• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persoalan pelik tentang “dua kodrat” dalam pribadi Kristus, sang “Allah-manusia”

alam teologi Kristen, topik yang mengandung kepentingan khusus adalah “Kristologi”, yang terutama berkaitan dengan persoalan pelik tentang bagaimana harus memahami Yesus Kristus yang memiliki dua “kodrat”, Allah dan manusia, di dalam satu pribadi. Masalah ini tidak berasal dari Perjanjian Baru tetapi sejak

D

Yesus dituhankan sebagai Allah oleh gereja non-Yahudi; hanya setelah itu masalah ini menjadi genting bagi Kekristenan. Mau tidak mau, penuhanan Yesus menjadi Allah telah menciptakan sebuah situasi di mana sekarang ada lebih dari satu pribadi yang disebut Allah, dan hal ini membawa konsekuensi serius: yaitu kesangsian terhadap monoteisme. Gereja non-Yahudi menyadari sepenuhnya fakta bahwa Alkitab itu monoteistik, jadi bagaimana gereja masih dapat mempertahankan suatu bentuk monoteisme, sementara di saat yang bersamaan keilahian Kristus sebagai Allah-Anak? Sebagian pemimpin gereja memiliki kepedulian yang lebih besar terhadap monoteisme; sebagian lainnya bersikeras pada kedudukan Kristus sebagai Allah. Sebagai akibatnya, sejarah Kristologi ditandai oleh, sebagaimana dapat diduga, konflik, perpecahan, dan pengucilan (bahkan uskup-uskup saling mengucilkan satu sama lain!) Akhirnya, pandangan bahwa Yesus adalah Allah keluar sebagai pemenang dalam gereja non-Yahudi. Hal seperti ini tidak mungkin terjadi di jemaat Yahudi awal.

Lalu, bagaimana dengan monoteisme? Yah, Allah dikurangkan dari satu Pribadi menjadi satu “hakikat”. Hal ini muncul cepat sekali di gereja non-Yahudi, tidak lama setelah gereja kehilangan pertalian dengan gereja induk Yahudinya. “Bapa” Latin terkemuka, Tertulianus (th. 155-220 M), menaruh perkara itu seperti berikut, “Allah adalah nama dari hakikat itu, yaitu, keilahian” (J.N.D. Kelly,

Early Christian Doctrines, hlm.114). Pengaruh Tertulianus dapat

dilihat dari pengamatan Kelly, “Paus [Dionysius] mungkin telah menyimpulkan, atas dasar-dasar etimologi yang meyakinkan, bahwa

hypostasis adalah padanan kata Yunani untuk substantia, yang

dipelajarinya dari Tertulianus, menandakan kenyataan konkret yang

tak terpisahkan dari ke-Allahan” (Kelly, Doctrines, hlm.136). Tanpa

membahas lebih jauh akan kerumitan, dan liku-liku dari sejarah Kristologi, cukup untuk diketahui bahwa posisi doktrinal gereja dewasa ini pada intinya tetap sama seperti Tertulianus, yaitu, “ketiga

pribadi Ke-Allahan saling berbagi hakikat yang sama” (W.A. Elwell,

Evangelical Dictionary of Theology, “Substance”)

Mengapa trinitarian berbicara tentang Yesus sebagai “Allah-manusia”? Karena mereka mengklaim bahwa ia memiliki dua “kodrat”, satu ilahi dan satu manusiawi: Bagaimana kedua kodrat itu berhubungan satu sama lain di dalam dia? Jawaban yang diberikan pada Konsili Khalkedon (451 M) menyatakan bahwa kedua kodrat itu eksis bersama “tanpa kerancuan, tanpa perubahan, tanpa pembagian, tanpa pemisahan” di dalam satu pribadi. Ini seakan-akan menunjukkan adanya perpaduan dua kodrat yang sama sekali berbeda dan terpisah di dalam pribadi Yesus. Bagaimana “pribadi” seperti ini, yang pada dasarnya adalah dua pribadi, dapat berfungsi sama sekali tidak dijelaskan, dan tak pelak, tidak dapat dijelaskan. Jadi, ini dimasukkan ke dalam alam “misteri” teologis—sesuatu yang efektif menghentikan orang dari bertanya lebih lanjut. Rupanya pribadi Yesus ini harus begitu saja diterima sebagai sebuah enigma. Pribadi yang ada di tengah-tengah iman trinitaris itu harus tetap dalam keadaan tak terpahami, setidaknya berkenaan dengan bagaimana ia dapat bertindak sebagai pribadi yang disebut Allah dan manusia sekaligus. Pernyataan Khalkedon memang tidak dapat dipahami jika pernyataan tersebut dianggap memberi referensi yang berarti kepada suatu pribadi nyata. Apa adanya, pernyataan itu tidak lebih daripada sebuah tuntutan dogmatis yang dibuat oleh sebuah majelis gereja di Khalkedon pada abad ke-5. Tuntutan itu sama sekali tidak memiliki dasar yang kuat dari Kitab Suci, akan tetapi dinyatakan oleh gereja trinitarian sebagai batu ujian dari ortodoksi Kristen. Namun pertanyaan yang dapat dan harus diajukan adalah apakah ini pengajaran yang Alkitabiah ataukah hasil dari kebingungan manusia karena tidak memahami pewahyuan Alkitabiah?

