• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STATUS KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH PADA SATUAN RUMAH SUSUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II STATUS KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH PADA SATUAN RUMAH SUSUN"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

STATUS KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH PADA SATUAN RUMAH SUSUN

A. Persyaratan dan Pengertian Rumah Susun

Dalam UURS, Pasal 1 menyebutkan bahwa yang diartikan dengan rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan dan terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal yang merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk hunian yang dilengkapi dengan bagian-bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.

Sementara itu, pengertian Hak Milik Satuan Rumah Susun / HMSRS adalah hak milik atas satuan rumah susun yang bersifat perorangan dan terpisah. Selain pemilikan atas SRS, HMSRS yang bersangkutan juga meliputi hak pemilikan bersama atas apa yang disebut “bagian bersama”, “tanah bersama”, dan “benda bersama”, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pemilikan SRS bersangkutan (Pasal 8 (2) dan (3) UURS).

Macam-macam rumah susun di Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga)45 yaitu sebagai berikut.

a. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara

(2)

fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satu satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.

b. Apartemen adalah kepemilikan bersama, bangunan yang terdiri dari beberapa unit untuk tempat tinggal. Biasanya dikonsumsi oleh masyarakat konsumen menengah ke atas.

c. Condominium, adalah milik bersama, daerah yang dikuasai bersama-sama,

gedung bertingkat.46

Semua pembangunan rumah susun, apartemen, condominium, tersebut di atas, termasuk flat, town house (pembangunan secara vertikal) semuanya mengacu kepada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun sebagai dasar hukum pengaturannya. Hal ini disebabkan dalam bahasa hukum semuanya disebut rumah susun dan saat ini belum ada ketentuan yang secara khusus mengatur tentang apartemen dan condominium. Di samping itu, rusun, apartemen, dan condominium memiliki kesamaan dalam fungsi dan pendefinisian hak dan kewajiban pemilik unitnya dalam kerangka strata title sehingga saat ini semuanya menggunakan UU rusun sebagai acuan. Perbedaan utama dari ketiganya adalah dari segi kelas atau tingkat kemewahan antara lain dalam aspek luas ruang-ruang di dalam unit, bahan banguna yang digunakan, jenis dan kecanggihan fasilitas (bagian bersama dan benda

46 Elmaliza, Kepemilikan Bersama Terhadap Tanah Pertapakan Atas Bangunan Rumah

Susun Yang Dikuasai Dengan Sistem Strata Title, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

(3)

bersama) yang tersedia yang semuanya akan mempengaruhi harga jual dan otomatis juga menentukan segmentasi dari pembeli unit property tersebut.

Berdasarkan tiga jenis rumah susun di atas, banyak orang menganggap bahwa yang dimaksud rumah susun adalah sebatas pengertian Rusuna sedangkan rumah susun mewah bukan termasuk pengertian rumah susun.

Pembangunan rumah susun berlandaskan pada asas kesejahteraan umum, keadilan, dan pemerataan serta keserasian dan keseimbangan dalam perikehidupan.

Menurut Pasal 2 dan 3 UURS, tujuan pembangunan rumah susun antara lain sebagai berikut.

a. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya.

b. Meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian Sumber Daya Alam dan menciptakan lingkungan pemukiman yang lengkap, serasi dan seimbang.

Menurut Arie S. Hutagalung,47 arah kebijaksanaan rumah susun sebagaimana tercantum dalam UURS berisi 3 (tiga) unsur pokok, yaitu sebagai berikut.

1. Konsep tata ruang dan pembangunan perkotaan dengan mendayagunakan tanah secara optimal dan mewujudkan pemukiman dengan kepadatan tinggi.

2. Konsep pengembangan hukum dengan menciptakan hak kebendaan baru, yaitu SRS yang dapat dimiliki secara perseorangan dengan pemilikan bersama atas

(4)

benda, bagian dan tanah dan menciptakan hukum baru yaitu Perhimpunan Penguhi, yang dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya dapat bertindak ke luar dan ke dalam atas nama pemilik SRS.

3. Konsep pembangunan ekonomi dan kegiatan usaha, dengan dimungkinkannya kredit konstruksi dengan pembeban hipotik atau fidusia atas tanah beserta gedung yang masih akan dibangun.

