• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh faktor keturunan terhadap proporsi tubuh anak. The affect of ethnic origin to the differences in children s body proportion

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengaruh faktor keturunan terhadap proporsi tubuh anak. The affect of ethnic origin to the differences in children s body proportion"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh faktor keturunan terhadap proporsi tubuh anak

The affect of ethnic origin to the differences in children’s body

proportion

Myrtati D. Artaria

Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Airlangga

Jalan Airlangga 4-6 Surabaya 60286, Indonesia, E-mail: myrtati@gmail.com, myrtati.artaria@fsip.unair.ac.id

Abstract

Differences in body proportion is closely related to the status of socioeconomic, because the growth of the lower limb is affected by nutrition intake during childhood. This research aimed to study the differences in body proportion between Javanese in Malang and Cape Coloured in South Africa, because they both has Asian blood, mixture with the local people in the past. Anthropometric measurements were conducted in 891 Javanese boys, 1175 Javanese girls, 292 high socio-economic status Cape Coloured boys, 282 low economic status Cape Coloured boys, 330 high socio-economic status Cape Coloured girls, and 289 high socio-socio-economic status Cape Coloured girls. The anthropometric measurements were height, trunk length, lower limb length, and shoulder breadth. The results showed that the ancestry/ ethnic groups signified the differences in body proportion. Socio-economic differences was not the only factor affecting the differences in body proportion.

Keywords: body proportion, ancestry, socio-economic status, anthropometry, ethnic group

Abstrak

Perbedaan proporsi tubuh juga berkaitan dengan perbedaan status sosial-ekonomi, karena pertumbuhan tungkai bawah dipengaruhi sangat besar oleh nutrisi. Penelitian ini bertujuan meneliti bagaimana perbedaan proporsi tubuh antara suku bangsa Jawa yang nenek moyangnya merupakan ras Mongoloid dibandingkan dengan suku bangsa Cape Coloured yang mempunyai darah Asia juga. Metode pengukuran antropometris digunakan pada 891 anak laki-laki Jawa dan 1175 anak perempuan Jawa, 292 anak laki-laki sosial-ekonomi atas dan 282 anak laki-laki sosial-ekonomi bawah, 330 anak perempuan sosial-ekonomi atas, dan 289 anak perempuan sosial-ekonomi bawah dari etnis Cape Coloured (Afrika Selatan). Pengukuran dilakukan pada tinggi badan (b-v), panjang togok (b-sst), dan panjang tungkai bawah (b-sy), dan lebar bahu (a-a). Hasil ukuran dianalisis menggunakan statistik untuk mengetahui rata-rata (mean ) dan kemudian dianalisis berdasarkan garis grafik ketiga sampel yang diplot bersama-sama. Apabila didapati data dari international Growth Reference (data NHANES), maka data NHANES juga diplot bersama-sama data dari Kota Malang dan Cape Coloured. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak hanya perbedaan status sosial-ekonomi, tetapi juga perbedaan keturunan, mempunyai andil terhadap proporsi tubuh yang berbeda antara kelompok sampel yang diteliti.

Kata kunci: proporsi tubuh, keturunan, antropometri, etnis, SES

Perbedaan proporsi tubuh telah dikenal dalam literatur (Martorell et al. 1988), bahwa ada perbedaan antara populasi satu dengan yang lain, khususnya yang berjauhan secara geografis sehingga mempunyai gene pool yang berbeda (Wagne & Heyward 2000).

(2)

nenek moyang manusia terhadap iklim (Johnston et al. 1982). Manusia yang beradaptasi pada daerah tropis mempunyai tungkai dan tangan yang panjang relatif terhadap togok, seperti misalnya ras Negroid. Sementara itu, manusia yang nenek moyangnya beradaptasi pada daerah dingin mempunyai tungkai dan kaki cenderung pendek, seperti misalnya ras Mongoloid (Brace 1963). Perbedaan proporsi tubuh juga berkaitan dengan perbedaan status sosial-ekonomi (Vercellotti et al. 2011), karena pertumbuhan tungkai bawah dipengaruhi sangat besar oleh nutrisi.