Dari abad ke abad, banyak trinitarian merasa tidak puas percaya pada “suatu” Kristus yang pada dasarnya tak terpahami, sebuah

enigma. Banyak yang lebih menyukai gagasan Yesus sebagai Allah yang berinkarnasi di dalam tubuh seorang manusia. Setidaknya pandangan ini kelihatannya masuk akal. Dalam pandangan mereka tentang Kristus, Allah (Anak, bukan Bapa) telah mengambil-alih kedudukan dalam konstitusi manusia yang biasanya ditempati oleh “roh manusia”. Gagasan ini didukung oleh apa yang dalam teologi dikenal sebagai “Kristologi Aleksandria” 7. Menurut gagasan ini, Yesus mempunyai tubuh daging sama seperti kita, tetapi pribadi yang bertindak di dalamnya adalah Allah-Anak (kalau tidak maka ada dua pribadi yang bertindak di dalam satu pribadi itu—mirip dengan skizofrenia!); di dalam Kristus “Allah-Anak” telah mengambil alih (apapun artinya, atau, dari sudut pandang lain, menggantikan) roh manusia. Dengan demikian, ia sama seperti kita di tingkatan daging, tetapi “Allah-Anak”lah yang hidup di dalam daging itu. Dengan cara ini ia bisa dianggap “Allah sejati dan manusia sejati”. Di sini kita tidak akan membahas soal “Allah sejati”, tetapi dapatkah seseorang yang dibentuk seperti itu disebut “manusia sejati” sekalipun jika ia memiliki tubuh manusia yang nyata?

Tentunya tidak sulit untuk dilihat oleh siapapun (kecuali jika kita sengaja bersikap buta) bahwa tidak ada manusia yang juga sekaligus Allah dapat sungguh-sungguh disebut manusia tanpa mendefinisi ulang istilah “manusia” menjadi sesuatu yang berbeda dari arti sebe-narnya. Kita mungkin tidak tahu banyak, tetapi kita adalah manusia, jadi sekalipun jika kita tidak tahu apa-apa, setidaknya kita tahu betul seperti apa manusia itu. Itulah sebabnya kita tahu apa pun Allah-manusia itu, ia bukan Allah-manusia seperti kita, ia sama sekali bukan salah satu dari kita.

7 Untuk diskusi yang lebih lengkap tentang konflik trinitaris antara aliran

Berbicara tentang Allah dan manusia dalam istilah “kodrat” bukanlah cara yang tepat untuk melanjutkan pemeriksaan kristologis. Namun, tidak sulit untuk memahami mengapa trinitarian terpaksa memakai istilah ini. Sebenarnya Allah dan manusia hanya pantas dibicarakan dalam istilah “pribadi”. Berbicara tentang manusia dengan istilah “kodrat” berarti berbicara tentang ciri-ciri dan kualitasnya, bukan tentang dirinya sebagai suatu “pribadi”. Namun pemikiran trinitaris tentang Kristus sebagai “Allah-manusia” menjadikannya mustahil untuk berbicara tentang Allah dan manusia dalam istilah “pribadi” karena, jika tidak, Kristus akan menjadi dua pribadi: Allah dan manusia!