Berdasarkan arah kebijaksanaan tersebut di atas, tujuan pembangunan rumah susun menurut Hutagalung yaitu untuk 48:

1. Pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat; 2. Mewujudkan pemukiman yang serasi, selaras, dan seimbang;

3. Meremajakan daerah-daerah kumuh;

4. Mengoptimalkan sumber daya tanah perkotaan;

5. Mendorong pemukiman yang berkepadatan penduduk.

Dalam Pasal 5 (2) UURS disebutkan bahwa pembangunan rumah susun dapat diselenggarakan oleh :

1. BUMN/BUMD; 2. Koperasi;

3. Badan Usaha Milik Swasta; 4. Swadaya masyarakat;

5. Kerjasama antar badan-badan tersebut sebagai penyelenggara.

(5)

Yang dimaksud BUMN/BUMD adalah badan hukum yang modalnya seluruh atau sebagian milik negara, yaitu Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah (Pemda), antara lain : Perusahaan Daerah, Perusahaan Umum, Persero. Sebaliknya, yang dimaksud Badan Usaha Milik Swasta adalah BUM Swasta yang modalnya modal nasional, BUM Swasta yang modalnya campuran asing dan nasional, dan BUM Swasta yang 100% modal asing. Sepanjang BUM Swasta tersebut memenuhi syarat sebagai Badan Hukum Indonesia, Developer wajib memberitahukan hal-hal yang menjadi kewajiban calon pemilik SRS sebelum dijual.

Dengan lahirnya Perpres No. 23 Tahun 2006 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, Rumah Susun Sederhana telah dimasukkan sebagai salah satu bidang pembangunan untuk kepentingan umum. Pemerintah/Pemda dapat melakukan pencabutan hak atas tanah milik masyarakat untuk membangun Rusuna (Pasal 2 (1.b) Jo Pasal 5 (e), dimana pencabutan hak tersebut akan dilakukan berdasarkan UU No. 20 Tahun 1961 tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.

Selanjutnya, penyelenggara pembangunan rumah susun (BUMN-Perumnas/BUM Swasta) seyogianya harus mengetahui hak-hak atas tanah yang boleh dibangunnya (Pasal 7 UURS), yaitu : Hak Milik, HGB, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan.

Pembangunan rumah susun harus memenuhi berbagai persyaratan teknis dan administratif yang ditetapkan dalam Pasal 6 UURS Jo. PP No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun. Pembangunan rumah susun memerlukan persyaratan teknis dan

(6)

administratif yang lebih berat karena rumah susun memiliki bentuk dan keadaan khusus yang berbeda dengan perumahan biasa. Rumah susun merupakan gedung bertingkat yang akan dihuni banyak orang sehingga perlu dijamin keamanan, keselamatan, dan kenikmatan dalam penghuninya.

Dalam penjelasan Pasal 6 UURS, persyaratan teknis antara lain mengatur tentang ruang, struktur, komponen dan bahan bangunan, SRS, bagian dari benda bersama, kepadatan dan tata letak bangunan, dan prasarana dan fasilitas lingkungan.

Adapun persyaratan administratif yang dimaksud adalah izin lokasi (Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lahan (SP3L) dan Surat izin Peruntukan Penggunaan Tanah (SIPPT), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), izin layak huni, dan sertifikat tanahnya).

Berdasarkan persyaratan administratif tersebut, pembangunan rumah susun dan lingkungannya harus dilaksanakan berdasarkan perizinan yang dikeluarkan Pemda setempat.

Perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia baik itu sebagai tempat tinggal, usaha perkantoran, usaha berjualan dan lain sebagainya. Namun demikian tidak semua masyarakat dapat menikmati dan memiliki rumah yang layak, sehat, aman dan serasi, terutama di daerah perkotaan yang berpendudukan padat. Kita semua mengetahui bahwa untuk mencari rumah yang layak diperkotaan sangatlah sulit hal ini disebabkan karena keterbatasan tanah. Oleh karena keterbatasan tanah tersebut, maka pemerintah mengambil langkah dan tindakan membangun perumahan secara vertikal yang dikenal dengan Rumah Susun (RS) yang tidak membutuhkan

(7)

lahan/tanah yang luas. Menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 yang berbunyi sebagai berikut :

“Rumah susun adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.”49

Jadi rumah susun merupakan suatu pengertian yuridis dari pada bangunan gedung bertingkat, yang senantiasa mengandung pemilikan perseorangan/individual dan hak bersama, yang penggunaannya untuk hunian, secara mandiri ataupun secara terpadu sebagai satu kesatuan sistem pembangunan.