Penelitian mengenai perbedaan proporsi tubuh ini mempunyai kegunaan dalam beberapa hal, misalnya dalam menentukan pembinaan atlet untuk jenis olah raga tertentu (Ackland et al. 2012), untuk rekonstruksi tinggi badan dalam kasus-kasus forensik (Hauser et al. 2005), juga untuk menentukan ukuran yang pas berkaitan dengan ergonomis benda-benda yang digunakan sehari-hari (Kroemer & Kroemer 1997).

Dikatakan oleh Eveleth & Tanner (1976), Brace (1996), Norgan (1994), Davivongs (1993) serta Farrally & Moore (1975) bahwa, panjang tungkai di dunia bervariasi, di mana rata-rata tungkai terpanjang dimiliki oleh ras Australoid, yang tinggal di Indonesia timur dan Australia; berbeda dari ras Negroid. Kemudian, tungkai dengan proporsi terpendek relatif terhadap togok adalah Mongoloid.

Selain perbedaan antar ras, proporsi tubuh juga ditentukan oleh status gizi sewaktu masih dalam tahap pertumbuhan tungkai bawah (Garn & Rohmann 1966). Perbedaan antara seseorang yang mempunyai tubuh tinggi dan seseorang yang mempunyai tubuh pendek pada dasarnya adalah terletak pada perbedaan panjang tungkai bawah. Dengan demikian menarik untuk meneliti bagaimana panjang tungkai pada anak -anak di Jawa yang merupakan ras Mongoloid subras Deuteromalayid dari kalangan sos ial-ekonomi (sosek) atas dibandingkan dengan suku bangsa Cape Coloured baik dari sosial -ekonomi (sos-ek) atas maupun bawah.

Proporsi tubuh yang berakibat pada kesan terhadap penampilan tubuh juga dipengaruhi oleh lebar bahu si individu. Tubuh yang terlihat tegap biasanya mempunyai rata-rata lebar bahu yang besar. Robustisitas yang bervariasi pada populasi manusia diperkirakan ada keterkaitan dengan adaptasi nenek-moyang terhadap iklim (Eveleth 1966).

Berdasarkan hal tersebut di atas menarik untuk mengetah ui bagaimana perbedaan proporsi tubuh antara suku bangsa Jawa yang nenek moyangnya merupakan ras Mongoloid dibandingkan dengan suku bangsa Cape Coloured yang mempunyai darah Asia juga, namun kemungkinan besar telah bercampur dengan suku bangsa di Afrika yang termasuk ke dalam ras Negroid. Penelitian ini akan menganalisis bagaimana dua suku bangsa yang sama-sama mempunyai darah Mongoloid.

Metode

Metode penelitian yang digunakan adalah pengukuran antropometris yang mana data dikumpulkan dari 891 anak laki-laki Jawa dan 1175 anak perempuan Jawa, lalu data Cape Coloured terdiri dari 292 anak laki sosial-ekonomi atas dan 282 anak laki-laki sosial-ekonomi bawah, 330 anak perempuan sosial-ekonomi atas, dan 289 anak

(3)

yang kebanyakan muridnya berasal dari kalangan sosial -ekonomi atas. Data juga dipilih berdasar informasi mengenai status sosial-ekonomi orang tua si anak sekolah.

Data anak-anak Cape-Coloured diambil di Afrika Selatan. Data tersebut dipisahkan menjadi dua status sosial-ekonomi, yaitu status sosial-ekonomi atas dari data urban Cape Coloured dan data sosial-ekonomi bawah berasal dari rural Cape Coloured.

Data sekunder diambil dari penelitian Henneberg & Louw tahun 1995. Data dalam penelitian ini juga dibandingkan dengan referensi tumbuh kembang yang sering dijadikan sebagai referensi acuan untuk tumbuh kembang anak, yaitu data NHANES yang berasal dari AS.

