• Tidak ada hasil yang ditemukan

pa maksud kita ketika berbicara tentang Yesus sebagai “Allah sejati dan manusia sejati”? Apa sebenarnya yang sedang kita bicarakan? Kita tentu tidak bermaksud mengatakan bahwa ia adalah sebagian Allah dan sebagian manusia. Akan tetapi, apa lagi artinya kalau bukan itu? Bahwa ia adalah semuanya Allah dan semuanya manusia, seutuhnya Allah dan seutuhnya manusia, 100% Allah dan 100% manusia (sehingga jumlahnya 200%!)? Namun, itu bukan sebuah kemungkinan ontologis (maupun logis). Lantas, apa artinya “Allah sejati dan manusia sejati”? Sebagaimana bisa diduga, satu-satunya jalan keluar adalah dengan bersurut ke alam “misteri”. Akan

tetapi, itu tentu bukan maksud Paulus ketika ia berbicara tentang “misteri Kristus” (Ef.3:4; Kol.4:3), sebab dengan istilah ini ia tidak merujuk kepada semacam teka-teki logis ataupun ontologis, melain-kan kepada rencana keselamatan Allah yang tersembunyi berabad-abad yang lalu tetapi kini dinyatakan dalam Kristus dan digenapi melalui kematian dan kebangkitannya.

Namun masalahnya bukan saja terletak pada pengangkatan Yesus ke tingkatan “Allah”, tetapi juga pada konsekuensi dari menyembah dia sebagai Allah, yang telah menurunkan “Allah Bapa kita” ke tempat sekunder di dalam hati dan pikiran kebanyakan umat Kristen. “Pribadi pertama” dari “Ke-Allahan” dalam kenyataannya telah menjadi “pribadi kedua”, sekalipun Ia masih dibiarkan memegang gelar kehormatan “Pribadi Pertama”—yang ditulis dengan huruf kapital supaya kelihatan lebih sedap dipandang. Sang Anak telah menggantikan sang Bapa sebagai pusat pengabdian umat Kristen. Paulus, sebagaimana juga semua penulis PB lainnya, akan dibuat ngeri dengan kondisi seperti ini. Saya sekarang mulai menginsafi bahwa Kristus sendiri akan merasa jijik dengan hal ini. Ajarannya telah diselewengkan menjadi sesuatu yang tidak diajarkan olehnya. Orang-orang pilihan sudah disesatkan (bdk. Mat.24:24). Sekarang kita bisa mengerti mengapa penghakiman akan dimulai dari rumah Allah (1Ptr.4:17).

Begitu gereja mengambil posisi dogmatis bahwa Kristus adalah Allah dan dengan demikian setara dengan Allah dalam segala hal, maka kesimpulannya adalah menyembah Kristus adalah sama dengan menyembah Allah, Bapa kita. Dari menyembah dia beserta sang Bapa, tanpa sepengetahuan kita tergelincir ke dalam penyembahan kepada Yesus alih-alih sang Bapa. Lagipula, sekalipun ketika kata “Bapa” dipakai dalam doa, sebenarnya Kristuslah yang dimaksud dengan istilah itu. Pembenaran atas hal ini diklaim dari kitab Yesaya (Yes 9:5, “Bapa Yang Kekal”), sedangkan perintah Yesus untuk tidak menyebut seorang pun selain Allah sendiri

sebagai “Bapa” (Mat.23:9: “karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di surga”), seperti biasanya, tidak diindahkan.

“Misteri Kristus”, Berkat atau Kutuk—bergantung pada

sikap seseorang

Sebenarnya ada berbagai aspek dari misteri Kristus; sebuah realitas yang rumit dan tidak sederhana. Satu aspek melibatkan prinsip bahwa realitas yang sama itu dapat menjadi berkat atau kutuk bergantung pada sikap seseorang terhadap realitas itu. Jadi, 2Korintus 2:15-16, “Sebab bagi Allah kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa. Bagi yang terakhir kami adalah bau kematian yang mematikan dan bagi yang pertama bau kehidupan yang menghidupkan”—aroma Kristus yang sama membawa hidup kepada seseorang dan kematian kepada yang lain. Di Lukas 20:17 batu penjuru tersebut (di ay.18) menjadi penyebab kehancuran bagi mereka yang menolaknya dan mereka yang jatuh di bawah penghakiman. Dengan cara yang sama “misteri Kristus” termasuk kenyataan luar biasa bahwa ia dapat menjadi keselamatan bagi sebagian orang dan kebinasaan bagi yang lain. Oleh karena itu, konsekuensi dari menyalahtafsirkan “misteri” tersebut adalah sangat serius; ini adalah soal hidup dan mati.

Prinsip umum bahwa berkat dapat menjadi kutuk juga terlihat dari prinsip, “Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut” (Luk.12:48). Banyak diberi adalah suatu berkat, tetapi menyalahgunakan berkat akan mendatangkan penghakiman. Dan semakin besar berkatnya, semakin berat penghakimannya jika berkat itu disalahgunakan. Berkat paling besar yang pernah diberikan kepada manusia adalah “karunia-Nya yang tak terkatakan itu” (2Kor.9:15)—Kristus. Menyalahgunakan karunia

ini juga akan membawa konsekuensi-konsekuensi yang tak terkatakan.

Kitab Suci menerangkan bahwa Yesus adalah jalan kepada Allah, bukan destinasi, yaitu Allah Sendiri. Yesus adalah sarana, bukan sasaran. Jika sekarang kita menjadikan dia sasaran ketimbang sarana, maka kita telah menyimpangkan tujuan Allah, dan berkat Kristus akan menjadi kutuk. Dengan menjadikan Kristus setara dengan sang Bapa dalam pengertian trinitaris, dengan menjadikan dia “sekutu” Allah, berarti menganut dwiteisme atau triteisme, dan dengan demikian pemujaan berhala, yang mengakibatkan terkena kutukan Allah. TUHAN telah memberi peringatan, “Jangan ada padamu allah lain di hadapan {atau di samping}-Ku” (Kel.20:3; Ul.5:7); kita mengabaikannya dengan harga kekal yang tinggi.

Yesus sendiri mengajar murid-muridnya untuk mengabdi sepenuhnya kepada “Allah yang Esa” (Yoh.5:44; Mrk.12:29,30), tetapi kita (umat Kristen) memilih untuk menyembah Yesus sebagai Allah! Siapa saja yang mempelajari ajaran Yesus dengan cermat akan menyadari bahwa hal itu akan membuatnya merasa sangat ngeri. Jika kita berpegang pada monoteisme Alkitabiah dan menyembah hanya Allah saja maka kita akan sejalan dengan ajaran Yesus, dan kita pasti tidak akan berada di jalan yang salah dan menuju ke arah yang salah, ke arah bencana rohani.

Semua ini berarti bahwa dalam hikmat dan maksud Allah, Kristus adalah sarana yang dipakai Allah untuk memisahkan domba dari kambing, orang percaya yang sejati dari yang palsu. Sebenarnya, di Perumpamaan Domba dan Kambing, Kristus menjadi patokan yang dipakai untuk memisahkan domba dan kambing dan sekaligus orang yang memisahkan mereka berdasarkan patokan itu (Mat.25:31-46). Perumpamaan tersebut berbicara dari segi tindakan-tindakan praktis, tetapi intinya iman adalah “iman yang bekerja oleh kasih” (Gal 5:6) dan bukan hanya suatu keyakinan intelektual atau abstrak.