Disamping Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun. Dalam penjelasan umum dari Peraturan Pemerintah ini disebutkan bahwa untuk pelaksanaan dari Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang rumah susun, yang memberikan aturan penerapan dalam rangka memecahkan semua permasalahan hukum yang mengandung “Sistem pemilikan perseorangan dan hak bersama (condominium), baik terhadap rumah susun sebagai tempat hunian dan bukan hunian, baik yang telah dibangun atau diubah peruntukannya maupun sebagai landasan bagi pembangunan baru.50

Peraturan Pemerintah ini lebih banyak mengarah kepada pengaturan teknis pelaksanaan rumah susun sampai kepada syarat-syarat susun tersebut, izin layak huni.

49 Ibid, Pasal 1 angka 1

(8)

Menurut Oloan Sitorus dan Balans Sebayang ada 3 (tiga) bentuk sistem pemilikan, yaitu :

a. Sistem pemilikan perseorangan

b. Sistem pemilikan bersama yang terikat

c. Sistem pemilikan perseorangan yang sekaligus dilengkapi dengan sistem pemilikan bersama yang bebas (condominium).51

Dilihat dari ketiga kategori diatas, maka rumah susun jelas merupakan kategori sistem pemilikan ketiga, karena di dalam rumah susun terkandung sistem pemilikan perseorangan dengan hak bersama yang bebas.

Bagian dari rumah susun yang dimiliki secara perseorangan/individual disebut dengan satuan rumah susun. Satuan rumah susun dapat dimiliki secara individual. (1) Satuan rumah susun dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum yang

memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Pemilik satuan rumah susun harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah bersama yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, 36 dan 42 UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Dalam hal tanah bersama berstatus hak milik, yang dapat memiliki satuan rumah susun yang bersangkutan, terbatas pada perseorangan, Warga negara Indonesia yang tidak memiliki kewarganegaraan ganda. Khusus untuk badan-badan hukum yang dapat memiliki satuan rumah susun di atas tanah hak milik bersama, adalah badan-badan hukum yang ditunjuk oleh Peraturan

51 Oloan Sitorus dan Balans Sebayang, Kondominium dan Permasalahannya Mitra Kebijakan

(9)

Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 diantaranya Bank-Bank yang didirikan oleh negara, badan-badan sosial dan keagamaan serta koperasi pertanian yang memenuhi syarat.

(2) Hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah.52 Bahwa dalam rangka menjamin kepastian hak bagi pemilikan satuan rumah susun, diberikan alat pembuktian yang kuat berupa sertifikat hak milik atas satuan rumah susun. Sertifikat hak milik atas satuan rumah susun tersebut terdiri atas : 1. Salinan buku tanah dan surat ukur hak tanah

bersama menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. 2. Gambar denah tingkat rumah susun yang bersangkutan yang menunjukkan

satuan rumah susun yang dimiliki. 3. Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama yang bersangkutan.

Hak milik atas satuan rumah susun yang dimaksud dalam Pasal 8 UURS tersebut meliputi hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama, yang kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan rumah susun yang bersangkutan.

Adapun yang disebut dengan bagian bersama dalam bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan rumah susun. Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian dari rumah susun, tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama, seperti taman, tempat parkir, tempat bermain dan tempat ibadah

(10)

yang sifatnya terpisah dari struktur bangunan rumah susun. Sedangkan tanah bersama dalam tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang diatasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan lain izin bangunan. Guna memberikan kedudukan atau sebagai dasar untuk memberikan kedudukan sebagai benda tak bergerak yang dapat menjadi objek pemilikan serta untuk memberikan landasan bagi sistem pemilikan atas satuan rumah susun diwajibkan adanya pengaturan atas bagian bangunan yang masing-masing dapat dimiliki secara terpisah yang mengandung hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama, yang dikenal dengan pemisahan.53

Pemisahan tersebut menjadi kewajiban penyelenggara pembangunan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat 3 UU No. 16 tahun 1985 sebagai berikut:

“Penyelenggara pembangunan wajib memisahkan rumah susun atau satuan dan bagian-bagian dalam bentuk gambar dan uraian yang disahkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memberikan kejelasan atas :

a. Batas satuan yang dapat digunakan secara terpisah untuk perseorangan. b. Batas dan uraian atas bagian bersama dan benda bersama yang menjadi

hak masing-masing satuan.

c. Batas dan uraian tanah bersama dan besarnya bagian yang menjadi haknya masing-masing satuan.