Pengukuran dilakukan pada bagian-bagian tubuh sebagai berikut: tinggi badan (b-v), panjang togok (b-sst), dan panjang tungkai bawah (b-sy), dan lebar bahu (a-a). Ukuran-ukuran tersebut sesuai dengan buku pegangan yang ditulis oleh Martin -Saller (1957). Buku ini masih merupakan buku pegangan yang dipakai secara meluas oleh para antropometris, karena baku, meskipun umurnya telah ratusan tahun.

Hasil ukuran dianalisis menggunakan statistik untuk mengetahui rata -rata (mean ) dan kemudian dianalisis berdasarkan garis grafik ketiga sampel yang diplot bersama-sama. Apabila didapati data dari international Growth Reference (data NHANES), maka data NHANES juga diplot bersama-sama data dari Kota Malang dan Cape Coloured.

Hasil penelitian dan pembahasan

Rata-rata usia menstruasi pertama dari anak-anak di Jawa dan di Cape Coloured, berdasarkan laporan penelitian yang telah ada adalah masing-masing 12.15 tahun di Malang (Artaria & Henneberg 2000), dan di urban Cape Town adalah 12.61 (Henneberg & Louw 1995).

Berdasarkan ratarata tinggi badan, terlihat bahwa pada awal tumbuh kembang, anak -anak di Kota Malang mempunyai kesamaan dengan -anak--anak sos-ek tinggi Cape Coloured, sampai dengan usia 17 tahun. Sesudahnya, tinggi badan mendekati rata -rata anak sos-ek rendah Cape Coloured (Grafik 1). Pada anak perempuan, fenomena itu juga terjadi, di mana pada awal tumbuh kembang anak-anak sekolah di Malang mempunyai rata-rata yang hampir sama dengan anak-anak sos-ek tinggi di Cape Coloured, tapi kemudian usia 15 tahun mereka lebih menyerupai rata-rata tinggi badan anak-anak sos-ek rendah Cape Coloured. Ini terjadi tiga tahun setelah usia menarche. Artinya, kemungkinan besar setelah mengalami menarche, pertambahan tinggi badan mulai menurun, sementara pada anak Cape Coloured masih belum menurun, sehingga akhirnya rata-rata tinggi badan dewasa lebih menyerupai sos-ek rendah di Cape Coloured, atau bahkan mungkin jika dilanjutkan pengukurannya di usia dewasa kemungkinan rata-rata tinggi badan anak-anak kota Malang lebih rendah dari anak-anak sos-ek rendah Cape Coloured. Ini tentunya bukan disebabkan oleh kekurangan nutrisi pada anak-anak kota Malang, karena yang diukur adalah kalangan sos -ek atas; berbeda dengan kondisi sos-ek di rural Cape Coloured.

(4)

Grafik 1.

Rata-rata tinggi badan pada anak laki di Kota Malang dibandingkan dengan anak laki-laki Cape Coloured, dan data dari AS (NHANES)

800 900 1000 1100 1200 1300 1400 1500 1600 1700 1800 1900 2000 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Age (years) mm Java NHANES Urban Cape Rural Cape 800 900 1000 1100 1200 1300 1400 1500 1600 1700 1800 1900 2000 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Age (years) mm Java NHANES Urban Cape Rural Cape

(5)

anak laki-laki Kota Malang dan anak laki-laki sos-ek rendah Cape coloured, yaitu usia 17 tahun--dua tahun sesudah usia “bertemu”nya rata-rata tinggi badan anak perempuan Kota Malang dan anak perempuan sos-ek rendah Cape coloured (Grafik 2).