Namun berbicara tentang Allah sebagai “hakikat” atau “kodrat” sebenarnya merupakan penghinaan terhadap Allah, dan mereka yang berbuat demikian tanpa disadari sedang bermain-main dengan “api yang menghanguskan” (Ul.4:24; 9:3; Yes.33:14; Ibr.12:29). Di dalam Alkitab, Allah jelas bukan sekadar “kodrat” atau “hakikat”. Lagipula, memiliki “kodrat ilahi” tidak menjadikan Allah, jika tidak, maka berdasarkan 2Petrus 1:4 kita pun adalah ilahi. Begitu juga, sekadar memiliki “kodrat” atau “esensi” manusia tidak menjadikan seseorang manusia; melainkan, oleh karena kita adalah manusia (atau pribadi) maka kita memiliki kodrat manusia.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “kodrat”? Agaknya ini merujuk kepada hal-hal seperti sifat intrinsik, temperamen, atau kualitas esensial. “Kualitas-kualitas” seperti itu dalam manusia berasal dari kemanusiaannya, tetapi keadaannya sebagai manusia tidak berasal dari kualitas-kualitas tersebut. Dengan demikian, mendahulukan “kodrat” daripada manusianya sama saja dengan “mendahulukan kereta daripada kudanya”. Seekor binatang bisa saja memperlihatkan ciri-ciri atau perilaku manusia (“nyaris manusia”) tetapi itu tidak menjadikannya manusia. Apa yang dimaksud dengan “kodrat ilahi” di 2Petrus 1:4 sangat jelas dari konteksnya, yang menjelaskan bahwa kualitas-kualitas moral dan spiritual Allah

tersedia bagi kita (bdk. “buah Roh”, Gal.5:22) sebagai akibat dari menjadi manusia baru dalam Kristus (2Kor.5:17).

Dengan demikian, mengatakan bahwa Yesus memiliki kodrat ilahi tidak sama dengan mengatakan bahwa ia adalah Allah. Jelas sekali, apa yang disebut “kodrat” oleh trinitarian adalah sesuatu yang lebih menyerupai “hakikat”. Namun, sekali lagi, Allah bukanlah sebuah hakikat, demikian juga manusia. Seseorang itu lebih daripada sekadar “hakikat”nya, apapun itu. Bisa dikatakan bahwa seseorang itu lebih daripada jumlah hakikat-hakikat, atau kodrat-kodrat, atau sifat-sifatnya.

Dengan terminologi-terminologi yang kabur seperti “kodrat” dan “hakikat”, tidaklah mengherankan bila doktrin dua-kodrat Kristus menjadi masalah berduri dalam gereja sejak masa Nikea dan seterusnya, yang berakibat pada kerancuan, perselisihan, konflik dan perpecahan. Adakah jalan keluar untuk masalah yang diciptakan oleh gereja itu sendiri?

Kitab Suci berbicara tentang “Roh Allah” dan juga “roh manusia” (Ams.20:27; Pkh.3:21; Za.12:1, dst.). Dapatkah kita berbicara tentang “roh” dalam istilah “kodrat”? Jika ya, maka “roh manusia” akan sama dengan “kodrat” manusia, sebagai satu unsur dasariah dari konstitusi manusia. Akan tetapi, sebagaimana diketahui setiap orang, dalam konstitusi setiap manusia juga terdapat “daging”, dan “daging” ini pun merupakan unsur penting dari konstitusi manusia. Daging begitu mendefinisikan manusia, dan begitu dasariah terhadap karakter dan sifat manusia, sehingga Alkitab berbicara tentang eksistensi manusia cukup dengan istilah “daging” (mis. Yes.40:6; Yoh.1:14). Namun jika “daging” mendefinisikan kehidupan manusia, dan jika manusia juga memiliki “roh” yang juga integral kepada “kodrat”nya sebagai manusia, maka manusia memiliki dua “kodrat”: daging dan roh. Jika memang demikian halnya, ini berarti Yesus sebagai Allah-manusia memiliki tiga “kodrat”: daging dan roh manusia ditambahkan kepadanya sebagai Allah-Anak! Ini nyaris

tidak bisa dianggap sebagai manusia sejati tanpa mengubah definisi dari makna menjadi “manusia”.

Satu solusi adalah dengan menyarankan bahwa Allah-Anak, sebagai Roh, telah menggantikan roh manusia di dalam Yesus. Akan tetapi ini tidak benar-benar menuntaskan masalah, karena sekarang manusia itu minus “roh” manusia, dan dengan demikian, tetap bukan manusia sungguh-sungguh, bukan “manusia sejati”. Dari semua ini jelas bahwa trinitarianisme, dengan menuhankan Kristus sebagai Allah, telah menciptakan sebuah masalah yang jelas-jelas tidak ada jalan keluarnya. Allah dan manusia tidak dapat dipersatukan atau digabungkan seperti yang dibayangkan oleh trinitarianisme dalam gagasan “Allah-manusia”. Seandainya mereka tidak menciptakan masalah ini, maka tidak ada yang perlu mencari solusi. Ini bukanlah masalah Perjanjian Baru melainkan sebuah masalah yang diciptakan oleh gereja non-Yahudi.

Jika Yesus adalah Allah, lalu bagaimana dengan