Pemisahan tersebut dituangkan dalam suatu akta pemisahan yaitu tanda bukti pemisahan rumah susun atau satuan-satuan rumah susun, bagian bersama benda bersama dan tanah bersama dengan pertelaan yang jelas dalam bentuk gambar, uraian

53 Imam Sutikno, Beberapa Permasalahan Tentang Rumah Susun, Pelita Ilmu, Jakarta, 2007,

(11)

dan batas-batasnya dalam arah vertikal dan horizontal yang mengandung nilai proporsional (PP No. 4 Tahun 1988, Pasal 1 ayat 2).

Dalam penjelasan umum dari Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tersebut dinyatakan bahwa kebijakan umum pembangunan perumahan diarahkan untuk : a. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat,

secara adil dan merata, serta mampu mencerminkan kehidupan masyarakat yang berkepribadian.

b. Mewujudkan pemukiman yang serasi dan seimbang, sesuai dengan pola tata ruang kota dan tata daerah serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil guna.

Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun menyatakan pengaturan dan pembinaan rumah susun tersebut diarahkan untuk meningkatkan usaha pembangunan perumahan yang fungsional bagi kepentingan rakyat banyak, dengan maksud untuk :

a. Mendukung konsepsi tata ruang yang dikaitkan dengan pengembangan

pembangunan daerah perkotaan kearah vertikal dan untuk meremajakan daerah-daerah kumuh.

b. Meningkatkan optimis penggunaan sumber daya tanah perkotaan. c. Mendorong pembangunan pemukiman berkepadatan tinggi54

Sejalan dengan arah kebijaksanaan umum dan Peraturan Pemerintah tersebut, maka daerah perkotaan yang berpenduduk padat dengan jumlah tanah yang terbatas perlu dikembangkan pembangunan perumahan dan pemukiman dalam bentuk rumah susun yang lengkap, seimbang, sesuai dengan lingkungannya.

(12)

Sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 16 Tahun 1985, peraturan perundangan yang mengatur rumah susun dengan segala implikasinya belum ada. Sedangkan pembangunan rumah susun diperkirakan akan terus meningkat dikarenakan makin terbatasnya persediaan tanah / lokasi diperkotaan, sementara kebutuhan akan tempat tinggal atau tempat hunian yang sehat makin meningkat pula.

B. Hak Milik Atas Tanah Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)

Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk :

1. Hak-hak atas tanah yang bersifat primer 2. Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder

Pengertian hak-hak atas tanah yang bersifat primer adalah hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindah tangankan kepada orang lain atau ahli warisnya. Dalam UUPA terdapat beberapa hak atas tanah yang bersifat primer yaitu :55

a. Hak Milik atas tanah (HM) b. Hak Guna Usaha (HGU) c. Hak Guna Bangunan (HGB) d. Hak Pakai (HP)

(13)

Selain hak primer atas tanah di atas terdapat pula hak atas tanah yang bersifat sekunder. Pengertian hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder adalah hak-hak atas tanah yang bersifat sementara. Dikatakan bersifat sementara karena hak-hak tersebut dinikmati dalam waktu terbatas, dan dimiliki oleh orang lain. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 53 UUPA yang mengatur mengenai hak-hak atas tanah yang bersifat sementara yaitu :

a. Hak gadai

b. Hak usaha bagi hasil c. Hak menumpang

d. Hak menyewa atas tanah pertanian

Menurut Pasal 7 ayat (1) UURS Nomor 16 Tahun 1985, rumah susun hanya dapat dibangun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara atau hak pengelolaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya menurut Pasal 7 ayat (2) UURS Nomor 16 Tahun 1985

dinyatakan bahwa penyelenggaraan pembangunan yang membangun rumah susun di atas tanah yang dikuasai dengan hak pengelolaan wajib menyelesaikan status hak

guna bangunan di atas hak pengelolaan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum menjual satuan rumah susun yang bersangkutan.

Salah satu aspek yang penting dalam hukum tanah menurut UUPA adalah hubungan antara tanah dengan benda yang melekat padanya. Kepastian akan kedudukan hukum dari benda yang melekat pada tanah itu sangat penting karena menyangkut pengaruh yang sangat luas terhadap segala hubungan hukum yang

(14)

berkenaan dengan tanah dan benda yang melekat padanya. Sedangkan konsep kepemilikan hak atas tanah pada satuan rumah susun tidaklah sepenuhnya menganut asas pemisahan horizontal karena kepemilikan atas tanah pada satuan rumah susun merupakan kepemilikan bersama dari seluruh pemegang hak milik atas satuan bangunan rumah susun, bukan merupakan kepemilikan perorangan sebagaimana yang dianut dalam asas pemisahan horizontal dalam UUPA tersebut.