Seperti dijelaskan di bagian Pendahuluan, bahwa perbedaan tinggi badan antara satu orang dengan yang lain sering disebabkan karena perbedaan panjang tungkai yang berbeda. Pagaimana dengan rata-rata panjang tungkai antara anak sekolah di Malang dan Cape Coloured? Dari data yang dianalisis ternyata perbedaan antara tinggi badan anak-anak Cape Coloured sos-ek atas dan sos-ek bawah ditunjang oleh perbedaan togok (batang badan) antara dua kelompok tersebut. Lalu, perbedaan tinggi badan antara anak -anak Kota Malang (yaitu dari sos-ek atas), dan Cape Coloured sos-ek atas juga ditunjang oleh rata-rata panjang togok yang berbeda juga di usia 17 tahun (Grafik 3). Yang menarik adalah Grafik 4, di mana di sana terlihat bahwa panjang togok antara anak-anak kota Malang (yaitu berasal dari sos-ek atas), dan anak-anak sos-ek atas Cape Coloured mempunyai rata-rata panjang togok yang serupa. Sementara itu, rata-rata panjang togok antara anak-anak sos-ek atas dan bawah terlihat begitu berbeda. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perbedaan sos-ek dapat begitu besar berpengaruh terhadap tumbuh kembang togok. Lalu, jika rata-rata panjang togok antara anak-anak perempuan dari belahan bumi yang berbeda itu begitu mirip satu sama lain, apa yang berkontribusi terhadap perbedaan rata-rata tinggi badannya? Hal ini akan dianalisis pada ukuran panjang tungkainya.

Sementara dianalisis terlebih dahulu panjang tungkai pada anak laki-laki di dua kelompok. Rata-rata panjang tungkai anak sekolah di Kota Malang telah berbeda sejak awal, yaitu pada waktu usia 7 tahun pun telah berbeda. Hal ini tentu berkontribusi sangat besar terhadap perbedaan rata-rata tinggi badan di antara mereka. Seperti terlihat pada Grafik 1, di sana meskipun rata-rata tinggi badan anak laki-laki Kota Malang lebih dekat dengan rata-rata tinggi badan anak laki-laki sos-ek tinggi Cape Coloured, tetapi rata-rata masih terletak sedikit di bawah garis rata-rata sos-ek tinggi Cape Cooured. Ketika usia 16 tahun, di mana rata-rata panjang tungkai anak laki-laki Kota Malang menyamai anak laki-laki sos-ek rendah Cape Coloured, maka usia 17 tahun rata-rata tinggi badannya pun menyamai anak-anak sos-ek rendah Cape Coloured.

Pada anak perempuan, meskipun rata-rata panjang togok antara anak perempuan Kota Malang dan Cape Coloured mempunyai garis yang berhimpitan atau hampir sama (Grafik 4), tetapi rata-rata panjang tungkainya memperlihatkan bahwa tungkai anak perempuan di Kota Malang tidak sepanjang tungkai anak perempuan sos -ek tinggi Cape Coloured (Grafik 6). Rata-rata panjang tungkai anak perempuan Kota Malang terletak di antara anak perempuan sos-ek atas dan sos-ek bawah Cape Coloured. Pada usia 13 tahun, rata-rata panjang tungkai anak perempuan Kota Malang telah menyamai anak perempuan sos-ek bawah Cape Coloured.

(6)

Grafik 3.

Rata-rata panjang togok pada anak laki-laki Kota Malang dan Cape Coloured

Grafik 4.

Rata-rata panjang togok pada anak perempuan Kota Malang dan Cape Coloured

250 300 350 400 450 500 550 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Age (years) mm Java Urban Cape Rural Cape 250 300 350 400 450 500 550 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Age (years) mm Java Urban Cape Rural Cape

(7)

Grafik 5.

Rata-rata panjang tungkai anak laki-laki di Kota Malang dan Cape Coloured

Grafik 6.

Rata-rata panjang tungkai anak perempuan di Kota Malang dan Cape Coloured

300 400 500 600 700 800 900 1000 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Age (years) mm Java Urban Cape Rural Cape 300 400 500 600 700 800 900 1000 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Age (years) mm Java Urban Cape Rural Cape

(8)

Grafik 7.

