ideologi kerajaan) gelar “Anak Allah” tidak pernah dikaitkan dengan keberadaan surgawi sebelum kala atau dengan keilahian.

“2. Yesus tidak berbicara tentang dirinya sebagai Anak Allah, ataupun mengatakan sesuatu tentang keputraan yang pra-eksisten. Andaikanlah, komunitas pasca-Paskah berbahasa Aram paling awal mengakui Yesus sebagai Anak Allah, tetapi sejalan dengan Perjanjian Lama mereka tidak memasukkan

pernyataan apa pun tentang pra-eksistensi ke dalam pengakuan ini.

“3. Fondasi dasar dari pembicaraan pasca-Paskah tentang Yesus sebagai Anak Allah tidak terletak pada ‘kodrat ilahi’ Yesus, pada suatu keputraan ilahi yang pra-eksisten, tetapi pada praktek dan pengajaran Yesus sendiri semasa di bumi: dalam hubungannya yang unik dengan Allah, yang biasa disapanya sebagai ‘Abba’, dalam suatu keakraban yang belum pernah terjadi sebelumnya.

“Terakhir tapi bukan yang akhir, seperti sudah kita dengar, di Israel gelar “anak Allah” sebagian besar merujuk kepada martabat dan kuasa yang unik dari penguasa politik tertinggi.”

Born Before All Time?, hlm.238.

Akhirnya, patut dicatat bahwa walaupun Al Qur’an memang berbicara tentang Yesus (Isa) sebagai Mesias (Masih), Al Qur’an mutlak menolak gelar Mesianik PB “anak Allah”. Alasannya mudah dilihat dari artikel-artikel ISBE ini yang menghalalkan segala cara untuk membalikkan “anak Allah” menjadi “Allah-Anak”. Akibat yang menyedihkan dari semua ini adalah umat Muslim menolak PB secara keseluruhan, dan dengan demikian menolak pesan keselamatan yang ada dalam sang Mesias (Kristus). Jika mereka bisa diyakinkan bahwa “anak Allah” dalam PB adalah sebuah gelar Mesias (Masih) dan tidak berarti “Allah-Anak”, mereka tidak mempunyai alasan untuk menolaknya. Kita pun harus diingatkan lagi bahwa tidak di manapun dalam PB kepercayaan pada keilahian

Kristus diperlukan untuk keselamatan; itu adalah sesuatu yang

dipaksakan oleh dogma Kristiani, bukan oleh firman Allah. Dengan bersikeras bahwa Yesus adalah “Allah-Anak”, orang Kristen telah menutup pintu keselamatan bagi orang Muslim melalui iman pada Kristus, sebagai sang Mesias atau “anak Allah” menurut arti Mesianik yang tepat (Yoh.20:31). Apakah umat Kristen dapat

berkata pada umat Muslim pada Hari itu, “aku bersih dari darah siapa pun juga” (Kis.20:26)?