C. Hak Milik Atas Tanah Pada Satuan Rumah Susun Berdasarkan Undang-Undang Rumah Susun

Menurut Pasal 8 ayat (1) UURS Nomor 16 Tahun 1985, satuan rumah susun dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Pasal 8 ayat (2) UURS Nomor 16 Tahun 1985 menyatakan hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Pasal 8 ayat (3) UURS Nomor 16 Tahun 1985 menegaskan bahwa hak milik atas satuan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama, yang semuanya menyatakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan. Pasal 8 ayat (4) UURS Nomor 16 Tahun 1985 menegaskan hak atas bagian bersama, benda bersama dan hak atas tanah bersama didasarkan atas luas atau nilai satuan rumah susun yang bersangkutan pada waktu satuan tersebut diperoleh pemiliknya yang pertama.

Pasal 10 ayat (1) UURS Nomor 16 Tahun 1985 menyatakan hak milik atas satuan rumah susun yang meliputi hak atas bagian bersama, benda bersama, dan

(15)

tanah bersama dapat beralih dengan cara pemindahan hak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pasal 10 ayat (2) UURS Nomor 16 Tahun 1985, pemindahan hak satuan rumah susun tersebut dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dan didaftarkan pada Kantor Agraria Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan menurut peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960.

D. Status Kepemilikan Hak Atas Tanah pada Satuan Rumah Susun Berdasarkan KUH Perdata

HMSRS merupakan suatu lembaga baru hak kebendaan yang diperkenalkan melalui UURS. Menurut UURS, HMSRS ini bersifat perorangan dan terpisah. Selain pemilikan atas SRS, HMSRS yang bersangkutan meliputi juga hak pemilikan bersama atas apa yang disebut “bagian bersama”, “tanah bersama”, dan “benda bersama”, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan SRS yang bersangkutan. Oleh karena pemilik SRS meliputi atas tanah bersama, SRS hanya dapat dimiliki perorangan/badan hukum yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah bersama (Pasal 8 UURS). Pemisahan hak dan batas pemilikan atas SRS tersebut telah diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya, yaitu Pasal 38 dan 41 PP No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun. HMSRS ini bukan merupakan hak kebendaan atas tanah sebagaimana yang diatur dalam UUPA tersebut di atas.

Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara terpisah untuk pemakaian bersama dalam satu kesatuan fungsi dengan SRS. Misalnya

(16)

kolom-kolom, tangga, atap, jalan keluar-masuk dari rumah susun, ruangan untuk umum, pondasi dan lain-lain. Bagian bersama ini tidak dapat dimanfaatkan sendiri oleh pemilik SRS karena merupakan hak bersama para pemilik SRS.

Tanah bersama adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara terpisah, yang di atasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batas-batasnya dengan persyaratan izin bangunan. Pasal 7 UURS menetapkan bahwa rumah susun hanya dapat dibangun di atas tanah Hak Milik, HGB, Hak Pakai atas tanah Negara, atau Hak Pengelolaan. Hak atas tanah bersama ini sangat menentukan dapat tidaknya seseorang/badan hukum memiliki SRS. Benda bersama adalah benda-benda yang bukan merupakan bagian dari rumah susun melainkan dimiliki bersama serta tidak terpisahkan untuk pemakaian bersama. Misalnya taman, fasilitas olah raga dan rekreasi, alat pemadam kebakaran, jaringan air bersih, listrik, gas atau telepon, saluran pembuangan limbah/hujan/sampah, lift/eskalator, dan lain-lain.

Menurut Imam Kuswahyono56, sistem pemilikan atas suatu gedung bertingkat dapat dibagi 2 (dua), yaitu :

1. Pemilikan tunggal (single ownership); 2. Pemilikan bersama (multi ownership).

Pemilikan tunggal dilihat dari pemilikan tanah tempat gedung bertingkat itu berdiri sehingga pemegang sertifikat juga merupakan pemilik gedung.

56 Imam Kuswahyono, Hukum Rumah Susun, Bayumedia Publishing, Malang, Jatim, Agustus

(17)

Adapun sistem pemilikan bersama dibagi dua dengan melihat adanya atau tidaknya ikatan hukum yang lebih dulu ada diantara pemilik gedung bertingkat itu, yaitu sebagai berikut.