Lebar bahu anak laki-laki di Kota Malang dan Cape Coloured

Grafik 8. 150 200 250 300 350 400 450 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Age (years) mm Java Urban Cape Rural Cape 150 200 250 300 350 400 450 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Age (years) mm Java Urban Cape Rural Cape

(9)

laki Kota Malang masih kalah kekar. Dapat dikatakan bahwa per bedaan antara urban Cape Coloured dan rural Cape Coloured disebabkan oleh karena perbedaan kualitas hidup yang tercermin dari status sosial-ekonomi mereka, yang kemungkinan besar berdampak pada kurangnya kualitas nutrisi dan tingginya tingkat stress anak -anak di sos-ek rendah Cape Coloured. Sementara itu, perbedaan antara anak laki -laki Kota Malang dan anak laki-laki urban Cape Coloured lebih disebabkan karena perbedaan

origin, karena mereka mempunyai status sos-ek yang setara.

Pada Grafik 8 juga dapat dilihat fenomena yang sama, di mana anak perempuan Kota Malang mempunyai rata-rata lebah baru yang berada di antara sos-ek tinggi dan sos-ek rendah Cape Colored sampai usia 15 tahun, di mana usia 16 tahun mereka mempunyai rata-rata lebar bahu yang sama dengan sos-ek rendah Cape Coloured.

Simpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dua etnis yang berbeda, yaitu Jawa di Kota Malang dan Cape Coloured di urban serta rural Cape Town, mempunyai perbedaan ukuran-ukuran tubuh di usia setelah puber. Pola tumbuh kembang antara kedua etnis tersebut menunjukkan bahwa anak-anak sekolah yang berasal dari sos-ek tinggi di Kota Malang mempunyai tubuh yang tidak setinggi dan sekekar anak-anak dari sos-ek tinggi Cape Coloured. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan origin, karena meskipun anak-anak Cape Coloured mempunyai darah Mongoloid, tetapi mereka telah hidup lama di Afrika dan telah bercampur dengan penduduk setempat.

Perbedaan status sos-ek antara urban dan rural Cape Coloured telah menyebabkan perbedaan ukuran tinggi badan, panjang togok, panjang tungkai, maupun lebar bahu; yang tercermin dari “gap” pada grafik rata-rata ukuran di semua kelompok umur, dari umur 6 sampai 19 tahun. Penelitian ini membuktikan bahwa perbedaan sos -ek juga dapat berpengaruh pada perbedaan ukuran togok. Meskipun telah dikenal luas bahwa perbedaan tinggi badan antar individu disebabkan kebanyakan oleh perbedaan panjang tungkai kaki, tetapi perbedaan panjang togok (meskipun tidak sebesar perbedaan panjang tungkai kaki) juga pada akhirnya berkontribusi pada tinggi b adan. Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa tidak hanya perbedaan status sos-ek, tetapi juga perbedaan keturunan, mempunyai andil terhadap perbedaan proporsi tubuh antar kelompok sampel yang diteliti di penelitian ini.

Ucapan terima kasih

Peneliti mengucapkan terima kasih terhadap Prof Henneberg yang telah memberi akses pada penelitian tumbuh-kembang di Afrika Selatan. Ucapan terima kasih juga untuk para Kepala Sekolah di Kota Malang yang telah menerima peneliti untuk mengukur anak didiknya.

Daftar pustaka

Ackland TR, Lohman TG, Sundgot-Borgen J, Maughan RJ, Meyer NL, Stewart AD & Muller W (2012) Current status of body composition assessment in sport: review and position statement on behalf of the ad hoc research working group on body composition health and performance, under the auspices of the IOC Medical Commission.

Artaria MD & Henneberg M (2000) Why did they lie? Socio-economic bias in reporting menarcheal age. Annals of Human Biology 27(6):561-569.

(10)

honor of Ashley Montagu in his ninetieth year 106-41.