1. Pemilik bersama yang terikat, dasar utamanya adanya ikatan hukum lebih dahulu antara pemilik. Dasar pengaturannya Permendagri No. 14 Tahun 1975.

2. Pemilikan bersama yang bebas, yaitu antara para pemilik tidak ada hubungan hukum lebih dahulu selain hak bersama menjadi pemilik untuk dipergunakan bersama. Dasar pengaturannya UURS juncto PP No. 4 Tahun 1988 tentang rumah susun. Sistem pemilikan bersama yang bebas inilah yang dikenal sebagai kondominium.

Dengan demikian, kepemilikan hak atas tanah pada SRS di dalam kerangka hukum benda mengacu kepada sistem kondominium sebagaimana yang diatur dalam buku II KUHPerdata, dimana terdapat pemilikan individual atas SRS yang merupakan hak penghuni. Di samping itu terdapat hak kepemilikan bersama atas tanah dimana bangunan tersebut terletak (common areas) dan hak milik bersama atas sarana-sarana bangunan (common elements).

Menurut Pasal 6 dan 77 PP No. 4 Tahun 1988 tentang rumah susun menyatakan bahwa :

SRS dapat berada pada permukaan tanah, di atas tanah, di bawah permukaan tanah, sebagian di bawah dan sebagian lagi di atas permukaan tanah. SRS harus mempunyai hubungan langsung keluar atau mempunyai penghubung ke jalan umum.

(18)

Pasal 7 (1)

Status sertifikat dapat diberikan kepada setiap orang sebagai sertifikat kepemilikan unit. Corporation akan memberikan sertifikat dalam tempo 10 hari setelah pembayaran kepada perusahaan.

Apabila dibandingkan dengan negara-negara lain di luar negeri, menurut Arie S. Hutagalung, istilah “strata title” lebih memungkinkan adanya kepemilikan

bersama secara horizontal di samping pemilikan secara vertikal. Hal senada juga disampaikan Maria SW Sumardjono, bahwa57 Strata title adalah suatu sistem yang memungkinkan pembagian tanah dan bangunan dalam unit-unit yang disebut satuan

(parcels), yang masing-masing merupakan hak yang terpisah. Namun, di samping

pemilikan secara individual, dikenal pula adanya tanah, benda, dan bagian yang merupakan milik bersama (common property).

Di dalam UU Perumahan dan pemukiman, common property ini disebut dengan fasilitas sosial dan fasilitas umum, berdasarkan Permendagri No. 1 Tahun 1987 tentang penyerahan prasarana lingkungan, fasilitas umum, dan fasilitas sosial perumahan kepada Pemda dengan komposisi 60% (bangunan) : 40% (fasos dan fasum).

Konsep strata title ini dapat diterapkan pada highrise building, residential,

town house, pabrik, perkantoran, dan retail.

(19)

Menurut Djuhaendah Hasan58 pada beberapa negara termasuk Australia, Selandia Baru, Singapura, Malaysia, dan Hongkong, problem penyediaan pemilikan tanah bagi pembangunan rumah secara horizontal dipecahkan dengan pembangunan perumahan secara vertikal dengan menggunakan sistem Strata Title, yaitu sistem yang mengatur tentang bagian tanah yang terdiri dari lapisan-lapisan (strata), yaitu : lapisan bawah dan atas, dengan strata. Strata adalah bentuk plural dari stratum diartikan sebagai berikut59. Stratum means any part of land consisting of a space of

any shape below on or above the surface of the land, the dimensions of which are delineated.

Untuk menjamin kepastian hukum dan keteraturan hukum dalam hal kepemilikan seseorang akan SRS di dalam kerangka hukum benda, pemilikan seseorang atas SRS haruslah mempunyai suatu tanda bukti hak atas benda tanah. Menurut Arie S. Hutagalung,60 sebagai tanda bukti adanya hak milik atas SRS maka disediakan alat pembuktian yang kuat berupa sertifikat hak milik atas satuan rumah susun. Bentuk dan tata cara pembuatan buku tanah serta penerbitan Sertifikat HMSRS diatur lebih rinci dalam Peraturan Ka. BPN No. 4 Tahun 1989. Adapun pembukuan HMSRS dan penerbitan sertifikat didasarkan atas keterangan/data yang dimuat dalam akta pemisahan yang telah memperoleh pengesahan Pemerintah Daerah.

58 Djuhaendah Hasan, Op.cit, hlm. 341-342.

59 Djuhaendah Hasan, Ibid, hlm. 342/Land Strata Act di Singapura. 60 Arie S. Hutagalung, Loc.cit, FHUI, Depok, 1998, hlm. 40.

(20)

UURS dan PP No. 4 Tahun 1988 tentang rumah susun telah menetapkan bahwa sertifikat HMSRS adalah salah satu produk dari suatu rangkaian proses perizinan pada sistem rumah susun yang sangat tergantung kepada produk-produk perizinan yang dihasilkan sebelumnya, antara lain izin lokasi dan IMB. Berbagai perizinan yang ditetapkan PP No. 4 Tahun 1988 tersebut dinyatakan harus diatur oleh Pemda, sehingga harus ada Perda sebagai landasan pengaturan lebih lanjut. Untuk itu, Menteri Dalam Negeri menerbitkan Permendagri No. 3 Tahun 1992 tentang Pedoman Penyusunan Perda Rumah Susun. Permendagri ini diterbitkan agar Pemda mempunyai pedoman dalam menyusun Perda tentang rumah susun.

Hal-hal yang diatur oleh Perda tentang rumah susun tersebut, antara lain sebagai berikut :

a. Penyusunan rencana jangka panjang dan jangka pendek pembangunan rumah susun.

b. Pengaturan dan pembinaan yang meliputi ketentuan-ketentuan mengenai persyaratan teknis dan administratif, izin layak huni pemilikan satuan rumah susun, penghunian, pengelolaan, dan tata cara pengawasannya yang mempunyai karakteristik lokal berhubungan dengan tata kota dan tata daerah.

c. Pengesahan pertelaan, pengesahan akta pemisahan rumah susun atas satuan-satuan rumah susun.

d. Pengesahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan Penghuni dalam rangka mengawasi apakah materi keduanya memenuhi ketentuan yang ada.

(21)

Rangkaian perizinan yang akhirnya sampai pada sertifikasi rumah susun antara lain : izin lokasi, pembebasan tanah, IMB, pengesahan pertelaan, izin layak huni, pengesahan akta pemisahan rumah susun menjadi satuan-satuan rumah susun, pendaftaran akta pemisahan, dan penerbitan sertifikat HMSRS.

Proses pengesahan pertelaan merupakan suatu penunjukan batas masing-masing SRS, bagian bersama, benda bersama, tanah bersama beserta nilai perbandingan proporsionalnya dalam bentuk gambar dan uraian yang dibuat pengembang adalah sebagai berikut61.

1. Developer mengajukan surat permohonan secara tertulis melalui Kanwil BPN

kepada Gubernur Kepala Daerah.

2. Berkas permohonan tersebut di atas dilampiri dengan : a. Pertelaan rumah susun yang bersangkutan;

b. IMB;

c. Salinan sertifikat tanah bersama.

3. Menerima berkas permohonan tersebut Ka. Kanwil BPN akan mengundang instansi yang terkait (Dinas Pengawasan Pembangunan Kota, Dinas Perumahan, Biro Hukum Pemda dan Asisten Bidang Pemerintahan) guna membahas surat permohonan tersebut.

Berdasarkan penelitian instansi terkait tersebut, disusunlah Surat Keputusan Pengesahan Pertelaan yang akan ditandatangani Wakil Gubernur bidang pemerintahan. Pertelaan merupakan pernyataan untuk SRS yang terdiri dari gambar,

(22)

uraian dan NPP. Dalam NPP ini diatur hak dan kewajiban penghuni SRS. Hak penghuni berdasarkan akta pemisahan rumah susun yang terbit setelah izin layak huni sebagai dasar pemecahan sertifikat tanah menjadi SHMSRS. Keikutsertaan penghuni membentuk perhimpunan penghuni berdasarkan suatu badan hukum sesuai SK Menpera No. 06/KPTS/BPKP4N/1995.

Nilai Perbandingan Proporsional (NPP) mengatur hal-hal sebagai berikut62. 1. Hak yaitu hak pemilik HMSRS terhadap hak atas tanah, benda dan bagian

bersama.

2. Kewajiban, yaitu beban biaya pemeliharaan dan perbaikan kepemilikan bersama (tanah, benda dan bagian).

3. Nilai, yaitu dasar penentuan nilai/besarnya pinjaman terhadap HMSRS dan royal

partial.