Davivongs V (1963) The femur of the Australian Aborigine. American Journal of Physical Anthropology 21(4) 457-467.

Eveleth PB & Tanner JM (1976) Worldwide variation in human growth (No. 8). CUP Archive.

Eveleth PB (1966) The effects of climate on growth.. Annals of the New York Academy of Sciences 134(2) 750-759.

Farrally MR & Moore WJ (1975) Anatomical differences in the femur and tibia between Negroids and Caucasoids and their effects upon locomotion.American Journal of Physical Anthropology, 43(1) 63-69.

Garn SM & Rohmann C (1966) Interaction of nutrition and genetics in the timing of growth and development. Pediatr Clin North Am 13 353-379.

Hauser R, Smoliński J & Gos T (2005) The estimation of stature on the basis of measurements of the femur. Forensic Science International 147(2) 185-190.

Henneberg M, and Louw GJ (1995) Average menarcheal age of higher socioeconomic status urban Cape coloured girls assessed by means of status quo and recall methods. Am J Phys Anthropol 96:1-5.

Johnston FE, Ensroth AE, Laughlin WS, & Harper AB (1982) Physical growth of St. Lawrence Island Eskimos: body size, proportion, and composition. American Journal of Physical Anthropology 58(4), 397-401.

Kail RV & Cavanaugh JC (2010) Human Development: A Lifespan View (5th ed.). Cengage Learning. p. 296.ISBN 0495600377.

Kroemer KH & Kroemer HJ (1997) Engineering physiology: Bases of human factors/ergonomics. John Wiley & Sons.

Martin R & Saller K (1957); Lehrbuch der Anthropologie. New York: Gustav Fischer. Martorell R, Malina RM, Castillo RO, Mendoza FS, & Pawson IG (1988) Body proportions

in three ethnic groups: children and youths 2-17 years in NHANES II and HHANES. Human Biology 205-222.

Norgan NG (1994) Interpretation of low body mass indices: Australian aborigines. American Journal of Physical Anthropology 94(2) 229-237.

Vercellotti G, Stout SD, Boano R, & Sciulli PW (2011) Intrapopulation variation in stature and body proportions: social status and sex differences in an Italian medieval population (Trino Vercellese, VC). American Journal of Physical Anthropology 145(2), 203-214. Wagner DR & Heyward VH (2000) Measures of body composition in blacks and whites: a

Gambar

Grafik 8. 1502002503003504004505678910111213 14 15 16 17 18 19 20Age (years)mmJavaUrban CapeRural Cape150200250300350400450567891011121314151617181920Age (years)mmJavaUrban CapeRural Cape

Referensi

Dokumen terkait

Hasil perhitungan yield biodiesel yang diperoleh dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel L2.3 dan Tabel L2.4.. Tabel L2.3 Data Pengaruh Berat Katalis terhadap Yield

Kesimpulan Dari seluruh proses penelitian yang telah penulis lakukan mengenai Implementasi Penanaman Nilai-nilai Moral dan Kemandirian Sosial di Sekolah Dasar Plus Qurrota

Periode revolusi adalah waktu yang diperlukan planet mengitari matahari satu kali putaran. KU KS 21 Maret 21 Juni 23 September

Nomor : 027/ 01 /sosnakertrans/2013 Tanggal : 14 Januari 2013 Pengguna Anggaran (PA) Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sanggau. Alamat Jl. Sutan Syahrir

Perlu ada upaya untuk pengembangan kurikulum yang berdasarkan kepada penerapan model hermeneutika Gadamer dalam pembelajaran sejarah dengan kajian fenomenologi

Hal yang sama terjadi pula di Aceh dengan pembentukan propinsi (1959) mempunyai status istemewa, sesuai dengan keinginan orang Aceh sendiri, untuk

mungkin tidak memerlukan informasi mengenai loka- si QTL secara sangat akurat, sepanjang QTL yang akan digunakan memiliki efek yang sangat besar dan dapat diintrogresikan