Adapun mengenai hak atas tanah atau HMSRS kepunyaan bersama atau beberapa orang atau badan hukum diterbitkan satu sertifikat yang diterimakan kepada salah satu pemegang hak bersama atas dasar penunjukan tertulis para pemegang hak bersama yang lain. Mengenai hak atas tanah atau HMSRS kepunyaan bersama tersebut dapat diterbitkan sertifikat sebanyak jumlah pemegang hak bersama untuk diberikan kepada setiap pemegang hak bersama yang bersangkutan yang memuat nama serta besarnya bagian masing-masing dari hak bersama. Bentuk, isi, cara pengisian, dan penandatanganan sertifikat tersebut ditetapkan oleh Menteri (Pasal 31 PP No. 24 Tahun 1997) tentang Pendaftaran Tanah, yaitu berdasarkan Ka. BPN No. 2

(23)

Tahun 1989 tentang bentuk dan tata cara pengisian serta pendaftaran akta pemisahan rumah susun. Dengan demikian berdasarkan SRS, sertifikat HMSRS diterbitkan sebanyak jumlah pemiliknya.

Menurut Pasal 9 (2) UURS, Sertifikat HMSRS tersebut terdiri atas hal-hal berikut.

a) Salinan buku tanah dan surat ukur atas hak tanah bersama sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA.

b) Gambar denah tingkat rumah susun yang bersangkutan yang menunjukkan SRS yang dimiliki.

c) Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama, benda bersama, tanah bersama, dimana kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dimana dapat dilihat dalam buku tanah HMSRS-nya.

Selanjutnya, di dalam Pasal 3 PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah juga menyebutkan bahwa pendaftaran tanah bertujuan untuk :

a) Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, SRS, dan hak-hak lainnya yang terdaftar;

b) Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah mengenai bidang tanah dan SRS yang sudah terdaftar tersebut;

c) Tertibnya administrasi pertanahan.

Dengan demikian, sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku

sebagai pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya,

(24)

sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Dalam hal atas suatu bidang tanah tersebut, sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya. Jadi, pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu lima tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak ada yang mengajukan keberadaan secara tertulis (Pasal 32 ayat (1) dan (2) PP No. 24 Tahun 1997). Dalam bahasa Inggris sertifikat hak atas tanah disebut dengan titel deed, penguasaan hak atas tanah biasa disebut land tenure, dan pemilikan hak atas tanah disebut land ownership, serta bidang tanah disebut dengan

parcel atau lot.

Pembangunan rumah susun/SRS di dalam kerangka hukum benda tanah membutuhkan investasi/dana yang sangat besar. Dana yang besar itu sulit tersedia secara tunai di kalangan pihak penyelenggara. Untuk mengatasi masalah pembiayaan pembangunan rumah susun/SRS tersebut, timbul pranata baru berupa hak tanggungan dalam UURS.

Rumah susun/SRS dapat dijadikan sebagai jaminan kredit. Kemungkinan tersebut ditegaskan dalam Pasal 12 dan 13 UURS. Pasal 13 UURS menyatakan bahwa HMSRS sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) UURS dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan jika tanahnya hak milik atau HGB, atau fidusia jika tanahnya hak pakai atas tanah negara. Namun, menurut Pasal 4 ayat 2 (UUHT) menyatakan bahwa Hak Pakai atas tanah negara yang menurut

(25)

ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dan juga dibebankan hak tanggungan. Menurut Pasal 3 ayat (a) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan UU ini tidak berlaku terhadap hak tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftarkan.

Berdasarkan ketentuan di atas, yang menjadi objek pokok jaminan hak tanggungan bukannya tanah63 melainkan HMSRS-nya. Dengan demikian, hak tanggungan yang dibebankan meliputi selain SRS yang bersangkutan, juga bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama sebesar bagian pemilik HMSRS yang dijaminkan. Ketentuan ini diadakan untuk memungkinkan diperolehnya KPR guna membayar lunas harga satu SRS yang dibeli yang pengembaliannya dapat dilakukannya secara angsuran. KPR dapat diberikan setelah SRS yang bersangkutan selesai dibangun dan telah dilakukan pemisahan dalam satuan-satuan rumah susun yang bersertifikat.

Referensi

Dokumen terkait

Apartemen atau Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik

Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam

Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horisontal

16 Th 1985, rumah susun adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian- bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah

Apartemen atau Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik

• Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah

Rumah susun (Rusun) adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian- bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik

Rumah susun (Rusun) adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagianbagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam